
Hai kawan!
Apapun yang kamu hadapi hari ini, adalah satu dari banyaknya proses yang akan kamu nikmati hasilnya di kemudian hari. Jadi, tolong jangan menyerah terlebih dahulu yaa!
Keep smile and keep healthy. (:
Terimakasih telah membaca Lika-Liku Luka. Happy reading!
***
“Orang bilang, luka yang menyakitkan hanya perlu dilupakan dan ganti dengan beribu hal menyenangkan dalam hidup. Tapi, bagaimana jika hal menyenangkan itu selalu berkaitan dengan datangnya luka?”
-Binar dengan segala lukanya.
Dari dulu, Binar paling tidak suka datang ke acara yang diselenggarakan perusahaan. Entah itu penobatan, pernikahan, ataupun hanya sekedar undangan makan malam. Semua itu karena ia diundang bukanlah karena hasil jerih payahnya sendiri, melainkan karena ia adalah anak seorang Agung Rahadi.
Tapi, hari ini ia harus mengubur semua alasan yang dapat menyebabkan dirinya tidak datang. Karena ancaman ayahnya yang akan menjual rumah yang menjadi saksi Binar hidup selama hampir 25 tahun.
Nuansa putih dan emas yang dipadukan, membuat pesta resepsi yang ‘harus’ Binar hadiri ini terlihat sangat mewah. Menaungi banyaknya wajah-wajah yang hanya menginginkan harta dan kekayaan semata.
Tak seperti kedua saudaranya yang mengenal sebagian tamu, menyambut dengan senyum yang entah palsu atau tulus, Binar hanya memilih untuk duduk di salah satu kursi dengan letak sedikit lebih jauh dari tempat kedua mempelai pengantin. Menatap ayahnya yang sedang tertawa bersama istri barunya.
Hati Binar sakit, sungguh. Belum genap satu bulan Bunda pergi, bahkan pusara Bunda masih sangat basah. Tapi seakan tak ada yang peduli akan hal itu. Mengabaikan kilasan duka dan memilih untuk bersenang-senang. Menimpa luka yang masih basah dengan duka baru yang lebih sakit.
Tepukan di bahu mengalihkan atensi Binar. Bersama dengan suara Ayah yang entah berbicara dengan siapa.
“Ini Binar, kepala marketing di RH Grup, sekaligus anak saya yang ketiga.” Senyum Ayah langsung menyambutnya kala Binar berpaling ke samping kanan, sembari sebelah tangan beralih merangkul pundaknya. Berpura-pura menjadi orang tua yang sempurna untuk anaknya.
Ucapan itu, mau tak mau membuat Binar tersenyum tipis. Sangat tipis bahkan hampir tak terlihat.
Tangannya terulur, menyambut lawan bicara Ayah dengan sopan. Namun, tatapan tak asing yang diterimanya membuatnya terpaku sejenak. Netra gelap yang sama persis dengan seseorang di masa lalu. Seseorang yang tak dapat Binar ingat dengan jelas.
Setelah mendapatkan kesadarannya, Binar segera menarik jabatan tangannya. Sedikit memaksa karena sang lawan sempat menahan.
“Jadi, yang buat pemasaran perusahaanmu sedemikian menarik adalah anakmu sendiri ini?” Tatapan tak percaya tertuju padanya. Disusul tawa renyah dari Ayah.
“Binar memang jago banget urusan narik customer. Apalagi public speaking nya bisa buat orang lain terpana hanya dalam sekali dengar.” Tepukan di bahu kembali Binar dapat. Seolah menunjukkan betapa bangganya Ayah memilikinya.
“Oh ya? Tapi kenapa daritadi Binar diam saja?”
Lagi. Binar hanya mengulas senyum tipis. Tak berucap apapun karena entah mengapa lidahnya terasa kelu untuk mengeluarkan sepatah kata.
“Ah, iya. Ini Pradipta, rekan bisnis Ayah.” Nama dari lawan bicara Ayah akhirnya terucap. Membuat sang pemilik nama tersenyum semakin lebar, dengan netra yang tak lepas dari Binar sedari tadi.
Tepat sebelum Binar hendak bersuara, Renata, selingkuhan Ayah yang kini telah menjadi ibu sambungnya menyela. “Mas, aku ke temen-temen aku dulu ya.”
