
AKU TANPAMU menceritakan pasang surutnya kehidupan Tania Nadira sepeninggal suami tercintanya, Farhan Ibrahim.
Tania kembali menemukan jodohnya, namun ternyata bayang-bayang masa lalu kelam sang suami menghantui perjalanan rumah tangganya.
Bagaimana akhir kisah cinta Tania? Akankah kebahagiaannya harus kembali terenggut?
PART 1. PEDIHNYA KEHILANGAN
Kutatap sendu gundukan tanah merah yang masih basah dan dipenuhi oleh taburan bunga-bunga segar di atasnya. Di dalam sana, terbaring jasad suamiku yang baru saja dimakamkan. Namanya terukir di sebatang kayu yang tertancap di atas pusaranya, Fahran Ibrahim. Nama yang selalu membuat hatiku bergetar penuh cinta. Nama lelaki yang selama setahun ini menjadi imamku. Nama orang yang sangat kucintai, yang membuatku selalu bersemangat menjalani hari-hariku, terlebih setelah aku mengandung anaknya yang kini sudah 5 bulan bersemayam dalam rahimku. Kuelus perut buncitku dengan air mata yang terus berderai.
“Mbak, kita pulang, ya. Sudah sore dan juga mendung.” Suara Fahry, adik iparku tak membuatku mengalihkan pandanganku dari pusara suamiku.
Sejenak aku menengadah menatap langit yang memang sedang mendung. Awan kelabu berarak perlahan di atas sana, hitam dan kelam. Langit sore seakan menggambarkan suasana hatiku saat ini. Kembali kususut bening di sudut mataku yang sedari tadi tak hentinya mengalir dari kelopak yang terasa terus memanas. Lalu kembali aku menunduk, menatap gundukan tanah merah di mana belahan jiwaku baru saja dibaringkan di dalam sana.
“Benar kata Fahry, Nak. Ini sudah sore dan langit semakin gelap. Kita pulang, ya.” Kali ini suara ibu mertuaku yang membujuk.
Aku menoleh pada wanita yang telah melahirkan suamiku itu. Sama sepertiku, di wajahnya pun tergambar jelas kesedihan yang mendalam. Kepergian Mas Farhan pastilah juga membuat wanita renta itu sangat terpukul, bahkan mungkin melebihi rasa kehilangan yang sedang menderaku karena ia adalah orang yang berjuang bertaruh nyawa melahirkan Mas Farhan ke dunia.
“Sebentar lagi, ya, Bu. Tania masih mau di sini,” lirihku.
“Tapi hari sudah mulai gelap, Nak.”
Kembali kutengadahkan wajahku ke langit. Memang langit terlihat sangat kelam, padahal kurasa ini belum jam 5 sore. Gerimis bahkan sudah jatuh satu persatu, memberi tanda bahwa sebentar lagi langit memang akan menangis.
“Besok kita ke sini lagi, Mbak. Nengokin Mas Farhan. Aku janji akan mengantar Mbak Tania ke sini besok,” bujuk Fahry. “Mbak Tania juga sudah terlihat kelelahan, tak baik buat kandungan Mbak. Aku yakin jika Mas Farhan melihat Mbak seperti ini, ia juga nggak akan suka,” lanjutnya.
Fahry benar. Sejujurnya tubuhku sudah sangat lelah setelah seharian ini syok menghadapi kenyataan bahwa suamiku, belahan jiwaku, tiba-tiba saja telah pergi mendahuluiku menghadap Sang Pencipta.
Aku pun mengangguk pada adik iparku itu. Lalu kembali menunduk dan mengusap-usap pusara Mas Farhan.
“Tania pulang, ya, Mas. Insya Allah besok Tania kembali lagi. Mas Farhan baik-baik di sana, ya. Tunggu aku di sana,” ucapku lirih, air mata kembali luruh dari netraku yang membasahi wajahku bercampur dengan air hujan yang mulai turun satu per satu.
Fahry membuka pintu mobilnya untukku dan ibu. Tanpa kata. Kami bertiga masuk ke dalam mobil Fahry tanpa ada satu pun yang bersuara. Ibu duduk di samping putra bungsunya yang kemudian berkonsentrasi menyetir mobilnya, sementara duduk di belakang dan masih berjuang melawan rasa sesak yang menguasai dadaku mengingat separuh jiwaku yang telah pergi.
Tadi pagi Mas Farhan masih bersamaku, berpamitan padaku saat akan berangkat bekerja ke bengkel kecil miliknya. Semua terasa normal seperti hari-hari sebelumnya, di mana aku pagi-pagi melaksanakan rutinitasku membuat sarapan pagi untuknya, kemudian menemaninya sarapan sambil sesekali bergurau. Lalu kemudian ia berpamitan padaku dan tak lupa ritualnya mencium perutku yang semakin hari semakin membuncit karena usia kehamilanku yang sudah menginjak bulan ke-lima. Lalu aku akan mengantarnya sampai di depan rumah, tak lupa membawakan bekal makan siangnya dan menggantungnya di motor Mas Farhan. Aku selalu melakukan itu sendiri karena Mas Farhan selalu lupa membawa bekal yang sudah kusiapkan. Maka setiap hari, aku sendiri yang akan menggantung bekal makan siangnya di motor Mas Farhan.
Hal yang tak biasa kemudian terjadi ketika baru beberapa saat Mas Farhan melajukan motornya, tapi ia tiba-tiba saja kembali dan langsung masuk ke dalam kamar kami di mana aku sedang membereskan kamar yang menjadi kamarku dan Mas Farhan.
“Ada apa, Mas? Apa ada yang ketinggalan?” tanyaku menatapnya heran saat ia tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar kami.
“Iya, Dik. Tadi Mas belum nyium kamu dan dedek bayi. Makanya Mas kembali lagi,” ucapnya. Kemudian mencium keningku dan ubun-ubun kepalaku.
“Kan tadi udah, Mas.” Bibirnya masih mencium dalam-dalam keningku. Aku terdiam dan mengeryitkan keningku. Tak biasanya Mas Farhan seperti ini.
Kemudian ia menunduk dan kembali mencium perutku seperti tadi.
“Sehat-sehat di dalam sana, ya, Nak. Jangan rewel dan jangan bikin bundamu repot. Kalau udah lahir nanti kamu harus jaga bundamu, ya,” bisiknya. Aku semakin menautkan alisku heran.
Lalu Mas Farhan kembali menegakkan tubuhnya dan menatapku. Ia meraup pipiku dengan kedua telapak tangannya lalu menatap mataku dalam.
“Kamu cantik sekali, Istriku. Mas bahagia memilikimu. Jaga anak kita baik-baik, ya. Mas pamit dulu.” Terasa ada getar dalam nada suaranya. Ia kemudian kembali menghujani wajahku dengan ciuman. Mataku, hidungku, kedua sisi pipiku, lalu keningku, semua dihujaninya dengan kecupannya.
“Kamu kenapa, Mas? Enggak seperti biasanya,” ucapku.
“Mas maunya setiap hari bisa menciummu seperti ini, Dek.”
“Mas Farhan aneh, deh.” Aku kembali menatap heran padanya.
Kemudian pria yang sudah setahun menikahiku itu kembali tersenyum. “Rasanya masih kurang, Dik,” ucapnya sambil terkekeh.
“Udah, ah. Mas berangkat sana. Tadi katanya ada pelanggan bengkel yang mau ambil kendaraannya pagi-pagi. Nanti pelanggannya protes loh kalau Mas terlambat.”
“Ya udah, Mas pamit, ya.”
Aku mengangguk tersenyum, kemudian melanjutkan kegiatanku menyapu lantai kamar setelah punggung Mas Farhan menghilang di balik pintu. Namun sekali lagi lelaki itu muncul dari pintu lalu kembali menghampiriku dan memeluk erat pinggangku hingga aku merasa sesak.
“Mas!”
“Hehe, maaf. Rasanya yang tadi masih kurang.” Ia terkekeh.
“Apa aku perlu ikut Mas ke bengkel menemani Mas Farhan bekerja?” tantangku.
“Enggak. Kamu di rumah aja nemanin ibu. Jaga bayi kita, ya. Ia adalah harta yang paling berharga yang kutinggalkan untukmu.” Suaranya terdengar lirih.
“Ihh! Kamu aneh-aneh aja deh, Mas. Udah sana berangkat. Cari rezeki yang halal ya untukku dan dedek bayi.”
“Hmmm,” gumamnya. Sekali lagi ia mencium keningku sambil membelai perutku.
💦Bersambung💦
PART 2. SEPARUH JIWAKU PERGI
“Yuk, turun, Mbak!” Suara Fahry membuyarkan lamunanku yang membayangkan cara pamit Mas Farhan yang sedikit aneh tadi pagi.
Rupanya kami sudah tiba kembali di rumah. Ibu mertuaku bahkan sudah lebih dulu turun, kulihat beliau berlari kecil masuk ke dalam rumah menghindari gerimis. Aku sendiri tak menyadari jika mobil Fahry sudah terparkir di depan rumah ibu.
“Ini payungnya, Mbak.” Fahry menawarkan payung sambil membukakan pintu mobil.
“Kenapa payungnya enggak dikasih buat ibu tadi? Ibu sampai berlari menghindari hujan tadi,” jawabku pelan.
“Udah, Mbak. Tapi kata ibu buat mayungin Mbak Tania aja.”
“Enggak usah, Fad. Biar payungnya buat kamu aja.” Aku turun dari mobil dan menolak tawaran payung dari Fahryi.
Kulangkahkan kakiku ke arah pintu rumah sambil sesekali memejamkan mata meresapi gerimis yang mulai berubah menjadi hujan.
‘Bahkan langit pun menangisi kepergianmu, Mas,’ gumamku dalam hati.
Aku memperlambat langkahku, masih ingin menikmati aroma hujan ini, berharap hujan bisa menghapus sedikit saja lara dalam hatiku. Namun Fahry tiba-tiba saja sudah berdiri mensejajarkan langkahnya di samping sambil memayungiku.
“Nanti Mbak Tania sakit hujan-hujanan.”
Aku tak menjawab dan tak juga mendebat. Lalu dengan langkah gontai aku melangkah ke dalam rumah. Beberapa kerabat masih ramai mempersiapkan doa tahlil yang akan digelar malam ini. Kulihat ada beberapa anak-anak remaja tanggung yang tengah duduk bersila di karpet yang digelar di ruang tengah rumah ibu.
“Tania, anak-anak ini ingin bertemu kamu. Katanya mereka semua dari pesantren kampung sebelah yang pernah diajar oleh suamimu,” ucap ibu memperkenalkan mereka.
Para remaja tanggung itu mengangguk hormat padaku dan kubalas dengan nggukan yang sama.
“Kamu murid dari Ustaz Farhan, Bu. Kami semua kemari untuk menyampaikan rasa bela sungkawa kami atas Uztaz Farhan,” ucap salah satu dari mereka.
“Terima kasih, ya. Doakan Mas Farhan, ya,” jawabku lirih.
