SAVE THE DATE (1-10)

2
0
Deskripsi

Dua hari menjelang pernikahan, Kiara memergoki Gika, calon suaminya selingkuh dengan sahabatnya sendiri. Kiara terus mencari bukti perselingkuhan Gika dan Vanya berupa foto dan rekaman video. lalu, rekaman itu ia pertontonkan di depan keluarga besar Gika, tepat di malam sebelum pernikahan berlangsung.

Pernikahan itu dibatalkan. Kiara pergi menenangkan diri ke Kota Makassar. Lalu, di sana ia menemui Kala, teman yang ia kenal melalui dunia maya. Kala sudah menaruh hati pada Kiara sejak lama. Pria itu...

Chapter 1

Kiara berjalan di antara kubikel satu ke kubikel lainnya. Di tangannya ada sekitar seratus undangan pernikahan miliknya. Undangan cantik bewarna peach itu satu persatu berkurang. Ia sendiri menyerahkan undangan pada rekan kerjanya dengan penuh rasa bangga.

"Kia, kapan, nih?"tanya Nia yang tangannya sibuk mengetik. Wanita itu sangat sibuk hingga tidak sempat membuka undangan. Namun, ia sangat penasaran.

"Tanggal 4 Juni. Save the date, ya, semuanya!" Kiara bicara sambil memutar badan melihat ke arah teman-teman lainnya. Mereka sedang sibuk membaca undangan. Ada yang menilai desainnya, ada yang langsung melihat tanggal dan jam, ada pula yang langsung membaca nama dan gelar calon pengantin. Tetapi, ada juga yang langsung ingin tahu siapa calon mertua Kiara. Pasalnya, wanita dua puluh sembilan tahun itu akan menikah dengan Manager General Affair di kantor mereka.

"Empat Juni, berarti lima hari lagi dong, Ki?"celetuk Zakia.

Kiara mengangguk."Jangan lupa datang, ya."

Zakia mengangguk-angguk."Pasti datang dong di jam makan siang." Wanita itu terkekeh.

"Wah, ada apa ini kok rame banget? Bukannya makan siang." Dion, Manager Divisi Produksi atau sekaligus Manager Kiara melintas dengan heran. 

Kiara menoleh dengan wajah sumringah."Bapak, baru aja saya mau ke ruangan Bapak. Ini, Pak, undangan pernikahan saya. Saya akan merasa terhormat bila Bapak datang."

Dion menerima undangan dari Kiara."Terima kasih, Kiara. Saya terima undangannya."

"Iya, Pak." Kiara sangat senang hari ini. Sebagian besar, undangan pernikahannya sudah tersebar.

Kali ini jumlah undangan cukup banyak. Mengingat jabatan, Gika, calon suami Kiara adalah seorang Manager. 

"Kamu belum cuti, Ki?"tanya Dion heran.

Kiara menggeleng."Belum, Pak. Nanti saja kalau sudah dekat harinya."

"Ah, iya-iya saya paham." Dion terkekeh."Tanggal empat, ya. Sebentar lagi."

"Iya, Pak, catat tanggalnya, empat Juni."

Dion kembali mengangguk."Oke. Kalau begitu saya makan siang dulu."

"Iya,Pak,silakan." Kiara melihat ke sekelilingnya yang sudah sunyi. Keasyikan bicara dengan Dion, membuatnya tidak sadar, teman-temannya sudah makan siang.

Kiara membuka tas dan mengambil kotak makan dan tumblernya. Wanita itu bergegas ke dapur kantor untuk makan siang. Di kantor ini dilarang makan di meja kerja. Namun, diperbolehkan menikmati cemilan seperti keripik atau kerupuk. Kiara duduk dengan perasaan bahagia. Ia menggeser layar gawainya. Wanita itu tersenyum melihat undangan digitalnya yang cantik. Ia mengirimkannya pada Kala, teman yang ia kenal di dunia maya.

 

"Hai, jangan lupa datang, ya." 🤭

"Hahaha, aku akan datang, Ki. Tapi, hanya dalam angan. Jarak kita begitu jauh. Tapi, aku doakan kamu bahagia selalu."

"Thanks, La."

 

Kiara meletakkan ponselnya di sebelah kotak makan. Kemudian menikmati santap siangnya sendirian. Hari ini, Gika tidak bisa menemani makan siang. Pria tiga puluh dua tahun itu sangat sibuk. Katanya, harus menyelesaikan beberapa urusan sebelum cuti menikah. 

Usai santap siang, Kiara kembali ke kubikelnya. Ia mengambil kertas warna kuning dari laci. Kemudian, mengambil pena dengan tinta cair. Ia menuliskan 4 Juni di sana dengan emoticon cium. Di atas tanggal ia menuliskan 'save the date'. Menikah dengan Gika, pria yang ia cintai, adalah kebahagiaan terbesar Kiara. Setelah dua tahun menjomlo, ia resmi berpacaran dengan Gika dua tahun lalu. Sekarang, mereka sudah menjadi calon suami istri. Tidak akan lama lagi, ia akan menjadi Ibu Kiara Magika, istri Manager General Affair.

Pukul enam sore, Kiara tiba di rumah. Ia disambut oleh pria berambut ikal sebahu. Outer bewarna khaki yang dikenakan menambah kesan keren padanya. Kiara berlari memeluk Kastara,Kakaknya. 

"Nikah tanggal berapa, sih, kok masih kerja?"tanya Kastara sambil mengacak poni Kiara.

Kiara merapikan poni dengan bibir mengerucut."Tanggal empat, Kak, masa lupa. Ingat tanggalnya,ya empat Juni!"

Kastara memutar bola matanya."Ah, yang penting Kakak sudah sampai di sini. Ayo masuk, calon manten nggak boleh lama-lama di luar." Kastara memeluk pundak adik kesayangannya. Mereka menuju ruang tengah.

"Kas, kamu udah cobain jasnya belum?" Kalila, sang Mama bertanya sambil menatap catatan di hadapannya. Itu adalah list tamu undangan. Wanita itu memastikan semuanya sudah mendapatkan undangan mereka.

"Belum, Ma." Kastara duduk dengan cueknya. Ia mengambil remote dan memindah chanel televisi.

"Cobain, Kas, kalau kurang pas masih ada waktu untuk perbaiki." Kalila menggerutu sambil menatap anak sulungnya tersebut.

"Iya, Ma, sebentar lagi." Kastara masih tidak mau menuruti keinginan Mamanya.

Wanita paruh baya itu menghela napas berat. Anak sulungnya itu memang sulit diatur. Kastara akan bertindak sesuai dengan kemauannya saja.

"Kamu kapan cuti, Kia?"

"Tanggal dua, Ma."

"Udah diurus surat cutinya?"tanya Kalila yang selalu ingin semuanya sempurna. Tidak boleh ada hal kecil yang terlupakan, lalu, mengganggu khidmatnya acara pernikahan Kiara dan Gika. Maklum saja, ini pertama kalinya mereka membuat acara besar. Gika akan menjadi menantu pertamanya. Kastara sendiri belum berniat menikah. Bahkan, sepertinya masih jomlo. Kalila tidak ambil pusing. Jodoh akan datang pada waktu yang tepat.

"Udah, Ma. Kia udah dapat balasan surat cuti juga kok." Kiara mengambil ponsel dari tasnya. Ada pesan masuk dari Kala. Orang tersebut mengiriminya sebuah gambar gaun pengantin. Gaun putih dengan taburan payet di bagian dada. Gaun tanpa lengan atau tali. Terlihat sangat bagus, tapi, terlalu seksi.

 

"Aku membayangkan gaun pengantinmu seperti ini."

"Bagus. Tapi, sangat seksi."

"Menurutku, itu bagus. Tergantung sudut pandang orang yang menilainya."

"Yeah, tapi, aku pakai kebaya. Ada gaun juga dipakai di malam hari, tapi, nggak seperti itu. Hehe."

"Nanti kamu harus memperlihatkan foto pernikahanmu, ya."

"Haha, baiklah, Kala."

 

Kiara mengakhiri percakapan. Sepertinya ia sudah harus mandi sekarang. Wanita itu menggeliat,lalu bangkit.

Kastara melirik."Mau ke mana , Kia?"

"Mandi, Kak."

"Habis magrib temani Kakak beli martabak terang bulan, ya." Sudah lama sekali Kastara tidak menikmati martabak terang bulan. Maksudnya, di tempatnya tinggal selama ini, di Sigli, ada juga yang menjual martabak manis. Hanya saja, Kastara merindukan martabak manis di tempat langganannya di Kota Medan.

"Oke." Kiara mengacungkan jempol, lalu, pergi ke kamarnya untuk mandi.

Kalila menggeleng saja mendengarkan percakapan kedua anaknya."Kas, nanti jangan izinkan Kia makan banyak-banyak. Apa lagi martabak manis. Takutnya badannya melar terus kebayanya kekecilan."

"Iya, Ma." Kastara tidak yakin Kiara bisa menahan diri. Pasalnya, malam ini, ia akan mengajak adiknya itu wisata kuliner. Kastara ingin makan kerang rebus dan martabak mesir. Meskipun kurus, porsi makan Kastara sangat besar.

Kalila meraih remote dari tangan Kastara. Pria itu mengernyit, padahal ia sedang menonton motogp."Ma~"

"Mama mau nonton sinetron Ikatan tali sepatu. Kalau nggak dinyalakan sekarang, bisa lupa." Kalila segera memindahkan siaran televisi.

Kastara tahu sinetron yang sedang booming itu. Ia bahkan tahu, sinetron itu baru akan tayang empat puluh lima menit lagi. Tetapi, ia tidak mau menjadi anak durhaka. Kastara mengalah dan duduk menunggu Kiara. Mau tak mau ia juga menonton sinetron bersama sang Mama.

 

 

Chapter 2

Ini adalah hari terakhir Kiara bekerja. Mulai besok, ia tidak diizinkan pergi ke mana-mana. Wanita itu semakin deg-degan menjelang tanggal empat. Kenapa tanggal itu sangat berkesan, karena di tanggal dan bulan yang sama, Kiara dan Gika memutuskan menjalin hubungan dua tahun lalu.

Kiara merapikan meja kerjanya sebelum ia tinggal beberapa hari. Senyumnya tak bisa hilang dari bibir tipisnya. Terlebih saat melihat catatan yang ia tempel pada dinding kubikel, Save the Date, 4 Juni 2019.

"Calon pengantin senyum-senyum,"tegur Nia.

"Ah, Nia. Maklum aja deh." Kiara terkekeh."Jangan lupa datang, ya, aku ingetin berkali-kali."

"4 Juni,kan?"

Kiara menjentikkan jarinya,"Save the date." Ia mengedipkan sebelah matanya. Lalu, ponselnya berbunyi."Eh, sorry, aku angkat telepon dulu." Kiara menjauh dari Nia.

Kiara menjawab telepon dari nomor tak dikenal tersebut. Tetapi, tidak ada balasan di sana. Karena merasa tidak begitu penting, Kiara mengabaikan telepon tersebut. Jika orang tersebut membutuhkannya, pasti akan menghubunginya lagi.

Kiara selesai. Jam kerja juga sudah berakhir. Setelah ini, ia akan menemui Gika di divisi GA. Ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka sebelum menjadi suami istri. Mereka akan bertemu lagi nanti di hotel, tempat pernikahan dilangsungkan.