Sepeninggalan Renata, membuat Binar terjebak diantara obrolan yang seketika tak dapat ia mengerti. Apalagi, ketika Pradipta berusaha mengajaknya berbicara dan hanya Binar balas dengan kata singkat.
Melihat gelas yang tadi berisi minuman berwarna telah habis diminumnya, Binar berdalih. Ia tahu harus apa agar keluar dari pesta ini.
“Maaf sebelumnya, saya permisi ke kamar mandi dulu.”
***
“Kali ini kabur dari apa?” Kembali menyuapkan mie ayam ke dalam mulutnya. Netranya bergantian menatap Binar dan mie ayam di depannya.
Bukan tanpa sebab bila gadis yang sedang menyantap mi ayamnya berkata demikian. Pasalnya, Binar memakai gaun pesta yang siapapun tahu harganya tidaklah murah. Apalagi, masih lengkap dengan riasan dan tatapan rambut yang sedemikian rupa.
“Resepsi.”
Gadis di depan Binar mengunyah mie ayamnya dengan seksama, sebelum menelannya dengan pelan. “Resepsi siapa? Kakak lo yang mana nih yang udah nikah?”
Binar tak menjawab. Menutup mata seraya menghela napas pelan. “Bukan mereka Han, tapi Ayah.”
Seketika, makanan yang hampir tertelan itu tiba-tiba tersangkut di tenggorokan, mengantarkan rasa panas akibat sambal pedas yang tadi sempat dituangnya ke dalam mie ayam.
Hana, salah satu orang, atau mungkin satu-satunya, yang dapat Binar percaya saat ini. Dengan wajah yang sudah memerah, segera meraih es teh kemudian meminumnya dengan rakus.
Alih-alih membantu Hana, netra Binar beralih pada gadis kecil yang sedang disuapi oleh ibunya. Tersenyum cerah walaupun sebenarnya mungkin sudah waktunya untuk berbaring di kasurnya.
Suaranya yang masih ceria dengan senyum yang tak pudar, seakan memberi kebahagiaan tersendiri bagi ibunya. “Bunda ikut mam juga.”
Lagi. Rasa nyeri itu kembali menyerbu dada Binar. Sesak yang selalu hinggap dalam dirinya sejak Bunda pergi. Sesak yang yang tau harus ia apakan agar menjauh dan tak datang lagi.
‘Bunda…’
Usapan di salah satu jemarinya membuat Binar menoleh, sebelum kemudian menatap cairan bening yang telah terkumpul di kedua matanya.
Tak ada kata yang terucap. Hanya seulas senyum dan tatapan mata yang Binar tahu benar memiliki arti apa.
Memang, bukan suasana hening yang biasa tercipta seperti biasanya. Memang, kali ini bukan hanya hening malam dan ringkih tubuhnya yang berada di pojok kamar untuk merenung sebelum kemudian terlelap dalam posisi duduk.
Hana beralih tempat duduk menjadi di samping Binar. Memberikan usapan di bahu seolah menguatkan.
Perlahan, kepala Binar bersandar pada bahu teman sejak sekolah menengah itu. Membiarkan kepalanya beristirahat dari berbagai pikiran yang menerjangnya. Membiarkan ekspresi wajahnya mendominasi walaupun menjadi pias. Membiarkan topeng di wajahnya luruh walau sejenak. Membiarkan sesak mendominasi dengan luruhnya air mata.
Untuk sejenak saja, Binar tak ingin berpura-pura bahwa ia baik-baik saja.
Kilasan balik kalimat Bunda kembali terngiang dalam benaknya. Kalimat terakhir Bunda sebelum Binar memilih untuk pulang dan mendapat berita memuakkan itu tiba.
“Carina harus bahagia ya, nak. Harus janji sama Bunda kalau Carina akan bahagia dengan ataupun tanpa Bunda.”
Bukan berhenti, namun air mata Binar semakin deras mengucur membasahi sweater hitam milik Hana. Mengabaikan hawa dingin yang semakin menusuk kulit, yang seakan tak mempan pada tubuh Binar.
‘Lima menit Bunda. Tolong, hanya lima menit saja Binar tidak ingin berpura-pura.’
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
