
Bab 21
“Dan, apa kamu tahu tanda orang munafik?”tanya Jeje menatap temannya yang tampak kacau. “Saat berjanji malah mengingkari. Saat dipercaya malah berkhianat. Itu beberapa tanda orang munafik.”
Setelah membuat Talita menangis, Aidan melarikan diri keluar kamar. Ia pergi ke kamar milik Jeje. Meninggalkan Talita yang masih menangis. Mengabaikan panggilan sang istri yang mengharapkan Aidan tidak pergi. Aidan terdiam. Ia tahu sebentar lagi temannya pasti akan memberi nasihat padanya.
“Sejak kamu menjabat tangan papanya Talita, saat itu juga tandanya kamu sudah berjanji untuk mengganti tanggung jawab papanya. Berjanji untuk menjaga dan melindungi Talita. Dan mereka percaya kamu pasti bisa membahagiakan dirinya.”ujar Jeje. “Tapi nyatanya kamu malah mengingkari janji suci pernikahan kalian. Bukannya membahagiakan, kamu malah menyakiti dan melukainya.”
Aidan menarik napas panjang. “Tidak usah ikut campur urusan aku. Lebih baik kamu fokus dengan istrimu yang sedang hamil. Talita istri aku, jadi terserah aku mau melakukan apa padanya.”
Jeje menggelengkan kepala sambil tersenyum miring. “Aku cuma peduli sama temanku. Sebelum kamu menyesal, lebih baik kamu hentikan perbuatanmu saat ini. Aku tidak mau di kemudian hari kamu menyesal.”
****
Pukul tujuh malam, Aidan dan Talita sampai di rumah. Pria itu langsung masuk ke dalam kamar dan membereskan barang bawaannya. Tidak lupa ia meminta Talita memasak makan malam. Ia tidak peduli istrinya lelah atau tidak, Aidan ingin menyantap masakan istrinya.
Di kamarnya, Aidan membuka koper lalu mulai memisahkan pakaian kotor dengan yang bersih. Pakaian bersih ia susun rapi ke dalam lemari, sementara pakaian kotor ia masukkan ke keranjang. Ia menemukan pakaian yang sempat dipakai oleh Talita malam kemarin. Celana training dan hoodie putih. Ia mengambil dan mendekatkan pakaian tersebut ke hidung. Tercium aroma parfum yang sering dipakai Talita. Aroma manis itu telah menempel pada baju miliknya. Membuat perasaannya tidak menentu dan ia tidak menyukainya. Aidan melempar pakaian tersebut ke dalam keranjang.
Selesai mandi dan ganti baju, Aidan keluar membawa keranjang isi pakaian kotor. Ia mencium aroma masakan yang sedap. Sampai di meja makan, tampak hidangan makan malam berupa cah kangkung, ayam goreng, tempe mendoan dan sambal kecap.
“Setelah makan, segera cuci pakaian kotor.”pinta Aidan melihat Talita datang membawa piring dan alat makan.
“Apa tidak bisa besok pagi saja? Aku capek, mas.”ujar Talita dengan nada memelas.
“Jangan mengeluh! Bukannya kamu sudah janji untuk menuruti semua perintahku?!”tanya Aidan.
Talita hanya bisa mengangguk pasrah.
****
“Ta, bagaimana sikap Aidan sama kamu? Dia memperlakukan kamu dengan baik kan?!”tanya Aulia.
Saat ini Talita sedang menemani Aulia mengunjungi sebuah panti asuhan. Seperti biasa mereka memberikan bantuan finansial dan material. Dan kali ini Aulia juga mengajari anak-anak panti membuat kue untuk mengisi waktu. Anak-anak tersebut mengikuti acara dengan sukacita dan riang.
“Mas Aidan baik, ma.”sahut Talita. Sebenarnya ia tidak ingin berbohong, tapi ia juga tidak akan sanggup jika berkata jujur dan membuat hati Aulia terluka. Aulia sudah seperti mamanya sendiri. “Auw…”ujarnya refleks memegangi jari tangannya.
“Talita, kamu kenapa?”tanya Aulia menoleh kaget.
“Tangan kakak berdarah.”ujar seorang anak perempuan yang membuat Talita menjadi pusat perhatian saat ini.
Talita segera pamit menyingkir untuk mengatasi lukanya. Ia membersihkan luka sementara Aulia meminta kotak P3K dan anak-anak mengikutinya untuk melihat. Kumpulan anak-anak itu pun mengerumuni Aulia yang sedang mengobati luka Talita. Semua anak merasa penasaran. Ada yang meringis ketakutan, ada juga yang merasa kasihan. Namun Talita tetap tersenyum. Ia menenangkan anak-anak sambil tetap tersenyum. Mengatakan bahwa ia baik saja dan hanya mengalami luka kecil.
“Lain kali hati-hati ya. Kamu tadi sedang tidak fokus ya?!”kata Aulia.
Talita hanya diam. Percuma saja jika ia berbohong, karena perasaan seorang wanita tidak pernah salah terhadap orang yang ia sayangi. Ia memilih mengalihkan perhatian pada dua anak yang berdiri dekat dengannya. Wajah mereka tampak cemas, tapi menggemaskan di matanya. “Tangan kakak sudah diobati dan tidak terasa sakit lagi. Sebentar lagi juga pasti sembuh.”ujarnya tersenyum seraya membelai kepala mereka.
“Alhamdulillah.”
“Lain kali kakak harus hati-hati ya.”
“Iya, terima kasih, sayang. Kita lanjutkan bikin kuenya yuk!”ajak Talita.
“Biar mama yang potong coklatnya sementara kamu membuat hiasan butter cream ya.”pinta Aulia yang dibalas dengan anggukan kepala Talita.
Menjelang sore kegiatan mereka baru beres dan mereka bisa pulang. Aulia dan Talita pamit dengan para penghuni panti dan berjanji akan datang lagi di lain hari. Saat sudah duduk di dalam mobil, Talita melihat keluar jendela dan melihat sosok pria yang tampak tidak asing.
Bukankah itu pria yang berkelahi dengan mas Aidan saat kejadian naas itu? Salah satu dari tiga orang preman yang mengganggu Widi dan dirinya, batin Talita.
Sekilas bayangan melintas dalam kepalanya. Ia ingat dengan salah satu preman yang mendekatinya dengan tatapan tajam padanya.
“Mau apa kamu?!”
“Menyelesaikan misi.”
“Menyelesaikan misi.”
“Menyelesaikan misi.”
Jawaban dari preman itu terus bergema dalam kepalanya. Talita tersadar kaget. Seseorang sudah merencanakan kejadian malam naas itu. Targetnya adalah Widi. Ada seseorang yang menginginkan kematian Widi. Tapi siapa?!
*****
“Kakak sudah kirim nomor plat motornya. Tolong kamu periksa ya, dan mintakan juga rekaman CCTV di sekitar sana.”kata Talita pada adiknya, Ehsan.
“Apa dia preman yang waktu itu membunuh kak Widi?”
“Bukan. Tapi dia salah satu dari komplotannya. Kabari kakak kalau kamu sudah mendapat informasi apapun. Jangan sampai papa dan mama tahu hal ini.”
“Oke, akan aku lakukan secepatnya.”sahut Ehsan.
“Oke, terima kasih ya. Kayak tutup dulu. Bye!”pamit Talita.
“Iya, kak. Jaga diri kakak baik-baik.”
Talita mengeser ikon berwarna merah untuk mengakhiri sambungan telepon. Ia akan menyelidiki masalah ini bersama dengan adiknya. Ia melakukannya demi mengembalikan kepercayaan Aidan padanya. Demi rumah tangga yang ia impikan tanpa ada dendam dan rasa benci yang mengusik.
“Talita, tolong buatkan aku lemon tea.”
Talita sempat terlonjak kaget mendengar suara Aidan. Semoga mas Aidan tidak mendengar pembicaraanku dengan Ehsan barusan, ini belum saatnya, batinnya. Ia melihat Aidan tampak biasa saja. Tidak terlihat curiga dan menanyai sesuatu. Membuat Talita yakin kalau penyelidikannya aman. Menurutnya belum saatnya Aidan mengetahui hal ini, karena ia belum mengumpulkan bukti yang jelas.
“Hari ini tukang kebun tidak bisa datang. Jadi kamu yang membersihkan kolam renang dan memotong rumput liar di kebun. Malam ini aku pulang telat, tidak usah tunggu aku.”kata Aidan.
Tukang kebun dan istrinya yang bekerja di rumah mereka biasanya datang seminggu dua kali untuk membersihkan rumah. Sesuai janji Aidan pada Hana, ia menggaji orang untuk datang membantu membersihkan rumah. Selain membersihkan rumah, mereka juga melakukan pekerjaan seperti membersihkan kolam renang, mengurus tanaman di kebun dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Namun hari ini mereka tidak bisa datang.
“Iya, mas.”sahut Talita.
“Sarapan apa yang kamu buat pagi ini?!”tanya Aidan.
“Aku memasak nasi goreng sea food kesukaan kamu.”
“Aku lagi tidak mau makan itu. Buatkan aku bubur ayam.”pinta Aidan dengan enteng.
Talita terdiam sebelum akhirnya mengangguk. Ia hanya bisa menarik napas panjang. Tidak bisa membantah permintaan Aidan seperti biasa. Talita segera berbalik menuju dapur untuk membuatkan sarapan permintaan Aidan. Rencananya, nasi goreng yang sudah ia masak akan dibawa dan diberikan kepada satpam restoran. Ia sudah sarapan dan tidak mungkin memakannya lagi.
Setelah Aidan sarapan dan pergi kerja, Talita masih harus melakukan pekerjaan rumah. Talita belum pernah membersihkan kolam renang. Selama ini ia hanya melihat tukang kebun yang melakukan pekerjaan tersebut. Alhasil ia terpaksa mencoba mencari cara membersihkan kolam renang melalui Youtube. Dan dengan berbekal hal tersebut, Talita mulai melakukannya. Untungnya semua alat dan bahan sudah tersedia di gudang, sehingga ia tidak menemukan kesulitan. Selesai dari kolam renang, ia mengurus taman. Memotong rumput liar yang sudah panjang dan menyapu daun dari halaman.
Saat sudah selesai, ia merasa tubuhnya pegal dan lelah. Ia sudah memberi kabar kalau ia akan datang siang. Rasanya ia sudah merasa enggan untuk datang ke restoran. Yang ia inginkan saat ini adalah mengistirahatkan tubuhnya. Tapi Talita tidak bisa melakukannya. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan seperti memeriksa email dan mengecek stok di dapur. Sementara itu dari meja kerja, Aidan mengamati setiap gerak gerik istrinya yang melakukan perintah melalui layar laptop. Ia merasa beruntung memiliki istri penurut seperti Talita.
“Sampai kapan kamu akan bertahan, hm?! Kalaupun kamu ingin lepas dariku, tidak akan aku biarkan. Aku tidak akan melepaskan dengan mudah mangsa yang sudah aku tangkap.”bisik Aidan tersenyum miring.
****
“Kamu sakit, nak? Wajahmu pucat loh.”kata Emil menatap putrinya dengan cemas.
“Masa sih? Aku tidak apa kok. Aku tidak sakit, pa.”sahut Talita dengan gugup. Ia memang merasa lelah akibat pekerjaan yang ia lakukan pagi tadi. Jantungnya berdebar kencang karena cemas papanya curiga.
“Kamu rehat saja kalau memang merasa tidak enak badan. Biar papa yang temui klien nanti.”
“Jangan, pa. Aku tidak apa kok. Lagipula malam ini mas Aidan akan pulang telat. Aku suka jenuh kalau sendirian di rumah.”kata Talita.
“Ya sudah, tapi kamu jangan terlalu lelah ya. Papa selalu berdoa supaya kamu cepat diberi momongan. Biar kamu tidak kesepian nanti.”ujar Emil merangkul bahu putrinya.
“Terima kasih, pa.”sahut Talita tersenyum kecil dengan hati pedih.
*****
“Ceritamu sangat bagus, Nisa. aku suka!”kata Aidan yang sedang makan malam bersama dengan Nisa dan putrinya. Sesuai janjinya beberapa waktu lalu, ia menghubungi Nisa dan mengajak bertemu sekalian berkenalan dengan putri Nisa.
“Terima kasih. Sebenarnya aku ingin memasukkan cerita itu dalam lomba, tapi aku masih belum percaya diri.”kata Nisa.
“Kalau menurutku ceritamu bagus kok. Seharusnya kamu coba saja. Kalau menang yah alhamdulillah. Kalau tidak menang, setidaknya kamu sudah mencoba, dan karyamu akan dikenal oleh orang banyak.”
“Ma…ma…”
Aidan tersenyum mendengar ocehan menggemaskan dari putri Nisa, Erina. “Habis ini kita pergi beli mainan untuk Erina ya!”katanya tersenyum seraya masih menatap Erina.
Nisa mengangguk. Ia merasa bahagia malam ini. Orang yang melihat mereka akan mengira mereka adalah sebuah keluarga kecil yang bahagia dan akur. Bagaimana tidak? Aidan sudah seperti seorang ayah yang sedang memangku Erina, sementara Nisa menyuapi Erina sambil tersenyum lebar. Sungguh seperti keluarga kecil yang bahagia. Tapi tidak ada yang tahu bahwa dari kejauhan tampak seorang wanita susah payah menahan tangis saat melihat kebersamaan ke tiga orang itu.

Bab 22
“Cie…yang dapat bunga!!! Pasti dari suaminya ya?!”goda Maisha waktu masuk ke dalam ruang kerja Talita dan melihat sebuket bunga mawar di atas meja kerjanya.
“Bukan.”sahut Talita dengan nada datar.
Mata Maisha membulat. “Loh bukan dari mas Aidan?! Lalu dari siapa dunk?!”tanya Maisha mengambil kartu yang ada di buket tersebut dan membaca tulisan di kartu ucapan tersebut.
Tersenyumlah agar hatimu selalu bahagia.
“Tidak ada nama pengirim.”ujar Maisha. “Wah jangan-jangan kamu memiliki penggemar rahasia nih!!”
Talita tidak menjawab, hanya mengedikkan bahu. Ia merasa tidak tahu harus menjawab apa. Wanita sepertinya yang sudah menikah merasa tidak perlu memiliki seorang pengagum rahasia. Ia sudah bersuami. Sangat bodoh jika ada yang masih mengharapkannya.
“Mau diapakan bunga ini?”tanya Maisha.
“Mungkin dibuang.”
“Jangan. Bunga secantik ini masa dibuang?! Dipajang saja!”usul Maisha.
“Tidak, aku tidak mau! Nanti pengirimnya malah jadi berharap lebih lagi!”
“Yah jangan dipajang di sini dunk. Kamu bisa memajangnya di lantai bawah. Dekat meja kasir atau bagian sudut restoran. Jadi bisa memperindah ruangan kan?!”kata Maisha.
“Terserah. Kamu yang kasih sama pelayan di bawah saja.”kata Talita.
“Oke, aku bawa ke bawah dulu ya.”sahut Maisha.
Setelah Maisha pergi keluar membawa buket bunga, Talita duduk sambil memikirkan siapa pengirim bunga tersebut. Ia mencoba mengingat tulisan yang ada di dalam kartu. Tapi ia tidak mengingat orang yang memiliki tulisan tangan seperti di dalam kartu. Siapa pemilik tulisan tangan itu? Suara pesan masuk di ponsel mengalihkan perhatiannya. Ia pun meraih ponselnya.
Ehsan : Kak, aku sudah dapat data mengenai pemilik motor itu. Aku kirim ke email ya.
Talita segera membuka email setelah membaca pesan dari adiknya. Ia mengklik satu email dari adiknya dan membaca isi email. Bertekad akan menemui orang itiu besok pagi.
*****
“Apa benar ini rumah pak Harjo?”tanya Talita pada seorang wanita paruh baya dengan pakaian sangat sederhana.
“Iya, nak. Harjo anak sulung ibu. Ada apa ya?”
Talita memperhatikan wanita tersebut dengan iba. Sosoknya sudah ringkih hingga membutuhkan bantuan tongkat untuk menopang tubuhnya. Rambutnya pun sudah memutih dengan keriput menghiasi wajahnya. Rasanya tidak tega jika ia menyampaikan bahwa anaknya bagian dari komplotan yang menghilangkan nyawa manusia tidak berdosa. Ia merasa tidak sanggup untuk mengatakannya.
“Saya kenal pak Harjo beberapa waktu lalu. Saya ingin membicarakan sesuatu dengannya.”ujar Talita memutuskan untuk tidak mengatakan maksud sebenarnya datang kemari. Biarlah hal itu hanya akan menjadi urusan dirinya dengan Harjo.
“Oh…anakku sedang kerja di bengkel. Biasanya baru pulang kerja malam hari, nak.”
“Bengkelnya di mana ya, bu?”
“Bentar ibu panggil menantu ibu dulu ya. Menantu ibu yang tahu tempatnya di mana, nak.”kata wanita itu.
“Baik, terima kasih ya bu.”
Wanita tadi menoleh ke belakang dan memanggil. “Yu…Ayu!”
Sembari menunggu menantu sang ibu datang, Talita memperhatikan rumah yang ia datangi. Sebuah rumah sederhana dan kusam dengan menggunakan geribik bambu sebagai penutup atapnya. Lokasi rumahnya dekat dengan tempat pembuangan sampah, membuat aroma tidak sedap menguar di sekitar rumah itu. Sungguh tempat tinggal yang tidak layak. Membuat hati Talita terasa miris dan sedih.
“Ada apa, ma?”tanya sebuah suara wanita dari dalam rumah dengan seorang anak laki-laki dalam gendongannya. Wanita itu memakai daster yang sudah lusuh dan berlubang di beberapa bagian.
“Ini. Ada teman Harjo menanyakan tempat kerja Harjo.”kata sang nenek. Wanita itu menoleh pada Talita. “Nak, ini menantu ibu. Kamu bisa tanya Harjo sama dia ya. Ibu masuk dulu ya.”
“Iya, bu, terima kasih banyak ya bu.”sahut Talita tersenyum mengangguk.
“Aku istrinya Harjo. Mbak siapa ya? Ada perlu apa mencari suamiku?”tanya wanita berdaster dengan nada curiga dan ketus.
“Namaku Talita. Aku kenal dengan suami mbak dan beberapa temannya, aku ada urusan yang belum selesai dengan suami mbak. Karena itu aku mencari suami mbak.”
Ayu tidak menjawab. Ia malah masuk ke dalam rumah lalu keluar lagi dengan membawa sebuah kartu nama. Ia mengulurkan kartu tersebut pada Talita. Talita mengambilnya dengan bingung. Ia melihat kartu yang ternyata berisi alamat bengkel tempat Harjo bekerja.
“Terima kasih, mbak.”
“Hm…”sahutnya lalu menutup pintu tanpa mengucapkan apapun lagi pada Talita.
Tidak butuh waktu lama, Talita sampai di tempat kerja Harjo. Ia memarkir mobil dan berjalan sambil memperhatikan aktivitas di dalam bengkel. Terlihat beberapa mobil sedang diperbaiki oleh para montir. Dari kejauhan, ia bisa melihat sosok yang ia cari sedang sibuk memeriksa mobil berwarna putih.
“Selamat siang, bu!”sapa seorang montir yang menyambutnya dengan ramah.
“Bisa aku bertemu dengan pemilik bengkel ini?”tanya Talita.
*****
“Paket!!!”
Aidan yang sedang duduk membaca di ruang duduk pun refleks mendongak mendengar teriakan tersebut. Ia beranjak bangun dan melihat seorang kurir berdiri di luar pagar rumah dengan membawa sebuah buket bunga berwarna pink. Aidan melihat dengan alis berkerut. Siapa yang mengirim bunga, batinnya. Ia berjalan keluar dengan penasaran.
“Ada paket bunga untuk ibu Talita Adhitama.”
Dengan dahi berkerut bingung, Aidan menerima buket bunga tersebut dan menanda tangani tanda terima. Ia menatap bunga dengan curiga. Lalu matanya menangkap sebuah kartu terselip di buket. Ia mengambil dan mencoba mencari nama pengirim, tapi yang ia baca justru membuat matanya melebar.
Tersenyumlah. Bahagiamu adalah bahagiaku juga. Semangat, Talita.
Aidan berdecak kesal. Tidak ada nama pengirim. Dasar pengecut, makinya dalam hati. Aidan membuang buket tersebut ke dalam tong sampah yang ada di depan pagar rumahnya. Dengan langkah lebar dan wajah tegang, ia masuk ke dalam rumah.
“Talita!!!”teriak Aidan.
Talita yang sedang menyetrika terkejut mendengar teriakan suaminya. Ia segera menghentikan aktivitasnya dan bergegas menghampiri Aidan. Hatinya bertanya ada apa dengan suaminya? Kenapa Aidan memanggilnya dengan suara keras dan marah?
“Ada apa, mas?”tanya Talita merasa ngeri melihat wajah Aidan yang tampak berang.
“Apa ini?!”seru Aidan melemparkan kartu yang berada dalam genggaman tangannya sejak tadi.
Talita tersentak kaget menerima lemparan kertas dari Aidan. Ia membungkuk untuk mengambil kartu yang sudah lecek, membuka dan membacanya. Matanya sontak membulat. Jantungnya berdetak kencang. Ia menatap Aidan dengan mata melebar. Dari mana suaminya mendapatkan kartu ini? Ia tahu tulisan tangan ini sama dengan tulisan yang ada di buket bunga sebelumnya. Tapi kenapa Aidan bisa mendapatnya? Apa orang itu mengirim buket bunga lagi? Matanya menelisik ruangan dan tidak menemukan buket bunga.
“Siapa laki-laki itu?!!”
Talita terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia sendiri tidak tahu siapa orang yang mengiriminya bunga. Ia juga merasa terkejut, karena bunga itu tidak hanya dikirim ke restoran saja, sekarang orang itu malah dengan beraninya mengirim buket bunga ke rumah. Seakan hendak mengibarkan bendera perang dengan suaminya.
“Kenapa diam? Jawab aku!!!”bentak Aidan mendorong tubuh Talita hingga merapat ke dinding.
Talita nyaris terhuyung jatuh. Rasa cemas dan takut menyerang dirinya, membuat ia hanya bisa memejamkan mata dengan tangan gemetar.
“Kenapa? Kamu takut, hah?! Kalau kamu penakut, seharusnya kamu tidak bermain api di luar sana!!!”
“Ak…aku…tidak….”
“Masih mau menghindar?!! Kalau kamu tidak selingkuh, kenapa ada yang mengirim bunga ke sini?!! Pakai kalimat lebay seperti ini pula!!!”bentak Aidan keras.
Air mata mulai membasahi sisi wajah Talita. Ia menggigit bibir kencang untuk menahan isak tangis yang sudah tidak tertahankan lagi. Talita sangat ketakutan saat ini. Ia takut Aidan akan menyakitinya lagi. Melihat itu, Aidan malah merasa makin frustasi. Ia membungkam bibir Talita dengan bibirnya. Entah apa yang merasuki dirinya hingga pada akhirnya ke dua insan itu menyatukan raga di atas tempat tidur Talita.
Seulas senyum miris hadir dalam diri Talita. Kenapa kamu sulit untuk mengatakan kalau kamu cemburu, mas?! Kenapa harus dengan marah saat mas memenuhi nafkah batinku? Apakah mas tidak bisa merasakan benih cinta yang tumbuh dalam hati mas? Talita tersenyum sendu. Tidak menduga cinta dan penikahan akan terjadi serumit ini. Walau ia berusaha menguatkan hati, ada kalanya ia ingin menyerah. Setelah melampiaskan emosi dan hasratnya, Aidan pergi meninggalkan Talita di kamarnya. Pria itu masuk ke dalam kamar miliknya dan mengurung diri di sana. Talita sendiri tidak ingin mengganggunya. Hati dan raganya sudah lelah.
Esok paginya Aidan sudah pergi pagi-pagi sekali. Melewatkan sarapan yang sempat dimasak oleh Talita. Bahkan kopi hitamnya saja tidak disentuh. Talita hanya bisa menatap nanar makanan yang sudah ia siapkan dengan sepenuh hati. Ia menitikkan air mata lagi, mengeluarkan sesak yang masih menghimpit dada dan hatinya sejak semalam.
Menjelang jam sembilan pagi, Talita baru siap pergi ke restoran. Ia butuh suasana baru dan pengalih perhatian dari perasaannya yang kacau. Ia tahu wajahnya sangat pucat dan matanya sembab karena menangis. Tapi kalau ia hanya berdiam di rumah, hanya akan membuatnya teringat dengan masalahnya. Selain itu ia sudah berjanji akan bertemu dengan Maisha di restoran. Talita memoles make up agak tebal agar bisa menutupi mata bengkaknya.
Sampai di restoran, Maisha sudah sampai. Talita memaksa tersenyum pada temannya. Maisha membalas tanpa curiga.
“Apa kemarin kamu mendapat kiriman buket bunga?”tanya Maisha tersenyum ceria.
Talita terdiam kaget. “Jadi….bunga itu dari kamu?!”
“Iya.”sahut Maisha dengan wajah riang.
“Kenapa tidak menulis nama pengirim?”tanya Talita.
“Sengaja. Biar suamimu cemburu. Btw dia cemburu tidak?! Habis hubungan kalian datar sekali. Aku tidak pernah melihatnya bersikap romantis denganmu.”
“Apa itu perlu?”tanya Talita dengan ketus dan dingin. Rasanya ia ingin marah pada Maisha yang sudah membuat Aidan salah paham padanya, tapi ia mencoba menahan emosinya. Maisha memang tidak tahu mengenai kehidupan pernikahannya.
“Tentu saja perlu dunk. Biar kamu tahu sebesar apa rasa cinta mas Aidan padamu. Semakin besar rasa cemburunya, berarti bisa dipastikan ia sangat mencintai kamu. Ia tidak akan membiarkan orang lain merebut sosok ratu yang ada di dalam hatinya. Jadi apa kak Aidan cemburu?”tanya Maisha tersenyum lebar.
Talita menarik napas panjang. “Lain kali jangan lakukan hal seperti kemarin. Cukup sekali saja dan aku sudah tahu seberapa menakutkan dirinya saat marah.”
“Hah?! Apa?! Dia menakutkan?! Kalian bertengkar? Lalu bagaimana?”tanya Maisha kaget dan panik.
“Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi.”ujar Talita yang tidak bisa lagi menahan air matanya. Sekali lagi ia menitikkan air mata.
Maisha semakin kalut melihat temannya menangis. “Kamu kenapa, Talita?! Apa yang dilakukan kak Aidan kemarin malam? Ya Allah aku sudah bersalah karena membuat kak Aidan marah dan kalian jadi bertengkar! Maafkan aku ya, Talita!”seru Maisha merasa sangat bersalah dan tidak enak. Ia mengambil tisu lalu mengusap pipi Talita. Terus berusaha menenangkan sahabatnya. Ia sungguh merasa bersalah. Tujuan baiknya justru mendatangkan masalah bagi Talita.
Talita menyandarkan kepala pada bahu Maisha. Ia lelah menangis terus sejak kemarin malam. Kepalanya terasa pusing. Perutnya juga perih karena ia belum makan sejak malam. Pagi tadi pun selera makannya masih hilang hingga ia melewatkan sarapannya.
“Talita, maafkan aku ya…”pinta Maisha dengan nada memelas.
Tok…tok….
“Masuk.”sahut Maisha.
Pintu dibuka dan memperlihatkan seorang pelayan membawakan buket bunga mawar berwarna merah dengan hiasan pita cantik. Mata Talita melebar lalu menoleh ke arah Maisha dengan sorot mata tanda tanya.
“Bukan aku yang kirim, Ta. benar, bukan aku!”seru Maisha.
Talita percaya dengan perkataan Maisha. Apalagi temannya itu baru saja mengirimkan buket bunga kemarin. Tidak mungkin ia mengiriminya lagi. Maisha yang penasaran berdiri dan menerima buket bunga itu. Ia mengambil kartu ucapan yang tertempel dan membuka lipatannya. Matanya membulat membaca isinya.
“Apa isinya?”tanya Talita penasaran.
Maisha memberikan kartu pada Talita yang langsung membacanya.
Jangan pernah menyuruh selingkuhanmu mengirim bunga. Aku masih sanggup memberikan bunga padamu setiap hari.
“Ini dari kak Aidan kayanya?!”kata Maisha.
Wajah Talita yang muram dan sedih berubah menjadi senyuman. Senyum yang tulus dari hati menghiasi wajah manisnya. Talita hanya menjawab dengan anggukan kepala. Meski tidak ada nama pengirimnya, ia tahu Aidan yang mengirim buket bunga indah ini. Ia mengambil buket bunga itu lalu menghirup aroma mawar yang harum.
“Cie….yang dapat bunga dari suami.”goda Maisha sambil mengedipkan mata genit.
Talita mendengus. Ia menaruh buket bunga di atas meja kerjanya lalu mengambil ponsel. Ingin mengucapkan terima kasih pada Aidan. Talita membuka room chat dengan Aidan dan mulai mengetik.
Talita : Mas, terima kasih atas kiriman bunganya ya. Bunganya cantik sekali. Aku suka, sangat suka. Mas harus tahu kalau aku tidak pernah selingkuh. Buket bunga kemarin dari Maisha. Ia lupa menulis nama pengirimnya. Kalau mas tidak percaya, mas bisa tanya pada Maisha dan toko bunganya. Btw terima kasih juga mas sudah cemburu sama aku. Jika cemburu adalah isyarat cinta dalam hati, maka aku mengijinkan mas merasakannya.
Tbc
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
