
Hanin hanya ingin hidup tenang: manggung bareng sahabatnya, ngopi di café favorit, dan menikmati hari-hari sebagai mahasiswi biasa. Tapi semua itu berubah dalam satu malam—ketika motor tergelincir, dompet hilang, dan ia hampir meregang nyawa… dua kali.
Antara kakak overprotektif, sahabat setia, dan barista-café-berwajah-ganteng-yang-terlalu-baik, hidup Hanin mendadak jadi drama musikal penuh luka, tawa, dan cinta diam-diam.
Ketika suara musik jadi penyembuh luka dan panggung café jadi tempat pernyataan cinta...
Akankah Hanin tetap bisa berdiri tegak menghadapi kenyataan?
Dan... siapa yang akhirnya berani dia ajak menyanyikan lagu hidupnya?
Hanin membuka mata. Pandangannya kabur, dunia seakan berputar. Tubuhnya tertelungkup di atas aspal basah, dan semuanya terasa sakit.
Motor sialan! pikirnya. Ia berusaha bangkit, tapi rasa nyeri membuatnya menggertakkan gigi. Tubuhnya remuk. Ia mengedarkan pandangan dan melihat sosok sahabatnya, Natasha, bersandar lemas di samping motor matic putih mereka yang roboh, masih memeluk tas gitar.
“Nat...” gumam Hanin, berusaha memanggil. Tak ada respons.
Dengan sisa tenaga, Hanin beringsut, mencoba duduk. Lututnya terasa perih, kemungkinan besar berdarah. Ia merogoh tas selempangnya dengan tangan gemetar. Untungnya, ponsel masih utuh. Tanpa pikir panjang, ia menelpon satu-satunya orang yang selalu bisa diandalkan di saat seperti ini.
Lima belas menit kemudian, cahaya senter dari lampu motor gede menerobos malam. Dua laki-laki turun, salah satunya langsung menghampiri Natasha.
“Kamu enggak apa-apa, Sayang?” tanya Dino panik.
Natasha mengangkat kepala lemah. “Tolongin aku, By…”
Sementara itu, pengendara motor gede—Hagan—berjalan santai ke arah Hanin dan menoyor kepalanya ringan.
“Makanya, kalau abang bilang pulang langsung, nurut,” omelnya sambil tersenyum kecut.
“Aww! Sakit, Bang! Bisa enggak pelan-pelan? Adekmu baru aja jatuh motor, lho!”
Hagan menghela napas panjang. “Din, cek tuh motor!”
Dino mendirikan motor Hanin dan mencoba menyalakannya. “Mesin masih nyala, Bang. Tapi agak ngadat.”
Hagan menatap adiknya. “Lu bisa jalan enggak?”
Hanin menggeleng. “Kayaknya enggak…”
Hagan mengucek wajah sendiri. “Ya udah. Dino, lu bawa motornya bareng Natasha. Gue bonceng Hanin.”
Dua cowok itu jongkok, membelakangi sahabat mereka, lalu menggendong masing-masing ke atas jok motor. Mesin menderu. Empat sekawan itu meninggalkan tempat kejadian dengan tubuh pegal dan hati campur aduk.
****
“Aww, sakit, Kak!” teriak Hanin saat luka di lututnya dibersihkan dengan cairan antiseptik.
“Makanya abang bilang apa? Pulang itu langsung pulang. Enggak usah mampir-mampir lagi,” omel Hagan sambil duduk di sampingnya.
Natasha, yang juga luka ringan, hanya diam. Tapi Hagan tak melepaskannya juga.
“Lu juga, Nat. Harusnya ingetin dia. Paksa pulang kalau perlu!”
Dino mengelus kepala Natasha. “Iya, Sayang. Kalau kamu mau kopi, aku bisa bikinin. Enggak usah repot-repot mampir dulu kayak tadi.”
“Udah, jangan dimarahin terus. Kasihan mereka. Muka Hanin udah kering tuh air matanya,” sela Dika yang sedang fokus membersihkan luka Hanin.
“Iya nih,” Hanin ikut membela. “Kayaknya cuma Kak Dika yang sayang Hanin. Abang Hagan mah enggak!”
Hanin memeluk Dika singkat, lalu melepasnya sambil meringis kesakitan.
“Makasih ya, Kak, udah obatin kita.”
“Woy! Gue enggak sayang sama lu? Kalau enggak sayang, udah gue tinggalin aja pas lu nelpon tadi!” seru Hagan, tak terima. “Ini juga motor lu gue benerin sekarang!”
Benar saja. Hagan dan Dino sedang jongkok membongkar motor matic putih Hanin di garasi. Meski tadi mesinnya masih bisa menyala, tapi selama perjalanan pulang harus di-stut berkali-kali.
“Tadi kenapa bisa jatuh, sih? Kalian enggak nabrak sendiri kan?” tanya Dika curiga.
“Hmm... kayaknya ada motor nyalip dari kanan, Hanin kaget terus oleng,” jawab Natasha perlahan. “Aku juga langsung gelap waktu itu. Bangun-bangun udah duduk meluk tas gitar, Hanin duduk sebelah aku sambil megang dua helm.”
“Helmnya juga sampai lepas dua-duanya, loh. Kalian enggak kancingin, ya?”
Hanin dan Natasha saling pandang. “Kelupaan, Kak. Kita buru-buru soalnya udah gerimis pas keluar dari café,” ujar Hanin menyesal.
“Lain kali enggak boleh lupa, ya Sayang,” ujar Dino, menyerahkan dua gelas cokelat panas ke tangan Hanin dan Natasha.
“Gue enggak dibikinin, Din?” tanya Dika dengan nada protes.
“Bikin sendiri, Bang. Lu kan enggak kecelakaan.”
“Wah! Lu doain gue celaka juga, Din?”
“Bercanda, Bang! Jangan sensian gitu dong. Cewek gue aja enggak tuh.”
Dika berdiri, memiting leher Dino dengan tangan berototnya. Dino langsung meringis.
“Ampun! Ampun, Bang! Sumpah bercanda!”
Suara tawa meledak dari garasi. Hagan cuma geleng-geleng melihat kelakuan mereka. Walau kadang ribut, rumah ini memang tak pernah kehabisan canda.
"Purba! Temenin gue beli makan malam," ajak Dika.
"Eits, ini belum selesai, Dik. Jangan culik Dino dulu," sahut Hagan.
"Lu mau nasi ayam dua kan, Bang? Gue beliin deh!" tawar Dika.
"Nanti kalau aki udah kepasang, baru angkut si purba itu!" jawab Hagan sambil menyerahkan uang kepada Dika. "Sisanya buat lu juga."
Setelah selesai memasang aki baru, Dika dan Dino pergi membeli makan malam. Sementara Hagan kembali menyusun ulang motor Hanin. Tak lama, Dika kembali dengan sebungkus besar makanan untuk mereka berempat.
****
Pagi itu, Hanin dan Natasha bangun dengan tubuh yang masih terasa nyeri. Tapi mereka harus memaksakan diri karena siang ini mereka ada ujian. Keduanya keluar dari kamar Hanin. Seperti biasa, rumah sudah sepi—Hagan dan Dika pasti sudah berangkat kerja. Orang tua mereka? Masih di luar negeri, mencari nafkah, dan tampaknya terlalu asyik sampai lupa pulang.
Hanin menuju dapur untuk mengambil gelas. Natasha duduk lesu di kursi makan. Di atas meja sudah tersedia nasi, sayur, dan lauk untuk sarapan. Hanin memberikan segelas air dingin kepada Natasha.
"Makasih, Nin," ucap Natasha.
Hanin duduk berhadapan dengannya dan membuka tudung saji. Di antara makanan-makanan itu, ada sebuah amplop putih. Bukan pemandangan asing bagi mereka. Hanin membuka amplop itu dan menemukan surat dari Dika yang berisi permintaan maaf karena harus berangkat pagi, juga beberapa lembar uang dari Hagan untuk ongkos taksi online ke kampus.
"Lebih banyak hari ini, Natt! Bisa ngopi lagi nanti!" seru Hanin antusias.
"Gak ah, gue mau diet kopi hari ini," tolak Natasha.
"Kok gitu sih? Gak kompak banget!" protes Hanin.
"Tobat, Nin! Kalau lu mau kopi kemarin, nanti gue pesen Kak Dino aja yang bawain. Gue gak mau nongkrong dulu kayak kemarin."
"Gak tahu ah!" Hanin cemberut.
"Oke, fine! Kita datang ke café itu lagi nanti. Tapi cuma beli, gak nongkrong!"
Hanin tersenyum, lalu kembali cemberut. "Yah... oke, fine. Beli aja."
****
"Mas, pesan Americano satu. Lu mau apa, Natt?" tanya Hanin saat mereka tiba di café favoritnya dan berdiri di depan kasir.
"Green tea latte aja, Nin," jawab Natasha singkat.
"Oke. Mas, tambah satu green tea latte," lanjut Hanin kepada barista.
"Baik, tunggu sebentar ya, Kak," jawab pegawai café itu ramah.
Hanin membuka tas selempangnya dan mulai mencari dompet. Wajahnya mendadak tegang.
"Nat, dompet gue mana ya?"
"Jangan nakutin gue, Nin. Gue nggak bawa dompet hari ini. Kalau dompet lu beneran hilang, kita nggak bisa bayar!" kata Natasha mulai panik.
"Gue coba cari di luar deh, siapa tahu jatuh di jalan," ujar Natasha lagi, bergegas keluar.
Sementara itu, Hanin mengosongkan isi tasnya di atas meja kecil di dekat kasir. Ponsel, cushion, lip balm, sunscreen, kaca kecil—semuanya ada, kecuali dompet.
Ia menghampiri barista. "Mas, saya keluar sebentar, kayaknya dompet saya hilang."
Begitu Hanin melangkah keluar café, ia langsung melihat Natasha sedang berbicara dengan dua pria yang sangat ia kenal.
"Udah gue bilang, jangan mampir-mampir. Habis ujian, langsung pulang. Sekarang malah dompet lu hilang juga," ucap salah satu dari mereka dengan nada ketus. Hagan.
Wajah Hanin mendadak pucat. Paniknya soal dompet hilang tergantikan oleh rasa takut karena dimarahi.
"Pulang sekarang!" ucap Hagan tegas.
"T-Tapi Bang…" Hanin mencoba membela diri.
"Biar dompet lu nanti anak buah gue yang cari. Sekarang, pulang!"
Hanin pun terpaksa mengikuti Hagan pulang, dengan wajah murung.
****
"Lu habis kecelakaan, keluyuran mulu. Udah di rumah aja! Jangan ke mana-mana. Masih musim ujian kan?" omel Hagan lagi saat mereka tiba di rumah.
Hagan memang biasanya bukan tipe kakak yang protektif berlebihan, tapi kali ini ia sangat tegas. Dengan orang tua mereka yang jauh di luar negeri, Hagan merasa bertanggung jawab penuh atas adik-adiknya. Terutama Hanin yang menurutnya terlalu ceroboh.
"Nat, jagain dia. Jangan sampai keluar rumah. Americano lu lagi dibikinin sama Dino," ucap Hagan lalu pergi.
"Ugh! Sumpah nyebelin banget hari ini!" omel Hanin sambil menjatuhkan tubuh ke sofa. "Dompet hilang, duit banyak belum sempat gue pakai, eh malah ketangkep basah!"
"Kenapa lu bilangnya cuma Kak Dino yang jemput tadi?" tanya Hanin kesal ke Natasha.
"Mana gue tahu abang lu ikut juga? Kemarin janjinya Dino doang."
Tak lama kemudian, Dino masuk ke ruang tamu dengan dua gelas Americano.
"Nih kopinya," katanya sambil meletakkan minuman itu di meja.
"Makasih, By," ucap Natasha.
"Kenapa Kak Dino jemputnya bareng Bang Hagan sih?" tanya Hanin.
"Makasih dulu kek, baru marah-marah," balas Dino santai.
"Makasih, Kak," ujar Hanin datar.
"Iya, sama-sama. Gak ikhlas banget lu!" balas Dino sambil tertawa.
"Udah, jawab dulu, Kak."
"Ada juniornya Bang Hagan yang mau datang ke rumah. Jadi sekalian aja pulangnya bareng. Soal dompet lu, kalau ketemu bakal disita dulu sama Bang Hagan seminggu. Paling cuma dikasih KTM doang buat ujian. Sisanya, antar-jemput sama abang lu. Makan? Ya diantar juga."
"Aarrgh! Gak bisa ke café dong seminggu?!" seru Hanin frustasi.
"Tahan dulu lah. Di rumah kan ada gue sama Natt. Ngapain bosen?"
"Beda, By. Suasananya beda. Kalau gak ada Kak Dika juga, rumah ini sepi. Nggak ada yang bisa ngelawak kayak dia," jawab Natasha.
Dino cuma tersenyum, lalu dipanggil Hagan dari garasi. "Din, orangnya udah datang. Bantuin gue bentar."
"Oke, Bang!" sahut Dino dan bergegas pergi.
****
Hanin dan Natasha mengintip dari lantai atas, tepat dari balik railing tangga.
"Oh, itu orangnya. Cakep juga," bisik Hanin spontan.
"Jadi kamu naksir yang kayak gitu, Nin?" sahut suara dari belakang mereka.
Mereka terkejut dan menoleh. Ternyata itu Dika.
"Kak Dika! Kagetin aja sih!" seru Natasha.
"Mau kenalan langsung nggak?" tanya Dika, tersenyum penuh arti.
"Emang Kak Dika kenal?" tanya Hanin penasaran.
"Kalau kamu mau, yuk turun. Biar gue kenalin."
Tanpa menunggu jawaban, Dika mengajak mereka turun ke ruang tamu.
Di sana sudah ada Hagan dan Dino yang sedang berbincang dengan seorang pria yang tampak ramah dan percaya diri.
"Dan, kenalin. Ini Hanin, adik bungsu kita. Ini Natasha, sahabat Hanin sekaligus pacarnya Dino," ujar Dika.
"Sadana," ucap pria itu sambil menjabat tangan mereka satu per satu.
"Katanya lu mau istirahat, Ven. Kok turun lagi?" tanya Sadana ke Dika.
"Gapapa. Ada yang mau kenalan, soalnya," jawab Dika santai. Hanin langsung mencubit lengan kakaknya, membuat Hagan dan Dino terkekeh.
Obrolan pun mengalir santai. Sadana ternyata juniornya Hagan di komunitas balap motor. Ia seumuran dengan Dika dan memiliki café sendiri—yang tanpa disadari Hanin, ternyata adalah café favoritnya yang baru.
****
"Makasih ya, Bang Hagan, udah dibolehin mampir ke rumah abang," ucap Sadana saat berpamitan malam itu.
"Anaknya yang pada mau, gue bisa apa," balas Hagan sambil tersenyum.
"Tapi serius, steak buatan lu enak banget, Ven. Harusnya lu buka restoran sendiri!"
"Nggak ah, nanti saingan sama café lu," jawab Dika sambil tertawa. "Lagian gue udah cukup sibuk jadi dokter. Hari ini aja gue pulang cepat demi bisa makan bareng kalian."
"Yakin bukan karena pengen ketemu gue?" canda Sadana.
"Enggak," jawab Dika cepat. Mereka tertawa bersama.
"Udah, pulang sana. Nggak usah godain adek gue. Itu jobdesc gue!" sahut Hagan sambil menoyor kepala Sadana.
Sadana hanya tertawa dan mengenakan helm full face miliknya. Ia lalu menyalakan motor balap putihnya dan pergi meninggalkan rumah.
"Gue sih ACC, Bang," ujar Dika tiba-tiba begitu mereka masuk ke dalam rumah.
"Nggak ada! Hanin masih kecil," tolak Hagan tegas.
"Apaan sih, Bang? Hanin udah punya KTP tahu!"
"Mana?"
"Hilang..." jawab Hanin pelan.
"Lu tuh belum pantes punya KTP kalau masih suka teledor begitu! Nih, KTM lu, buat ujian besok. Mulai besok sampai seminggu ke depan, gue yang antar jemput. Walaupun lu udah bisa bawa motor, tetap kuncinya gue sita!"
"Kak Dika, tolongin Hanin dong…"
"Aduh, kali ini kakak nggak bisa bantu. Kata-kata abangmu ada benarnya," kata Dika dengan wajah serius. "Masuk kamar sekarang. Belajar buat ulangan besok."
Hanin dan Natasha hanya bisa menurut. Bekingan mereka kali ini benar-benar angkat tangan.
****
Sudah lima hari berlalu sejak kejadian itu. Hanin dan Natasha belum pernah nongkrong lagi seperti biasanya. Meski dompet Hanin akhirnya dikembalikan oleh Hagan, ia tetap belum diperbolehkan keluar sendirian. Ditambah Natasha yang sedang sakit hari ini, membuat Hanin semakin bosan.
Untungnya, ujian sudah selesai. Hanin berdiri sendiri di halte, menunggu jemputan dari Hagan seperti biasa. Jalanan cukup ramai, tetapi trotoar mulai sepi karena bus terakhir sudah berangkat lima belas menit lalu. Matahari hampir tenggelam.
Hanin mencoba menghubungi Hagan dan Dino, tapi tak ada jawaban. Ia mencoba menelepon Dika, lalu Natasha, tetap nihil. Jantungnya mulai berdebar, bukan karena panik soal jemputan yang telat, tapi karena suasana yang makin mencekam.
Tiba-tiba, seseorang menabraknya dari belakang. Hanin terjatuh. Ia merasakan sesuatu menusuk perutnya. Mata Hanin membelalak. Darah mulai mengalir deras dari luka tusukan itu. Ia mencoba berteriak, namun tubuhnya melemas. Dunia di sekelilingnya berubah menjadi kabur. Orang-orang di sekitar berkerumun, tapi hanya memotret dan merekam dengan ponsel.
Tak ada yang menolong.
****
Seorang pria dengan motor balap berwarna putih tiba-tiba menghentikan laju kendaraannya.
Tanpa pikir panjang, ia turun dan mengangkat tubuh Hanin ke jok belakang. Darah sudah membasahi baju Hanin, tetapi ia tetap memegang tubuh gadis itu agar tak jatuh.
Ia memacu motornya ke rumah sakit terdekat.
****
"Nin, bangun Nin!" ucap pria itu panik saat Hanin terbaring di ranjang IGD.
"Jangan mati dulu, lu belum bayar hutang di café gue!" lanjutnya.
Suster dan dokter yang sedang mempersiapkan operasi menahan tawa mendengar kalimat pria itu.
"Maaf, Mas. Silakan tunggu di luar ya," kata suster sambil mendorong ranjang masuk ke ruang operasi.
Pria itu, Sadana, hanya bisa duduk gelisah di luar ruangan. Ia membuka ponsel dan segera menghubungi seseorang lewat pesan singkat.
Tak lama, orang yang ia hubungi pun datang.
****
"Tolol! Emang tolol orang-orang zaman sekarang!" umpat Hagan emosi.
"Untung ada lu, Dan. Gue gak kebayang berapa lama adik gue cuma jadi tontonan doang. Makasih banget, sumpah," ucap Hagan sambil memeluk Sadana.
Sadana, yang saat itu hendak mampir ke café miliknya, kebetulan melihat Hanin terkapar. Ia pun spontan bertindak tanpa banyak tanya. Sekarang, ia duduk lelah, masih dengan noda darah Hanin di bajunya.
Beberapa jam kemudian, Hanin membuka matanya. Wajahnya pucat, namun ia sadar.
Ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat seumur hidupnya: Hagan menangis.
"Kenapa nangis, Bang?" tanyanya pelan.
"Gak apa-apa. Kelilipan doang ini," jawab Hagan sambil cepat-cepat menyeka air matanya.
"Kegeeran lu!" sahutnya mencoba menutupi rasa malu.
"Kenapa bisa sampai ditusuk, Nin? Kan lu jago bela diri juga?"
"Abang kelamaan jemput. Aku kedinginan sendirian di halte. Terus tiba-tiba ada orang datang, nusuk aku, udah berusaha ngelawan, tapi tenaga orang itu lebih besar. Dan tiba-tiba gelap gitu aja."
"Kenapa gak ada yang bisa dihubungi sih tadi?" tanya Hanin lagi.
"Sorry. Tadi semua lagi meeting mendadak. Tapi tenang, meeting-nya dihandle si purba kok," jawab Hagan.
Hanin mengangguk pelan. Ia menoleh ke jendela rumah sakit. Langit malam tampak tenang, tak seperti perasaannya.
****
Sehari setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Hanin akhirnya mendapatkan kembali kunci motor kesayangannya. Itu pun setelah ia merengek selama tiga hari di IGD. Alasannya klasik—agar ia bisa cepat pulang kalau kejadian serupa terjadi lagi.
Meski begitu, Hagan tetap membuat aturan: selama jahitan di perutnya belum dilepas, Hanin hanya boleh jadi pembonceng. Tak ada kompromi.
"Inget, hari ini langsung pulang, ya. Jangan mampir-mampir lagi," pesan Hagan sambil menyerahkan helm.
"Palingan cuman ke café itu doang, Bang," jawab Hanin sambil tersenyum manis.
Hagan hanya bisa menarik napas panjang. "Habis makan dan minum, langsung pulang. Jangan bikin abang makin botak mikirin kamu."
Hanin nyengir, lalu naik ke motor bersama Natasha. Mereka menuju kampus, lalu seperti biasa, café kecil di sudut jalan itu menjadi tujuan setelahnya.
Café itu memang masih satu arah dengan rute pulang mereka, dan Hanin merasa ia punya urusan yang belum selesai di sana—terutama hutangnya.
****
Setibanya di café, suasana hangat langsung menyambut mereka. Hanin memesan dua gelas Americano dan sepotong caramel cheese cake. Mereka duduk di meja favorit, menikmati momen sederhana itu dengan senyum yang mulai kembali ceria.
Selesai makan, Hanin menuju kasir. Ia terkejut saat melihat siapa yang berjaga di balik mesin kasir.
"Kak Sadana?"
"Hey, Nin. Udah sehat?" tanya Sadana sambil tersenyum.
"Alhamdulillah, udah mendingan. Total semuanya berapa, Kak? Termasuk yang kemarin-kemarin, belum sempat bayar waktu itu."
Sadana menggeleng pelan. "Nggak usah bayar. Udah lunas."
"Hah? Kok bisa? Tetap harus bayar dong. Saya nggak mau ngutang lagi," ujar Hanin cepat.
"Gratisan kok ditolak?" canda Sadana.
Natasha yang ikut berdiri di belakang Hanin juga mengangguk. "Iya, Kak. Kita nggak enak kalau nggak bayar."
Sadana berpikir sejenak. "Gini aja. Kalian punya band kan? Manggung aja di café ini tiap malam Minggu. Nanti dipotong dari gaji. Gimana?"
Hanin dan Natasha saling pandang. "Kita sih mau aja, tapi... Bang Hagan susah kasih izin. Lagian, vokalis kita keluar dua minggu lalu, sebelum kecelakaan."
"Vokalisnya biar gue aja. Gue bisa nyanyi, tapi nggak bisa main alat musik. Deal?"
Hanin tertawa.
"Kabarin aja kalau Bang Hagan setuju."
****
"Bang Hagan... boleh gak Hanin dan Natasha manggung di café Kak Sadana?" tanya Hanin dengan nada super manja malam itu.
"Boleh," jawab Hagan singkat sambil memakan cemilan di tangannya.
Hanin sampai terdiam. "Kak Dika! Natt! Ini bukan mimpi, kan?!"
Dika dan Dino yang duduk tak jauh langsung tertawa.
"Gak usah lebay. Nanti minta tambah jadwal manggung sekalian," sahut Hagan.
"Makasih banyak, abangku tersayang!" Hanin memeluk Hagan dan mencium pipinya.
"Aah… gue juga mau dipeluk dan dicium!" seru Dika, ikut memeluk Hagan.
"Apaan sih? Rusak momen aja!" protes Hagan.
"Tapi inget," lanjutnya serius, "Pulang-pergi harus bareng gue, Dika, atau Dino. Jangan pernah minta dianterin Sadana."
"Kenapa, Bang? Kak Sadana kan juga bagian dari tim sekarang," tanya Natasha.
"Justru itu. Dia udah jadi atasan kalian, vokalis juga. Jangan ditambahin status jadi tukang ojek," jawab Dino sambil menggenggam tangan Natasha.
"Betul juga," jawab Natasha sambil tertawa kecil.
****
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Malam Minggu pertama setelah izin manggung resmi diberikan. Hanin dan Natasha sudah siap sejak sore, mengenakan outfit bertema anak motor—jaket kulit hitam, celana jeans ketat, dan boots. Tak lupa, Hanin membawa gitar putih kesayangannya yang ajaibnya masih utuh pasca kecelakaan.
"Nggak ada yang ketinggalan, kan?" tanya Dika sambil mengecek perlengkapan mereka.
"Jangan sampai ada yang ketinggalan, gue nggak mau muter balik nanti," sambung Hagan sambil mengunci pintu rumah.
Setelah semuanya siap dan masuk ke dalam mobil abu-abu milik Hagan, mereka pun berangkat menuju café milik Sadana.
Setibanya di sana, café sudah mulai ramai. Lampu-lampu gantung temaram menciptakan suasana hangat dan meriah.
"Makasih ya, Bang, udah ngizinin Hanin dan Natasha main di sini," ucap Sadana saat mereka masuk.
"Anaknya yang pada mau. Gue bisa apa," jawab Hagan sambil menepuk pundak Sadana.
Ketiganya lalu naik ke panggung. Dika, Dino, dan Hagan menyemangati mereka dari bangku penonton.
"Tunjukin perform yang keren, Dan! Pamerin suara emas lu!" teriak Dika.
"Tunjukin pesona drummer cantik lo, Sayang!" sambung Dino menyemangati Natasha.
"Hanin! Gitaris cantik No.1 se-kota! Jangan mau kalah keren dari yang lain!" teriak Hagan dengan suara lantang.
Tepuk tangan pun menggema. Musik dimulai. Mereka membawakan lagu "Rock With You" milik SEVENTEEN dengan aransemen khas mereka sendiri. Hanin memetik gitarnya dengan percaya diri, Natasha memukul drum penuh semangat, dan Sadana membius penonton dengan vokalnya yang hangat dan kuat.
♪
Jigeum i noraega naega doel su itge, Mandeureo jun nega dagaonda, Set dul hana
Kau membuat lagu ini menjadi diriku, Dan kau pun datang, Tiga, dua, satu
Mwodeunji da jugo sipeo, Naege neoman itdamyeon, Won’t let them break your heart oh no
Aku ingin memberimu segalanya, Asalkan kau berada di sisiku, Tak akan ku biarkan mereka menyakiti hatimu
Nega eopdamyeon nan amugeotdo anya, No words are enough for you, Noraenmallo damgo sipeo
Tanpamu aku bukanlah apa-apa, Tidak ada kata yang cukup untuk memndeskripsikan tentangmu, Aku ingin menuliskannya dalam lirik lagu
So, modeun naui gamjeong neoro ilgo sseuge haejwo
Jadi, aku akan menunjukkan dan menuliskan perasaanku melaluimu
I just want to love you, Neol honja duji ana nan, I just want you, I need you
Aku hanya ingin mencintaimu, Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri, Aku hanya menginginkanmu, aku membutuhkanmu
I bameun jjalgo neon dangyeonhaji ana, I tell you
Malam ini sangat singkat, kau berharga bagiku, Aku katakan padamu
This time I wanna rock with you, Moonlight i bame Shine on you
Saat ini aku ingin menari bersamamu, Cahaya bulan malam ini bersinar untukmu
Tonight I wanna ride with you, Geu eodirado
Malam ini aku ingin bergantung padamu, Kemanapun kita pergi
Baby hold on Baby hold on, Eodiseodo
Sayang tunggu sayang tunggu, Dimanapun kita berada
Baby hold on Baby hold on, Eodiseorado
Sayang tunggu sayang tunggu, Tidak peduli di mana pun kita berada
Sesangi kkeunnadeorado, I wanna ride with you
Meskipun dunia ini berakhir, Aku ingin bergantung padamu
♪
Suara Sadana membelah suasana malam. Harmoni dari gitar Hanin dan dentuman drum Natasha membuat lagu itu terasa lebih intim, seolah ditujukan hanya untuk satu orang. Sorot lampu menyorot wajah mereka bertiga—penuh semangat, penuh cerita.
Penampilan mereka memukau. Sorakan dan tepuk tangan tak henti terdengar.
****
Usai pertunjukan, Sadana mengajak Hanin keluar sebentar dari café. Udara malam terasa sejuk. Bulan purnama menggantung cantik di langit.
"Nin, the moon is beautiful, isn’t it?" ucap Sadana sambil menatap langit.
Hanin ikut menengadah. "Iya, cantik banget."
Sadana lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya. Ia membukanya, memperlihatkan kalung emas dengan liontin berbentuk huruf 'H' dan 'S' yang menyatu.
"Kalau kamu mau jadi pacarku, kamu bakal pakai kalung ini," ucap Sadana serius.
Hanin menatapnya tak percaya. Pipinya memerah. Tapi perlahan, ia tersenyum dan mengambil kalung itu dari tangan Sadana.
"Kakak bisa bantuin aku pasangnya nggak?" tanyanya pelan.
Sadana tersenyum lebar dan membantu mengaitkan kalung itu ke leher Hanin. Tangannya sedikit gemetar, tapi senyumnya tak luntur.
"Terima kasih sudah mau nerima aku, Nin," ucap Sadana.
"Iya, Kak. Aku juga senang," jawab Hanin sambil menatap matanya.
Mereka saling tersenyum.
"Yuk masuk lagi. Nanti Kak Hagan nyusul ke sini buat nyulik aku," goda Hanin.
Sadana tertawa. Mereka pun berjalan berdampingan kembali ke dalam café—tempat semuanya dimulai.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
