
PROLOG
Tatapan Hanin tak lepas dari pergerakan remaja laki-laki dalam balutan seragam olahraga biru muda didepan kelas. Memperhatikan kemana langkah jenjang itu tertuju, caranya tertawa, berbicara atau sekedar diam.
Dia sedang meyakinkan diri. Memantapkan hati menyampaikan segala perasaan yang sudah ia simpan hampir tiga tahun ini.
Terserah itu cinta monyet atau kera. Yang pasti, Hanin tak ingin lagi menunggu terlalu lama.
Gadis itu bangkit. Kesempatan emas datang saat Kanzi terlihat sibuk bermain ponsel dengan bersandar disudut kelas.
Sendirian.
"Zi, boleh ngomong bentar nggak?"
Genggaman pada jemarinya Hanin eratkan. Sumpah mati dia sedang gugup sekali. Menatap lelaki jangkung didepannya saja Hanin tak sanggup.
"Eh, kenapa Nin? Dijailin lagi ya sama Roy?"
Praktis Hanin menggeleng. Dia melirik kanan kiri. Memastikan anak-anak kelas sedang sibuk dan tak menyadari jika nanti Hanin melakukan pengakuan.
"Eeee, tapi janji lo gak bakal teriak apalagi bikin heboh." Hanin menangkup kedua telapak tangan didepan dada, "Please ..." meski kepalanya masih tertunduk dalam.
"Mmm, oke. Tapi mau ngomong apa sih?! Serius amat kayaknya."
Bagaimana ini? Degupan jantung Hanin menggila.
"Gue ..." Dia sejenak terdiam. Apa mungkin setelah Hanin mengungkapkan perasaan nanti, perlakuan Kanzi berubah? Mendadak Hanin meragu, sudah tepatkah langkahnya kali ini? "Gue suka sama lo!"
Persetan! Hanin sudah tak peduli lagi. Dengan sekali napas dia berucap hampir seperti nge rap.
"Hah?!" Kanzi mencoba mencerna, "lo suka sama gue? Kok gue nggak?"
Tak bisa diungkapkan betapa malunya Hanin. Untung saja, anak-anak kelas masih setia sibuk dengan urusan masing-masing.
"Em, maksud gue ..." Kanzi tampak menggaruk tengkuk, "Kok bisa?"
Hanin sudah tak ingin memperpanjang. Pelan, dia mendongak menatap Kanzi dengan senyum paksa. "Lupain aja ya, Zi." Katanya lirih. "Anggap aja gak denger apa-apa."
Mulut Kanzi sedikit terbuka ingin menyanggah. Tapi cowok itu tetap bungkam sembari menatap Hanin lama.
Pemuda itu mendesah samar, "Lo, nggak papa?" Ada kekhawatiran yang tersirat dalam kalimatnya, jujur saja Kanzi sama sekali tak tega menyakiti perempuan.
Hanin terkekeh. Ini yang membuatnya mengagumi sosok Kanzi begitu dalam. Jadi, meski nyesek masih terasa dihati karna baru saja mengetahui bahwa Kanzi tak punya rasa yang sama dengannya, Hanin bisa tenang karna setidaknya Kanzi masih peduli.
"Lo pikir gue bakal kenapa? Nangis kejer?" Canda Hanin, "Nggak kali, Zi. Santai," dia bahkan menepuk lengan atas Kanzi sekali. "Kayak yang gue omongin tadi, anggep aja lo gak denger apa-apa."
Hanin berbalik. Namun lengannya ditahan Kanzi hingga kembali menghadap cowok itu.
"Maafin gue, ya Nin?" Wajahnya memelas, "Gue bener-bener gak enak."
Lagi dan lagi, Hanin dibuat tak bisa marah apalagi menuntut banyak. "Kanzi," Hanin memanggil cowok itu tenang, "Gue gak papa." Dia meyakinkan, tersenyum tulus setelahnya. "Lo jangan berubah ya, Zi? Maksud gue, jangan canggung kalo deket-deket gue. Jangan jaga jarak juga biar gue move on, perasaan gue biar jadi urusan gue sendiri."
Kanzi perlahan mengangguk. Melepas lengan Hanin kemudian balas tersenyum.
"Oke."
Mungkin, mungkin jika hari itu atau hari-hari sebelumnya Kanzi berkata jujur, Hanin akan benar-benar baik-baik saja.
Namun jatuh cinta memang selalu sepaket dengan luka.
Karna sejak hari itu, luka Hanin mulai digores diatas kanvas bernama Kanzi Radean Arashi.
Hanin tak pernah tau, jika sepaket luka yang Kanzi torehkan, juga berisi setablet obat.
- HANIN BUKAN SIAPA-SIAPA
¤¤¤
Untuk kesekian kali, hembusan napas berat Hanin terdengar. Gerbang sekolah yang sepi, ditemani tetesan hujan membuat suasananya tampak mendukung sekali untuk menumpahkan kesedihan.
Yang sayangnya, tak cukup bagi Hanin.
"Orang gue gak sedih," Hanin mendengus. List musik diponselnya sudah terputar separuh.
Galau semua. Maklum, playlist 2023.
Hanin kembali memeriksa aplikasi pesan.
Kanzi Arashi
Zi?
Belum terbaca padahal sudah centang dua. Dia menghela napas berat. Hujan sudah dua kali sempat mereda, namun dia masih belum bisa pulang. Tidak ada transportasi yang terlihat, juga tidak ada tanda-tanda siswa tersisa disekolah. Sempat menoleh kebelakang memastikan pak satpam penjaga pintu masih ada, Hanin menghela napas karna ternyata laki-laki paruh baya itu tampak terlelap.
"Jalan kaki, nih?" Hanin menggaruk pipi chubbynya sejenak.
Meski dia berasal dari keluarga berada, orangtuanya tidak pernah menyediakan supir pribadi apalagi jasa antar jemput. Hanin beserta kedua kakaknya diajarkan mandiri sejak bangku SMA. Berbekal kepercayaan penuh, Hanin baru akan diizinkan membawa kendaraan jika sudah punya SIM.
Dan itu dua minggu lagi.
Hanin menunduk. Ada getaran ditangannya menandakan pesan baru masuk.
Kanzi Arashi
Apa Nin?
Udah pulang, ya?
Udah. Knp?
Gk papa, gk jadi
Ngomong nggk?
Gk jadi kanziiiiii
Beneran gk ada apa-apa nih?
Jemari Hanin terdiam sejenak. Menimbang apakah dia harus meminta bantuan Kanzi untuk kesekian kali.
Zi?
Butuh dua menit untuk Kanzi merespon.
Ya?
Bisa tolong jemput ke sekolah nggak?
Kalo gk bisa gk papa kok
Jangan maksain
Eh, lo serius belum pulang?
Hujan gini lho, Nin
Skrg dimana?
Masih di skul:)
Astagfirullah, ya udh tungguin gw
Otw
Dan tak perlu banyak jawaban. Senyum Hanin sukses tercetak. Kanzi menepati janjinya untuk tidak berubah.
Pernyataan perasaan Hanin dua minggu lalu bukan apa-apa.
Itu kenapa Kanzi begitu berarti untuk Hanin. Cowok itu bukan sekedar cinta pertama atau sejenisnya, Kanzi lebih dari segala yang pernah orang-orang pikirkan tentang cinta.
Hanin menatap langit. Mendung sudah berkurang namun air berkah itu masih tumpah. Cukup deras namun sekarang terasa lebih hangat.
Seperti perasaan Hanin.
Setidaknya, sebelum pesan susulan dari Kanzi datang.
Kanzi Arashi
Hujannya lebat bgt Nin
Gw gk tau bisa jmput lo ato nggak
Hanin membacanya dengan sayu. Pesan susulan lain datang tak lama kemudian.
Kanzi Arashi
Kemungkinan nggak
Naik grab aja ya, gw pesenin
Oke, Zi. Gak papa
Gak usah, gw bisa pesen sndiri
Btw, makasih ya
"Grab, ya?" Hanin bermonolog.
Kalau ujung-ujungnya pakai grab, sebaiknya dia pesan dari tadi saja. Tapi karna berharap Kanzi datang seperti drama-drama korea, Hanin mengurungkan niat.
Ternyata benar. Drama tak seindah realita.
Hanin pikir, dia cukup penting untuk menjadi alasan Kanzi menembus hujan badai halilintar. Bego! Hanin mengutuk diri.
Memangnya siapa dia untuk Kanzi?
Tin!
Hanin mendongak, motor CBR 150 dengan pengendara berseragam serupa dengannya berhenti didepan halte tanpa gadis itu sadari.
Cowok. Dan sama sekali tidak Hanin kenali.
Kepala berbalut helm itu mengisyaratkan Hanin untuk ikut. Yang tentu saja ditolak mentah-mentah. Hanin bahkan sampai memalingkan wajah, deg-degan juga. Dia yakin orang itu adalah om-om mesum yang sedang menyamar.
Kini, helm berwarna hitam solid itu terlepas. Sang pengendara tampak kewalahan tertimpa hujan meski sudah sedari tadi seragamnya basah.
Hanin tertegun. Mengecilkan mata untuk memastikan sekarang dia tidak salah lihat.
Digantara.
Ketua kelas sebelah.
Yang benar saja!
Refleks kepala cantik itu menggeleng.
Decakan samar terdengar dari Diga. Pemuda itu turun dari motor menghampiri Hanin yang kini tampak memeluk erat tas nya dipangkuan. Menatap gadis itu lamat sebelum napasnya berhembus pelan.
"Lo-lo ngapain?" Hanin bertanya tanpa menoleh.
Diga tak merespon. Tubuh tegap menjulangnya berdiri sekitar satu meter disamping Hanin. Melipat kedua tangan didepan dada, dan hanya diam tak berkata apa-apa.
Hanin mengabaikan. Diga ini, jujur Hanin mengenalnya hanya sebatas teman beda kelas. Tidak pernah sekalipun mengobrol meski beberapa kali bertemu.
"Ekhem!" Hanin mencoba mencairkan suasana. "Lo ... ngapain disini? Kenapa gak langsung pulang?"
Kepala Diga berputar lambat, "mau pulang?" Dia balas bertanya tanpa ekspresi.
"Ya pulang aja." Hanin berdehem kecil, "Gue, gue udah pesen grab."
Diga diam lagi.
Hanya curahan hujan ringan yang menjadi latar pengisi suara hingga sebuah motor tampak memelan sebelum akhirnya berhenti persis dibelakang motor Diga.
Hanin berdiri, "Gue duluan." Pamitnya berbasa basi. Menaikkan resleting jaketnya hingga ke leher berikut dengan tudung penutup kepala.
Motor matic itu bergerak perlahan meninggalkan halte.
Hanin menatap tetesan hujan yang masih berjatuhan. Tersenyum pahit mengingat sebanyak itu pula ia jatuh pada Kanzi. Tapi cowok itu memilih berteduh. Kanzi memang tidak menjauhi Hanin seperti perkataannya, namun ada hal-hal yang terkadang membuatnya canggung berprilaku didepan Hanin.
Hanin tau Kanzi berusaha menjaga perasaannya. Dia baik sekali mengizinkan Hanin jatuh cinta tanpa menghakimi sedikit pun. Hal itulah yang membuat Hanin tak pernah kehilangan harapan bahwa suatu saat Kanzi akan punya perasaan serupa.
Pasti.
Sekali lagi, Hanin menguatkan diri. Lagipula, selagi Kanzi tak memintanya berhenti Hanin seharusnya baik-baik saja.
Kan?
***
"AAAAAA!!"
Teriakan nyaring mengundang atensi seluruh barisan siswa ditengah lapangan. Pengumuman yang ingin disampaikan kepala sekolah terhenti bersamaan bu Jeni, penjaga perpustakaan berlari dengan wajah cemas.
"Mayat pak!" Ujarnya bergetar, "Diruang komputer!"
Dan riuh seketika terdengar. Jantung Hanin berdegup kencang saking kagetnya. Dia masih terpaku saat anak-anak lain sudah membubarkan diri menuju lokasi yang katanya penemuan mayat.
Pagi ini sekolah heboh. Seorang siswi berseragam sekolah tetangga terkapar persis ditengah ruangan dengan deretan meja komputer.
Wajahnya lebam. Saat ditemukan, gadis itu sudah tak bernapas, dan posisi yang agak ganjil.
Menelungkup.
Hanin tak sanggup melihat kondisi itu dan dipapah Muftia kedalam kelas. Mereka memucat, mencerna keadaan yang tentu saja menciptakan trauma tersendiri.
Ini kasus mengerikan pertama yang disaksikan secara langsung oleh Hanin sepanjang hidupnya.
"Dia ... beneran meninggal?" Hanin bersuara. Ntah pada siapa.
"Nggak tau." Lirihan Muftia terdengar. "Mungkin iya,"
"Namanya Wulan, anak SMA Tribuana. Cantik banget aslinya,"
"Sumpah, gue kaget banget. Tadi malam gue masih liat updatean dia di instagram,"
"Dia terakhir update agak siangan. Setelah gue perhatiin, background nya depan perpus ternyata."
"Gue kenal beberapa anak Tribuana, katanya cewek itu pacarnya anak MHS. Tapi gak ada yang tau siapa,"
"Pasti heboh banget sekolah mereka. Apalagi keluarganya, kasian."
"Tangan gue masih gak berenti geter," Muftia, sapaan akrabnya Tea, menunjuk jemarinya yang bergetar dingin.
Hanin mengenggam tangan itu. Sama-sama berusaha menenangkan diri masing-masing meski tetap saja berdebar. Ini seperti teror.
"Banyak polisi diluar." Intrupsi Zein yang ntah sejak kapan masuk kekelas. Hanin cukup kaget karna kini ruang belajar itu sudah penuh. Padahal tadi hanya beberapa orang saja. "Jangan ada yang keluar kecuali bener-bener perlu,"
Hanin menemukan Kanzi yang menatapnya dalam diam. Tersenyum kecil yang tak lama dibalas Kanzi dengan gumaman kecil.
'Maaf,' Katanya.
Hanin mengernyit, membuat gestur tak mengerti melalui kepala.
'Untuk kemaren.' Masih lewat gerakan bibir. 'Gak bisa jemput lo.'
Ada sejuk yang seketika mengaliri nadi disekujur tubuh Hanin. Senyumnya menjadi lebih lebar sebelum menganggukkan kepala.
Ah, apalagi yang Hanin butuhkan selain tatapan tulus itu?
"Cek CCTV nggak sih?" Muftia sudah berhasil tenang sementara Hanin masih berjuang, "Didepan ruang komputer bahkan sepanjang gedung kantor ada CCTV. Seharusnya semua bakal lebih mudah,"
"Funfact, CCTV nya mati." Sahut Zein lugas. Bibirnya mencebik malas, "Konspirasi lama. Something wrong here,"
"Bener anjir!" Ammar sampai menggebrak meja saat bicara, "Gue denger tadi pas kepsek ngomong CCTV sepanjang lorong kantor mati. Direncanain sih, kalo kata gue."
Hanin bergidik. Kalau iya, mengerikan sekali sekolah ini.
"Kalian gak perlu khawatir. Korbannya bukan dari sekolah kita, dan juga belum bisa dipastiin dia dibunuh atau ada faktor lain," Zein menghela napas, "Semoga aja," pemuda itu memang berbakat menenangkan keadaan.
Meski ekspresi ragu tampak jelas diraut wajahnya, setidaknya cowok itu bertanggung jawab dan lumayan bisa dipercaya.
"Terakhir, kalo ada yang tau sesuatu ntah apapun itu yang sekiranya mencurigakan terkait kasus ini, lo bisa kontak gue. Kita bantu polisi semampu kita,"
Pasti. Hanin mengangguk mantap sebagai jawaban. Dia siap jadi detektif dadakan kalau perlu.
"Asal konfirmasi dulu bener enggaknya. Jangan asal bikin asumsi, jadi fitnah ntar." Zein menambahi sembari tertawa.
"Iya pak Zein, iya!"
"Lo kalo mode gini, ngeri gue Zein. Takut jatuh cinta,"
"Polisi Indonesia kalah bijak sama lo,"
Suasana tegang berubah rileks setelah itu.
Tawa renyah Hanin bahkan muncul diantara riuh yang lain. Dalam benak masing-masing, Hanin tau teman-temannya bertekat membantu korban.
Tanpa sadar, hari itu adalah awal.
Untuk hal-hal besar yang tak pernah Hanin duga sebelumnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