Kiara melangkah senang ke ruangan Gika. Di jam pulang, pasti sudah agak sepi. Jadi, rasa malunya tidak begitu besar memasuki divisi ini. Kiara mengetuk pintu kaca ruangan Gika. Pria itu mendongak. Sosok Kiara ada di balik pintu. Pria itu tersenyum dan membuka pintu.

"Masih kerja?"

Gika menggeleng."Udah selesai, baru banget selesai. Jadi, selamat cuti." Pria berambut ikal itu mengusap puncak kepala Kiara. Itu adalah momen yang paling disukai Kiara ketika bersamaGika. Hal sederhana, tapi, sangat berkesan.

"Kalau gitu, bisa pulang bareng dong?"tanya Kiara penuh harap. Tetapi, Kiara sudah menyiapkan hatinya untuk kecewa. Sebab, Gika memang jarang sekali punya waktu luang.

"Tentu aja untuk calon istriku tercinta." Gika kembali ke meja mengambil kunci mobil dan clutchnya."Ayo~"

Kiara dan Gika berjalan beriringan. Sudah dua tahun bersama, tapi, Kiara terkadang masih saja deg-degan saat jalan berdua.

"Kia~"

Wanita bertubuh mungil dengan make up seperti barbie menghampiri. Kiara memeluk Vanya, sahabatnya yang kebetulan satu divisi dengan Gika.

"Jangan lupa, tanggal tiga kamu udah harus di hotel!" Kiara mengingatkan Vanya dengan keras.Seakan-akan ia tidak akan memaafkan Vanya, jika wanita itu terlambat. Vanya akan menjadi bridesmaidnya nanti. Sebagai sahabat, Vanya memyetujuinya dengan senang hati.

Vanya berkacak pinggang."Aku bahkan sampai urus surat izin untuk pernikahanmu, Kia. Itu tanda kalau aku sangat menyayangimu." Vanya menyandarkan kepala di bahu Kiara.

"Kamu nggak pulang, Van?"tanya Gika.

Vanya meringis malu. Ia langsung mengubah posisi berdirinya."Sebentar lagi, Pak. Ada kerjaan yang belum rampung. Tadi, buru-buru ke sini mau ketemu Kiara."

"Jangan dipaksain, Van, nanti kamu sakit tahu. Terus nggak bisa datang ke nikahan aku." Kiara menggerutu.

"Iya, bawel. Ya udah, saya pamit dulu, Pak. Sampai ketemu di hari pernikahan." Vanya melambaikan tangan pada keduanya dan kembali ke mejanya.

"Ayo jalan lagi." Gika menggenggam tangan Kiara. Hati wanita itu semakin berbunga-bunga. Jika bunganya dikumpulkan, Kiara bisa membuka toko bunga. 

"Mas Kastara udah datang?"

"Udah dua hari lalu, Mas. Tapi, belum sempat ketemu kamu. Orangnya tidur aja di rumah,"kata Kiara tertawa kecil. Wajahnya merah karena beberapa bawahan Gika tengah menatapnya.

"Ya, pasti karena rindu rumah. Nanti kita bisa ketemu pas udah di hotel kok." Gika memencet tombol lift menuju basemant.

Sempat terjadi keheningan setelah lift berjalan.

"Kamu beneran nggak ngurusin kerjaan selama cuti, kan, Mas?"

Gika berdehem."Mungkin aku masih kerja dari rumah. Kalau masalah meeting di kantor, sudah ada yang menggantikan."

"Syukurlah kalau gitu, Mas."

"Apa yang kamu cemaskan, sayang?" Gika menatap Kiara lembut. Tatapan itu yang selalu membuat hati Kiara luluh. Sekali pun Kiara sedang marah besar. Amarahnya akan hilang seketika dengan tatapan tersebut. Jika diibaratkan, Kiara adalah api, sementara Gika adalah air. Gika selalu mampu menenangkan dan meredam Kiara. Mereka seakan sudah ditakdirkan untuk bersama, selamanya.

Pintu lift terbuka. Sepasang kekasih itu keluar dalam keadaan tangan masih menggenggam. Gika menjepit clutch ke ketiak, lalu menekan kunci mobil. Ia membukakan pintu untuk Kiara. 

"Kita makan dulu di Kampung Keling, ya. Pengen makan roti tisu sama mi aceh,"kata Gika sambil menyalakan mesin.

Kiara mengangguk. Kecocokan Kiara dan Gika salah satunya adalah di bidang kuliner. Keduanya hobi makan."Oke."

Mobil melaju menembus kemacetan Kota Medan. Langit semakin gelap, tapi, jalanan terlihat indah oleh lampu jalanan. Menghabiskan malam dengan makan dengan kekasih, adalah hal yang selalu Kiara tunggu. Kiara sangat bahagia, Gika memberikan kenangan indah ini, sebelum akhirnya mereka mengubah status menjadi suami istri.

Keluarga Kiara sudah tiba di salah satu hotel bintang lima di kota Medan. Keluarga Gika yang menginginkan acara dilaksanakan sedemikian mewah. Ditambah lagi, Kiara bukanlah berasal dari keluarga biasa. Keenan, Papa Kiara juga merupakan Pengusaha sukses di sini. Tidak mungkin acara diadakan biasa-biasa saja. Mereka tidak peduli nantinya akan tekor, asalkan tersohor.

Kiara mendapatkan kamar sendiri. Malam ini, ia akan luluran dan spa di hotel ini. Beberapa keluarganya tampak sibuk. Mereka memindahkan pakaian dan keperluan lainnya ke sini. Kiara tidak bisa membantu. Wanita itu harus berdiam diri di kamar dan melakukan perawatan badan.

Kiara mulai melakukan perawatan badan mulai pukul sepuluh pagi. Untuk melewati rangkaian panjang ini,Kiara harus bersabar. Prosesnya akan menghabiskan waktu berjam-jam lamanya.

Pukul enam sore, semua prosesnya selesai. Kiara merasa rileks dan tenang. Wanita itu kembali ke kamar dan melihat ponsel yang ia abaikan berjam-jam. Ada pesan dari Gika yang mengatakan kalau besok pagi ia ke hotel. Kiara membalas pesan Gika sembari tersenyum.

Kemudian, ia membalas pesan dari Kala. Ia mengirimkan foto pemandangan yang sangat indah. Kiara sampai takjub dibuatnya.

 

"Foto di mana itu?"

"Pantai Tanjung Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan."

"Kamu lagi di sana?"

"Iya. Bagus, kan? Cocok untuk bulan madu."

 

Kiara menutup pesan. Ia beralih ke internet untuk mencari tahu tempat tersebut. Tempatnya memang sangat indah. Kiara suka pantai dan keindahan laut, meskipun ia tidak bisa berenang. Sepertinya lebih bagus pergi ke sana.

Kiara membalas pesan Kala.

 

"Iya bagus banget. Aku suka. Mudah-mudahan aja bisa ke sana."

"Oke. Ngomong-ngomong bagaimana persiapan pernikahan kalian?"

"Sejauh ini lancar dan aku deg-degan."

"Memang begitu, ya, kalau mau menikah. Deg-degan."

 

Kiara dan Gika tidak membicarakan perihal bulan madu. Cuti mereka memang singkat. Kata Gika, sangat singkat untuk digunakan bepergian. Gika mengatakan kalau nanti saja, ketika mengambil cuti khusus selama dua minggu. Di saat itulah, mereka akan pergi ke mana pun, yang Kiara inginkan. Mereka bisa merencanakannya dengan matang.

 

Chapter 3

Mengingat Gika, Kiara jadi rindu. Di jam seperti ini, Gika pasti sedang santai di rumah. Kiara mencoba menghubungi kekasihnya itu. Nada hubung berbunyi berkali-kali. Gika tak kunjung menjawab. Kiara memutuskan sambungan, lalu satu menit kemudian menghubunginya lagi. Kali ini, Gika menjawab teleponnya.

"Hai, sayang..." Napas Gika terdengar memburu.

"Hai, lagi apa? Sorry ganggu." 

Gika mengatur napasnya."Habis treadmill, makanya agak lama jawab telepon kamu."

"Jangan capek-capek,"kata Kiara khawatir. Jika terlalu diforsir, bisa-bisa tenaganya habis ketika hari pernikahan tiba.

"Nggak kok, santai aja. Kamu udah di hotel?"

"Iya sudah."

"Oke, kamu istirahat. Perawatan yang bagus. Jangan bergadang,"ucap Gika mengingatkan. Ia tidak mau Kiara terlihat tidak energik di keramaian nanti.

"Iya, sayang. Kamu juga istirahat, ya."

"Aku mau keringkan badan dulu. I love you."

"I love you too." Wajah Kiara merona.

"Sudah, ya, bye."

"Bye." Kiara meletakkan handphone ke sebelahnya, kemudian memeluk bantal dengan bahagia. Ia sempat memekik di dalam bantal. Ia begitu bahagia.  Setelah beberapa detik bereuforia, Kiara teringat pada Kala. Ia belum membalas pesan dari orang tersebut. 

Kening Kiara mengkerut ketika melihat layar ponselnya. Ternyata baik Gika mau pun dirinya  belum memutuskan sambungan. 

"Loh, jangan-jangan Gika dengar aku teriak." Kiara menempelkan benda tipis itu ke telinga. Baru saja mulutnya terbuka, raut wajah wanita itu berubah. Suara Gika terdengar di seberang sana. Kekasihnya itu sedang bicara dengan seorang wanita. Entah siapa, mungkin saudara atau Kakaknya. Kiara ingin segera memutus sambungan, tapi, perdebatan di seberang sana mengundang rasa penasarannya. Kiara tidak tahu permasalahannya, tapi, Kiara mulai mendengar kalimat yang mengejutkan hati.

"Sudah kubilang, kalau sedang sama aku, jangan angkat telepon dari dia."

"Aku nggak mungkin mengabaikan telepon calon istriku." Suara Gika terdengar lantang. Kiara memegang dadanya yang berdebar tak karuan. Siapa yang sedang bicara pada Gika. Jika saudara, tidak mungkin seperti itu.

"Jangan sebut dia calon istrimu. Kamu harus~"

"Pada kenyataannya kami memang akan menikah lusa."

Hati Kiara terasa ditampar keras. Tubuhnya membatu. Tentu saja otaknya sudah menerka-nerka. Itu seperti pembicaraan dengan selingkuhan bukan? Tidak. Kiara menggeleng. Ini hanyalah prasangkanya saja. Ia harus mendengarkannya sampai tuntas agar tidak gagal paham.

"Kenapa kamu menikah dengannya, Mas." Wanita di seberang sana terisak. Kiara merasa tidak asing dengan suara tersebut. Tetapi, ia masih belum menemukan nama pemilik suara tersebut.

"Karena kami memang harus menikah. Sudahlah, sayang, kenapa kamu baru menanyakannya sekarang?"

Bagaikan tersambar petir di siang bolong. Itulah yang Kiara rasakan saat ini. Awalnya ia menganggap, Gika bicara pada saudaranya. Anggap saja seperti itu. Tapi, jika sudah dipanggil sayang,bukankah itu artinya mereka punya hubungan spesial. Air mata Kiara menetes.

"Karena aku pikir, kamu atau Kia akan menyerah. Hubungan kalian,kan, begitu hambar. Bahkan kamu sama Kia nggak hubungan badan, kan, selama pacaran. Kamu carinya aku, dan selalu butuh aku."

Hati Kiara kali ini hancur lebur. Air matanya mengalir deras tanpa suara. Kiara menahan diri untuk tidak terisak. Ia menutup mulutnya menahan tangis. 

"Orang tuaku sudah merestui hubungan kami. Kamu tahu, kan, pernikahan kami ini akan sangat menguntungkan. Ya kamu tahu sendiri maksudku." Nada bicara Gika terdengar enteng sekali.

"Tapi, aku selalu cemburu kalau kamu sama dia. Rasanya, aku mau cabik-cabik mukanya aja kalau ketemu."

Kiara tersentak. Bertemu? Itu artinya Kiara pernah bertemu dengan wanita itu.

"Bagaimana pun dia sahabatmu. Kamu harus bersikap baik padanya. Jika tidak, hubungan kita tidak selancar ini."

"Sahabat?" Genggaman ponsel Kiara hampir terlepas. Tapi, ia berusaha kuat untuk mendengarkan kelanjutannya. Sebab, ponselnya akan merekam otomatis setiap pembicaraan di telepon.

"Tapi, aku bakalan nangis menyaksikan kalian menikah. Aku bakalan hancur, Mas. Aku nggak terima. Aku sayang sama kamu, Mas. Bagaimana bisa aku menjadi bridesmaid dari wanita yang akan menjadi istri kamu."

"Vanya~" Kiara menggumam. Kali ini ia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Ia menjauhkan ponselnya dan terisak. Beberapa detik kemudian, ia memutuskan sambungan telepon.

Gika selingkuh dengan sahabatnya sendiri, Vanya. Entah sejak kapan. Dari pembicaraan itu, sepertinya hubungan mereka sudah lama. Lalu, keduanya intens berhubungan badan. Kiara terisak, hatinya terasa disayat-sayat pisau. Ia sungguh mengasihani dirinya. Selama ini, Vanya selalu baik dan manis padanya. Ternyata, di balik itu semua, Vanya menikamnya. Kiara sangat terpukul, dua hari lagi ia dan Gika akan menikah. Tapi, ia justru menerima kenyataan pahit ini.

Ini sudah pukul dua belas malam. Kiara merasakan perih di sudut matanya. Kelopak matanya membengkak. Air matanya sudah berhenti karena Kiara merasa lelah. Wanita itu berusaha mengumpulkan tenaga. Ia akan pergi ke apartemen Gika. Dua jam lalu, Kiara menghubungi Kakak Gika. Jawabannya semakin menegaskan kalau Gika ada di apartemen bersama Vanya. Bahkan, kemungkinan, saat ini mereka tidur bersama.

Kiara mengambil hoodie milik Kastara yang tertinggal di kamarnya. Kemudian memakainya berpasangan dengan celana pendek. Ia keluar hotel dengan pelan. Tidak mau ada keluarganya yang tahu kalau ia pergi. Untung saja ia memegang kunci mobil. Kiara melanjukan mobilnya dengan cepat. Apartemen Gika tidak begitu jauh dari sini. Karena ia tahu passwordnya, maka tidak sulit bagi Kiara untuk masuk. 

Kiara tiba di depan apartemen Gika. Ia menarik napas panjang, kemudian menekan password. Ia mendorong pintu pelan. Ia sengaja melepas sandal agar tidak menimbulkan suara. Kiara berjalan pelan sekali menuju kamar. Kakinya sempat gemetaran. Ia sudah menyiapkan ponselnya. Ia akan merekam atau mengambil gambar.

Kiara menutup mulut, menahan diri untuk tidak bersuara. Namun, air matanya kini membasahi pipi. Gika dan Vanya tengah tertidur pulas tanpa pakaian di balik selimut. Lalu, pakaian mereka tergeletak tak beraturan di lantai. Kiara menenangkan dirinya terlebih dahulu. Setidaknya ia harus mengambil gambar atau video sebagai bukti. Meskipun, sebenarnya ia ingin sekali berteriak dan mencaci maki Vanya saat ini juga. Kiara ingin memisahkan pelukan mereka. Tapi, Kiara harus melakukan pembalasan dengan cara yang baik.

Kiara menarik napas panjang. Kemudian berjalan perlahan mengambil video dari mulai pintu kamar. Ia juga memvideokan pakaian yang berserakan di lantai, lalu, terakhir pasangan yang tengah tidur nyenyak. Tangan Kiara gemetaran saat melakukan itu. Ia sampai menyanggah tangan kanannya agar bisa mengambil video dengan benar. Setelah video selesai. Kiara mengambil beberapa gambar, kemudian segera meninggalkan apartemen itu.

Di jalan, Kiara kembali menangis. Gika snqgat tega melakukan ini padanya. Gika yang sangat manis dan perhatian  ternyata menduakannya. Bahkan, dia tidur di dalam apartemen yang nantinya akan menjadi tempat mereka tinggal setelah menikah.

 

 

Chapter 4

Kiara berteriak di dalam mobil, melampiaskan rasa sakit hati dan marahnya. Jika sudah begini, tidak mungkin ia pura-pura tidak tahu. Tapi, jika pernikahan mereka dibatalkan, pihak keluarga akan malu. Kiara tidak mau keluarganya diperlakukan seperti ini. Secara tidak langsung, Gika mempermalukan Mama dan Papa, juga keluarga besarnya. Tapi, Kiara juga tidak mau bersama Gika. Meskipun, Kiara mencintai Gika. Pria itu sudah berkhianat. Pernikahan seperti itu, tidak akan membahagiakan Kiara. Bisa saja hubungan mereka tetap berlanjut.

Kiara tiba di hotel. Ia cepat-cepat masuk ke kamar. Wanita itu tidak langsung tidur, melainkan memindahkan video dan foto ke laptop. 

Setelah selesai, Kiara berbaring. Air matanya kembali mengalir. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan sekarang. Hatinya seakan sudah tidak berbentuk.

Sudah pukul tiga. Kiara masih belum bisa tidur. Tetapi, ia khawatir matanya akan bengkak. Wanita itu memanaskan air. Ia akan mengompres matanya dengan air hangat. Kiara berusaha tidur agar tidak begitu lelah. Ia akan pikirkan cara membeberkan prilaku Gika nanti, setelah ia istirahat.

Pukul delapan pagi, bel kamar berbunyi berkali-kali. Kiara tersentak dan mengenyahkan handuk kecil di matanya. Ia tidak ingat lagi pukul berapa ia tidur.  Ia mengompres matanya beberapa kali dan baru tersadar saat ini. Ia melihat wajahnya di cermin, sedikit mengempis. Tapi, masih sedikit sembap. 

Kiara membuka pintu karena bel terus berbunyi. 

"Nggak sarapan, Ki?" Kastara berdiri di depan pintu dengan rambut dikuncir. Kakaknya lebih tampan jika rambutnya diikat. Atau lebih baik dipotong pendek saja.

"Malas, Kak."

"Mana boleh. Kakak suruh antar makanan ke kamar aja, ya. Kamu harus ada energi." Kastara melihat mata Kiara yang tampak berbeda.

"Iya boleh."

"Kunci mobil dong, Ki."

Kiara mengambil kunci mobil dan menyerahkan ada Kastara. Pria itu belum beranjak meskipin kunci sudah di tangannya.

"Kamu habis nangis?"

Kiara tergagap. Ia terkekeh untuk menyembunyikan kegugupannya."Iya. Karena nggak tahu mau ngapain, aku marathon nonton drama Korea, Kak. Filmnya sedih."

"Astaga." Kastara menyentil jidat Kiara."Kamu nggak boleh begadang. Ya udah lanjut istirahat aja. Nanti Kakak suruh makanannya diantar ke kamar,"ucap Kastara sebelum beranjak dari sana.

Kiara menarik napas lega. Ia kembali berbaring. Wanita itu berpikir kapan waktu yang tepat untuk mengagalkan pernikahan ini. Tapi, semua kegagalan ini disebabkan oleh Gika. Kiara tidak mau malu sendirian. Gika juga harus merasakan apa yang ia rasakan. 

Kiara pikir, ia masih harus mengumpulkan bukti. Lalu, ia ingat, kalau Vanya akan ke sini sore nanti.

Kiara dan Gika tidak boleh bertemu sampai besok. Tidak menutup kemungkinan, Gika dan Vanya akan bertemu. Tangan Kiara mengepal. Ia sudah tidak sabar menunggu wanita itu tiba. Meskipun hati Kiara tersakiti, ia tidak akan membiarkan harga dirinya semakin diinjak-injak. Jika memang keduanya saling mencintai, Kiara akan melepaskan Gika. 

Pukul lima sore. Kiara sudah mandi. Wajahnya juga sudah dipoles make up tipis. Ia akan bertemu dengan Vanya. Ia harus terlihat baik-baik saja. Kiara ingin berkunjung ke kamar orang tuanya. Tapi, ia berpapasan dengan Mama Gika.

Kiara tersenyum, memeluk calon mertuanya dengan hangat."Mama kapan datang?"

"Jam dua tadi. Kamu cantik banget, sih." Pujian itu memang sering dilontarkan pada Kiara. Kiara selalu tersanjung dengan pujian calon mertuanya itu. Andai Gika tidak berulah, Kiara akan sangat bahagia mendapatkan mertua seperti itu.

"Makasih, Ma. Oh, ya, Mas Gika mana?"

"Ada di kamarnya. Katanya nggak mau diganggu sampai besok pagi." Anyelir, Mama Gika berbisik dengan senyuman menggoda. Tatapannya juga tampak menggoda calon pengantin itu.

Kiara tersenyum tipis. Ia tidak berpikir demikian. Sangat mencurigakan jika Gika tidak mau diganggu, bahkan oleh keluarganya sendiri."Iya, Ma."

"Kamu mau ke mana, Ki?"

"Ke kamar Mama sama Papa. Mama mau ke mama?"tanya Kiara.

"Cariin Genta, nggak tahu, nih ke mana. Ya udah kamu hati-hati, ya."

"Iya, Ma." Kiara melangkah menuju kamar sang Mama. Kastara yang membukakan pintu. Sebab, kamar Kastara terkoneksi dengan kamar Keenan dan Kalila.

"Mama mana, Kak?"Kiara bertanya sambil masuk.

"Ada tuh, dari tadi teleponan terus."

"Telpon siapa?"

Kastara mengambil botol air mineral."Ya ...Om, Tante, memperingatkan supaya nggak terlambat besok."

Kiara melihat ke arah Mama di kursi. Wanita yang melahirkannya itu tampak sibuk. Sesekali, Kalila tertawa. Kiara tersenyum lirih. Malam ini, tawa itu akan berubah menjadi kesedihan. Tapi, jika kesedihan itu tidak terjadi malam ini. Itu akan menjadi kesedihannya selamanya. 

"Mas udah ketemu Gika?" Kiara duduk di sisi tempat tidur.

"Udah tadi siang. Kita sempat ngobrol kok." Kastara menjawab tenang. Gika dan Kastara seumuran. Jadi, obrolan mereka selalu saja cocok. Kastara menatap Kiara."Kalau kamu, sudah ketemu Gika?"

"Ih, kan nggak boleh."Kiara terkekeh.

"Siapa tahu aja, kan, bandel."

Bibir Kiara mengerucut."Kapan Kakak pulang ke Sigli?"

