
Nukilan dari sekuel novel Yang Tak Kunjung Usai (The Comma Books dan Penerbit KPG - 2020)
Sungai Kapuas masih menyimpan cerita.
Tentang Saul, duda satu anak yang mulai mengerti apa artinya menjadi dewasa.
Tentang Bagas, pemuda Dayak Mualang yang kembali setelah pengusirannya.
Di Senjau mereka kembali bertemu. Tujuh setengah tahun berselang setelah rentetan kejadian mendewasakan mereka. Satu pertanyaan kembali menyeruak seperti seluang yang melompat dari dalam sungai, akankah cinta menemukan jalannya kini?
Prologue
Di Tepi Sungai Seine
Malam Natal 2023
Terkadang aku bertanya; apa benar cinta akan menemukan jalannya?
Udara Paris terasa dingin. Hujan turun perlahan namun bukan rinai air yang turun berjatuhan, serpihan es kecil serupa salju turun merintik di wajahku. Kuseka pipiku perlahan. Merasakan hembusan sejuk yang mengelus wajahku.
Kutepuk topi kupluk yang kukenakan, entah untuk apa. Cahaya lampu semarak terpantul sempurna di permukaan Seine. Aku jadi mengingat cahaya bulan yang juga biasa terpantul di permukaan Kapuas. Aku berhenti dan menopang tanganku di birai besi yang menghantarkan udara dingin di sarung tanganku. Dari kejauhan Menara Eiffel menatapku dengan haru. Seakan-akan bertanya, mengapa di Kota Cinta saat malam natal, aku berdiri sendiri menatapnya.
Akankah cinta menemukan jalannya?
Kutelisik keheningan yang menggelayut di permukaan Seine. Sebuah kapal turis melintas membuat riak-riak kecil. Mau tak mau aku jadi teringat malam saat aku pertama kali bertemu dengan lelaki itu, dua belas tahun yang lalu, di perahu Pakde yang membawa kami berdua ke Senjau.
Apakah mungkin air yang kulihat di depanku ini pernah berkelana ke Senjau sama sepertiku? Mungkinkah air tenang ini dulunya adalah air yang sama, yang mengaliri Sungai Kapuas? Jika aku terjun ke dalamnya dan hanyut menjadi buih, apakah mereka akan mengantarku kembali pulang ke rumah?
Suara percakapan orang dalam Bahasa Prancis yang cepat seakan menarikku dari dalam khayalan. Aku tidak mengerti mengapa lelaki itu mempunyai mimpi untuk datang ke negara ini, ke kota ini lebih tepatnya. Tapi setelah menghabiskan dua malam di sini aku jadi mengerti apa yang dulu sering ia candakan.
Tuhan sedang kasmaran waktu menciptakan Paris.
Kira-kira apa yang sedang ia rasakan waktu menciptakan Senjau? tanyaku waktu itu.
Hmm, mungkin Ia sedang nelangsa.
Aku tidak tahu bagaimana rintik hujan membuat pipiku tiba-tiba menjadi basah, atau mungkin mata mendungkulah yang melakukannya? Kuseka haru yang menggelayut di kelopak mataku. Aku tidak datang jauh-jauh kesini untuk menangis. Aku tidak menghabiskan banyak uang hanya untuk terbawa emosi sesaat di tepian Sungai Seine. Dan lagi aku tidak datang ke tempat ini untuk mengingkar janjiku pada lelaki itu.
Dari jauh suara lelaki terdengar memanggil namaku.
Enam
Tahun
Sebelumnya
Juli
Bagas
Berapa lama sebuah peristiwa dapat berubah menjadi kenangan?
Dalam tempe yang kembali membawaku masuk ke Senjau, kuulurkan tanganku pelan menyentuh permukaan sungai. Seperti biasa kemagisan Kapuas selalu menentramkan. Bahkan ketika air dinginnya menelisik ruas jariku. Membawa kedinginan yang menancap masuk sampai ke relung jiwa.
Berapa lama Tampuh Juah dapat lupa bahwa aku meninggalkannya?
Diam-diam aku seperti ingin melompat masuk ke dalam Kapuas dan membiarkan ragaku dipeluknya erat sampai diriku terhapus dari semesta. Sampai kiranya Guyau Temenggung Budi yang masih saja bersemayam di dalam Kapuas menantiku dengan tangan terbuka.
Aku tertawa dalam hati. Jakarta dan segala dosa yang kuperbuat di sana tidak jua menghilangkan asal-usul dan identitasku. Bisa saja Bang Bram, yang kudengar sudah menjadi kepala adat sekarang, mencabut identitasku sebagai Dayak Mualang. Namun tidak dapat kupungkiri, cerita Inik terkadang masih berkembang menjadi bunga tidur di malam-malam sepiku.
Desauan angin kencang mengibarkan rambutku tanpa ampun. Kupeluk erat tumpukan surat yang kubawa, jangan sampai angin pun menerbangkannya kemana-mana. Diam-diam aku teringat pada pohon pisang di rumahku. Secara logika pohon itu pasti sudah mati sekarang. Namun entah mengapa dalam khayalku, pohon pisang itu sudah berubah menjadi pohon raksasa seperti pokok kabu yang tumbuh di ujung Sungai Senjau. Menaungi rumahku dengan gagah, lebih gagah dari si putra bungsu yang telah sukses menjadi eksil.
Terawang pikiranku yang sudah membumbung entah kemana terpotong oleh suara penarik tempe yang berkata bahwa kami telah tiba. Dengan kelimbungan yang kentara aku berjalan keluar dari tempe. Sudah hilangkah kekolotan desamu Bagas? Keluar dari tempe pun kau hampir terjatuh?
Ketika aku menginjak kakiku kembali di tanah becek tepian sungai inilah baru aku sadari;
Aku pulang.
Sungai Kapuas memanggilku pulang.
***
Saul
Berapa lama sebuah peristiwa dapat berubah menjadi kenangan?
Aku terbangun dengan keringat yang luar biasa. Padahal biasanya malam-malam dingin selalu menemani tidur sepiku. Kubuka bajuku perlahan sambil membuka jendela kamarku. Membiarkan udara sejuk dan gonggongan anjing menyapa selamat pagi mesra untukku.
Kemudian, seperti biasa, aku duduk di tepian ranjang. Membiarkan aura dingin membelai telapak kakiku. Matahari belum pula terbangun dari tidur nyenyaknya. Kupakai bajuku kembali kemudian kuraih buku saat teduhku dan membaca firman hari ini. Kubaca judulnya pelan, Penjara Kekhawatiran.
Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. (Filipi 4:6)
Tuhan bahkan memelihara burung-burung di udara dan menghiasi bunga di padang, tak seharusnya kamu khawatir, Saul.
Sesudahnya aku berlutut di samping ranjangku dan menunaikan doa pagi. Menghaturkan syukur kepada Tuhan bahwa aku masih diberi kesempatan untuk menarik nafas pagi ini. Bahkan walaupun tidurku entah mengapa terasa gerah semalam dan sialnya aku jadi tak dapat mengenyahkan pikiran tersebut.
Di ujung doaku pun kuucapkan ucapan syukur terakhir, hari ini adalah hari pertama bagi Saulus Wirajaya menjalani umurnya yang ke-26 tahun.
Ulang tahun yang lagi-lagi kurayakan dalam sepi dan sendiri.
***
Awalnya aku ingin mandi di kamar mandi yang kubangun di belakang rumah panggungku. Namun urung, kuambil peralatan mandi dan berjalan menuju jamban terapung. Aku tahu air dan udaranya akan sedingin es serta kemungkinan besar aku akan bersin-bersin sepagian ini. Namun entah mengapa pikiran tadi tidak mengurungkan niatku meniti thew pan dengan gesit.
Beberapa anak kecil tengah mengguyur badan mereka sambil berteriak kedinginan di jamban sebelahku. Sementara ibu-ibu mereka tengah mencuci baju sambil berbagi gosip. Kulambaikan tanganku perlahan, Suk-suk Akot pernah berkata bahwa mereka kerap kali membicarakanku. Duda tampan beranak satu di Desa Senjau.
Yang betul saja, mana mungkin duda dengan jambang tak terawat ini menjadi bahan omongan.
Cepat-cepat aku membuka baju dan melompat ke dalam air sungai yang coklat sebelum pikiranku berubah haluan. Dalam sepersekian detik hujaman dingin menampar sekujur tubuhku. Aku berenang sebentar sebelum sadar bahwa busa deterjen dari ibu-ibu yang mencuci baju tadi mulai terbawa aliran air ke arahku.
Aku angkat tubuhku naik ke jamban. Lagi-lagi hujaman dingin membelai tubuhku. Pada akhirnya kuambil handukku dan beranjak meninggalkan jamban tadi. Kutuntaskan ritual mandi pagiku di kamar mandi rumahku.
***
Bagas
Saat berjalan di pasar aku menjadi gelisah sendiri, bagaimana jika orang-orang masih mengenaliku? Aku yakin betul bahwa desas-desus dosaku dan pengusiranku bertahun-tahun lalu pasti sudah menjadi buah bibir. Namun apakah buah itu sudah membusuk dan terlupakan sekarang? Atau malah semakin menjadi kenangan yang tak terlupakan?
Kupercepat langkahku menyusuri jalanan penuh kenangan ini. Bahkan aku yang dulu biasanya akan berhenti sesaat untuk sekadar melempar senyum ke warga atau mengelus anjing malah abai melakukan itu. Entah mengapa ada muka-muka familiar yang kulihat. Maka kupaku tatapanku ke depan. Seakan-akan pintu surga terbuka di depanku dan aku ingin masuk ke dalamnya.
Setelah berjalan belasan menit aku sudah berada di daerah sepi penduduk. Melewati gereja dan asrama tempat tinggalku dulu. Lagi-lagi memori memanggilku dari kejauhan. Sudah berapa lamakah aku tidak ke gereja? Ah, mungkin hanya Tuhan yang tahu jawabannya.
Pikiran penuh kekhawatiran mengaburkan persepsiku tentang waktu. Karena tanpa sadar aku sudah sampai di areal dataran tinggi. Kulangkahkan kakiku mencari seseorang di deretan nama yang tertulis di sana. Nafasku terengah dan rasa lelah membakar kakiku, namun tidak dengan semangatku. Tak berapa lama aku menemukan apa yang kucari.
Aku jadi paham kenapa ia diletakan di sini. Pemandangan dari tempatku berdiri sangat asri. Di kejauhan dapat kulihat danau yang memantulkan langit di permukaannya yang biru kehijauan. Dapat kuingat dulu ketika jiwa remaja masih menggebu dan testosteron meracuni tubuhku, kebodohan manis kami buat di sana dan aku jadi terusir karenanya.
Kubuka ranselku dan kukeluarkan gantungan kunci dengan ornamen monas di dalamnya. Ide yang buruk Bagas, dari sekian banyak barang yang bisa kau bawa, ini yang kau berikan? Kuletakan gantungan kunci itu, tepat di antara dua gelas kecil yang ada di depan aksara cina. Sepertinya baru diadakan upacara sembahyang di tempat ini. Masih ada sisa abu pembakaran uang-uangan kertas dan beberapa hio masih nampak baru nan merah.
Tiba-tiba angin berhembus, membawa abu tadi terbang. Seketika sengatan rasa bersalah terbersit di mataku. Kuucapkan maaf berkali-kali di dalam hati.
***
Kupandangi dengan seksama air sungai yang menggenang di atas Batu, tempatku sering merenung dulu. Sayangnya air sungai tengah pasang dan tidak membiarkanku duduk termenung di tempat favorit itu. Dengan berat hati aku beranjak. Menginjak dedaunan kering yang menutupi permukaan tanah.
Seingatku tempat ini dipenuhi pohon dulu. Entah mengapa sekarang tempat ini terasa lapang, tidak menyesakkan seperti dulu. Jangan bodoh Bagas, dari dulu bukan Senjau maupun hutan ini yang menyesakkan, tapi perasaanmu sendiri. Diam-diam aku tersenyum pilu. Membayangkan betapa waktu yang berubah membawa perasaan nostalgia yang teramat sangat padaku.
Beberapa bocah nampak berlarian di tepi jalan. Mau tak mau aku mengingat Bagas kecil yang dulu pun berlarian dengan Mardi di tepian jalan yang sama. Dan sebuah pemahaman menghantam ingatanku seketika. Anak Mey dan Saul pasti seumur mereka sekarang.
Aku tidak mau memikirkan lagi lelaki itu. Maka dengan bergegas aku menyeberang jalan menuju sebuah tempat yang tak pernah hilang di dalam pikiranku, rumah Tuhan yang seakan-akan terus memanggilku dari kejauhan.
***
Tidak ada hal yang dapat mengubah kenangan. Serpihan memori akan membangun ingatan secara perlahan. Sejatinya, hidup manusia demikian, tertata dari masa lalunya sendiri. Semua itu yang akan menentukan masa depan.
Tidak ada hal yang dapat mengubah kenangan, kecuali kenyataan.
Dan kenanganku perlahan-lahan berubah.
Gereja tua itu masih berdiri kukuh. Benar-benar tidak ada yang berubah dari gedungnya, kecuali ornamen-ornamen kecil yang dipasang untuk menambah segi estetika. Aku berdiri, atau lebih tepatnya mematung di pelataran tempat ini. Dari sudut mataku kulihat asrama gereja. aku tertegun, semilir angin menggoyangkan tumpukan kertas yang kubawa. Surat-surat yang kutulis untuk lelaki itu selama tujuh tahun terakhir, ungkapan hatiku yang mungkin tak akan sempat tersampaikan. Segera saja kurasakan mataku basah. Lalu tanpa sadar, pikiranku mulai dibanjiri kenanganku tentang dirinya. Senyumannya, matanya, bibirnya ….
Aku memejamkan mataku. Seakan-akan dengan begitu waktu akan berputar dan semua perasaan yang dulu pernah kumiliki kembali terulang. Namun, kenyataan dengan kejam telah menarikku dari khayalan. Ah, apa yang kupikirkan? Aku tidak datang ke sini untuk mengenang masa lalu, walaupun tidak dapat kusangkal betapa besar rasa rinduku kepada lelaki itu. Takdir yang kejam telah membangun tembok raksasa di antara kami, sehingga dengan sangat terpaksa aku harus melepaskannya.
Ah, kenangan itu memang sangat menyakitkan. Sudah tujuh tahun aku meninggalkan desa ini. Lagi-lagi, lelaki itu yang menjadi alasan kepergianku. Sudah tujuh tahun juga aku hidup menyendiri. Dan kalian pun pasti sudah tahu alasannya. Rasa cintaku kepadanya telah berakar kuat di dalam hati ini. Jika aku mencabut dan menggantinya, dapat kupastikan, hati ini akan rusak dan tak akan bisa lagi ditanami cinta yang lain.
Aku melangkah masuk ke dalam gereja itu. Lantai kayunya telah berganti menjadi lantai semen. Mataku basah lagi. Terlebih ketika aku melihat bangku tempat kami biasa duduk dahulu. Aku mengusap air mataku, mencoba sejenak mengusir bayangan lelaki itu, lalu mulai menyerap kedamaian yang mengambang memenuhi tempat ini. Aku terus melangkah ke dalam sakristi atau yang biasa lelaki itu sebut bilik pendosa. Aku duduk di bangku yang ada di dalam, kemudian membuat tanda salib, dan berkata:
“Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita daripada segala dosa.
Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada dalam diri kita.
Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”
Aku terdiam sejenak, sedikit terkesima menyadari aku masih dapat membaca pahatan pudar ini dari relung otakku.
“Bapa, pengakuan saya yang terakhir adalah ….”
Aku ingat terakhir kali aku membuat pengakuan dosa adalah saat peristiwa itu terjadi. Dan, bayangan lelaki itu kembali muncul, tetapi kali ini bersama bayangan lain yang ikut menyeruak dari lapisan terdalam otakku. Tidak. Aku menghela napas, mencoba berkonsentrasi.
“Bapa, pengakuan saya yang terakhir adalah tujuh tahun lalu. Saya mengaku kepada Allah yang Maha Kuasa, kepada Bapa, dan seluruh umat Allah yang kudus, bahwa saya telah berdosa dengan pikiran dan perkataan dengan …”
Aku tidak dapat menyelesaikan Liturgi Tobat karena tiba-tiba pembatas sakristi terbuka. Kurasakan nyawa ini tiba-tiba lepas dari tubuhku karena yang kulihat di balik pembatas itu membuat jantungku terjun bebas dari rongganya. Lalu, dengan sedikit kesadaran yang masih menempel di diriku, aku berkata, “Haleluya!”
***
Saul
“Aso, Key udah bangun?” tanyaku pada Aso Fey yang berjarak puluhan kilometer.
Terdengar suara mobil sejenak sebelum Aso menjawab, “Belum Saul. Tadi pergi sama chi chong kamu beli kue di pasar. Kamu jam berapa mau ke sini?”
“Agak siangan ya,”
“Cincin kamu belum ketemu ya?” tembak Aso Fey secara tiba-tiba.
“Ketemu kok, So, pasti ketemu. Ini Saul lagi jalan ke gereja.”
“Yaudah awas ya kalau hilang, tar mama ngomel pasti Aso juga kena. Kamu telpon nanti lagi ya kalau Key pulang Aso SMS.”
Setelah mengucap selamat tinggal aku mematikan pembicaraanku. Aku tengah mendaki bukit kecil tempat Mey dimakamkan. Beberapa hari lalu aku dan Mama baru saja mengadakan sembahyang di tempat ini, serta membersihkan kuburan Papa yang meninggal dua tahun lalu. Pada akhirnya Mey tetap dikuburkan dengan cara Tionghoa walaupun kadang aku akan meminta Om Markus, pendeta di Senjau, untuk berdoa di tempat ini.
Saat akan mencabut hio yang kuletakan beberapa hari lalu, aku melihat benda asing di sana. Sebuah gantungan kunci dengan miniatur monas kecil. Kuambil benda itu dengan rasa heran. Siapa yang meletakkan gantungan kunci itu disini?
Keheranan itu masih kubawa saat aku berjalan ke arah gereja. Aku yang lahir dan besar di Jakarta saja belum pernah mengunjungi monas. Lantas siapa yang membawa bagian kecil hidupku itu ke tempat ini? Terlebih lagi ke kuburan Mey?
“Sudah lama kamu menunggu saya, Saul?” Sebuah suara masuk ke dalam telingaku, membangunkanku dari lamunan.
“Baru jak sebentar, Father,” jawabku singkat.
“Saya buru-buru. Kamu bilang ada kamu punya barang tinggal dalam sakristi?” ujarnya terbata.
Aku mengangguk sambil tertawa. Father Simone adalah seorang misionaris asal Prancis yang ditugaskan di desa ini beberapa bulan lalu. Tentu saja bahasa Indonesianya, dengan kombinasi logat Prancis yang kental, masih berantakan.
“I left my belonging at that chamber of sinner,” jawabku sambil menunjuk ke arah sakristi.
“Oh, we found nothing. Just go inside and search for it. Saya harus pergi ke sungai seberang, ada kejadian sana.”
“Oke, hati-hati, Father.”
“Bagaimana kamu? Punya rencana apa hari ini, selihat saya kamu tidak kerja di lumpur ini hari.”
“No, Father. Saya mau jemput anak saya di Sintang.”
Anak kami memang sengaja kutitipkan pada Cece Fey di sana. Pendidikan di tempat itu tentunya lebih baik daripada di desa kecil ini. Walaupun Senjau mulai menggeliat beberapa tahun belakangan, tetapi tetap saja aku ingin yang terbaik untuk anakku.
Tepat saat aku telah berbalik dan berjalan beberapa langkah, dia berkata lagi, “Oh, and by the way, happy birthday, Saul. Joyeux anniversaire.”
Aku tersenyum dan melambai kepadanya. Kemudian, aku berjalan masuk ke dalam sakristi atau bilik pengakuan dosa. Saat misa terakhir, aku membuat pengakuan dan menjatuhkan cincin kawinku ke dalamnya.
Jariku menggapai ke bawah bangku dengan susah payah. Bilik ini sangat kecil, bahkan lebih sempit dibandingkan jamban terapung. Akhirnya, ujung jariku menyentuh sebuah logam dingin. Namun, semakin aku berusaha meraihnya, benda itu justru semakin terdorong masuk ke dalam.
Aku berdiri. Nafasku sesak karena terlalu lama membungkuk dan kurangnya oksigen di ruangan kecil ini. Dalam percobaanku yang ketiga, barulah aku sadar cincin itu pasti telah masuk ke dalam celah di bawah pembatas sakristi dan berpindah ke bilik sebelah. Dengan sedikit ragu, aku keluar dan masuk ke bilik sebelah.
Aku tak tahu apakah ruangan ini boleh dimasuki atau tidak. Dengan tergesa-gesa, aku membungkuk dan berusaha menemukan cincin itu. Tak berapa lama, aku berhasil mendapatkannya. Untuk sesaat, aku duduk di dalam bilik itu sambil mengibaskan kausku menghalau rasa gerah yang menyelimuti tubuhku.
Tiba-tiba, aku mendengar pintu sakristi di sampingku terbuka dan seseorang melangkah masuk ke dalamnya. Aku terdiam menahan napas. Orang itu pasti mengira aku pastor yang sedang membuka pelayanan pengakuan dosa hari ini. Aku hendak segera keluar, tetapi orang itu telah memulai pengakuan dosanya.
“Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa.”
Hatiku mencelos. Aku seperti mengenal suara lelaki itu.
“Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada dalam diri kita.”
Ya, aku memang mengenal suara lelaki itu. Tiba-tiba saja mataku memanas disusul munculnya berjuta kenangan dalam kepalaku.
“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”
Buru-buru kuhapus air mataku saat suara itu berlanjut. Kubuka pembatas sakristi. Mata itu terkejut memandang mataku.
“Haleluya!” katanya.
***
Kami berjalan dengan canggung. Waktu memang membuat manusia berubah, tetapi tidak dengan perasaan kami. Aku yakin betul itu. Namun, untuk membuat perasaan kami menyatu seperti bertahun-tahun yang lalu, aku tidak tahu caranya.
Ia telah menjelma menjadi seperti diriku ketika pertama kali ke tempat ini. Aku pun telah berubah menjadi anak kampung laiknya ia dahulu. Kami bertukar posisi. Rasanya aku ingin tertawa kalau suasananya tidak sekikuk ini.
Setelah aku memeluk dirinya dan menangis di dalam gereja—aneh sekali rasanya lelaki berusia seperempat abad sepertiku masih dapat menangis tersedu-sedu seperti itu—aku mengajaknya mampir ke rumahku. Terpaksa aku membatalkan perjalananku ke Sintang. Dia pun mengurungkan niatnya untuk langsung pulang setelah pemakaman ibunya, satu-satunya alasan ia kembali ke desa ini.
Tiba-tiba aku mendengar suara gedebuk pelan. Saat aku menoleh, kudapati dia terjatuh, seperti kali pertama kami bertemu. Ia terdiam di aspal, menahan malu. Aku tertawa. Aku mengulurkan tanganku. Dia menyambutnya dengan sedikit ragu.
“Kau ndak apa-apa, Gas?”
Ia menggeleng. “Sejak kapan kau suka basa-basi begini? Sudah tahu aku jatuh masih juga kau tanya!”
Kami berpandangan sejenak, lalu kembali tertawa. Sesudah itu, tangan kami berdua terus menyatu sepanjang jalan menuju rumahku.
***
Bagas
Rumah Saul masih sama. Aromanya masih menguarkan kehangatan tiada tara. Kami sedang duduk di belakang teras rumahnya senja itu. Menyesap keindahan mentari jingga yang mengalunkan musik syahdu dari kejauhan.
“Apa kabar kau, Gas?” Saul bertanya pelan padaku.
Pertanyaan itu tak terhiraukan untuk beberapa saat. Aku mengamati lelaki di sebelahku. Menelusuri perubahan-perubahan yang terjadi selama tujuh tahun terakhir. Kulitnya sedikit menghitam terbakar matahari. Tubuhnya tampak berisi dan terlapisi otot, sangat berbeda dengan masa remajanya dulu. Muka sinisnya sudah dilumuri dengan keramahan dan bulu-bulu halus yang kentara. Namun pandangan yang tajam, bibir merah yang nampak basah, dan mata coklatnya tetap sama. Masih mampu menarikku seperti pertama kali kami bertemu.
“Lumayan, baik. Elo…,” aku menutup rahangku cepat. Mengubah perkataanku yang terakhir. “Maksud aku, kau sendiri?”
Ia tersenyum melihat kecanggunganku.
“Seperti yang kau lihatlah, Gas.”
Lelaki itu masih tersenyum ketika aku menggigit pelan bibir bawahku. Kebingungan untuk mengatakan hal yang akan kuungkapkan.
“Maaf!” ujarku pelan pada akhirnya.
“Buat apa?” Saul menatapku bingung.
“Waktu aku pergi begitu aja. Tujuh tahun lalu. Aku minta maaf buat itu!”
Ia menggaruk pelan punggung tanganku. Tangan kami berdua memang sudah menyatu, walaupun aku tak tahu persis kapan kejadian itu bermula.
“Kau ndak perlu minta maaf, Gas. Malah aku yang seharusnya minta maaf ke kau. Atas kejadian dulu!”
Lagi, kami menjadi kikuk sekarang. Mau tak mau aku menyalahkan diriku sendiri karena telah membawa masa lalu hadir di tengah kami.
“Tapi, aku heran Gas. Kemana jak kau selama ini?”
Aku mengangkat mapku untuk menjawab pertanyaannya. Di dalamnya, berlembar-lembar surat telah kutulis untuk Saul selama tujuh tahun terakhir tertidur dengan rapi. Bohong kalau aku tidak mengharapkan lelaki itu membaca. Saul mengambil map itu dan mengeluarkan sepucuk surat dari dalamnya.
“Boleh kubaca?”
Aku mengangguk. Dan kemudian, ia mulai memanggil masa laluku dengan mantra yang ia lantunkan dari lembaran hitam itu.
Senjau plus empat belas jam.
Lihat kan Saul. Belum sehari aku beranjak dan aku sudah merindukanmu.
Aku sedang melihat Sungai Kapuas sekarang. Dan tiba-tiba saja aku jadi berpikir, apakah air yang mengalir di depanku sekarang ini adalah air yang sama yang kusentuh tadi pagi dari perahu Pakde? Maksudku, kami sama-sama pergi dari Senjau ke Pontianak. Meskipun jalan yang kami tempuh berbeda. Tapi mungkin saja kan? Ah sudahlah, mungkin saja aku hanya beranggapan seperti itu hanya untuk mengusir rasa rinduku.
Aku berhasil sampai di Pontianak, Saul. Dan untuk ukuran anak kampung yang belum pernah melihat kota besar. Aku terkesima. Dan mau tak mau aku harus membayangkan, seperti apa kiranya Jakarta. Apakah sebesar dan sebagus yang kau ceritakan? Ada banyak mobil dan motor yang berlalu lalang di sini. Dan jalanannya, jalannya sangat besar Saul. Belum lagi jembatannya. Dari atas bus yang melaju aku melihat banyak sekali lampu. Baik yang berjejer di atas permukaan sungai maupun yang terpantul di permukaan sungai. Sungguh, Senjau amat sangat kecil bila dibandingkan ini semua.
Aku sedang duduk di tepian sungai. Tempat ini mereka namakan Korem. Jangan tanyakan aku apa artinya. Orang-orang yang kutemui di jalan berkata kalau tempat ini adalah Taman Alun Kapuas, sebuah taman yang dibangun tepat di tepian Kapuas. Dan lagi-lagi, aku melihat Kapuas yang hitam dan dipenuhi pantulan lampu di seberang sana. Indah sekali, Saul. Melihat sungai seperti ini selalu berhasil menenangkan perasaanku. Kau pasti masih ingat itu kan?
Satu hal yang jelas, tempat ini adalah tempat tidurku malam ini. aku tidak membawa banyak uang Saul. Dan mungkin setengahnya akan kuhabiskan untuk pergi menaiki kapal ke Jakarta. Taman ini terletak tepat di sebelah pelabuhan. Besok aku akan berangkat ke kota tempat di mana kau dilahirkan.
Dan…
Dan...
----------------------------------------------
----------------------------------------------
Apa aku akan berhasil Saul?
Apakah aku bertindak bodoh sekarang? Jujur, aku tidak yakin berapa lama aku akan bertahan. Aku sama sekali tidak mempunyai rencana apapun. Apa yang akan kulakukan sesampainya aku akan berada di Jakarta? Kau sering berkata kalau ibu kota itu sangatlah kejam. Lantas, apa yang dapat dilakukan bocah bodoh sepertiku? Yang bahkan belum juga lulus dari SMA.
Sepanjang perjalanan tadi aku ingin sekali kembali, Saul. Kau tahu, aku takut. Belum pernah sekalipun aku merasakan ketakutan yang luar biasa seperti ini. Apa ini rencana Tuhan bagiku? Om Philip dulu pernah berkata kalau takdir manusia berada di ujung usahanya. Berhasilkah usahaku ini? Yang seakan-akan mempermainkan takdir dengan cara berlari menjauhinya?
Tiba-tiba aku teringat, malam ini adalah malam pertamamu dengan Mey. Bagaimana rasanya Saul? Menjadi seorang suami dan calon ayah. Rasa-rasanya aku ingin bertanya langsung padamu. Mengingat aku tidak akan pernah merasakan itu semua. Tapi, apa yang kupikirkan. Kita mungkin tidak akan pernah bertemu lagi.
Tapi mungkin jika boleh, datanglah sejenak ke dalam mimpiku, Saul. Pontianak sangat dingin malam ini. siapa yang bilang kalau kota ini akan panas karena dilintasi garis khatulistiwa. Aku sudah memakai jaket, tapi tetap saja aku merasa kedinginan. Karena itu, datanglah sebentar ke dalam mimpiku. Aku yakin walaupun hanya dalam mimpi kau menemuiku. Hatiku akan terasa hangat dan malamku akan menjadi indah.
Namun bolehkah? Mey tidak akan marah kan? Toh dia bisa memilikimu di dunia nyata.
Mungkin itu saja yang dapat kutulis Saul. Aku bingung, aku tidak pandai menulis. Tapi mencurahkan perasaanku seperti ini benar-benar menenangkan. Mungkin kau harus mencobanya sekali waktu.
Selamat malam, sampaikan salamku pada Mey dan Saul kecil yang ada di dalam perutnya.
Lelaki bodoh yang selalu merindukanmu
Bagas Christian
***
Saul
“Kau capek ‘kah, Gas?” tanyaku sambil menimang-nimang tumpukan surat yang ada di pangkuanku. Rasa-rasanya tidak mungkin dapat kubaca semua surat ini sekali duduk.
“Lebih ke arah gerah sih. Boleh numpang mandi gak, Saul?”
Aku mengangguk cepat sambil menunjuk ke pojokan belakang, “Itu, kamar mandinya di sana!”
Bagas, entah mengapa, sepertinya termangu mendengar perkataanku.
“Sejak kapan ada kamar mandi di rumah ini?”
“Sejak aku sadar kalau mandi di sungai itu bahaya buat anak aku!” aku menyengir ke arahnya.
Bagas menarik kakinya yang menggantung bebas sedari tadi dan berdiri di sampingku. Merenggangkan tangannya sembari menarik nafas perlahan. Dan aku semakin sadar kalau ia memang lelah. Dari perjalanannya kembali ke desa ini, dan sebagian besar, dari perjalanan hidupnya yang belum kuketahui.
“Kayaknya aku mandi ke sungai aja, Saul. Udah lama gak mandi di sungai. Kau pasti tahu kan sungai ciliwung itu gak bisa dipakai orang buat mandi!”
Aku tersenyum mendengar candaannya. Kemudian turut mengangkat kakiku dan berdiri. Berjalan masuk ke rumah dan mengambil perlengkapan mandiku di dalam gayung. Ketika aku kembali berada di luar. Bagas tengah berjongkok di depan salah jajaran pot yang ditanami delapan dewa.
“Itu, meme yang tanam di sana!” ujarku perlahan.
Bagas menolehkan kepalanya dengan cepat menghadapku. Sepertinya ia kaget dengan penjelasanku yang datang tiba-tiba.
“Meme?”
“Mamanya Mey. Itu panggilan aku buat dia!” jelasku ketika ia berdiri menghampiriku. “Ini peralatan mandinya. Handuknya ada ndak?”
Ia mengangguk perlahan, “Tolong hidupin lampu di bawah dong. Kau ada senter kan?”
Aku kembali masuk ke dalam. Mencolokkan steker lampu dan mengambil senter kecil. Keadaan listrik di desa ini sudah sedikit membaik sekarang. Memang pemadaman masih sering terjadi. Namun intensitasnya tidak sebesar dulu. Aku hendak keluar dan memberi senter kecil itu pada Bagas. Tetapi sesampainya di luar. Aku terpaku. Bagas, walaupun sudah tujuh tahun tinggal di kota besar, masih belum melupakan kebiasaan mandinya. Ia hanya mengenakan celana dalam saja. Membiarkan kulit telanjangnya bebas dicumbui angin sore hari. Kulit yang bertahun-tahun tak pernah kulihat itu semakin kokoh. Uratnya semakin mengular dengan perkasa. Mungkin ekspresiku menampakkan kebodohan yang amat sangat saat kusadari Bagas sudah berdehem dan menatap heran kearahku.
“Ehm…,” aku berdehem sumbang sambil memberikan senter kecil itu padanya.
“Aku mandi lok. Kau di sini aja, ndak usah kawankan aku!”
Dan dengan begitu, ia melangkah turun dari teras belakang rumahku. Dengan kelincahan yang sama seperti bertahun-tahun lalu, dengan mudahnya ia menuruni bantaran sungai. Namun perbedaan mulai nampak. Ia menapaki thew pan seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
Untuk sesaat, aku teringat apa yang telah kulupakan hari ini. dengan segera aku masuk ke dalam rumah. Sekaligus berusaha menghamburkan pikiranku tentang tubuh polos Bagas yang basah diterangi sinar mentari senja.