Kutatap wajah mereka satu persatu, semua menggambarkan kesedihan.
‘Satu lagi yang membuat kekagumanku bertambah padamu, Mas. Ternyata begitu banyak orang yang kehilangan atas kepergianmu,’ batinku.
Aku pun mendengarkan ketika salah satu dari mereka menuturkan padaku bagaimana suamiku selama ini telah mengajarkan banyak kebaikan pada mereka, dan itu semua dilakukannya tanpa bayaran.
“Ustaz Farhan selalu bilang kalau beliau hanya mengharapkan balasan pahala atas apa yang selama ini telah diajarkannya pada kami.” Salah satu santri itu menyeka sudut matanya, kemudian diikuti oleh teman-temannya yang lain.
‘Lihatlah, Mas. Lihatlah mereka masih memerlukanmu. Mengapa kamu malah terlalu cepat meninggalkan kami semua?’ batinku, salivaku yang kutelan serasa keras bak batu. Sesak kembali menguasai dadaku.
Sebenarnya aku tak setuju mereka menyebut Mas Farhan sebagai ustaz. Karena semasa hidupnya Mas Farhan pun sering protes jika ada yang menyapanya dengan panggilan Ustaz. Menurutnya ilmu agamanya masih sangat dangkal untuk sebutan itu. Mas Farhan memang sering menggunakan waktu luangnya untuk mengajar para santri di pesantren yang terletak di kampung sebelah itu. Kepawaiannya dalam menulis naskah dimanfaatkannya untuk membimbing para santri untuk menuangkan dakwah mereka lewat tulisan. Ya, Mas Farhan memang sangat menyukai menulis. Di kamar kami bahkan penuh dengan buku-buku bacaan, sebab menurutnya tulisannya akan semakin bagis dan berisi jika ia sering membaca. Buku-buku bacaannya kebanyakan mengenai sejarah peradaban Islam dan bedah dalil ataupun hadits.
“Saya pamit masuk dulu, ya.” Aku berucap. Aku sudah merindukan kamar kami, aku ingin segera masuk ke sana sebab di sana masih ada aroma tubuh suamiku meskipun kini jasadnya telah terkubur di dalam tanah.
Kurebahkan tubuhku memandangi langit-langit kamar. Rasa lelah mendera saat punggungku menyentuh tempat tidurku dan Mas Farhan. Kusapukan tanganku ke arah samping. Terasa dingin, dan mungkin selamanya tempat tidur ini akan terasa dingin karena tak akan ada lagi kehangatan suamiku setelah ini. Kembali kupejamkan mataku saat kilasan-kilasan kejadian tadi pagi kembali melintas di kepalaku.
Sekitar satu jam setelah pamitan Mas Farhan yang menurutku sedikit aneh, ibu mengetuk kamarku dengan ketukan yang tak biasa. Saat itu aku masih berbaring sambil memijat-mijat pinggangku yang terasa pegal.
“Ada apa, Bu?” tanyaku saat membuka pintu. Tatapan ibu saat itu semakin aneh, wajah rentanya pun terlihat pucat.
“I-itu ... suamimi, Nak. Suamimu!”
“Ada apa, Bu? Ada apa dengan Mas Farhan?”
“Suamimu, Nak. Suamimu! Ibu ... ibu baru saja menerima kabar bahwa Farhan kecelakaan dan sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit.”
“Apa, Bu?? Mas Farhan kecelakaan? Tapi ... tapi bagaimana bisa. Bukankah ... bukankah ia ....” Aku belum sempat meneruskan kalimatku ketika gawaiku berdering.
Fahry memanggil. Aku melirik ibu sekilas, wajah wanita renta itu masih terlihat panik.
Dengan kepanikan yang sama aku segera menjawab telepon dari Fahry, bahkan lupa mengucapkan salam.
[Apa yang terjadi, Fahry! Di mana suamiku! Di mana Mas Farhan!] seruku di telepon.
[Mbak ... Jadi Mbak Tania sudah dengar beritanya? Mas Farhan ... Mas Farhan kecelakaan, Mbak. Ini aku lagi di rumah sakit.]
[Di rumah sakit mana, Fahri? Aku mau ke sana!]
[J-jangan, Mbak. Mbak Tania enggak usah datang ke sini. Mbak Tania dan juga Ibu. Kalian ... kalian tunggu di rumah aja. Ini ... ini aku sedang mengurus kepulangan Mas Farhan.]
Aku menangkap rasa panik, gugup, sedih dan berbagai perasaan lainnya dari suara Fahry. Apa katanya tadi? Menyiapkan kepulangan Mas Farhan? Apa itu berarti Mas Farhan baik-baik saja? Ada sedikit harapan dalam khayalku.
[P-pulang? Apa Mas Farhan baik-baik saya, Ry? Apa ia sudah boleh langsung pulang dan tak perlu menjalani perawatan?] Kuselipkan seuntai doa mengiringi tanyaku.
[Bu-bukan, Mbak. Mas Farhan ... Mas Farhan meninggal dalam kecelakaan tadi. Aku sedang mengurus pemulangan jenazah Mas Farhan ....]
Suara Fahry masih terdengar, ia belum mengakhiri telepon. Namun kakiku sudah tak sanggup lagi menopang tubuhku. Gawaiku bahkan telah terlepas dari genggaman. Apa yang dikatakan Fahry barusan membuat dadaku seolah dihantam palu godam. Hancur berkeping-keping.
“M-Mas Farhan.”
Aku masih mendengar suaraku menggumam sebelum akhirnya semua menjadi gelap!
Bersambung.
PART 3. SEMUA KEINDAHAN ITU TELAH HILANG
Tiga hari setelah kepergian Mas Farhan, rumah ibu tak pernah sepi dari para pelayat. Di hari ke tiga bahkan kami semua dikejutkan dengan kedahiran serombongan anak-anak dari panti asuhan. Dengan menumpang 3 buah mobil angkot, mereka berhamburan masuk ke dalam rumah ibu kemudian menyalamiku dan ibu yang masih terbengong-bengong. Dari salah seorang pendamping mereka akhirnya kami tau jika Mas Farhan semasa hidupnya menjadi salah satu donatur tetap di Panti Asuhan Kasih Ibu itu.
Mengapa aku justru tak mengetahui semua kebaikan suamiku selama ini? Mas Farhan tak pernah sekalipun memotong jatah uang belanja bulanan untukku, namun ia masih bisa menjadi donatur tetap di panti asuhan. Betapa mulia akhlakmu wahai suamiku! Aku kembali menyusut mataku ketika mengenangnya.
“Bahkan selama 5 bulan belakangan ini, selain menjadi donatur tetap, Mas Farhan juga setiap hari jumat bersedekah nasi bungkus pada anak-anak panti. Katanya itu dilakukannya karena rasa syukurnya atas kehamilan istrinya.” Pengasuh panti melirik padaku.
Hatiku semakin sesak, air mata kembali membanjiri pipiku.
“Kami mendoakan semoga Mbak Tania dan bayinya selalu sehat dan dalam lindungan Allah. Kami sungguh menyesal baru mendengar kabar ini dan baru bisa datang kemari setelah hari yang ketiga kepergian Mas Farhan.” Wanita paruh baya yang terlihat sedikit lebih gemuk dari ibu itu turut menyeka sudut matanya.
Beberapa anak yatim yang duduk bersila di rumah ibu juga terdengar terisak-isak sambil terus melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran.
Perwakilan pihak perusahaan yang mobilnya menabrak bengkel kecil milik suamiku, dimana ia sehari-hari bekerja mencari nafkah pun datang mengucapkan bela sungkawa dan meminta maaf atas kelalalaian karyawannya yang menyebabkan Mas Farhan meregang nyawa di bengkel tempat di mana ia sehari-hari membanting tulang.
Ya, Mas Farhan tewas di bengkel kecil miliknya ketika sebuah truk pengangkut alat-alat bangunan menabrak bengkelnya. Dari hasil olah TKP akhirnya diketahui jika truk yang menabrak bengkel suamiku itu sedang mengalami rem blong. Aku selalu tak sanggup mendengarkan cerita mengenai kronologi kecelakaan yang menimpa Mas Farhan. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana ia menyambut malaikat maut menjemputnya pada saat itu. Apakah ia sedang mengingatku dan bayi kami?
Malam harinya setelah pembacaan doa-doa, rumah ibu pun sudah mulai berangsur-angsur sepi. Satu persatu keluarga juga sudah kembali ke rumah masing-masing. Sebenarnya Ibu pun tak bermaksud mengundang khalayak sampai 3 malam untuk pembacaan doa-doa. Namun semua mengalir begitu saja, bahkan aku dan ibu sama sekali tak menyediakan apa-apa. Para tetangga dan kerabat serta beberapa teman Mas Farhan yang bahkan ada yang belum kekenal tak hentinya berdatangan membawa berbagai jenis makanan lalu melantunkan doa-doa dan mengucapkan kata-kata bela sungkawa padaku dan ibu.
Aku benar-benar dibuat takjub dengan semua ini. Ternyata semasa hidupnya Mas Fahran sungguh banyak meninggalkan kebaiakan, dan itu semua baru kuketahui setelah kepergiannya. Kuusap lembut perut buncitku, aku bangga dengan titipan Mas Farhan di dalam rahimku ini, semoga kelak anak kami bisa meneruskan semua kebaikan-kebaikan ayahnya.
“Maaf ya, Mbak Tania. Aku baru bisa datang hari ini, beberapa hari kemarin sedang berada di rumah orangtuaku di Bandung.” Suara seorang wanita membuyarkan lamunanku tentang Mas Farhan. Aku menoleh dan mendapati wajah cantik Nasya, kekasih Fahry tepat di hadapanku.
“Eh, iya. Enggak apa-apa, Nas,” jawabku.
“Aku turut berduka cita ya, Mbak, atas kepergian Mas Farhan,” ucapnya lagi. Aku menjawab dengan anggukan, Nasya memelukku, memberikan dukungan kekuatan padaku.
Kini, di rumah besar milik Ibu hanya tersisa aku, ibu, Fahry dan Nasya. Semua tetamu dan keluarga sudah kembali ke rumah masing-masing. Rumah ibu memang luas, bahkan termasuk salah satu rumah yang paling bagus di lingkungan tempat tinggal ibu. Menurut Mas Farhan, ini semua adalah hasil kerja keras Fadly. Ia memang berprofesi sebagai seorang arsitek dan bekerja di sebuah perusahaan yang berasal dari luar negeri yang trekenal sebagai perusahaan nomor wahid di Indonesia. Jabatan Fahry di perusahaan itu juga tidak main-main, ia adalah kepala arsitek di sana.
Dulu, aku sempat bingung melihat perbedaan yang sangat mencolok antara Mas Fahran dan Fahry, adiknya. Mas Farhan hanya membuka bengkel kecil-kecilan yang akhirnya menjadi tempatnya menjemput ajal, sedangkan Fahry punya pekerjaan yang sangat bergengsi yaitu seorang arsitek ternama. Mas Farhan sendiri hanya mengatakan bahwa tak ada yang aneh, semua adalah jalan hidup yang sudah menjadi ketetapan Allah jika aku menanyakan mengenai kondisinya dan Fahry yang berbeda jauh.
Namun dari ibu, aku mendengar cerita bahwa Mas Farhan lah yang membiayai semua biaya sekolah Fahry hingga kuliah dan lulus sebagai arsitek. Mas Farhan mengalah tak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah karena ia menjadi tulang punggung keluarga sejak ayah mereka meninggal dunia ketika Mas Farhan masih duduk di bangku SMA. Mas Farhan kemudian bekerja di sebuah bengkel kecil, dari hasil kerja kerasnya itulah ia bisa menghidupi ibu dan adiknya serta membantu Fahry menggapai cita-citanya menjadi arsitek.
Fahry sendiri terlihat menyayangi ibu dan Mas Farhan, ia selalu terlihat patuh pada kakak satu-satunya itu. Mungkin karena ia merasa jasa Mas Farhan sangat besar dalam keberhasilannya sekarang. Bahkan bengkel kecil milik Mas Farhan juga Fahry lah yang memodalinya di awal. Meski yang kudengar dari ibu, Mas Farhan tetap mengembalikan modal tersebut pada adiknya dengan menyicil.
Ibu bahkan terpaksa turun tangan saat itu karena Mas Farhan dan Fahry berdebat mengenai uang modal bengkel yang terus dicicil Mas Farhan. Fahry tak mau menerimanya karena merasa ia masih lebih banyak berutang budi pada Mas Farhan, sedangkan Mas Farhan pun tetap bersikeras mengembalikan uang tersebut.
Mengenang suamiku selalu saja membuatku tak dapat menahan tangisanku. Aku kehilangannya, sangat kehilangan! Rasa haus membuatku meraih teko di atas nakas yang ternyata sudah kosong, lalu dengan langkah berat aku bermaksud keluar dari kamar untuk mengisi teko.
“Astaghfirullahladzim!” pekikku tertahan saat melihat pemandangan di sofa ruang tengah tepat disaat aku membuka pintu.
Fahry dan Nasya sedang berciuman!
Aku buru-buru hendak membalikkan badan ketika Fahry berdiri dan menghampiriku.
“Maafkan kami, Mbak,” ucapnya. “Mbak Tania mau ke mana?” tanyanya lagi.
“Eh ... ini ... mau isi teko.”
“Sini, Mbak. Biar Fahry yang isikan.” Fahry meraih teko dari tanganku lalu berjalan menuju dapur. Tak lama kemudian ia kembali dan menyerahkan teko yang sudah terisi padaku.
“Kalau perlu apa-apa jangan sungkan meminta bantuanku, ya, Mbak,” ucapnya. Aku hanya mengangguk.
💦Bersambung💦
PART 4. SELERA YANG SAMA
Kututup kembali pintu kamar setelah menerima teko yang sudah diisi penuh oleh Fahry. Inilah salah satu perbedaan mencolok Mas Farhan dan Fahry. Mas Farhan pria yang menjalani kehidupannya dengan sangat taat. Dulu Mas Farhan mengaku padaku bahwa ia tak pernah mengenal pacaran. Masa mudanya dihabiskannya dengan bekerja, mencari nafkah untuk ibu dan adiknya. Sehingga aku adalah wanita pertama yang disentuh olehnya. Aku bahkan masih ingat ketika tangannya terlihat gemetaran saat akan akan menyentuh tanganku sesaat setelah ia mengucapkan ijab qobul. Bibirnya juga bergetar dan wajahnya merah padam saat pria itu mencium keningku pertama kalinya setelah kami telah resmi berstatus suami istri.
Berbeda dengan Fahry yang menganut gaya pacaran metropolitan. Mungkin karena pergaulannya yang luas dan banyak bekerja sama dengan orang-orang luar, membuat Fahry sangat berbeda dari kakaknya. Bahkan pernah beberapa kali aku mendengar suamiku menegur Fahry kala itu ketika ia memergoki Fahry dan Nasya berperilaku yang menurut Mas Farhan tak sepantasnya. Kurasa mungkin waktu itu Mas Farhan melihat adegan seperti yang baru saja kulihat.
Tak sekali dua kali pula aku mendengar ibu mertuaku menegur putra bungsunya itu.
“Apa enggak ada gadis yang lebih baik dari dia, Nak?” ucap ibu waktu itu di meja makan saat mereka sedang membahas hubungan Fahry dan Nasya. Aku sendiri tak pernah mau ikut campur dan memilih hanya fokus pada rumah tanggaku dan Mas Farhan.
“Fahry mencintainya, Bu.” Hanya itu jawaban Fahry.
“Jika kamu memang mencintainya, mintalah ia untuk berubah, Ry. Apa kamu enggak risih melihat wanita yang kamu cintai itu mempertontonkan auratnya ke semua lelaki.”
Mengenai gaya berpakaian Nasya, aku sudah sering mendengar ibu mertuaku memprotesnya. Bahkan padaku pun ibu sering berkeluh kesah mengenai kekhawatirannya pada hubungan Fahry dan Nasya. Namun, ibu tak pernah memperlihatkan ketidaksukaannya langsung di hadapan Nasya. Ibu akan tetap bersikap baik dan ramah jika gadis modis dan seksi itu berkunjung ke rumah.
***
Beberapa minggu setelah kepergian Mas Farhan, kulihat Fahry pun jarang sekali pulang ke rumah. Ia hanya menginap sesekali dan kadang-kadang datang hanya untuk makan, karena memang Fahry sangat menyukai masakan ibunya. Dari ibu mertuaku, kudengar jika Fahry selama ini memilih tinggal di mess perusahaan.
“Ibu tak mau kalian menjadi perbincangan tetangga, Nak. Makanya ibu meminta Fahry mengalah dan sementara tinggal di mess perusahaannya.” Itu jawaban ibu beberapa saat lalu sewaktu aku bertanya kenapa Fahry jarang pulang ke rumah.
“Kenapa kami jadi perbincangan, Bu?” tanyaku tak paham.
“Suamimu sudah meninggal, Nak. Hubunganmu dan Fahry adalah ipar. Ibu pernah mendengar beberapa ibu-ibu pengajian membicarakan mengenai kalian yang masih tinggal satu atap. Saat ibu menanyakan pada Ustazah Halimah, ternyata hal itu memang tidak baik karena bisa saja menimbulkan fitnah. Maka ibu menyuruh Fahry sementara ini tinggal di tempat lain, dan ia kemudian memilih tinggal di mess.”
Sejujurnya aku juga pernah mendengar mengenai desas desus ini, namun aku memilih mengabaikannya. Aku pun sudah pernah meminta pada ibu untuk kembali saja ke rumah orangtuaku setelah Mas Farhan meninggal namun ibu mertuaku tak mengizinkan.
“Tetaplah di sini bersama ibu, Tania. Dengan adanya kamu di rumah ini, aku masih merasa dekat dengan Farhan, karena ia meninggalkan anak yang ada di dalam kandunganmu.” Itu alasan ibu tak memperbolehkanku kembali ke rumah orang tuaku.
“Mbak Tania jangan ke mana-mana. Mbak Tania dan anak Mas Farhan kelak adalah tanggungjawab kami, Mbak.” Itu kata Fahry menanggapi.
Maka aku pun memutuskan untuk tetap tinggal di rumah ini, terlebih aku masih ingin selalu mengenang kebersamaanku dengan Mas Farhan di setiap sudut rumah ini. Kebersamaan singkat namun membawa banyak kebahagiaan dalam hatiku, sebelum akhirnya semua kebahagiaan itu harus terenggut seiring dengan kepergian suamiku ke haribaan-Nya.
***
“Mbak Tania!” Suara Fahry mengejutkanku di saat aku sedang berada di dapur pagi-pagi buta.
Aku selalu merasa lapar saat bangun di pagi hari dan pasti akan selalu menuju dapur mencari apa saja yang bisa dimakan. Ini menjadi kebiasaanku sejak usia kandunganku menginjak usia 6 bulan hingga saat ini, di mana usia kehamilanku sudah tinggal menunggu waktu untuk bersalin.
“Fahry!” Aku pun berseru kaget ketika Fahry memergokiku di dapur.
Bukan karena takut ketahuan sedang mencari makananan, ibu mertuaku bahkan biasanya sengaja menyiapkan berbagai macam stok makanan di kulkas karena tau bahwa aku akan selalu terbangun pagi-pagi buta mencari apa yang bisa kumakan.
Namun yang membuatku grogi adalah saat ini aku sedang tak memakai jilbabku karena aku sama sekali tak tau jika Fahry sedang menginap di rumah.
“A-aku enggak tau kalau kamu sedang menginap, Ry. Maafkan aku.” Aku buru-buru hendak membalikkan badanku dan kembali ke kamar.
“Jangan, Mbak! Biar Fahry saja yang pergi. Sepertinya Mbak Tania sedang mencari makanan,” ucapnya.
Aku kembali membalikkan badanku, sepintas lalu kulihat jakun Fahry bergerak menelan salivanya. Aku semakin salah tingkah. Lalu dengan tergesa Fahry pun beranjak dari dapur dan kembali menuju kamarnya.
“Huffttt!” Aku menggumam.
Kutatap penampilanku di pantulan cermin saat kembali ke kamarku. Bagaimana mungkin aku seceroboh ini? Sepertinya Fahry tadi tak melepaskan pandangannya dariku. kuperhatikan bayanganku di dalam cermin, aku sedang memakai piyama dengan rambut yang kugulung ke atas, itu membuat leherku terekspos dengan sempurna. Sangat memalukan! Fahry bahkan sampai menelan kasar salivanya saat menatapku tadi. Kurasa inilah salah satu yang membuat ibu menyuruhnya tinggal terpisah. Karena kejadian-kejadian tak disengaja seperti ini bisa saja terjadi.
Kuraih gawaiku ketika benda itu berdering. Pesan masuk dari nomor Fahry.
[Maaf, ya, Mbak. Fahry tadi enggak tau kalau Mbak Tania ada di dapur.]
[Enggak apa-apa, Ry. Mbak juga minta maaf karena tak tau kalau kamu sedang menginap di rumah.]
[Iya, Mbak. Aku sedang kangen ibu dan juga kangen Mbak Tania makanya menginap.]
‘Astaga! Apa ia baru saja bilang bahwa ia kangen padaku?’ batinku. Sungguh isi pesan Fahry mengandung makna yang bersayap kali ini. Aku memlilih tak membalasnya.
[Kapan lahiran, Mbak. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku, ya.]
[Kata dokter mungkin dalam minggu ini. Enggak usah repot-repot, Ry. Ada ibu kok, bagiku itu sudah cukup.]
[Tapi aku harus menggantikan peran Mas Farhan, Mbak. Aku harus memastikan bahwa Mbak Tania dan bayi Mas Farhan tak kekurangan apapun juga.]
Aku memang tak pernah merasa kekurangan materi meskipun Mas Fahran telah tiada. Ibu selalu mempercayakan uang belanja padaku dan selalu memberi lebih. Ibu juga berpesan agar kelebihannya untuk kusimpan saja, meski aku tau jika ibu memang sengaja memberikan uang belanja lebih banyak agar aku tak perlu merasa segan jika ibu hanya memberikan uang secara cuma-cuma. Ya, aku tak pernah kekurangan materi, tapi aku kehilangan kasih sayang suami tercintaku.
Lagi-lagi aku memilih tak membalas pesan dari Fahry.
[Aku baru sadar ternyata Mbak Tania sangat cantik.]
Satu pesan terakhir dari Fahry disertai emoticon senyum di akhir kalimat berhasil membuatku meremang. Apa adik iparku itu sedang memujiku? Apa ia mengatakan itu karena tadi melihat auratku? Kembali kutatap diriku di dalam cermin. Leher jenjangku memang terlihat sangat jelas karena rambutku tergulung ke atas. Dulu, bagian tubuhku yang ini juga selalu membuat Mas Farhan memujiku. Apa Mas Farhan dan Fahry punya selera yang sama? Mengapa Fahry bisa dengan gamblang memujiku seperti itu meski hanya lewat pesan? Tidakkah ia merasa bersalah pada Mas Farhan?
💦Bersambung💦
PART 5. RAHASIA TERPENDAM
Hingga akhirnya tiba masanya aku mengalami kontraksi, ibu mertuaku dan juga ibuku lah yang datang untuk menemaniku. Rumah orangtuaku memang hanya berjarak sekitar 5 km dari rumah ibu mertuaku. Ibuku dan ibu mertuaku pun memang sudah saling mengenal sejak lama. Menurut ibu, mereka dulu bertetangga kontrakan pada saat masing-masing belum memiliki rumah pribadi dan masih sama-sama mengontrak. Pada saat itu, kami semua masih bocah, bahkan adikku Nilam masih bayi.
Lalu kemudian orangtuaku pindah setelah membeli perumahan sederhana mengingat ayahku hanya seorang guru berpangkat rendah, sedangkan ibuku sehari-hari membantu mencari tambahan dengan menjual kue-kue basah. Rupanya hubungan silaturahmi ibuku dan ibu mertuaku tak berhenti setelah itu. Ibu mertuaku masih sering datang ke rumah kamu dan membeli kue-kue dagangan ibu. Itu terus berlanjut hingga akhirnya pada saat Mas Farhan dan Fahry beranjak remaja, mereka berdua lah yang akhirnya sering disuruh oleh Bu Siti, ibu mertuaku untuk datang ke rumah mengambil kue-kue pesanannya.
Maka dari sana lah awalnya aku mengenal keduanya, meski tak pernah sekalipun berkomunikasi dengan mereka berdua selain untuk urusan pemesanan atau pun pengambilan kue.
Aku kembali merintih saat gelombang kontraksi itu kembali datang menyerang. Dengan tangan yang sudah dingin kuremas tangan ibu dan ibu mertuaku kuat-kuat sambil terus membaca istighfar. Saat ini, aku memang sudah berada di ruang persalinan di salah satu praktek bidan di dekat rumah kami.
Kesakitan dan kontraksi yang kurasakan membuat ingatanku melayang pada Mas Farhan. Sewaktu hamil dulu, ia lah yang selalu menemaniku memeriksakan kehamilanku ke tempat ini. Ia juga sering kali mengatakan jika ia ingin aku melahirkan di bidan praktek saja, agar ia bisa menemaniku dari awal prosesnya hingga bayi kami lahir. Setiap hari sebelum tidur atau sepulangnya dari Masjid setelah salat wajib, Mas Farhan akan mengelus-elus perutku, mendoakan agar aku diberi kemudahan dan bisa melahirkan secara normal.
“Mas sangat berharap kamu bisa lahiran normal nantinya, Dik. Mas berjanji akan menemanimu menjalani prosesnya hingga bayi kita lahir.” Itu yang selalu diucapkannya, sekaligus menjadi harapan yang tak sempat diwujudkannya.
Air mataku selalu saja menetes jika mengingat Mas Farhan. Dari hatiku yang paling dalam sejujurnya aku pun sangat mendambakan bisa melalui proses ini dengannya, dengan belaiannya menenangkanku ketika kontraksi itu datang, dengan kalimat-kalimatnya yang selalu menyemangatiku, dengan bacaan-bacaan doa bagiku dan juga bayi kami yang selama ini selalu dilangitkannya.
Namun, takdir berkata lain. Aku akhirnya melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan montok setelah beberapa jam berjuang di ruang persalinan dengan ditemani ibuku dan ibu mertuaku, serta bayangan Mas Farhan yang terus menerus berusaha kuhadirkan dalam ingatanku.
Ibu dan ibu mertuaku terlihat sama-sama terharu ketika mereka menggendong bayi perempuan yang baru saja kulahirkan. Bayiku memang merupakan cucu pertama, baik di keluargaku maupun di keluarga Mas Farhan. Aku pun tak kuasa meneteskan air mata bahagia, akhirnya aku bisa melalui semua ini.
‘Lihatlah, Mas. Putri kita telah lahir. Anak perempuan yang cantik, persis seperti keinginanmu,’ ucapku dalam hati.
Lagi-lagi aku meneteskan air mata. Dulu, Mas Farhan selalu penasaran saat aku menjalani pemeriksaan USG, dia selalu penasaran ingin mengetahui jenis kelamin anak kami. Sayangnya, hingga kepergiannya menghadap Sang Pencipta, Mas Farhan belum mengetahui jenis kelamin bayinya, karena saat itu usian kenadunganku baru menginjak bulan ke-lima, dan pada saat pemeriksaan USG selalu saja belum bisa terlihat karena posisi bayi kami selalu tak menampakkan jenis kelaminnya.
“Kamu sengaja bikin ayah penasaran, ya, Nak?” bisik Mas Farhan saat terakhir kali ia menemaniku menjalani USG. Aku hanya terkekeh melihat wajahnya yang seolah kesal karena belum bisa mengetahui jenis kelamin si jabang bayi.
“Aku ingin sekali punya anak perempuan, Dik,” ucapnya lagi di lain waktu. Aku hanya tersenyum.
Bukan tanpa sebab Mas Farhan sangat menginginkan anak perempuan. Itu karena ia tak punya saudara perempuan. Berbanding terbalik denganku yang tak memiliki saudara laki-laki.
“Kalau bayinya laki-laki gimana, Mas?” tanyaku saat itu.
“Ya enggak gimana-gimana, Dik. Sebenarnya laki-laki atau perempuan sama saja, enggak ada bedanya. Kalau anak ini laki-laki, nanti kita bikin lagi yang perempuan. Aku mau punya banyak anak darimu, Dik.”
Lalu kami berdua tertawa. Sesederhana itu kehidupan dan kebahagiaanku dengannya. Kesederhanaan yang membuat hatiku begitu kosong setelah kepergiannya. Kesahajaan yang menghadirkan nelangsa setelah ia tak lagi menghiasi hari-hariku.
“Selamat, ya, Mbak Tania. Bayi Mas Farhan cantik seperti ibunya.” Suara Fahry membuyarkan lamunanku.
“Terima kasih, ya, Ry,” jawabku.
“Tak perlu berterima kasih, Mbak. Itu sudah kewajibanku, menggantikan semua tugas Mas Farhan, terutama menjaga Mbak Tania dan bayi kalian.”
Ya, Fahry ternyata juga ada si sini selama aku bejuang berjam-jam melahirkan bayiku. Menurut ibu, ia menunggu di ruang tunggu depan. Fahry baru masuk ke dalam ruangan setelah tubuhku selesai dibersihkan. Fahry pula lah yang melantunkan azan dengan khidmat pada bayiku. Aku, ibu, dan ibu mertuaku pun meneteskan air mata haru tadi disaat Fahry menggendong bayiku dan melantunkan azan, menggantikan tugas Mas Farhan.
“Sudah punya nama buat bayinya, Mbak?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk. Mas Farhan memang sudah menyiapkan nama untuk bayinya sebelum ia pergi.
“Khanza Azzahra. Itu nama yang sudah disiapkan Mas Farhan untuk putrinya.”
“Wah nama yang bagus, Mbak. Tapi Mas Farhan memang seolah yakin banget ya kalau anaknya perempuan. Mas Farhan memang selalu punya feeling yang kuat, terutama menyangkut orang-orang yang disayanginya.” Fahry terkekeh. Namun aku justru kembali merasakan kekosongan.
Orang-orang yang disayanginya? Ya, kami semua memang orang-orang yang disayangi Mas Farhan. Kasih sayangnya seluas lautan, sehingga menyisakan lara yang menyiksa ketika sosok penyayang itu pergi.
“Maaf sudah bikin Mbak Tania sedih lagi.”
“Enggak apa-apa, Ry.”
“Mbak kangen Mas Farhan?”
Aku mengangguk sendu.
“Tak adakah sosok lain yang bisa menggantikan Mas Farhan di hati Mbak Tania?”
“Apa maksud kamu, Ry?”
“Mbak Tania butuh pendamping hidup, Mbak. Khanza juga butuh sosok seorang ayah.”
Fahry menatapku dalam-dalam.
“Mbak belum kepikiran ke arah sana, Ry,” jawabku. “Lagian Mbak juga baru saja lahiran, saat ini yang Mbak inginkan hanyalah segera puluh kembali dan merawat Khanza bersama ibu,” lanjutku.
Fahry masih menatapku tajam. Tatapan yang tiba-tiba saja mengingatkanku tentang diriku di masa lalu. Ya, aku punya satu rahasia tentang Mas Farhan dan Fahry di masa lalu. Rahasia yang hanya adikku Nilam yang mengetahuinya. Namun tatapan mata Fahry padaku membuatku kembali mengingat rahasia yang sudah lama kukubur di dasar hatiku itu.
💦Bersambung💦
PART 6. SELAMAT MENGASIHI
Hari-hariku mulai kembali berwarna dengan hadirnya Khanza dalam hidupku, meski dengan hadirnya jugalah aku semakin sering merindukan Mas Farhan, wajah Khanza benar-benar mirip ayahnya, membuatku selalu merasa Mas Farhan kembali hadir dalam wujud bayi mungil kami.
Ibuku juga makin sering berkunjung ke rumah ibu mertuaku sejak kehadiran Khanza, hal itu membuat hubungan kedua wanita yang sangat kuhormati itu semakin dekat. Fahry juga semakin sering kembali menginap di rumah dengan alasan kangen pada Khanza. Hari-hariku pun berlalu dengan cepat hingga tak terasa kini bayiku sudah berusia 2 bulan.
“Dia mirip banget dengan Mas Farhan ya, Mbak,” ucap Fahri ketika aku sedang menjemur Khanza pagi hari.
“Eh, Ry ... enggak kerja?” Aku heran karena ia masih berada di rumah di jam kerja.
“Aku cuti, Mbak. Mumet! Mending di rumah sayang-sayangan ama Khanza.” Fahry mulai mencolek pipi bayiku. “Kamu mirip ayahmu banget, sih, Nak. Kasian tuh bundamu udah capek-capek hamil kamu 9 bulan. Ehh ... keluar-keluar malah enggak kebagian sama sekali,” lanjutnya sambil terkekeh.
Aku hanya menanggapinya dengan senyuman.
“Mbak, mau nemanin aku enggak?”
“Nemanin ke mana, Ry?” Aku balik bertanya.
Kulihat Fahry menghela napasnya sambil menerawang.
“Nemanin ke undangan pernikahan, Mbak.”
“Ke undangan pernikahan? Undangan siapa?” Aku bertanya sambil memberi kode padanya agar meletakkan Khanza yang sedang digendongnya ke dalam stroller.
“Nasya, Mbak. Undangan pernikahan Nasya,” gumamnya sambil meletakkan Khanza ke srtoller.
Aku terkejut. “ Hah!!! Pernikahan Nasya? Kalian putus?”
“Udah lama, Mbak.” Fahry menghela napas. “Orangtua Nasya enggak menyetujui hubungan kami,” lanjutnya.
“Ooohhh ....” Aku hanya mengangguk-angguk.
“Ia dijodohkan dengan lelaki pilihan ayahnya, Mbak. Seorang pengusaha di Bandung.”
Aku kembali mengangguk-angguk. Pantas saja aku sudah lama tak melihat Fahry mengajak Nasya ke rumah. Terakhir kali bertemu Nasya saat aku memergoki mereka berdua sedang beciuman di sofa di ruang tengah pada waktu itu.
“Mbak ....” panggilnya.
“Nasya tega banget ya ninggalin aku. Dia juga udah resign dari perusahaan, makanya aku ambil cuti. Enggak enak banget rasanya kerja enggak ada dia lagi. Udah gitu pakai ngirim undangan pernikahannya lagi. Apa dia sengaja manas-manasin aku ya, Mbak.”
“Hush! Enggak boleh suudzon, Ry. Mungkin Nasya memang bukan jodohmu. Apalagi kalau memang hubungan kalian tak mendapat restu orangtuanya. Restu orangtua itu hal yang utama dalam sebuah hubungan rumah tangga, Ry.”
“Padahal aku tadinya mau serius sama dia, Mbak. Aku udah lelah pacaran terus, maunya Nasya yang terakhir. Kenapa aku selalu enggak seberuntung Mas Farhan sih, Mbak. Dulu Mas Farhan Cuma sekali dekatin cewek langsung dinikahin, ya kakak ipar aku yang cantik ini. Sekarang malah udah dapat bonus ponakan cantik.”
Aku terkekeh.
“Makanya kalau pacaran jangan terlalu jauh dulu, Ry. Kalau suka langsung dinikahi aja, pacarannya nanti saja setelah menikah.”
“Seperti Mas Farhan dan Mbak Tania dulu, ya.”
Mendengar nama Mas Farhan selalu saja membuat hatiku merindunya. Tatapanku beralih pada Khanza, bayi mungilku yang malang, ia bahkan tak sempat bertemu dengan ayahnya.
“Mbak Tania kangen Mas Farhan?”
Aku masih memilih diam. Kangen? Jika saja aku bisa meneriakkan pada dunia betapa rindunya aku pada suamiku. Jika saja perasaan rindu itu bisa terlihat dengan kasat mata, maka mungkin semua orang akan bisa melihat besarnya rasa rindu yang kupunya pada Mas Farhan. Namun aku memilih tak mengungkapkannya. Padahal sesungguhnya aku tak baik-baik saja semenjak kepergiannya, rasa kesepian yang menggigit selalu menjadi temanku. Aku merindukan saat-saat bangun di tengah malam dan mendapatinya sedang terpekur di atas sajadahnya, menengadahkan tangannya meminta kebaikan bagi keluarga kami. Aku merindukan saat-saat menghabiskan malam hingga subuh dalam dekapan dan buaiannya yang begitu lembut dan menghanyutkan.
“Apa posisi Mas Farhan di hati Mbak Tania sama sekali tak bisa tergantikan?” Suara Fahry kali ini terdengar lirih, kurasa ia melihat saat aku menyeka sudut mataku.
“Bisa kah aku menggantikan posisi Mas Fahry di hati Mbak Tania?” Kali ini suaranya lebih lirih lagi.
Aku pun sudah tak heran lagi karena ini bukan yang pertama kali kudengar ia berkata seperti itu.
“Jangan dibuat bercanda deh, Ry. Bukannya kamu sedang patah hati?”
“Aku enggak bercanda, Mbak. Jika Mbak Tania mau, aku mau mencoba menggantikan tempat Mas Farhan.”
“Ry ... pernikahan bukan buat coba-coba.”
“Bukan begitu maksudku. Aku sudah lelah mencari, Mbak. Lelah memulai hubungan baru lagi. Lagi pula sejujurnya aku sangat mengagumi Mbak Tania. Cara Mbak Tania memperlakukan Mas Farhan semasa hidupnya selalu membuatku iri dan mempunyai impian memiliki istri seperti Mbak Tania.”
“Jangan memuji terlalu berlebihan, Ry. Nanti Allah cemburu. Aku tidak sebaik yang kamu pikirkan. Masih banyak sekali kekuranganku selama hidup bermasa kakakmu. Hanya saja ia tak pernah mengeluh dan selalu menegur kekurangan-kekuranganku dengan lembut.”
“Beruntung sekali Mas Farhan menikahimu, Mbak. Kamu terlihat sangat dewasa, berbeda sekali dengan Nasya yang manja. Padahal kalian seumuran.”
“Tak baik membanding-bandingkan orang lain, Ry.”
Ya, yang kutau selama ini aku dan Nasya memang seumuran. Kami bahkan lahir di bulan dan tahun yang sama, hanya beda tanggal. Maka setiap bulan jika Nasya berulang tahun, Fahry akan selalu mengajak kami sekeluarga untuk merayakan ulang tahun kekasihnya itu. Lalu kue ulang tahunnya akan ada 2, yang satu bertuliskan nama Nasya sedangkan yang satunya bertuliskan namaku.
Itu semua atas inisiatif Fahry karena aku dan Mas Farhan sendiri tak pernah mengistimewakan hari ulang tahun salah satu di antara kami. Mas Farhan biasanya hanya akan mengajakku salat 2 rakaat, kemudian sepanjang malam akan mengajakku bercerita dan merenungi apa saja yang sudah kulakukan selama sekian tahun kehidupanku. Ia akan memberiku nasihat-nasihat yang baik, yang kemuidan akan kami akhiri dengan penyatuan diri yang syahdu. Itu selalu menjadi momen-momen yang sangat kunantikan sebab Mas Farhan selalu punya cara menjadikan malam ulang tahunku menjadi malam yang indah dan penuh cinta.
Sama seperti Nasya, usiaku memang setahun dibawah Fahry. Ia memanggilku Mbak karena statusku dalam keluarga adalah kakak iparnya. Sedangkan dengan Mas Farhan, usiaku terpaut 3 tahun di bawahnya.
Suara tangisan Khanza membuatku meraih tubuh bayi mungilku itu.
“Mbak masuk dulu, ya, Ry. Sepertinya Khanza sedang haus.”
“Jadi mau menemaniku ke Bandung menghadiri undangan Nasya, Mbak?”
“Maaf, Ry. Sepertinya Mbak enggak bisa. Mbak enggak mungkin ninggalin Khanza.”
“Kita ajak Khanza, Mbak. Ibu juga. Hitung-hitung kita sekalian bisa liburan keluarga, sudah lama kan kita enggak liburan. Sejak Mas Farhan pergi, Mbak Tania dan ibu belum pernah refreshing.”
“Kalau gitu Mbak ikut ibu aja, ya. Kalau ibu setuju, Mbak juga setuju.”
“Ya udah, selamat meng-ASI-hi ponakan cantikku ya, Mbak.”
💦Bersambung💦
PART 7. DI SUDUT KOLAM RENANG
“Kenapa enggak ibu aja yang nemanin ke resepsinya Nasya, Ry?” tanyaku. Saat ini kami semua sedang berada di Bandung.
Ibu menyetujui ajakan Fahry mengajak kami berlibur ke Bandung, maka sejak kemarin pagi kami sudah berada di kota kembang ini. Fahry bahkan sudah mengajak kami jalan-jalan tadi siang. Ia juga membelikan gamis mewah untukku dan ibu di sebuah butik terkenal. Kulihat Fahry pun sangat menikmati liburan kali ini. Mungkin karena ia memang sedang cuti bekerja, meskipun sesekali kulihat gawainya berdering kemudian terlibat pembicaraan serius mengenai pekerjaannya. Fahry juga sangat senang mendorong stroller Khanza sambil sesekali membetulkan letak bando mungil Khanza yang selalu saja turun menutupi matanya.
Ia pun dengan gesit akan segera meraih Khanza dari dalam keretanya lalu menyerahkan bayi itu padaku ketika Khanza menangis karena kehausan.
“Yaaa ... jangan bareng ibu dong, Mbak. Maunya bareng Mbak Tania. Lagian ibu juga diundang kok, hanya saja ibu memilih enggak hadir dan menjaga Khanza aja. Mau ya Mbak nemanin aku, biar orang-orang nggak menatap iba padaku karena ditinggal nikah.”
“Ya udah, tapi Mbak enggak bisa lama-lama ya, Ry. Takutnya Khanza haus dan nyari Mbak.”
“Iya, Mbak. Janji enggak akan lama. Hanya datang ucapin selamat pada mereka, juga memastikan pada diriku sendiri agar tak lagi menunggunya karena ia sudah menjadi milik pria lain.” Ada nada sendu dalam kalimatnya.
***
Suasana pesta resepsi Nasya yang digelar di ballroom salah satu hotel mewah terlihat sangat meriah. Kurasa orangtua atau suami Nasya bukan orang sembarangan jika melihat dari mewahnya pesta resepsi ini.
“Aduh ... Mbak kok grogi ya, Ry. Mbak belum pernah datang ke pesta semeriah ini,” ucapku.
“Enggak perlu grogi, Mbak. Mbak Tania sangat cantik loh malam ini. Tuh, lihat aja dari tadi beberapa undangan memandag takjub pada Mbak.”
“Mereka bukan mandangin Mbak, Ry. Tapi mandangin kamu, memastikan apa kamu udah move on apa belum,” jawabku terkekeh.
“Kalau di sampingku ada wanita cantik seperti ini pastilah kelihatan udah move on, Mbak. Beneran loh, Mbak Tania malam ini sangat berbeda. Cantik dan elegan.”
“Itu karena pakaian mahal ini, Ry.” Aku memang mengenakan gamis yang tadi dibelinya di butik mahal.
“Bukan karena itu, Mbak. Apa Mbak enggak pernah nyadar kalau Mbak memang cantik, apalagi kalau udah dandan seperti ini.”
“Udah ah, Ry. Jangan ngelantur!”
Setelah antri menyalami sepasang pengantin, aku dan Fahry pun berbaur dengan para undangan lainnya. Sesekali kulihat ada yang menyapa Fahry dan menanyakan kabarnya, kemudian melirik padaku dan menanyakan siapa aku. Aku sendiri tak pernah mencari tau apa jawaban Fahry pada orang-orang yang menyapanya dan menanyakanku.
Hingga hampir satu jam berada di tengah pesta, aku pun merasa sudah waktunya untuk pulang ke hotel. Namun aku tak menemukan Fahry di sekitarku, entah kemana pria itu. Aku tak meyadari sejak kapan ia menghilang dari sekitarku. Kusapukan netraku mencari sosoknya di tengah-tengah para undangan namun aku tetap tak menemukannya.
Aku pun memilih keluar dari tengah-tengah kerumunan pesta. Langkah kakiku membawaku ke area kolam renang yang terletak di sebelah kiri pintu utama ballroom. Aku bermaksud menghubungi nomor Fahry dari sana setelah keluar dari riuhnya kerumunan pesta. Namun baru saja aku hendak merogoh tas tanganku untuk mencari gawaiku ketika aku menangkap bayangan sepasang manusia di sudut kolam renang yang sepi dan remang-remang.
Kufokuskan netraku menatap sepasang manusia di ujung sana. Lalu mataku melebar ketika menyadari jika sosok wanita yang ada di sana sedang mengenakan gaun pengantin, terlihat juntaian gaunnya yang lebar dan menyapu lantai. Lalu sosok lelaki yang sedang bersamanya. Fahry! Ya, aku bisa dengan jelas melihat wajahnya dari tempatku berdiri.
Aku semakin melebarkan mataku ketika melihat adegan kedua manusia itu selanjutnya. Fahry dan Nasya sedang berciuman! Dari jauh aku bisa melihat mereka saling memagut satu sama lain, saling mendekap, lalu melepaskan diri sesaat, kemudian mengulanginya lagi.
Jantungku berdetak cepat. Aku harus menghampiri mereka! Bukan saja karena ingin mengajak Fahry pulang ke hotel, tapi juga aku khawatir jika ada orang lain yang memergoki mereka selain aku. Bagaimana mungkin seorang mempelai wanita meninggalkan suaminya di atas pelaminan lalu berciuman di sudut lain dengan mantan kekasihnya.
“Fahry!!!” pekikku tertahan. “Apa-apan kalian!”
Keduanya terkejut lalu saling melepaskan diri.
“Bisa-bisanya kalian seperti ini? Mbak mau pulang sekarang juga, Ry!”
***
“Maafin aku, ya, Mbak,” ucap Fahry saat kami sudah berada di dalam mobilnya.
Aku mendengkus kesal.
“Jangan meminta maaf padaku, Ry. Seharusnya kamu meminta maaf pada suami Nasya dan keluarganya. Bisa-bisanya kamu berciuman dengan wanita yang sudah menjadi istri orang. Bukannya tadi katamu mau ke sini agar bisa merelakannya?”
Kulihat Fahry memukul setir mobilnya.
“Aku ... aku memang salah, Mbak. Tadi aku menuruti kemauan Nasya saat ia mengirim pesan padaku untuk datang ke kolam renang. Katanya ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Aku enggak nyangka Nasya langsung memeluk dan menciumku setelah itu. Sebenarnya aku mau menghindar, Mbak. Aku juga tau kalau itu salah, tapi Nasya justru menangis dan memintaku memeluknya, katanya untuk yang terakhir kalinya ia ingin merasakan dekapanku. Lalu aku terbawa suasana sehingga aku pun membalas ciumannya seperti yang Mbak Tania lihat tadi. Maafkan aku, Mbak.”
“Kamu tau enggak, Ry. Mbak rasa Allah punya rencana yang indah memisahkanmu dari Nasya. Coba saja kamu bayangin jika kamu yang menikahi Nasya, lalu ia melakukan hal seperti yang kalian lakukan tadi di belakangmu. Apa kamu mau diperlakukan seperti itu?”
“Enggak, Mbak. Seburuk-buruknya aku, aku ingin istri yang setia, yang tidak melirik lelaki lain selain suaminya.”
“Bagaimana mungkin kamu menginginkan istri yang seperti itu jika kamu sendiri seperti tadi, menyentuh wanita lain yang sudah berstatus istri orang. Kata orang jodoh itu cerminan diri, Ry. Jika kamu ingin jodoh yang baik, maka perbaikilah dulu dirimu menjadi versi terbaik dirimu.”
Fahry mengugar kasar rambutnya.
“Makanya aku butuh istri yang seperti Mbak Tania ini, agar aku tak selalu salah langkah.”
“Bukankah sudah Mbak bilang Mbak enggak sebaik yang kamu pikirkan.”
“Kalau aku ngelamar Mbak Tania gimana, Mbak?”
Kutangkap tatapan mata elangnya sekilas sebelum ia kembali berkonsentrasi menyetir.
“Jangan bercanda, Ry.”
💦Bersambung💦
PART 8. SESEORANG DARI MASA LALU
“Aku serius, Mbak. Kalau Mbak Tania mau, aku akan segera melamar Mbak Tania pada Pak Edi dan Bu Ratih.” Ia menyebut nama kedua orangtuaku.
“Ck!” Aku berdecak kesal, dan baru menyadari jika saat ini Fahry sudah menepikan mobilnya.
“Kenapa berhenti?” tanyaku.
“Karena hanya ini kesempatanku bisa bicara empat mata dengan Mbak Tania. Aku tau Mbak selalu menghindariku kalau di rumah.”
“Kamu mau ngomong apa?”
“Aku serius ingin meminang Mbak Tania. Kalau kata orang istilahnya itu turun ranjang.”
Aku menghela napasku. Aku memang pernah mendengar istilah semacam itu.
“Aku belum bisa membuka hati untuk orang lain, Ry. Siapa pun itu. Aku masih ingin seperti ini, bagiku Mas Farhan masih tetap hidup didalam hatiku, di dalam diri Khanza.”
“Sampai kapan, Mbak? Sampai kapan Mbak Tania menutup hati untuk pria lain. Meski bukan denganku, tapi Mbak Tania tetap memerlukan pendamping. Mbak masih muda dan cantik.”
“Entahlah, Ry. Kakakmu telah berhasil mengisi penuh hatiku, tak menyisakan tempat lagi untuk diisi oleh yang lain. Mungkin aku salah, karena selama ini terlalu mencintainya, sehingga Allah cemburu dan mengambilnya dari sisiku.” Aku mulai menyusut mataku. “Sudahlah, jangan bahas hal seperti ini lagi, Ry. Ayo pulang, aku takut Khanza kehausan.”
“Mbak ....”
“Jangan membahas apa pun lagi, Ry. Ayo kembali ke hotel.”
“Sejak melihat Mbak pagi itu tanpa jilbab dengan rambut yang tergulung ke atas, ditambah dengan aura yang memancar dari kehamilan Mbak Tania. Sejak saat itu aku selalu memikirkanmu, Mbak. Sejak saat itu aku selalu terbayang leher putih jenjang dan mulus milik Mbak. Sejak saat itu setiap bertemu Mbak aku selalu merasakan ada rasa yang aneh yang hadir dalam hatiku. Aku tak lagi hanya memandangmu hanya sebagai kakak iparku, tapi aku melihatmu sebagai seorang wanita dewasa yang menarik. Ada perasaan ingin memiliki Mbak Tania.”
Terus terang aku terkejut dengan pengakuan Fahry.
“Aku belum bisa mengatakan bahwa ini adalah rasa cinta, namun ada perasaan ingin melindungi Mbak Tania, terlebih setelah Khanza lahir. Bukan hanya Mbak, tapi aku juga ingin melindungi Khanza. Terlebih saat ini hubunganku dengan Nasya juga sudah berakhir. Bagiku sekarang aku hanya ingin menjadi pelindung bagi kalian bertiga, ibu, Mbak Tania dan Khanza. Kurasa sudah saatnya aku menggantikan peran Mas Farhan. Jadi maukah Mbak Tania mempertimbangkan keinginanku ini?”
Kuhela napasku panjang. Sebenarnya tak ada yang salah dengan niat Fahry. Sewaktu Ustazah Nurul datang ke rumah ibu pun, beliau pernah membahas hal ini padaku. Menurut beliau, Khanza membutuhkan sosok seorang ayah, dan akan lebih baik lagi jika sosok itu adalah Fahry, yang merupakan pamannya sendiri. Maka tak akan ada yang meragukan kasih sayang Fahry padanya.
Namun kala itu aku menolak mentah-mentah saran Ustazah Nurul. Bagiku itu semua tak mungkin terjadi, karena Fahry sudah punya kekasih dan bahkan sudah berencana untuk meminang Nasya. Mengingat tentang Nasya membuat bayangan mereka berciuman di sudut kolam renang tadi melintas kembali di kepalaku. Aku tersenyum miris, bagaimana mungkin adik iparku ini tiba-tiba saja mengatakan ingin meminangku, sementara baru beberapa menit yang lalu ia begitu bernafsu mencium wanitanya yang bahkan masih terbalut pakaian pengantinnya.
“Mbak Tania kok senyum?” Kurasa Fahry melihat senyumku.
“Kamu lucu, Ry. Baru beberapa menit yang lalu aku memergokimu mencium mempelai wanita, dan sekarang sudah mengatakan ingin meminang kakak iparmu. Apa kamu memang seperti ini? Mudah sekali mengobral janji? Jika kamu seperti ini bagaimana mungkin kamu bisa mendapatkan jodoh yang baik?”
Fahry menggaruk-garuk tengkuknya.
“Tadi itu ... tadi itu hanya kesalahan, Mbak. Aku benar-benar malu Mbak Tania memergoki kami. Tadi itu aku benar-benar hanya menuruti kemauan Nasya.”
“Kenapa harus menuruti kemauannya? Kamu tak punya kewajiban apa pun untuk menuruti kemauannya. Sekalipun ia mengancammu atau menangis di hadapanmu. Nasya sudah menjadi milik suaminya, Ry.”
“Maaf, Mbak. Aku hanya terbawa suasana tadi.”
“Jika nanti suatu saat Nasya kembali muncul di hadapanmu dan kembali memintamu melakukan hal seperti tadi bagaimana? Apa kamu masih akan seperti ini menuruti kemauannya?”
“Enggak, Mbak. Aku benar-benar khilaf tadi.”
“Sebagaik kakak iparmu aku hanya bisa menasihatimu, Ry. Jika suatu saat Nasya kembali namun ia masih berstatus sebagai istri orang, jangan pernah mau menuruti keinginannya seperti tadi lagi. Apa pun itu. Kamu tak punya kewajiban untuk menyenangkannya ataupun menuruti inginnya. Terlebih jika kamu juga sudah memiliki pasangan. Jangan mencoba bermain api jika kamu tak mau terbakar.”
“Iya, Mbak. Aku janji enggak akan bertindak gegabah seperti itu lagi.”
***
Sebulan berlalu setelah kepulangan kami dari Bandung, tiba-tiba saja Nilam adikku berkunjung ke rumah kami.
“Aku disuruh ibu jemput Mbak Tania dan Khanza,” ucapnya setelah masuk ke dalam kamarku. Ia memandang ke sekeliling kamarku lalu berdecak kagum.
“Bagaimana Mbak bisa melupakan Mas Farhan jika Mbak masih saja menyimpan semua kenangannya seperti ini,” ucapnya lagi saat melihat berbagai properti seperti peci dan topi Mas Farhan masih tergantung rapi di dalam kamarku.
“Mbak memang tak ingin dan tak mungkin melupakannya, Nil.”
“Tapi Mbak Tania juga harus move on, Mbak. Mbak masih muda, perjalanan Mbak masih panjang.”
“Kamu sama saja dengan Fahry, Nil.”
“Mas Fahry pernah ngomong gitu ke Mbak? Pantesan ....”
“Pantesan apa?”
“Sudahlah, Mbak. Ayo segera bersiap. Ayah dan Ibu menyuruhku menjemput Mbak Tania.”
“Ada apa ya, Nil? Tumben banget!”
“Di rumah ada tamu yang mau ketemu, Mbak.”
“Tamu? Siapa Nil? Ada urusan apa mencariku? Kenapa enggak mencariku ke sini kalau memang penting?”
“Ihh bawel banget sih, Mbak. Nanti aja nanya langsung sama orangnya kenapa nggak ke sini padahal ini rum-“
Aku menatap adikku yang sudah mulai beranjak dewasa itu dengan rasa penasaran.
“Dari tadi ngomongnya kok putus-putus mulu sih, Nil? Kamu mau bilang apa sebenarnya?”
“Ah ... udahlah, Mbak. Ayo siap-siap. Pokoknya intinya ada seseorang dari masa lalu yang nyari Mbak Tania ke rumah. Jadi ayah menyuruhku ke sini menjemput Mbak dan Khanza.”
💦Bersambung💦
PART 9. AKU KANGEN
“Fahry!” pekikku tertahan ketika melihat siapa yang sedang duduk di ruang tamu di rumah orangtuaku. Aku sendiri sama sekali tak memperhatikan apakah di depan tadi ada mobilnya parkir karena fokus memastikan barang-barang Khanza lengkap diturunkan dari mobil ayahku yang dikendarai Nilam saat menjemputku dan Khanza.
“Kamu ngapain ke sini?” tanyaku curiga.
“Eh ... sama tamu kok gitu, Nak?” tegur ibuku sambil meraih Khanza dari gendonganku.
“Tamu?” Aku menggaruk-garuk kepalaku. Entahlah! Mungkin di sini Fahry memang tamu karena ini adalah rumah orangtuaku. Sedangkan di rumah ibu mertuaku, ia justru pemilik rumah.
“Duduklah, Nak. Ada yang ingin Nak Fahry bicarakan,” ajak ayahku. Aku sudah bisa menebak akan ke mana arah pembicaraan ini.
Akhirnya percakapan kami pun bermuara pada niat Fahry untuk menikahiku. Maka saat ini ia sedang meminangku pada ayah dan ibuku.
“Ibu tau kamu ke sini, Ry?” tanyaku.
“Iya, Mbak. Aku sudah mengantongi restu ibu, makanya memberanikan diri datang ke sini.”
Aku menghela napas, pantas saja ibu tadi ikut mempersiapkan semua keperluan Khanza, bahkan menyuruhku untuk menginap beberapa hari di rumah orangtuaku. Rupanya ibu mertuaku itu sedang memberikan waktu untukku berpikir mengenai niat putra bungsunya ini.
“Tania belum bisa menjawabnya sekarang, Yah. Tania perlu waktu untuk berpikir.” Itu alasan yang kuberikan pada ayahku ketika ayah menanyakan apakah aku menerima pinangan Fahry.
Hingga akhirnya Fakry berpamitan pulang setelah menyatakan niatnya pada kedua orangtuaku. Kulihat ia menggendong Khanza dan menghujaninya dengan ciuman sebelum berpamitan.
“Kenapa kamu senekat ini sih, Ry?” tanyaku saat mengantarkannya menuju ke mobilnya.
“Bukan nekat, Mbak, tapi aku sudah yakin seratus persen dengan niatku ini. Ibu juga sudah merestuiku. Aku hanya tinggal menunggu jawaban Mbak Tania. Oiya, berapa lama Mbak dan Khanza akan menginap di sini? Nanti kalau mau dijemput Mbak bilang aja, ya. Biar aku yang jemput.”
Aku hanya mengangguk. “Apa pun keputusanku nanti, kamu enggak akan marah kan, Ry?”
“Iya, Mbak. Tapi aku sangat berharap jawaban iya darimu.”
***
“Apanya yang perlu dipikirin lagi sih, Mbak. Kurasa Mas Fahry adalah pilihan terbaik bagi Mbak Tania dan Khanza saat ini. Bukankah seharusnya Mbak Tania bersyukur karena lelaki yang dulunya Mbak taksir sekarang melamar Mbak Tania.”
“Hushh! Kamu ini Nil. Jangan berkata yang enggak-enggak.”
“Lah bukannya memang benar dulu Mbak Tania naksirnya Mas Fahry tapi yang datang melamar waktu itu justru Mas Farhan?”
“Ck! Itu dulu, Nil. Namanya juga cinta monyet.”
“Dulu apanya sih, Mbak. Itu baru beberapa tahun berlalu, kurasa rasa itu masih ada di dalam dada Mbak hanya saja Mbak belum mencarinya karena terlalu fokus dengan semua kenangan tentang Mas Farhan.”
Aku terdiam. Nilam memang tau semua rahasiaku. Bagaimana dulu aku selalu menunggu jika Mas Farhan dan Fahry datang ke rumah mengambil pesanan kue-kue basah. Hampir seminggu sekali mereka disuruh ibunya untuk mengambil pesanan kue ke rumah untuk kegiatan pengajian. Meski ibuku selalu menawarkan kuenya untuk diantar olehku dan Nilam, namun Bu Siti yang saat itu belum jadi ibu mertuaku melarangnya. Menurutnya akan lebih aman jika Mas Farhan dan Fahry yang mengambil kue-kue pesanannya sebab mereka laki-laki, dibanding aku dan Nilam yang harus mengantarkannya ke sana.
Sejak saat itu aku mulai melirik salah satu dari mereka. Ya, awalnya aku memang lebih cenderung menyukai Fahry dari pada Mas Farhan. Mungkin karena usianya tak jauh beda denganku dan penampilannya juga lebih modis dibanding kakaknya. Berbeda dengan Mas Farhan yang tampak lebih kalem dan dewasa.
Maka saat orangtuaku mengtakan bahwa Bu Siti akan berkunjung ke rumah kami dan meminangku untuk salah satu putranya, aku sangat berharap jika itu adalah Fahry. Namun tadkir berkata lain. Ternyata saat itu Bu Siti datang meminangku untuk Mas Farhan, menurutnya putra sulungnya itu sudah jatuh cinta padaku sejak lama, namun tak berani memintaku.
Meski sedikit kecewa, aku pun menerima lamaran Mas Farhan waktu itu, dengan pertimbangan kedua orangtuaku sudah sangat akrab dengan Bu Siti. Keputusan yang kemudian akhirnya sangat kusyukuri hingga detik ini karena ternyata Mas Farhan justru lebih dari segalanya dibanding dengan adiknya. Ia hanya kalah secara materi oleh adiknya. Semua akhlak dan sikap baik Mas Farhan akhirnya mampu membuatku dalam sekejap melupakan perasaan yang dulu pernah ada pada Fahry. Mas Farhan mampu membuatku merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya.
Hanya adikku Nilam yang tau rahasiaku ini, aku tak pernah mengatakannya pada siapa pun, termasuk pada kedua orangtuaku.
“Mas Farhan tak akan pernah tergantikan dalam hatiku, Nil. Dia sosok yang begitu mengagumkan, aku sangat mencintainya,” ucapku menyusut mata.
“Mbak Tania tak harus menghapus Mas Farhan dari hati Mbak. Mbak Tania hanya perlu lebih meluaskan hati agar perhatian dan kasih sayang lain bisa semakin melengkapi hidup Mbak Tania dan Khanza.”
“Kamu kok tiba-tiba udah jadi dewasa aja, Dek.” Aku terkekeh mendengar adikku itu menasihatiku.
***
“Mintalah petunjuk-Nya dalam salat Istikarahmu, Nak.” Kali ini ibuku yang masuk ke dalam kamarku dan memberiku nasihat.
“Iya, Bu. Tania akan meminta petunjuk pada-Nya.”
“Ibu rasa tak ada salahnya kamu menerima Nak Fahri. Dia sosok yang terbaik untuk Khanza. Lagipula ibu dengar dari Bu Siti kalau Nak Fahry memang sudah lama pisah dengan kekasihnya dan tak jadi meminangnya karena tak mendapat restu dari orangtua si wanita. Bagaimana pun restu orangtua itu hal yang utama, Nak. Dalam restu orangtua terdapat restu Allah. Dan kami semua, ayah, ibu dan juga ibu mertuamu merestui Tania dan Fahry.”
“Iya, Bu. Tania paham. Beri Tania waktu beberapa hari, ya. Tania masih ingin berpikir lebih jauh dan meminta pentunjuk-Nya dengan bersungguh-sungguh.”
***
Matahari sedang panas-panasnya sewaktu aku menghentikan motorku di area pemakaman umum. Ya, hari ini aku memang sengaja ingin berziarah ke makam suamiku. Khanza kutitipkan pada ibuku karena belum saatnya aku membawa bayi mungilku itu ke sini. Kulangkahkan kakiku perlahan menuju pusara Mas Farhan, hatiku selalu saja merasa hancur saat berada di depan pusaranya. Aku sangat merindukannya.
“Mas, bagaimana menurutmu? Haruskah aku menerima pinangan adikmu?” Aku menggumam sendiri di depan pusara Mas Farhan. Kupeluk dan kukecup pusaranya dengan lembut.
“Apa yang harus kulakukan, Mas? Rasanya aku belum sanggup membuka hatiku pada pria lain, meski pun itu pada Fahry adikmu. Kamu masih mengisi penuh hatiku, Mas. Apa yang harus Tania lakukan?” Air mataku kembali tumpah.
“Aku sangat mencintaimu, Mas. Kamu tak akan pernah tergantikan oleh siapapun, tapi aku juga masih harus melanjutkan hidupku dan juga Khanza putri kita. Haruskah aku menerima pinangan adikmu, Mas?” Kali ini aku bisa mendengar suaraku sendiri yang terisak lirih.
Beberapa menit aku hanya tertunduk dan menangis. Menggumam sendiri mengajak Mas Farhan bicara. Hingga akhirnya aku merasa ada yang aneh, aku tak merasa kepanasan padahal matahari sedang panas terik.
Aku menoleh ke belakang sambil mengusap mata. Seseorang sedang berdiri tepat di belakangku. Kutengadahkan wajahku untuk melihatnya, Fahry sedang berdiri di belakangku sambil memegang payung yang sangat lebar. Ia hanya tersenyum tipis sambil mengangguk saat aku menatapnya.
Tak lama kemudian, Fahry ikut duduk di sampingku, masih sambil memegang payung untuk melindungi kami dari teriknya matahari. Kini posisiku dan Fahry tengah menghadap ke pusara Mas Farhan.
“Dari tadi?” tanyaku pelan menoleh padanya. Ia hanya mengangguk.
“Tau dari mana aku di sini?” tanyaku lagi. Ia menggeleng sambil membetulkan kaca mata hitamnya.
“Aku hanya kebetulan mau mampir juga, nggak taunya Mbak Tania juga ada di sini,” lirihnya.
Aku mengusap wajah dengan kedua telapak tanganku. “Aku kangen Mas Farhan.”
“Aku juga, Mbak.” Fahry mengusap pusara kakaknya. Ada setetes bening yang lolos mengalir di pipinya, melewati kaca mata hitam yang digunakannya untuk menyembunyikan kesedihannya.
💦Bersambung💦
PART 10. RONA BAHAGIA
“Kuantar pulang, ya, Mbak.” Kini kami berdua sudah berjalan keluar dari area pemakaman umum.
“Mbak tadi pakai motor Nilam, Ry.”
Ia mengangguk mengerti.
“Oiya, Mbak dan Khanza kapan pulang? Ibu sudah nanyain, katanya udah kangen kalian.”
Aku memang masih menginap di rumah orangtuaku, setelah dijemput Nilam kemarin.
“Mungkin besok aku minta antar Nilam, Ry.”
“Enggak usah, Mbak. Nanti biar aku yang jemput Mbak Tania dan Khanza.”
“Jangan, Ry. Kamu kan sibuk dengan perkerjaanmu. Biar Nilam yang antar.”
Nilam adikku memang mahir menyetir mobil, tidak sepertiku yang hanya bisa mengendarai motor.
“Pokoknya besok Fahry yang jemput, Mbak.”
Aku tak menjawabnya lagi. Lalu kemudian kami berpisah, aku berjalan ke arah motorku sedangkan Fahry menuju ke arah mobilnya. Namun ternyata ia mengikutiku sepanjang jalan, aku bisa melihat dari spion motorku mobilnya terus mengiringiku dari belakang. Hingga tiba di depan rumahku dan menghentikan motorku. Kubuka helmku saat mobil Fahry sejajar dengan motorku, sementara ia membuka kaca mobilnya.
“Kenapa ngikutin?”
“Cuma mau memastikan Mbak Tania pulang dengan aman.”
“Ck! Jangan berlebihan.”
“Aku berangkat kerja dulu, ya, Mbak. Besok aku ke sini lagi jemput kalian.” Fahry melajukan mobilnya perlahan. Aku masih terdiam memandangi mobilnya hingga hilang di balik tikungan.
“Kenapa enggak disuruh masuk, Nak?” tanya ibuku saat aku melangkah masuk ke dalam rumah. Rupanya ibu melihat mobil Fahry tadi.
“Fahry mau kerja, Bu. Tadi juga enggak janjian kok, hanya kebetulan ketemu di makam Mas Farhan.”
Ibu menatapku dalam-dalam lalu mengajakku duduk.
“Tania, jika Allah masih menyiapkan jodoh di dunia ini untukmu. Maka ibu rasa Fahry adalah pilihan terbaik yang seharusnya ada dalam doamu. Kini pilihan terbaik itu sudah mengajakmu untuk kembali menyempurnakan ibadah, tak ada salahnya kamu menerimanya, Nak. Khanza akan lebih nyaman bersamanya.”
“Iya, Bu. Tania mengerti.”
“Wanita jika sudah memiliki anak maka yang dipikirkan enggak lagi fokus pada diri sendiri, Nak. Begitu pun denganmu, kamu sudah punya Khanza. Akan lebih baik baginya jika ia memiliki sosok seorang ayah. Fahry bisa menjadi paman sekaligus ayah yang sempurna bagi Khanza, karena mereka punya hubungan darah. Nak Fahry juga yang kelak akan menjadi wali bagi Khanza. Meski kamu belum bisa melupakan suamimu, tapi Khanza membutuhkan keputusan yang bijaksana darimu.”
***
Tepat saat Khanza berusia 6 bulan, aku pun memutuskan menerima lamaran Fahry. Keputusan itu kuambil setelah mempertimbangkan semua matang-matang. Meski tempat Mas Farhan tak akan pernah tergantikan dalam hati, namun tak ada salahnya aku menghadirkan rasa yang lain. Benar kata Nilam, aku tak perlu menepikan Mas Farhan, aku hanya perlu lebih meluaskan hati untuk hubungan baru.
Masih kuingat ketika tak sengaja bertemu Fahry waktu itu di makam Mas Farhan. Sama sepertiku, Fahry juga duduk di depan pusara kakak kesayangannya itu sambil mengusap pusara bertuliskan nama Farhan Ibrahim.
“Izinkan aku melanjutkan tugas Mas Farhan menjaga orang-orang yang Mas sayangi.” Itu yang kudengar saat Fahry berbisik di depan pusara Mas Fahran waktu itu.
Aku pun kembali terisak, Fahry juga sama. Kami berdua terdiam dalam pikiran masing-masing, mengenang sosok Mas Farhan yang punya tempat istimewa dalam hati kami.
Kusapukan pandanganku ke sekeliling kamarku, masih ada topi dan peci Mas Farhan di ujung sana, masih ada dan akan selalu ada bayangannya di kamar ini, terlebih lagi di hatiku.
“Izinkan aku kembali menyempurnakan ibadahku, Mas. Izinkan adikmu menjadi penggantimu dan menjaga putri kita. Mas Farhan enggak akan pernah hilang dari hati kami semua. Mas Farhan akan selalu ada di sini, di hatiku, di hati ibu, di hati Fahry, terlebih dalam wujud anak kita. Aku mencintaimu, Mas. Tetap akan selalu mencintaimu,” gumamku sambil menatap satu-satunya foto Mas Farhan yang masih terselip di dalam dompetku.
Pintu kamarku diketuk dari luar.
“Nak, susui Khanza dulu, ya. Biar nanti anteng enggak kelaparan. Sebentar lagi penghulunya datang.” Ibu mertuaku muncul di depan pintu kamarku saat aku membukanya.
Aku pun meraih tubuh mungil Khanza dari tangan ibu mertuaku.
“Abis nangis, Nak?”
“Eng-enggak, Bu,” kilahku.
Ibu mengusap-usap pundakku. “Kami semua menyayangimu, Nak. Kami semua ingin yang terbaik bagi Tania.”
Bening itu kembali menetes dari nertaku.
“Iya, Bu. Tania paham.”
Fahry Aditama, pria yang berusia satu tahun di atasku itu akhirnya benar-benar mengucapkan ikrar ijab kabul atas namaku, Tania Nadira Binti Edi Santoso dengan suara yang lantang dan tegas. Fahry mengucapkan ijab kabulnya hanya dengan sekali tarikan napas. Kulihat tangan kekarnya dengan pasti menggenggam tangan keriput ayahku saat ia mengucapkan kalimat sakral itu.
Kini aku sudah sah menjadi istrinya, istri dari adik kandung Mas Farhan. Akhirnya aku benar-benar mengalami peristiwa turun ranjang, istilah yang belakangan ini sering terdengar di telingaku dari bisik-bisik para tetangga.
Bukan hanya aku, namun semua hadirin yang merupakan kerabat dekat kedua orangtuaku dan juga mertuaku serta beberapa tetangga terdekat terlihat menitikkan air mata haru saat aku digiring oleh ibuku dan ibu mertuaku ke arah Fahry. Kurasa mereka semua tau bagaimana jalan hidupku hingga sampai pada titik ini.
Aku meraih tangan Fahry lalu mencium punggung tangannya dengan takzim. Kini, pada pria di hadapanku inilah surgaku berada. Tangan ini lah yang mulai sekarang akan selalu ada untuk melindungiku dan putriku. Kurapalkan doa dalam hati, semoga semua ini merupakan awal yang baik.
“Terima kasih sudah menerimaku, Tania,” lirih Fahry saat ia mencium keningku.
Ya, beberapa hari belakangan ini sejak aku mengatakan menerima lamarannya, ia tak lagi memanggilku dengan sebutan Mbak Tania.
“Terima kasih juga sudah memilihku, Mas,” jawabku. Mulai sekarang aku pun harus membiasakan diri menyapanya dengan sapaan yang lebih hormat. Maka aku memilih memanggilnya Mas Fahry. Toh memang usianya terpaut satu tahun dariku.
Lalu aku meraih Khanza dari gendongan ibu, blitz kamera pun mengabadikan kami bertiga. Aku dan Mas Fahry dalam balutan pakaian pengantin sederhana. Bersama Khanza Azzahra Ibrahim, putriku dan Mas Farhan, juga putri Mas Fahry.
Kupejamkan mata menikmati kesyahduan ini. Ku akui, ada rasa lega mengalir di dalam dadaku setelah tadi mendengar Mas Fahry menyebut namaku dalam ijab kabulnya. Lalu ada perasaan lain lagi yang melingkupi dadaku selain perasaan lega, rasa bahagia. Ya, aku bahagia.
‘Terima kasih atas kebahagiaan ini, ya Allah,’ gumamku dalam hati sambil terus merapal doa-doa untuk kebaikan keluarga kecil kami.
Tangan Mas Fahry kini melingkar di pundakku, sementara aku masih menggendong Khanza. Kami bertiga menebarkan senyum menerima ucapan selamat dari para kerabat dan tetangga, juga beberapa undangan.
Kutengadahkan wajah menatap pria yang baru saja resmi menjadi suamiku itu ketika aku merasakan ia mencolek pundakku. Perawakan Mas Fahry memang lebih tinggi dibanding kakaknya. Maka ketika aku sedang berdiri di sampingnya seperti saat ini, aku harus menengadahkan wajahku untuk menatapnya.
“Kamu cantik sekali, Istriku,” ucapnya lembut saat mataku bertemu dengan mata hazelnya.
Pipiku terasa panas. Kalimat sederhana yang sukses membuat hatiku berdesir halus. Aku hanya membalasnya dengan senyuman, sebelum kemudian menundukkan wajahku malu.
“Apalagi kalau sedang merona begini. Aku sudah tak sabar ingin mengecup bibirmu,” bisiknya. Kali ini ia sedikit menunduk dan berbisik tepat di telingaku.
Aku bergidik dan semakin tersipu malu.
💦Bersambung💦
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
