Lelaki Puisi

0
2
Deskripsi

Gea bersenandung riang sambil berdiri di depan kaca. Berkali-kali memperbaiki penampilannya. Ia tak yakin harus menggerai atau mengikat rambut panjangnya. 

            Setelah berpamitan pada Mama, Gea langsung melesat ke jalan raya. Menaiki angkot menuju stasiun untuk terus melanjutkan perjalanan hingga ke Jakarta. Google maps telah ia amati sejak semalam, bertanya sana-sini di mana letak Salihara.

Gea bersenandung riang sambil berdiri di depan kaca. Berkali-kali memperbaiki penampilannya. Ia tak yakin harus menggerai atau mengikat rambut panjangnya. 

            Setelah berpamitan pada Mama, Gea langsung melesat ke jalan raya. Menaiki angkot menuju stasiun untuk terus melanjutkan perjalanan hingga ke Jakarta. Google maps telah ia amati sejak semalam, bertanya sana-sini di mana letak Salihara.

            Di kepalanya, Gea merangkai kata-kata yang sangat ingin ia tuliskan menjadi puisi. Guncangan kereta semakin membuat Gea ingin menulis puisi. 

Perjalanan ini kunamai perjalanan cinta. 

Kan kujumpai satu nama dan kubawa pulang. 

Perjalanan ini kunamai langkah-langkah asmara.

 Kan kusapa dia yang menyimpan hatiku sejak lama.

            Semua teman baik Gea protes ketika dia berkata, “Aku punya sebuah teori, bahwa lelaki yang menyukai dan bisa menciptakan puisi adalah lelaki paling seksi.”

            Andari langsung menyikut Gea. “Enak aja, kurang seksi apa coba si Al Gazali. Keren begitu, jago ngeDJ, gape alat musik, soal tampang enggak usah ditanya. Masa dia kalah seksi dari cowok kenalan kamu yang pandai bikin puisi itu!”

            “Oke, dia seksi. Kalau udah bisa menciptakan lagu dengan lirik-lirik puitis.” Sahut Gea.

            Nana mendengus. “Makan deh tuh puisi. Puisi yang membutakan mata hati dan menumpulkan logika.” Kemudian menggeleng-gelengkan kepala.

            Gea terbahak sambil mengangguk-angguk. Ia tidak sepenuhnya merasa menang, tetapi setidaknya teman-temannya semakin tahu bahwa ia menyukai puisi lebih dari apa pun.

            “Jadi kamu beneran bakalan datang ke launching buku puisi Sapardi Djoko Damono?” Tanya Andari

            Gea yang sedang memutar-mutar rambut dengan telunjuknya langsung duduk tegak. “Ya jadilah. Enggak tiap tahun SDD launching buku. Mumpung ada kesempatan sekalian aku … “

            “Ketemuan sama cowok penulis puisi yang kamu puja itu?” Sambar Nana.

            Gea memejam sambal mengangguk penuh keyakinan.

            “Gea, Photo profile cowok itu bahkan cuman gambar gunung. Dia enggak pernah upload photonya sama sekali di facebook atau twitter. Isinya Cuma puisi doang. Bagaimana kalau sebenarnya dia enggak seperti yang kamu harapkan?” Andari mengingatkan panjang lebar. “Lagi pula, hellooooww … hari gini udah gak musim blind date.

“Hati-hati, lho, nanti kamu diculik kaya di berita-berita” Nana menambahkan.

            Gea berdiri hendak pergi, meninggalkan dua sahabatnya di kantin sekolah. “Enggak akan. Lagi pula aku enggak mengharapkan apa pun dari pertemuan ini. Aku hanya ingin memastikan dia ada, bukan cuma hanyalanku aja.”

            Kedua sahabat Gea memandang gadis itu hingga dia menghilang di tangga menuju perpustakaan.

            Dahi Gea berkerut ketika mengingat lagi obrolannya dengan Nana dan Andari. Gea bertemu lelaki itu di sebuah grup facebook penyuka puisi beberapa tahun yang lalu. Kini, mereka sudah kenal lebih dekat hampir dua tahun. Gea  bertekad bahwa bagaimana pun wujud lelaki itu dia akan tetap menjalin pertemanan dengannya.

            Aula tempat acara akan berlangsung sudah dipenuhi orang-orang yang sama antusiasnya dengan Gea. Gadis itu mendapat kursi paling ujung dan cukup jauh dari pintu masuk. Hingga ia harus memanjangkan lehernya untuk melihat ke depan ketika sang penyair masuk ruangan.

            Bunyi gong dari selasar terdengar, isyarat bahwa acara akan segera dimulai. Gea bukannya fokus ke depan, mendengarkan seorang MC yang mengenalkan SDD. Bukan pula khidmat membaca puisi-puisi SDD yang terpampang di layar.

            Mata Gea sibuk memeperhatikan setiap lelaki yang baru datang atau pun mereka yang sudah duduk menyimak di kursi. 

“Aku akan memperlihatkan buku puisi pertama pak Sapardi yang terbit tahun 1969. Berjudul Lukamu Abadi.” Tulis lelaki itu di massager dua hari lalu.

            Maka, Gea melihat ke setiap tangan untuk mencari buku puisi lama itu. Hingga acara terus berlangsung, lelaki yang dimaksud tidak kunjung terlihat. Gea memperbaiki posisi syal untuk kesekian kalinya, sebagai tanda seperti yang kemarin ia katakan. “Aku akan memakai syal biru langit.”

            Tepat ketika ruangan senyap. Semua mata tertuju ke depan. Pada getar magis suara Sapardi Djoko Damono yang tengah membacakan puisinya yang terbaru, Gea melihat lelaki itu. Berdiri tegak, konsentrasi menyimak idolanya sambil menggenggam buku warna coklat yang tampak usang.

            Degup jantung Gea berpacu kencang sambil menatap lelaki itu dari ujung rambut hingga sepatunya. “Dia kah? Mengapa harus dia?” Gumam Gea lirih.

            Gea dengan gerakan perlahan membuka syal yang ia pakai, menarik dan langsung memasukkannya ke dalam tas. Telapak tangannya berkeringat karena gugup. Ketika tepuk tangan menggema untuk sang Penyair, Gea semakin panik.

            Gea berdiri, ingin segera berlari keluar ruangan. Namun mata lelaki itu langsung menangkapnya. “Eh, Geani? Anak kelas XII-A kan?”

            “Iya, saya Geani, pak Wisnu.” Gea mencium tangan pak Wisnu. “Bapak apa kabar?”

            Pak Wisnu mengangguk sambil tersenyum, “ Baik. Kamu suka puisi-puisi pak Sapardi juga?”

            “Suka. Mama yang suka bacain puisi pak Sapardi.” Jawab Gea sambil berusaha menutupi rasa gugupnya dengan mengipas-ngipas wajahnya dengan sehelai brosur. “Pak saya duluan, ya. Mama sudah nunggu di Stasiun.”

            “Oh, oke. Kamu dari Bogor datang sendirian ke sini?”

            “Mmm … tadi iya sendirian, tapi Mama menyusul sekalian mau ke tempat lain.”

            “Tidak menunggu sampai acara selesai?”

            Gea menggeleng. “Enggak pak, takut Mama kelamaan nunggu.”

            “Oke kalau gitu. Hati-hati, ya, Gea.” Ucap Pak Wisnu. “Hati-hati, Gea.” Pak Wisnu mengulang sambil menatap Gea lekat-lekat.

            Sesampainya di luar aula, Gea langsung berlari keluar gedung Salihara. Gadis itu menjerit dalam hati, Oh Tuhan lelaki itu benar-benar pak Wisnu. Dia memanggil SDD dengan sebutan yang sama, pak Sapardi. Oh Tuhan … Mengapa harus dia?

Gea melarikan diri bukan karena lelaki itu bertampang begitu bersahaja, dengan kaca mata kotak yang bertengger di wajahnya, rambut ikal yang dipangkas pendek. Bukan itu sama sekali. Tetapi karena Wisnu Anggara adalah guru Kimia Gea. Kendati pak Wisnu adalah guru paling muda dan masih lajang, tetapi bagaimana dia bisa nyaman membicarakan puisi-puisi dengan gurunya? Gea malu, sungkan, kikuk. Kali ini Andari benar, lelaki puisi itu tidak seperti yang dia harapkan. 

Gea tidak yakin akan bisa berbincang santai dengan lelaki puisi itu lagi, jika pak Wisnu tahu gadis yang selama ini dikenalnya sebagai sesama penyuka puisi-puisi SDD adalah anak muridnya sendiri.

            Gea membuang jauh-jauh kesan seksi dengan teori ngawur yang ia ciptakan dari  kepalanya. Keesokan harinya ketika Nana dan Andari bertanya tentang blind date ala Gea. Gadis itu menjawab singkat bahwa mereka tetap berteman sebagai teman baik di dunia maya.

            Gea tidak sepenuhnya berbohong, karena ketika dalam perjalanan pulang Gea mengirim pesan bahwa ia ada keperluan mendadak hingga tidak jadi datang ke Salihara. Lelaki puisi itu, alias pak Wisnu memahami sekaligus memaafkan. Lalu mereka kembali saling mengirim puisi, juga memperlihatkan pusi-puisi indah yang mereka temukan.

***

            Petang itu Gea baru dua hari pulang ke rumah setelah satu semester tidak pulang dari Jogjakarta, sudah memasuki semester ke 6 dia kuliah di sana. Mama meminta Gea mengambil oven di dalam gudang. Mata Gea terpaut pada sebuah dus, berisi barang-barang yang ia bawa pulang dari loker SMA dulu ketika ia lulus sekolah. Ada papan nama, pin Osis juga beberapa lembar photo. Diantara buku pelajaran yang tidak pernah Gea buka lagi, ia menemukan sebuah buku yang terbungku kertas kado.

            Gea tidak mengingat sama sekali ada yang pernah memberikan hadiah itu kepadanya. Gea membuka pelan-pelan. Terkejut sekaligus haru ketika ia melihat hadiah itu adalah sebuah buku yang sangat ingin dia baca. Sebuah buku tua berjudul Lukamu Abadi karya Sapardi Djoko Damono.

            Gea membuka buku itu dengan segenap rasa, lalu menemukan setangkai mawar yang sudah mengering di halaman ke 12. Ujung mata Gea mengembun, ia segera membuka ponsel dan mengirimkan pesan pada seseorang yang tahun lalu pamit untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri.

            ‘Jika nanti engkau pulang, barangkali kita bisa berjumpa untuk membahas puisi-puisi lama pak Sapardi.’

 

 

Bogor, 2017

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Seusai Pesta
0
0
Kamar-kamar di rumah itu mulai gelap satu demi satu. Dan semakin malam Lea merasa dirinya semakin asing. Kendati itu adalah rumah tempat ia tumbuh sepanjang pikirannya mampu mengingat.            Gadis itu baru merayakan ulang tahun yang ke 17 pekan lalu. Ia tidak mengira perayaan tersebut menjadi sebuah pintu perubahan yang besar bagi hidupnya. Lea awalnya merasa dibohongi, namun hari ini perasaan itu berangsur pulih. Setidaknya, kemarahan tidak lagi menguasai dirinya beberapa hari terakhir.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan