Akhir Sebuah Perjalanan #RumahdalamDiri

5
0
Deskripsi

Raka, suamiku, mendorong gelas kacanya ke arahku.

"Air minum."

Aku mengangguk, bangkit dari kursi, meraih gelas kosongnya, berjalan memutari meja makan untuk mengisi gelasnya dengan air dari dispenser yang sebenarnya hanya berjarak satu meter dari tempat suamiku duduk.

Aku meletakkan gelas itu di hadapannya, lalu menarik kursi dan duduk tepat di seberangnya.

"Aku ingin bicara," Aku menarik nafas panjang, meyakinkan diriku, bahwa inilah yang aku inginkan selama ini. Memang terasa sulit tapi harus dicoba...

Akhir Sebuah Perjalanan

Raka, suamiku, mendorong gelas kacanya ke arahku.

"Air minum."

Aku mengangguk, bangkit dari kursi, meraih gelas kosongnya, berjalan memutari meja makan untuk mengisi gelasnya dengan air dari dispenser yang sebenarnya hanya berjarak satu meter dari tempat suamiku duduk.

Aku meletakkan gelas itu di hadapannya, lalu menarik kursi dan duduk tepat di seberangnya.

"Aku ingin bicara," Aku menarik nafas panjang, meyakinkan diriku, bahwa inilah yang aku inginkan selama ini. Memang terasa sulit tapi harus dicoba jika ingin menemukan apa yang aku cari selama ini. Jika kita tidak pernah mencoba, kita tidak akan pernah tau seperti apa hasilnya.

"Apa itu?" Raka menjawab acuh, menegak habis air di dalam gelas, meletakkan gelas kosongnya kembali di atas meja makan. Dan selama melakukan semua kegiatan tersebut, tatapan matanya tidak terlepas dari layar ponsel di tangannya.

"Aku ingin bercerai." Suaraku terdengar bening, datar dan juga tanpa emosi apapun.

Keheningan meliputi ruang makan saat kalimat sakral itu akhirnya keluar dari bibirku.

"Kau tau apa itu artinya bercerai?" Raka mengangkat wajahnya dari atas ponsel, menatapku tajam, ada amarah di sorot matanya.

"Tentu saja aku tau," Aku mengangguk pelan, "Tapi jika kau tidak menginginkan perceraian, kurasa kita bisa tinggal terpisah."

"Tinggal terpisah? Apa kata orang? Apa kata keluarga besar kita?" Raka mendelik, mulai menaikkan nada suaranya.

"Kita hidup bukan untuk memenuhi keinginan dan kebahagiaan orang lain. Kenapa kita harus mendengar apa kata orang lain? Apa kata keluarga besar kita? Kita hidup untuk diri kita sendiri!"

"Jangan banyak berteori!" Raka bangkit, menghempas kasar kursi, berjalan masuk ke dalam kamar, meninggalkan piring bekas makannya yang berantakan dengan ceceran tulang ayam yang ditaruh begitu saja di atas meja termasuk kemasan kosong obat kolestrol dan hipertensi serta tissue bekas pakai di atas meja.

Aku menghela nafas panjang, setengah enggan, membereskan kekacauan di atas meja makan. Setidaknya aku bersyukur, ketiga putraku tidak ada yang menuruti jejak ayahnya. Mereka terbiasa merapikan peralatan bekas makan bahkan mereka tidak segan segan masuk ke dapur untuk mencuci peralatan bekas makan. Hal ini berlaku juga untuk peralatan makan di restoran atau di tempat umum lainnya. Mereka selalu menyusun piring dan gelas bekas pakai dengan rapi sehingga pegawai yang bertugas hanya perlu mengangkat piring tanpa perlu berjuang dengan susah payah merapikan tumpahan makanan, sambel hingga tissue yang bertebaran di atas meja, seperti yang suamiku selalu lakukan saat kami makan di mana saja, entah di rumah atau di tempat umum.

Dulu saat aku kecil, aku sempat berpikir ibuku termasuk tipe wanita pendiam atau introvert. Kalian pasti tau apa itu tipe introvert. Ya, tipe karakter yang suka memendam perasaan dan pikiran sendirian, serta tidak suka menjelaskannya pada orang lain. Tapi sejalan dengan banyaknya peristiwa yang terjadi, dengan semakin bertambahnya usiaku, dengan semakin banyaknya masalah hidup yang aku hadapi dan berhasil aku atasi, aku baru menyadari jika ibu bukanlah tipe pendiam atau introvert.

Aku baru menyadari hal tersebut setelah ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Saat ayah meninggal, aku sedang berada di tahun terakhir kuliah dan sedang magang di sebuah perusahaan besar bertaraf nasional.

Ibu memang terlihat berduka, tapi tetap terlihat tenang. Aku kagum karena penguasaan dirinya yang kuat. Ibu tidak banyak menangis selama masa berduka. Ia hanya menangis beberapa kali saja. Yang aku ingat, ibu menangis saat peti jenazah ayah ditutup dan saat peti jenazah ayah diturunkan ke liang lahat.

Bagiku dan bagi kedua kakak laki lakiku, ayah dan ibu adalah sosok panutan yang mampu membesarkan, mendidik dan menyekolahkan ketiga anaknya hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Bisa dibilang, kami semua berhasil menjadi "orang" walaupun dari segi ekonomi, keluarga kami termasuk keluarga biasa biasa saja. Ayah bekerja keras untuk membiayai pendidikan ketiga anaknya yang tidak bisa dikatakan murah. Lalu ibu, seperti biasa adalah bendahara keluarga yang berhasil mengatur pengeluaran dan tabungan keluarga dengan sangat teliti.

Kakak laki laki pertamaku adalah seorang dokter sekaligus kepala rumah sakit swasta terkenal. Ia sering membawakan materi di berbagai seminar kesehatan dan beberapa kali mengisi acara di televisi swasta dan menjadi bintang tamu di saluran YouTube beberapa selebritis terkenal.

Kakak laki laki keduaku juga menduduki posisi penting di sebuah perusahaan kosmetik bertaraf internasional. Dan aku yakin, gajinya dari perusahaan itu cukup besar, karena ia mampu membeli rumah di kawasan elit dan juga hampir setiap tahun rutin berlibur ke luar negeri.

Lalu aku sendiri, setelah berhasil lulus kuliah dengan nilai sangat memuaskan, aku langsung diterima bekerja di sebuah perusahaan elektronik berskala internasional dan dalam enam bulan berhasil menduduki jabatan penting sebagai tangan kanan CEO.

Sibuk? Aku memang sangat sibuk. Aku bahkan terbiasa pulang kerja menjelang tengah malam, apalagi di akhir bulan. Tapi itu sebanding dengan besarnya kompensasi gaji yang kuterima dan aneka fasilitas luar biasa termasuk sebuah mobil dinas. Satu hal yang aku sukai di perusahaan ini adalah dinas luar kotanya. Aku menikmati saat saat menyenangkan mengunjungi kota kota baru, berkenalan dengan orang baru dan juga menikmati aneka kuliner baru. Itu adalah masa masa emasku.

Namun seperti kata pepatah, setinggi tingginya burung terbang, akhirnya kembali ke sarangnya juga. Mungkin itulah istilah yang tepat untukku. Karier yang bagus, masa depan yang bagus, membuat teman dan rekan kerjaku sangat menyayangkan keputusanku untuk resign setelah sepuluh tahun mengabdi.

Ya, aku akhirnya memutuskan resign setelah kelahiran putra ketigaku. Aku ingin fokus pada keluarga kecilku. Aku tidak ingin menyesal karena sudah melewatkan masa dan moment pertumbuhan mereka yang tidak akan terulang dua kali. Beberapa temanku menyarankan agar aku menyewa baby sitter dibandingkan mengundurkan diri. Tapi aku menolak. Bukan tidak mampu, tapi aku enggan saat nanti anak anakku besar, mereka lebih mengingat moment dengan pengasuh mereka dibandingkan moment dengan ibu kandung mereka.

Aku juga menolak ide beberapa keluargaku untuk mengajak ibuku tinggal bersamaku dan menjadi pengawas dari para pengasuh anak anakku. Mereka beranggapan itu jauh lebih baik dibandingkan membiarkan ibu tinggal sendirian di rumah bersama dua orang karyawan. Lebih baik tinggal bersama anak sendiri dibandingkan karyawan bukan?

Awalnya aku sempat berpikiran hal yang sama. Tapi saat aku beberapa kali mengunjungi ibu setelah kematian ayah, aku mulai menemukan fakta baru. Ibu benar benar menikmati kegiatan barunya yaitu membuat kue dan menghias kue ulang tahun pesanan konsumen. Ibu punya banyak langganan tetap yang memesan kue untuk berbagai acara, dan ibu terlihat sangat hafal dengan keinginan dan kebiasaan langganannya. Ibu juga semakin terkenal di daerah ia tinggal. Semua hal tersebut, membuatku berpikir, mungkin di sanalah letak kebahagiaan ibu.

Sepeninggalan ayah, ibu memang memilih menekuni usaha kue kecil kecilan. Awalnya, kami, anak anaknya, cukup menentang keputusan ibu. Kami semua berpikir, ibu tidak perlu bekerja. Kami semua, lebih dari kata mampu untuk sekedar mengirimkan uang bulanan pada ibu.

Tapi kata kata ibulah pada kami, membuat kami semua terdiam.

"Ibu hanya ingin melakukan hal hal yang tidak sempat ibu lakukan. Hal hal yang ibu sukai dan membuat ibu merasa lebih hidup. Jika dulu ibu hidup untuk suami dan anak anak, sekarang biarkan ibu hidup untuk diri ibu sendiri."

Kalimat ibu ini ternyata punya arti yang sangat dalam dan kalimat inilah yang akhirnya membuat kami semua, anak anaknya, membiarkan ibu menjalankan aktivitasnya. Tidak ada yang pernah menyangka, jika usaha ibu akan terkenal. 

Tapi ibu tetaplah ibu dengan pribadi sederhana. Ia tidak mengejar materi. Ia hanya memperkerjakan dua orang karyawan wanita yang berasal dari keluarga jauh kami. Jika ada yang bertanya padanya, kenapa tidak menambah lebih banyak pegawai agar bisa menerima lebih banyak pesanan dan menjual lebih banyak kue? Ibu hanya tersenyum dan menjawab ringan

"Rezeki udah diatur dari Atas. Lagian kalau semakin mengejar kuantitas, bukankah nanti kualitasnya tidak akan sebagus awalnya?"

Ibu benar benar mengagetkan kami dengan pola pikirnya yang luar biasa  untuk orang yang hanya mengenyam pendidikan sampai jenjang SMP saja.

Tapi setidaknya semua berjalan dengan lancar. Ibu terlihat jauh lebih segar dan tampak awet muda di tengah tengah kesibukannya. Aku bahkan sering mendapati ibu tidak berada di rumah jika aku berkunjung secara mendadak. Ibu sekarang punya acara rutin, menghabiskan waktu di cafe atau kedai kopi bersama teman temannya atau sekedar duduk ngopi, mendengar musik sambil membaca buku.

Melihat kehidupan ibu yang mengalir, aku juga sempat berpikir bahwa hidup itu sebenarnya sangat sederhana. Karena itu, jangan dibuat sulit, biarkan semua mengalir apa adanya. Tapi terkadang kenyataan tidak semudah itu.

Mengubah banyak hal dalam hidupku tidaklah mudah. Dari wanita karier yang sukses hingga menjadi wanita yang terkurung di dalam rumah. Dari wanita yang merdeka secara finansial hingga jadi ibu rumah tangga yang segalanya tegantung dari jatah uang bulanan suami, semuanya benar benar sesuatu yang baru bagi diriku.

Tapi aku kembali bersyukur, aku mampu melewatinya. Kesibukan mengurus tiga pangeran kecilku mampu menggantikan kesibukanku sebagai tangan kanan CEO. Aku menikmati moment kebersamaan bersama mereka, membangun bounding dan chemistry dengan anak anakku.

Sedangkan suamiku, kariernya semakin menanjak. Jabatannya perlahan naik menjadi kepala cabang regional. Aku tentu saja sangat bersyukur. Tapi pelan pelan, di dalam hati kecilku, ada rasa kosong yang menyelinap di sudut sudut hatiku. Suamiku menjadi bertambah sibuk. Hampir setiap hari ia harus pulang malam karena lembur. Semua itu disebabkan karena bertambah banyaknya pekerjaan serta tanggung jawab yang juga semakin besar. Terkadang di akhir pekan, ia sesekali membawa pulang pekerjaannya dan mengerjakannya di rumah atau terkadang mengadakan online meeting di rumah.

Aku kembali mencoba mengisi ruang kosong di hatiku dengan lebih fokus pada anak anakku. Tapi tetap saja, ruang kosong itu sulit diisi. Ada rasa sepi yang sulit dijabarkan dengan kata kata.

Saat kami keluar bersama, suamiku masih saja tetap sibuk dengan ponselnya. Aku masih ingat, aku pernah meminta ia untuk menyimpan ponselnya saat kami sedang makan bersama di sebuah kedai.

"Mas, ponselnya boleh disimpan dulu, gak?" Aku bergumam pelan, melirik pada anak anak yang terlihat antusias saat pesanan makanan mereka dibawa oleh pegawai kedai.

"Gak harus, kan?" Suamiku melirik malas ke arahku, dan kembali mengarahkan matanya ke layar ponselnya.

"Kita semakin lama semakin gak punya banyak quality time, mas," aku menghela nafas panjang, "jadi kenapa gak jadikan acara makan bersama di luar seperti sekarang ini, menjadi quality time kita? Please, simpan ponselnya, mas. Kita bisa bahas banyak hal dengan anak anak, mas. Mas jarang berkomunikasi dengan mereka."

"Jarang bagaimana? Kan tiap hari masih ketemu di rumah?" Suamiku masih tetap bebal dengan pendapatnya.

"Quality lebih penting dari quantity mas. Ponsel itu juga berbahaya, bisa menjauhkan yang dekat tapi sekaligus bisa mendekatkan yang jauh," Aku menghela nafas, mengingat sebuah artikel yang pernah aku baca.

Suamiku terdiam, akhirnya menyimpan ponselnya dan kemudian kami makan bersama sambil mengobrol.

Namun siapa yang mengira jika kemudian kalimat yang pernah aku ucapkan kemudian menjadi nyata? Ternyata ponsel benar benar bisa mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat?

Aku akhirnya menyadari jika suamiku dekat dengan seorang wanita lain yang jauh lebih modis dan lebih muda dari usiaku. Mereka menutupinya dengan sangat rapi dan rasanya sangat bodoh sampai aku tidak menyadarinya. Bodoh karena terlalu percaya pada suamiku. Bodoh karena menganggap suamiku tidak mungkin melakukan hal hal di luar norma. Dan mungkin bodoh hanya karena berusaha nyaman dengan keadaan.

Namun Tuhan punya jalannya sendiri untuk membuka sebuah kebusukan. Bagaimana pun disembunyikan, suatu saat tetap akan terungkap. Beberapa kejadian yang saling berkaitan kemudian menyadarkanku, itu bukan sebuah kebetulan dan suamiku jelas sudah berhubungan cukup lama dengan wanita tersebut.

Rasanya sangat janggal jika teman baiknya, si wanita, bisa tau saat suamiku operasi usus buntu secara mendadak, di saat semua keluarganya bahkan belum sempat diberitahu karena kejadiannya begitu mendadak dan juga karena kepanikanku sampai aku nyaris tidak bisa berpikir apapun selain keselamatan suamiku bukan? 

Lalu tidakkah terasa janggal jika teman dekatnya, si wanita, bisa tau jika suamiku punya penyakit wasir yang bukannya sedikit agak tidak nyaman untuk dibicarakan dengan orang asing terutama dengan lawan jenis? Teman suamiku, si wanita ini, yang membahas soal wasir suamiku saat kami berdua sedang menunggu suamiku yang sedang menjalani operasi usus buntu. Saat itu, aku benar benar kaget, tapi kepanikan dan kekalutanku membuatku tidak menyadari kejanggalan kejanggalan ini.

Tapi rasanya justru sedikit aneh jika kemudian teman yang mengunjunginya selama ia dirawat di rumah sakit pasca operasi, kemudian pura pura tidak saling mengenal di sebuah acara ramah tamah komunitas sosial. Dan rasanya sangat aneh jika suamiku sering harus balik ke rumah gara gara headsetnya ketinggalan bukan?

Mungkin aku terlalu naif, hingga begitu terlambat menyadari jika ternyata suamiku di saat mengerjakan pekerjaan kantornya hingga tengah malam di rumah bukannya sekedar mengerjakan pekerjaan kantor, tapi juga melakukan panggilan video dengan seorang wanita dengan menggunakan headset. Mungkin aku terlalu bodoh sekaligus naif, terlalu percaya padanya dan itu disalah gunakan. Aku beberapa kali keluar dari kamar saat tengah malam karena haus dan mendapati suamiku yang sedang bekerja di depan laptop langsung membalik layar ponselnya menghadap ke bawah.

Sekali dua kali, aku tidak curiga. Tapi lama kelamaan, aku mulai curiga. Kali terakhir, aku akhirnya meraih paksa ponsel suamiku dan menemukan wajah seorang wanita di layar panggilan video, ya wanita yang ternyata mengunjunginya di rumah sakit. Dan sebagai wanita biasa yang merasa dihianati, aku marah. Aku lepas kontrol dan aku mengamuk dengan sejuta omelan. 

Salahkan wanita yang memang mampu mengeluarkan ratusan hingga ribuan kata dalam sehari apalagi dalam kondisi marah. Aku pun memaki wanita itu sebagai wanita yang tidak tau diri, sudah tau pria punya istri masih saja maju, sedangkan dia? Dia adalah wanita bersuami, tapi suaminya memang sangat sibuk dan sering keluar kota. Aku bisa menebak, dia wanita kesepian yang sebenarnya tidak kekurangan material karena secara ekonomi, dia jauh di atas kami.

Di puncak amarahku aku mengeluarkan semua kejenuhanku. Ya semua kejenuhanku melayani suamiku yang merupakan tipe yang harus serba dilayani. Dari mulai mengambilkan air minum, merapikan bekas makanannya, merapikan semua keberantakan yang ia perbuat. Di situ aku baru menyadari bahwa jauh di lubuk hatiku, aku memang sudah benar benar jenuh dengan rutinitas yang tiada habisnya.

"Jangan cuma kalau sedang senang cari si perempuan tidak tau malu itu! Pas susah susahnya juga dong! Gak adil kan kalau susahnya cuma aku, senangnya dia aja yang rasain!" Aku melontarkan kalimat itu di puncak emosiku saat kami sedang berdebat dengan penuh emosi.

Tapi siapa sangka, itulah awal bencana untuk diriku. Suamiku saat itu tidak sempat memutuskan panggilan video dengan wanita itu saat kami bertengkar. Untuk memudahkan, mari kita sebut saja si wanita itu sebagai Nadia. Nadia yang mendengar pertengkaran itu, merekam semuanya termasuk makianku. Dan dia tersinggung. Lucu bukan?

Dan seperti kasus kasus perselingkuhan di mana pun itu, tidak ada pelaku yang mau mengakuinya. Dia yang menjadi pelaku tapi semuanya malah berbalik seolah olah akulah yang menjadi pelaku kejahatan di sini. Playing victim namanya.

Nadia bermain sempurna dengan membuat status menyedihkan, bahwa dialah korbannya. Dia hanya ingin belajar baking kue, melalui suamiku. Aku memang ikut komunitas baking kue. Awalnya tertarik karena  melihat kegiatan ibuku, tapi lama lama aku memang jatuh cinta pada seni dekorasi kue. Tapi rasanya tidak masuk akal bukan, tertarik pada baking kue, tapi kenapa harus melalui suamiku? Lalu kenapa harus selalu melakukan panggilan video di malam hari?

Dan seperti kata pepatah, hampir semua orang terkadang percaya dengan apa yang mereka lihat dan dengar tanpa mencoba mencocokkan fakta terlebih dahulu atau setidaknya mendengar dari kedua belah pihak. Kepiawaiannya membuat status di media sosial membuat dirinya seolah olah benar benar menjadi korban dari kesirikanku. Ya aku dianggap sirik dan jahat karena menolak untuk mengajarkan dia ilmu baking. Aku pun mulai dihakimi oleh teman teman komunitas. Mereka beranggapan aku terlalu jahat dan kejam serta pelit ilmu.

Komunitas baking yang awalnya menjadi pengisi kekosongan setelah anak anak mulai masuk SMP dan SMA, sekarang bukanlah pengisi kekosongan lagi, melainkan menjadi neraka bagiku. Anggota komunitas yang awalnya ramah mulai menjadi nyinyir dan suka menyindir di group percakapan. Apalagi Nadia mulai menjapri teman teman bakingku dan dengan polos bertanya apa syarat menjadi anggota, apakah kenganggotaan bersifat elit, apakah seorang Nadia tidak bisa, dan banyak hal yang dilakukan Nadia sehingga anggota komunitas mulai membenciku.

Sakit? Jelas! Tapi life must go on kan? Aku akhirnya memilih keluar dari komunitas. Prinsipku, buat apa bertahan di komunitas yang jelas jelas anggotanya suka menghakimi tanpa mencari tahu dulu kebenarannya? Buat apa bergaul dengan orang orang yang kualitas pribadinya tidak baik? Bukankah lingkungan kita berada sedikit banyak mempengaruhi kepribadian kita? Namun di sisi lain, peristiwa ini ada hikmahnya juga, karena mampu membuka kedok dan pribadi mereka semua, termasuk beberapa orang yang awalnya aku kagumi, tapi setelah kejadian tersebut aku memutuskan tidak menjadikan  mereka sebagai panutan.

Masa masa itu adalah masa masa paling berat yang mungkin tidak pernah diketahui oleh banyak orang. Aku memilih tutup mulut, mengobati luka hatiku dan menghindari media sosial karena ternyata si Nadia ini pun masih terus cuap cuap tanpa henti dan terang terangan menunjuk orang yang jahat pada dirinya langsung pada ciri ciri fisik aku. Kalian tau? Aku bahkan sempat kehilangan berat badan hingga lima kilo tanpa perlu bersusah payah melakukan diet.

Aku sempat bilang ke suamiku "Udah aku ngalah aja, bilang ke Nadia, kalau mau ambil kamu, ambil aja!" Walaupun aku tau hal itu tidak mungkin karena ia sudah bersuami dan suaminya selain sukses juga punya posisi penting di masyarakat.

"Aku akhirnya tau di mana kualitas kamu sebagai suami!" Ya kalimat tidak layak itu akhirnya keluar juga dari mulutku saat si Nadia mungkin sudah lelah berkoar koar di media sosial dan aku tidak pernah menanggapinya sama sekali. Nadia mulai meng-unfriend kontak suamiku di media sosial, tempat di mana mereka awalnya saling kenal. Tapi ternyata, suamiku tetap kekeuh meminta pertemanan kembali pada Nadia. Nadia dengan bangga membuat status kalau orang yang diunfriend tidak rela di unfriend dan masih request pertemanan dengan menampilkan screen shoot permintaan pertemanan yang nama dan profile fotonya dibuat blur. Tapi, sekali lagi,  aku jelas jelas mengenali itu adalah Raka, suamiku yang tidak tahu malu.

"Kamu gak malu gitu? Dipermalukan ama Nadia di media sosial?" Aku menunjukkan status Nadia, tentu saja aku me stalking akun Nadia dengan memakai akun fake lain, karena si Nadia pernah komplain ke suamiku kalau aku suka stalking status media sosialnya. Dan lucunya, suamiku langsung komplain kenapa aku suka stalking status si Nadia.

Saat aku memperlihatkan status Nadia, suamiku memilih diam dan aku, walau sedikit, merasa puas karena melihat ekspresi kecewa di wajah suamiku. Mungkin ia kecewa karena Nadia ternyata juga tega mempermalukan dirinya di media sosial, walau tidak secara terang terangan.

Sejak saat itu, hubungan kami pun mulai hambar.

Sekuat apapun kami menutupi masalah, anak anak akhirnya tau apa yang terjadi. Apalagi ternyata suamiku pernah membawa anak bungsuku ikut serta untuk mengantarkan hadiah ulang tahun Nadia, sebuah boneka besar, dan diantarkan langsung ke rumahnya.

Aku tertawa sumbang saat putra bungsuku bercerita. Sedangkan aku, sepanjang belasan tahun menikah, tidak pernah dirayakan ulang tahun oleh suamiku, tapi si Nadia malah mendapat hadiah khusus dari suamiku.

Suamiku bahkan pernah mencemoohku saat aku meminta dibelikan kue ultah, untuk merayakan ultahku sekaligus syukuran setelah keluar dari rumah sakit. Saat itu, anak anakku masih kecil dan aku terjatuh saat mengangkat ember berisi cucian dan alhasil, mata kakiku retak dan sempat menjalani rawat inap di rumah sakit selama 24 jam.

Tapi alih alih membelikan kue ultah, suamiku menjawab datar, "Hanya anak anak yang merayakan ulang tahun dengan kue ultah!"

Saat itu aku hanya bisa mengelus dada, menahan kekecewaan. Tapi kejadian Nadia membuka semua logikaku, bahwa suamiku sebenarnya tidak peduli dengan diriku. Ia memang kepala rumah tangga yang bertanggung jawab, ayah yang baik, tapi bukanlah suami yang baik untukku.

Kejadian Nadia membuatku berhenti merayakan ulang tahun suamiku setelah selama bertahun tahun aku selalu membuatkannya kue, memasak makanan istimewa di hari ulang tahunnya, namun hari ulang tahunku terlewatkan begitu saja tanpa ada yang mengingatnya.

Ulang tahun menjadi moment menyedihkan bagiku.

Deretan luka yang tertoreh di hatiku, kekosongan yang semakin terasa saat anak anak mulai beranjak dewasa dan satu persatu keluar dari rumah, membuatku memberanikan diri meminta cerai dari suamiku.

Perceraian menjadi topik pertengkaran alot di antara kami berdua. Aku akhirnya memutuskan berlibur ke rumah ibu. Ibu tinggal di kota yang berbeda dengan kami, tapi jaraknya hanya beberapa jam perjalanan darat saja.

Awalnya aku tidak ingin bercerita pada ibu, tapi sulit menyembunyikan jika ada sesuatu yang tidak beres pada ibu. Ibu bisa membaca sorot mataku yang tidak ceria. Dan akhirnya aku menyerah. Dengan rasa malu, aku pun bercerita segala hal yang terjadi dalam pernikahanku termasuk masalah Nadia.

Kalimat ibu benar benar mengangetkanku.

"Setiap pernikahan tidak ada yang mulus laksana jalan tol. Pasti ada saja masalah. Tapi tegantung bagaimana kita menyingkapinya. Ibu menghabiskan waktu belasan tahun mengabdi sebagai seorang istri yang nyaris tidak bisa mengambil keputusan apapun karena ayahmulah yang selalu memutuskan segala hal untuk ibu," ibu menghela nafas, tersenyum samar.

"Setelah ayah meninggal, ibu pikir inilah waktunya untuk ibu. Ibu mungkin tidak punya banyak waktu yang tersisa karena umur manusia ada batasannya. Karena itu ibu memutuskan mengerjakan apa yang pernah menjadi impian ibu tapi tidak pernah bisa dikerjakan karena ayah menolak dan tidak ingin ibu membagi perhatian antara bisnis dan keluarga," ibu mengusap tanganku, tersenyum, menunjuk ke arah lemari kaca berisi kue kue hasil karyanya.

"Bagaimana ibu bisa bertahan selama ini? Apakah ibu bahagia dengan pernikahan ibu?" Aku menatap ibu, meminta jawaban.

"Karena kalian semua. Mungkin kamu bisa rasakan itu, Ratna. Kamu pasti bertahan karena anak anak bukan? Dan saat anak anak satu per satu pergi, kau mulai mencari cara untuk mencari kekosongan itu bukan? Seperti itulah ibu saat itu," ibu tersenyum bijak.

"Lalu apa yang harus aku lakukan, bu? Perasaanku pada Raka tidak lagi sama. Aku sudah tidak bisa menyayanginya seperti dulu." Aku menghela nafas, "aku membencinya." Kalimat terakhir aku ucapkan dengan lirih dan berat.

"Ibu tau. Kita semua bukan malaikat yang bisa dengan lapang hati memaafkan orang yang sudah begitu menyakiti kita. Ibu tau itu." Ibu mengangguk, "Kau mau mencoba solusi dari ibu?"

Aku mengangguk cepat. Tentu saja, solusi dari ibu tidak pernah akan mencelakakan diriku. Aku percaya, cinta seorang ibu pada anak anaknya lebih besar dari cinta pada dirinya sendiri, karena aku juga seorang ibu.

"Ambillah waktu jeda untuk kalian berdua. Kamu bisa tinggal bersama ibu. Jika ada yang bertanya, katakan saja, kau menemani ibu. Alasan yang masuk akal dan tidak akan merugikan kamu dan suamimu bukan?" Ibu tersenyum lembut, "Tidak akan ada yang memeriksa setiap hari keberadaan kalian berdua. Jarak Pangkalpinang ke sini bukanlah sedekat Pangkalpinang ke Sungailiat," ibu tertawa pelan.

"Lalu apa yang harus aku lakukan di sini, bu?"

"Kau bisa mencari tau sejalan dengan berlalunya waktu. Mungkin dengan memberi jeda membantumu menyembuhkan luka dan membuatmu bisa melihat kembali suamimu dengan cara yang baru. Atau mungkin saja kamu menemukan apa yang kamu cari selama ini," ibu kembali mengusap punggung tanganku.

"Perceraian masih punya banyak stigma negatif di masyarakat kita. Apalagi perceraian pasangan yang sudah memasuki usia paruh baya dengan anak anak yang sudah berhasil dengan kariernya. Orang yang tidak punya kerjaan, akan sibuk menganalisa dan mencari penyebab perceraian."

Aku mengangguk, membenarkan perkataan ibuku. Pernikahan kami secara kasat mata terlihat sangat baik baik saja. Orang akan berpikir kami keluarga cemara yang bahagia. Anak anak kami semua berhasil dengan pendidikan, walaupun tidak selalu mencapai peringkat pertama, tapi mereka aktif di komunitas dan kegiatan sosial. Mereka dan juga keluarga besar pasti tidak akan percaya dengan perceraian kami berdua.

Anak pertamaku berhasil mendapatkan pekerjaan bergengsi di perusahaan berbasis teknologi dengan kemampuan programmingnya yang luar biasa. Anak keduaku memutuskan menggunakan pengetahuan kuliahnya di bidang statistik untuk menganalisa saham. Dan siapa yang mengira jika sejak kuliah ia mampu membiayai dirinya dan semua kebutuhannya hanya dengan mengawasi aneka grafik berwarna warni di layar tabletnya?

Sedangkan anak bungsuku memutuskan melanjutkan kegiatannya sebagai sales property, yang awalnya hanya sebagai aktivitas selingan saat kuliah, lalu menjadi mata pencaharian utamanya yang ia rasa cocok dengan kemampuannya membuat konten menarik tentang properti yang ia jual.

Saat ada beberapa temanku yang bertanya kenapa hanya satu anakku yang bekerja di kantor. Aku tertawa kecil dan menjawab santai, "jaman sudah modern, jeng. Bekerja itu gak harus dari jam delapan pagi sampai jam lima sore, duduk di kantor dengan pakaian formal. Kenapa gak kalau bisa bekerja dengan waktu yang lebih fleksibel tapi tetap mendapat penghasilan yang lumayan? Kalian tau gak kalau anak keduaku bisa membayar sendiri semua biaya kuliahnya dengan program analisa sahamnya sendiri? Termasuk membeli gadget mewah dan motor? Membelikan ibunya ponsel? Di saat anak anak lain masih merengek pada orang tuanya?"

Ya, aku bangga pada anak anakku. Walaupun mereka melihat ketidak harmonisan hubungan kedua orang tuanya, mereka justru belajar banyak dari kami berdua.

Aku selalu memberi wejangan pada ketiga anak laki lakiku, "wanita itu gak selalu butuh materi, saat kamu membantunya mencuci piring atau memijat bahunya sebelum tidur, itu nilainya lebih besar dari uang bulananmu loh," Aku ingat ketiga anakku tertawa geli mendengar kalimatku.

"Jangan membiasakan diri memerintah istrimu. Istri bukanlah pembantu tapi partner menjalani hidup. Jika butuh pembantu, sewalah ART. Suami yang berhasil adalah suami yang tetap bisa membuat istrinya tampil terawat dan bahagia setelah menikah,"

"Jangan terlalu pelit pada istrimu. Karena untuk merawat penampilan butuh duit," aku belajar dari pengalaman pribadiku yang mendapat uang bulanan pas pasan. Jadi jika aku ingin membeli tambahan kosmetik, aku harus pintar mengirit belanjaan dapur. Suamiku akan marah jika aku memintanya membayarkan belanjaan skincareku.

"Bu, aku sudah selesai," Suara Shirai, gadis kecil berusia sembilan tahun menarik lamunanku. Aku tersenyum, meraih kertas yang ia sodorkan, gambar seorang putri dengan mahkota di kepalanya.

"Bagus sekali, Shirai!" Aku tersenyum lebar, walaupun melihat pewarnaannya masih berantakan, tapi melihat betapa antusiasnya mereka melakukannya, ada kebahagiaan tersendiri di hati kecilku.

"Ibu, masa gambar Adi aneh banget! Lihat ini, kepalanya lonjong dan matanya ada tiga!" Rina berteriak, menunjuk ke arah kertas di hadapan Adi.

"Hei, tidak ada yang salah. Kalian kan menggambar imajinasi kalian. Kalian pasti pernah menonton Harry Potter atau Lord of the ring, kan? Kalian pasti pernah melihat penampilan sosok yang aneh? Nah siapa tau imajinasi Adi besok besok akan jadi kenyataan dalam sebuah kisah komik atau film?"

Aku tersenyum saat melihat anak anak kecil tersebut mengangguk antusias. Aku melanjutkan memeriksa hasil pekerjaan mereka dan kemudian memutuskan mengakhiri kelas menggambar di sore hari.

Ya, aku akhirnya memutuskan melanjutkan kegiatan yang sudah lama aku tinggalkan sejak aku memasuki dunia kerja, melukis dan menggambar.

Awalnya aku melukis dan menggambar untuk mengobati luka hatiku, tapi lama kelamaan dari lukisan fisik, aku lalu beralih ke lukisan digital dan mulai membuat komik online. Kalian percaya bukan jika nasib seseorang tidak pernah ada yang tau?

Itulah yang terjadi padaku, komik komik buatanku sukses besar. Aku pun sekarang punya penghasilan rutin dari komik. Dan saat salah seorang mantan teman sekolahku memintaku menjadi tenaga honorer untuk guru seni melukis dan menggambar, aku dengan senang hati menerimanya.

"Tapi gajinya gak gede ya," Ika, temanku berulang kali mengingatkanku, "kamu cuma tenaga honorer loh."

"Iya aku tau, daripada gak ngapa ngapain juga." Aku tertawa pelan, meyakinkan dirinya.

Dan di sinilah aku, mengisi kelas seni di sore hari, entah melukis dengan cat air atau acrylics atau sekedar kelas mewarnai untuk anak anak yang lebih kecil.

"Bunda!" Suara Tri, anak ketigaku membuatku menoleh ke arah pintu kelas.

"Kakak ganteng!" Anak anak perempuan berteriak ke arah Tri.

TrI tertawa pelan, melambaikan tangannya pada anak anak, membuat anak anak perempuan berteriak histeris.

Aku berdecak pelan, tapi tak urung tertawa pelan. Salahkan kegantengan putra ketigaku yang memang di atas rata rata. Aku bangkit, memasukkan barang barangku bawaanku ke tas selempangku, "Kelas hari ini sudah selesai. Sampai ketemu besok yaaaaa!"

Aku kembali tertawa saat melihat betapa antusia anak anak itu berteriak, berhamburan keluar kelas, beberapa bahkan melakukan tos dengan Tri.

"Tumben," aku melangkah menghampiri Tri.

"Bunda kelamaan, sih," Tri menggandeng tanganku, kami berdua berjalan kaki menyusuri tepian jalan menuju rumah kecil yang aku kontrak.

Aku memutuskan menyewa rumah kecil di dekat area sekolah. Tinggal sendiri tidaklah buruk, aku merasa tidak menjadi beban untuk orang lain. Aku juga bersyukur, komik memberi penghasilan pasif yang aku harap bisa membiayai aku sampai tua. Aku tau, anak anakku pasti bersedia membiayai diriku. Tapi seperti ibuku, aku ingin aku menua tanpa memberatkan siapapun. Mandiri secara finansial.

Aku tertawa saat melihat Dwi, putra keduaku berdiri berkacak pinggang di ambang pintu dengan apron terpasang di badannya. Aku bisa menebak jika dia pasti baru saja selesai memasak makan malam. Ya putra keduaku suka memasak, dia tidak sungkan masuk ke dapur dan menyiapkan makan malam.

Saat aku melangkah masuk, aku melihat Raka suamiku, sedang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Kebiasaan yang benar benar sulit ia hilangkan, berpisah dengan ponselnya.

Suamiku sebulan sekali atau dua bulan sekali datang berkunjung ke rumahku bersama anak anak. Anak anak memiliki frekuensi berkunjung lebih tinggi, mereka suka datang di hari Jumat sore dan kembali ke Pangkalpinang di hari Minggu siang. Mereka bilang tempatku adalah tempat healing terbaik.

"Kapan tiba?" Aku menyapa suamiku.

"Sudah dari tadi," Raka menjawab pendek, kembali fokus dengan ponselnya.

Aku mengedikkan bahu, karena saat ini, bagiku Raka sudah seperti sahabat alih alih suami. Kami memang akhirnya tidak jadi bercerai tapi kami berdua memilih tinggal terpisah. Aku di Mentok dan dia di Pangkalpinang. Sebuah kesepakatan yang akhirnya kami buat setelah melewati hampir satu tahun saling menjaga jarak.   

Aku merangkul Tri, menyipitkan mata, "jangan bilang kau menghabiskan stok sirup bunda di kulkas?"

Tri tertawa lebar, mengangguk dengan wajah tengilnya, "nanti aku ganti, bunda!'

"Bunda mandi dulu," aku tertawa, masuk ke dalam kamar.

Aku menatap lukisan acrylic yang tergantung di dinding kamarku. Tersenyum samar. Jika orang berpikir rumah adalah tempat kita pulang atau orang yang selalu membuat kita ingin kembali dan kembali lagi, maka bagiku rumah adalah saat kita bisa membuat kita menjadi diri kita sendiri yang menikmati hidup dan bisa melakukan apapun yang membuat kita bahagia.

Di sinilah rumahku, saat aku bisa menghabiskan waktu untuk menggambar dan menuangkan ide gila dalam sebuah kisah komik, lalu bertemu dengan anak anak kecil yang menggemaskan untuk mengajarkan teknik menggambar dan mewarnai, ikut tertawa bersama dengan anak anak yang selalu optimis menatap dunia. Di sinilah rumahku, di sinilah kebahagiaanku.

Mentok, September 2024

 

Catatan : cerita ini fiksi belaka. Jika terdapat kesamaan alur cerita, karakter, nama tokoh dan lokasi, maka itu adalah sebuah kebetulan semata. Kisah ini bersetting di pulau Bangka, sebuah pulau eksotis yang dikelilingi banyak pantai indah dan menawan

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Choice (Prolog)
3
0
Terkadang hal yang tidak masuk akal pun bisa terjadi. Seperti yang dialami oleh Talia. Saat ia membuka matanya, tiba tiba saja ia terbangun di dunia lain, di dunia novel yang ditulisnya sendiri. Tapi masalahnya, bukannya menjadi tokoh protagonis, ia malah menjadi tokoh antagonis yang pada akhir cerita harus kehilangan nyawanya karena keserakahannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan