
Bab 1
Gendhis menuruni anak tangga dengan ceria. Semua anggota keluarga melihat ke arahnya dengan heran. Gendhis biasanya memang ceria. Tetapi, hari ini sedikit lebih berbeda. Gendhis mengambil kotak bekal, lalu mengisinya dengan nasi, sayur, lauk pauk, dan buah yang sudah disiapkan sang Mama.
Bel rumah berbunyi. Ibu Nuri, asisten rumah tangga di rumah mereka bergegas membuka pintu. Wanita paruh baya itu kembali membawa kotak hadiah dan bucket bunga.
"Dari siapa, Bu Nur?"tanya Laya,...
Bab 2
Gendhis berkirim pesan dengan Bayu sebelum makan siang. Biasanya mereka berbagi cerita tentang apa saja kegiatan hari ini. Semua mereka lakukan selama mereka pacaran dan sejak keduanya memiliki gawai. Gendhis tersenyum penuh arti membayangkan rencana makan malam mereka nanti.
Gina menyenggol lengan Gendhis."Ndhis~"
"Ya?" Gendhis menoleh.
"Pak Gala udah lewat. Kamu, kan, ada janji sama beliau."
Gendhis melihat jam tangannya."lima menit lagi, Mbak Gin. Kan nggak enak juga kalau jarak waktunya berdekatan."
"Yah, hari ini Gendhis beda kasta sama kita." Vino ikut memutar kursinya ke arah Gendhis."Kita makan di mana, Nek?"
"Ya di mana, ya di warteglah. Memang banyak duit?"ledek Gina.
"Hei, jangan sembarangan Anda. Makan kapeci aja deh, yuk. Biar ngirit buat ntar malam kita nongki." Vino berdiri.
Gina merapikan mejanya sekilas."Udah sana, Ndhis, temui Pak Mata Angin."
"Oke. Kalian hati-hati, ya." Gendhis segera ke parkiran khusus kendaraan petinggi di kantor. Semakin dekat, Gendhis semakin deg-degan. Langkahnya terhenti saat melihat pengawal Bosnya menghampiri.
"Silakan, Bu,"katanya,lalu membukakan pintu mobil untuk wanita itu.
Gala sudah ada di dalam. Saat ini, Gendhis duduk di sebelah Gala. Sementara di depan ada sopir dan bodyguard Gala. Mereka makan siang di sebuah restoran yang menurut Gendhis cukup mahal di Kota ini. Gala dan Gendhis duduk berhadapan di sudut ruangan dan memesan makanan. Gendhis masih diam saja, tidak tahu memulai pembicaraan dari mana. Terlebih selama ini sikap Gala padanya dan juga kedua temannya sangat dingin. Gendhis pikir, itu karena mereka pernah melakukan kesalahan saat Gala pertama kali menjabat sebagai wakil direktur. Tetapi, Gendhis rasa itu bukan kesalahan besar. Gendhis tidak sengaja menyenggol tangan Gala. Tidak ada yang luk atau lecet. Tidak ada tumpahan air seperti di sinetron, juga tidak ada adegan jatuh. Tetapi, entahlah, Gendhis masih tidak mengerti.
"Kita makan dulu. Baru kita bicara."
Gendhis tersenyum tipis."Baik, Pak." Makanan yang disajikan begitu enak. Tetapi, wanita itu tidak bisa menikmatinya karena situasi yang aneh ini. Pikirannya terus terusik. Sesekali ia menatap Gala yang hanya fokus untuk makan. Gendhis ingin berteriak minta tolong pada Vino dan Gina.
Akhirnya piring Gendhis kosong. Ia merasa lega. Namun, ia merasa lebih lega ketika Gala juga sudah selesai makan. Gendhis masih menunggu Gala bicara. Padahal di hatinya ingin berteriak agar Gala segera bicara.
"Gendhis~"
"Iya, Pak?"
"Pertama-tama, terima kasih sudah menerima undangan makan siang ini. Mungkin kamu kaget. Tapi, kita kenal sudah lama. Maksudnya, kita sudah berkenalan sejak kamu magang di kantor ini. Saya senang kamu kembali ke sini sebagai karyawan tetap." Gala memberikan jeda. Sementara Gendhis masih menunggu kelanjutannya sembari melemparkan senyuman.
"Selama ini, saya sering memerhatikan kamu."
"Hah, kapan?"pekik Gendhis dalam hati."Jadi, selama ini beliau memerhatikan tingkah absurd kami, termasuk ketika menggosipkan dia?" Jantung Gendhis berdebar kencang. Mungkin saja ia diundang khusus untuk bicara karena kesalahannya sudah fatal. Gala ingin memberikan peringatan keras padanya.
"Sejak magang juga saya suka memerhatikan kamu. Terus kamu berhenti, saya juga pindah ke kantor lain. Baru kembali ke sini setahun ini."
Lidah Gendhis masih terasa kelu untuk bicara. Tetapi, ia merasa tidak enak jika diam saja."Ternyata sudah lama juga saya magang di kantor, ya, Pak."
"Iya. Saya sangat berharap setelah lulus kuliah kamu balik ke kantor. Ternyata kamu masuk ke kantor lain." Gala tersenyum hangat. Senyuman hangat pertama yang diberikan adanya sejak menjadi wakil direktur di kantornya.
"Ya, dulu, kan masih fresh graduate. Sebelum wisuda itu sudah masukkan lamaran ke salah satu perusahaan bareng temen. Ternyata langsung keterima. Mengingat susahnya mencari pekerjaan, jadi, saya ambil pekerjaannya, Pak." Gendhis tersenyum tipis. Padahal dulu ia masuk ke Perusahaan tersebut karena Bayu sudah bekerja di sana terlebih dahulu. Sekantor dengan pacar adalah hal yang menyenangkan bagi Gendhis.
"Ya. Saya senang kamu kembali."
Gendhis menggaris bawahi kalimat Gala barusan. Sepertinya, pria itu sudah mengucapkannya sebanyak dua kali. Gala terlihat menarik napas panjang. Pria itu sepertinya sedang resah.
"Gendhis~"
"Iya, Pak?"
"Apakah kamu bersedia menjadi istriku."
Gendhis mematung. Ia merasa sulit untuk mengeluarkan suara. Wanita itu meyakinkan dirinya dengan cepat kalau ia salah dengar. "Ma-maksudnya ba-bagaimana, Pak?"
"Saya suka sama kamu. Dibandingkan mengajak kamu pacaran, saya lebih ingin menjadikan kamu istri. Saya ingin kamu menjadi teman hidup saya. Saya yakin, karena selama ini saya memerhatikan bagaimana kamu."
Dibandingkan dengan rasa senang, hati Gendhis justru tercabik. Kalimat itu sama sekali tidak ia harapkan dari laki-laki lain. Gendhis mungkin merasa tidak enak mengatakan hal ini. Tetapi, wanita itu tidak ingin memberikan harapan.
"Pak~saya~sudah memiliki kekasih. Dan kami~berencana menikah dalam waktu dekat." Gendhis menjawab tegas.
Gala tidak terlihat kaget. Justru sebaliknya, pria itu sangat tenang dan percaya diri."Oh, kamu sudah punya pacar. Kapan kamu menikah? Hari, tanggal, dan tahun berapa?"
"I-itu belum ditentukan,"jawab Gendhis gugup.
"Kalian sudah bertunangan?"cecar Gala.
"Belum, Pak."
"Sudah dilamar?"
"Belum, Pak."
"Kalau begitu saya masih ada kesempatan, kan? Bukan untuk merebut, tapi, untuk memperkenalkan diri."
Gendhis terdiam. Ia benar-benar tidak suka dengan pertanyaan Gala yang menurutnya melampaui batas."Pak, maafkan saya. Saya tidak bisa menjawab semua pertanyaan Bapak. Itu adalah privasi saya." Tetapi, apabila Bapak ingin menanyakan perihal pekerjaan, saya akan menjawab semuanya."
"Ini di luar jam kerja. Jam istirahat. Saya nggak mau bicara soal pekerjaan." Raut wajah Gala sedikit berubah.
Gendhis menyatukan kedua telapak tangannya. "Pak, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya tidak bisa menerimanya. Karena di sisi saya sudah ada lelaki yang menemani sejak sepuluh tahun terakhir. Perihal kapan kami menikah, doakan saja, semoga kami diberikan jalan terbaik untuk mencapai pernikahan."
Gala menatap Gendhis intens. Kekecewaannya menggelenyar. Ada rasa bangga terhadap kesetiaan wanita itu pada pasangan. Akan tetapi, Gala tetap saja berharap pada wanita itu. Ia tidak mau menyerah sampai wanita itu benar-benar dimiliki oleh lelaki lain."Kamu tidak perlu terburu-buru menjawab."
"Tapi, saya sudah ingin menjawab sekarang, Pak. Itulah jawaban saya, tidak. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, Bapak tidak perlu menunggu jawaban saya lagi." Gendhis menjawab dengan kekesalan di hatinya.
"Iya. Tapi, tolong dipikirkan lagi saja. Nggak buru-buru kok."Gala melihat jam tangannya."Ayo kita kembali ke kantor."
Gendhis menarik napas panjang."Sabar, sabar~cobaan di tahun ke sepuluh." Gendhis bangkit dan mengikuti Gala ke mobilnya.
Gendhis hanya bisa membuang pandangannya ke luar jendela atau menatap lurus ke depan. Ia sama sekali tidak mau menatap Gala di sampingnya. Meskipun Gala ada Bosnya, Gendhis merasa risih atas sikap Gala. Penolakan Gendhis sangat jelas. Tapi, Gala bersikap seolah-olah tidak peduli dengannya yang sudah memiliki kekasih.
Gendhis tersentak saat menyadari mobil tidak berjalan ke arah kantor. Wanita itu menoleh pada Gala."Pak, ini mau ke mana?"