***
“Iya so! Saul ndak jadi ke Sintang hari ini. Mungkin besok atau lusa jak baru Saul lihat Key di sana!” ujarku di tengah desauan asap dari kangkung yang kutumis.
“Tapi kamu kan tahu Saul Aso mau ngajak dia ke Pontianak sama Chi Chong kamu besok! Tunggu sebentar, ini Key mau ngomong sama kamu!” suara Aso Fey puluhan kilometer dari tempat ini tampak menjauh dari speaker handphoneku. Tak berapa lama, suara celotehan dari Key, buah hati yang paling kucintai di dunia ini terdengar manis di telingaku.
“Pa, papa kapan ke sini? Katanya mau ngajak Key jalan-jalan! Papa kan udah janji mau ngasih Key hadiah kalau juara lagi semester ini!” ujarnya memberondong pertanyaan.
“Iya Key, selamat ya! Papa tiba-tiba harus mengurus hal lain. Ninak papa cari waktu lagi buat kesana!” jawabku sambil memutar knop kompor.
“Papa jahat!” serunya tiba-tiba. Membuat rasa bersalah semakin menghujam jantungku. “Katanya Papa mau datang! Papa udah ingkar janji. Padahal kan besok Key udah mau pergi sama meme dan pakpak!
Key terus berceloteh selagi aku mengambil piring untuk menaruh tumis kangkung. Setelah beberapa menit, suara asoku kembali terdengar di telepon.
“Iya Key, Papa minta maaf banget. Kamu mau hadiah apa nanti papa belikan!”
“Key mau papa!” ujarnya polos. Dan membuat rasa bersalahku semakin menjadi-jadi.
“Bulan depan, papa janji akan pergi ke tempat kamu!”
“Benar? Janji sejuta?”
Aku tersenyum sebelum menjawab, “Janji sejuta!”
Dapat terdengar suara keresekan kecil sebelum akhirnya suara Asoku kembali terdengar. “Saul, besok malam kami pergi ya! Mungkin seminggu ke sana. Soalnya Key cuma libur seminggu!”
“Oh iya, So. Saul nitip Key ya!”
Aku mendengar papan yang berderit karena terinjak. Bagas telah masuk ke dalam rumah sembari menutup pintu belakang. Lalu masuk ke kamar kosongku dan berganti baju di sana.
“Oke beres. Pokoknya nanti Aso hubungi lagi kalau Aso mau turun ya. Dah!”
Tepat pada saat telepon dimatikan. Bagas keluar dari kamarku. Menatapku yang masih memegang handphone di satu tangan dan sepiring tumis kangkung yang masih mengepul di tangan yang lain.
“Kau pasti lapar kan?” tanyaku perlahan.
***
Bagas
Saul sedang berbicara dengan telepon genggamnya sambil menumis sesuatu saat aku masuk ke dalam rumah. Setelah menutup pintu belakang dan masuk ke kamar Saul untuk mengganti baju, aku keluar dan mendapati Saul menatapku dengan telepon genggam dan sepiring sayuran di masing-masing tangannya.
“Kau pasti lapar kan?” ia bertanya padaku.
Aku mengangguk, tentu saja aku lapar. Walaupun aku tahu sekali kalau tubuhku menyamarkan rasa itu dengan gelisah dan kekhawatiran yang amat sangat. Ia berjalan dan menaruh piring itu di atas meja makan. Setumpuk kangkung yang mengepulkan asap tipis dan aroma hijau yang menggugah selera. Aku menjatuhkan tubuhku di kursi ruang makan sementara Saul mengambil piring dan menyerahkannya padaku.
“Ambil sendiri nasinya, karena aku ndak tahu seberapa besar kau lapar!”
Aku kembali membalas senyumannya. Membuatku teringat kalau dulu, delapan tahun yang lalu, senyum itu sangat jarang ia umbar. Dan sekarang, lengkungan bibir itu senantiasa bersinar seperti mentari di Borneo ini. Menyinarkan hangat yang tiba-tiba saja merekah di relung hatiku.
Ia terus mengamati sementara aku menciduk nasi ke dalam piringku. Sejujurnya aku tidak mau menjadi ge-er atau apapun. Tapi Saul menghidangkan dua sayur kesukaanku yang sudah dapat kutebak ia masak sendiri. Tumis kangkung dan ikan seluang goreng.
“Ada banyak cerita yang harus kita kejar, Gas. Kemana jak kau selama ini!” ujarnya saat gilirannya untuk mengambil nasi telah tiba.
“Aku pergi ke Jakarta!” jawabku singkat sambil mengambil sesendok kangkung masuk ke dalam piringku.
“Aku baru sempat baca surat kau yang pertama. Maksud aku yang kedua kalau menghitung surat pertama yang kau kasih ke Pakde dulu,” canggung sesaat, suara desauan angin tampak mengalunkan orkestra di antara kami berdua. “Jadi, selama ini, sampai tadi siang di perahu itu pun, kau terus nulis surat ke aku ya Gas?”
Aku hanya mengangguk mendengar pertanyaannya, “Ya, maksudku, semuanya ada di tangan kau Saul. Kalau kau memang penasaran dengan apa yang kulakukan selama tujuh tahun ini. Semua jawabannya ada di sana.”
Ia terdiam, aku pun terdiam. Yang terjadi selanjutnya adalah suara kunyahan dan dentingan sendok kami berdua. Sungguh, ini adalah perasaan yang terjadi tepat delapan tahun lalu. Saat aku baru saja diserahi tugas oleh Pak Ri untuk mengenalkan Saul ke sekolah kami dan aku bahkan tidak tahu harus berbicara apa pada lelaki ini.
“Kau tahu,” ujarku tiba-tiba memecah keheningan, “harusnya kau yang mulai bercerita, Saul. Karena dari apa yang kulihat, kau nggak nulis surat atau buku harian yang bisa kubaca sendiri kan?”
“Ah,” desahnya pelan, ”jadi apa yang mau kau tahu!”
“Kau yang bercerita, Saul. Ceritakan apa saja dan aku akan mendengar.”
“Oke,” ia terdiam sesaat, “seperti yang kau lihat, aku udah berumur lebih dari seperempat abad sekarang. Ehm, aku kerja di penambangan emas. Anak aku perempuan, namanya Key. Dia sekolah di Sintang sekarang. Kelas satu SD. Dan Mey, dia meninggal waktu ngelahirin Key. Mungkin kau baru tahu sekarang…,”
“Aku tahu Saul. Bertahun-tahun lalu!” potongku.
“Darimana kau bisa tahu?” ia bertanya bingung.
“Suratnya, Saul. Semua aku tulis di dalam sana.”
Ia mengangguk, kemudian berdiri ke arah kulkas yang berada di samping kami, “Oh, dan seperti yang kau lihat. Aku punya kulkas di sini!”
Ia tersenyum sambil menuangkan air dingin ke dalam gelasku. “Jadi, kapan kau mau balik ke kampung kau Gas?”
“Belum tahu,” pandangan mata kami bertubrukan, “sejujurnya, aku takut buat balik lagi!”
“Tapi ibu kau, dia…,”
“Udah meninggal. Iya aku tahu. Mungkin aku cuma bisa ngelihat gundukan makamnya. Tapi toh pergi besok atau bulan depan juga sama kan, Saul. Umak udah jadi mayat dan kedatangan aku gak akan ngerubah itu semua!”
Ia menundukkan kepalanya. Rasa bersalah tampak menguar dari sekujur tubuhnya. Seakan-akan ialah yang membunuh umakku.
“Aku, kalau kau gak keberatan, boleh nginap di sini kah malam ini?”
Ia mengangkat kepalanya lebih cepat dari loncatan ikan dari dalam sungai.
“Boleh, tidur di kamar aku aja!” aku menatap matanya, “maksudnya kau sendiri, aku bisa tidur di kamar satu lagi.”
“Gak usah Saul. Kasih aja aku bantal sama selimut, biar aku tidur di kamar Ibu encik yang dulu!”
Saul mengangkat kedua tangannya seakan-akan aku menodongkan pistol ke arahnya. “Oke, oke. Kalau kau dah bilang begitu. Aku bisa bilang apa lagi!”
Sesudah menghabiskan makan malam terenak yang sudah lama tak kucicipi selama bertahun-tahun. Saul mengeluarkan beberapa bantal dan selimut serta kasur tipis dan membawanya ke kamar tamu. Kemudian ia memperhatikanku secara seksama ketika aku merapikan kasur tipisnya.
“Oh iya Gas, aku lupa bilang kalau selama ini aku belum punya kesempatan buat ngomong ini. Dan mungkin sekarang bukan waktu yang tepat. Tapi, aku minta maaf atas semua yang udah terjadi…,”
“Selamat malam, Saul!” ujarku cepat memotong perkataannya.
Setelah Saul membalas ucapan selamat malamku dalam kikuk dan kegagapannya. Ia pergi sambil mematikan lampu ruangan. Di tengah kegelapan yang mencekam dan suara malam yang semakin kelam. Barulah aku menyadari kalau aku sudah pulang, benar-benar pulang.
***
Saul
Lolongan anjing malam itu membangunkanku, ralat, aku terbangun sedari tadi. Dan lolongan anjing tadi seakan-akan mengingatkanku pada satu kenyataan, aku tidak akan dapat tertidur cepat malam ini.
Kubawa selimutku keluar melewati kamar yang ditempati Bagas. Memperhatikan sosoknya dalam kegelapan malam. Aku terus berjalan sampai menuju belakang rumah. Perlahan kubuka pintunya agar tidak berderit. Desauan angin tiba-tiba menyapa sekujur tubuhku. Membuatku terasa ‘bangun’ seketika. Di teras rumahku yang menghadap Sungai Kapuas itu. Aku duduk dan termenung.
Kuperhatikan bagaimana bayangan bulan terpecah di permukaan sungai. Seperti biasa sungai seperti merefleksikan apa yang kurasakan. Malam ini ketenangannya terasa mengganggu hatiku yang tiba-tiba penuh. Dan alasannya tengah tertidur pulas, yang satu tertidur selamanya di dalam kubur dan yang satu lagi tertidur sementara di kamar sebelahku.
Semenjak kematian Mey aku menghabiskan banyak waktuku dengan membaca. Satu hal yang pernah kubaca adalah quarter life crisis dan entah mengapa meskipun hari ini aku telah selesai menjalani umur dua lima, rasanya krisis kehidupan ini senantiasa membayangiku.
Kurapatkan selimutku, menghalau angin malam yang menggigit kulitku. Kembali kuamati bagaimana gemintang nampak lebih banyak malam ini. Aneh rasanya, bertahun-tahun tinggal di desa ini dan tak pernah kusadari bahwa bintang tampak lebih terang di Senjau.
Suara pintu yang berderit menyadarkanku dari lamunan. Bagas menaruh tubuhnya duduk di sebelahku, “kau gak tidur, Saul?”
Kugeser dudukku pelan dan membagi selimutku padanya. Dapat kurasakan hangat tubuhnya beresonansi di kulitku. Aku seperti terbuai dalam mimpi sesaat.
“Aku ndak bisa tidur, Gas.”
Malam itu gelap dan aku tidak bisa melihat jelas wajahnya, pun tubuhnya. Namun kehadirannya terasa nyata, sedari tadi aku sudah bersiap untuk terbangun seakan-akan ini semua hanyalah mimpi.
“Apa yang kau pikirkan, Saul?”
“Semuanya, Gas. Tahu ndak sih rasanya baru kemarin aku ketemu kau bah di perahu Pakde. Sekarang bertahun-tahun kemudian kita kembali duduk berdua. Menghalau angin sambil termenung menatap Kapuas dengan pikiran masing-masing. Aku cuma berpikir waktu itu jahat kali Gas. Tiba-tiba jak kita dah jadi dewasa sekarang.”
Dapat kudengar Bagas menghela napasnya perlahan dan tertawa kecil sambil berkata, “Belum lagi dulu kita dipaksa dewasa oleh takdir ya, Saul.”
“Ohiya, gantungan kunci monas di kuburan Mey itu kau yang bawakah, Gas?”
“Maaf ya Saul itu bodoh sekali ya. Kayak pas sampai di kuburan Mey aku baru sadar kok aku bawa hadiah aneh banget ya. Gak sebanding dengan apa yang kuperbuat ke dia.”
Kugesek sikuku perlahan ke lengannya. Mencoba memberi sedikit penghiburan, “Jangan merasa bersalah lagi ke Mey, Gas. Kejadiannya juga udah lewat bertahun-tahun lalu.”
“Boleh aku nanya sesuatu, Saul? Gak kamu jawab juga gak apa-apa kok.”
“Kamu bebas nanya apa jak ke aku, Gas. Akan kujawab selama aku mampu.”
“Aku cuma dengar kabar Mey meninggal, tapi gak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Napas panjang kuhela perlahan, “Ceritanya bakal panjang, Gas.”
“Aku punya waktu untuk mendengarkan kok.”
“Dulu itu Key lahir prematur. Entah kenapa aku ngerasa takdir itu jahat banget ke aku. Dulu papaku harus milih antara aku atau mama, kemudian aku juga dihadapkan pada pilihan yang sama, Mey atau anak kami. Waktu itu aku memilih Mey.”
Aku terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Akhirnya Mey pun dicaesar. Tapi tubuh Mey ndak kuat, Gas. Anak kami pun harus diinkubasi beberapa minggu sebelum bisa dibawa pulang ke sini. Suatu keajaiban sebenarnya kenapa malah anak kami bisa hidup. Waktu itu rasanya kosong banget Gas. Mey pergi, pho-pho pergi, orang tuaku pergi,” aku menghadap wajahnya sesaat, “kau juga pergi, Gas.”
“Kosong banget rasanya. Tapi pas aku lihat anak kami dan tersadar kalau Mey bahkan belum sempat melihat anaknya, aku tahu tujuan hidupku sekarang cuma satu, merawat anak kami sampai besar. Aku sudah berjanji ke diri sendiri bakal jadi papa yang baik kayak papaku yang dulu ngebesarin aku sendirian.”
Kali ini Bagaslah yang menggesekkan sikunya ke lenganku. Entah mengapa suasana malam menjadi lebih hangat dibanding sebelumnya.
“Dulu aku sempet kesal banget sih, Gas. Apalagi dengar orang-orang bilang ‘sabar ya Saul, Tuhan lebih sayang sama Mey’ tapi aku butuh Mey waktu itu. Kalau Tuhan sayang sama Mey, harusnya dia biarkan Mey hidup dan mengejar cita-citanya. Dia meninggal di hari yang sama dia keterima di UGM, Gas. Kau bisa bayangkanlah betapa hancurnya aku saat itu. Tahu sendirikan gimana ambisi Mey waktu itu untuk jadi perempuan pertama di desa ini yang kuliah.”
Akhirnya kuhentikan ceritaku dengan nafas sedikit memburu.
“Maaf ya, Saul,” bisik Bagas di sebelahku.
“Sekali lagi kau minta maaf Gas aku minta bayaran ya. Sudah berapa kali kau minta maaf ke aku seharian ini?”
Tawa kecil kami mewarnai malam kelam itu.
“Aku sebenarnya ingin dengar langsung dari mulut kau, Gas. Kemana jak kau selama ini. Tapi aku bakal baca surat kau dulu dan bertanya setelah semuanya kubaca.”
“Harusnya kau bertanya dulu kenapa aku tiba-tiba terbangun, Saul.”
Aku kembali tertawa mendengar pernyataan polosnya, waktu mungkin berlalu dan umur kami mungkin bertambah namun lelaki di sebelahku tetaplah Bagas yang dulu. “Oke, kau kenapa tiba-tiba terbangun, Gas?”
“Selamat ulang tahun, Saul! Ini masih belum berganti hari kan? Akhirnya aku sempat mengucapkan ini langsung ke kau.”
Bahkan dalam temaramnya cahaya bulan aku dapat melihat ia menyeka matanya yang berkaca-kaca. Aku merangkul tubuhnya dalam selimut yang membawa kehangatan kepada kami berdua.
“Terima kasih banyak, Gas.”
“Aku mau bilang maaf lagi ya, Saul, sekali lagi aja. Maaf aku gak bawa kado apa-apa.”
“Gak perlu kok, Gas. Kita sudah dewasa ini. Yang penting doa aja buat aku.”
“Pasti Saul,” jawabnya mantap, “pasti.”
Kurapatkan kembali rangkulanku sambil meremas bahunya perlahan. Kami terdiam memperhatikan bayangan bulan, sibuk dengan pikiran masing-masing. Bagas mungkin tidak akan pernah menyadari bahwa kepulangannya ke desa ini mungkin adalah kado terindah yang diberikan semesta untukku.
Untuk sesaat, di dunia kecil milik kami berdua. Waktu terasa berhenti.
Dan mungkin menjadi dewasa tidaklah semenakutkan itu.
***
Bagas
Aku berdiri di tengah panggung itu lagi. Namun kali ini hanya gelap yang kulihat. Gelap yang amat sangat kelam dan menyiksa amat dalam.
Namun hitam itu tidaklah berlangsung lama. Tiga lampu panggung itu, tiga lampu yang selalu mengingatkanku untuk tidak berbuat lebih jauh tiba-tiba menyala terang. Memerangi hitam tadi dengan hijau, merah, dan kuning.
Tidak ada penonton kali ini. Satu sosok tiba-tiba berlari masuk ke dalam penglihatanku. Aku terdiam di atas panggung, terpaku dan tersengat emosi. Apalagi ketika sosok itu mengangkat wajah dan tangannya seakan menggapai ke arahku.
Hal berikutnya yang kutahu, aku sudah terbangun. Terengah-engah dan bersimbah keringat dalam pelukan seseorang. Rengkuhannya terasa sangat hangat. Elusan tangannya di pundakku terasa sangat terindukan. Terutama bisikkan halusnya yang berusaha menenangkanku. Tapi kemudian, aku sadar akan identitas lelaki yang memelukku sekarang. Dengan susah payah, walaupun berat, aku melepaskan diri dari dekapannya.
“Kau kenapa Gas?” bisik Saul tepat di depan mukaku.
Aku mengusap keringatku perlahan. Padahal semalaman aku merasa dingin yang menyejukkan. Dan tiba-tiba saja, cuaca menjadi sangat gerah.
“Gak apa-apa, Saul. Cuma mimpi buruk!”
“Yakin Gas? Aku dengar kau manggil-manggil bapak kau dalam mimpi tadi.”
Aku tidak yakin harus berkata apa kepada Saul sekarang. Matanya, dengan tatapan tajamnya yang tak berubah sampai sekarang. Memandangiku dengan penuh selidik.
“Jam berapa sekarang?” tanyaku mengalihkan pembicaraannya.
“Jam lima lewat,” jawab Saul tak yakin. Sepertinya ia ingin menanyakan lagi soal kejadian tadi namun mengurungkan niatnya. “Tidur aja lagi kalau capek!”
“Gak, aku gak bisa tidur lagi kayaknya. Kau udah mau pergikah?”
Ia mengangguk perlahan, “Tapi cuma sebentar aja. Palingan tengah hari aku udah balik!”
“Kau…,” Aku menghentikan perkataanku tepat pada waktunya.
“Aku kenapa, Gas?”
“Gak, gak kenapa-kenapa!”
Akhirnya Saul pun beranjak meninggalkanku. Ia berjalan ke arah dapur sementara aku membereskan kasur kecil yang sangat kuingat merupakan tempat tidurnya delapan tahun yang lalu. Keberadaan kasur tipis ini telah terganti oleh seperangkat spring bed empuk yang tertata anggun di kamarnya.
“Taruh di kamar aja Gas. Di sudut dekat lemari tuh!” teriak Saul dari arah dapur.
Aku mengangkat kasur itu dan menaruhnya dengan segera di tempat yang dikatakan Saul. Ada meja kecil di samping tempat tidurnya. Penasaran, aku mendekatinya dan mengamati empat bingkai foto di atasnya.
Foto yang pertama kuambil dengan bingkai warna putih adalah foto pernikahan Saul. Sembilu dingin menusuk jantungku dengan seketika. Pada saat kejadian ini terjadi, aku tengah berdoa seperti orang bodoh di dalam Gereja. Lengkap dengan tangisan dan ratapan dan segala bumbu-bumbunya. Berharap agar pernikahan ini tidak terjadi. Mau tak mau aku tersenyum. Walaupun bingung mengapa bisa-bisanya aku menertawakan kesakitanku waktu itu.
Mereka berdua berdiri berdampingan di depan altar. Mey tampak sangat cantik di dalam foto ini. Dengan gaun pengantin berwarna putih cerah dan riasan wajah yang minimalis. Sayang sekali tubuhnya terlihat amat sangat kurus. aku yakin orang-orang yang melihat foto ini pasti tak menyangka ia tengah hamil waktu itu.
Kemudian ada Saul. Mengenakan jas dan segala atribut keremajaannya. Bibir merahnya nampak berkilau menembus bingkai kaca yang kupegang. Raut wajahnya sama persis dengan topeng yang ia kenakan saat pertama kali aku menemuinya di dalam perahu Pakde bertahun-tahun lalu. Tak terbaca seperti buku yang masih bersegel rapat.
Aku meletakan foto itu dan beralih ke bingkai ke dua. Di dalamnya ada foto Saul yang nampak lebih dewasa dari foto pernikahannya. Di sudut kanan bawah terdapat tanggal dan waktu diambilnya gambar ini yang tercetak dalam tulisan berwarna kuning gading. Kuhitung-hitung Saul pasti berumur dua puluh tahun waktu itu. Ia sedang duduk di teras depan rumah ini sambil menggendong anaknya. Aku mencermati raut wajah kecil yang nampak gembira di pangkuan ayahnya itu. Wajahnya memang kopian sempurna dari Mey. Namun matanya, yang nampak sipit dan tajam itu adalah sumbangan semesta untuk mengingatkanku kalau anak ini benar-benar anak dari Saul.
Berikutnya adalah foto yang tampak tua sekali. Aku ingat betul foto itu, kedua orang tua Saul terlihat di sana. Karena foto itulah bibirku dan Saul menyapa untuk pertama kalinya. Aku tersenyum haru membayangkannya. Mengingat betapa menegangkan dan melegakannya kejadian itu.
Foto tadi kukembalikan ke tempatnya semula. Dan sungguh, hatiku sudah dilanda gempa bahkan saat aku baru melihat kilasan dari gambar yang ada di foto yang ketiga. Fotoku dan Saul, saat kami sedang berada di danau. Dan aku benar-benar tidak habis pikir kenapa foto ini yang akhirnya ia pajang. Di dalam foto itu nampak jelas aku mencium pipi Saul dengan ekspresi bahagia yang terpancar jelas. Mau tak mau aku pun bertanya, kemanakah perginya keceriaanku yang dulu?
Belum sempat aku mengembalikan foto itu kembali ke tempatnya bersemayam saat Saul memasuki kamarnya dengan menggenggam dua buah gelas. Aroma kopi langsung menyerbak mengalahkan aroma pagi yang terasa dingin di dalam liang hidungku. Ia menatapku pelan sementara aku menaruh foto itu di pangkuanku.
“Kopi?” tawarnya sambil mengulurkan salah satu gelas dan duduk di sampingku.
Aku mengambil mug itu perlahan. Membiarkan kulit kami bersentuhan sedikit. Secepat mungkin aku menundukkan mukaku. Karena aku sangat yakin Saul sedang menatapku dengan ekspresi khas di wajahnya.
“Kau terlalu berani dan bodoh Saul!” ujarku perlahan.
“Kok bisa?”
“Ini,” aku mengangkat bingkai foto itu perlahan, ”kau gak takut apa orang lain bakalan liat?”
Ia mengambil bingkai itu dariku, “Apa lagi yang perlu aku takutkan, Gas? Lagipula gak ada orang lain yang berani masuk kamar ini!”
Aku memperhatikannya meneliti foto itu dengan telunjuknya dan mendesah pelan, “Setiap malam sebelum tidur, Gas. Aku akan ngeliat semua foto itu. Kalian semua adalah bukti nyata kalau aku gak sendiri di dunia ini. Kalian mencintai aku. Dan aku pun mencintai kalian. Dan rasa cinta cinta sebesar itu gak mungkin akan hilang dalam sekejap. Untuk sesaat, kenyataan kalau cinta itu ada di hidupku membuat aku yakin kalau hidup itu pada hakikatnya sangat indah untuk dijalani.”
“Benarkah Saul? Bahkan gak hilang sampai sekarang?” aku tahu aku seharusnya menutup mulut. Namun aku tidak tahan untuk tidak menanyakan pertanyaan ini kepada Saul. Pertanyaan yang terus mengendap selama delapan tahun terakhir ini.
Saul menatapku erat saat mengatakan ini, “Masih perlu kau tanyakan kah, Gas?”
Kami terdiam selama beberapa saat sebelum aku tertawa kecil, “Maaf, pada akhirnya aku malah buat suasana jadi lebih canggung daripada kemarin!”
Ia ikut menyumbangkan sebaris tawanya dalam kekehanku pagi ini. Aku mengambil foto itu dari tangannya dan mengembalikannya ke tempat semula.
“Habiskan kopinya. Aku mau masak dulu sebentar!”
Kemudian ia pergi meninggalkanku sendiri. Aku beranjak dan membuka jendela kayu di kamar Saul. Membiarkan serbuan udara pagi menerpa wajahku pelan. Desa ini benar-benar tidak berubah. Aku masih dapat melihat beberapa ekor anjing tertidur siaga di tengah jalan. Suara kokokkan ayam jantan pun terdengar bersahutan di kejauhan. Berbagai perasaan mengalir dan menyatu di hatiku sekarang. Dan aku pun tersadar, betapa rindunya diriku pada desa ini.
***
Senjau plus empat hari dan sepuluh jam.
Maaf Saul, aku memang berjanji untuk menulis setiap hari. Namun sayang, aku dilanda mabuk laut dua hari terakhir. Bisakah kau bayangkan? Aku, bagas, anak kampung yang berenang di jamban terapung setiap hari bisa terkena mabuk laut.
Saat ini aku sedang duduk di geladak kapal. Sambil menikmati sinar matahari yang sepertinya sudah bertahun-tahun tak kurasakan. Mengingat aku terus menerus merasa mual dan pusing sehingga dokter kapal meyuruh untuk terus berbaring. Namun pagi tadi, entah mengapa, aku merasa lebih baik. Jadi disinilah aku sekarang. Membayar hutang menulisku padamu.
Kau harus tahu, Saul. Kapal ini amat sangat besar. Untuk ukuran anak kampung sepertiku tentunya. Dan ketika tadi aku pergi keluar untuk melihat laut lepas. Rasanya amat luar biasa! Kau tahu, sepanjang yang bisa kulihat. Ada air dimana-mana. Aku jadi membayangkan aku akan pergi ke ujung buritan kapal dan berdiri di sana. Kemudian merentangkan kedua tanganku sementara kau memelukku dari belakang.
Tapi aku tahu itu semua tak akan mungkin terjadi, Saul. Kau dan aku tidaklah mungkin ditakdir untuk bersama. Kau harus tahu mungkin aku bisa menulis berlembar-lembar tentang hidupku yang tak adil Saul. Tentang semua hal yang ingin sekali kuubah dalam takdir yang menyesakkan ini. Tapi semenjak mengenalmu, aku belajar satu hal. Takdir mungkin tidak bisa diubah. Namun aku yakin kita bisa menerimanya dan berusaha untuk menjalaninya dengan sebaik mungkin. Dan mungkin dengan begitu, hidupku yang kelam ini tidak akan terasa semenyiksa itu.
Ah apa yang kupikirkan, Saul. Pikiran negatif seperti itu hanya akan merusak hari yang indah ini saja. Aku akan hidup sendiri beberapa jam lagi. Saat kapal raksasa ini akhirnya akan berlabuh dan perjalanan hidupku akan mencapai babak barunya. Dan aku tidak mampu untuk terus berpikiran negatif seperti itu, Saul. Tidak kalau aku ingin hidup di dalam kekhawatiran dan ketakutan yang tak beralasan.
Aku tahu kau tidak berdoa kepada Tuhan. Tapi aku yakin kau bisa berharap, kan? Bisakah kau terus berharap pada apapun yang kaupercayai agar aku berhasil? Atau yang lebih hebat, maukah kau sekali saja berdoa dan mendoakanku? Itu akan menjadi hal yang sangat luar biasa bagiku, Saul!
Kau tahu, aku masih ingin menulis sebenarnya. Namun perutku terasa penuh, aku harus ke WC sekarang. Lebih baik aku juga berdoa agar kapal ini tidak tenggelam seperti Titanic. Karena kau tidak ada di sini sekarang dan kau tidak akan bisa menyelamatkan kita berdua. Seperti janjimu sore itu. Kau masih ingat kan?
Lelaki bodoh yang berusaha untuk berpikiran positif.
Bagas Christian
***
Senjau plus empat hari dan dua puluh jam.
Saat ini tengah malam. Dan aku telah berada di JAKARTA! Mungkin perlu kuulang Saul, saat ini tengah malam dan keadaan masih seperti jam empat sore. Kau tidak berbohong saat kau berkata kalau Jakarta tidak pernah tidur. Tidak seperti Senjau yang bahkan sudah sepi saat jam enam sore. Aku yakin bahkan ketika jam sudah berputar seharian penuh. Kota ini tidak akan sepi.
Aku sudah berputar-putar selama dua jam dan kebingungan harus memulai darimana. Aku tidak mengenal seorang pun di sini. Aku bahkan tidak tahu apakah akan ada penginapan di sekitar sini. Akhirnya aku meminta ijin kepada salah satu ibu pemilik warung agar dapat menumpang tidur di bangku panjang di depan rumahnya.
Bolehkah aku berhenti sekarang, Saul? Aku merasa sangat kelelahan sekarang dan otakku terasa penat. Belum lagi mataku terasa sakit karena harus menulis di bawah cahaya lampu lima watt ini. Mungkin kau bisa datang sejenak di mimpiku, Saul. Dengan melihatmu, aku sangat yakin segala kelelahanku dapat berkurang.
Lelaki bodoh yang merasa kelelahan setengah mati.
Bagas Christian.
***
Senjau plus seminggu.
Hari ini amat sangat mengesalkan, Saul. Kau tahu, ini adalah hari ketika biasanya akan kuhabiskan di ranjang asrama sambil menelungkup dan berusaha untuk menikmati kesesakan di dadaku. Karena setidaknya aku masih bisa merasakan sakit dan kekesalanku berkurang karena rasa sakit yang kurasakan.
Namun menelungkup di dalam ranjang yang empuk adalah kemewahan yang tak dapat kunikmati sekarang. Uangku habis. Benar-benar habis. Tahukah kau apa yang terjadi? Saat aku sedang mencari pekerjaan, ada seorang bapak yang menawari untuk menjaga tokonya. Maka aku pun beranjak dengannya. Setelah beberapa kali berganti bis, kami turun dan ia membawaku ke tanah kosong dengan rumput yang tinggi mencekam. mungkin kau sudah tahu kejadian berikutnya. Namun ada satu hal yang mungkin tidak kau tahu.
Aku menangis. Saat ia mengacungkan tinjunya dan mengancam akan membunuhku kalau aku tidak memberikannya uang yang kupunya. Aku menangis karena takut. Ia boleh mengambil semua uangku Saul. Ia bahkan boleh mengambil nyawaku. Karena aku tahu kalau aku terbunuh sekarang mungkin tidak ada orang yang peduli. Satu-satunya alasanku menangis adalah karena bayangan ketiga orang itu kembali menerobos masuk ke dalam otakku. Saul. Saat parang mereka sudah siap untuk menebasku. Saat mereka membantingku dengan kasar ke lantai hutan. Saat…. Saat….
***
Saul
“Saat itu aku terlanjur menangis, Saul! Kau liat kan kertas itu kayak habis dikeringkan!”
Sore itu, saat kami sedang duduk di atas papan kayu di atas WC terapung yang berada di belakang rumahku. Aku menanyakan kepada Bagas perihal surat dan pengalaman pertamanya menginjakkan kaki di Jakarta. Aku tahu angin sedang berhembus dingin dan kami sedang tergesa-gesa menyelesaikan mandi sekarang. Namun aku tidak tahan untuk tidak menanyakannya.
“Kau tahu, Gas,” ujarku perlahan sambil menyiram air ke sekujur tubuhku. “Kita gak pernah benar-benar membicarakannya!”
“Tentang?”
“Kejadian waktu kau kecil. Kau hanya meninggalkan aku penjelasan di dalam surat. Dan masih banyak pertanyaan aku tentang hal itu!”
Ia menatapku dalam. Sampai-sampai aku merasa ia berbicara di dalam otakku saat ia mengatakan ini dalam nada yang lirih, “Itu bukan hal yang mudah untuk dibicarakan, Saul!”
“Maaf, aku gak bermaksud!” ujarku dengan canggung sambil mengulurkan sebatang sabun ke arahnya. Melihat kediaman di dalam ekspresi matanya, dengan sigap aku merubah topik pembicaraan, “Surat kau ada yang hilang ya Gas. Aku gak bisa nemuin kelanjutan dari surat yang kubaca semalam!”
“Ada beberapa yang hilang Saul. Mungkin kau bisa tahu penjelasannya di surat-surat berikutnya!”
“Jadi, apa yang terjadi sehabis peristiwa perampokan itu?”
“Aku balik ke pelabuhan dan kerja di sana.”
“Sebagai?”
“Kuli angkut!” ujarnya ringan sambil mengguyurkan air ke dalam tubuhnya.
Aku mengangkat alisku, “Kuli angkut? Di pelabuhan? Jadi selama delapan tahu ini kau kerja kayak begitu!”
“Suratnya Saul!” jawabnya cepat.
“Oh, sorry,” ujarku sambil melihatnya berdiri dan menceburkan dirinya ke dalam air. aku mengangkat tanganku dan menutupi mukaku agar tidak terkena cipratan airnya. Sebelum akhirnya aku merasakan otakku sedang mempermainkanku dengan gerakan refleks tak berguna. Toh aku sudah basah sekarang.
“Tapi serius, Saul! Berhentilah bertanya dan mulai membaca. Karena semua pertanyaan kau tentang delapan tahun terakhir di hidup aku ada semua di sana!” katanya sambil menggerak-gerakkan tangannya di dalam air.
“Kau tahu Gas?” aku berdiri dengan cepat di atas jamban kayu itu. Sambil merasakan angin sore yang empuk menyentil kulitku dengan nyaring. “Bukan cuma kau yang berubah selama delapan tahun ini!”
Sesudah berkata demikian, aku melompat dengan kekuatan penuh kepadanya. Dengan semangat seorang anak kecil yang ingin menunjukkan kepada temannya mainan baru yang ia dapatkan. Aku melihat ekspresi geli di dalam mata Bagas sebelum aku menghantam air dan merasakan aliran sungai membawa tubuhku di dalamnya.
“Aku udah bisa berenang, Gas!” kataku riang ketika kepalaku muncul dari dalam air.
Ia tertawa melihatku. Mungkin karena mataku yang terasa merah atau karena ingusku yang tiba-tiba saja mengalir karena menghirup air ketika menghantam sungai tadi. Aku tidak tahu. Yang jelas, aku ikut terbahak bersamanya.
“Gaya berenang kau luar biasa, Saul !” katanya padaku sesudah tawanya mereda.
“Aku punya guru yang luar biasa juga, Gas!” jawabku sambil memandanginya dengan mantap, “kau!”
***
“Pa, Key udah di terminal bis. Sebentar lagi mau berangkat!”
“Iya, Key jangan nakal ya di sana. Dengerin kata Meme sama Pak-pak nanti!” ujarku pelan sambil menahan rindu yang teramat sangat.
“Pa, nanti papa mau Key beliin oleh-oleh apa? Nanti kan Key mau ke Mall! Papa kan gak pernah ke Mall!” ujarnya girang. Bahkan dari jarak tujuh puluh kilometer jauhnya. Aku dapat mengetahui kalau ia sangat bersemangat melewati perjalanan ini.
“Beliin apa aja papa ambil kok. Yang penting Key senang!” Bagas melihat ke arahku dari sudut lain meja makan. Aku meletakkan HPku di antara kami berdua dan mengaktifkan loud speaker di dalamnya. Kemudian suara Key menjadi jauh lebih besar. Lengkap dengan suara keramaian calon penumpang dan bunyi kendaraan yang berlalu lalang menjadi latar belakangnya.
“Papa sih gak mau Key. Sama Meme. Sama Pak-pak.”
“Papa masih banyak kerjaan di sini, Key!” Entah mengapa, aku merasa tatapan Bagas terarah kepadaku saat aku mengatakan hal tadi.
“Atau nanti Key cariin istri buat papa ya? Jadi papa kan gak kesepian di sana!”
Aku tidak tahu siapa yang tertawa lebih kencang, aku atau Bagas. Yang jelas, kami tertawa terbahak-bahak mendengar candaan polos Key dan baru berhenti saat ia memanggil-manggil diriku.
“Pa, papa sama siapa di sana?”
“Ada kawan papa di sini, Key!” jawabku masih dengan nada geli. “Nanti, kamu cariin istri papa yang cantik ya!”
“Gak boleh,” jawabnya tegas. “Nanti Key bisa cemburu. Pokoknya Key harus jadi yang paling cantik!”
Kami kembali tertawa sambil memandangi mata masing-masing. Samar-samar terdengar suara statis dari dalam HPku. Tak berapa lama, suara aso terdengar.
“Saul, kami udah mau berangkat nih. Ada orang kah di sana?”
Suara tawa Bagas langsung terdiam seketika. Aku mengambil HPku dari tengah kami berdua. Mematikan loudspeakernya dan menempelkannya di telingaku.
“Iya, dia ada sama Saul dari kemarin, So.”
“Oh, dia gak pulang ke rumahnya?”
Sejujurnya, pertanyaan aso pun sudah bergema di dalam pikiranku. Mengapa Bagas belum juga mengunjungi makam ibunya. “Belum kali so. Dia juga baru nyampe!”
Dan pertanyaan cece selanjutnya membuatku semakin bingung. “Lho, memangnya anak dia gak bawa dia pulang?”
“Memang dia punya anak, So?”
“Ada, tapi cuma ngantar pulang habis itu pergi lagi. Itulah memang kurang ajar mereka. Bukannya jagain bapaknya dulu sebentar!”
Aku memandang heran ke arah Bagas. Apakah benar ia punya anak? Dan mengapa Aso tahu? “Kok Aso bisa tahu?”
“Tahulah, justru Aso yang heran kok kamu gak tahu!”
“Kita ngomongin siapa sih, So?”
“Pakde, kan dia baru datang kan kemarin. Kamu ngomongin siapa?” sayup-sayup terdengar suara pemberitahuan dari jauh. Suara Aso semakin terdengar mengabur dari jauh, “Saul, udah dulu ya. Busnya mau berangkat. Besok cece telepon lagi!”
Dan hubungan kami terputus. Untuk sesaat barulah aku menyadari kalau Bagas menatapku dengan pandangan penuh pertanyaan yang tidak ia lontarkan.
“Pakde udah pulang, Gas!” aku menimbang-nimbang keputusan ini sejenak sebelum benar-benar mengatakannya. “Mau jenguk dia sekarang?”
***
Bagas
Yang kutangkap dari penjelasan Saul saat ia tengah mengemudikan kemudi yang ada di perahu mesin yang ia pinjam adalah Pakde sudah lima tahun ini dibawa oleh keluarganya kembali ke tanah Jawa. Setelah terkena penyakit sesak napas yang menyerangnya secara tiba-tiba. Dan tidak pernah lagi ada kabar dari dirinya semenjak itu.
Aku masih terus mengarahkan senter dengan intensitas cahaya yang besar ke arah sungai di depan kami. Saat itu gelap masih berkuasa. Suara mesin tempel di belakangku tampak menderu memecah keheningan. Sesaat aku jadi membandingkan keadaan Jakarta dengan desa ini. sungguh dua dunia yang sangat berbeda. Yang satu tak pernah tertidur, sedangkan yang satu lagi seakan tak pernah bangun dari tidurnya.
Angin kencang terasa semakin berani menjamah tubuhku. Segera saja kurapatkan jaketku dan memeluk tubuhku dengan satu tangan. Semakin dilihat, pepohonan rindang yang berbaris rapat di samping kiriku memberi aura mistis yang sudah lama kulupakan. Dapat kulihat dengan mata kepalaku seekor babi muncul dari dalam kelamnya hutan dan berjalan ke pinggiran sungai. Mungkin ia ingin meminum air. Namun ia terlanjur berlari terbirit-birit saat melihat kami. Nampaknya suara menggelegar dari mesin tempel Saul mengagetkan dirinya.
Setelah beberapa kali menabrak kayu terapung dan melihat seekor monyet yang bertengger di salah satu pepohonan, kami sampai di sebuah rumah yang dibangun menjorok di tepian hutan. Sungguh, jika aku tidak mengetahui ada orang yang tinggal di dalamnya. Mungkin aku sudah menyuruh Saul untuk pergi sekarang.
Rumah Pakde sangat seram. Hanya ada satu kamar yang diterangi lampu remang-remang. Aku menyenteri rumah itu dan mendapati kalau lantai dan dinding kayu yang sudah melapuk. Beberapa bahkan sudah lepas. Salah satu jendela yang ada di depan rumah sudah pecah bagian sisi kiri bawahnya. Aku mungkin tidak akan heran kalau akan menemukan sosok putih terbang dari dalam rumah itu.
Aku melompat pelan ke dermaga kecil saat Saul mulai menepikan perahu yang ia kemudikan. Kemudian dengan hati-hati mengikat tali perahu ke salah satu tiang dermaga. Walaupun aku sedikit takut kalau-kalau kayu pancang yang sudah melapuk ini tidak kuat dan simpul dari tali ini akan lepas dan membuat perahu kami terbawa aliran sungai.
Kami menyusuri jalan menuju rumah panggung yang terletak tepat di tepian hutan. Aku berjalan di Saul sambil berusaha menyinari jalan yang kami tempuh dengan senter kubawa. Entah mengapa tanah di bawah kaki amat basah seperti bubur cokelat. Sudah beberapa kali kaki kami berdua menghujam tanah dan sandal kami terlepas karena tertanam di dalamnya. Akhirnya setelah sekian menit berjuang ditemani suara serangga malam dan bisikan pepohonan kelam di sekeliling. Kami sampai di bawah rumah panggung milik Pakde.
Setelah mencuci kaki sebentar di tong berisi air hujan yang terletak di samping tangga rumah. Kami menaiki bangunan kayu itu secara perlahan. Namun tetap saja lantai kayu yang memondasi rumah ini berderit kaget ditiap langkah yang kami buat. Baru saja Saul akan mengetuk pintu, daunnya sudah terbuka dan sosok tua itu berdiri di sana.
Keramahan di wajahnya tidak terhapus maupun tersamarkan oleh keriput yang mengalur pilu di wajahnya. Rambut Pakde sudah menghilang di bagian depannya dan memutih di sisanya. Saat ia tersenyum melihat kami berdua, beberapa giginya tampak lebih dulu gugur meninggalkannya. Entah mengapa, melihat raut wajah dan keramahan Pakde mengingatkanku pada Sulastri.
Ia berjalan tertatih ke depan. Tepat sebelum kakinya berkhianat dan Pakde sedikit terhuyung ke depan. Saul menangkap dan membawanya ke dalam pelukan. Dan dengan begitu meleburlah air di dalam mata Pakde dan mataku pun turut basah karenanya. Entah karena kesedihan atau karena kegembiraan karena reuni dadakan ini. Aku tidak tahu. Yang jelas, setelah menukar pelukan dan senyuman. Pakde membawa kami masuk ke dalam rumahnya.
“Maaf ya Pakde ndak tahu kalian nak datang malam ini. Jadi ndak bisa siapkan apa-ap...” kalimatnya terputus dengan suara batuk yang tiba-tiba tersulut. Aku menghampiri dan menuntunnya untuk duduk. Saul ikut menghampiri dari belakang.
“Jangan repot, Pakde. Kami yang minta maaf datang mendadak.”
“Apa kabar kamu, Gas? Pakde sudah lama ndak melihat kau.”
Masih dengan mata yang berembun aku membalas, “Kabar baik. Pakde apa kabar pun?”
“Ya beginilah. Pakde sudah tua. Mungkin ndak lama lagi.”
“Pakde jangan bilang gitu. Pakde sendiri di sini?”
Ia mengangguk perlahan. Saul berkata padanya dengan nada lembut, “Pakde apakah tidak mau tinggal bersama saya saja. Kamar saya kosong.”
“Iya, Pakde. Saya bantu bereskan barang Pakde ya.”
Ia menggeleng dengan lembut, “Saya ndak bisa dan ndak mau pergi dari rumah ini.”
“Tapi kenapa, Pakde?” tanya Saul.
“Saya sudah berjanji pada mendiang istri saya kalau saya ingin menghembuskan nafas terakhir dan dimakamkan di sebelahnya, di belakang rumah ini,” jawabnya sambil tersenyum.
Aku dan Saul saling berpandangan. Pakde menanyakan kembali kabarku dan Saul yang kami jawab dengan sekenanya. Sekitar setengah jam sesudahnya kami undur pamit. Saat menuruni tangga rumahnya hatiku terasa sengkarut. Aku menarik tangan Saul yang berjalan di depanku, “Saul, kita gak bisa tinggalkan Pakde sendiri.”
“Tapi dia ndak mau ikut kita.”
“Biar aku menginap di sini ya. Besok kau bisa jemput aku?”
Lelaki itu menelengkan kepalanya sejenak kemudian mengangguk setuju. “Di sini masih ndak ada sinyal ya. Jadi besok pagi aku ke sini dulu sebelum malet.”
Aku mengantar Saul sampai ia masuk ke dalam sepit. Menghidupkannya lantas menjauh sambil sesekali menengok ke belakang.
***
Esok paginya Saul datang membawa sayur mayur yang sepertinya ia beli di pasar. Ia menanyakan keadaanku selama menginap di sini, “Saul kau lupa ya dulu aku pernah menginap di sini sebulan,” selama peristiwa itu terjadi. Sayangnya kalimat itu tidak kulanjutkan.
Ia menyengir padaku. “Kok kamu gak pakai baju?”
“Tadi habis betulkan genteng rumah Pakde,” jawabku sambil mengangkat martil yang kupegang. Sedari bangun tadi aku sudah sibuk mengecek rumah lapuk ini dan memperbaiki apa yang bisa kuperbaiki.”
“Pakde dimana?”
“Di halaman belakang. Mau ke sana?”
“Nanti sore aja ya pas kau kujemput.”
“Boleh ndak jemputnya besok sore saja, Saul?” kataku sambil menyeka keringat.
“Emang kenapa, Gas?”
Aku mengangkat bahuku, “Aku masih belum tega meninggalkan Pakde sendiri.”
“Nanti coba kau bujuk aja Pakde biar ikut kita.”
“Kucoba ya.”
Kami saling memandang beberapa saat. Saul menatap mataku lekat-lekat seakan ingin mengatakan sesuatu. Ujug-ujug dia hanya berkata semoga sayur mayur yang ia bawa cukup. Lantas pergi meninggalkan. Dan lagi, aku memperhatikannya memperhatikanku dari sepitnya yang menjauh membelah Sungai Kapuas.
Aku menghabiskan hari itu untuk memperbaiki rumah Pakde yang sudah lima tahun tidak ditempati. Pakde turut membantu, pun dia yang memasak makanan untuk kami. Aku menulis beberapa catatan untuk kutitipkan pada Saul. Begitu banyak kekacauan di rumah ini yang sepertinya tidak bisa kubenahi dalam waktu sehari.
Malamnya Pakde menyajikan ayam goreng dengan sambal ebi buatannya. Begitu juga dengan lalapan daun singkong dan labu rebus. Aku makan dengan sangat lahap. Entah karena lapar atau aku merasa nostalgia dengan ini semua. Saat dengan semangatnya mengunyah aku melirik ke arah Pakde yang ternyata melihatku lekat-lekat.
“Ada apa, Pakde? Kok gak makan?”
Ia menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum, “Apa kabar kamu, Bagas?”
“Baik kok, Pakde. Lapar dan lelah tapi baik saja.”
“Sekali lagi Pakde tanyakan, apa kabar kamu?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan Pakde. Entah mengapa butuh waktu lama bagiku untuk menjawab pertanyaannya. “Saya baik, Pakde. Beneran kok. Cuma perasaan saya campur aduk saja setelah lama gak bale’.”
“Kamu kemana saja selama ini?”
“Saya di Jakarta, Pakde.”
Lelaki tua itu tidak melanjutkan perkataannya. Aku yang sudah kenyang akhirnya mencomot sejumput daun singkong dan sambal ebi untuk kumakan sedikit demi sedikit sambil menunggu Pakde menghabiskan makanannya, “Pakde lima tahun ini katanya balik ke Jawa. Kenapa kembali ke tempat ini? Anak-anak Pakde kemana?”
“Pakde cuma menepati janji ke istri.” Ia menaruh piringnya dan mulai bercerita, “Kamu tahu kan Pakde sudah bertahun-tahun tinggal di sini, di seberang desa Senjau?”
“Seingat saya sedari kecil Pakde sudah membantu orang-orang Senjau yang mau ke Betukang Hulu. Tapi sejujurnya saya cuma pernah dengar waktu kecil istri bapak meninggal.”
“Terus kamu tahu kenapa Pakde bekerja menjadi penarik tempe?”
Aku menggeleng.
“Pakde sudah lama ingin membangun rumah di sini untuk hari tua kami nanti. Jauh dari manapun. Di belakang sana ada air terjun cukup lima menit berjalan kaki. Saat membangun rumah ini istri Pakde jatuh sakit. Akhirnya Pakde bawa dia ke puskesmas Senjau. Beberapa hari dirawat tapi kondisi dia semakin sakit. Sampai akhirnya Pakde putus asa dan ingin membawa dia ke Sintang. Tempat anak Pakde sekolah.
“Tapi kamu tahu sendiri kan jalan darat menuju Betukang Hulu itu kalau musim hujan tidak bisa dilewati motor karena air naik. Akhirnya Pakde bawa dia memakai tempe. Sayangnya di tengah perjalanan mesinnya rusak. Kami berdua malah terbawa arus kembali. Setengah mati Pakde mencoba mendayung. Tapi susah sekali, Gas. Apalagi tiba-tiba hujan turun. Akhirnya kami terus terbawa arus. Anehnya kami malah terbawa arus ke rumah ini
“Di tengah hujan Pakde angkat istri Pakde masuk ke dalam rumah. Semalaman menjaganya agar tidak kedinginan. Saat matahari terbit dan hujan berhenti, nafas istri saya juga sudah berhenti. Waktu itu saya sendirian di sini. Berpikir kami sudah berusaha membuat rumah kami di sini, jadi saya mulai menggali kuburan istri saya di samping rumah. Menepati janji untuk berada di rumah ini sampai tua nanti. Dengan begitu saya tahu kalau saya tidak akan menua sendiri. Istri saya selalu ada di samping saya.
“Karena itu Pakde berhenti bekerja di kebun sawit dan menjadi penarik tempe. Pakde gak mau kejadian yang menimpa istri Pakde terjadi ke orang lain.”
Mataku sudah basah saat Pakde menyelesaikan ceritanya. Bodohnya aku tak bisa menyeka air mataku dengan leluasa karena jariku pedas terkena sambal. “Pakde sakit apa emangnya?”
“Sakitnya kamu tidak perlu tahu. Yang jelas kata dokter waktu Pakde tidak lama. Karena itu Pakde bersikeras ke tempat ini. Jangan khawatir anak Pakde pasti akan menjenguk sesekali.”
“Dokter tidak bisa menyembuhkan Pakde?”
“Mungkin bisa. Tapi kata mereka prosesnya akan lama dan menyakitkan. Pakde lebih memilih mempunyai waktu yang sedikit tapi membahagiakan daripada waktu yang panjang tapi menyakitkan. Buktinya kalau Pakde ndak balik, ndak bisalah temu kian berdua?”
Aku tersenyum simpul mendengar omongannya.
“Kamu ingat kan Pakde yang mengantar kian berdua malam itu, saat kian dua pertama bertemu. Ndak tahu ngapa Pakde ngira pasti akan ada sesuatu diantara kian.”
“Pakde gak masalah?” tanyaku hati-hati.
“Masalah kenapa? Karena kian berdua sama-sama lelaki? Ndaklah, Gas. Lagipula selama kamu sebulan di sini dulu Pakde tahu betul betapa tersiksanya kamu. Yah bagaimanapun juga kalian bertiga sudah mempunyai jalinan hidup masing-masing yang entah mengapa terbelit jadi satu. Tapi, Gas, Pakde mau pesan satu hal. Jatuh cinta itu perasaan yang menyenangkan. Jangan menghukum dirimu sendiri dengan lari dan bersembunyi darinya hanya karena kamu takut jatuhnya akan sakit.”
“Kedatangan saya kesini bukan untuk jatuh cinta, Pakde,” jawabku dengan penuh keyakinan.
“Lantas kenapa kamu menghindari Saul dan tinggal di sini?”
Aku terdiam sesaat sebelum menjawab, “Saya kan ngawankan Pakde.”
“Untuk itu Pakde berterima kasih sekali. Tapi Pakde bertahun-tahun tinggal di sini sendiri. Aman kok.”
Kupandang tatapan teduh dari lelaki tua di depanku. Bagaimana mungkin ia aman kalau ia terus menerus mengambil nafas kelelahan sedari tadi? Tapi aku tidak menanyakan apa-apa. Kubereskan piring makan kami dan mencucinya di halaman belakang. Kurasakan air hujan yang ditampung dalam tong terasa dingin saat aku mencuci peralatan makan kami.
Kuburan istri Pakde tampak temaram. Aku sama sekali tidak merasa ketakutan, yang ada malah haru. Membayangkan apakah akan ada seseorang yang bisa menyimpan cintanya padaku seperti Pakde pada istrinya. Otakku dengan kurang ajarnya malah memunculkan bayangan lelaki itu. Kugelengkan kepalaku keras. Angin malam nan dingin terasa membelai wajahku perlahan. Akhirnya aku pun beranjak menutup pintu halaman belakang. Bersiap untuk tidur.
***
Saul
Sorenya Bagas sudah menunggu di dermaga depan rumah Pakde. Nampaknya aku tidak perlu lagi memintanya untuk pulang bersamaku. Bukan karena aku tidak ingin ia menjaga Pakde. Tapi, entahlah, kami baru saja bertemu setelah bertahun-tahun berpisah dan jika ingin berkata egois, tentu saja aku ingin menghabiskan waktu untuk berbincang padanya.
“Pakde bagaimana sudah mendingan?” tanyaku padanya saat sudah sampai di dermaga.
“Sudah. Ditemani Bagas soalnya. Kalian nanti sering-seringlah main kemari tapi tidak usah sampai menginap ndak apa. Kalian juga baru bertemu kan.”
Bagas masuk ke dalam sepit sambil membawa beberapa batang rebung. Pakde menepuk-nepuk bahuku dengan hangat, “Terima kasih ya makanannya kemarin.”
“Ndak apa, Pakde. Nanti saya akan bawakan lagi ya. Palet saya di hilir soalnya.”
“Pakde titip Bagas ya.”
Aku mengangguk padanya sementara Bagas sudah berdiri di samping kami.
“Kenapa saya yang dititip, Pakde?” tanya Bagas dengan polos.
Lelaki tua itu tidak menjawab. Ia malah merentangkan tangannya dan memeluk kami berdua. Tubuhku sempat mengeras sejenak sebelum akhirnya merasa rileks, apalagi tangan Bagas juga ikut-ikutan memelukku. Kuangkat kedua tanganku untuk memeluk mereka berdua. Sebelum akhirnya kami melepaskan diri.
“Pakde ingat betul delapan tahun lalu kalian masih bocah di perahu Pakde. Kalian sudah besar-besar sekarang. Dulu Pakde yang menjadi saksi pertemuan dan perpisahan kalian. Pakde cuma berharap di umur Pakde yang tak lama ini, biar Pakde yang menjadi saksi penyatuan kalian kembali.”
Aku melirik ke arah Bagas dan menangkap matanya juga melirik ke arahku. Akhirnya aku pamit sekali lagi lantas mengajak Bagas pulang ke rumah.