"Mungkin seminggu lagi. Mau di rumah aja dulu. Kan di rumah udah nggak ada kamu. Ya, Kakak yang gantiin."

"Makanya, Kakak pindah kerja aja di sini. Nggak usah balik ke Sigli." Sebenarnya Kiara juga tidak tahu apa yang membuat Kastara bertahan di sana. Mungkin, kekasihnya. Kiara menginginkan, sang Kakak bisa tinggal bersama-sama lagi.

"Nanti Kakak pikirkan deh." Kastara terlihat diam. Tapi, Kiara tahu, otaknya sedang berpikir.

"Ada perempuan yang Kakak suka, ya, di sana?" Kiara menebak dengan nada menggoda.

Kastara melirik, kemudian tersenyum. Senyuman yang sangat bisa dipahami oleh Kiara."Segera lamar dan bawa dia ke sini. Kan nggak jauh juga."

"Kakak nggak berani ungkapkan perasaan Kakak, Ki. Lagi pula~memangnya dia mau sama laki-laki gondrong begini?" 

"Ya makanya dipotong dong. Aku aja nggak suka sama lelaki rambut panjang. Itu menyerupai perempuan tahu, Kak. " kiara mengingatkan.

"Tahu, ah!" Kastara pura-pura tidak peduli. Padahal, di dalam hati, ia sedang menerka-nerka sesuatu.

Kiara membuka gawainya, lalu mengirim pesan 

Pada Vanya menanyakan keberadaan wanita itu. Vanya mengatakan kalau ia sedang di jalan. Kiara akan menunggu wanita itu. Ia sudah mendapatkan nomor kamar Gika. Ia menunggu waktu yang tepat memergoki Vanya dan kekasihnya itu. Rasanya sungguh berat. Tapi, masalah ini sudah tercetak di garis takdirnya. Kiara harus melewati semua kepahitan ini.

Satu jam kemudian, Kiara kembali menghubungi Vanya. Katanya, wanita itu hampir sampai. Kiara mengernyit curiga. Ia segera pamit akan ke kamar pada Kastara. Kiara kembali memakai hoodie, memakai penutup kepala sehingga tidak begitu kelihatan. Kiara turun ke lobi, lalu duduk di ruang tunggu. Vanya tiba membawa tas besar dan dua buah kopi dari salah satu coffeshop ternama. Vanya menunggu lift.

Kiara bangkit dan cepat-cepat menaiki anak tangga. Ia akan naik dari lantai berikutnya agar tidak begitu mencurigakan. Setelah menunggu beberapa lama, pintu lift terbuka. Vanya ada di dalam. Wanita itu fokus dengan ponselnya hingga tidak menyadari Kiara di sana. Ada tiga orang di dalam lift. Lalu, ketiganya akan turun di lantai yang sama. Kiara menggeram. Harusnya, kamar Vanya satu lantai dengannya. Tapi, wanita itu pergi ke lantai di mana Gika menginap. Bahkan, seakan sudah direncanakan. Kamar Gika tidak sama dengan kamar siapa pun dari keluarganya.

 

 

Chapter 5

Begitu keluar lift, Kiara pura-pura berjalan berlawanan arah dengan Vanya. Kiara juga sudah siap dengan ponselnya dan merekam Vanya. Vanya mengetuk pintu kamar Gika. Pria itu keluar dan mereka berpelukan. Setelah itu, Gika mengecup pipi Vanya dengan mesra.

"Bagus!" Kiara menggeram."Silakan lanjutkan kemesraan kalian. Berbahagialah di atas kesakitanku! Setelah ini, bakalan kuberantas sampai ke akar hidung kalian." Kiara melangkah mendekati kamar karena sepasang pengkhianat itu masuk ke kamar. Kiara mendorong pintu pelan sekali, berusaha mengambil posisi yang pas. Hanya ada celah kecil, sebisa mungkin, Kiara merekamnya. Vanya menyerahkan cup coffe kesukaan Gika. Mereka tampaknya sangat bahagia dengan hubungan itu.

Kiara mengakhiri rekamannya. Kemudian berjalan gontai. Wanita itu kembali berpikir. Sebenarnya, ia dan Gika memang tidak cocok. Hanya saja, ia tidak pernah sadar akan hal itu. Nyatanya, Vanya bisa membuat Gika lebih nyaman dan tersenyum bahagia. Tapi, tidak seharusnya mereka memulai hubungan dengan cara seperti ini. Kiara muak dengan Gika dan Vanya. Malam ini, semuanya harus tuntas. Kiara kembali ke kamar dan memindahkan rekaman videonya ke laptop.

Kiara melihat jam. Ia sudah selesai mengedit video. Selama mengedit, air matanya tidak berhenti menetes. Bohong jika ia tidak sakit hati dan kecewa. Tetap akan ada tangisan meskipun ia lakukan ketika ia seorang diri saja.

Kiara mengirim pesan pada anggota keluarga Gika dan juga keluarganya. Kiara sudah memesan ruang meeting di hotel ini. Ruangan itu tidak terlalu besar. Tetapi, cukup menampung semua anggota keluarga. Kiara juga meminta disediakan proyektor. Semua terheran-heran mendapat pesan dari Kiara. Tanpa ragu, semuanya pun datang. Mungkin saja Kiara ingin membuat acara kecil-kecilan sebelum melepas masa lajangnya besok. 

Masing-masing duduk. Mereka menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kiara berdiri di depan. Gika belum muncul juga. Sementara itu, Vanya baru saja datang. Kiara tersenyum sinis.

"Kia, ada apa, Nak? Semua udah berkumpul." Keenan menatap Kiara yang sedari tadi diam saja.

"Gika juga harus ada di sini, Pa. Ini sangat penting. Semuanya harus hadir." Kiara menjawab dengan tenang. Meskipun, hatinya sendiri seakan tidak siap menerima kenyataan ini. Tidak siap melihat orang tuanya kecewa.

Semua orang bertukar pandang. Mama Gika menghubungi anaknya dan meminta segera datang. Lima menit kemudian, Gika tiba. Gika sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukan Kiara. Pria itu hanya diam menatap calon istrinya

Kiara tersenyum."Selamat malam semuanya. Sebelumnya, Kia minta maaf karena sudah menyita waktu. Tapi, ini sangat penting karena besok,Kia dan Gika akan menikah."

Semua tersenyum haru. Sepertinya Kiara akan menyampaikan kata-kata perpisahan sebelum menikah.

Kiara menarik napas panjang."Kia mau ucapkan terima kasih untuk Mama dan Papa, karena~sudah membesarkan Kia.  Maaf, jika selama ini, Kia banyak membuat Mama dan Papa kesal."

"Oh, anakku."kalila menitikkan air mata.

Kiara menatap kedua orang tua Gika."Mama dan Papa mertua, terima kasih sudah memberi restu. Mama dan Papa adalah mertua idaman setiap orang. Kiara merasa sangat senang dan bahagia bersama Mama dan Papa."

Suasana masih dalam keharuan. Gika tersenyum di belakang sana. Sementara Kastara mengernyit curiga. 

"Mas Gika~terima kasih sudah memilihku. Lalu, Vanya  terima kasih menjadi sahabat terbaikku selama ini." Kiara menahan air matanya agar tidak tumpah. "Malam ini~Kia ingin menunjukkan sesuatu. Semoga video ini tidak menyakiti atau mengecewakan siapa pun."

Kiara menyalakan video yang sudah ia atur. Adegan pertama adalah ketika Vanya menghampiri Gika di kamar. Mereka berpelukan mesra dan berciuman. Lalu, adegan lanjutan di kamar hotel Gika.

Semua orang memekik, terutama para wanita. Mereka langsung menatap Gika dan Vanya. Kedua artis dalam video itu bertukar pandang. Wajah mereka terlihat sangat syok. Lalu, mereka kembali ke layar.

Mama Gika memegang dadanya saat adegan selanjutnya adalah di apartemen Gika. Saat Vanya dan Gika tidur bersama dengan pakaian yang berantakan di lantai.

"Nggak, ini palsu. Ini gambar editan!" Vanya berteriak tak terima.

Kiara bersedekap dengan tatapan sinis dan marah. Ada sisi tersembunyi dari Vanya. Wanita itu suka berbohong demi kebahagiaan dirinya. Bisa-bisanya dia mengelak. Vanya menatap Kiara tak suka. Ia tidak menyangka Kiara akan melakukan ini adanya. Ketahuan, mungkin bisa saja akan terjadi. Tetapi, membeberkannya di depan keluarga Gika seperti ini. Entah harus ditaruh di mana wajahnya ini.

Lalu, terdengarlah suara Vanya dan Gika. Suara yang direkam otomatis dari pembicaraan telepon. Wajah Vania memucat. Wajahnya terasa berpuluh-puluh kali lipat tebalnya. Apa lagi, ia mendapat tatapan sinis dari pihak keluarga Gika.

Semua menonton video sampai habis. Lalu, Kiara menghentikan video. Sebenarnya, ia ingin mempermalukan Gika besok, ketika akad bikah akan dimulai. Tetapi, ia tidak mau mempermalukan keluarga besar Gika di depan tamu. Yang salah Gika. Orang tua Gika dan keluarganya, tidak boleh dilibatkan atau diikut sertakan untuk dipermalukan. Tapi, saat ini, sepertinya orang tua Gika malu atas kelakuan anaknya.

"Maaf jika video tadi membuat kalian kaget. Saya jauh lebih kaget, ketika tahu Gika punya hubungan dengan Vanya, sahabat saya sendiri. Kiara tidak mengada-ngada. Selama dua hari ini, Kia mencari bukti dengan hati yang berdarah. Lalu, Kia mendapatkan kenyataan ini. Sebelum besok tiba, Kiara mengatakan semua di depan semuanya. Dengan ini~Kia mohon maaf, karena Kia membatalkan pernikahan besok."

"Kia~" Kalila menangis histeris. Keenan langsung memeluk istrinya. Semua anggota keluarga yang lain riuh.

Mama Gika bangkit dan menghampiri anaknya."Gika! Apa video itu benar-benar kamu?" Matanya sudah merah karena amarah yang sedang tertahan.

Gika meneguk salivanya. Ia menatap ke arah Vanya yang menunduk dengan wajah merah.

"Gika, jawab Mama! Atau Mama nggak akan anggap kamu anak lagi!"

Gika memejamkan matanya. Ia sudah tertangkap basah. Tidak ada alasan untuk mengelak. Wajahnya terlihat begitu jelas di sana. Gika mengangguk perlahan.

Mama Gika terperanjat."Beneran kamu? Kamu selingkuh dari Kia, Gika?"

"I-iya, Ma."

"Kenapa, Gika, kenapa?" Wanita itu menampar Gika dan langsung histeris. Beberapa orang di dekatnya langsung memeluk Mama Gika dan menenangkan.

Kastara yang sedari tadi mengeraskan rahang, kini menghampiri Gika. Tatapannya dingin. Lalu, Ia menendang milik Gika, lalu menghajar pria itu dengan membabi buta. Orang di sana sibuk menarik Kastara. Gika sendiri sudah tidak bisa bergerak karen kesakitan. Kastara tidak berkata apa pun. Tapi, ia ingin terus memukul Gika.

Kiara menahan diri untuk tidak menangis. Ia menyaksikan kericuhan ini dengan hati berdarah-darah. Ia menatap Vanya dan menghampirinya.

"Vanya~"

"Apa kamu harus melakukan ini? Kenapa harus di depan orang banyak?" Vanya bertanya dengan wajah merah. Ia sudah malu besar. Tidak ada jalan lain, selain membalas Kiara dengan kemarahan.

Kiara tersenyum sinis."Apakah aku harus memberi tahu secara diam-diam, seperti hubungan kalian? Sayangnya aku nggak seperti itu."

"Kamu licik." Vanya menggeram.

 

Chapter 6

"Menghadapi orang licik sepertimu, harus dengan kelicikan juga. Jadi, selamat terjatuh dengan kelicikanmu sendiri, Vanya. Kamu dan Gika sudah memiliki hubungan yang sangat jauh dan intim. Kamu sangat mencintainya bukan? Menikahlah. Gantikan posisiku besok. Aku ikhlas melepas Gika. Terima kasih, kamu telah mengambil orang yang salah dariku."

 Kiara meninggalkan ruangan itu. Ia berjalan tegar, tapi, diam-diam air matanya jatuh membasahi pipi. Kiara membiarkan kericuhan itu terjadi di dalam sana. Nanti, jika sudah sedikit tenang, ia akan menemui Mama dan Papanya untuk meminta maaf. Saat ini, Kiara harus mencari tempat untuk menumpahkan air matanya.

Satu jam lebih tiga puluh menit setelah acara menonton bersama. Kiara dipanggil kembali ke ruangan itu. Bedanya  kali ini, hanya ada orang tua Gika, orang tua Kiara, serta Kastara. Tentu saja Gika dan Kiara didudukkan berdampingan. Sementara Vanya, ia diamankan oleh Kakak Gika. Entah apa jadinya wanita itu. Kakak Gika terkenal judes. Kini, Kastara menatap Gika tajam. Ia sudah menganggap Gika saudara saat berteman. Ketika tahu memacari Adiknya, tentu saja ia tidak keberatan. Selama ini, Gika baik dan pekerja keras. Hanya saja, mengkhianati Kiara tidak akan pernah ia maafkan. 

"Jadi, bagaimana ini~ pernikahan sudah tinggal menghitung jam. Tapi, ada masalah berat seperti ini." Keenan memulai pembicaraan.

"Batalkan saja pernikahan Kiara dan Gika, Pa. Lebih baik kita malu sekarang. Daripada~" Kiara menatap Gika di sebelahnya "daripada kita malu yang lebih besar di kemudian hari."

"Apa tidak bisa kamu pikirkan lagi, Ki? Sudah tinggal besok. Semua sudah diatur dan dipersiapkan. Kita semua bisa malu. Tamu undangan pasti akan datang."Mama Gika memohon pada Kiara. Tapi, wanita dua puluh sembilan tahun itu menggeleng dengan senyuman lirih.

"Jika yang bermasalah adalah keuangan Gika, Kiara akan tetap ada di sampingnya. Tapi, selingkuh~apa lagi dengan sahabat sendiri. Entahlah~Kia tidak tahu. Kiara tidak bisa menerima sebuah pengkhianatan."

Gika hanya bisa diam di sebelah Kiara. Ucapan Kiara yang terdengar tenang dan tertata rapi, justru mencabik-cabik hatinya. Apakah Kiara tidak mencintainya, hingga bisa setenang itu.

"Apa kamu tidak bisa memberikan kesempatan kedua, Kia? Mama yakin, Gika bisa berubah. Iya, kan, Nak?" Mama Gika menatap anaknya dengan penuh harap.

Kiara tahu risiko pembatalan pernikahan ini. Keluarganya akan diperbincangkan banyak orang. Lalu, ia juga akan digosipkan satu kantor. Terlebih jika mereka tahu soal skandal antara Gika dan Vanya. Orang-orang juga akan mengasihani dirinya. Tapi, waktu akan terus berjalan. Perlahan gosip atau omongan orang perlahan akan menghilang. Hati dan perasaan Kiara bukan pertaruhan. Lebih baik sakit karena batal menikah sekarang. Daripada meneruskan pernikahan,lalu, merasakan duri yang terus menusuk ke dalam daging. Sakit selamanya atau bisa saja berujung perceraian.

Kiara menarik napas panjang."Mama~ jika Gika benar-benar mencintai Kia, maka dia tidak akan memiliki hubungan dengan Vanya. Justru Vanyalah, wanita yang seharusnya dinikahi Gika. Sebab cinta Gika yang begitu besar pada Vanyalah, yang membuatnya tega mengkhianati Kia." 

"Kia~" Gika berucap lirih.

Kiara menatap Gika sinis."Apakah kamu masih bisa bicara? Hah! Kalau aku jadi kamu, pasti sudah tidak akan menampakkan muka di sini."

"Kia~ nggak seharusnya kamu begini. Kamu bisa tanya langsung sama aku soal aku dan Vanya."

Kiara tertawa lirih."Apa aku sebodoh itu? Lelaki yang selingkuh tidak akan mengaku. Dengan cara seperti ini, apa kamu masih bisa mengelak?"

"Tapi, setidaknya jangan batalkan pernikahan kita. Semua sudah siap, Kia. Ballroomnya bahkan sudah sangat cantik. Jika kita batal menikah, keluarga kita akan malu, Kia!" Gika menahan emosinya. Ia sudah menggelontorkan dana yang besar untuk pernikahan ini. Lalu, jika batal, maka uang itu habis sia-sia.

"Kamu tetap menikah. Tapi, bukan denganku, dengan Vanya. Beres,kan?" Kiara memainkan alisnya membuat Gika kesal. Ekspresi Kiara membuatnya emosi. Wanita itu benar-benar terlihat santai, bahkan tidak meneteskan air mata. 

"Mana mungkin~" Gika menggeram."Mama dan Papa menentangnya. Tidak akan ada pernikahan aku dan Vanya besok," bisik Gika.

"Itu bukan urusanku. Kamu selingkuh. Jadi, hubungan kita berakhir sampai di sini, Gika.Jangan bahas apa pun lagi mengenai pernikahan. Aku tidak akan menikah dengan pengkhianat."

"Keluarga kita~sudah datang semuanya." Keenan berkata dengan lemas. Sementara Kalila duduk dengan minyak kayu putih di genggamannya. Sesekali ia mengusapkan ke perut atau tengkuknya. Kondisi tubuhnya langsung tidak fit dengan kenyataan ini.

"Ya, kita semua malu jika pernikahan Gika dan Kia gagal. Tapi, sebagai orang tua, Mama akan tetap memprioritaskan kebahagiaan anak Mama. Jika batal menikah adalah yang terbaik. Maka, Mama tidak ada pilihan lain, selain mendukung Kiara."

"Lalu besok~" Keenan memandang istrinya khawatir.

"Kita hanya perlu menebalkan telinga. Satu atau dua bulan saja, Pa. Setelah itu, mereka akan lupa." Kalila mengusap punggung suaminya.

Kiara tersenyum haru. Ternyata ia mendapatkan dukungan penuh oleh orang tuanya. Wanita itu berdiri,"Kia rasa semua sudah jelas. Kita harus istirahat supaya ketika kita bangun besok pagi, kita bisa kuat menerim kenyataan."

Kalila dan Keenan bangkit, diikuti Kastara, mereka kembali ke kamar. Mereka berempat berkumpul di satu kamar dan berpelukan. Di sanalah air mata Kiara tumpah. Sesungguhnya hatinya tidak sanggup dengan kenyataan ini. Tapi, ia harus kuat, demi apa pun.

Setelah cukup lama bertangisan. Kini mereka berempat saling berhadapan. Kastara mengusap puncak kepala Kiara.

"Kamu hebat, Kia. Wanita hebat tidak cocok untuk pria lemah seperti Gika."

"Thanks, Kak."

"Kalau memang keputusan kamu sudah bulat,Kakak yang akan hubungi pihak kantor KUA. Mereka tidak perlu datang besok." Sebagai Kakak, Kastara akan menjadi garda terdepan untuk Kiara. Ia juga akan menghubungi Manager Kia, untuk memberi tahu bahwa mereka tidak perlu datang. Kastara dan Dion cukup akrab. Sehingga, tidak masalah jika  ia menceritakan masalah yang sebenarnya. Ini semua demi Kia. Ia tidak akan membiarkan siapa pun menerka-nerka, kenapa pernikahan adiknya itu gagal. Lebih baik langsung diberi tahu. Perihal nama baik Gika? Kastara tidak peduli. Yang terpenting adalah Kiara.

"Iya, Kak. Hubungi saja."

"Oke."

Kiara menatap Kalila dan Keenan."Ma, Pa~tidak apa-apa , kan, kalau Kia nggak jadi menikah? Mama sama Papa tidak kecewa atau marah?"

Kalila menggeleng kuat."Mama kecewa pada Gika. Mama sangat menyayangkan semua ini terjadi. Tapi, pasti ada hikmah di balik semuanya. Jangan menyalahkan diri kamu, Kia. Mama dan Papa akan selalu mendukung, apa pun untuk kebaikan kamu."

Kiara dan Kalila berpelukan. Semuanya saling menguatkan. Sebab, tidak jadi menikah, bukan berarti hidup Kiara akan berakhir. Ini justru menjadi awa kehidupan baru Kiara.

 

Chapter 7

Kiara bangun tidur. Semalam mereka tidur bersama dalam satu kamar. Wanita itu membuka matanya yang perih. Lalu, ia menormalkan pandangannya. Ia mengernyit saat melihat Mama dan Papanya mengenakan seragam pernikahan. Kiara tersentak.

"Mama? Kok pakai baju begitu? Kan nggak jadi menikah?"

Kalila duduk di sisi tempat tidur. Ia tersenyum penuh arti."Kastara menggantikan kalian."

"Hah? Maksudnya, Ma? Kakak sama siapa? Kok bisa?"

"Kastara dan Yuna."

"Kak Yuna?" Kiara terbelalak. Yuna adalah sahabat Kastara. Sebenarnya ini sedikit mengejutkan karena keduanya sering bertengkar."Kenapa bisa, Ma? Kakak dan Kak Yuna menikah?"

Kalila mengusap rambut Kiara."Sebenarnya ini cuma pura-pura kok, Ki. Kakak kamu bilang, ini demi mengurangi rasa malu Mama dan Papa. Orang juga tidak akan terlalu menyadari siapa pengantinnya. Kebetulan Yuna bersedia. Mereka nggak menikah, cuma menggantikan kalian di pelaminan."

"Terus gimana mereka setelah menikah ini, Ma?" Kiara justru khawatir dengan Kastara dan Yuna.

"Kamu nggak perlu pikirkan itu, Kia." Kastara muncul. Pria itu sudah mengenakan stelan jas milik Gika. Tampaknya sedikit sesak di badan Kastara.

"Kakak." Kiara bangkit dan memeluk Kakaknya itu." Kenapa Kakak lakukan ini?"

"Tidak apa-apa. Lagi pula, Yuna juga setuju. Dia ada di kamar kamu lagi dimake up."Kastara memakai jam tangannya.

"Terus keluarga Gika? Ini kan pakai dana mereka."

"Mereka sudah pasrah. Tadinya, kita menyarankan agar Gika dan Vanya saja yang menikah. Tapi, mereka tidak mau. Mereka tidak tahu bagaimana Vanya. Jadi, Kakak mengambil keputusan ini." Kastara mengedipkan sebelah matanya.

Kiara kembali duduk di tempat tidur."Iya, Kak. Nanti aku temuin Kak Yuna." Kiara harus berterima kasih pada Yuna. Karena wanita itu ikut menyelamatkan keluarganya dari rasa malu. Kastara menyeret kursi ke hadapan Kiara. "Kamu istirahat aja di sini. Atau~kamu pergi aja liburan. Kakak bayarin tiket ke mana pun kamu mau."

"Mana mungkin aku pergi di hari pernikahan Kakakku sendiri." Kiara terkekeh dengan tatapan menggoda.

"Itu cuma pernikahan palsu. Kami tidak mengucapkan janji pernikahan, kan? Hanya bersanding di pelaminan tanpa ikatan."

"Ya menikah sajalah, Kak. Kan lumayan tanpa modal."Ucapan Kiara langsung disambut sentilan oleh Kastara.

"Aku mau ikut foto keluarga dulu, Kak. Kali aja kalian menikah beneran, kan."Kiara bangkit dengan semangat.

"Kamu nggak apa-apa, Ki?"tanya Kastara. Jujur saja, hatinya selalu terluka melihat Kiara yang terlihat baik-baik saja. Wanita itu pasti menyembunyikan banyak luka di dalam hatinya.

"Aku baik, Kak. Luka itu pasti masih basah. Tapi, bukan berarti aku nggak bisa berdiri dan tersenyum. Nanti sembuh sendiri." Kiara tersenyum."Aku mandi dulu."

Kastara menggeleng heran. Ia berharap Kiara bisa melewati semuanya dengan lapang dada.

Kastara tahu ini tidak mudah. Maka dari itu ia membelikan tiket untuk Kiara.

"Kakak belikan tiket, ya?"

"Loh, ke mana?" Langkah Kiara terhenti.

"Katanya kamu mau ke Makassar? Sekalian aja, mumpung kamu lagi cuti." Kastara memberi saran. Beberapa bulan lalu, mereka pernah melihat acara di televisi yang mengeksplore Kota di wilayah bagian tengah Indonesia. Kiara pernah bilang, ingin berkunjung ke sana.

"Wah, terlalu jauh. Tapi, kayaknya seru deh. Boleh, Kak." Kiara mengangguk setuju. Anggap saja ia sedang mencari tempat untuk membersihkan otaknya dari mantan calon suaminya itu.

Kastara langsung mengiyakan. Ia langsung memesan tiket keberangkatan malam ini. Semoga saja hati Kiara membaik setelah kembali dari sana.

Sementara itu, layar ponsel Kiara menyala. Pesan masuk dari Kala.

"Kiara, Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia sampai ke anak cucu."

Usai mengirimkan pesan itu, Kala langsung mencabut kartu SIM-nya. Pria itu mematahkannya dengan kesal, lalu membuangnya ke tempat sampah.

"Pak, semua udah nunggu di ruang meeting." Jonas, asisten pribadi Kala memanggil.

Kala menoleh kesal. Ia menarik napas panjang sebelum bangkit. "Apa meetingnya tidak bisa ditunda?"

"Bapak sudah menundanya dua kali. Kita harus meeting sekarang, Pak." Jonas berkata dengan sabar. Jonas adalah orang yang paling tahu kenapa mood Kala bisa seburuk itu. Tapi, ia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain mengucapkan sabar.

Kala keluar dari ruangannya dengan wajah datar. Jonas pun mengikuti Bosnya itu sambil tergopoh-gopoh.

Kiara berdandan selayaknya Adik dari Kakak yang menikah. Hari yang seharusnya ia bersanding di pelaminan. Kini hanya tinggal kenangan. Kiara justru menjadi teman foto Kastara dan Yuna saja. Di jam akad nikah, Kiara, orang tuanya, Kastara dan Yuna mengambil gambar keluarga. Mereka akan tetap mengabadikannya nanti. Kiara juga mengambil gambar bersama Yuna dan Kastara. Perihal Gika, Kiara sudah tidak mau memikirkannya lagi. Pria itu tengah mempertanggung jawabkan kelakuannya itu pada orang tuanya. Kasihan. Tapi, itu adalah akibat dari perbuatannya sendiri.

Resepsi dimulai. Tamu undangan berdatangan. Kiara diminta untuk tidak terlalu menampakkan diri. Ini demi menghindari pertanyaan dari orang yang Kiara kenal atau sebaliknya. Kiara mengambil tempat di lobi hotel. Tempat itu setidaknya lebih tenang. Ia mengambil gawainya. Ia baru menyadari ada pesan masuk dari Kala. Ucapan selamat menempuh hidup baru itu cukup mengagetkannya. Tapi, Kala,kan tidak tahu kalau ia dan Gika tidak jadi menikah.

Kiara membalas pesan Kala.

"Terima kasih atas ucapannya. Sesuatu terjadi di antara kami. Jadi, kami batal menikah."

Pesan tersebut hanya centang satu. Kiara ingat kalau malam ini ia akan terbang ke Kota di mana Kala tinggal.

"Oh iya, malam ini aku terbang ke Makassar loh. Ya untuk menenangkan otakku ini."

 

Usai membalas pesan Kala. Kiara menatap ke arah luar jendela. Tiba-tiba saja hatinya merasa sepi. Air matanya kembali menetes. Kiara memikirkan apa yang ia lakukan setelah cuti selesai. Masuk kerja lagi? Apakah ia sudah siap mendengarkan segala pertanyaan atau bisik-bisik tetangga tentang dirinya. Apa lagi ia begitu semangat saat membagikan undangan pernikahan. Mengingatkan semua orang dengan nada riang,'save the date!'. Kiara terlalu bersemangat saat itu. Kali ini ia bisa membuktikan bahwa, sesuatu yang berlebihan itu memang tidak baik.

Kiara menarik napas dalam. Ia memang malu ketika masuk kerja nanti. Tapi, rasa malu yang ia rasakan tidak sebesar yang dirasakan Gika dan Vanya. Kastara sudah mengatakan masalah yang sebenarnya pada Dion. Lalu, meminta Dion mengatakan yang sebenarnya pada rekan kerja Kiara agar mereka tidak datang. Hari ini pasti ramai sekali menggosipkan mereka bertiga.

Lalu, setelah ini, persahabatannya dengan Vanya mungkin akan berhenti. Kiara tidak sanggup melihat wajah wanita itu. Sebaiknya tidak bertemu dahulu. Kiara pun memilih kembali ke kamarnya saja. Ia mempersiapkan keberangkatannya malam nanti. Semoga saja selama di sana, ia bisa menjernihkan pikirannya.

Kala baru keluar dari ruang meeting. Pria itu berjalan dengan wajah datar. Beberapa karyawan yang menyapa diabaikan begitu saja. Jonaslah yang membantu membalas sapaan mereka.

"Pak, mau ke mana?" 

"Aku mau tidur, Jon. Ini jam istirahat kan?"

"I-iya, Pak. Tapi, Ibu besar mengajak Bapak makan siang bersama." Jonas mengingatkan.

Kala menggeleng."Bilang ke Mama, aku lagi nggak enak badan. Kamu aja yang pergi makan siang, Jon. Aku masih kenyang."

 

Chapter 8

Jonas menjadi bingung. Kala ini anak kesayangan Ibu Besar. Jika tidak atau telat makan, maka Jonas sebagai asisten pribadi, yang akan ditegur. "Kalau begitu saya pesankan makanan aja, Pak?"

"Nggak deh. Udah kamu pergi aja sana." Kala mengusir Jonas.

Pria dua puluh tujuh tahun itu mengangguk. Jonas lebih memilih dimarahi oleh Ibu besar daripada menghadapi Kala. Pria itu segera pergi menemui Bos besarnya tanpa Kala.

Kala berbaring di sofa dalam ruang kerjanya. Matanya terpejam. Ia merasa frustrasi karena wanita yang ia suKia selama ini menikah. Kala dan Kiara bertemu dalam sebuah game, PUBG Mobile. Mereka dipertemukan dalam tim yang berisikan dua orang. Lalu,perkenalan dimulai. 

Berawal dari hobi tersebut, mereka mulai akrab. Lalu mengganti alat komunikasi mereka dari game ke pesan whatsapp. Meskipun sekarang mereka sudah tidak bermain game, komunikasi mereka masih berjalan baik.

Kala merasa nyaman dengan Kiara. Bahkan, jatuh hati pada wanita itu. Tapi, Kiara sudah punya pacar. Kala tidak akan mengatakan perasaannya itu. Ia tidak akan merebut kekasih orang. Lalu, setahun berlalu, perasaannya itu semakin dalam. Rasa ingin memiliki Kiara semakin kuat. Namun, berita pernikahan Kiara itu benar-benar mematahkan hatinya. Tapi, mau bagaimana lagi. Mereka hanya teman biasa. Berkenalannya juga di dunia maya. Kala tidak bisa berharap lebih dari sekadar teman.

Kala mengambil ponsel yang kartunya ia patahkan tadi. Ia menyalakan ponselnya. Ia berniat menghapus aplikasi bewarna hijau tersebut. Ia masih punya aplikasi tersebut di handphone dengan nomor yang berbeda pula. Gawai yang saat ini ia pegang hanyalah untuk komunikasi dengan Kiara. Begitu ponsel menyala, jaringan langsung terkoneksi dengan wifi kantor. Kala meletakkan handphonenya lalu pergi ke toilet.

Lima menit kemudian ia kembali. Keningnya berkerut saat melihat pesan masuk. Pasti dari Kiara. Kala tidak mau membacanya karena pasti akan menyakitkan. Atau lebih parahnya lagi, wanita itu mengirimkan foto pernikahannya.

Kala akan langsung menghapus aplikasi tersebut. Namun, pria tersebut justru salah tekan. Ia malah membuka pesan dari Kiara.

Kala langsung terbelalak. Ia bahkan sampai mengucek matanya karena tidak percaya."Ba-batal menikah?" Kala setengah berteriak."Dia mau ke sini? Astaga!" Kala berteriak senang. Jika ada yang melihatnya, ia pasti sudah dianggap gila. 

Kala mengusap dadanya. Ia bersyukur karena belum sempat menghapus aplikasi ini. Jika sudah terhapus, ia tidak akan bisa masuk lagi karena nomor yang terdaftar sudah ia buang. Jika diurus kembali, akan memakan waktu. Tangan Kala bergetar. Ia membalas pesan Kiara.

"Pesawat kamu jam berapa? Boleh aku jemput di Bandara?"

Kala cukup nekad menawarkan jemputan. Tapi, kali ini adalah kesempatan emas. Jika disia-siakan, ia akan patah hati berkepanjangan.

Kiara membalas pesan Kala dengan gambar tangkap layar, berupa jadwal keberangkatannya.

"Kalau nggak merepotkan boleh."

Kala memekik senang. Tanpa sadar ia berjoget karena bahagianya.

"Oke. Nanti kita saling berkabar, ya."

"Terima kasih, Kala."

Kala tidak bisa menghentikan senyumannya. Ia mengambil kunci mobil dan langsung menuju tempat di mana Orangtuanya makan siang.

Sementara itu Jonas yang sudah tiba duluan hanya bisa diam. Di hadapannya ada.sepasang suami istri, yang dipanggil Ibu dan Bapak besar olehnya. Ibu Besar menatapnya tajam. Harusnya Jonas datang bersama Kala. Tetapi, pria itu justru datang sendirian. Jonas sudah siap dimarahi. Itu sudah biasa. Setelah marah-marah, Bosnya itu tetap sayang padanya. Ia masih diberi gaji serta tunjangan. Sebab hanya Jonas yang mampu bertahan menjadi asisten Kala.

"Di mana Kala, Jon?"

"Pak Kala lagi istirahat di kantornya, Bu."

"Kenapa lagi dia? Ada masalah kerjaan?" Wanita berkerudung ungu itu mengernyit.

"Tidak ada, Bu." Jonas menjawab seperlunya saja. Ia takut ucapannya menjadi bumerang.

"Biarkan saja. Kala punya kehidupan sendiri, Ma. Dia udah sangat dewasa." Feri, Ayah Kala berkomentar. Istrinya itu terkadang berlebihan untuk urusan anak. Tapi, ia bisa mengerti, karena kini, Kala menjadi anak satu-satunya. Sikap istrinya seperti itu karena dua Kakak perempuan Kala sudah pergi mendahului mereka. 

"Yah, tapi, Mama tetap khawatir."

"Pak Kala sedang patah hati, Bu. Wanita yang disukai, hari ini menikah." Jonas mengatakan sebenarnya. 

Indira dan Feri menghentikan gerakan mereka. Keduanya saling berpandangan. Lalu, secara bersamaan menatap Jonas. Pria itu langsung merasa terintimidasi dengan tatapan kedua Bosnya.

"Siapa wanita itu?" Indira bertanya dengan nada kaget.

Jonas menggeleng."Saya tidak tahu, Bu. Tapi,Pak Kala benar-benar patah hati. Makanya sampai tidak mau makan."

Indira dan Feri terdiam. Entah apa yang mereka pikirkan saat ini. Lalu, di keheningan itu, Kala.tiba-tiba muncul.

"Ma, Pa~" Kala duduk di sebelah Jonas."Maaf terlambat."

Jonas menganga. Raut wajah Bosnya berubah seratus delapan puluh derajat dari yang terakhir kali ia lihat.

Indira terbelalak melihat Kala. Wajahnya langsung terlihat cemas. "Kamu ke sini naik apa?"

"Naik mobil sendiri." Kala menunjukkan kunci mobil dengan bangga.

"Kenapa nggak telepon Jonas atau sopir?" Indira menggeram. Ia tidak suka anaknya pergi dengan sembrono. Minimal harus ditemani dua atau tiga orang."Mobilnya anti peluru, Ma. Aman kok." Kala tersenyum manis agar omelan Indira tidak berlanjut. Ia tahu, Mamanya sangat khawatir. Tapi, ia juga ingin menikmati rasanya pergi tanpa pengawalan.

Indira memilih mengalah. Lagi pula Kala juga sudah sampai di sini dengan selamat. Tidak ada yang perlu diperdebatkan.

"Jonas bilang kamu nggak nafsu makan karena patah hati,"celetuk Feri.

Kala melirik Jonas yang kini tertunduk. Lalu ia menatap Papanya. "Iya, Pa. Patah hati, tapi, nggak jadi."

Jonas mengusap dada serta mengembuskan napas lega. Itu artinya Kala tidak akan memarahinya.

"Patah hati ~nggak jadi?" Indira menggelengkan kepalanya. Ia bingung dengan apa yang terjadi.

"Karena ternyata dia batal menikah." Kala tertawa riang.

"Bahagia di atas penderitaan orang lain, Pak?" ucap Jonas tanpa sadar. Ucapan itu disambut tawa oleh Feri dan Indira.

Kala memeluk pundak Jonas, lalu, memeluk leher asistennya itu, seolah akan mencekiknya."Berani bilang sekali lagi?"

"Ampun, Pak, ampun." Jonas menunjukkan ekspresi minta ampun.

"Sebagai hukuman, kamu nggak boleh ikuti ke mana pun aku pergi." Kala melepaskan Jonas dan merapikan pakaiannya.

"Kala~" Indira meletakkan sendoknya. Rasanya sudah lelah meminta anaknya itu untuk mengerti. Setiap anggota keluarga mereka harus mendapat pengawalan ke mana pun mereka pergi. Tapi, jiwa kebebasan Kala terkadang tidak bisa dikontrol."Terserah kamu mau bagaimana. Tapi, tetap harus dikawal."

"Bagaimana aku bisa punya pacar, Ma. Kalau ke mana-mana diikuti. Bukankah aku juga harus menikah. Apa Mama dan Papa tidak ingin mempunyai cucu?" Kala menatap Indira dan Feri. Tapi, kedua orang tuanya itu justru mematung. Kala tidak menyadari ada yang berbeda dengannya hari ini. Kala yang cuek kini membicarakan soal menikah dan anak. Ini kejadian yang langka. Jonas pun tak kalah kaget. Belakangan ini Bosnya sangat dingin. Tiba-tiba menjadi hangat mengalahkan mentari pagi.

 

Chapter 9

"Sepertinya dia sudah sangat yakin, kalau wanita yang gagal menikah itu, akan menerimanya. Bagaimana kalau ditolak? Wah, bakalan menyeramkan." Jonas membatin.

Feri mengangguk-angguk. Ia meneguk air putihnya. Andi Sandyakala Arsa, tidak terasa anaknya itu sudah berusia tiga puluh empat tahun. Rasa-rasanya memang sudah pantas menikah. Baik Feri maupun Indira tidak pernah memaksakan kapan Kala menikah. Ucapan Kala barusan menyadarkan mereka bahwa, Kala memang sudah pantas menikah.

"Malam ini, Kala mau pergi sendiri pakai mobil ini." Kala memegang kunci mobil erat-erat.

"Kamu mau ke mana?"tanya Feri."Kamu boleh pergi sendiri, tapi, tetap beri tahu Jonas.

"Iya, Pa. Kala mau jemput temen di Bandara." Kala sudah tidak sabar bertemu dengan Kiara. Menjemput di Bandara dan memeluknya pertemuan pertama. Itu yang ingin Kala lakukan, meskipun itu sedikit aneh.

Indira baru saja akan protes. Bandara adalah tempat yang ramai. Ia khawatir Kala pergi ke sana sendirian. Tapi, sang suami menggenggam tangannya. Mengingatkan untuk tidak memprotes atau menolak permintaan Kala.

"Ya sudah. Hati-hati."

"Iya, Ma."

Jonas bersyukur dalam hati. Karena Kala ingin pergi sendiri,  ia bisa istirahat malam ini. 

Kala sudah tiba di Bandara. Ia masih di parkiran mobil menunggu pesawat Kiara mendarat sesuai jadwal. Yaitu pukul dua lebih lima menit waktu Indonesia Bagian Tengah. Ia merasa tidak sabar sekaligus cemas. Debaran jantungnya tidak bisa ia atur lagi. Kala turun dari mobil. Ia mengenakan jeans hitam dengan kaus hitam, topi hitam,outer bewarna khaki serta sepatu slip on bewarna putih. 

Kala berdiri di pintu kedatangan. Kala mengembuskan napasnya berkali-kali. Melihat jam tangan, beralih ke handphone, lalu ke arah pintu. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya, layar handphonenya menyala saat pesan masuk.

"Aku sudah sampai. Lagi jalan mau keluar."

"Aku juga sudah di pintu kedatangan."

"Oh, ya. Kamu yang bagaimana? Aku sama sekali belum pernah lihat fotomu."

Kiara berjalan cepat sembari menyeret koper berukuran sedang. Ia sedikit gugup bertemu dengan teman dunia mayanya. Terlebih ia belum pernah melihat foto Kala. Handphonenya berbunyi, pesan dari Kala.

"Aku pakai outer warna khaki, pakai topi hitam. Aku tepat berdiri lurus di depan pintu."

Kiara terus berjalan melewati jalur keluar sambil membaca pesan. Lalu, ia mendongak dan kaget karena ada orang di hadapannya. Ia lebih kaget lagi karena ciri-cirinya sama dengan Kala. Tapi, bisa saja ada orang lain mengenakan pakaian yang sama.

Kala terkesima selama beberapa detik. Wanita itu lebih cantik dari fotonya. Wanita berkulit kuning langsat yang sangat manis. Tidak akan bosan memandangnya."Kiara~"

"Hah?" Kiara tersentak. Orang tampan di hadapannya itu menyebut namanya. Kiara belum yakin itu adalah Kala. Terlebih penampilan pria itu sangat menonjol. Maksudnya, terlihat begitu bersinar padahal hanya mengenakan pakaian casual. Mungkin karena kulit yang putih serta wajah yang tampan. Ditambah lagi postur tubuhnya yang tinggi.

Kiara mencoba mengirimkan pesan. Lalu, hanphone Kala berbunyi. Kala tersenyum sambil memperlihatkan layar ponselnya."Aku~Kala."

Kiara mematung seketika. Ia tidak pernah membayangkan wajah Kala itu seperti apa. Memikirkan pria itu saja tidak pernah. Karena di kepala Kiara selama ini adalah Gika. Ia tidak mau memikirkan lelaki mana pun, selain Gika, calon suaminya saat itu.

"H-hai, Kala."Kiara pun tersenyum setelah memasang wajah bodohnya selama beberapa detik."Maaf, soalnya, nggak pernah lihat foto kamu. Jadi, aku harus memastikan dulu."

Kebahagiaan Kala membuncah saat itu juga. Ia memeluk Kiara secara spontan."Syukurlah kamu sudah sampai."

Tubuh Kiara membatu. Pelukan Kala terasa begitu hangat dan nyaman. Kiara membalas pelukan lelaki itu sekilas."Ehm, dilihatin orang."

"Oh, maaf." Kala melepaskan pelukannya. Kemudian mengambil alih koper Kiara."Kita pergi sekarang." Satu tangan Kala menyeret koper lalu satu tangannya menggenggam tangan Kiara. 

Wanita itu terkaget-kaget. Tapi, tetap mengikuti Kala. Begitu tiba di parkiran, Kiara lebih kaget lagi melihat jenis mobil Kala.

"Kamu sudah pesan hotel?"tanya Kala sambil menyimpan koper Kiara ke bagasi mobil.

"Belum. Kayaknya langsung aja datang ke hotelnya. Di mana yang bagus, ya? Kalau bisa di Pusat Kota aja." Kiara sudah melihat referensi hotel di internet. Hanya saja ia tidak benar-benar yakin.

Kala membukakan pintu untuk Kiara."Silakan masuk."

"Thanks." Kiara merasa tersanjung.

"Aku antar ke hotel yang bagus. Nanti dari sana, kamu bisa dapat pemandangan yang indah." Kala melajukan kendaraannya meninggalkan Bandara yang akan menjadi tempat bersejarah baginya.

"Ini pertama kalinya aku ke sini. Aku bakalan banyak tanya, ya, kalau mau ke mana-mana." Kiara melihat ke arah jendela sesekali.

"Aku bakalan temani kamu selama di sini," kata Kala serius."Oh, ya, berapa lama kamu di sini?"

"Tiga hari."

"Yah, kenapa cepat sekali?" Hati Kala sedih. Ia ingin berlama-lama dengan Kiara. Kalau bisa, Kiara harus tinggal di sini. 

Kiara menoleh dan tertawa."Aku kan harus kerja, Kal. Lagi pula~ini kan memang cuti nikah. Bukan cuti untuk jalan-jalan. Karena nggak jadi, ya, liburan deh."

"Kalau gitu kita akan manfaatkan tiga hari itu dengan sebaik-baiknya, ya."

Kiara mengangguk. Kesedihannya terlupakan sedikit. Ya, meskipun di dalam pesawat ia masih menangis mengingat pengkhianatan Gika. Gagal menikah menjelang harinya pasti akan sulit dilupakan. Tapi, bukan hal yang mustahil untuk cepat bangkit kembali. 

Kala menghentikan mobilnya di sebuah gedung tinggi di Usat Kota. Kala segera memesankan kamar untuk wanita yang ia cintai itu."Suite Room dengan view pantai, ya."

"Kal, kamar yang biasa aja." Kiara terkejut dengan pesanan Kala. Lagi pula ia hanya sendirian. Wanita patah hati yang mungkin akan merenung saja di kamar. Tidak perlu fasilitas yang begitu banyak.

"Aku yang pesankan. Spesial untuk tamu dari jauh."

Kiara merasa tidak enak. Kala terlalu baik. Selama menunggu,Kiara mengirimkan pesan pada Kastara. Memberi tahu kalau ia sudah sampai di Pulau Sulawesi ini. Ia juga sudah sampai di hotel dan mendapatkan kamar yang nyaman. Kiara yakin, keluarganya di sana sedang tertidur pulas.

"Ayo, Kia." Kala memanggil. Kiara mengikuti Kala.

Pintu kamar dibuka. Kala ikut masuk. Kiara terdiam sejenak. Entah kenapa ia merasa tidak takut dengan Kala. Meskipun sudah berkomunikasi selama setahun, Kala tetaplah orang asing. Tapi, rasa nyaman yang langsung menghampiri tidak bisa ia pungkiri.

Kala dan Kiara duduk di sofa. Lalu, keduanya justru merasa canggung. "Kamu mau langsung istirahat? Aku bisa pulang sekarang."

"Ehm...kayaknya aku juga nggak akan tidur malam ini. Kamu tahu, kan, orang yang patah hati akan sulit tidur. Atau mungkin, aku akan menghabiskan malam ini dengan menangis." Kiara menatap Kala yang sudah berdiri.

"Oh, jangan menangis lagi. Kalau gitu, aku bikinkan teh atau kopi supaya kita bisa ngobrol panjang." Kala melangkah ke dapur.

 

Chapter 10

Kiara menyusul Kala ke dapur."Aku aja, Kal."

"Aku aja." Kala begitu yakin. Namun, beberapa detik kemudian ia kebingungan bagaimana menggunakan alat pemanas air.

"Aku aja, ya." Kiara mengambil pemanas air dari tangan Kala. Sentuhan tidak sengaja ke tangan Kala membuat pria itu membatu.

"Ya udah, aku tunggu aja." Kala menyingkir dari sana. Kemudian ia menyibak tirai jendela. Dari tempatnya berdiri ia langsung bisa melihat keindahan Pantai Losari. Kiara pasti suka.

"Wah, bagusnya."Kiara menghampiri Kala setelah memanaskan air. Tinggal menunggu mendidih.

"Kamu suka?"

Kiara mengangguk dengan haru."Thanks,"ucapnya dengan suara bergetar.

Kala menatap Kiara, ia melihat banyak kesedihan dan luka di mata wanita itu. Bahkan air kata kesedihan Kiara sudah akan tumpah lagi. "Jangan menangis, Kiara."

Kalimat jangan menangis justru membuat wanita semakin menangis. Kiara menumpahkan air matanya dengan isakan kecil. Kala ikut bersedih, kemudian merengkuh tubuh Kiara. Semoga pelukannya bisa meringankan kesedihan wanita itu.

Bunyi petanda air mendidih memisahkan Kala dari pelukan Kiara. Wanita itu cepat-cepat ke dapur dan menyeduh kopi. Kala menutup tirai, lalu kembali duduk. Sudah hampir pukul empat pagi. Untungnya ia sempat tidur sebelum menjemput Kiara. Kiara membawa dua cangkir kopi dan meletakkan ke meja. Ia duduk di sofa single. Wanita itu menyesap kopinya perlahan. Wanita itu sudah terbiasa dengan minuman panas. Sementara Kala menunggu kopinya menghangat. 

"Terima kasih kopinya, Ki."

"Terima kasih atas jemputan dan hotelnya. Kita baru kenal, tapi, kamu sudah melakukan banyak hal untukku." Dua puluh empat jam sudah terlewati sejak ia membeberkan perselingkuhan Gika. Ia bahkan tidak bisa percaya bisa terbang sampai sejauh ini.

"Sudah setahun, Ki. Hanya saja kita nggak pernah ketemu." Kala tersenyum.

Kiara tertawa sambil menepuk paha Kala. Pria itu duduk di sofa panjang, tepat di sudut berdekatan dengan sofa single Kiara."Ah, iya, ya~ternyata pertemanan kita cukup lama. Berawal dari game aja. Eh, masih main nggak?"

Kala menggeleng."Udah nggak sempat."

Kiara mengangguk-angguk."Aku juga udah nggak main. Bosan deh. Oh, ya, aku mau jalan nih besok. Baiknya ke mana ya?"

"Kamu mau ke mana? Aku antarkan, Ki."

"Eh jangan, dong. Kamu harus kerja, kan? Lagi pula masa aku merepotkan terus." Apa yang dilakukan Kala padanya saat ini membuat Kiara tidak enak hati. 

"Nggak ada masalah, Ki. Besok aku kosong kok. Kita bisa jalan ke mana pun." Kala begitu yakin. Padahal ia belum menanyakan perihal jadwalnya besok pada Jonas. Tapi, kesempatan untuk bersama Kiara tidak akan ia sia-siakan.

"Aku itu pengen banget ke Pantai Tanjung Bira, Kal, yang kamu tunjukkin kemarin." Kiara berubah menjadi bersemangat. Akhirnya ia bisa sampai di sini. Sangat dekat dengan temat impiannya.

"Kalau itu~lima jam perjalanan lagi dari sini, Ki. Dan sayang banget kalau cuma beberapa jam aja di sana. Tapi, kalau mau, ya, kita bisa berangkat siang ini." Kala akan mengantarkan Kiara ke sana dengan senang hati.

"Iya, sih. Kalau gitu lain kali aja. Hari ini aku mau sekitaran sini aja." Kiara memutuskan.

"Kamu mau ke Puncak Malino nggak?" Kala menawarkan. "Perjalanannya tiga jam dari sini."

"Yang seperti apa itu? Kamu ada fotonya?"

Kala mengangguk sembari membuka galeri ponsenya. Kiara berpindah ke sebelah Kala. Debaran jantung Kala langsung seperti genderang yang mau perang.

"Ini~tapi, sekarang sudah lebih bagus, sih, katanya. Ini sekitar setahun lalu. Ada sepupu yang adain resepsi nikah di sana."

Kiara melihat fotonya sambil mengangguk-angguk."Bagus, ya."

"Ayo kita ke sana setelah chek out siang nanti,"ajak Kala memberanikan diri.

"Beneran?"tatap Kiara tak percaya."Waktu kamu bakalan tersita dong?"

"Kalau kamu yang menyita waktuku nggak apa-apa, Ki." Kala mengatakannya dengan wajah merah. Ia mengambil cangkir kopi dan menyesap kopinya.

"Makasih, Kal. Aku nggak tahu harus bilang apa." Kiara tertawa lirih.

"Nggak perlu bilang apa-apa. Nikmati aja, Ki." Kala meletakkan cangkir kopinya.

Kiara hendak bangkit pindah ke sofa. Tetapi, Kala menahannya. "Duduk di sini aja."

"Aku nggak enak. Aku baru ingat, kamu punya pacar atau tunangan nggak? Kalau punya, sebaiknya kamu pulang. Bu-bukannya aku ngusir, hanya saja aku takut membuat hubungan kalian tidak baik."

 Kala memegang tangan Kiara."Aku pernah bilang, ya, dulu. Aku nggak punya pacar, tunangan, atau sejenisnya."

"Yang benar? Aku sangat tidak suka pengkhianatan. Maksudku, kasihan juga jika ada wanita yang kamu khianati di luar sana. Itu menyakitkan." Kiara menelan ludahnya kelu.

"Apa kamu baru dikhianati?"

Ucapan Kala menembus ke hati Kiara. Darah yang mengering itu kini mencair kembali. Kiara duduk dan menatap Kala."Aku tidak jadi menikah. Aku memergokinya dua hari sebelum hari pernikahan."Kiara mengusap pipi yang entah sejak kapan sudah berlinang air mata. Sementara Kala menggenggam tangan Kiara dengan erat."Dia berselingkuh dengan sahabatku sendiri."

Kala mengusap-usap punggung tangan Kiara. Rasanya tidak ada yang boleh Kala katakan saat ini. Sebab apa pun yang ia katakan, itu tidak akan membantu Kiara. Hanya waktu, dukungan, serta kasih sayang yang bisa menyembuhkannya.

"Maaf, aku nangis. Tapi, sakitnya memang masih berasa."

"Iya. Nangis aja. Habiskan air mata kesedihan itu sini. Jadi, setelah kembali, kamu bisa angkat wajahmu tinggi-tinggi."Kala menaikkan dagu Kiara. Lalu, tersenyum. Jangan biarkan mereka yang menyakitimu tertawa."

Kiara mengangguk sembari menatap Kala. Dagunya yang dipegang Kala membuat wajah mereka berdekatan. Suasana menjadi hening. Kala mengusap sisa-sisa air mata Kiara. Kemudian, keberaniannya untuk mencium Kiara muncul. Perlahan ia mendekatkan wajahnya,.lalu melumat bibir Kiara lembut. Tidak ada respon apa pun dari wanita itu. Tatapannya begitu kosong dan sedih. Kala menangkup wajah Kiara, lalu kembali melumat bibirnya. Ia berniat sebentar saja. Tetapi, mata Kiara terpejam dan membalas lumatannya.

Ini seperti sudah ditakdirkan. Seseorang yang sangat jauh di ujung Barat sana, kini ada di dalam pelukan Kala. Wanita yang hampir menjadi istri orang, kini tengah bersamanya. Membalas ciuman serta pelukannya. Ciuman lembut nan menggairahkan itu berlangsung cukup lama. Sampai salah satunya melepaskan diri untuk mengambil napas.

"Maaf,"ucap Kiara.

Kala mengusap bibir Kiara yang basah dengan ujung jempolnya."Bukan sesuatu yang harus dimaafkan. Tapi, harus diulangi."

Kiara tertawa kecil, lantas menyesap kopinya lagi. Ciuman membuatnya haus. Kala mengusap puncak kepalanya. Hati kecil Kiara berteriak. Ia sangat nyaman dengan sentuhan itu. Tetapi, ia baru saja putus dengan Gika. Tidak akan mudah untuk memulai cinta baru. "Udah subuh, ya. Kamu nggak tidur?"

"Kamu gimana? Kamu yang habis dari perjalanan jauh. Menyeberangi ribuan kilometer. Ayolah, kamu yang tidur. Nanti di jam sarapan aku bangunin kamu." Kala memberi saran.

"Aku mau mandi. Lagi pula sudah subuh juga." Kiara menggerakkan lehernya yang pegal.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Save The Date
Selanjutnya MY YOUNG HUSBAND (1-8)
3
3
Gawat, Aku disukai temannya keponakanku!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan