
Resensi film Nokta Merah Perkawinan. Hati-hati dalam membaca, isi tulisan mungkin bisa menjadi spoiler buat Anda yang belum menonton.
Jumlah penonton menjadi salah satu tolak ukur sebuah film bioskop bisa menguasai atau terpaksa turun layar lebih cepat dibanding film lainnya. Nokta Merah Perkawinan menjadi salah satu film yang tidak memiliki cukup banyak jadwal tayang sejak rilis pertamanya tanggal 15 September lalu. Hingga 19 September, di Yogyakarta hanya tersedia satu layar di CVG JWalk dalam dua waktu tayang.
Film garapan Sabrina Rochelle Kalangie ini ditulis bersama dengan Titien Wattimena dan diangkat dari sinetron dengan judul sama tahun 1996. Film ini menjadi salah satu film keluarga yang mengangkat konflik dalam hubungan pernikahan yang dibintangi oleh Marsha Timothy sebagai Ambarwati, Oka Antara sebagai Gilang Priambodo, dan Sheila Dara Aisha sebagai Yulinar.
Ambar dan Gilang merupakan sepasang suami istri yang telah menikah selama 10 tahun dan sudah dikaruniai dua orang anak. Dalam kurun waktu itu, mereka menganggap hubungan mereka baik-baik saja. Sampai suatu waktu mereka bertengkar hebat dan membuat kehidupan mereka menjadi tidak seperti biasanya. Mereka menyadari masing-masing dari mereka memiliki ketidakberesannya masing-masing. Kemudian, digawangi dengan permulaan film yang menghadirkan Yuli bertemu dengan tantenya, Kartika (Ayu Azhari), Sabrina dengan runtun dan padat berhasil memunculkan persoalan kehidupan Ambar dan Gilang semakin kompleks dan lebih jelas sepanjang film berjalan.
Sajian Lengkap Masalah Perkawinan
Tidak ada hubungan yang sempurna. Barangkali itu yang ingin disampaikan Sabrina sejak awal mula film ini dimulai. Ia menunjukan melalui Kartika yang meskipun berprofesi sebagai Konselor Pernikahan, hubungan asmaranya tidak berhasil. Meski fokus utama film ini adalah masalah pernikahan Ambar dan Gilang, kehadiran Yuli yang memiliki pacar bernama Kemal (Roy Sungkono) juga turut membuktikan ketidaksempurnaan hubungan percintaan.
Selama 10 tahun pernikahan, sejak perdebatan hebat, Ambar dan Gilang mulai merisaukan hubungan mereka. Ambar mulai menyadari bagaimana dirinya selalu merasa bahwa Gilang seolah tidak menganggapnya sebagai istri, patner hidup. Gilang diperlihatkan berusaha keras menjadi tulang punggung dan kepala keluarga yang bisa diandalkan. Juga menjadi laki-laki yang tidak ingin memperpanjang masalah, sehingga sering kali setiap ada masalah ia menyelesaikannya sendiri dan terkesan menghindar. Jika dilihat dari penokohan keduanya, jelas sekali bahwa masalah paling awal di antara mereka adalah komunikasi yang tidak lengkap. Komunikasi yang selalu terputus dan tertunda sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman yang menyisakan ketidakterbukaan antar satu dengan lainnya.
Kendati Ambar dan Gilang memiliki masalah, keduanya sangat berusaha untuk menyayangi kedua anak mereka. Sayangnya, memang tidak dapat dihindarkan jika permasalahan keluarga benar-benar bisa mempengaruhi anak-anaknya. Terutama Bagas (Jaden Ocean), anak bungsu mereka yang sudah tahu masalah keluarganya. Ia menjadi lebih peka dan gampang murung. Tidak seperti Ayu (Alleyra Fakhira) yang dibuat selalu ceria dan juga sangat dekat dengan Yuli, perempuan yang kemudian menjadi klimaks dari semua masalah Ambar dan Gilang yang sudah lama mengakar.
Di Indonesia, sering kali orang tua ikut campur dalam urusan keluarga anak-anaknya. Persoalan yang marak terjadi ini, disajikan pula oleh Sabrina pada film ini. Mertua Ambar, Lastri Priambodo (Ratna Riantiarno) mendikte bagaimana cara Ambar mendidik anak-anaknya dan juga Marissa Sugondo (Nungki Kusumastuti) sebagai ibu Ambar yang sering meminta bantuan keuangan kepada Gilang tanpa sepengetahuan Ambar.
Kehadiran masalah-masalah dalam kehidupan pernikahan Ambar, tidak lepas dari dukungan sahabatnya, Dina (Nazira C. Noer). Meski hubungan pertemanan pun tidak selamanya baik, kehadiran Dina sebagai pemain pendukung sangat membantu dalam pengambilan keputusan tokoh-tokoh yang terlibat dengannya. Sepertinya, Sabrina sangat memperhatikan detail dalam menyulam skenario sehingga tidak ada cela kosong dalam ceritanya. Hanya saja untuk sinematografi film bergenre melodrama ini cukup monoton dengan pilihan jenis shot gambarnya, juga kadang scoring dialog dalam film terdengar terlalu keras.
Female Gaze Tanpa Ilusi
Film dengan durasi 116 menit ini menyajikan konflik pernikahan yang nyata. Didukung dengan kekuatan Sabrina dalam menulis skenario dan para pemain yang ber-acting dengan apik mampu menunjukan bahwa film ini mebawa female gaze tanpa menggurui.
Pilihan-pilihan tokohnya dalam inisiatif mengambil keputusan disadari penuh untuk menyelesaikan masalah. Ambar dengan dukungan dan saran dari sahabatnya akhirnya berani untuk melakukan konseling pernikahan setelah cukup sadar bahwa pernikahannya bermasalah. Ia juga dibuat berani untuk berpendapat ketika mendapat tekanan dominasi mertua mengenai cara asuh terhadap anak-anaknya, yang sering kali tidak dapat dilakukan oleh menantu pada umumnya karena bisa dianggap melawan norma.
Kehadiran Yuli yang dibuat seolah menjadi pihak ketiga dalam hubungan Ambar dan Gilang, juga dibuat berani untuk meminta maaf langsung kepada Ambar. Yuli juga akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan rasa cintanya terhadap Gilang sekalipun dia putus dengan Kemal. Dia juga sama sekali tidak menginginkan hubungan Ambar dan Gilang pupus.
Kartika sebagai konseler pernikahan juga tidak merasa malu dengan hubungan asmaranya yang gagal. Dia juga menekankan bahwa lanjut atau tidaknya sebuah hubungan itu tetap diputuskan oleh kliennya sendiri.
Jika female gaze ditujukan sebagai upaya membingkai ulang budaya pop agar terhindar dari male gaze, Nokta Merah Perkawinan cukup behasil. Film ini tidak mengaburkan realitas kehidupan. Sabrina mampu menunjukan tokoh-tokohnya menjadi manusia yang berani menghadapi masalah sehingga tak ada angan-angan untuk diselamatkan atau membuat tokohnya terkesan hanya ‘to good to be true’.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