"Saya mau meeting dulu. Sudah terlambat. Kamu temani saya, ya?" Gala merapikan penampilannya karena mobil sudah akan berhenti.
"Tapi, saya bukan sekretaris, Pak. Saya sama sekali nggak mengerti saya harus ngapain." Gendhis panik setengah mati.
"Kamu nggak harus ngapa-ngapain. Kamu cukup menunggu saya di ruangan lain." Gala tersenyum penuh arti. Mobil berhenti dan pintu dibuka. Mau tak mau Gendhis ikut turun. Ia menghampiri Gala dengan cepat."Pak, saya naik taksi dari sini ke kantor, ya? Pekerjaan saya masih banyak."
"Kita cuma sebentar kok. Lagi pula, nggak sopan saya biarkan kamu kembali sendiri. Padahal saya yang ajak kamu. Ayo, paling lama satu jam saja."
Gendhis mengikuti dengan berjalan pelan. Gala menoleh ke belakang,"kamu ke ruangan yang sudah saya pesan saja. Kamu menunggu di sana."
Kening Gendhis berkerut."Ruangan apa, Pak?" Lantas ia mengedarkan pandangan untuk memahami jenis gedung ini.
"Silakan ikut Mbak ini,"kata Gala.
Gendhis menoleh ke arah wanita yang tersenyum ke arahnya."Silakan, Ibu."
Gendhis kembali menarik napas panjang. Akhirnya ia mengalah dan ikut dengan wanita itu. Lagi pula ini permintaan Bosnya dan satu jam saja.
_______
Bab 3
Sudah satu jam lebih tiga puluh menit Gendhis menunggu. Rasa bosan menghampirinya. Ponselnya juga tidak memiliki daya sejak ia makan siang tadi. Alhasil, ia tidak bisa menghubungi teman-temannya atau melakukan aktivitas di media sosial untuk menghilangkan kebosanan.
Gendhis bangkit untuk keluar. Ia berusaha membuka pintu, tapi, sayangnya tidak bisa. Pintu dalam keadaan terkunci. Wanita itu menggedor pintu agar ada yang mendengar. Tapi, sayangnya tidak ada yang datang.
"Sebenarnya ini gedung apa?" Gendhis duduk kembali dengan kesal."Ia sangat menyesal sudah menerima ajakan Gala. Tetapi, bagaimana bisa menolak permintaan Bos sendiri.
Wanita itu menyandarkan kepalanya dengan nyaman. Memejamkan mata dan tertidur. Gala sungguh kejam sudah membuatnya seperti ini.
Gendhis terbangun dengan spontan saat mendengar suara pintu dibuka. Wanita yang mengantarkannya tadi yang membuka. Lalu, tanpa merasa bersalah wanita itu melempar senyuman lalu lergi begitu saja. Gendhis melihat jam tangannya dan memekik. Ia cepat-cepat bangkit hendak pergi. Tetapi, Gala muncul.
Gendhis menatap Gala dengan marah.
"Saya boleh nggak bilang kalau Bapak itu tega? Bapak berjanji satu jam. Tetapi, ini jam empat, Pak. Sudah hampir jam pulang kerja. Saya tidak mempermasalahkan meeting Bapak yang lama. Tapi, kenapa Bapak mengurung saya di ruangan ini dan sengaja menguncinya. Bapak menyiksa saya?" Suara Gendhis bergetar.
"Maaf..." Gala kaget melihat Gendhis semarah itu.
"Pak, saya pulang naik taksi aja." Gendhis langsung melangkah tanpa basa-basi lagi.
"Gendhis!" Gala menarik tangan wanita tersebut.
Gendhis menatap Gala tajam. Ia benar-benar menunjukkan ketidak sukaannya pada sikap Gala."Maaf, Pak, saya pulang sendiri saja. Mohon untuk tidak menahan saya." Gendhis melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Gendhis berjalan cepat sejauh mungkin. Mencari tempat yang tenang untuk menghindari Gala untuk sementara.
Gendhis menarik napas panjang. Lalu, setelah menurutnya situasi sudah aman Gendhis segera memesan taksi pulang ke rumah. Ia tidak ingin ke kantor terlebih dahulu karena ia pasti dicecar pertanyaan oleh Vino atau Gina. Bekalnya juga mungkin sudah basi. Jika Gina atau Vino melihat dan memakannya itu lebih baik.
Gendhis merasa hari ini tidak cukup baik baginya. Hari peringatan yang seharusnya menyenangkan menjadi buruk karena Gala. Gendhis menenangkan diri. Ia mulai membayangkan hal yang menyenangkan tentang kekasihnya yang akan bertemu malam ini. Taksinya sudah datang dan membawanya pulang.
Gendhis tiba di rumah. Karena lelah sehabis menghadapi Gala, wanita itu langsung istirahat di kamarnya. Satu jam kemudian, wanita itu mandi dan bersiap-siap untuk makan malam dengan Bayu.
Laya masuk ke kamar Gendhis yang memang jarang sekali dikunci. Gendhis masuh mengenakan handuk komoni dengan rambut yang masih lembab. Adiknya itu duduk di hadapan cermin dan sedang sibuk memoles wajah cantiknya. Wanita itu mengernyit."Mau ke mana?"
"Dinner sama Bayu, Kak." Gendhis menjawab sembari melihat Laya dari cermin.
"Oh~" Laya duduk di sisi tempat tidur dengan sedikit kesusahan karena perutnya yang besar. "Nanti jangan lupa ingetin Bayu, untuk datang di acara tujuh bulanan Kakak minggu depan."
"Pasti dong. Nggak mungkin lupa kalau dia, Kak. Orangnya ya~gitulah. Bukan tipe pelupa. Orangnya juga pekaan kok."
Laya melihat adiknya senyum-senyum sendiri. Pasti Gendhis sedang senang karena akan merayakan hari jadi yang ke sepuluh tahun. Sungguh angka yang fantastis bagi Laya. Ia cukup takjub dengan adiknya bisa menjalani hubungan seawet itu. Tanpa kepastian pula."Ndhis, kalian udah sepuluh tahun. Bukannya apa-apa, sih, maksudku~kalian nunggu apa, sih? Belum mau menikah atau gimana?"
Gendhis menggaruk kepalanya."Bayu belum bilang apa pun soal menikah, Kak. Lagi pula kita enjoy kok begini."
"Tapi, kamu nggak ngerasa aneh? Ya masa cuma sebatas itu. Ya,Kakak tahu kalau menikah itu urusan masing-masing. Tapi, Ndhis, serius? Sepuluh tahun." Laya mengangkat kedua tangan dan bahunya.
Ghendis terdiam beberapa saat, kemudian mengangkat kedua bahunya."Aku juga nggak apa-apa, Kak. Belum menikah di usia dua puluh sembilan, kan, bukan masalah?"
"Ya memang bukan masalah. Tapi, ya udah deh~semoga kalian langgeng." Laya tidak bisa memaksakan pemikirannya bisa diterima oleh Gendhis. Kembali lagi pada konsep bahwa, jodoh di tangan Tuhan. Jodoh akan datang pada waktunya masing-masing.
Gendhis langsung berangkat ke tempat di mana ia dan Bayu akan bertemu. Mereka berdua memang tidak mengharuskan sistem antar jemput pacar. Kecuali, Gendhis yang memang minta dijemput atau Bayu berkeinginan untuk menjemput. Tapi, sejak dulu, mereka selalu bertemu di lokasi untuk efesiensi waktu.
Seperti biasa, Bayu tiba lebih dulu. Makanan di meja sudah tertata rapi dan masih hangat. Sepertinya makanan baru saja dihidangkan. Bayu tersenyum hangat.
"Hai~" Gendhis duduk di hadapan Bayu.
"Selamat hari jadi ke sepuluh,"kata Bayu yang disambut dengan senyuman semringah dari Gendhis.
"Terima kasih, sudah menemaniku selama sepuluh tahun. Bosan nggak?"
"Nggak,lah!" Bayu tertawa kecil."Udah lapar belum? Langsung makan aja, ya, mumpung masih hangat."
Gendhis mengangguk seperti anak kecil. Ia langsung melahap hidangan. Bayu sudah hapal makanan yang disukai Gendhis di restoran ini. Bahkan ia juga hapal makanan kesukaan Gendhis di berbagai jenis restoran dan hidangan di Kota ini. " oh, ya tadi, ada laki-laki yang ngelamar aku."
"Wah, kok dilamar? Memangnya kalian pacaran?"
"Ya nggaklah. Cuma orang itu aja gang aneh, tiba-tiba melamar aku. Aku udah bilang kalau aku itu udah punya pacar. Orang itu nggak peduli." Gendhis geleng-geleng kepala. Ekespresinya sengaja ia buat sesedih mungkin. Ia ingin tahu reaksi Bayu.
"Ya udah, biarin aja. Nanti juga capek sendiri kok. Selama kamu nggak nanggapin dia. Iya, kan?"
"Kamu nggak marah?"tanya Gendhis dengan sedikit nada kecewa.
Bayu menggeleng."Kenapa aku harus marah? Kita tidak bisa mengatur perasaan seseorang. Kalau laki-laki itu suka sama kamu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi, kalau laki-laki itu menyakiti kamu, aku akan bertindak. Wajar, sih, pacarku cantik, jadi banyak lelaki yang suka. Pengen jadikan kamu istri."
Gendhis mendengkus dalam hati. Mungkin, kekecewaannya ini adalah salah satu pengaruh dari ucapan Laya dan teman-temannya. Andai saja tidak ada singgungan mengenai pernikahan, ia pasti akan tenang melewati makan malam ini."Makanya diikat dong, biar nggak ada laki-laki yang lancang begitu. Kalau tanpa ada tanda kepemilikan,kan, jadinya nggak ada yang percaya kalau aku ini punya pasangan."
Bayu menatap Gendhis intens. Pria itu berdehem dan meletakkan sendok. Ia merogoh sakunya secara diam-diam. Lalu, meraih tangan Gendhis.
"Diikat seperti ini, ya?" Bayu mengeluarkan cincin dan memakaikannya ke jari manis Gendhis.
Gendhis tercengang. Ia menatap Bayu dengan eskpresi kaget dan tak menyangka."Cincin apa ini? Hadiah sepuluh tahun pacaran kita?"
"Gendhis, ayo kita nikah." Bayu terlihat begitu yakin mengucapkannya. Inilah waktu yang tepat. Saat tidak ada lagi yang harus mereka pikirkan selain menikah. Bayu adalah seorang pengusaha di bidang kuliner. Sudah memiliki tempat tinggal sendiri dan beberapa kontrakan. Ia juga sudah memiliki tabungan masa depan. Untuk kendaraan pribadi, Bayu sudah memiliki satu mobil dan satu sepeda motor. Orang tuanya sudah sangat sayang pada Gendhis. Adik-adiknya juga sangat dekat dengan kekasihnya itu. Tidak ada lagi alasan untuk menundanya lebih jauh, sebab, semua telah tercapai. Ada satu hal lagi yang belum Bayu capai. Tetapi, itu hanyalah sekadar cita-cita. Ia sudah memiliki lebih dari yang ia inginkan.
Mata Gendhis terasa panas. Wanita itu mengibaskan tangan ke arah matanya untuk menahan agar tidak menetes. Ini adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu setiap wanita. Apa lagi di hubungan yang berjalan selama sepuluh tahun, dan akhirnya dilamar juga.
"Nangis aja nggak apa-apa." Bayu turut bahagia meihat Gendhis terharu.
Akhirnya air mata Gendhis tumpah. Ini adalah buah kesabarannya menahan diri dari pertanyaan orang-orang akan hubungannya dengan Bayu."Aku nggak bisa berhenti nangis!" Gendhis mengibaskan tangannya ke wajah.
"Besok aku ke rumah ya?"
"Ng-ngapain?" Adalah hal yang wajar jika Bayu datang ke rumah. Gendhis juga sering ke rumah Bayu sekadar untuk makan atau ngobrol bersama Ibu dan Adik-adik Bayu. Tetapi, karena Bayu baru saja melamarnya, ia pikir kedatangan Bayu adalah kelanjutan dari obrolan ini.
"Ya mau silaturrahmi, sekaligus bilang ke Papa kalau aku lamar kamu."
"Aku pikir ini mimpi." Gendhis menyeka air matanya dengan hati-hati, takut make up-nya luntur.
"Ini nggak mimpi, sayang. Udah dong, nangisnya. Makanan kamu belum habis." Bayu bangkit dan membantu menyeka air mata Gendhis.
Wanita itu menarik napas panjang, kemudian meneguk air minumnya."Thanks~ oh ya bagaimana pengumumannya?"
Bayu menggeleng tidak peduli."Masih besok. Lagi pula itu cuma iseng. Nggak mungkin diterima. Itu memang obsesiku bertahun-tahun. Ya, karena Bapak, sih. Dulu seperti jadi prioritas harus lulus. Kalau sekarang, prioritasnya udah beda, menjadikan kamu istri, kan. Menjalani masa depan bersama. Yang itu udah~tutup aja." Pria itu terkekeh.
Bayu memiliki cita-cita menjadi Dosen di salah satu Universitas. Namun, pria itu mengalami banyak kegagalan. Pada akhirnya, Bayu malah kerja kantoran bersama Gendhis pada masa itu. Lalu, memilih resign dan membuka usaha sendiri dan sukses. Bayu pun melupakan cita-citanya tersebut, karena apa yang ia capai saat ini jauh lebih baik. Sekitar enam bulan lalu, Bayu mengikuti tes seleksi. Entah kenapa pengumumannya begitu lama dan semakin tidak jelas. Bayu pun menyerah dan memilih untuk memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Gendhis.
"Habis ini aku mau beli pangsit sama jagung bakar, ya?"kata Gendhis. Kebiasaannya adalah ketika selesai makan makanan berat, ia akan tetap ngemil lagi.
"Iya, sayang. Tadi kerjaan di kantor gimana?"
"Banyak kerjaan. Tapi, nggak selesai. Karena ada insiden lamaran nggak jelas itu. Jadinya nggak selesai." Sebenarnya Gendhis tidak ingin lagi mengingat hari ini. Bila perlu dihapus saja dari ingatannya. Tetapi, hari ini akan tetap menjadi kenangan sampai kapan pun. Kenangan buruk yang diciptakan oleh Manggala Selatan.
"Ya dimarahin aja. Bilang kalau "aku udah tunangan, nih! Sambil tunjukin cincinnya." Bayu memperlihatkan tangan, mempraktikkan adegan yang ia sarankan.
"Oke, besok kucoba, ya." Gendhis tertawa mendengar saran dari Bayu. Sepertinya sekarang ia sudah bisa pamer dengan Gala. Semoga saja pria itu tidak mengganggunya lagi.
_____
Bab 4
Vino bersenandung sembari berkaca. Tampak begitu centil seolah-olah dialah orang paling cantik sedunia. Perutnya sudah kenyang karena traktiran Gendis merayakan pertunangannya dengan Bayu. Sepanjang makan siang, Gendhis terus berceloteh tentang lamaran Bayu semalam. Vino dan Gina turut senang. Lebih senang kali karena mendapatkan traktiran makan siang. Tetapi, Gina dan Vino lebih dulu pergi ke kantor sebab Ghendis bertemu dengan Bayu terlebih dahulu.
"Wahai, cermin ajaib. Siapa~ratu di kantor ini?" Vino menatap cermin dengan tajam.
Gina yang sudah terbiasa dengan perilaku sahabatnya itu cuek saja. Ia menyandarkan kepalanya di meja kerja. Matanya terasa berat. Masih ada waktu dua puluh menit untuk tidur siang.
"Cermin kecantikan~siapa yang tidak suka denganku di kantor ini." Vino tertawa seperti nenek sihir. Kemudian ia langsung terdiam dan menyenggol Gina dengan keras.
Senggolan serta mulut Vino yang terbungkam membuat Gina terbelalak. Secara spontan wanita itu berdiri. Ia merasa sangat yakin ada sesuatu. Kode dari sahabat memang tidak pernah salah. Ternyata benar saja, Gala sudah ada di depan meja Vino.
"Selamat siang, Pak. Ada yang bisa dibantu?"tanya Vino selembut mungkin. Tapi, tidak terkesan ia sedang menggoda. Vino berusaha bicara formal dengan sang Bos.
"Kalian berdua~ikut ke ruangan saya." Gala memberi kode agar mengikutinya.
Vino dan Gina bertukar pandang.
"Ngapain kita dipanggil?"bisik Gina sambil kelyar dari area kubikelnya.
"Entahlah, mungkin mau dikasih bonus." Vino menarik Gina agar berjalan lebih cepat lagi. Jantung keduanya berdegup kencang. Hati mereka bertanya-tanya kenapa Gala meminta mereka ke ruangannya.
Vino dan Gina memasuki ruangan yang sangat dingin itu dengan cemas. Keduanya berdiri kaku sembari meremas tangan mereka.
"Silakan duduk,"kata Gala mempersilakan.
"Terima kasih, Pak."
Gala menatap tajam ke arah Gina dan Vino. Jantung Vino dan Gina semakin berdegup kencang. Sepertinya mereka sudah melakukan kesalahan yang besar.
"Gendhis ke mana? Kayaknya kalian pergi bertiga?"
Vino dan Gina sempat saling melirik. Lalu keduanya meringis.
"Iya, Pak. Saya, Gina, dan Gendhis memang pergi bertiga untuk makan siang. Tapi, kami bertiga ke kantor duluan. Gendhis ada urusan yang harus diselesaikan." Penjelasan Vino cukup aman. Ia tidak ingin ambil risiko dengan mengatakan kalau Gendhis pergi dengan Bayu.
"Urusan apa? Kalian tidak mungkin tidak tahu, kan?"
"Walaupun kami sahabat, Pak, tetap saja ada hal yang menjadi privacy. Tidak semua hal dibeberkan kepada kami,"sahut Gina dengan tenang.
"Dia bertemu dengan Bayu, kan?"Gala tersenyum sinis,"kalian juga sempat bertegur sapa dengan Bayu."
Vino dan Gina menelan ludahnya. Mereka sudah ketahuan berbohong. Jika sudah begini, keduanya tidak bisa berkata-kata lagi. Keduanya sudah siap untuk menerima omelan dari Gala.
"Maafkan kami, Pak."
Gala menghela napas panjang. Ia menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi.
"Tujuan saya memanggil kalian ke sini bukan sebagai atasan dan bawahan. Tapi, sebagai teman~" Gala menggantung ucapannya.
Vino dan Gina terdiam, masih menunggu lanjutan ucapan Gala.
"Saya mau minta tolong. Supaya kalian lebih mendekatkan saya dan Gendhis."
"Tapi, Pak, maaf sebelumnya. Ghendis sudah punya pacar. Selain itu, semalam~Bayu sudah melamarnya." Gina mengatakannya sambil meringis. Ia tidak ingin Gala terus berharap ada Gendhis. Lalu, sebaliknya ia tidak mau membuat Gendhis merasa terganggu dengan perasaan Gala.
"Apa?"kata Gala kaget. Pasalnya, kemarin belum terjadi apa-apa dengan wanita tersebut.
"Begitu yang Ghendis bilang, Pak. Dia juga menunjukkan cincin pertunangannya." Vino semakin meyakinkan.
"Tidak bisa. Bukan~aku tidak peduli."
"Maksud Bapak?"tanya Vino kaget.
"Saya tidak peduli kalau dia sudah dilamar. Masih lamaran pribadi, bukan? Belum lamaran keluarga? Itu tidak akan membuat saya mundur." Gala menatap Vino dan Gina dengan begitu yakin.
"Jadi, Bapak akan mundur kalau Gendhis sudah dilamar secara resmi?"
Gala menggeleng."Ketika~mereka sudah resmi menikah. Saya akan berhenti."
"Tapi, Pak. Kami tidak bisa membantu Bapak mendekati Gendhis. Kami adalah sahabatnya. Kami tidak ingin merusak hubungan mereka. Dengan tidak mengurangi rasa hormat kami terhadap Bapak. Kami minta maaf, Pak. Mungkin, Bapak bisa minta orang lain untuk membantu Bapak,"jelas Gina.
"Kami sungguh tidak bisa melakukan itu,"tambah Vino.
Mata Gala terpejam. Tampaknya laki-laki itu kecewa. Namun, mau bagaimana lagi. Vino dan Gina adalah sahabat Gendhis yang sangat setia."Baiklah. Terima kasih atas waktunya. Kalian bisa keluar dan bekerja kembali."
"Baik, Pak. Kami pamit."
Gina dan Vino keluar dari ruangan Gala dengan tak enak hati. Pilihan ini sungguh menyulitkan mereka.
"Bagaimana kalau sesuatu terjadi dengan pekerjaan kita, Vin?"tanya Gina yang tiba-tiba kepikiran sekali dengan masalah ini.
"Jangan sampai, nek. Kerjaan ini sangat berarti buat aku."
"Kalian dari mana?"tanya Gendhis sembari menyedot minuman bobanya."Eh, aku bawain buat kalian nih."
"Dipanggil sama Pak Gala."
"Kok bisa?"tanya Gendhis yang sedang berbunga-bunga.
"Ya bisa~ini karena lu, hei~wanita,"kata Vino ketus. Lalu mengambil satu cup boba dengan varian rasa favoritnya.
"Kok gara-gara gue?" Gendhis mengigit sedotannya,"perasaan gue baru sampe deh. Udah jadi tersangka aja."
"Pak Gala, Dhis, masa meminta kita comblangin lo sama dia,"kata Gina yang kini ikut mengambil Boba. Kepalanya terasa panas setelah keluar dari ruangan Gala.
"Ya ampun, kenapa bisa? Memang itu orang gila apa, ya? Kalau bukan karena dia Bos, udah kumusnahkan." Gendhis mengepalkan tangan dan memukulkannya ke meja dengan pelan.
"Kenapa dia segitunya, sih, tergila-gila sama lo?" Vino menatap curiga.
Gendhis mengikat rambutnya tinggi-tinggi."Ya mana gue tahu, Vin."
"Ahh~gila, ya itu orang. Bisa, ya, orang egois itu jadi Bos." Vino menggelengkan kepala seakan gerah sekali dengan kelakuan Gala.
"Udah, nggak usah dipikirin. Biar aku yang berhadapan sama dia langsung. Kalau macam-macam~huhf, gue pites!"kata Gendhis menggeram.
"Iya deh." Vino menghadap ke komputernya dan melanjutkan pekerjaan.
Gendhis sendiri tidak akan ambil pusing dengan sikap Gala yang seperti itu. Anggap saja Gala asalah orang gila. Yang terpenting, Gendhis sudah punya sedikir titik terang tentang arah tujuan hubungannya dengan Bayu.
______
Bab 5
Jam pulang sudah tiba. Vino, Gina, dan Gendhis sedang merapikan barang masing-masing. Saat Gina dan Vino berdiri menunggu Gendhis, Gala tiba di meja mereka. Gina dan Vino tertegun.
"Selamat sore, Pak."
Gala mengangguk."Sore. Saya mau bicara sama Gendhis."
"Baik, Pak." Vino dan Gina pergi dari sana sembari memberi kode kalau mereka menunggu di dekat lift.
Gendhis menyandang tas lalu berdiri menghadap Gala."Ada apa, Pak?"
"Jam tujuh malam kita ngedate, ya. Mau aku jemput atau kita ketemu di tempat?"kata Gala tanpa basa-basi.
Gendhis menganga,"maksudnya apa, ya, Pak?"
"Apa bahasa saya kurang jelas. Saya ajak kamu ketemu malam ini. Ya, bisa dibilang makan malam berdua,"jelas Gala.
Gendhis menyipitkan mata sembari menggeleng heran."Maaf, ya, Pak. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, saya nggak bisa."
"Ini, kan, cuma makan malam." Gala tetap dengan sikapnya yang memaksa.
"Bapak bilang,kan, ngedate? Saya punya pacar, Pak!" Gendhis menunjukkan jemarinya,"saya bahkan sudah bertunangan. Saya nggak bisa ngedate sama Bapak."
"Tunangannya belum resmi,"balas Gala dengan tenang.
Gendhis mendengkus di dalam hati. Wanita itu heran kenapa Gala bisa tahu segalanya."Bapak mau merusak hubungan saya? Maaf, Pak, saya nggak bisa."
"Kamu menolak?"
Gendhis tertawa geli."Iya, Pak. Saya menolak. Karena sudah jam pulang kerja, saya pamit pulang, Pak."
"Kalau kamu menolak, dua teman kamu yang akan menanggung akibatnya."
Langkah Gendhis terhenti. Raut wajahnya terlihat kesal sekaligus benci."Memangnya mereka salah apa sama Bapak? Jangan kaitkan mereka dengan perasaan dan masalah Bapak. Saya nggak akan tinggal diam kalau itu benar-benar terjadi."
Gala melipat tangan di dadanya."Kita lihat saja apa yang bisa kamu lakukan, untuk menyelamatkan kedua teman kamu. Violets, jam tujuh malam. Silakan datang jika kamu berunah pikiran." Gala sengaja menyebutkan nama tempatnya. Ia sangat yakin, Gendhis akan berubah pikiran."
Gendhis menggeleng heran."Selamat sore, Pak. Permisi." Wanita itu melangkah dengan kesal. Ia segera menemui Vino dan Gina yang sedang menunggunya.
"Ada apa lagi sama Bos, Dhis?" Vino memencet tombol lift.
Gendhis bersedekap dengan wajah murung."Nggak ada."
"Yakin nggak ada, Dhis? Muka lo murung gitu?' Gina menatap wajah Gendhis.
"Ya biasalah, sipembuat onar~" Gendhis mengatakannya dengan malas.
Vino memijit kedua pundak Gendhis."Sabar, ya, Nek."
"Iya, harus disabarin." Gendhis melihat pintu lift terbuka, lalu masuk diikuti kedua temannya.
Wanita itu berharap, Bayu segera melamarnya secara resmi. Jadi, ia bisa memutuskan apa yang harus ia lakukan pada Gala. Jika sudah kelewatan seperti ini, lebih baik Gendhis resign saja.
Begitu tiba di rumah, Gendhis langsung masuk ke kamar. Wanita itu segera mandi dan mengistirahatkan badannya sebelum makan malam. Ada beberapa kerabat jauh yang datang ke rumah. Silaturahmi sekaligus ingin menghadiri acara tujuh bulanan Laya.
Saat sedang mengeringkan rambut, gawai milik Gendhis berbunyi. Wanita itu menyambarnya dengan cepat dan menjawab panggilan dari sahabatnya, Vino.
"Ya, Vin?"
"Gendhis, tolongin kita~" Vino menangis di seberang sana.
"Vino, kenapa?" Gendhis berdiri dengan spontan mendengar tangisan pilu Vino.
"Gue dipecat,Dhis." Tangis Vino semakin pecah.
"Si-siapa yang pecat lo? Tapi, di kantor kan baik-baik aja. Iya, kan? Kita nggak lakuin apa-apa?" Gendhis panik.
"Pak Gala yang pecat gue, Dhis~"
"Kok bisa? Kenapa? Memangnya lo melakukan apa sampai bisa begitu?"
"Katanya Bu Sashi, gue udah melakukan kesalahan sama Pak Gala. Pak Gala yang minta gue sama Mbak Gina dipecat."
"Astaga!" Gendhis terperanjat. Sekujur tubuhnya terasa lemas. Gendhis terduduk di lantai. Ancaman Gala sore tadi ternyata tidak main-main.
"Gue nggak melakukan apa-apa sama Pak Gala, Dhis. Gue cuma nggak bisa nolongin dia supaya deket sama lo. Itu juga gue ngomong dengan halus."
"Ya ampun, Vin~sorry, ini gara-gara gue~"
"Gue harus gimana dong. Lo tahu, kan, betapa berartinya pekerjaan ini untuk gue~"
"Ya udah, lo tenangin diri dulu. Biar gue temuin Pak Gala, ya. Nanti gue ngomong sama dia." Gendhis mengigit jarinya. Ini semua akibat penolakannya terhadap Gala. Tetapi, Gendhis tidak menyangka jika masalah sepele ini sampai dibawa ke urusan pekerjaan. Bahkan sampai memecat temannya.
"Thanks, ya, Dhis. Tapi, lo nggak harus nerima Pak Gala. Dia memang orang yang egois,"ucap Vino di sela isakannya.
"Iya, Vin, sabar, ya. Bilang ke Mbak Gin, sabar dulu, ya. Nanti aku kabarin kalian, oke?"
"Oke."
Gendhis menghela napas berat setelah pembicaraannya dengan Vino selesai. Wanita itu termenung beberapa saat. Setelah itu, ia langsung memoles wajah dengan make up tipis. Ia segera mengganti pakaian. Ia memutuskan untuk menemui Gala di Restoran yang disebutkan pria itu sore tadi.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
