DOSA TERINDAH (BAB 1 SAMPAI 10)

18
2
Deskripsi

Ia dinikahi, tapi tak dihargai. Pertemuan tanpa sengaja dengan seseorang yang pernah menyukainya di masa lalu membuat Cahaya Kirana jatuh dalam dosa terindah. 
 

BAB 1. SIAPA PRIA INI?

“Cepetan dikit, Aya!” Suara teriakan Mas Adam terdengar dari depan.

“Iya, Mas. Bentar lagi.”

Buru-buru kusapukan lipstik di bibirku agar tak terlihat pucat, lalu berjalan keluar kamar sambil merapikan gaunku.

“Kamu ini kebiasaan deh, kalau udah dandan lama banget. Mana hasilnya juga biasa saja.” Pria itu menyapukan pandangannya dari ujung kaki hingga kepalaku.

Aku sudah biasa mendapatkan komentar kurang menyenangkan dari pria yang berstatus suamiku ini, maka aku sudah tak terlalu ambil pusing.

“Aku cuma dandan 15 menit tadi, Mas. Itu masih wajar, wanita-wanita lain bahkan menghabiskan waktu lebih dari itu jika berdandan.” Aku berusaha protes, namun yang kudapatkan justru tatapan mata melotot dari pria itu.

“Iya, kalau orang lain lama-lama hasilnya bagus, cantik, elegan. Lah, kamu ya gini-gini aja. Dandan nggak dandan juga sama aja, sama-sama ngebosanin liatnya!” Ia tak mau kalah. Kali ini bahkan sambil menoyor pelan keningku.

Sakit? Dulunya iya. Sakit sekali mendengarnya selalu menghinaku seperti itu. Tapi sekarang aku sudah terbiasa, dan sudah bisa menata hatiku sendiri. Karena jika tidak, maka hanya rasa sakit hati yang setiap hari kuperoleh di rumah ini. Dari awal menikah dengan Mas Adam tiga tahun lalu, aku tau ia memang tak menyukaiku. Di tahun-tahun pertama pernikahan kami, Mas Adam bahkan jarang sekali bicara padaku. Lalu kemudian di tahun kedua hingga saat ini, pria itu sudah mulai membuka komunikasi denganku, meski akhirnya komunikasi seperti inilah yang setiap hari kami jalani.

Jangan berharap komunikasi yang hangat dan romantis layaknya pasangan suami istri lainnya, tapi justru komunikasi yang hanya berisi protes, hardikan dan bahkan hinaan kepadaku. Seperti yang baru saja terjadi ini, saat ia menghina dandananku dan membandingkannya dengan wanita lain, entah wanita mana yang dijadikannya pembanding.

Dengan langkah tergesa aku mengikuti langkah lebarnya menuju mobil. Malam ini ami akan menghadiri undangan makan malam salah satu teman tim basket Adam dulu semasa di bangku SMA. Kubuka pintu mobil dan segera duduk lalu memasang safety belt. Bepergian satu mobil dengan Mas Adam seperti ini harus benar-benar bergerak cepat. Dia tak suka menunggu dan akan langsung menghardik jika aku dianggapnya terlambat. Jadi, jangan berharap adegan si pria membukakan pintu untuk si wanita jika bepergian dengan Mas Adam. Imposibble!

“Yang ngundang teman Mas Adam yang mana?” tanyaku basa-basi memecah keheningan di dalam mobil.

“Teman satu tim basket dulu di SMA. Udah lama nggak kontakan terus bulan kemarin ketemu di bandara pas aku ke Pulau Bangka. Udah jadi kontraktor terkenal sekarang, tapi karena hobi ngeracik kopi dia juga buka usaha gerai kopi. Entah yang ini sudah cabang yang keberapa.”

“Oh ....” Aku manggut-manggut, dalam hati bersyukur karena jawaban Mas Adam kali ini panjang, padahal biasanya ia hanya akan menjawab pendek-pendek jika aku bertanya.

“Namanya siapa, Mas?” lanjutku bertanya.

“Nanti aja kenalan langsung, ngapain juga nanya-nanya sekarang. Lagian kamu juga nggak kenal, kamu mana punya kenalan kalangan pengusaha gitu.”

Nyess! Baru saja senang dengan jawaban pertamanya, sekarang harus menerima jawaban sinis lagi darinya. Aku pun memilih diam.

Tiba di lokasi kafe, Mas Adam segera turun dan bahkan tak mau menungguku untuk berjalan beriringan selayaknya sepasang tamu yang datang bersama. Sementara aku masih membetulkan gaunku dan sedikit merapikan rambutku sebelum akhirnya berlari kecil mengejar langkahnya.

“Hai, Bro! Terima kasih sudah mau datang.” Sapaan yang ditujukan pada Mas Adam yang sudah tiba di depan pintu masuk “House of Coffe” nama coffeshop yang baru dibuka ini.

“Aku pasti datanglah, Bro! Selamat ya! By the way ini kafe kopi yang keberapa, Bro?” Suara Mas Adam.

Sementara aku masih beberapa langkah di belakangnya, belum sampai ke posisinya berdiri sekarang.

“Yang ke ....” Suara itu terhenti. Lalu ....

“Aya! Hey! Kamu Cahaya, kan?”

Aku menengadahkan wajahku mencari asal suara yang memangil namaku barusan. Lalu dengan napas sedikit ngos-ngosan kuraih lengan Mas Adam yang kini tepat berada di sampingku.

“K-kalian?” Masih suara yang tadi. Sementara aku mengeryitkan keningku menebak-nebak siapa pria yang tau namaku ini.

“Kamu Aya, kan? Kalian datang bersama?” Pria yang kuduga adalah pemilik coffeshop itu bertanya sambil menatap ke arah tanganku yang masih menggandeng lengan Mas Adam.

“Iya dia Cahaya, istriku. Kamu kenal?” jawab Mas Adam sambil melepas tanganku dari lengannya dengan perlahan.

“Istri? Kamu nikah sama Aya, Dam? Wah aku nggak nyangka.” Pria itu menatapku tajam.

Sementara aku masih memutar otakku mengingat-ingat siapa pria di hadapanku ini.

“Gimana kabarmu, Cahaya? Aku Ivan. Kamu nggak ngenalin aku?”

Ivan? Aku masih berpikir di mana mengenal pria ini.

“Ivan? Kenal di mana, ya? Apa kita teman SMA?” tanyaku penasaran.

“Apa sih yang kamu ingat, Ay? Syukur-syukur masih ingat sama suami sendiri. Otakmu susah sih ya diajak berpikir.”

Degg! Kurasa saat ini wajahku memerah. Malu sekali rasanya dihina suami sendiri di hadapan orang lain seperti ini. Aku pun menunduk, tak berani lagi menatap wajah pria yang masih kucari dalam ingatanku itu.

“Ah, wajar kalau kamu nggak ingat aku, Cahaya. Siapa sih yang kenal dengan mahasiswa biasa sepertiku, sedangkan kamu waktu itu aktivis kampus yang begitu populer,” ucap pria di hadapanku, seolah tengah membelaku.

Aku kembali menengadahkan wajah, kalimatnya barusan berhasil mengembalikan sedikit kepercayaan diriku.

“Oh, teman di kampus dulu? Maaf aku benar-benar lupa.”

Pria itu mengangguk sambil tersenyum.

“Halah kamu masih ingat aja, Bro! Padahal Cahaya kan cuma setahun jadi mahasiswi dan nggak sampai lulus jadi sarjana.”

Kalimat Mas Adam kembali mematahkan rasa percaya diriku.

“Ya udah, silahkan masuk Adam, Aya. Nanti kita ngobrol lagi di dalam, aku nyambut tamu yang lain dulu ya,” ucap pria bernama Ivan itu.

Mas Adam pun mengangguk dan melangkah memasuki coffeshop, tentu saja tanpa mengajakku apalagi menggandeng tanganku. Jangan berharap, Aya! Aku hanya berusaha tetap mengimbangi langkahku di sampingnya hingga kami menemukan tempat yang pas untuk duduk.

Suasana kafe ini benar-benar cozy dan membuat betah. Terlebih para undangan disuguhi penampilan band lokal yang membawakan lagu-lagu akustik. Membuatku sesekali mengikuti lagu-lagunya dengan suara yang hanya bisa terdengar olehku. Ya, aku takkan mungkin bersenandung hingga kedengaran Mas Adam yang duduk di hadapanku, jika tak ingin ia kembali melontarkan kalimat pedasnya padaku.

“Enjoy ya, Dam! Silahkan dinikmati suguhannya. Santai aja ya, ini hanya acara kecil-kecilan kok.” Ivan kembali menghampiri meja kami. Ia menyapa Mas Adam, tapi matanya justru menatap ke arahku.

“Yoi, Bro! Tenang aja, kami menikmati kok,” jawab Mas Adam yang sedari tadi hanya tersenyum-senyum sendiri sambil menatap layar ponselnya.

“Oiya, di sebelah sana ada taman kecil, Ay. Siapa tau kamu mau lihat-lihat ke sana.” Ivan masih menatap mataku.

“Tuh, sana liatin tamannya. Sesuai tuh dengan hobi norak kamu berkebun.”

Huhh! Lagi-lagi kalimat sarkas. Aku memejamkan mata sesaat, terkadang serasa ingin berteriak jika Mas Adam sudah semakin menjadi seperti ini. Namun aku memilih menghela napas. Ivan sendiri sudah kembali berpamitan dan kemudian berkeliling lagi menyapa tamunya.

BAB 2. COKLAT SILVER QUEEN

“Mas aku ke sana dulu, ya,” pamitku pada Mas Adam setelah merasa bosan duduk di hadapannya sementara pandangannya hanya terfokus pada ponselnya.

“Hmm.” Ia hanya menaikkan alisnya.

Aku pun bangkit dari tempatku duduk, lalu berjalan menuju ke arah yang ditunjuk Ivan tadi. Senyumku langsung merekah ketika melihat taman kecil yang ada di bagian belakang kafe. Taman bunga yang terlihat masih baru dan terawat, di sudutnya ada kolam ikan kecil lengkap dengan air terjun mini. Beberapa pengunjung juga terlihat mengagumi taman kecil yang indah ini, bahkan beberapa anak-anak terlihat memainkan ikan-ikan kecil di kolam.

“Suka tamannya?” Suara bariton itu mengejutkanku.

“Eh ... k-kamu!” Pemilik coffeshop itu sudah berdiri di sampingku.

“Kamu benar-benar nggak ingat aku, Cahaya?”

Aku menggeleng. “Maaf,” ucapku lirih.

Dia terkekeh. Kemudian menatap lurus ke arah taman bunga mini.

“Aku udah lama nyari kamu. Nggak nyangka kalau ketemunya justru di sini. Lebih nggak nyangka lagi ternyata kamu udah nikah sama teman aku.”

“Udah lama kenal Mas Adam?” tanyaku basa-basi.

“Hmm. Dulu satu tim basket di SMA. Satu kampus juga kan sama kita, hanya beda jurusan.”

“Oh.”

“Kalian udah lama nikahnnya?”

Aku menghela napas.

“Ah, maaf, Ay. Tak seharusnya aku menanyakan hal pribadi. Maafkan aku,” lanjutnya.

Aku tak menjawab.

“Oiya, tadi aku chat di grup alumni. Anak-anak pada heboh pas tau kamu datang di acara grand opening kafeku. Kamu masih ingat teman-teman kita dulu kan. Sari, Lusi, Imelda, Shafa, Doni, Yoga, Pram dan banyak lagi. Mereka pada heboh nih di grup WA bahas kamu. Pada nitip salam juga. Kebetulan memang aku nggak undang mereka kali ini karena ini hanya cabang kecil. Kalau tau kamu akan muncul di sini, aku pasti udah ngumpulin mereka dari kemarin-kemarin.”

Aku hanya tersenyum tipis.

“Iya, aku ingat mereka kok.”

“Aku masukin grup ya. Nomor WA kamu berapa?”

“Jangan, aku bukan bagian dari kalian karena aku bukan alumni. Seperti yang dikatakan suamiku tadi, aku bahkan tak berhasil menjadi sarjana dan hanya setahun menjadi mahasiswi.”

“Cahaya, kamu kenapa berubah seperti ini? Cahaya yang kukenal dulu adalah gadis yang sangat aktif di kampus, di organisasi, terkenal seantero anak teknik. Banyak fans dan banyak yang antre pengen jadi pacar, termasuk aku.”

Ia tertawa, aku pun ikut tertawa kecil.

“Ngaco, kamu!”

“Iya, kamu nggak sadar dulu jadi idola di kalangan anak-anak teknik? Kamu nggak tau berapa banyak yang patah hati saat kamu jadian sama Hendra si ketua BEM? Nih anak-anak masih pada rame nih bahas kamu di grup WA.” Ia memperlihatan layar ponselnya yang memang dari tadi kudengar tak pernah berhenti berbunyi.

“Salamin sama anak-anak, ya,” ucapku.

“Aku masukin grup, ya. Mana nomormu?”

Aku menggeleng. “Nggak usah.”

Ia menatapku. “Kamu benar-benar nggak ingat aku? Nggak ingat cowok yang ngasih coklat terus dibully satu fakultas?”

“Astaga! Itu kamu?” pekikku.

“Kamu ingat?” Ivan tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Aku tertawa lebar mengingat momen itu, di mana ada sebatang cokelat S*lver Queen di samping ranselku yang diikat pita berwana pink lengkap dengan setangkai bunga. Waktu itu, Hendra pacarku kebetulan ada di sana dan langsung mencari tau siapa yang menaruh coklat itu di mejaku. Posisinya sebagai ketua BEM tak menyulitkannya memparoleh rekaman cctv yang memperlihatkan seorang pria meletakkan benda itu di dekat tas ranselku. Lalu aku tak tau bagaimana kejadiannya sehingga ada seorang pria yang kemudian diarak dan dibully oleh seantero fakultas teknik karena berani mengirimkan coklat dan bunga diam-diam padaku, yang nota bene kekasih dari ketua BEM. Aku pun tak mempedulikannya pada saat itu, hanya mendengar ceritanya dari Sari, salah satu sahabatku saat masih mengenyam bangku kuliah.

Hatiku menghangat mengenang masa-masa indah sebelum akhirnya semua berubah ketika aku harus mengambil keputusan terberat pada saat itu, yaitu berhenti kuliah. Saat itu, ayahku yang seorang pegawai negeri pangkat rendah meninggal karena serangan jantung, sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa yang akhirnya hanya mengandalkan gaji pensiun ayah yang tak seberapa. Sementara aku masih punya tiga orang adik yang masing-masing masih membutuhkan biaya. Hingga akhirnya aku mengalah, lalu berhenti kuliah dan memilih mencari pekerjaan demi membantu ekonomi keluarga.

“Aku dulu penggemar rahasiamu, Ay.” Ivan membuyarkan lamunanku.

“Itu aku yang dulu. Cahaya yang sekarang sudah jauh berbeda,” gumamku.

Ivan tak menjawab, hanya tersenyum tipis sebelum kemudian berpamitan untuk kembali ke dalam kafenya saat seorang karyawannya memanggil.

Aku pun meneruskan lamunanku mengenang masa-masa indahku selama setahun menjadi mahasisiwi. Hendra, sang ketua BEM yang saat itu menjadi kekasihku merasa kecewa ketika aku memutuskan untuk berhenti kuliah. Namun aku sudah memantapkan hatiku. Aku anak sulung, dan aku yang harus bertanggung jawab membantu ibuku mencari nafkah setelah kepergian ayah.

Hubunganku dengan Hendra masih berjalan setelah aku tak lagi kuliah di kampus yang sama, ia bahkan menemaniku mencari pekerjaan dengan modal ijazah SMA ku waktu itu. Hingga kemudian aku memperoleh pekerjaan di sebuah butik milik salah satu teman ibunya. Itu pun dengan rekomendasi dari ibu Hendra. Namun ternyata hubungan kami semakin hari semakin renggang seiring dengan kesibukanku bekerja di butik dan kesibukannya sebagai aktivis kampus. Jarang bertemu dan jarang berkomunikasi membuat hubungan kami berada pada titik terendah, hingga akhirnya aku mendengar kabar jika Hendra sering jalan dengan Paula, salah satu aktivis juga di kampus.

Lalu hubungan kami pun benar-benar berakhir ketika aku menanyakan mengenai kabar hubungannya dengan Paula dan Hendra mengakui jika ia sudah jadian dengan Paula. Aku pun memilih mundur dan berkonsentrasi pada pekerjaanku.

Hingga di tahun ketiga setelah aku berhenti kuliah, suatu hari di rumah kami kedatangan tamu yang mengaku adalah sahabat ayahku dulu, ibuku pun mengenalnya. Pak Lukman, sahabat ayah semasa sekolah dulu rupanya baru mengetahui jika ayahku sudah meninggal. Beliau lalu mengucapkan bela sungkawa atas kepergian ayahku, bahkan menitikkan air mata ketika mengenang persahabatan mereka dulu. Dua bulan setelah kedatangan Pak Lukman waktu itu, tiba-tiba saja sahabat ayah itu kembali datang ke rumah, kali ini dengan niat yang sama sekali tak pernah kubayangkan sebelumnya. Pak Lukman meminangku untuk dinikahkan dengan anak tunggalnya.

Aku tak tau bagaimana prosesnya hingga akhirnya ibuku menyetujui dan membujukku untuk menerima pinangan Pak Lukman waktu itu. Padahal aku sama sekali belum pernah bertemu dengan putra tunggal beliau yang kabarnya saat itu sudah lulus S2 dan menjabat kepala divisi perencanaan di salah satu perusahaan tambang milik salah satu pejabat terkemuka di negara ini yang berkantor pusat di jakarta. Melihat ibuku yang antusias saat membicarakan tawaran Pak Lukman, aku pun menerima lamaran beliau. Niatku hanya satu, ingin mengurangi beban ibu.

“Nanti Bapak ajak Adam ke sini, ya. Kalian boleh pengenalan dulu, Bapak yakin kalian pasti cocok,” ucap Pak Lukman kala itu.

Aku hanya mengangguk. Anggukan yang kemudian menghantarkan seorang Cahaya Kirana menjadi istri dari Adam Haidar hingga saat ini. Menjadi istri yang setiap hari harus mendapatkan kalimat-kalimat tak lazim dari seorang suami pada istrinya. Aku sendiri bingung, kenapa Mas Adam waktu itu menerima saja ketika ayahnya menjodohkannya denganku, padahal seharusnya dia adalah pihak yang paling bisa menolak jika memang tak suka dengan perjodohan itu. Belakangan baru kuketahui jika saat itu ia sedang dalam kondisi patah hati karena ditinggal oleh tunangannya, maka tanpa pikir panjang Mas Adam menerima tawaran perjodohan dari ayahnya saat itu.

Ingatanku tentang Mas Adam membuatku kembali masuk ke dalam kafe. Di kursi tempatku duduk tadi sudah ada dua orang lainnya yang sedang mengobrol dengan Mas Adam, termasuk salah satunya Ivan. Perlahan aku melangkah ke arah meja di mana mereka sedang mengobrol santai.

“Jadi lu juga belum nikah, Pri?” tanya Mas Adam pada salah satu rekannya.

Lelaki di hadapan Mas Adam yang duduk bersebelahan dengan Ivan mengangguk.

“Cariin dong.”

“Saran gue jangan buru-buru deh, Pri. Puas-puasin aja dulu lu bebas dari ikatan yang bernama rumah tangga. Jangan sampai lu nyesal ntar kayak gue,” ucap Mas Adam yang posisinya sedang membelakangiku..

Deggg!

Jantungku berdetak cepat. Apa katanya tadi? Nyesal? Mataku mulai berkabut. Sementara Ivan menatapku tajam.

“Emang sekarang lu nyesal, Bro?” tanya pria di samping Ivan.

“Nyesal banget, banyak yang lebih menarik di luar sana. Sayangnya gue udah telanjur terikat pernikahan! Mana istri gue nggak banget lagi. Nggak ada yang bisa dibanggain darinya.”

Netraku semakin memanas mendengar kalimat Mas Adam, bahkan kini dadaku pun terasa sesak.

BAB 3. TAK PUNYA ATTITUDE

Kutatap wajahku dari pantulan cermin di toilet lalu mencoba menghapus sisa-sisa tangis di sana. Kata-kata yang dilontarkan Mas Adam barusan pada rekannya membuatku segera menjauh dari sana sebelum bulir-bulir bening itu menghambur keluar dari mataku. Aku memang sudah terbiasa dengan kata-kata kasar yang keluar dari mulut suamiku, tapi terasa sangat menyakitkan ketika ia melontarkan kalimat-kalimat meyudutkan itu di hadapan orang lain. Terus terang saja aku malu pada Ivan, pria pemilik kafe yang mengundang kami ke acara ini. Pria yang tadi mengatakan bahwa ia adalah penggemarku saat kuliah dulu. Kini di hadapannya, pria yang berstatus sebagai suamiku justru merendahkanku dengan mengatakan tak ada yang bisa dibanggakan dariku.

“Kamu nggak apa-apa?”

Aku terkejut saat mendapati Ivan tengah berdiri di depan pintu toilet saat aku keluar dari sana.

Aku hanya menggeleng. Ia menahan langkahku.

“Kamu beneran nggak apa-apa, Aya? Apa kamu sering diperlakukan seperti ini?”

“Tolong menyingkirlah, jangan campuri urusanku! Aku tak mengenalmu, jadi jangan bertanya yang nggak-nggak.”

“Cahaya ....”

Aku tak menggubrisnya, meski sebenarnya aku merasa sangat malu padanya. Ia pasti mendengar kata-kata hinaan Mas Adam padaku tadi.

‘Mana istri gue nggak banget lagi. Nggak ada yang bisa dibanggain darinya.’

Kata-kata itu masih saja terngiang di telingaku, hingga akhirnya aku kembali duduk mematung di samping Mas Adam. Tak lama kemudian Ivan pun juga kembali duduk dan bergabung di meja kami. Mas Adam mengenalkanku pada rekannya yang ternyata bernama Supri.

“J-jadi ini istri lo?” Supri tergagap, mungkin ia tadi melihatku di belakang Mas Adam.

“Iya. Perkenalkan saya Cahaya, istri Mas Adam,” sapaku hangat.

Hanya sampai di situ, sisanya aku hanya terdiam sambil sesekali membuka media sosial di ponselku ketika mereka kembali mengobrol dan membahas hal-hal ringan khas pria. Satu hal yang kusadari, Ivan terus menerus menatap tajam padaku di sela-sela obrolan mereka. Sesekali pula ia meninggalkan meja ketika menyapa tamunya yang lain, lalu kemudian kembali duduk di tepat hadapanku yang memilih duduk di samping Mas Adam.

“Terima kasih atas undangannya, Bro. Semoga tambah sukses dan ditunggu undangan-undangan selanjutnya,” ucap Mas Adam pada Ivan saat kami berpamitan untuk pulang.

Sedangkan aku sendiri tak lagi bersuara semenjak keluar dari toilet tadi. Aku hanya mengangguk sopan tanpa bersuara ketika menyalami Ivan saat berpamitan namun aku bisa merasakan pria itu mempererat genggamannya saat kami bersalaman.

***

Hening menguasai saat aku dan Mas Adam sudah berada di dalam mobilnya. Aku masih menyimpan perasaan tak nyaman mendengar ucapan Mas Adam tentangku di hadapan teman-temannya tadi.

‘Mana istri gue nggak banget lagi. Nggak ada yang bisa dibanggain darinya.’

Aku melirik pria yang terlihat sedang serius menyetir itu. Ekspresinya biasa saja, karena ia memang tak merasa baru saja menorehkan sayatan luka di hatiku. Ya, Mas Adam pasti merasa biasa saja karena memang hampir setiap hari ia selalu mengucapkan kata-kata yang tak nyaman padaku. Lisan pria itu benar-benar sudah terbiasa seperti itu sehingga ia tak lagi merasa bersalah. Akupun sebenarnya sudah kebal pada kalimat-kalimat sarkasnya, namun mendengar hinaannya di hadapan rekannya tadi membuatku merasa sakit.

“Mas.”

“Hm.”

“Kenapa dulu Mas mau nikahin aku?”

Ia melirikku sesaat.

“Pertanyaan apa itu, Ay. Kamu tau sendiri kan, aku menikahimu karena keinginan orang tuaku. Kalau disuruh memilih sih aku nggak akan mungkin mau menikahimu, kita bahkan tak pernah saling mengenal sebelumnya.”

“Tapi kenapa Mas Adam waktu itu tak menolak saja?”

“Kenapa nggak kamu aja yang menolak perjodohan waktu itu.”

Ia mengembalikan ucapanku.

“Cahaya pihak perempuan, Mas. Tidak terlalu banyak pertimbangan untuk menerima pinangan seseorang terlebih ketika orang tua Cahaya sudah merestui. Aya juga akan dianggap pembangkang jika menolak, belum lagi anggapan orang tua zaman dulu yang mengatakan jika pamali seorang gadis menolak pinangan lelaki jika tak ada alasan yang prinsip. Kesempatan menolak waktu itu harusnya lebih banyak di pihak Mas Adam.”

“Kamu kenapa sih? Nyesal udah nikah sama aku?”

“Bukannya Mas yang menyesal sudah menikahiku? Aku tadi dengar sendiri Mas ngomong gitu di depan teman-teman Mas Adam.”

Ia tertawa sinis.

“Oh, jadi kamu tersinggung? Dengar ya Cahaya, percakapan seperti itu sudah biasa di kalangan kaum pria, jadi kamu nggak perlu marah atau ambil pusing.”

“Gimana aku nggak marah, Mas. Mas Adam menghina dan merendahkanku di hadapan teman-temanmu. Mengatakan nggak ada yang bisa dibanggakan dariku. Kalau Mas ucapkan di hadapanku aku sudah terbiasa, Mas. Tapi ini Mas menghinaku di depan orang lain. Aku malu.”

Aku mulai terisak.

“Apa-apaan sih kamu, Ay! Cengeng banget deh! Gitu aja nangis! Lagian aku berkata benar, kan? Apa coba yang bisa dibanggakan darimu. Prestasi apa? Butik nggak jelasmu itu? Langganannya juga paling hanya kelas bawah, kan? Lagian kalau bukan karena modal dariku kamu nggak akan mungkin buka butik murahanmu itu. Itu bukan prestasi yang bisa dibanggakan, Cahaya. Prestasi itu karir yang bagus, titel yang tinggi dan jabatan serta wawasan yang luas. Seperti ....”

“Seperti Nindya, kan?” Aku segera memotong kalimatnya.

Aku tau pria ini sangat mengagumi salah satu rekan kerjanya di kantor, namanya Nindya. Tak jarang ketika aku diajak mengahdiri acara-acara kantornya, Mas Adam justru mengabaikanku dan memilih lebih banyak mengobrol dengan Nindya, gadis muda yang jika kutraksir usianya mungkin sekitar dua atau tiga tahun dibawahku.

“Nah, itu tau!” jawabnya terkekeh.

“Nindya itu gambaran wanita masa kini, Ay. Seandainya saja kamu bisa sepertinya. Itu akan lebih membanggakan dibanding hanya berkutat dengan urusan butikmu sehari-hari.”

“Terus kenapa nggak Mas nikahin aja Nindya kalau Mas suka!” seruku sambil membuka pintu mobil lalu membantingnya dengan kasar.

Mas Adam memang sudah memarkirkan mobilnya di garasi, di samping mobil LCGC yang sehari-hari kugunakan dan kubeli dari hasil kerjaku di butik milikku.

“Hey! Istri macam apa kamu! Keluar dari mobil dengan kasar begitu. Memang ya pendidikan rendah selalu sebanding dengan attitude!”

Masih kudengar umpatan Mas Adam memprotes caraku keluar dari mobil dan membanting pintu tadi. Ah, aku tak peduli! Ia berbicara tentang attitude sementara ia sendiri tak punya attitude ketika menghinaku di depan teman-temannya.

BAB 4. ADAKAH CINTA UNTUKKU?

Malam ini kuhabiskan dengan tidur memunggungi Mas Adam, aku masih sangat kesal dengan kejadian di coffeshop tadi. Sementara pria itu justru nampak biasa saja, ia juga tak berbicara lagi padaku setelah menghardik saat aku membanting pintu mobilnya tadi. Aku tau pria itu masih duduk bersandar pada headboard tempat tidur sambil memperhatikan layar ponselnya. Ini memang sudah menjadi kebiasaan Mas Adam sebelum tidur, entah dia sedang membaca artikel apa pada layar ponselnya atau sedang chatting dengan siapa, aku tak berani menanyakannya.

Pikiranku justru melayang pada si pemilik coffeshop tadi, Ivan. Sejujurnya aku sedikit heran ketika ia tadi menyusul dan menungguku keluar dari toilet kafenya saat aku sedang menumpahkan tangisku di sana.

“Kamu beneran nggak apa-apa, Aya? Apa kamu sering diperlakukan seperti ini?”

Kenapa pria itu bertanya seperti itu padaku? Kenapa dia terlihat begitu peduli? Padahal ini adalah hari pertama pertemuan kami, setelah bertahun-tahun yang lalu. Aku bahkan tak bisa langsung mengenalinya tadi jika saja ia tak menyebutkan bahwa ia adalah lelaki pengirim sebatang coklat dan bunga padaku waktu itu. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri mengenang peristiwa itu.

Waktu itu aku tak begitu memperhatikan pria itu setelah Hendra kekasihku mengintimidasinya karena telah berani mengirimiku coklat dan bunga yang biasanya sebagai lambang suka pada seseorang. Terus terang saja, waktu itu aku justru kasihan pada pria itu. Apalagi kemudian kudengar ia menjadi bahan bullyan mahasiswa teknik setelah itu.

Namun satu hal yang mengganggu pikiranku, bagiamana mungkin pria yang dulunya berpenampilan sederhana dan bahkan aku hampir tak pernah merasa mengenalnya itu kini telah berubah menjadi pengusaha sukses seperti yang dikatakan Mas Adam tadi? Aku bahkan terpana saat melihatnya memberi sambutan di panggung saat pembukaan Coffeshopnya tadi. Pria itu menjelaskan jika bisnis kafe hanyalah bisnis sampingannya demi menyalurkan hobinya meracik dan meminum kopi. Ia juga memperlihatkan kelihaiannya meracik kopi dengan alat-alat canggihnya tadi, yang membuat para undangangan kagum padanya. Termasuk aku dan Mas Adam, meski kami berdua bukannya penyuka minuman sejenis kopi.

Satu hal lagi yang membuatku terkagum-kagum adalah saat ia memperlihatkan slide berisi foto-foto perkebunan kopinya di daerah puncak. Aku yang memang suka dengan susana puncak dan pegunungan merasa sangat ingin melihat perkebunan kopinya suatu saat nanti. Terlebih lagi aku merasa Ivan selalu menatap tajam padaku disela-sela ia memaparkan tentang kafe dan hobinya. Aku bahkan beberapa kali harus menunduk ketika tanpa sengaja bersitatap dengannya. Lagi-lagi tanpa sadar aku tersenyum. Namun gerakan Mas Adam di belakangku membuat senyuman dan lamunanku pudar. Pria itu melingkarkan lengannya memeluk tubuhku.

“Kamu sudah tidur?”

Aku memilih diam. Kudengar suara napasnya mendengkus kasar, lalu kemudian menguraikan pelukannya. Sepertinya Mas Adam pun memilih memunggungiku.

Aku tau apa yang diinginkan oleh pria itu, tapi aku memilih pura-pura tidur. Mungkin aku berdosa, tapi aku sudah sangat paham dengan perilaku pria yang sudah tiga tahun ini menjadi suamiku itu. Jika saja aku tadi bersuara, ia pasti akan melakukan tugasnya sebagai seorang suami. Tanpa terlebih dulu membahas apa yang tadi membuatku kesal padanya, apalagi meminta maaf. Padahal ia tak tau betapa ucapannya tadi telah melukai hatiku, maka seperti biasa hubungan biologis kami hanya akan terasa hambar.

Tak lama kemudian sudah terdengar dengkuran halus Mas Adam. Namun aku justru belum bisa memejamkan mata. Tiba-tiba saja pikiranku melayang pada saat pria itu menikahiku.

“Kamu mau tidur di sana apa di sofa itu. Silakan pilih,” ucapnya waktu itu, sambil menunjuk ranjang pengantin yang sudah dihias dengan berbagai hiasan.

Aku yang saat itu masih polos hanya menatapnya tak mengerti sambil menautkan alis.

“Nah, kan. Baru juga malam pertama kamu sudah tulalit gini, bikin kesal aja. Kamu mau tidur di ranjang apa di sofa, silakan pilih!” Suaranya meninggi.

“Kenapa harus memilih, Mas?” Aku masih tak mengerti.

"Apa kamu pikir kita akan tidur bareng? Yang benar aja aku tidur dengan cewek tulalit macam kamu! Ya udah kamu di ranjang sana, biar aku yang di sofa.”

Pria itu langsung merebahkuan tubuhnya di sofa yang ada di dalam kamar. Sementara aku masih tertegun dengan semua kalimatnya barusan. Seperti ini kah pria yang baru saja menikahiku? Baru beberapa jam yang lalu aku menyandang status sebagai istrinya, tapi kini aku sudah mendengar kalimat hinaan darinya. Tulalit? Ia menyebutku gadis tulalit? Lalu kenapa ia menikahiku jika ia menganggapku tulalit? Ingin sekali kutanyakan padanya malam itu, tapi akhirnya aku memilih diam karena tubuhku pun sudah terlalu lelah setelah seharian berdiri di pelaminan menerima ucapan selamat dari para undangan.

Lalu hari-hari selanjutnya, bulan-bulan berikutnya bahkan hingga tiga tahun usia pernikahan kami sekarang, ternyata Mas Adam masih seperti itu, selalu melontarkan kata-kata tak senangnya padaku. Betapa waktu itu, hari-hari pertama yang kulalui sebagai istrinya selalu saja membuatku merasa terpuruk. Hampir setiap hari kalimat-kalimat srakas yang menyudutkan bahkan mempermalukanku keluar dari bibirnya.

“Kamu ini istri macam apa, sih. Pasang dasi aja berantakan gini!” bentaknya saat merasa tak puas ketika aku memasang dasinya.

“Aya! Kamu bisa mikir nggak sih, laptopku bisa cepat rusak kalau kamu letakkan seperti ini. Kamu nggak pernah megang laptop ya!” ucapnya saat aku tak sengaja memindahkan laptopnya karena ingin membersikan meja di mana dia meletakkannya tadi.

Dan masih banyak lagi hardikan serta teriakannya yang lain, yang membuatku kadang harus menahan malu ketika ia menghardikku di depan ayah dan ibunya bahkan di depan ART. Kami berdua waktu itu memang masih tinggal di rumah Pak Lukman dan Bu Indah, ayah dan ibu mertuaku. Pak Lukman, ayah Mas Adam adalah salah satu pejabat daerah dan Bu Indah yang berpfrofesi sebagai anggota DPRD dari salah satu partai. Hal itu membuat ayah dan ibu mertuaku serta Mas Adam yang adalah anak tunggal mereka jarang terlihat berada di rumah karena kesibukan mereka masing-masing. Hanya pada saat sarapan pagi lah kami berempat sarapan bersama. Selebihnya, hanya aku yang berada di rumah besar mereka bersama Bi Inah, asisten rumah tangganya.

“Kamu itu cocoknya memang bergaul dengan Bi Inah, Ay! Coba saja kamu sarjana dan jadi wanita karir, pasti akan lebih membanggakanku. Lihat tuh Ibu, punya karir yang bagus dan disegani banyak orang. Bukan macam kamu yang sehari-hari hanya berkutat dengan sumur dapur dan kasur. Ihh! Nggak banget!” ucapnya waktu itu saat aku dan Bi Inah sedang menyiapkan sarapan.

“Apa-apaan kamu, Dam! Nggak baik ngomong gitu! Cahaya itu istri kamu!” Pak Lukman mendelik padanya.

“Loh, Adam ngomong sesuai fakta, Pa! Apa sih yang bisa dibanggain dari Aya.” Ia mengambil sepotong roti, lalu beranjak dari meja makan. Sepertinya menghindari perdebatan dengan orang tuanya.

“Jangan diambil hati ya, Nak Aya.” Bu Indah mengusap-usap punggung tanganku.

“Adam anak yang baik kok. Mungkin ia hanya belum terbiasa,” lanjut ibu mertuaku.

Aku hanya tersenyum. Kebaikan Pak Lukman dan Bu Indah padaku inilah yang membuatku bisa melupakan kalimat-kalimat tak pantas yang setiap hari kudengar dari suamiku.

Namun ternyata bukan karena belum terbiasa seperti apa yang dikatakan ibu mertuaku, karena hingga tahun ketiga pernikahan kami, ternyata Mas Adam masih seperti itu. Hingga akhirnya aku mulai terbiasa dan kebal atas hinaannya.

Kuhela napas panjang, kemudian membalikkan tubuhku menatap pria yang kini sedang terlelap dalam posisi telentang itu. Apa pria ini mencintaiku? Aku sendiri belum menemukan jawabannya.

BAB 5. SANG MANTAN

Pagi ini, setelah Mas Adam berangkat bekerja, aku pun mulai bersiap mengunjungi butik kecilku. Seperti inilah aktivitasku sehari-hari. Belum hadirnya anak dalam rumah tanggaku dengannya membuatku memilih menghabiskan hariku di butik yang kuberi nama “Ayya Boutique”. Aku sangat mencintai aktivitasku ini. Suatu kepuasan tersendiri bagiku jika pelanggan butikku merasa puas dengan penampilan mereka setelah mencoba beberapa fashoin koleksi butik. Beberapa produk butikku juga kurancang sendiri, karena memang dari remaja dulu aku suka sekali menggambar model-model baju yang ada dalam imajinasiku.

Dulu, diawal membuka Ayya Boutique aku hanya bekerja sendiri, menjaga butik sendiri, merancang dan menggambar sendiri hingga akhirnya butikku mulai berkembang hingga kini aku sudah mempekerjakan dua orang karyawan perempuan dan satu karyawan laki-laki. Sebenarnya perkembangan butik ini sangat membanggakan bagiku, meskipun Mas Adam tak pernah mengakui itu dan selalu menghina butik sederhanaku ini.

Namun berbeda dengan Mas Adam, Bu Indah mertuaku justru sering sekali memuji kemajuan butik ku dan bahkan sering membawa beberapa temannya ke butik. Seperti yang terjadi siang ini, di saat jam istirahat aku melihat mobil mertuaku memasuki parkiran butik. Beliau memang sering datang di jam istirahat atau jam pulang kerja karena kesibukannya sebagai anggota dewan.

Aku yang sedang menggambar beberapa desain baju segera meletakkan peralatan gambarku dan memilih menyambut sendiri ibu mertuaku yang datang bersama dua orang rekannya. Segera kucium punggung tangan Bu Indah saat ia sudah memasuki butik, lalu menyapa dua rekannya yang lain yang berpenampilan sosialita.

“Karyawanmu mana, Ay?” tanya ibu mertuaku.

“Lagi pada istirahat, Ma.”

“Oh, iya. Mama memang sengaja datang di jam istirahat, Ay. Soalnya setelah ini Mama masih ada rapat.”

“Nggak apa-apa, Ma. Aya senang kok Mama datang.”

“Oiya, kenalin ini teman Mama, Mami Jeni dan Bu Tari. Mereka mau lihat-lihat koleksi gamis di butikmu, Nak. Tolong Aya tunjukkan ya produk terbaik butik Ayya.”

Aku tersenyum dan mengiyakan, lalu mengajak dua orang teman Mama ke etalase yang berisi gamis-gamis rancanganku. Walaupun sebenarnya aku heran, karena kedua teman Mama ini berpenampilan seksi tapi malah mencari gamis ke butik ini.

“Mami nunggu Bella dulu deh, paling juga bentar lagi datang. Mami bingung kalau disuruh milih gamis, soalnya Mami nggak biasa memakai gamis.” Salah seorang teman Mama yang diperkenalkannya sebagai Mami Jeni tadi berucap padaku.

Aku pun tersenyum dan mengiyakan keinginannya untuk menunggu seseorang seperti ucapannya tadi. Tapi tunggu, apa katanya tadi? Menunggu Bella? Apa yang dimaksud wanita sosialita itu Bella mantan tunangan Mas Adam? Menurut cerita dari ibu mertuaku, Mas Adam dulu pernah punya hubungan dengan kekasihnnya yang bernama Bella. Mereka bahkan telah bertunangan namun Bella memilih memutuskan sepihak hubungan mereka ketika gadis itu memperoleh tawaran untuk menjalani profesinya sebagai model di luar negeri. Keputusan yang akhirnya membuat Mas Adam waktu itu terpuruk dan patah hati, hingga kemudian beberapa bulan setelah itu Pak Lukman menjodohkannya denganku. Itulah yang membuat Mas Adam waktu itu langsung menerima keputusan Pak Lukman mengenai perjodohan kami meski ia sama sekali belum mengenalku, semata-mata untuk menghilangkan bayangan Bella dari hidupnya. Menurut Mama, Bella sendiri setelah itu langsung terbang ke Australia dan menjalani karirnya sebagai model di sana. Aku meneguk liurku kasar. Jika benar Bella yang dimaksud oleh Mami Jeni tadi adalah Bella mantan tunangan Mas Adam, harus bagaimana sikapku menghadapinya? Apakah ia tau jika pemilik butik ini adalah istri dari mantan tunangannya?

Aku masih berkutat dengan pertanyaan seputar Bella ketika pintu depan butik dibuka dari luar. Lalu seorang gadis bertubuh tinggi semampai dengan rambut pirang sebahu memasuki butik. Aku terpesona oleh penampilan gadis itu, tanpa perlu bertanya lagi, aku sudah yakin jika gadis yang kini sedang terseyum ramah itu adalah Bella, mantan tunangan Mas Adam. Tiba-tiba saja aku merasa kerdil di hadapannya.

Dengan berusaha menghilangkan rasa gugup, aku menyambut dan menyapanya. Baru kali ini aku menyesali kenapa Mama Indah datang di jam istrirahat seperti ini sehingga hanya aku sendirian yang menghadapi pelanggan kelas atas ini. Rasa gugupku seketika menguap ketika gadis cantik itu menyapaku dengan ramah, bahkan ketika aku masih terpaku mengagumi kecantikannya.

“Hai, dengan Cahaya, ya. Kenali aku Bella,” ucapnya tersenyum sambil mengulurkan tangannya.

“Oh, hai Bella. Iya saya Cahaya. Terima kasih ya sudah mampir ke butik sederhana ini,” sambutku.

“Boleh lihat koleksi gamisnya?” tanya gadis cantik itu setelah kami saling bersalaman. Aku pun mengantarnya ke etalase gamis koleksi butikku.

“Aku panggil Aya aja nggak apa-apa, ya. Sepertinya kita juga seumuran kok,” Bella kembali berucap dengan ramahnya.

Lalu kemudian gadis itu menceritakan jika ia dan ibunya sedang mencari gamis untuk menghadiri resepsi pernikahan salah satu kerabat mereka yang kebetulan menikah dengan salah satu anak dari pemilik pesantren.

“Aku dan Mami jarang memakai pakaian muslimah, Ay. Makanya Mamiku pusing banget milih bajunya. Kamu lihat sendiri kan gimana penampilan Mami.” Gadis itu menjelaskan sambil melirik Mami Jeni yang masih membuka-buka katalog butik.

Aku hanya tersenyum lalu kemudian menemaninya memilih gamis sambil menjelaskan beberapa hal padanya. Hingga akhirnya gadis itu menjatuhkan pilihan pada gamis berwarna peach untuknya dan gamis berwarna abu-abu untuk maminya.

“Ini rancangan Aya semua? Wah, Mas Adam pasti bangga deh punya istri kreatif seperti kamu,” ucapnya ketika mengetahui jika gamis-gamis yang dipilihnya tadi adalah rancanganku.

“Ah, nggak juga, Bel. Hanya iseng kok. Ini juga masih rancangan sederhana,” jawabku tersenyum.

“Oiya, Mas Adam apa kabar, Aya?”

Gadis itu tiba-tiba saja menatapku serius. Aku baru hendak menjawabnya ketika tiba-tiba saja ponselku berdering. Keningku bertaut ketika melihat siapa yang menelpon.

“Mas Adam?” gumamku lirih.

Ada apa ia menelponku? Hal yang sangat jarang bahkan hampir tak pernah dilakukannya. Mas adam memang sangat jarang menghubungiku jika sedang bekerja atau sedang di luar rumah. Jangan berharap pria itu akan berbasa-basi menanyakan hal-hal sepele seperti apa aku sudah makan atau belum seperti yang pasangan-pasangan lainnya lakukan.

“Kok melamun, Aya. Teleponya nggak dijawab?” Suara Bella mengejutkanku.

“Eh, iya. Maaf ya, Bel. Aku jawab telpon dulu,” ucapku sambil berjalan menjauhi Bella. Gadis itu mengangguk sambil tersenyum, aku menangkap ada tatapan sendu di balik senyumnya.

“Ay, Bella tadi ke butikmu?” Tanpa mengucapkan salam apapun, Mas Adam langsung bertanya dengan nada panik di telepon.

“Kamu apa-apaan sih, Mas. Nggak salam nggak nyapa langsung main serobot aja nanya,” jawabku sedikit dongkol.

“Aku nggak punya waktu basa-basi, Ay. Cepat jawab, Bella masih di situ apa sudah pulang?”

“Masih. Kenapa emangnya? Mas kok sepanik itu?”

“Dengar ya, Ay. Kamu nggak usah bahas apa pun dengan Bella selain masalah butik. Jangan jawab pertanyaan apa pun darinya. Apalagi jika dia menanyakan tentangku.”

“Emang kenapa, Mas? Bella cuma nanyain kabar kamu kok? Jadi aku nggak boleh jawab?”

“Ah, pokoknya jangan ngomong yang nggak-nggak. Jangan bikin aku malu di hadapannya dengan jawaban-jawaban murahanmu! Kamu nggak selevel dengan dia, Ay.”

Klik. Aku memilih mengakhiri telpon. Kesal sekali rasanya mendengar kalimat Mas Adam. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja menelpon hanya untuk membandingkan aku dengan mantan tunangannya. Ponseku kembali berdering, kali ini Mas Adam mengirim pesan di applikasi hijau.

[Kamu jadi istri bener-bener nggak punya sopan santun ya. Suami lagi ngomong, telponnya diputus. Awas saja kalau kamu malu-maluin aku di depan Bella. Dia bukan tandinganmu.] Isi pesan dari Mas Adam.

Aku berdecak kesal.

“Adam bilang apa, Nak? Maaf tadi Mama yang ngabarin kalau Bella sedang ada di butikmu.” Suara ibu mertuaku mengejutkanku.

“Nggak apa-apa, Ma. Tadi Mas Adam cuma memastikan aja.”

“Ay.”

“Iya, Ma.”

“Mama dengar percakapan kalian tadi. Omongan suamimu jangan diambil hati ya, Nak. Mungkin Adam lagi gugup karena ini pertama kalinya Bella kembali ke Indonesia setelah hubungan mereka berakhir. Aya tau kan kalau Bella adalah mantan tunangan Adam.”

Mama menatapku, ada sebersit rasa iba terlihat di matanya. Mungkin mama tadi mendengar obrolanku dengan Mas Adam karena Mas Adam memang setengah teriak di telpon tadi.

“Iya, Ma. Aya tau. Aya nggak apa-apa, Ma.”

Mama tersenyum, lalu menepuk pundakku.

“Siapa pun Bella di masa lalu Adam. Cahaya tetaplah menantu terbaik bagi Papa dan Mama, juga istri terbaik bagi Adam. Jangan pernah merasa minder ya, Nak.”

Aku mengangguk. Inilah yang membuatku bisa bertahan sejauh ini menjalani rumah tanggaku dengan Mas Adam. Kasih sayang kedua mertuaku, terutama mama selalu membuatku tersentuh. Harapan-harapan baik yang selalu mereka ucapkan pada hubungan kami sanggup menutup semua sakit yang kurasakan.

Ketika mama dan teman-temannya berpamitan, Bella masih meminta waktu sebentar pada Maminya untuk mengobrol denganku.

“Aya, apa kamu tau siapa aku?” tanya gadis berambut pirang itu saat tinggal aku dan dia di dalam butikku.

“Aku tau, Bel. Kamu mantan tunangan suamiku.”

Ia tersenyum, aku menangkap ada kegetiran di balik senyumnya.

“Aku tau mungkin tak seharusnya aku mengatakan ini padamu. Tapi, aku bingung harus mengatakannya pada siapa. Mas Adam sudah memblokir nomor ponselku dan tak mau menerima telpon dariku sejak aku pergi meninggalkannya.”

Aku menautkan alisku, menerka-nerka apa yang ingin dikatakan oleh gadis ini.

“Aku ... aku menyesal telah memutuskan hubungan dengan Mas Adam, Aya. Tapi semua kembali lagi pada takdir, mungkin kami memang tak berjodoh, sehingga dengan mudahnya aku memutuskan untuk meninggalkannya pada saat itu dan milih karirku.” Mata gadis itu terlihat berembun .

Aku terdiam sambil menelan salivaku.

“Maafkan aku harus mengatakan ini padamu. Aku janji tidak akan mengganggu hubungan kalian, tapi bolehkah aku bertemu Mas Adam sekali saja, Aya? Ada yang ingin kusampaikan padanya.”

“Mengapa bertanya padaku? Mengapa tak bertanya langsung pada Mas Adam?”

“Dia menutup komunikasi denganku, Aya. Mungkin Mas Adam tak mau keharmonisan hubungan kalian terganggu olehku. Aku tau kalian lagi sedang bahagia-bahagianya, Mama Indah sering bercerita padaku tentang kalian.”

Aku tersenyum penuh ironi. Harmonis? Bahagia? Itukah penilaian kalian tentang hubungan kami?

“Maukah kamu membantuku, Aya. Sekali ini saja, izinkan aku bertemu dengan Mas Adam. Jika kamu mengizinkan aku hanya akan bertamu ke rumah kalian.”

Aku menatap Bella. Gadis itu pun menatapku. Kurasa tak ada salahnya aku mengabulkan keinginan gadis ini. Aku ingin melihat bagaimana reaksi Mas Adam ketika kedatangan tamu mantan tunangannya yang katanya tadi tak selevel denganku. Aku juga ingin melihat bagaimana sebenarnya pria itu berkomunikasi dengan gadis cantik ini. Apakah ia akan sekasar ketika berkomunikasi denganku? Atau justru ia akan memperlihatkan reaksi yang sebaliknya?

“Baiklah. Aku kan mencari waktu mengundangmu ke rumah kami,” ucapku.

BAB 6. PEMILIK TWIN HOUSE

Kuperintahkan pada Iin, karyawan butik yang lebih dulu kembali ke butik setelah jam istirahat untuk merapikan kembali beberapa koleksi butik yang masih tergeletak di sofa setelah dipilah pilih oleh Bella dan maminya tadi. Aku sendiri, entah mengapa ingin segera pulang setelah dongkol dengan isi percakapanku dengan Mas Adam tadi dan juga masih berpikir kenapa Bella memintaku untuk mempertemukannya dengan Mas Adam.

“In, aku pulang duluan, ya,” pamitku pada karyawanku.

“Tumben, Mbak. Biasanya juga betah berlama-lama di butik.”

“Aku lagi pusing, In. Rasanya pengen refreshing.”

“Mbak Aya udah makan?”

Ah, iya. Aku sampai lupa kalau aku belum makan siang. Kedatangan mama dan temannya tadi membuatku melewatkan jam makan siangku. Akhirnya aku meminta Iin menemaniku mencari cemilan pengganti makan siangku.

“Kamu ada rekomendasi kafe yang asik nggak In. Yang bisa untuk tempat nongkrong sekaligus pesan cemilan untuk ngisi perut,” tanyaku setelah beberapa saat melajukan mobilku di jalan raya.

“Hmm ... di dekat sini ada sih, Mbak. Aku dan teman-teman sering mampir kalau pulang dari butik. Namanya Twin House, kafenya unik, Mbak. Ada dua bangunan yang sama, tapi fungsinya berbeda. Salah satu bangunannya khusus menyajikan menu kopi yang tentu saja pelanggannya kebayakan orang dewasa, terus bangunan satunya lagi yang letaknya bersebelahan khusus untuk anak-anak. di dalamnya banyak wahana bermain anak, dan menyajikan menu khas anak seperti strawberry smoothie minuman favoritku.”

“Oiya? Aku baru tau ada kafe seperti itu, In. Sepertinya menarik.”

“Ada satu lagi, Mbak. Di antara dua bangunan itu ada gazebo outdoor nya. Nah di situ asik banget, Mbak. Kita bisa liat serunya anak-anak bermain, tapi juga bisa merasakan asiknya para orang tua mereka nongkrong di coffeshop sebelahnya. Pokoknya asik deh Mbak tempatnya. Makanan ringannya juga enak-enak.”

“Ya udah, kita ke situ ya. Kafe apa namanya tadi?”

“Twin House, Mbak. Mungkin pemiliknya punya anak kembar, atau mungkin karena kafenya terdiri dari dua bangunan yang kembar makanya namanya twin kafe. Nanti Mbak Aya belok kiri di ujung jalan ini, kafenya ada di sebelah kiri jalan raya.” Iin menjelaskan arah.

“Pemilik kafenya ganteng banget loh, Mbak. Cuma jarang sekali datang ke sana.”

Aku melirik karyawanku itu. “Oh, jadi kamu ke sana karena ingin ketemu pemiliknya?”

“Nggak lah, Mbak. Memang kafenya asik banget kok. Tapi kalau pas ketemu ownernya sih serasa dapat jackpot, Mbak. Kali aja masih single dan lagi nyari jodoh kan?” Gadis itu tertawa, aku pun turut tertawa.

Iin masih terus mengoceh dengan cerita-ceritanya hingga akhirnya kami tiba di kafe yang dimaksudnya. Ternyata benar apa yang diceritakan Iin tadi, dengan cekatan Iin turun dan membawaku ke area gazebo sambil menjelaskan beberapa hal seolah-olah ia adalah pemilik kafe ini.

“Kamu kok hapal banget, In?”

“Saya kalau sumpek pasti ke sini, Mbak. Coba deh Mbak Aya rasakan asiknya, pasti ntar bakal jadi tempat nongkrong favorit juga. Apalagi kalau udah ketemu ownernya.” Ia kembali terkekeh.

Ternyata benar apa yang dikatakan Iin tadi, Twin House ini benar-benar asik. Suasana gazebonya sangat syahdu, dari gazebo juga kita bisa melihat tingkah lucu anak-anak yang sedang bermain di bangunan sebelah kiri yang dicat warna-warni dan dilengkapi dengan fasilitas bermain. Lalu di bagunan sebelah kanan gazebo yang bentuknya sama, kita bisa melihat kafe yang dipenuhi orang-orang dewasa. Kafe sebelah kanan juga tak kalah menariknya karena didekorasi ala-ala coboy. Sementara pilihan duduk di gazebo benar-benar pilihan yang tepat untuk menikmati pemandangan kedua sudut bangunan yang berbeda tema itu.

Kuseruput strawberry smoothie yang direkomendasikan Iin, lalu memesan beberapa cemilan ringan untuk mengisi perut sambil memandangi beberapa anak yang terlihat bermain dengan riang di bangunan sebelah kiri.

“Cahaya!”

Aku menoleh ketika mendengar namaku dipanggil oleh seseorang. Wanita cantik yang menggandeng tangan seorang gadis kecil terlihat menghampiriku dari arah bangunan sebelah kiri.

“Hai. Imelda? Kamu Imelda kan?”

Aku masih ingat dengan wajah cantik ini. Dia Imelda, salah satu teman kuliahku dulu. Gadis yang paling modis dan feminim di kampus. Kulitnya putih mulus bak pualam dan bodinya nyaris membuat semua wanita iri padanya.

“Ya ampun, Cahaya. Udah lama banget ya kita nggak ketemu, kamu abis keluar dari kampus langsung menghilang seolah ditelan bumi tau nggak.”

“Iya, Mel. Aku kan waktu itu langsung kerja.” Aku tersenyum getir.

Imelda dan si gadis kecil pun bergabung denganku dan Iin di gazebo.

“Ini anak kamu? Lucu banget sih,” lanjutku bertanya sambil mencolek pipi gadis kecil yang digandengnya.

“Ihh, bukan, Ay. Ini kepokanan aku. Aku masih single, belum menikah.”

“Duh, maaf ya, Mel,” sesalku ketika melihat Imelda cemberut.

“Nggak apa-apa, Aya. Ini juga kemari karena lagi usaha dapetin jodoh. Sekalian nih bawa keponakan aku jadi alasan kemari.” Gadis bertubuh indah itu terkekeh.

“Nyari jodoh kok ke sini, Mel?” Aku sama sekali tak mengerti maksud pembicaraan Imelda, sementara Iin hanya menyimak pembicaraan kami.

“Ya siapa tau kan dilirik ama pemilik Twin House, Ay.” Ia kembali terkekeh.

Lagi-lagi yang dibahas pemilik Twin House, tadi Iin dan sekarang Imelda. Aku jadi penasaran siapa dan seperti apa pemilik Twin House ini sampai jadi pembahasan dua orang di hadapanku ini.

“Aku jadi penasaran siapa sih pemilik kafe ini? Tadi Iin juga bahas si pemilik Twin, dan sekarang kamu Mel,” gumamku tanpa sadar.

Namun Imelda yang mendengar gumamanku justru memandang heran padaku.

“Kamu nggak tau siapa owner Twin House, Aya?”

Aku hanya mengangkat bahuku ketika Imelda bertanya dengan ekspresi heran.

“Ah, jadi kamu hanya kebetulan nongkrong di sini? Aku pikir tadinya kamu emang udah sering ke sini dan tau siapa pemilik Twin ini.”

“Emang siapa sih?” Kali ini aku benar-benar penasaran.

“Cahaya ... Imelda ... ini beneran kalian? kalian lagi reuni?” Suara berat itu tiba-tiba saja menyapa kami dari arah belakang.

Aku dan Imelda spontan menoleh, masih sempat kutangkap ekspresi melongo Iin yang duduk di hadapanku sebelum aku menoleh ke arah suara.

“Ivan!” pekikku tertahan, sementara Imelda justru sudah lebih dulu menyebut namanya dengan lantang.

Otakku segera berputar, menghubungkan semua isi percakapanku dengan Iin dan Imelda tadi. Hingga aku bisa langsung menyimpulkan siapa owner Twin House yang diidolakan oleh kedua gadis yang sedang duduk bersamaku di gazebo ini. Ya, pastilah Ivan pemilik Twin House ini. Bukankah kata Mas Adam, temannya itu punya beberapa coffeeshop? Mungkin Twin House ini adalah salah satu coffeeshop miliknya.

“Hei, Aya! Kok malah ngelamun sih. Ini nih owner nya Twin. Kamu masih ingat Ivan kan?” Imelda menepuk pundakku.

“I-iya, Mel,” jawabku gugup.

Bukan tanpa sebab aku gugup, sejak menoleh ke arah suara tadi, Ivan tak pernah melepaskan tatapan tajamnya dariku. Ingatanku kembali melayang pada kejadian di depan pintu toilet coffeeshopnya tempo hari.

“Kamu beneran nggak apa-apa, Aya? Apa kamu sering diperlakukan seperti ini?”

Pertanyaan yang masih sering terngiang di telingaku, sementara si pemilik tatapan tajam bak mata elang itu kini sudah duduk bergabung dengan kami di gazebo.

“Tumben kunjungan ke Twin, Van?” Suara Imelda manja, berbeda dengan intonasinya saat mengobrol denganku tadi.

“Iya, kebetulan lewat sini jadi sekalian mampir. Tadi aku liat cctv terus nggak sengaja liat kalian, awalnya sih aku ragu makanya samperin kalian di sini.” Ivan menjawab, masih sambil menatapku.

“Kamu sering ke sini, Ay?” tanyanya lagi.

Aku menggeleng.

“Baru kali ini. Ini juga direkomendasiin sama teman aku nih.” Aku menunjuk Iin, sementara Iin masih terpaku, kurasa gadis itu sedang terpesona atau mungkin dia terkejut karena ternyata aku mengenal si pemilik Twin House yang dari tadi dipuja-pujinya.

Ivan pun mengajak kami mengobrol santai dengan menceritakan tentang konsep coffeeshop miliknya ini yang sedikit berbeda dengan coffeeshopnya yang lain.

“Aku suka anak-anak. Makanya aku bikin salah satu sudut Twin House ini untuk tempat bermain anak, sekaligus menyediakan menu khusus anak, sedangkan orang tuanya bisa nongkrong di sebelah sana dan tak khawatir dengan anak-anak mereka, sebab kami juga menempatkan beberapa karyawan untuk mengawasi kids corner,” ucap pria itu, kali ini sambil tersenyum menatap beberapa anak-anak yang berlarian di bangunan sebelah kiri.

“Wah, kalau suka anak-anak artinya sudah waktunya kamu juga berpikir untuk menikah dan punya anak, Van.” Suara Imelda, masih dengan nada manja.

Ivan terkekeh.

“Emang kamu belum kepikiran untuk menikah?” Kali ini nada bica Imelda serius.

Lagi-lagi pria itu hanya tertawa, tak menjawab pertanyaan Imelda. Padahal kali ini aku pun penasaran dengan jawabannya. Mengapa pria semapan Ivan memilih belum menikah? Pasti banyak sekali gadis cantik yang antre untuk menjadi kekasih dari pria tampan dan sukses ini. Eh, tunggu dulu. Tampan? Apa aku sedang mengakui ketampanan pria yang hobi meracik minuman kopi ini? Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Namun senyumku segera pudar saat aku menyadari pandangan penuh tanya Ivan padaku.

“Duh itu sepertinya Clara nangis deh, aku ke sana sebentar ya.” Imelda berdiri ketika melihat keponakannya yang sudah kembali bermain di arena bermain menangis.

Hening. Karena sedari tadi obrolan kami memang didominasi oleh Imelda.

Lalu tiba-tiba saja Iin juga berdiri dan pamit ke toilet sambil berbisik padaku. Aku mengangguk, meski sebenarnya ingin menahan Iin untuk tidak kemana-mana.

Sempurna sudah rasa gugupku, padahal aku sendiri tak mengerti mengapa harus merasa gugup di hadapan pria ini. Kini hanya tinggal aku dan Ivan di gazebo ini. Hening pun makin menguasai, beruntung suara anak-anak yang sedang bermain di kids corner membuat suasana tidak terlalu kaku. Namun aku masih tetap merasa grogi saat menyadari jika pria pemilik Twin itu sedang menatapku.

BAB 7. MUNGKIN AKU AKAN LEBIH BAIK TANPAMU

“Cahaya Kirana.” Aku yang memilih menunduk dan pura-pura sibuk dengan ponselku setelah Iin pamit ke toilet tadi menengadahkan wajah mendengar pria di hadapanku itu menyebut nama lengkapku.

“Kamu ingat nama lengkapku?” tanyaku, sebab aku tak menyangka pria itu masih mengingat nama lengkapku setelah beberapa tahun tak bertemu.

“Ingatlah, Ay. Aku hafal nama itu, nggak akan pernah hilang dari ingatanku. Bukankah sudah kubilang aku adalah salah satu pengagummu dulu, bagaimana aku bisa melupakan nama gadis yang membuatku tiba-tiba saja bertindak bodoh dengan mengirimkan sebatang coklat dan setangkai bunga padanya.”

Aku tersenyum, kembali teringat kejadian itu. Suasana menjadi lebih santai, aku tak lagi merasa segugup tadi.

“Maaf ya, dulu gara-gara aku, kamu jadi dibully habis-habisan.”

“Dibully gara-gara coklat itu bukan siksaan bagiku, Ay. Justru yang membuatku merasa tersiksa dan tak punya semangat adalah ketika kamu tiba-tiba saja berhenti kuliah dan menghilang dari kampus. Membuat kampus seolah terasa sunyi bagiku, tak ada semangat untuk datang ke kampus seperti biasanya. Aku bahkan harus mengulangi beberapa mata kuliah gara-gara nilaiku jelek semua.”

“Loh, kenapa gitu, Van. Aku kan bukan siapa-siapa.”

“Tapi bagiku kamu siapa-siapa, Aya. Meskipun waktu itu kamu mungkin tak pernah peduli padaku, tapi cukup dengan kehadiranmu, cukup dengan memandangimu dari jauh meski kamu selalu berduaan dengan si ketua BEM, itu sudah cukup menjadi semangat bagiku untuk datang ke kampus.”

Aku hanya menatapnya tanpa menjawab. Lalu mencoba menggali kenangan beberapa tahun silam ketika kami masih berstatus mahasiswa. Namun sosok Ivan benar-benar tak ada muncul dalam ingatanku selain insiden coklat dan setangkai bunga yang membuatnya dibully itu.

“Dan kini, setelah bertemu denganmu lagi, aku tak menyangka harus kembali merasakan hal yang sama seperti dulu lagi.”

“Maksud kamu?”

“Aku hanya bisa memandangimu, Aya. Karena kamu justru sudah menjadi milik sah temanku sendiri. Padahal, bertemu kembali denganmu di kafeku waktu itu kembali memantik semangat baru dalam diriku. Bolehkah aku kembali menyesali keterlambatanku.”

“Kamu kenapa bicara seperti itu, Van? Seolah-olah kita pernah punya hubungan, padahal aku sama sekali tak ingat apapun selain insiden coklat itu.”

“Jangan tanya kenapa, Aya. Aku juga tak mengerti. Meskipun kamu tak pernah menganggapku ada, meskipun kamu tak pernah mengingatku, tapi aku benar-benar mengalami hal yang kukatakan tadi. Aku terpuruk saat kamu tiba-tiba menghilang dari kampus, lalu aku kembali merasakan hal yang sama ketika melihatmu menggandeng tangan Adam waktu itu.”

Pria itu menatapku, kali ini aku membalas tatapan tajamnya. Sejujurnya aku tersanjung oleh semua yang dikatakannya. Bagaimana mungkin seorang pengusaha sukses yang penampilannya sekeren itu, yang diidolakan oleh Iin bahkan si perfect Imelda bisa berkata seperti itu padaku. Padahal aku seorang wanita yang biasa-biasa saja, bahkan sangat kurang dalam segala hal menurut suamiku sendiri. Namun kata-kata Ivan tadi berhasil membuat rasa percaya diriku yang sudah tenggelam lama di dasar hatiku, tiba-tiba saja menyeruak, menghadirkan perasaan senang dan bahagia ketika ada seseorang yang memujiku seperti itu.

Selama ini, kata-kata hinaan dan hardikan kasar dari Mas Adam telah berhasil mengubur semua rasa percaya diriku. Namun pria di hadapanku ini berhasil membuat rasa bahagia atau entah apa namanya tiba-tiba muncul ke permukaan. Hingga tanpa sadar menciptakan senyum di wajahku.

“Aku senang bisa melihatmu tersenyum seperti ini, Aya.”

Aku buru-buru menetralkan kembali senyumku. Pria itu tak memalingkan pandangannya sedetik pun dariku.

“Aku tau ada yang aneh dari hubunganmu dengan Adam. Caranya melepaskan tanganmu, caranya memperlakukanmu, caranya berbicara padamu, hanya dengan melihatnya sepintas aku tau kamu sedang tak baik-baik saja, Aya.”

“Aku tidak ....”

“Tapi aku tidak akan lancang menanyakan apa pun padamu, meskipun aku sangat ingin.” Ia memotong kalimatku.

Hening sesaat.

“Aya, aku tak tau apa yang membuatmu menikah dengan Adam, tapi aku merasa ia tak menghargaimu. Dan itu membuatku sakit.”

“Jangan hanya menduga-duga, Van. Aku dan Adam baik-baik saja. Kami juga bahagia dengan rumah tangga kami. Jangan karena insiden kecil di coffeeshop mu waktu itu, kamu langsung mengambil kesimpulan jika hubungan kami tidak berjalan dengan baik. Kamu salah, aku dan Mas Adam tak ada masalah apa pun. Dan kami bahagia.” Aku menekankan kalimat terakhirku.

“Syukurlah kalau begitu, Aya. Aku juga berharap demikian. Adam sahabat baikku, dan kamu adalah sosok yang pernah kuinginkan. Jika kalian berdua bahagia, tentu aku adalah orang yang turut berbahagia.”

“Terima kasih, Van. Sekali lagi kutekankan, kesalahpahaman kecil yang terjadi di coffeeshop mu tempo hari bukanlah gambaran kehidupanku dengan Mas Adam, jadi jangan menduga hal yang tidak-tidak mengenai hubungan kami.”

Pria itu mengangguk, mengiyakan ucapanku. Tapi, tatapannya tak menunjukkan jika ia setuju dengan apa yang baru saja kukatakan. Aku bisa membaca itu dari matanya.

Lalu suasana gazebo kembali ramai saat Imelda kembali bergabung setelah menenangkan keponakannya yang tadi menangis. Iin pun sudah kembali bergabung dengan kami. Obrolan kembali dikuasai oleh suara manja Imelda yang hanya ditujukannya pada Ivan, seolah hanya mereka berdua yang ada di gazebo, tanpa aku dan Iin.

***

Alisku bertaut ketika melihat mobil Mas Adam sudah terparkir rapi di garasi rumah. Kulirik jam di pegerlangan tanganku, ini belum jam pulang kerja Mas Adam. Tak biasanya dia pulang lebih cepat dari jadwal, biasanya pria itu malah lebih sering lembur di kantornya ketimbang pulang ke rumah tepat waktu.

Assalamualaikum,” sapaku membuka pintu.

“Kamu dari mana saja, Aya! Aku telpon ke butik kata karyawanmu kamu udah pulang dari tadi, telpon ke ponselmu malah nggak aktif. Kamu sengaja menghindariku?”

Mas Adam sedang duduk di sofa dengan menyilangkan kakinya. Kurasa ia memang sudah menungguku.

“Ponselku kehabisan baterai, Mas.”

“Terus tadi ke mana aja nggak langsung pulang?”

“Mas Adam kenapa sih? Tumben banget nunggu aku pulang.”

“Ck! Kamu ini ditanya malah balik nanya. Tadi Bella ngapain ke butikmu? Dia nanya apa aja? Kamu nggak mempermalukanmu di depannya, kan?”

Aku kembali teringat percakapannya di telpon tadi.

“Oh, jadi cuma gara-gara mantan tunanganmu ke butik tadi jadi Mas Adam sampai pulang lebih awal. Kenapa nggak langsung ke butik aja tadi biar ketemu mantan,” tantangku.

“Kamu jangan macam-macam ya, Aya!”

“Macam-macam gimana maksudmu?”

“Aku nggak mau Bella kasihan padaku. Aku nggak mau dia menertawakanku.”

Aku mengerutkan kening, tak mengerti apa maksud dari pria ini.

“Dia pasti menertawakanku jika tau aku hanya menikah denganmu, kamu tak sebanding dengannya.”

Aku meringis, ada yang nyeri di dalam hati ini. Oh, rupanya Mas Adam takut Bella menertawakannya karena hanya menikahi wanita biasa sepertiku setelah hubungannya dengan Bella berakhir. Hanya karena itu dia sampai pulang lebih awal dari biasanya. Lagi-lagi, karena kesederhanaanku membuat suamiku ini merasa hidupnya tak nyaman. Sebegitu mengganggunya kah kehadiranku dalam hidupnya?

“Tenang saja, Mas. Aku tak mengatakan apa pun pada Bella, dia juga tak bertanya apapun padaku. Jangan khawatir, aku tidak akan mempermalukanmu di depannya. Tapi, bolehkah aku bertanya satu hal? Apa Mas Adam masih mengharapkannya sehingga Mas Adam menjadi sepanik ini saat ia kembali?”

“Ngomong apa kamu, Ay! Dia sudah mencampakkanku. Apa kamu pikir aku tak punya harga diri masih mengharapkannya?”

“Lalu kenapa kamu sepanik ini?”

“Karena aku belum membalaskan sakit hatiku padanya.”

Aku terdiam. Sungguh aku tak mengerti apa yang ada di dalam pikiran pria itu. Tapi aku juga tak mau mencari tau lebih banyak lagi. Aku justru sedang berpikir bagaimana caranya aku menepati janjiku pada Bella untuk mempertemukannya dengan Mas Adam.

“Kamu siap-siap, hari ini kita ke rumah ibu. Mumpung aku punya waktu luang.”

Ke rumah ibu? Dia mengajakku ke rumah ibuku? Ini satu-satunya hal dari Mas Adam yang membuatku selalu tunduk dan menerima semua perlakuannya. Pria itu sangat menghormati ibuku dan juga sangat perhatian pada adik-adikku.

“Benarkah, Mas? Kita ke rumah ibu?” Aku berseru girang.

“Iya. Buruan biar nggak kemalaman pulangnya.”

“Terima kasih, Mas.” Aku mencium pipinya sekilas.

“Oiya, Mas belum jawab salam tadi,” ucapku sambil berlalu.

“Walaikumsalam,” jawabnya kaku.

🌸🌸🌸

Tepat masuk waktu salat asar, aku dan Mas Adam tiba di rumah ibu. Ibu dan ketiga adikku menyambut kami dengan rona bahagia. Mas Adam, suami yang di depanku hampir tak pernah berbicara dengan lemah lembut selalu berubah 180 derajat ketika berhadapan dengan ibu. Dia mencium punggung tangan ibuku dengan takzim, lalu menyapa Cintya, Candra, dan Cindar dengan ramah. Ketiga adikku, terutama si kembar Candra dan Cindar yang saat ini sudah duduk di bangku SMU terlihat sangat akrab dengan Mas Adam. Sedangkan Cintya adik nomor duaku yang baru masuk bangku kuliah tahun ini terlihat lebih kalem.

“Motor baru, Dek?” tanyaku saat melihat Candra memarkirkan motornya di samping mobil Mas Adam. Lelaki tanggung itu baru saja kembali dari mesjid.

"Udah sebulan, Kak."

“Beli kredit? Nyicilnya gimana? Kan kasihan ibu, Dek.”

“Beli cash, Kak.”

“Duit dari mana, Dek? Kamu nggak maksa ibu, kan?” Aku setengah berbisik pada remaja itu.

“Nggaklah, Kak. Kan Mas Adam yang beliin.”

“Mas Adam?” Aku spontan menoleh pada Mas Adam, sedangkan pria itu hanya melirikku dengan sudut matanya.

Mas Adam memang sering seperti ini, memberikan sesuatu pada adik-adikku tanpa sepengetahuanku. Bahkan menurut ibuku, pria itu tiap bulan mengirimkan sejumlah uang untuk keperluan sekolah adik-adikku, sekali lagi tanpa sepengetahuanku. Aku hanya tau dari ibu. Menurut ibu, beliau pun sering memprotes pada Mas Adam untuk tidak terlalu memanjakan adik-adikku.

“Bu, Candra minta Mas Adam beliin motor?” Aku memilih bertanya pada ibu saat membantu beliau di dapur.

“Nggak, Nak. Kami semua juga nggak tau kalau suamimu beliin motor. Taunya pas orang dealernya ngantar motor itu dan bilang kalau yang beli atas nama suamimu. Sepertinya Nak Adam melihat motor butut ayahmu yang mogok saat Candra mengantar ibu ke pasar waktu terakhir kali kalian kemari.”

Aku menghela napas. Terharu. Hanya itu yang bisa kurasakan. Mas Adam, meski selaku menyakitiku dengan verbalnya, namun ia begitu perhatian pada keluargaku. Maka tak pernah kukeluhkan semua rasa sakit yang kuterima selama berumah tangga dengannya pada ibuku, karena aku tau bagi ibu dan ketiga adikku, Mas Adam adalah suami yang baik dan rumah tangga kami pun terlihat bahagia di mata mereka.

Saat berpamitan pulang pun, Mas Adam terlihat menasihati adik-adikku dengan bijaknya, kemudian mencium punggung tangan ibuku dengan takzimnya. Momen ini selalu saja membuatku terpana. Bagaimana mungkin pria yang hampir tiap ucapannya selalu meyakitiku itu bersikap sedemikan sempurnanya di depan keluargaku?

🌸🌸🌸

“Mas.” Aku memecah keheningan dalam mobil saat kami sedang dalam perjalanan pulang dari rumah ibu.

“Hm.”

“Kenapa beliin Candra motor?”

Ia melirikku.

“Kenapa bertanya bukannya berterima kasih.”

“Bukan tak berterima kasih, Mas. Aku hanya tak mau adik-adikku terlalu bergantung padamu.”

“Emangnya kenapa?”

Aku menghela nafas.

“Mereka akan berpikir hubungan kita baik-baik saja, Mas.”

“Memangnya ada apa dengan hubungan kita. Apa aku kurang memberimu nafkah?”

“Ck! Bukan begitu, Mas. Kurasa kamu tak mungkin tak menyadarinya. Komunikasi kita selalu seperti ini, tak ada keharmonisan sebagaimana suami istri pada umumnya.”

“Jadi hubungan seperti apa yang kamu inginkan, Aya? Kita bukan pasangan yang tengah kasmaran.”

“Setidaknya kita bisa berkomunikasi dengan baik, Mas. Bukan dengan saling menyakiti.”

“Jadi selama ini kamu merasa tersakiti? Kalau begitu kenapa masih bertahan denganku? Mungkin aku akan lebih baik jika tanpamu.”

Nyess! Sekali lagi ada rasa nyeri di dalam dada ini.

Mungkin aku akan lebih baik tanpamu?

Mengapa semudah itu kalimat menyakitkan keluar dari bibirnya.

“Bagaimana aku tidak bertahan jika kamu memperlakukan keluargaku seperti tadi. Siapa yang akan percaya jika aku mengatakan aku tak baik-baik saja?”

“Itulah bodohnya kamu, Aya! Untuk apa peduli dengan anggapan orang lain.”

“Karena aku manusia, Mas. Bukan robot! Jadi aku harus peduli dengan perasaan orang lain, terutama keluargaku.”

“Percuma ngomong denganmu, Ay. Isi kepalamu tak pernah sejalan denganku. Jadi mendingan kamu nggak usah protes.”

Aku memilih diam, tak melanjutkan berdebat lagi. Suara deringan ponselku membuatku mencari benda pipih itu dari dalam tasku.

[Aya, aku Imelda. Aku mau minta tolong boleh nggak?]

Pesan dari Imelda. Tunggu! Dari mana Imel tau nomoku? Padahal tadi di kafe kami tak saling bertukar nomor.

[Ada apa, Mel? Minta tolong apa?]

[Comblangin aku dengan Ivan dong, Ay.]

[Loh, kenapa aku, Mel? Aku nggak bakat jadi mak comblang.]

[Tolonglah, Ay. Aku bingung gimana cara dekatin dia. Aku udah usaha tapi dia tetap nggak peka.]

[Teru9s kalau sama aku emang dia bakal peka?]

[Kurasa iya. Soalnya dia mandangin kamu terus, Ay. Apa kamu nggak nyadar? Lagian dia dulu pernah suka ama kamu, kan? Kamu ingat nggak dia pernah dibully gara-gara ngasih kamu coklat? Tolonglah Ay bantu aku dekatin dia.]

[Ya udah, aku coba ya.]

[Makasih, Aya.]

[Oiya, tau nomorku dari mana? Tadi kan kita nggak tukaran nomor ponsel.]

[Dari Ivan.]

Hah? Dari Ivan? Dari mana pria itu tau nomoku?

[Kok Ivan tau nomorku, Mel?]

[Katanya sih minta ama suamimu.]

Aku spontan melirik Mas Adam yang sedang berkonsentrasi menyetir.

“Mas ngasih nomor ponselku ke Ivan?”

“Iya.”

“Kenapa nggak izin dulu, Mas?”

“Eh, kamu kayak orang penting aja, ya. Ngapain minta izin? Syukur-syukur pengusaha sibuk macam Ivan peduli mau minta nomor ponselmu. Itu juga cuma buat dimasukin grup alumni katanya. Nggak penting banget kan? Harusnya pengusaha sukses kalau minta nomor gitu buat ajak join kerjasama bisnis, bukan hanya buat urusan sepele grup alumni.”

Aku menautkan alis. Grup alumni? Tapi aku tak pernah merasa ada undangan masuk ke grup alumni, karena aku sendiri sudah menolak saat Ivan ingin meminta nomor ponselku untuk dimasukkan ke grup itu. Apa ini hanya alasannya pada Mas Adam untuk mendapatkan nomor ponselku?

BAB 8. MAAF

“Mas, aku bulan ini omzet butikku lumayan meningkat dari beberapa bulan terakhir. Boleh nggak aku undang karyawan butik dan beberapa pelanggan butik ke rumah kita. Sekedar makan-makan sebagai ucapan terima kasih.”

Aku menghempaskan tubuhku di sofa, di samping Mas Adam yang sedang duduk di depan tv. Namun pria itu sama sekali tak menonton tv, sedari tadi kuperhatikan ia hanya berkonsentrasi ke layar ponselnya sambil sesekali tersenyum sendiri.

“Kenapa harus ngundang ke rumah? Kenapa nggak rayain di butikmu aja?” jawabnya tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.

Aku mencari-cari alasan apa yang tepat untuk permintaanku ini. Karena sebenarnya ini hanya alasanku untuk menepati janjiku pada Bella mengundangnya ke rumah kami. Aku juga menggunakan omzet butik sebagai alasan, karena aku tak mau hanya membawa Bella seorang ke rumah ini untuk memenuhi keinginannya bertemu dengan Mas Adam. Aku tak ingin terjadi hal-hal yang tak kuinginkan dengan kedatangan Bella. Paling tidak, jika aku mengundang karyawan butik dan beberapa pelanggan bahkan mungkin juga ibu mertuaku, maka tak ada yang perlu kukhawatirkan dengan pertemuan mereka.

Otakku masih terus berpikir ketika kusadari Mas Adam sudah mengalihkan pandangannya dari ponselnya dan kini menatapku penuh tanya.

“Apa yang sedang kamu rencanakan, Aya?”

Duh, rupanya pria ini bisa menangkap jika aku sedang bingung mencari alasan.

“Ng-nggak, Mas. Aku hanya ingin memberikan apresiasi kepada karyawan butik dan beberapa pelanggan dengan mengundang mereka ke rumah kita.”

“Kamu tak pandai menyembunyikan sesuatu, Aya! Aku tau ada hal lain di balik itu,” Ia menoyor keningku pelan.

Kutelan salivaku dengan kasar.

“Kamu mau ngundang pelanggan butik? Apa itu termasuk Bella? Bukankah dia termasuk salah satu pelanggan butik murahanmu itu?”

Huhh! Kurasa saat ini wajahku sudah memerah. Bisa-bisanya ia menebaknya dengan sangat tepat.

“Kurasa iya. Kuperingatkan padamu, jangan pernah membawa Bella ke rumah ini, Aya! Aku memang masih punya urusan dengannya, tapi bukan sekarang. Aku akan menemuinya di waktu yang tepat dan membalaskan semua sakit hatiku padanya. Jadi jika kamu berpikir ingin mengundangnya ke rumah ini, batalkan semua rencanamu itu atau aku akan mengusirmu dari rumah ini!”

Dia menatapku dengan tatapan tajam. Kulihat ada kilatan amarah dan dendam dari tatapan tajamnya. Apakah ia semarah itu pada Bella? Apa ia masih menyimpan dendam pada gadis yang telah memutuskan hubungan pertunangan mereka karena lebih memilih karirnya itu? Aku sudah tak bisa lagi mengatakan apapun padanya karena pria itu sudah menebak dengan jitu maksud dari permintaanku tadi.

“Kamu itu bodoh, Aya. Mudah sekali membaca pikiranmu. Aku sudah menduga Bella akan memanfaatkan kebodohanmu. Bukankah sudah kubilang jangan mengatakan apapun padanya. Batalkan semua rencanamu itu! Jangan mengundang siapa pun ke rumah ini,” ucapnya tegas, lalu meninggalkanku sendirian di sofa.

Aku sendiri hanya menatap punggungnya setelah terkejut karena ia dapat dengan mudah menebak maksud dan tujuanku. Lalu buru-buru cari nomor kontak Bella di ponselku dan mengirim pesan padanya.

[Maaf, Bella. Aku tidak bisa menepati janjiku mengundangmu ke rumah kami.]

Centang dua abu-abu, Bella belum membaca pesanku.

🌷🌷🌷

“Besok aku ditugaskan ke Banjarmasin, Ay. Tolong siapkan pakaian dan perlengkapanku selama seminggu ke depan,” ucap Mas Adam saat aku sudah tidur dan sudah hampir masuk ke dalam dunia mimpi.

“Hmmm? Kenapa, Mas?” gumamku.

“Kamu budek, ya! Aku besok tugas ke Banjarmasin, siapin perlengkapanku untuk satu minggu ke depan!” Suaranya meninggi, membuat rasa kantukku hilang. Aku membalikkan tubuhku menatap pria yang masih berkutat dengan laptopnya itu.

“Kok baru ngomong sekarang, Mas? Baru dapat info?”

“Nggak. Surat Tugasnya udah kuterima dari kemarin tapi aku lupa bilang.”

Aku berdecak kesal.

“Kenapa berdecak, Ay? Nggak mau nyiapin? Terus gunanya kamu jadi istri apa?”

“Bukan gitu, Mas. Kenapa nggak ngomong dari tadi sih? Aku udah ngantuk gini,” jawabku, sambil menyibak selimut dan turun dari ranjang menuju ke arah lemari pakaian, lalu memilih-milih pakaian Mas Adam dan beberapa perlengkapan lainnya.

Mas Adam memang sering ditugaskan ke cabang-cabang perusahaan. Hampir setiap bulan ia melakukan perjalanan tugas entah itu ke daerah Kalimantan, Sumatra bahkan sampai ke Papua. Perusahaan tambang tempatnya berkarir punya beberapa cabang di daerah-daerah tersebut. Sehingga menyiapkan perlengkapannya selama bertugas sudah menjadi tugasku dan aku pun sudah hafal apa saja yang wajib dibawa olehnya selama bertugas.

“Besok kamu anterin ke bandara ya, Ay,” ucapnya lagi setelah aku selesai mengemas barang-barangnya ke dalam trolley bag.”

Kenapa mesti diantar? Biasanya juga dia pergi sendiri. Aku ingin bertanya, tapi kuurungkan, hanya demi menghindari kalimat-kalimat sentilannya lagi.

“Pakai mobilmu aja, Ay. Aku yang nyetir ke bandara, jemput Nindya dulu di apartemennya. Terus nanti mobilnya kamu bawa pulang.”

“Kenapa nggak pakai mobil Mas aja terus titip di bandara.”

“Nindya nggak mau ikut numpang kalau hanya berdua di mobil. Makanya kamu ikut, biar dia mau ikut.”

Huhh! Ini toh maksudnya. Dia ingin berangkat dengan Nindya, tapi Nindya menolak jika hanya mereka berdua di dalam satu mobil, maka Mas Adam mengajakku agar ia bisa menjemput wanita yang dikaguminya itu. Nindya memang wanita yang cerdas dan elegan, ia dan Mas Adam selalu menjadi satu tim jika bertugas ke luar kota seperti ini. Aku sudah pernah mendengar ini dari Mas Adam, Nindya akan selalu menanyakan Mas Adam dengan siapa jika suamiku itu menawarkan diri untuk mengantar atau menjemputnya, dan dia akan menolak jika tau bahwa Mas Adam hanya sendirian.

Sebenarnya, dibanding Bella, aku lebih merasa terancam dengan keberadaan Nindya. Karena hampir setiap mencela kekuranganku, Mas Adam akan selalu menyebut nama wanita itu untuk membandingkanku. Terus terang saja, selalu ada perasaan was-was dalam hatiku jika Mas Adam dan Nindya bepergian ke luar kota meski untuk tugas. Selalu ada rasa khawatir jika mereka akan terjebak dalam hubungan terlarang. Apalagi Mas Adam memang nyata-nyata terlihat sangat mengagumi wanita itu.

“Makasih, Ay,” ucapnya setelah melihat aku telah selesai menyiapkan barang-barangnya ke dalam trolly bag.

“Tugasnya seminggu, Mas?”

“Iya. Kenapa? Kamu pikir aku berbohong?” Ia melirikku sinis.

“Ck! Nggak, Mas. Cuma memastikan aja, soalnya tadi hampir saja barang dan perlengkapan Mas untuk semingguan nggak muat.”

Aku kembali ke tempat tidur. Pria itu juga sudah menutup laptop yang sedari tadi ditekuninya, lalu meletakkannya di atas nakas. Tak lama kudengar bunyi sensor dari remote ac, aku sudah tau kebiasaannya. Dia akan menurunkan suhu ruangan jika ingin melakukan tugasnya. Maka tak perlu menunggu lama, tangan kekarnya pun mulai menjelajahiku. Seperti biasa, aku pun melayaninya, hingga suasana kamar menjadi panas dan suhu dingin dari AC tak lagi mampu menahan butiran-butiran peluh.

🌷🌷🌷

Dengan menggunakan mobilku, pagi ini aku ikut Mas Adam menjemput Nindya di apartemennya untuk menuju bandara. Sepanjang jalan dari rumah menuju apartemen Nindya tadi aku sama sekali tak bersuara. Karena sebenarnya ada sisi hatiku yang menolak menjemput Nindya. Bagaimanapun aku seorang istri, perasaanku terusik ketika suamiku terlihat sangat antusias menjemput rekan wanitanya meskipun ia mengajakku. Perhatiannya pada Nindya sejujurnya melukaiku, meski aku belum menemukan alasan apapun untuk menaruh curiga pada hubungan mereka. Aku ingin protes, tapi tak ingin pria itu kembali menjawab dengan hinaan ataupun kalimat cercaan. Dia pasti akan menilaiku wanita kolot jika aku memprotes kepergiannya dengan Nindya. Karena memang mereka pergi bersama dalam rangka tugas dari kantor, dan juga tak hanya berduaan karena ada tim lain bersama mereka.

“Selamat pagi, Aya! Maaf ya jadi ngerepotin kamu. Padahal aku udah bilang pada Pak Adam nggak perlu jemputin aku.” Nindya langsung meyapaku dengan ramah saat Mas Adam membukakan pintu belakang padanya.

Nindya memang seperti itu, aku sudah akrab dengannya karena sudah sering bertemu bahkan beberapa kali ia pernah bertamu ke rumah kami untuk membahas beberapa pekerjaan dengan suamiku.

“Pagi juga, Nin. Nggak ngerepotin kok. Kebetulan memang aku ada waktu ikut ngantarin Mas Adam hari ini,” jawabku sambil membalas senyumnya.

Sepanjang jalan ke bandara Nindya terus mengajakku ngobrol, banyak sekali bahan pembicaraan wanita itu. Sesekali juga ia bertanya mengenai butikku.

“Kamu boleh langsung pulang, Ay,” ucap Mas Adam ketika kami sudah tiba di bandara.

Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Masih sangat pagi, aku juga malas balik ke rumah namun juga masih terlalu pagi jika harus ke butik. Entah mengapa aku merasa ingin ikut turun sebentar. Aku memang sudah lama sekali tak bepergian, jadi sudah lama tidak menginjakkan kaki di bandara. Terakhir kali aku bepergian tiga tahun lalu, ketika mama Indah menghadiahkan tiket bulan madu ke Bali untukku dan Mas Adam beberapa bulan setelah pernikahan kami. Sejak saat itu, tak pernah lagi Mas Adam mengajakku bepergian ke luar kota. Sedangkan dia sendiri hampir setiap bulan terbang ke berbagai kota dalam rangka tugas dari kantornya seperti saat ini.

Aku mengiringi langkah Nindya yang menyeret trolley bag nya, gadis berlesung pipi itu masih saja terus bercerita berbagai hal padaku sehingga aku tak pernah merasa canggung berinteraksi dengannya. Rasa canggung itu justru kudapatkan dari tatapan meremehkan Mas Adam yang berjalan di belakangku dan Nindya ketika aku tak mampu mengimbangi percakapan Nindya yang memang kuakui wawasannya sangat luas.

Kami berdua masih terus mengobrol ketika seorang anak kecil tak jauh dariku dan Nindya tiba-tiba mendorong trolley bandara dengan kencang ke arah kami. Aku dan Nindya sudah tak sempat lagi menghindar, sementara teriakan Mas Adam dari belakang pun terdengar di telingaku.

“Awas Nindya!”

Brukk!! Lalu aku pun terjatuh karena memang tak sempat lagi menghindar. Aku merasakan kakiku sakit, bahkan memar karena terbentur roda trolley. Spontan aku mendongakkan kepala mencari keberadaan Nindya sambil meringis menahan perih di kaki.

Namun pemandangan di depan mataku justru membuatku terpana. Nindya sedang berada dalam pelukan Mas Adam. Rupanya tadi Mas Adam sempat menarik tangan Nindya untuk menghindarkan gadis itu dari tabrakan trolley. Seketika aku merasa dadaku sesak. Teriakan “Awas Nindya!” dari Mas Adam tadi, juga gerakan refleksnya memilih menarik tubuh Nindya cukup menyakitiku. Dia, suamiku, lebih mengutamakan menyelamatkan Nindya di saat-saat genting dibanding aku, istrinya.

Aku masih terdiam dan merasakan sesaknya dadaku saat sebuah tangan terjulur di hadapanku.

Are u okay, Aya?”

Mataku beralih dari Mas Adam dan Nindya yang sudah melepaskan dirinya dari dekapan suamiku, lalu menoleh mencari tahu siapa pemilik tangan yang seolah ingin membantuku berdiri itu.

“Ivan!” pekikku tak percaya. “Kenapa kamu ada di sini?”

“Aku ada perjalanan bisnis ke Makassar pagi ini. Dan aku tadi kebetulan melihat kalian. Baru mau menyapa eh kamu udah jatuh ketubruk trolley.” Dia melirik Mas Adam yang hanya berdiri terpaku.

“Berdirilah, kurasa kakimu terkilir.”

Ivan membantuku berdiri, aku mengucapkan terima kasih padanya. Kurasa kakiku memang terkiilir karena aku merasa agak sudah menggerakkan kakiku. Mas Adam masih saja terpaku di tempatnya berdiri, entah mungkin karena dia merasa bersalah karena justru menyelamatkan Nindya. Sementara Nindya menghampiriku.

“Kamu nggak apa-apa, Aya? Maaf ya, jadi kamu yang kena. Aku ... aku jadi nggak enak.”

Aku tak menjawab. Hatiku masih sesak membayangkan ia dalam pelukan Mas Adam tadi.

“Kamu nggak apa-apa? Masih bisa menyetir? Kalau nggak bisa jangan dipaksa, sebaiknya kamu pulang dengan transportasi online, biar nanti kusuruh anak-anak yang ambil mobilmu.” Kali ini Mas Adam menghampiriku.

Ia sama sekali tak meminta maaf karena telah membiarkanku dan justru menyelamatkan Nindya. Dadaku makin sesak.

Pria itu melirik jam tangannya.

“Aku harus berangkat sekarang, Ay. Kalau nggak bisa nyetir kabari aku, nanti kusuruh orangku yang ambil mobilmu. Nanti sampai di rumah kakimu dikasih salep, ada di kotak P3K di rumah.” Ia memberi perintah.

“Ayo, Nin. Nanti kita ketinggalan pesawat.”

Nindya masih menatapku penuh rasa bersalah. Dengan langkah tertatih aku menghampiri Mas Adam, kemudian meraih punggung tangannya dan menciumnya.

“Hati-hati di jalan,” ucapku.

Ia mengangguk, membelai kepalaku sekilas lalu mencium keningku.

“Maaf ya,” ucapnya lirih.

Hanya dua kata, tapi sukses membuat mataku berembun. Kata maaf yang sarat makna. Entah dia meminta maaf karena apa. Karena ia telah mengabaikanku dan memiilih menyelamatkan Nindya? Atau karena ia telah memeluk Nindya tepat di depan mataku. Nindya pun berpamitan, kali ini ia tak lagi serileks tadi, bahkan sangat kaku menurutku.

Kupandangi langkah keduanya hingga hilang ditengah kerumunan manusia yang mulai memadati aktivitas bandara.

“Bisa jalan? Kamu parkir di mana?”

Aku baru menyadari jika Ivan masih berdiri di belakangku.

“Masih di sini?”

“Bisa jalan?” Ia mengulangi pertanyaannya.

Aku mengangguk, lalu melangkah tertatih.

“Parkir di mana?”

“P-9.”

“Itu jauh. Kamu tak mungkin ke sana dengan kaki seperti ini. Pengangan, biar ku antar ke parkiran.” Ivan menyodorkan lengannya.

“Aku bisa sendiri.”

“Jangan keras kepala, Aya. Kakimu bisa tambah bengkak jika kamu memaksakan diri.”

“Aaww!” Aku meringis ketika merasakan kakiku memang tambah sakit jika berjalan.

“Pengangan.” Ia kembali menyodorkan lengannya.

Dengan berat hati aku meraihnya, lalu berpegangan pada lengan kekarnya dan berjalan tertatih ke arah parkiran.

BAB 9. KARENA AKU PERNAH MENYUKAIMU

Dengan susah payah akhirnya aku bisa sampai juga ke parkiran mobilku dengan bantuan Ivan. Sesekali kulihat pria itu melirik arlojinya, sambil terus membantuku berjalan dengan tertatih.

“Terima kasih, Van,” ucapku setelah berhasil duduk di belakang setir mobilku.

Pria itu mengangguk, kembali melirik arlojinya sebentar kemudian mengambil ponselnya dari saku celananya. Ia lalu menunjukkan layar ponselnya padaku.

“Pesan dari Adam,” katanya sambil menghadapkan layar ponselnya padaku.

Maaf nggak sempat ngobrol, Bro. Aku buru-buru, takut ketinggalan pesawat. Terima kasih tadi udah nolongin Cahaya.

Begitu isi pesan dari nomor suamiku yang kubaca di layar ponselnya. Aku mengdengkus malas, sikap Mas Adam tadi masih menyisakan rasa dongkol di hati ini.

“Bisa nyetir?” tanyanya.

“Bisa, Van. Terima kasih.”

“Kamu lagi latihan pidato ucapan terima kasih? Dari tadi ngomongnya terima kasih melulu.” Ia tersenyum, aku ikut tersenyum.

Manis sekali senyumnya!

Aku menggelengkan kepalaku sendiri setelah kalimat itu terlintas di benakku. Apa yang kamu pikirkan, Aya!

“Kenapa?” Sepertinya ia heran melihatku menggeleng.

“Eh ... enggak apa-apa,” jawabku kikuk.

“Ya udah, aku tinggal, ya. Hati-hati berkendara,” ucapnya lagi sambil melirik arlojinya.

Astaga! Aku baru ingat. Bukankah katanya tadi dia ada penerbangan pagi ini. Buru-buru kuanggukkan kepalaku tanpa mengeluarkan kata-kata lagi agar tidak semakin membuang waktu menahannya di sini. Pria itu pun membalikkan badan dan melangkah meninggalkan tempat parkir.

Kucoba menggerakkan kaki kiriku yang masih terasa sakit bahkan kini terlihat lebam, merasa ragu jika aku bisa berkendara dengan kaki seperti ini. Apalagi mobilku bukan tipe matic, sehingga kaki kiriku harus lincah memainkan pedal kopling. Aku ingat Mas Adam tadi menyuruhku mengabarinya jika aku tak bisa menyetir mobilku. Kucari ponselku, berniat mengabarinya agar ia menyuruh salah satu bawahannya di kantor mengambil mobilku ke bandara.

[Gimana, Ay? Bisa nyetir?]

Ia mengirim pesan lima menit yang lalu.

[Belum nyoba, tapi kayaknya enggak bisa.]

Balasanku hanya centang satu. Mungkin ia sudah di dalam pesawat, pikirku. Maka tak ada pilihan lain, aku harus bisa menyetir mobilku sendiri pelan-pelan. Lalu tanganku iseng membuka pembaharuan story WA di ponselku. Mas Adam memposting sebuah foto yang hanya memperlihatkan kaki dan sepatunya dengan caption “Hampir saja berangkat sendiri. Untung tadi sempat gue tarik orangnya sebelum insiden.”

Oke, Aya. Suamimu sedang membahas rekan kerjanya, bukan kamu! Kembali ada rasa ngilu di dadaku, lalu sekali lagi kutatap foto yang dipasang Mas Adam di stroynya. Ah, ternyata fotonya bukan hanya memperlihatkan kaki Mas Adam, tapi juga ada sepasang betis putih mulus di sebelahnya. Kaki Nindya.

Aku masih memutar-mutar pergelangan kakiku agar lebih terasa ringan ketika jendela kaca mobilku diketuk dari luar.

“Ivan?” pekikku tertahan. Kenapa dia kembali ke sini? Pikirku.

“Kenapa kembali?” tanyaku sambil menurunkan kaca mobilku.

“Turun. Biar aku yang nyetir mobilmu.”

“Hah? Bukannya kamu mau berangkat ke ....” Kalimatku menggantung, aku lupa tadi dia bilang mau ke mana.

“Kubatalin, tadi sudah kasih instruksi ke anak buahku sekalian titip koperku.”

“Loh, kenapa dibatalin, Van?” Aku masih tak mengerti.

“Aku kepikiran kamu. Khawatir kamunya nekat menyetir dengan kaki lagi cidera begitu. Bahaya.”

Eh, apa katanya? Khawatir? Kenapa dia mengkhawatirkanku? Dan kenapa juga hatiku justru menghangat mendengar kalimatnya barusan? Jangan berlebihan, Aya!

“Bisa turun sendiri? Biar aku yang nyetir.” Ia kembali menjulurkan lengannya, menawarkan bantuan.

“Aku bisa sendiri, Van,” jawabku ragu-ragu, sambil mencoba keluar dari mobilku.

Tapi rupanya kakiku memang tak mau kompromi, sehingga aku terpaksa kembali berpegangan pada lengannya lalu ia menuntunku memutari bagian depan mobilku kemudian membuka pintu depan sebelah kiri dan membantuku masuk. Mataku mengekori gerakan pria itu hingga ia duduk di belakang setir mobilku. Ia menyetel jok dengan memundurkannya, kemudian perlahan melajukan mobilku keluar dari parkiran bandara.

“Tadi aku kirim pesan pada Mas Adam minta ia menyuruh orang mengambil mobilku ke sini tapi ponselnya sudah tidak aktif.” Aku berusaha memecah kesunyian.

“Oh.”

Asem! Ia hanya menjawab sesingkat itu.

“Kamu cancel penerbangan karena aku?”

“Iya.”

Lagi, hanya sesingkat itu. Oke, ini orang mulai nyebelin.

“Kenapa? Padahal harusnya kamu tak perlu melakukan itu, Van.”

Ia tak menjawab, aku meliriknya kesal. Hingga tanpa kusadari ternyata mobil sedang berhenti, dan kini pria itu membuka pintu mobil lalu keluar. Aku mengedarkan pandanganku mencari tahu kenapa ia berhenti. Ternyata pria itu masuk ke dalam sebuah apotik, lalu tak berapa lama keluar dari sana sambil membawa sesuatu di tangannya.

“Tadi Adam ke mana, Ay?” Kali ini ia yang bertanya memecah kesunyian ketika mobil sudah kembali ke jalan raya.

“Ke Banjarmasin.”

“Berapa lama? Adam sering tugas ke luar kota seperti ini?”

“Iya.”

Pria itu melirikku sejenak.

“Jawabnya kok singkat-singkat gitu, Ay?”

“Tadi juga kamu jawabnya gitu kan?”

Ia tertawa. “Tadi aku sedang berkonsentrasi mencari apotik, Ay. Ya udah sekarang kamu nanya ulang deh.”

“Udah nggak ada yang mau ditanya.”

Ia kembali tertawa.

“Ya udah kalau gitu aku jawab kembali pertanyaanmu yang tadi aja ya. Tadi itu aku sengaja cancel penerbangan dan menyuruh anak buahku duluan ke Makassar dan akan menyusul nanti. Karena aku terus kepikiran kamu, aku takut kamu nekat menyetir mobil dengan kaki cidera seperti itu. Kenapa aku melakukannya? Karena kamu temanku.”

Ia tersenyum. Manis sekali. Eh, apa-apaan kamu, Aya! Kenapa jadi mengagumi senyumnya? Apa aku sudah menjadi salah satu pengagumnya, seperti Iin dan Imelda? Mengingat Imelda, aku teringat isi chatnya yang meminta tolong padaku untuk menghubungkannya dengan Ivan.

“Kenapa ke sini?” Aku melongo ketika menyadari Ivan justru membawa mobilnya ke Twin House, salah satu coffeshopnya.

“Kamu nggak ngomong mau diantar ke mana.”

Ah iya. Aku baru menyadari, Ivan kan belum tau rumahku apalagi butikku.

“Kenapa enggak nanya tadi?” protesku.

“Turun dulu, Aya. Sudah terlanjur parkir di sini. Nanti abis dari sini kuantar ke mana kamu mau.”

Aku menurut. Pria itu masih membantuku turun dari mobil lalu menuntunku berjalan. Beberapa pasang mata karyawannya menatap kami sambil berbisik-bisik. Sepertinya mereka baru buka kafe karena memang masih pagi.

“Mau duduk di sini atau di gazebo?”

“Di gazebo aja.”

Udara di Twin House terasa sangat segar, apalagi di area gazebo memang penuh dengan pot-pot bunga yang tersusun rapi di setiap sudut. Kuhirup udara dalam-dalam menikmati aneka aroma bunga di sekeliling, sementara Ivan sudah tak terlihat setelah membantuku mengantarku duduk di gazebo.

Belum ada pengunjung membuat Twin House yang biasanya ramai dengan anak-anak di bangunan sebelah kiri terasa sepi, membuatku mencari ponselku untuk membunuh sepi, karena Ivan belum muncul kembali setelah sekitar sepuluh menit berlalu.

Kubuka kembali applikasi WA, pesan yang kukirim pada Mas Adam tadi sudah centang biru tapi ia belum membalas pesanku. Kembali kuintip stroy-nya.

Touch down Banjarmasin. Semoga menyenangkan untuk seminggu ke depan bersama orang-orang yang menyenangkan. Tulis Mas Adam di story-nya

Orang-orang yang menyenangkan? Pasti termasuk salah salah satunya Nindya. Aku berdecak kesal. Ia bahkan belum membalas pesanku apalagi menanyakan keadaanku setelah insiden di bandara tadi. Tapi bukankah Mas Adam memang seperti itu? Ia tak pernah meneleponku jika sedang tugas keluar kota seperti saat ini. Aku bahkan tak pernah tahu kapan jadwalnya pulang, lebih tepatnya ia tak pernah memberi tahu.

“Kenapa cemberut?” Suara Ivan mengagetkanku. Pria itu membawa minuman dan beberapa cemilan di nampan lalu meletakkannya di atas meja.

“Sarapan dulu, Aya.”

Aku hanya meliriknya.

“Ini salep untuk luka memar. Kamu mau oles sendiri atau kubantu oleskan.” Ia menyodorkan plastik kecil berlogo apotik.

Ah, rupanya ia berhenti di apotik tadi untuk membeli salep. Untukku. Sekali lagi ada rasa hangat yang datang tanpa permisi memenuhi ruang hatiku.

“Tadi mampir apotik beli ini?” tanyaku sambil mengambil plastik berlogo apotik dari tangannya.

Dia mengangguk. Aku segera membuka tutup salep lalu mengoleskannya pada kakiku yang sudah terlihat membiru karena lebam. Sesekali aku meringis menahan sakit.

“Kamu belum jawab pertanyaanku, Ay. Kenapa cemberut tadi? Nggak suka aku ajak ke sini?”

Aku menggeleng. “Enggak, Van. Aku justru berterima kasih udah ditolongin sampai cancel penerbangan, diajak ke tempat ini, dibeliin salep, terus sekarang disuguhin minuman dan cemilan.”

“Kalo yang terakhir bayar, nanti bill tagihannya nya minta sama karyawanku.” Ia terkekeh, aku pun ikut tertawa. “Terus kenapa cemberut?” lanjutnya bertanya.

“Mas Adam nggak nanyain kabarku setelah insiden tadi.” Jawaban yang akhirnya kusesali karena seolah-olah aku sedang menampakkan kesedihanku di depannya.

Ia menghela napas, lalu menatapku tajam.

“Entah mengapa setelah beberapa kali bertemu denganmu, aku merasa ada yang tak biasa dengan hubungan kalian. Aku merasa kamu sedang tak baik-baik saja, Aya.”

“Ng-nggak, Van. Kami biasa saja dan aku baik-baik saja.”

“Biasa saja? Dan baik-baik saja? Termasuk memilih menarik gadis lain demi menghindarkannya dari bahaya ketimbang menyelamatkan istrinya sendiri?”

Aku terdiam.

“Dan berteriak menyebut nama orang lain bukan namamu saat kalian berdua sedang dalam bahaya yang sama?”

Aku masih terdiam.

“Lalu membiarkanmu sendirian di sana tanpa memikirkan bagaimana nantinya kamu bisa pulang dengan selamat sementara ia memilih tetap berangkat bersama orang yang telah berhasil diselamatkannya? Apa itu baik-baik saja, Aya?”

Tiba-tiba saja mataku berkabut, lalu tanpa bisa kubendung bulir-bulir bening itu sudah mulai jatuh membasahi pipiku.

“Maafkan aku, Aya. Aku hanya tak suka Adam memperlakukanmu seperti ini. Belum lagi insiden di coffeshopku waktu itu.”

Aku menyusut mata. Aku tak boleh menangis di hadapan pria ini, dia hanya orang asing yang kebetulan ada di saat aku sedang membutuhkan pertolongan.

“Aku tak tau kenapa kamu selalu ada dan melihatku di saat-saat yang kurang tepat, Van. Tapi kumohon jangan terlalu cepat menyimpulkan apapun. Dan jika nanti suatu saat kamu kembali melihatku mengalami hal seperti tadi, komohon jangan pedulikan aku. Aku bisa dan sudah terbiasa mengatasi masalahku sendiri.”

“Kenapa?” Ia balik bertanya.

“Aku takut salah mengartikan perhatianmu.”

Deg! Aku terkejut sendiri dengan jawaban terakhirku. Kenapa kalimat itu yang keluar dari bibirku? Aku harus meralat kalimatku, tapi bagaimana caranya? Kulihat pria di hadapanku itu justru tersenyum.

“Minum dulu, Ay. Ini aku yang sendiri yang bikin. Makanya tadi agak lama di belakang. Setelah ini kuantar pulang ke rumahmu.”

“Aku mau ke butikku aja, Van.”

“Kamu harus istirahat kalau ingin kakimu cepat pulih kembali, Aya.”

Aduh, mengapa justru pria ini yang perhatian padaku? Aku yakin jika itu Mas Adam, dia akan membiarkanku tetap ke butik tanpa memintaku untuk beristirahat. Ah, ada apa denganku? Kenapa aku justru membandingkan suamiku dengan Ivan? Tapi perhatian kecil seperti itu memang hampir tak pernah kudapatkan dari Mas Adam.

Diam-diam aku mencuri pandang pada pria di hadapanku ini ketika ia sedang berkonsentrasi menelepon, sepertinya ia sedang berbicara pada karyawannya sebab kudengar ia memberikan beberapa instruksi.

Ivan Nicholas, itu nama lengkapnya. Aku sendiri sama sekali tak mengingatnya, namun saat bertemu Imelda di tempat ini tempo hari. Aku mendengar gadis itu mengeja nama lengkap Ivan. Buru-buru kutundukkan pandanganku saat tatapanku dengannya bertemu setelah dia mengakhiri panggilan teleponnya.

“Van, Imelda titip salam padamu.” Kurasa aku harus berbasa-basi, sekaligus menyampaikan niat Imelda kemarin yang memintaku membantunya mendekati Ivan.

“Imelda? Titip salam? Kenapa lewat kamu? Bukannya dia bilang sering ke Twin House?”

“Wah kalau itu aku enggak tau, Van. Pokoknya Imelda bilang ke aku kalau dia suka ama kamu, terus minta tolong aku bantuin dia.”

“Oh, kurasa mungkin dia tau kalau aku lebih tertarik padamu dibanding dengannya, makanya minta bantuan ke kamu.”

Tunggu. Apa katanya tadi? Dia lebih tertarik padaku? Duh, kenapa aku jadi salah tingkah?

“Antar aku pulang,” pintaku. Aku tak mau berlama-lama di sini, tak baik buat jantungku.

Ivan mengangguk, lalu kembali membantuku berdiri dan berjalan ke arah mobilku.

“Kamu tau rumahku?” tanyaku saat ia dengan tepat mengarahkan mobilku ke arah perumahan.

Dia mengangguk.

“Terus kenapa tadi enggak antarin langsung ke rumah malah ke Twin?”

“Karena aku ingin memastikan kaki kamu diolesin salep.”

“Ck! Kamu mengada-ada.”

Ia tertawa.

“Karena kalau langsung anter kamu pulang, kamu pasti akan kesepian, Aya. Sendirian di rumah dalam keadaan kaki terkilir dan lebam, terus pasti nangis sendirian kalau ingat insiden di bandara tadi. Apalagi kalau Adam enggak hubungin kamu setelah itu. Aku yakin deh pagimu akan sangat menyedihkan. Makanya kuajak ke Twin, siapa tau kamu mau berbagi cerita padaku. Cerita apa saja, aku siap menjadi pendengar kok.”

Aku menghela napas dalam-dalam, merasa ada yang tak biasa dengan obrolan ini. Sungguh aku tak pernah menginginkan hal seperti ini, mengobrol dengan pria asing yang bukan siapa-siapa. Membayangkannya pun aku tak pernah. Tapi harus kuakui mengobrol dengan Ivan membuatku lebih jauh rileks.

“Kenapa kamu begitu baik padaku, Van?” Kuberanikan diri bertanya.

“Karena aku pernah menyukaimu di masa lalu.” Ia menekankan kata ‘pernah’.

“Bahkan mungkin sekarang masih menyukaimu,” gumamnya, nyaris tak terdengar. Dan aku memilih pura-pura tak mendengarnya.

Hal yang sudah kuduga dari awal. Tak akan mungkin orang asing memberi perhatian sebesar ini jika tak ada sesuatu. Dan hal ini pula lah yang kutakutkan, karena aku pun mulai merasa nyaman dengan komunikasiku dengannya, hal yang tak pernah kudapatkan jika bersama Mas Adam. Lagi-lagi otakku membandingkan keduanya.

“Terima kasih.” Hanya itu yang kuucapkan setelah tiba di rumahku.

“Jangan sedih terus. Kamu berhak bahagia. Aku suka Cahaya yang dulu, yang selalu ceria dan energik. Bukan yang seperti ini selalu melamun lalu menangis diam-diam. Jangan biarkan orang lain membunuh karakter aslimu, meski itu adalah orang dekatmu sendiri. Aku tau, di balik semua kesedihan dan air matamu, kamu masih Cahaya Kirana yang dulu, yang selalu aktif dan percaya diri.”

Aku ingin membantahnya, tapi harus kuakui kalau semua yang dikatakannya itu benar adanya.

“Jika Adam tak terbiasa menghubungimu, mungkin sebaiknya kamu mencoba menghubunginya lebih dulu. Kabarkan tentang perkembangan kakimu padanya.”

Sekali lagi aku mengangguk. Entah kenapa pria yang hanya kubiarkan duduk di kursi teras itu membuatku terus menerus mengangguk, menyetujui semua ucapannya.

“Aku pulang, Aya.”

Ia melangkah ke arah pagar menuju mobil sport merah yang sudah terparkir di depan rumahku. Ivan tadi memang menelepon seseorang untuk menjemputnya di alamat rumahku. Ia hapal alamat rumahku, tapi aku enggan bertanya dari mana ia mengetahui alamat kami. Mungkin dari Mas Adam, karena mereka berteman, pikirku.

“Van,” panggilku. Ia menoleh.

“Hati-hati di jalan.”

Ia tersenyum, lalu mengangguk. Aku masih memandangi punggungnya hingga pria itu masuk ke dalam mobilnya.

🌹🌹🌹

Jika Adam tak terbiasa menghubungimu, mungkin sebaiknya kamu mencoba menghubunginya lebih dulu. Kabarkan tentang perkembangan kakimu padanya.

Kata-kata Ivan tadi membuatku malam ini meraih ponselku, berniat menghubungi Mas Adam.

[Mas, lagi ngapain? Kakiku masih sedikit sakit, tapi lebamnya sudah lumayan memudar.]

Kukirim juga foto lebam di kakiku.

[Kamu apa-apaan sih, Ay. Nggak biasanya kirim pesan nggak jelas gini. Pakai salep di kotak P3K. Kalau masih sakit sementara tinggal di rumah mama atau di rumah ibu. Nggak usah manja!]

Jawaban yang sama sekali tak kuharapkan. Ternyata ide Ivan tadi bukanlah ide bagus. Seharusnya aku tak lagi mengirim pesan setelah jawaban seperti itu yang kuterima. Tapi kali ini aku justru tertantang untuk kembali mengirim pesan.

[Aku hanya mengabarkan keadaanku setelah Mas Adam memilih melihat aku yang terluka dibanding orang lain.]

Aku menyinggung caranya memilih menarik Nindya di bandara tadi.

[Jangan berlebihan deh, Ay. Aku sudah minta maaf untuk itu. Aku lagi banyak kerjaan, jangan bikin aku makin pusing dengan sikapmu yang tak biasa ini.]

Kutelan salivaku dengan kasar. Sungguh berkomunikasi dengan Mas Adam selalu saja membuatku sakit, tak bisakah ia bersikap lebih perhatian seperti ....

Aku tersentak dalam lamunanku sendiri. Apa ini? Kenapa aku lagi-lagi tanpa sadar membandingkannya dengan sosok yang tadi rela membatalkan penerbangannya demi mengantarkanku pulang dengan selamat?

BAB 10. KURASA INI SALAH

Mataku masih terasa berat ketika mendengar bell rumahku berbunyi. Dengan malas kuraih jam di atas nakas. Pukul 07:10. Siapa yang bertamu sepagi ini? pikirku. Lalu kuseret langkahku ke kamar mandi, menucuci muka di wastafel untuk mengusir rasa kantuk sebelum kemudian melangkah ke luar kamar.

“Mama?” Ibu mertuaku sudah berdiri di depan pintu, dengan setelelan jas kerjanya.

Jadi tak nyaman rasanya aku masih berpenampilan seperti ini dengan piyama tidur dan rambut acak-acakan sementara mama sudah terlihat rapi dan sudah bersiap ke kantor.

“Maaf, Ma. Aya baru bangun,” kataku, masih dengan perasaan tak nyaman.

“Gimana kakimu, Nak? Apa karena itu kamu jadi nggak bisa tidur semalaman sampai kesiangan gini?”

“Udah lumayan kok, Ma. Hanya masih sedikit sakit kalau berjalan. Mama tau dari mana kaki Aya cidera.”

“Semalam Adam telepon, nyuruh mama nengokin kamu. Katanya kemarin kaki kamu terkilir akibat jatuh di bandara. Mama mau ke sini tapi sudah malam, mama telepon nomormu enggak aktif.”

Ya, aku baru ingat semalam langsung menonaktifkan ponselku karena kesal dengan balasan pesan dari Mas Adam. Namun semalam sebelum menonaktifkan ponsel, aku masih sempat membalas pesan Mas Adam.

[Bisa enggak sih sekali saja kasih perhatian. Aku istrimu, Mas. Kenapa selalu seperti ini caranya ngomong denganku? Selalu ketus dan nyakitin hati. Nggak hanya dengan lisan, tapi lewat chat pun aku masih harus menerima kalimat-kalimat seperti itu dari suamiku sendiri. Kalau sudah nggak suka bilang, Mas. Aku bisa pergi jika memang tak dibutuhkan lagi.]

Entah dari mana datangnya keberanianku mengirim pesan seperti itu padanya. Padahal selama tiga tahun ini aku tak pernah protes seperti itu padanya, hanya di awal-awal pernikahan kami dulu aku pernah memprotesnya, namun akhirnya aku menjadi capek sendiri karena ia tak pernah menggubrisku dan tak juga berubah, maka semua itu akhirnya menjadi kebiasaan bagiku. Kebiasaan yang sangat buruk, yang berhasil mengubahku menjadi wanita yang tidak percaya diri, bahkan cenderung menutup diri.

Tapi kenapa baru sekarang aku kembali mempertanyakan sikapnya ini? Apakah karena ucapan Ivan kemarin?

Jangan sedih terus. Kamu berhak bahagia. Aku suka Cahaya yang dulu, yang selalu ceria dan energik. Bukan yang seperti ini selalu melamun lalu menangis diam-diam. Jangan biarkan orang lain membunuh karakter aslimu, meski itu adalah orang dekatmu sendiri. Aku tau, dibalik semua kesdihan dan air matamu, kamu masih Cahaya Kirana yang dulu, yang selalu aktif dan percaya diri.

Benarkah kalimat itu yang membuatku kali ini memprotes suamiku? Atau karena orang yang mengucapkan kalimat itu?

“Aya, kok malah ngelamun?” Suara Mama membuyarkan lamunanku.

“Eh, iya. Maaf, Ma.”

“Kenapa dari semalam ponselmu nggak aktif, Nak? Mama jadi khawatir, makanya pagi-pagi mampir dulu sebelum ke kantor. Adam juga tadi pagi nelepon Mama nyuruh nengokin kamu ke sini.”

Aku menautkan alisku, Mas Adam menelpon mama tadi malam? Lalu menelepon lagi tadi pagi hanya untuk menyuruh mama mampir ke sini dan melihat keadaanku? Wah, ini kejadian langka. Apa mungkin karena balasan pesanku yang terakhir tadi malam?

“Ayo masuk dulu, Ma.” Aku baru sadar jika dari tadi hanya mengbrol di depan pintu dengan mama.

“Enggak usah, Aya. Mama cuma mau memastikan kamu baik-baik saja. Mama harus ke kantor, ada rapat penting pagi ini. Nanti kalau sempat, sore pulang kerja mama mampir lagi.”

Mama baru saja hendak berpamitan saat seorang kurir menyapa dari depan pagar dan menyebut namaku sebagai penerima barang yang diantarnya. Aku menautkan alis, merasa tak memesan barang apa pun sepagi ini. Tapi si kurir tadi menyebut nama dan alamatku dengan sangat jelas.

“Dari siapa, Aya? Sepertinya itu makanan.” Mama memperhatikan barang yang baru saja kuterima dari kurir.

“Nggak tau, Ma.” Aku pun penasaran lalu membuka bungkusan berlogo restoran terkenal. Ada selembar kartu di dalammya.

“Sarapan dulu, Ay. Biar kuat menghadapi kenyataan. Hehe bercanda! Aku sengaja kirim ini karena kakimu pasti masih susah digerakkan. IN.”

“IN? Siapa IN, Nak?” Aku tak menyadari jika mama juga ikut membaca kartu kecil tadi.

“Oh, ini pasti kiriman dari Iin, Ma.”

Kening Mama mengerut, seolah sedang berpikir. “Iin karyawan butik? Kenapa pakai kartu-kartu segala?”

Tatapan mama seakan menyelidik. Aku bingung mau menjawab apa.

“Ah sudahlah, Ay. Dihabisin tuh sarapannya, sepertinya menunya enak, itu logonya aja restoran mahal. Mama harus segera berangkat, takut terlambat.”

Huhh, aku bernapas lega. Untung saja mama tidak bertanya lebih jauh lagi, karena aku tau betul siapa yang mengirim makanan ini. IN. Ivan Nicholas. Tidak salah lagi!

Banyak sekali notifkasi yang masuk saat aku mengaktifkan ponselku. Padahal tidak biasanya ponselku seramai ini. Setiap harinya paling hanya grup butikku yang terlihat aktif mengirim info-info butik padaku. ku-scroll layar ponselku dan membaca satu persatu pesan yang masuk.

[Kamu kenapa, Aya? Ngirim pesan nggak jelas gitu. Bukannya tadi kakimu yang cidera, kenapa jadi otakmu yang eror?]

Balasan pesan dari Mas Adam menanggapi pesan terakhirku sebelum ponsel kumatikan. Aku mendengkus kasar.

Lalu kemudian beberapa pesan dari Mama Indah menanyakan kabarku dan mengatakan akan mampir pagi ini. Seperti yang dikatakannya tadi, mama juga menjelaskan kalau Mas Adam meneleponnya dan mengabari jika kakiku sedang cidera.

[Kak Aya, kakinya gimana? Udah baikan? Tadi Mas Adam telepon suruh Candra lihatin Kak Aya, tapi sudah kemalaman. InsyaAllah besok pagi Candra mampir ke rumah Kakak. Candra sengaja nggak bilang Ibu, takut ibu khawatir.]

Pesan dari Candra, adikku. Rupanya Mas Adam juga meneleponnya semalam. Sepanik itu kah dia setelah membaca pesanku? Tanpa sadar aku tersenyum puas.

Lalu ada beberapa pesan dari nomor asing yang belum tersimpan di ponselku.

[Sudah tidur, Aya?]

[Istirahat ya biar kakinya segera pulih. Jangan lupa salepnya diolesin lagi sebelum tidur.]

Dua pesan itu dikirim tadi malam.

[Nanti ada kurir yang antar makanan. Aku tau kamu belum bisa kemana-mana. Paling tidak butuh waktu tiga hari atau lebih agar kamu bisa berjalan normal kembali.]

[Jangan kemana-mana dulu. Istirahat.]

[Aku terbang ke Makassar pagi ini.]

Tanpa perlu bertanya, aku sudah tau siapa pengirim pesan ini. Aku tersenyum, lalu menyimpan nomornya dengan nama IN, sama seperti yang tertulis di kartu kecil tadi. Lagi-lagi kurasa ada yang salah. Tak seharusnya Ivan memperhatikanku sejauh ini, apalagi ia bahkan mengabarkan jika hari ini ia akan terbang ke Makasar, perjalanan yang seharusnya dilakukannya kemarin namun tertunda akibat menolongku. Ya, kuarasa ini salah! Tapi kenapa aku merasa bahagia dengan semua perhatiannya ini? dan kenapa aku malah senyum-senyum sendiri dan berkali-kali membaca ulang deretan pesannya?

Lalu masih dengan kegilaanku, aku memilih tak membalas semua pesan yang masuk, termasuk tak menjawab grup Wa butik ketika Iin menanyakan apa aku akan ke butik hari ini atau tidak. Tapi, aku justru membalas pesan dari IN.

[Maaf semalam ponsel kunonaktifkan biar bisa istirahat.]

[Terima kasih kiriman sarapannya.]

[Iya, aku nggak kemana-mana. Paling nanti ke butik sebentar.]

[Safe flight!]

Deretan pesanku hanya bertanda centang satu. Mungkin dia masih dalam penerbangan. Tapi tak apa, nanti juga pasti dibaca. Dan pasti dibalas dengan bahasa yang santun. Ada harap dalam lamunku. Mungkin alam bawah sadarku sudah terlalu muak dengan balasan-balasan yang sangat tidak santun dari Mas Adam selama ini. Lalu pesan-pesan penuh perhatian dari Ivan membuatku tanpa sadar kembali membandingkan keduanya. Oh, Tuhan! Maafkan aku, kurasa ini salah. Tapi ini, sangat menenangkan dan menyejukkan hati.

***

Ini hari ketiga aku hanya berdiam diri di rumah. Kakiku yang cidera sebenarnya sudah hampir sembuh, aku bahkan sudah bisa menyetir ke swalayan di depan perumahan kemarin ketika aku ke sana membeli beberapa stok bahan makanan. Namun, meski sudah bisa menyetir, aku justru belum pernah ke butik setelah insiden di bandara. Aku hanya mengirimkan beberapa instruksi melalui pesan WA pada Iin atau karyawanku yang lain.

Aneh memang, padahal biasanya aku sangat suka menghabiskan waktuku di butik. Tapi mengapa tiga hari ini aku justru memilih berdiam diri di rumah? Apa aku sedang melaksanakan perintah dari seseorang untuk benar-benar beristirahat selama beberapa hari ini? Ah, aku merasa asing dengan diriku sendiri.

Hari-hariku hanya kuhabiskan dengan menonton film, lalu kemudian membuka layar ponsel. Padahal sebelumnya aku bukanlah tipe orang yang selalu memegang ponsel. Lalu kenapa beberapa hari ini benda pipih itu tak pernah jauh dariku? Bahkan kadang dalam keadaan tidur pun aku masih memegang benda itu. Apa sebenarnya yang sedang kutunggu. Pesan dari suamiku? Tidak. Mas Adam tak pernah menghubungiku ketika sedang di luar kota, meski hanya untuk menanyakan kabarku.

Dan jantungku berdetak tak karuan ketika menyadari bahwa beberapa hari ini aku sedang menunggu pesan darinya. Dari seseorang yang baru beberapa hari yang lalu nomornya kusimpan di kontak ponselku dengan nama IN. Namun ternyata Ivan tak pernah mengirim pesan lagi. Bahkan pesan tarakhirku waktu itu hanya dibacanya, tapi tak berbalas. Maka beberapa hari ini aku hanya membuka chat terakhirku dengannya lalu membacanya kembali berulang-ulang sambil berharap ia membalas pesanku atau mengirim pesan padaku.

Hingga akhirnya di hari ketiga ini aku menyadari satu hal. Ternyata aku hanya terbawa suasana, dengan kata lain terlalu baper oleh perhatian-perhatian yang kuterima kemarin. Padahal Ivan mungkin tak ada niat apapun dan murni hanya ingin menolongku. Seperti alasan yang dikatakannnya waktu itu di dalam mobilku.

Kenapa aku melakukannya? Karena kamu temanku.

Itu alasan yang dikatakannya waktu itu, saat aku menanyakan kenapa ia rela membatalkan perjalanannya demi mengantarku pulang. Ternyata hanya sesederhana itu alasannya. Lalu kenapa aku menjadi seperti ini? Menunggu ia mengirim pesan padaku bahkan melaksanakan perintahnya untuk tetap beristirahat di rumah selam tiga hari sampai kakiku benar-benar sembuh. Ah, mungkin aku memang bodoh seperti label yang diberikan Mas Adam selama ini padaku. Tapi kenapa hatiku terasa sakit hanya karena pesanku tak berbalas? Kenapa ada bening yang menetes tanpa permisi di sudut mataku? Aku menangisi hal yang seharusnya tak kutangisi hingga aku terlelap sendiri di sofa.

Rasa lapar membuatku terbangun. Dengan malas aku berdiri, lalu sekilas memandangi penampilan kusutku dari pantulan cermin. Aku hanya menggunakan baju tidur berbahan tipis dengan rambut yang kugulung ke atas. Otakku masih berpikir apa yang akan jadi menu makan malamku kali ini ketika bel pintu berbunyi.

Kurasa itu Mas Adam yang pulang dari luar kota. Mungkin kali ini dia pulang lebih awal dari perkiraannya karena jadwalnya memang sering berubah-ubah. Dengan rasa kantuk yang masih tersisa aku berjalan menuju pintu lalu membuka kuncinya. Namun seketika mataku terbelalak dan rasa kantukku menguap ketika melihat sosok yang berdiri di depan pintu rumahku.

“Ivan!!” pekikku tertahan.

“K-kamu ngapain kemari?” Aku masih terbata-bata.

“Aku baru balik dari Makassar, dari bandara langsung ke sini. Aku ... aku cuma mau tahu keadaanmu. Gimana kakimu? Sudah sembuh?” tanyanya, kurasa pria itu sedang menelan salivanya berkali-kali karena kulihat jakunnya bergerak naik turun.

Ia hanya menatap satu arah, hanya menatap mataku tanpa berkedip.

“Oh. Iya. Sudah baikan kok. Kemarin sudah bisa nyetir ke swalayan dekat sini.”

Aku sedikit grogi. Bagaimana ini? Tak mungkin menyuruhnya masuk, sementara di rumah hanya ada aku. Ia pun terlihat salah tingkah, entah karena apa. Tak biasanya, sebab setahuku Ivan tipe orang yang selalu percaya diri. Itu yang kutangkap dari beberapa kali pertemuan kami.

“Ay, aku lapar. Temanin aku makan malam, ya,” ajaknya, pandangannya masih lurus menatap mataku.

Aku tak menjawab, masih berpikir apa aku harus menerima ajakannya. Aku pun sedang kelaparan, tapi apa menerima ajakan makan malam pria ini adalah pilihan yang tepat? Sialnya perutku justru bunyi keroncongan. Membuatnya tertawa kecil sementara kurasa wajahku sudah merah menahan malu.

“Jangan nolak. Kamu juga lagi kepalaran tuh. Ganti baju sana, kita nyari makan. Oiya, pakai bajunya yang sopan ya, jangan yang tipis seperti itu,” ucapnya sambil membalikkan badannya membelakangiku.

Aku terkejut menatap diriku sendiri.

Brukk!!

Spontan aku menutup pintu dengan kasar ketika menyadari bagaimana penampilanku saat ini. Arrgghh! Bisa-bisanya aku mengobrol dengannya dengan balutan piyama berbahan tipis seperti ini. Buru-buru aku berlari menuju kamarku lalu mengganti pakaianku dan mengurai kembali rambutku. Kuhela napas panjang sebelum kembali membuka pintu, semoga pria itu tak lagi membahas penampilan memalukanku tadi.

Ivan masih berdiri menghadap ke taman kecil di depan rumah, membelakangi pintu.

“Sudah bener belum bajunya?” tanyanya masih memunggungiku.

Plakk!! Kuayunkan tas tanganku memukul punggungnya. Ia terkekeh, kemudian membalikkan tubuhnya.

“Nah ini baru bener.”

“Jangan dibahas!”

“Oke oke. Jadi kita makan di mana?”

“Terserah kamu, asal jangan jauh-jauh dari sini biar aku nggak kemalaman pulangnya. Aku ngikutin mobilmu dari belakang.”

“Ngikutin mobilku?”

“Aku bawa mobilku sendiri.”

“Tapi, Ay.”

“Kalau nggak mau ya udah aku nggak jadi ikut.”

“Ya udah. Tapi kamu yakin sudah bisa menyetir kan?” Ia melirik kaki kiriku.

Aku mengangguk.

Berkali-kali kubunyikan klakson ketika menyadari mobil sport merah yang ada di depan mobilku itu melaju dengan sangat lambat padahal jalanan yang kami lalui tidak lah padat lalu lintas, bahkan justru cenderung lengang menurutku. Berkali-kali pula aku berdecak kesal karena ternyata Ivan sama sekali tak menggubris saat aku memberi kode dengan membunyikan klakson. Akhirnya aku pasrah mengikuti mobilnya dari belakang hingga ia memarkirkannya di parkiran sebuah restoran.

“Kalkson mobilmu korslet, Ay?” tanyanya dengan senyum mengejek saat keluar dari mobilnya.

Aku mencebik, ia terkekeh.

“Percuma punya mobil sport tapi jalannya kayak bekicot!”

Pria itu kembali tertawa lalu mengiringi langkahku ke arah pintu depan resto.

“Kakimu masih dalam penyembuhan, Aya. Takutnya kumat lagi sakitnya kalau kamu tidak berhati-hati berkendara.”

Ah, lagi-lagi ada rasa hangat mengalir di dada. Ternyata dia sengaja karena masih mengkhawatirkanku. Aku tersenyum. Ada perasaan tak biasa di hati ini. Belum pernah aku bisa bercanda selepas ini dengan seseorang sebelumnya.

“Kenapa juga pakai mobil sendiri sih, Ay?”

“Nggak enak kalau ada yang lihat, Van. Takutnya mikir macam-macam, padahal kita hanya mau makan malam,” jawabku.

Takutnya mikir macam-macam, padahal kita hanya mau makan malam.

Apa yang ada dipikiranku? Apa aku sedang mencari alasan untuk membenarkan tindakanku ini? Mengapa aku merasa seperti seorang maling yang takut tertangkap basah?

Aku dan Ivan pun memesan menu, lalu kemudian makan dengan lahapnya ketika makanan kami diantar oleh pelayan restoran. Kurasa kami berdua memang sedang kelaparan sehingga tak ada percakapan apa pun ketika sedang menikmati makanan.

Ponselku berdering. Kucari benda pipih itu dari dalam tas ketika mendengar deringnya. Candra memanggil.

“Kakak di mana? Aku di depan rumah nih dari tadi bunyiin bel nggak dibukain.” Suara Candra saat aku menjawab telepon.

“Ngapain datang malam-malam, Dek?”

“Disuruh ibu anterin makanan.”

Candra masih bertanya beberapa hal hingga akhirnya memutuskan menungguku di teras. Aku melirik Ivan yang dari tadi hanya menatapku ketika mengobrol di telepon.

“Aku harus pulang, Van. Adikku sedang menungguku di rumah.”

“Ya udah. Aku antar.”

“Jangan! Kamu langsung pulang aja, nggak usah anterin aku.”

“Kenapa?”

“Ng-nggak apa-apa. Nggak enak aja kalau ketahuan adikku.”

“Ketahuan apa, Ay? Kita kan cuma makan malam. Itu pun berangkatnya masing-masing.”

Aku tak menjawab. Ivan pun berjalan menuju kasir dan membayar makan malam kami. Lalu kemudian kami kembali melangkah beriringan keluar restoran. Ia mengantarku sampai aku masuk ke mobil.

“Ay,” panggilnya sebelum aku menutup pintu mobil.

“Ya.”

“Kenapa aku merasa kita seperti sedang main kucing-kucingan ya. Padahal kan kita nggak ngapa-ngapain.”

Aku memilih tak menanggapi, karena aku pun merasakan hal yang sama.

“Aku duluan, ya. Terima kasih traktiran makan malamnya.”

“Kata siapa gratis! Lain kali kamu yang traktir,” jawabnya terkekeh.

Aku hanya menatapnya datar lalu menutup pintu dan mulai menyalakan mesin mobilku. Sesekali kutatap spion ketika menyadari jika mobil sport merah itu tenyata terus mengikutiku dari belakang hingga tiba kembali di depan rumahku. Ivan membunyikan klakson setelah melalui mobilku yang sudah berhenti di depan rumahku, lalu mobil merah metalik yang tadi kusebut bekicot itu melaju kencang setelahnya.

Ia tetap mengantarku pulang dengan caranya sendiri, padahal aku tadi sudah menyuruhnya langsung pulang! Dan itu sekali lagi membuatku tersentuh.

BERSAMBUNG.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya DOSA TERINDAH (BAB 11 SAMPAI 20)
9
0
Ia dinikahi, tapi tak dihargai. Pertemuan tanpa sengaja dengan seseorang yang pernah menyukainya di masa lalu membuat Cahaya Kirana jatuh dalam dosa terindah.   
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan