Suamimu, Jodohku bab 27 - 28

0
0
Deskripsi

BAB 27

 

“Untung sudah selesai. Ayo kita makan.”ajak Sita.

 

“Hm…tapi, mbak….aku lupa bawa uang….”gumam Iis salah tingkah.


 

Sita menggelengkan kepala. Baginya Iis adalah wanita yang merepotkan dan ceroboh. Tidak seperti dirinya yang sudah terbiasa menyusun rencana dengan baik. “Ya sudah tenang saja. Kamu tunggu dulu sebentar ya.”


 

“Iya, mbak.”sahut Iis.


 

Sita mendekat dan bicara dengan pegawainya. Lalu ia kembali mendekati Iis dan mengajaknya pergi keluar makan. Mereka berjalan sekitar 100 meter untuk sampai di sebuah warung makan sederhana.


 

“Kamu mau makan apa? Ayam? Ikan?”tanya Sita.


 

“Hm terserah mbak saja.”


 

Sita mendengus kesal. Ia merasa geram. Masakah hanya untuk memilih makanan saja tidak bisa, batinnya. Apa yang dilihat oleh Taufik sampai mau menikah dengan Iis?


 

“Mas, ikan bakarnya dua ya. Sama minumnya es teh tawar dua.”kata Sita pada pelayan.


 

“Siap, mbak!”


 

Setelah memesan, mereka duduk. Tempat warung makan itu cukup nyaman meski sederhana. Hawanya pun terasa sejuk karena ada beberapa tanaman hias di beberapa sudut warung makan. Memberi kesan asri. 


 

“Eh, mbak Sita, pak Taufik telepon aku!”kata Iis kaget mendengar suara ponselnya berdering dan menampilkan nama lelaki itu.


 

Sita mendengus lagi. “Yah kamu jawab dunk!”


 

“Iya. Aku akan bilang lagi sama mbak Sita ya!”kata Iis dengan nada riang. Ia menggeser ikon berwarna hijau dan menjawab panggilan dari suaminya. Mengatakan sedang makan bersama dengan Sita. Iis mengatakan kalau Taufik ingin bicara dengan Sita.


 

“Bilang saja aku lagi ke WC.”bisik Sita.


 

Iis kembali bicara dengan Taufik. Beberapa menit kemudian, ia selesai berbicara dengan Taufik lalu mematikan hubungan telepon. Iis menaruh ponsel ke dalam kantung celana lalu menatap Sita dengan tersenyum polos. Tanpa sadar kalau Sita sedang cemburu padanya.


 

“Hai Sita!”sapa seorang lelaki yang mendekati meja mereka. “Sudah makan?”


 

“Belum. Ini baru pesan, Di.”


 

“Ah kebetulan ya ketemu di sini. Aku lagi antar rombongan wisata dari Jakarta.”


 

“Wah banyak uang ya kamu sekarang.”goda Sita.


 

“Bisa saja kamu! Eh siapa ini?”tanya sang pria melihat sosok Iis yang duduk di hadapan Sita.


 

“Oh iya, kenalkan ini Iis….anak baru di bengkel.”ujar Sita.


 

“Halo, Iis. Kenalkan, saya Adi, teman kuliah Sita.”


 

“Iis.”sahut Iis tersenyum.


 

“Semoga betah ya kerjanya. Soalnya Sita galak loh.”kata Adi sambil tertawa.


 

“Hei jangan bicara sembarangan kau!”


 

Adi terkekeh. “Ya sudah. Aku ke sana dulu ya. Sampai jumpa lagi!”


 

“Bye!”sahut Sita.


 

Kebetulan pesanan Sita sudah datang. 


 

“Ayo makan dulu.”pinta Sita.


 

“Iya, mbak. Terima kasih.”sahut Iis.


 

Ke dua orang wanita itu pun menikmati makanan berupa nasi putih dengan ikan bakar serta lalap dan sambal. Selesai makan, mereka masih duduk menikmati es teler yang begitu menyegarkan. Sita memesan cemilan itu sebagai makanan penutup mereka. 


 

“Mbak Sita tuh keren sekali deh. Bisa kerja di bengkel, desain perpustakaan…”


 

“Kamu pikir begitu?! Bagus deh.”


 

“Iya. Mulai sekarang mbak Sita adalah idolaku!”ujar Iis polos dan ceria.


 

Sita tersedak mendengar perkataan Iis barusan. “Bisa-bisanya kamu bilang kaya begitu, Is. Kamu tidak benci sama aku?”


 

“Tidak. Kenapa harus benci? Kita kan keluarga, mbak.”sahut Iis.


 

“Apa kamu masih marah dengan perlakuanku waktu itu?”


 

“Tidak, mbak.”


 

“Kok bisa? Aku kan dorong kamu sampai jatuh loh.”


 

“Karena aku percaya mbak orang yang baik.”


 

Sita mendongak melihat Iis lalu menaruh sendoknya. Raut wajahnya berubah menjadi serius. “Cerita dunk, Is. Bagaimana Taufik bisa membawa kamu pulang ke rumah? Waktu sampai juga kamu memakai kebaya dan dandan kan?! Apa kamu habis dari pesta?”tanyanya penasaran.


 

“Oh….itu….waktu itu aku menjadi penerima tamu di acara pak Haji lalu bertemu dengan pak Taufik dan diajak pulang kemari.”


 

“Begitu saja?! Dan kamu langsung mau saja?!”


 

Iis tersenyum. Bagaimana ia mengatakan kalau dirinya dijual oleh ayah tirinya? Tidak mungkin. Apalagi kalau Sita sampai tahu Taufik mengeluarkan banyak uang untuk membelinya. Ia tidak dapat membayangkan apa jadinya nanti. Belum kalau Sita mengadu pada Yanti, bisa makin rumit.


 

“Iya, seperti itu, mbak Sita.”kata Iis sambil memasukkan sesendok alpukat ke dalam mulutnya. “Bagaimana dengan mbak Sita?”


 

“Apanya?”


 

“Bagaimana mbak Sita bisa menikah dengan pak Taufik?”


 

Sita tertawa kecil. Ia menatap Iis dengan sorot mata menantang. “Bagaimana kalau aku bilang kami menikah karena saling mencintai? Kalau ternyata Taufik tergila-gila padaku?”tanyanya sengaja dengan maksud untuk membuat Iis cemburu, kalau memang benar wanita muda itu mencintai Taufik. Atau kalau pun tidak, mungkin SIta bisa menemukan fakta lain bahwa Iis hanya wanita matre.


 

“Itu wajar kok, mbak. Siapa saja pasti akan jatuh cinta sama wanita secantik mbak. Termasuk pak Taufik.”


 

“Kamu tidak cemburu?”


 

“Bagaimana aku bisa cemburu, mbak? Kehadiran mbak Sita kan lebih dulu daripada aku.”kata Iis.


 

“Apa kamu mencintai Taufik, Iis?”


 

Iis menatap Sita. Memikirkan akibat yang bisa terjadi dari jawaban yang ia katakan. Namun ia memilih untuk jujur. “Ya, mbak. Aku mencintai pak Taufik.”


 

“Dan kamu menerima fakta bahwa ia sudah memiliki tiga orang istri?”


 

“Ya. Apa boleh buat?! Memang begitu keadaannya kan?! Mbak Sita sendiri juga bukan istri pertama yang pak Taufik nikahi? Apa mbak Sita pada awalnya menolak? Atau mungkin mbak tidak tahu yang sebenarnya?”


 

“Aku tahu.”


 

“Lalu? Mbak menerima begitu saja?”


 

“Iya.”


 

“Menurutku agak sulit dipahami posisi mbak Sita. Mbak Sita orang yang hebat. Bisa bergaul dengan siapa saja. Jadi mbak pasti memiliki banyak pilihan. Tapi memilih jadi istri ke sekian?”


 

“Iya, kamu tidak salah kalau berpikir seperti itu. Aku memang berteman dengan banyak lelaki.”


 

“Iya kan? Mbak tidak seputus asa itu.”kata Iis merasa tebakannya benar.


 

“Tapi orang sepertiku juga mudah ditinggalkan, Iis. Banyak lelaki datang dan pergi. Mungkin pada awalnya mereka senang bergaul denganku. Merasa nyaman sama aku. Tapi aku wanita yang tidak suka diatur. Aku punya prinsip dan pendirian sendiri. Sedangkan semua lelaki membutuhkan pasangan yang bisa mereka atur. Kecuali Taufik.”ujar Sita.


 

Iis mendengarkan perkataan Sita dengan serius.


 

“Taufik adalah sosok yang datang di saat aku sedang mengalami patah hati. Saat aku sudah lelah mengenal orang baru. Saat aku menutup pintu hatiku, tidak mengijinkan siapapun masuk ke dalam hatiku.”


 

“Dan hanya pak Taufik yang berhasil meluluhkan hati mbak Sita?”


 

“Ya, benar. Bersama dengan Taufik, aku bebas menjadi diriku sendiri. Aku bisa jujur pada diriku sendiri dan orang-orang. Aku tidak perlu menjadi orang lain atau memasang topeng. Taufik juga sangat menghargai kepribadianku. Meski tidak mudah bagiku karena ada harga yang harus dibayar mahal.”


 

“Ya?”


 

“Mbak Yanti. Karena dia ratunya. Mau tidak mau aku harus menghormatinya sebagai kakak tertua. Ia mengatur semuanya. Aku juga harus banyak mengalah padanya agar aku diterima. Tapi hal itu sepadan. Aku bahagia bisa menjadi pendamping Taufik, meski harus berbagi hati dengan lainnya.”


 

“Mbak Sita benar.”sahut Iis merenungkan perkataan Sita barusan. “Mbak, aku mau sholat dulu ya.”


 

“Oke. Ayo kembali ke bengkel. Nanti kita sholat di sana saja.”kata Sita.

 

 

post-image-674e7bb0351ff.jpg








BAB 28

 

Sampai di bengkel, Iis diarahkan menuju bagian belakang bengkel. Tempat di mana para pegawai istirahat. Ada ruangan untuk duduk lesehan, kamar mandi serta ruangan untuk melakukan sholat. 

 

“Kamu bisa sholat di sini, Is.”kata Sita.


 

“Terima kasih, mbak. Permisi…”ujar Iis berjalan melewati para pegawai yang sedang bersantai sejenak.


 

Iis mengambil wudhu lalu menjalankan shalat dzuhur. Setiap melakukan shalat di mana pun dan kapan pun, ia selalu merasa aman dan nyaman. Mungkin itulah salah satu alasan bu Haji memintanya untuk rajin menjalankan shalat. Agar ia merasa selalu damai dan tenang. Selesai shalat, Iis kembali ke depan untuk menemani Sita lagi. Ia sudah siap menunggu wanita itu memberikan perintah padanya. Waktu yang ia gunakan untuk bekerja ternyata terasa berjalan lebih cepat dibandingkan saat ia hanya diam di rumah. Saat membantu Sita, tanpa terasa sudah adzan lagi. 


 

“Yuk siap-siap pulang.”kata Sita.


 

“Eh?! Sudah mau pulang, mbak?!”tanya Iis kaget.


 

“Iya. Kamu betah di sini?”tanya Sita sambil tertawa.


 

“Iya, mbak.”sahut Iis yang tidak terduga oleh Sita.


 

“Tapi kita harus segera pulang. Kalau tidak, nanti Taufik marah. Sebentar lagi juga bengkel tutup.”ujar Sita yang merasakan perih di hatinya. Apa itu rasa iri? Atau cemburu? Ia tahu Taufik pasti sedang ingin berada dekat terus dengan Iis. Malah seharunya ia meminta Iis pulang saat mendapatinya berada di sini.


 

Saat di dalam mobil, mendadak Sita merasa matanya terasa kering dan gatal. Pekerjaannya yang membuat ia harus rela kotor-kotoran dan terpapar bahan kimia, sering mengganggu matanya. “Aduh…mataku….”keluh Sita seraya membuka tutup matanya.


 

“Kenapa, mbak?”


 

“Gatal.”sahut Sita membuka dan merogoh isi tas untuk mencari obat tetes mata yang biasa ia bawa. “Kamu mau permen, Is?”


 

“Boleh, mbak.”


 

“Sebentar ya.”kata Sita seraya meneteskan obat mata pada ke dua matanya. Lalu ia mencari permen dan segera mengeluarkannya. Tapi ada benda lain yang terangkat karena penampilannya mirip dengan permen. “Ups…”gumamnya sembari memasukkan benda itu lagi.


 

“Mbak Sita, pil KB kita sama ya.”


 

“Oh, tentu saja. Kan mbak Yanti yang memberikannya.”kata Sita seraya menyalakan mobil.


 

“Jadi mbak juga dikasih sama mbak Yanti ya?”


 

“Iya.”


 

Iis bergumam oh. Beberapa saat lamanya mereka duduk diam sementara Sita mulai fokus mengemudikan mobilnya. Hingga akhirnya Iis memberanikan diri bertanya.


 

“Apa mbak Sita tidak ingin punya anak?”tanya Iis.


 

“Hah?! Kamu aneh-aneh saja tanyanya.”sahut Sita kaget.


 

“Soalnya mbak Sita kayanya patuh sekali sama mbak Yanti.”kata Iis dengan hati-hati.


 

“Mungkin benar, Iis. Karena dia kan terpaksa menerimaku. Kami berdua sama-sama ada tidak enaknya. Apa aku mau punya anak? Mungkin iya, tapi nanti. Tidak sekarang. Karena sekarang aku masih mau bebas. Dan menurut mbak Yanti, sebaiknya aku menunda karena keuangan keluarga masih belum stabil. Jadi kita harus kerja dulu untuk sementara waktu. Mungkin beberapa tahun lagi. Lagipula aku juga masih muda, jadi tidak perlu buru-buru.”kata Sita.


 

“Iya, mbak.”


 

“Memang kesannya aneh. Tapi sejak awal aku menganggap cintaku pada Taufik adalah bentuk cinta yang berbeda, Is. Berbeda dengan kebanyakan pasangan lainnya. Yang mereka mau bersatu, hidup bersama lalu ingin memiliki anak. Jalan hidupku berbeda dengan mereka.”


 

“Jadi awalnya siapa yang memulai duluan? Mbak atau pak Taufik?”


 

Sita tertawa seraya menepuk lengan Iis. “Waktu itu aku pulang kuliah dan habis bertengkar dengan pacarku. Aku menangis sambil mengendarai motor. Aku mengebut dan hampir saja mengalami kecelakaan. Saat itulah aku bertemu dengan Taufik.”


 

“Kecelakaan?!!”


 

“Iya. Hampir saja. Untungnya aku hanya terpelanting. Aku hampir menabrak mobil Taufik.”


 

“Duh…pasti sakit…”


 

“Tidak terlalu sakit kok. Sakit di badan bisa diobati dan sembuh. Tapi sakit di hati susah sembuhnya.”


 

“Tapi tetap saja sakit, mbak!!”


 

“Hm kamu bawel juga ya, Is?!!”


 

Iis tertawa kecil. “Iya ya?! Habisnya perjalanan pulang kita kan lumayan lama. Masa diam-diaman saja. Tapi apa mbak Sita tahu pendapat pak Taufik mengenai anak? Apa ia juga ingin punya anak lagi selain Denis?”tanya Iis.


 

“Entahlah. Aku tidak pernah tanya. Kurasa akan lebih aman kalau aku tidak mencari tahu hal itu.”


 

“Supaya bisa terus minum pil dari mbak Yanti?”


 

“Tanpa rasa bersalah.”sahut Sita. “Sebaiknya kamu juga tidak usah mencari tahu.”


 

Terlambat. Apa yang disarankan oleh Sita sudah terlambat. Iis sudah menanyakan pada Taufik dan tahu jawabannya. Ia sudah tahu bagaimana pendapat lelaki itu mengenai anak. Dan meski Sita tidak menyarankan demikian pun, ia tetap akan bertanya. “Iya, mbak.”


 

Mereka sampai saat hari sudah sore. Lampu di rumah sudah dinyalakan. Mobil Sita masuk ke dalam halaman rumah dan melihat Taufik berdiri menunggu di beranda rumah. Sita tidak suka melihatnya. Ia tahu lelaki itu pasti menunggu Iis pulang, bukan dirinya. Sita langsung mengarahkan mobil menuju garasi lalu masuk ke rumah melalui pintu samping.


 

“Kami pulang.”kata Sita seraya menyerahkan tangan Iis dalam gandengannya kepada Taufik.


 

“Syukurlah kalian sudah pulang.”kata Taufik menyambut mereka di ruang tamu. “Iis, aku sangat mengkhawatirkanmu.”


 

“SStttt….”sahut Iis cepat seraya menempelkan jari telunjuk pada bibirnya saat melihat Sita langsung pergi menuju pondoknya. Ia tahu kalau Sita merasa iri dan cemburu. Iis merasa heran kenapa Taufik bisa begitu santai menghadapi sikap Sita yang sangat kentara sejak tadi.


 

“Beritahu aku apa saja yang kamu lakukan?”


 

“Nanti aku cerita, pak. Sekarang aku mau mandi dulu.”


 

“Aku antar ke pondokmu.”


 

“Hmmmmm……”


 

“Capek ya?”


 

“Sangat, pak.”


 

“Duh kasihan.”


 

Iis bukan capek karena kerja seharian di bengkel milik Sita. Bukan. Ia capek dengan sikap Taufik. Meski sebenarnya ia juga suka dengannya. Iis juga merindukannya.


 

“Pak, coba bapak temui mbak Sita sebentar. Ajak dia berbincang sebentar saja.”kata Iis.


 

“Kamu mau aku melakukan hal itu?”


 

“Bukan. Bilang saja kalau bapak mau ngobrol sebentar. Jangan bilang aku yang suruh bapak. Tolong hibur dia.”


 

“Baiklah kalau itu mau kamu.”


 

“Bukan mau aku, bapak!”sahut Iis kesal seraya membuka pintu dengan sebal.


 

“Lalu?”


 

“Kalau mauku, aku mau bapak di pondok aku terus. Terus bersama aku di sini.”ujar Iis menarik tangan Taufik masuk ke dalam pondok lalu memeluknya. “Aku kangen sama bapak.”


 

“Aku juga.”sahut Taufik. Ia mengecup dahi Iis. Lalu ia mencium Iis dengan lembut. Iis membuka bibir dan membiarkan lelaki itu melumatnya. Mereka tidak bisa membiarkan pesona masing-masing hingga hanyut dalam gairah.


 

“Eh sholat dulu!”seru Iis mendadak teringat. Ia mendorong dada Taufik dan bergegas menuju kamar mandi. 


 

“Pak, jangan lupa temui mbak Sita!”seru Iis dari dalam kamar mandi. 


 

Iis bisa melihat pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Wajahnya tampak kuyu dan lelah. Matanya sayu dengan pipi merona. Jantungnya pun masih berdetak dengan sangat kencang.


 

“Apa yang terjadi barusan………”gumam Iis seraya menyentuh pipi dengan ke dua tangannya.


 

Iis menggelengkan kepala untuk mengusir bayangan wajah Taufik dari dalam kepalanya. Berusaha melupakannya. Tapi sialnya bayangan sosok Taufik terus berputar dalam kepalanya. Membuat deru jantungnya makin tidak karuan.








Tbc










 
 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Suamimu, Jodohku bab 29 - 30
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan