KISS ME ( 1-10)

3
0
Deskripsi

Nika begitu mencintai Arjuna, kekasih sekaligus Bos di kantornya. Ia tidak suka melihat siapa pun di sisi lelaki itu. Nika sangat ingin menjadi sekretaris Arjuna. Oleh karena itu ia meminta bantuan Ghandi, Kakak sepupunya agar ia segera naik jabatan. Namun, Ghandi yang telah lama menyimpan perasaan pada Nika mengajukan persyaratan. 

“Cium aku, maka kukabulkan segala permintaanmu!”

Chapter 1

Nika duduk di lantai beralaskan karpet bulu tebal. Di hadapannya ada sepuluh bungkus ayam geprek dari orderan fiktif. Beginilah salah satu risikonya menjadi ojek online,sudah membayarkan orderan, tapi, ternyata si pembeli tidak ditemukan. Alhasil uangnya terbuang sia-sia, makanannya juga tidak tahu akan dikemanakan.

“Non, Bibik udah kenyang banget. Nggak kuat makan lagi,”kata Bik Asih.

“Ya, Bik, sayang banget ini kalau nggak dimakan,”kata Nika dengan wajah memohon agar Bik Asih mau menghabiskannya.

“Ya udah, Non, dikasihkan ke orang yang membutuhkan aja,Mbak. Di jalanan banyak,”saran Bik Asih.

“Ya udah, Bik, ayo temenin,ya. Nika bonceng naik motor,”kata Nika.

Bik Asih mengangguk,ini sudah malam, tapi, ia yakin di jalanan sana masih ada orang yang sedang berjuang mencari sesuap nasi.”Ayo,lah, Non.”

Keduanya segera pergi membagikan makanan itu ke jalanan. Untunglah mereka menemukan orang-orang yang memang layak mendapatkan makanan tersebut, lalu Nika dan Bi Asih pulang.

“Ah, syukurlah selesai...” Nika membuka helmnya. Saat baru saja membuka jaketnya, ponselnya berbunyi. 

“Mami!”pekik Nika sambil masuk ke dalam rumah.

“Apa kabar, sayang?”

“Baik, Mami...”

“Kamu lagi apa?”

“Baru selesai ngojek, Mi,capek,”keluh Nika. Dihempaskan tubuhnya ke sofa, sekujur tubuhnya terasa remuk karena seharian di atas sepeda motor.

“Ya memang, cari uang itu capek, yang kuat,ya, kamu pasti bisa!” Mami Nika memberi semangat.

“Mami lagi dimana?”

“Lagi di Nusa Dua...”

Nika mendengkus, ia iri dengan Mami dan Papinya yang setiap hari pergi ke luar kota, berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Berduaan, dan selalu mesra di setiap waktunya.”Sama Papi?”

“Iya dong, apalah arti Mami tanpa Papi.” Wanita itu terkekeh dari seberang sana.

“Kebalik, Mi, apalah arti Papi tanpa Mami.” Nika tertawa mengejek.

“Eh, Arunika...”

Suara Papi Nika terdengar menyambung pembicaraan.”Berani bicara begitu...Papi perpanjang masa suram kamu.” Kemudian pria itu mengaduh karena mendapat cubitan dari istrinya.

“Aw, sayang, sakit,”katanya dengan manja pada istrinya.

Nika memutar bola mata, mendengarkan kata-kata manja dari Papinya terkadang membuatnya jengah. Terkadang juga ia malu, kenapa punya Papi seperti itu.”Papi jahat, ih...nggak tahu apa aku baru pulang, capek banget!”

“Sayang, kamu dari mana malam-malam begini?”

“Papi!”gerutu Nika.”Nika cari duit, kena orderan fiktif...bayangkan..., Papi...masa ada yang order ayam geprek sepuluh porsi, terus pas mau Nika antar malah nomornya aktif.”

“Ya udah, sabar aja, sayang...”

“Ah, Papi...Nika mau ngomong sama Mami aja. Ngomong sama Papi nggak asyik.”

“Loh, Papi kangen sama kamu loh, sayang.”

“Nika mau ngomong sama Mami. Nika nggak percaya kalau Papi rindu sama Nika,”balas Nika.

“Sudah sini, Mami yang ngomong.” Seva mengambil alih pembicaraan.”Nika, ini sudah tiga bulan kamu jadi ojek online...,kenapa nggak coba ngelamar di Perusahaan kantoran gitu?”

“Tahu,nih, Nika...kan ngojek itu capek,”kata Kenzie, sang Papi dari posisinya, tapi, Nika masih bisa mendengarnya dengan jelas.

“Sekali lagi Papi bilang gitu, Nika mau pulang ke rumah Bude aja. Nika jadi anak Bude, biar Prana jadi anak tunggal Mami sama Papi aja,”omel Nika sambil memijit kakinya yang pegal.

Kenzie mendekat lagi ke ponsel istrinya.”Sayang, Papi tuh ...sayang sekali sama kamu. Tapi, Papi lebih sayang sama Mami, sih. Jadi, kalau kamu mau jadi anak Bude ...nggak apa-apa.” Kenzie tertawa keras membuat anak perempuannya itu semakin kesal.

“Sudah, kasihan Nika, sayang. Jangan ganggu dulu, ya, Mami mau ngomong sama Nika,”kata Seva.”Nika...”

“Iya, Mami...”

“Kamu lamar kerja di kantoran aja. Kalau ngojek, kan, capek dan kepanasan,”saran Maminya dengan lembut.

“Ya...Nika dapat kerjanya sebagai ojek, Mi, ya udah itu aja yang Nika jalankan. Tapi, Nika udah coba lamar kok ke Kantor-kantor. Doain,ya, Mami...”

“Iya, terus...gaji Bik Asih sudah kamu bayar?”

Nika mengerucutkan bibirnya.”Mami, kalau Nika bayar gaji Bi Asih...Nika nggak punya uang dong!” Suara Nika seperti hampir menangis.

Kenzie tertawa dari seberang sana, sebenarnya ia juga tidak tega membiarkan Nika bekerja seperti ini. Tapi, ini sudah menjadi tradisi keluarga. Ketika sudah selesai kuliah, mereka harus belajar mencari uang sendiri tanpa mengandalkan nama besar keluarga dan kekayaan orangtua. Kali ini, giliran Nika. Sayangnya, kepintaran sang Mami tidak diwarisi oleh Nika, oleh karena itu ia sedikit susah mencari pekerjaan. Kebetulan ia bisa naik sepeda motor, ia pun melamar menjadi mitra ojek online. Tapi, biar pun harus mencari uang sendiri, Nika tetap difasilitasi rumah, asisten rumah tangga, dan kendaraan. Untuk kebutuhan sehari-hari, Nika harus memakai uangnya sendiri.

Ia diharuskan bisa memanajemen keuangan sendiri.

“Nika, kerja yang baik, semoga saja ujian keluarga Adiguna cepat selesai,ya,”kata Seva menghibur anak sulungnya itu.

“Mami,”rengek Nika.”Pengen makan enak...”

“Duh, kasihannya...sabar,ya, sayang sampai tesnya selesai. Kalau sekarang kamu pengen makan enak, minta masakin Bik Asih, atau kamu nabung sendiri,”jelas Seva.

“Iya, Mami. Ya sudah, Nika tidur dulu, Mi. Capek...”

“Selamat tidur, sayang,”ucap Seva.

“Selamat tidur, Mami.”

“Selamat tidur anak Pap...” Sambungan langsung terputus begitu Kenzie mengucapkan selamat tidur pada Nika. “Astaga, dimatiin...”

“Makanya jangan jahil...” Seva membaringkan tubuhnya, perlahan air matanya mengalir karena kasihan pada Nika. Tapi, semua ini demi kebaikan Nika, agar menjadi anak yang kuat mental dan fisik, belajar menghargai orang, dan tentunya akan ada banyak pelajaran yang nantinya akan mereka dapatkan dari hidup susah.

 

 

Pukul tujuh pagi, Nika sudah bersiap-siap untuk bekerja. Dengan jaket khas sebuah perusahaan ojek online tersebut, tak lupa helm dengan warna senada. Nika memanaskan mesin sepeda motornya sambil menghabiskan susu yang dibuatkan Bik Asih.

“Bik, Nika pergi dulu,”ucap Nika.

“Iya, Non.” Bi Asih berjalan cepat menuju pintu dan menunggu sampai Nika benar-benar pergi. Setelah itu, ia menutup pagar dan pergi mengerjakan pekerjaan rumah.

Nika mengendarai sepeda motornya dengan hati riang. Sekitar lima ratus meter ia berjalan, ia menepikan sepeda motornya dan mengaktifkan aplikasi. Satu orderan masuk, jaraknya tak jauh dari sini. Nika menerima orderan, lalu berjalan menuju titik lokasi yang sangat dekat. Sesampai di lokasi, ia hanya bisa menganga tak percaya karena pelanggannya kali ini adalah Ghandi, kakak sepupunya sendiri.

Nika melepaskan helmnya dan menghampiri pria berusia dua puluh delapan tahun itu. “Mas Ghandi?”

Pria itu mengangguk.”Mbak Nika, ya, yang jemput saya?”

Nika melihat aplikasinya, lalu mengangguk dengan bingung.”Kok pesan ojek?”

Pria itu langsung memeluk pundak Nika dan mengepitnya di ketiak.”Ya mau ketemu kamu, lah!”

“Ya udah, mau kuanterin kemana, ini, Mas?”

“Kita bicara di dalam aja,”kata Ghandi. Kebetulan titik jemputnya ada di sebuah tempat makan cepat saji yang menyediakan menu sarapan pagi.

“Terus ini bagaimana dong, aku lagi kerja, Mas!”protes Nika.

Cancel aja,lah.” Udah,lah ayok masuk,” paksa Ghandi.

 

 

Chapter 2

Nika menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak akan pernah bisa menolak perkataan pria satu itu.

Ia membuka jaket dan meletakkan ke sebelahnya. Ghandi duduk di hadapannya sambil menatap intens.

“Kenapa nggak bilang kalau kamu sudah mulai kerja begini?”

Nika menggaruk kepalanya yang tak gatal.”Ya nggak tahu, kan ini sudah perintah Papa. Semua juga mengalaminya,kan. Kenapa Mas Ghandi harus kaget seperti itu? Dulu juga Mas pernah mencari uang sendiri tanpa membawa nama besar keluarga, bahkan lama banget, sampai tiga tahun.”

“Tapi, Mas ini kan lelaki. Kamu... perempuan. Mas kaget banget tahu, begitu dengar kamu sudah mulai menjadi orang biasa terus jadi ojek online pula.” Ghandi memijit pelipisnya. Ia masih tak habis pikir ternyata Nika akan mendapatkan giliran ini juga.

“Ya habisnya cuma ini, kan, yang Nika bisa.” Gadis itu tertawa lebar. Tak ada beban lagi di hatinya. Tiga bulan menjalani kehidupan layaknya orang pada umumnya membuat Nika belajar menjadi lebih sabar dan ikhlas.

“Nanti Mas bilang sama Papi,ya, supaya tiga bulan aja kamu menjalani ini. Mas nggak tega loh, kamu makin hitam,wajah kusam, masa, sih cucu perempuan satu-satunya malah tersiksa begini.”

“Iya, Mas...mau beli skincare, uangnya nggak cukup. Buat makan aja, pas-pasan.” Mata Nika berkaca-kaca sambil sedikit mendramalisir keadaan. Tapi, Ghandi tahu kalau Nika hanya bercanda. Ia tahu, Nika sudah dewasa sekarang.

Ghandi menghela napas berat dan mengambil dompet. Ia menyerahkan kartu kreditnya pada Nika.”Pakai ini,ya, buat beli kebutuhan kamu.”

“Jangan, Mas. Nanti kalau ketahuan, bisa-bisa masa peralihan ini diperpanjang. Apa jadinya, Mas yang tinggal di Surabaya malah transaksinya terus-terusan ada di sini,”tolak Nika.

“Nika...” Ghandi memegang tangan Nika dengan hati yang tak rela.”Kalau begitu kamu menikah saja, ya.”

Nika tertawa terbahak-bahak. Sejauh ini ia belum terpikirkan untuk menikah. Ia ingin memantapkan karirnya terlebih dahulu. Ia ingin seperti Mamanya yang katanya dulu wanita karir, sempat menjabat sebagai Kepala Divisi dan Manager. Bahkan sang Kakek sampai terkagum-kagum pada Mamanya sampai-sampai langsung setuju menjadikannya menantu. Nika ingin seperti itu.”Aku senang menjalani  seperti ini, Mas. Mas jangan khawatir,aku masih difasilitasi sama Papa kok. Dikasih rumah dan ART. “

“Ya udah, kalau gitu seharian ini kita jalan,ya, berdua.”

“Aku harus kerja, Mas.”

“Biar gaji kamu sehari ini, Mas bayar. Mas udah bela-belain ke sini loh!” Ghandi melotot pada Nika.

“Oke. Naik motor,ya. Aku belum cancel, nih.” Nika melambaikan ponselnya sambil tertawa.

“Oke.” Ghandi berdiri.”Ayo!”

Yes!” Nika segera memakai jaketnya. Ghandi cukup menyabarkan hatinya atas kondisi ini. Ia tidak tega, tapi, Nika tidak mau menerima bantuannya.

Nika membonceng Ghandi ke lokasi sesuai aplikasi. Tempat tujuan itu adalah sebuah butik ternama.

Sesampai di sana, Ghandi menarik Nika masuk ke dalam.

“Mas....Mas!” Nika terkejut.

“Kamu ganti baju dulu, terus kita jalan,”paksa Ghandi.

“Iya...iya. Aku nurut, jangan ditarik!” Nika mengerucutkan bibirnya.

“Sebentar!” Ghandi meninggalkan Nika, ia menuju ke salah satu susunan pakaian.

Nika menghela napas panjang, tempat seperti ini menjadi asing baginya. Padahal berbulan-bulan lalu, pakaian mahal seperti ini bisa ia dapatkan berpuluh-puluh hanya dengan menunjuk. Semuanya terbeli dalam sekejap mata. Tapi, sekarang ia tahu bagaimana sulitnya mencari lima ribu rupiah saja. Ia akan membeli apa pun yang mahal nanti, saat ia sudah bekerja sendiri.

“Mbak, permisi...saya mau lewat!”

Nika melihat ke belakang, ia memang berdiri di depan pintu, menghalangi orang yang masuk. Aroma parfum mahal langsung menusuk penciuman Nika. Ia menoleh, seorang pria tampan, memakai stelan kerja mahal, melihatnya saja Nika hampir pingsan. Berdekatan dengannya, Nika bagaikan serpihan upil di bawah meja.

Pria itu melirik Nika, kemudian tersenyum. “Terima kasih.”

“Sama-sama.” Nika mengigit jaketnya sambil menatap pria itu dengan tatapan memuja. ”Gantengnya...”

Nika menghampiri Ghandi sambil memerhatikan pria yang tadi. Ia mulak berandai-andai, harapannya pada pria itu pun begitu tinggi. Berharap, pria seperti itulah yang akan menjadi jodohnya. Seperti titah Kakek dan Papanya dahulu, kalau bisa, Nika harus memiliki suami yang tampan, mapan, cerdas, dan mandiri. Tapi, sayangnya mencari pria seperti itu entah dimana. Di sudut muka bumi ini, sepertinya sudah mulai langka. Pria tadi, sepertinya sudah masuk kriteria tersebut.

“Ka, cobain sana!” Ghandi menyerahkan dua buah gaun.

Nika tidak mendengarkan apa yang diucapkan Ghandi karena asyik memperhatikan pria misterius itu. Ghandi menatap ke arah pandangan Nika, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Sekarang udah mulai genit, ya?”

“Eh, genit apa?” Nika memanyunkan bibirnya.

“Tuh, lirik-lirik laki-laki!” Ghandi menajamkan pandangannya.”Ini, toling dicoba.”

Huh, bilang aja cemburu!” Nika mengambil gaun yang disodorkan Ghandi padanya. Menjadi anak perempuan satu-satunya di keluarga besar itu, terkadang tidak enak. Salah satunya seperti ini, ia sangat diawasi, apa lagi untuk urusan cinta. Ia tidak boleh terlalu dekat dengan lawan jenis.

Nika mengganti pakaiannya. Saat sedang mematut diri di depan cermin, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Beberapa detik, wanita itu terdiam, lalu ia memekik girang. Pesan itu berisi panggilan interview besok, di salah satu Perusahaan yang bergerak di bidang industri kreatif. Nika segera keluar dan menemui Ghandi.

“Mas, beliin aku baju yang lain, boleh?”

“Boleh, ambil aja. Tapi,tumben?' ghandi menatap Nika curiga,”kamu ada kencan, ya?”

“Bukan, besok aku ada panggilan kerja,”bisik Nika di telinga Ghandi.

“Baguslah, ya udah ambil yang kamu mau.” Wajah Ghandi tampai tidak senang mendengarnya. Ia duduk, menunggu Nika memilih baju.”Kamu interview di Perusahaan mana?”

Nika menoleh ke arah Ghandi.”Ada, deh, rahasia.”

“Pakai rahasia segala, sih?”

“Kalau Mas tahu..., Nanti Mas minta tolong supaya lulusin Nika, kan?” Nika terkekeh. Ia sudah tahu tabiat Ghandi,khawatirnya berlebihan padanya. Kalau kali ini ia diterima di kantor tersebut atas bantuan Ghandi, bisa-bisa ia tidak lulus ujian dari Papanya ini.

“Ya udah, dicepetin, biar kita jalan!”kata Ghandi tak sabar.

Usai berbelanja pakaian, Nika dan Ghandi langsung pergi ke tempat lain. Pergi ke toko buku, nonton, dan makan.

Pukul tiga sore, Nika dan Ghandi keluar dari pusat perbelanjaan. Mereka berdua harus berpisah karena Ghandi harus segera bertugas dan kembali ke Surabaya.

“Mas, udah selesai,kan? Seharian...Nika udah nemenin Mas Ghandi.”

Ghandi mengembuskan napas berat. “Sebenarnya Mas mau tinggal di sini aja, sih, biar ada yang awasi kamu. Kalau kamu butuh apa-apa, bisa Mas bantu. Tapi, pekerjaan di sana belum bisa ditinggal.”

“Duh, iya, jangan ditinggal. Kalau kerjaan di sana berantakan, kan, kasihan karyawan-karyawan kita, Mas. Lagi pula, Nika kan sudaj ada temannya, Bi Asih. Nggak perlu,lah, Mas jauh-jauh ke sini untuk mengawasi.”Nika begitu semangat melarang Ghandi tinggal di sini. Sebenarnya, Nika merasa sedikit takut dan tidak nyaman dengan tatapan Ghandi. Kakaknya itu juga terlalu posesif.

“Mas bakalan sering ke sini untuk awasin kamu!”

“Jangan!”teriak Nika spontan.

“Kenapa? Kamu....ah, ya sudahlah. Kita berpisah di sini, ya. Mau langsung ke Bandara.” Ghandi memeluk Nika cukup lama. Tak lupa, mengecup keningnya sebelum mereka benar-benar berpisah.

Nika mengusap keningnya dengan cepat. Ia benar-benar tidak suka mendapat ciuman dari Ghandi.

 

 

Chapter 3

Nika menunggu giliran interview dengan perasaan gugup. Ini pertama kalinya ia melamar kerja dan interview, semoga saja semua berjalan dengan lancar dan ia diterima. Pagi ini, Nika akan melakukan tes ujian tertulis. Jika ia dinyatakan lulus, maka, setelah makan siang nanti, ia akan melanjutkan perjuangannya dengan tes wawancara.

Tes pertama sudah dilalui Nika dengan baik dan ia dinyatakan lulus. Pukul dua nanti, ia akan tes wawancara. Nika memekik dalam hati, kemudian keluar kantor menuju sepeda motornya untuk makan siang. Baru saja ia memakai helm, ia melihat sosok pria tampan keluar dari gedung. Nika terpana,tiba-tiba saja gerakan pria itu melambat,seperti di sinetron atu drama Korea.

“Orang itu!” Nika menjentikkan jemarinya.”Laki-laki yang ketemu di Butik kemarin, kan? Ah, jadi dia kerja di sini.” Nika senyum-senyum sendiri. ”Sepertinya aku dan dia memang ditakdirkan berjodoh. Aku harus lulus tes wawancara supaya bisa dekat dengannya,”tekad Nika. Lantas ia segera mengendarai sepeda motornya dan pergi makan siang.

Sementara itu, Ghandi baru saja memasuki gedung. Ia baru saja selesai meeting. Ia kaget setengah mati menemukan ada orang di meja kerjanya. Orang tersebut melebarkan senyumnya tanpa merasa bersalah.

“Apa kabar, Anak muda?” Kenzie memainkan alisnya.

Ghandi memutar bola matanya, kemudian duduk di hadapan Kenzie.”Ada apa Om datang ke sini?”

“Wah, kau ini nggak suka,ya...aku ada di sini? Mau cari mati?” Kenzie melotot.

“Om yang sudah cari mati denganku!” Ghandi memukul meja pelan, mendekatkan wajahnya pada Kenzie.

“Apa?” Kenzie mendekatkan wajahnya juga pada Ghandi.

“Om mau cari mati,ya, membiarkan Nika hidup sendirian di luar sana tanpa fasilitas memadai. Tidak berprikebapakan!”

“Tunggu!” Kenzie mengangkat tangannya di hadapan wajah Ghandi.”Kamu membicarakan apa? Siapa itu Nika?”

“Astaga, ulangi sekali lagi? Akan kubawa Nika pulang!”balas Ghandi tidak mau kalah. Ia juga punya kekuasaan di sini, jadi, ia bisa membawa Nika pulang tanpa harus ditegur oleh para tetua di keluarga.

“Ah, baiklah Anak muda. Arunika itu anak gadis kesayanganku,”balas Kenzie sambil tersenyum manis,”apa ada masalah? Nika, baik-baik saja, bukan?”

“Aku tidak setuju Nika juga harus mengikuti tradisi keluarga! Apa Om nggak tahu, berada di posisi itu sangat tidak enak? Apa lagi, sejak kecil Nika hidup mewah dan enak. Kenapa sekarang harus dibiarkan susah begitu.”

“Aku tahu rasanya, Anak muda. Lagi pula, itu sudah tradisi keluarga, kan? Mamamu, Tantemu, juga aku...melakukan tradisi itu,”jelas Kenzie.

“Tapi, untuk Nika benar-benar keterlaluan, Om. Apa Om nggak tahu, sekarang Nika benar-benar nggak terurus. Kulitnya kulai kusam, rambutnya kering dan berminyak, dia juga udah kurus.” Ghandi menatap Kenzie dengan permohonan. “Bebaskan Nika dari tradisi ini, Om.”

“Tidak bisa. Lagi pula, hanya setahun,kan? Biarkan anakku menjadi dewasa. Kamu tenang saja, Nika pasti bisa sukses seperti kamu.”

Ghandi menghela napas kasar.”Hah, baiklah. Ngomong-ngomong....bukannya Om sedang bulan madu,ya?”

“Sudah pulang, besok kamu akan pergi lagi. Oh,ya...kudengar... kamu baru mengunjungi Nika?”

“Iya.”

Kenzie melipat kedua tangannya di dada, menyipitkan mata, menatap Ghandi curiga. Keponakannya itu memang sedikit aneh jika membicarakan semua hal yang berkaitan dengan Nika. Ghandi yang pendiam, cuek, dan dingin akan berubah menjadi cerewet dan hangat ketika bicara dengan anak sulungnya itu. “Kenapa kamu kunjungi Nika?”

“Karena Om sudah keterlaluan. Aku marah!”

“Ya, marah aja. Om nggak peduli!” Kenzie menjulurkan lidahnya.

“Aku adukan ke Mama!” ancam Ghandi,”Om sudah menindas anak Om sendiri.”

Haiyah!” Kenzie menggaruk-garuk kepalanya. ”Jangan adukan, sudahlah...ini,kan tradisi keluarga. Ikuti saja, nanti, Nika bakalan kembali lagi,kan?”

Ghandi melipat kedua tangannya di dada, menatap Kenzie dengan kesal. Sejak ia kecil, pria di hadapannya ini memang selalu menyebalkan. Manja dan suka mengganggunya, “baik. Tapi, aku nggak akan membiarkan apa pun terjadi dengan Nika.”

“Iya...iya, itu karena kau takut Nika akan jatuh cinta dengan pria di luar sana,kan?” Kenzie tertawa keras, semakin membuat Ghandi kesal. Rasanya ia ingin melempar Kenzie dengan kanebo basah.

“Sayang!” Suara Seva muncul hingga Kenzie terdiam. Pria itu berdiri, lalu menghampiri sang istri yang baru saja masuk.

“Sayangku!” Kenzie memeluk Seva.

“Halo, Ghandi. Sudah makan siang?”tanya Seva.

“Belum, Tante!”jawab Ghandi.

“Ayo, kita makan siang sama,”ajak Seva.

“Baik.” Baru saja Ghandi akan berdiri, tiba-tiba Kenzie berkata,”nggak usah!”

“Hei!” Seva menatap Kenzie heran, tidak seharusnya ia bersikap seperti itu pada keponakannya.”Ada apa, sayang?”

Kenzie bersandar di pundak Seva.”Tadi, dia habis marahin aku. Nggak usah diajak makan. Biar dia kelaparan!”

“Aku bisa makan sendiri,”balas Ghandi dengan gaya coolnya.

“Aduh, kalian ini...masih saja.” Seva menggeleng-gelengkan kepalanya.”Ayo, Ghandi. Nggak usah didengerin omongan Om kamu.”

Ghandi mengangguk, berjalan melewati Kenzie dan menjulurkan lidahnya sebagai bentuk kemenangan sudah dibela oleh Seva. Kenzie mengepalkan tangannya.

“Awas kau, Anak Muda,”kata Kenzie sambil menyusul Ghandi dan Seva yang berjalan duluan.

Keringat dingin mengucur deras di dalam kemeja yang Nika pakai. Sebentar lagi, giliran wawancaranya  tiba.

“Arunika!”

Nama Nika dipanggil. Wanita itu mengangguk dan mengikuti orang yang memanggil namanya. Ia dibawa ke sebuah ruangan kecil, di dalamnya terdapat meja bundar dan ada tiga orang duduk di sana. Mereka melemparkan senyuman pada Nika. Gadis itu menjabat tangan mereka.

“Wah, ternyata pangeranku ada di sini!”pekik Nika dalam hati, dipandanginya dengan takjub pria berkemeja putih yang duduk di tengah.

“Pak direktur, silakan,”kata pria bertubuh gemuk pada pria idaman Nika.

“Direktur? Jadi, dia adalah Direktur di sini?” Hati Nika berteriak.”Aku harus lulus...harus lulus.”

“Arunika, kita mulai,ya?” Arjuna, sang Direktur Utama tersenyum pada Nika.

Jantung Nika berdebar kencang, hatinya berbunga-bunga.”Lulus,lulus,lulus!”ucapnya dalam hati dengan semangat membara.

 

Kenzie menggeliat di atas tempat tidur, menikmati nyamannya tempat tidur hotel. Apa lagi, di sebelahnya ada sang isteri tercinta. Ia menatap Seva yang sedang duduk, memakai kaca mata, serius menatap laptop yang ia letakkan di paha

“Kamu kerja apa, sayang?”tanya Kenzie manja. Pria itu tidak pernah ingat bahwa ia semakin menua, masih saja bersikap manja.

“Ngecek urusan kantor,”jawab Seva.

“Ah, serahkan saja pada yang lain, anak-anak kita, atau Ghandi,”kata Kenzie.

“Bukannya anak sulung kita sedang berjuang sendiri,ya, supaya dia diakui sama Papanya?”balas Seva sembari terkekeh.

“Kamu marah sama aku karena itu?”tatap Kenzie dengan mata berkaca-kaca.”Jangan cuekin aku karena itu, sayang.”

“Aku nggak marah, hanya saja...kamu nggak boleh terlalu keras. Kamu saja, dulu difasilitasi barang-barang mewah. Kenapa sekarang Nika harus tersiksa, orangtuanya kaya,kan?”kata Seva dengan hati-hati, seChapter suaminya begitu sensitif.

“Terus, bagaimana? Apa aku sudahi saja?”

Seva mengedikkan bahunya. Ia men-shut down laptop, menyimpannya ke atas meja, lalu kembali duduk di sebelah suaminya.”Terserah kamu saja. Kamu,kan Papanya. Tahu apa yang terbaik untuk Nika.”

 

 

Chapter 4

Kenie terdiam beberapa saat, lalu,wajahnya terlihat sedih karena ternyata sang isteri kecewa atas sikapnya.”Aku suruh Nika pulang aja,ya?”

“Kamu mau Nika pulang?”

Kenzie mengangguk,”supaya kamu tenang.”

“Iya. Aku memang nggak tenang anak gadisku jauh di sana. Kalau memang begitu, tolong bawa Nika pulang,”mohon Seva dengan sedih.

Kenzie cepat-cepat memeluk Seva.”Iya, aku akan bawa Nika pulang. Jangan sedih lagi,ya.”

Seva mengangguk dalam pelukan Kenzie. Di saat bersamaan, handphonenya berbunyi. Ia melirik nama yang tertera di layar.”Nika.”

Kenzie melepaskan pelukannya.”Cepat angkat. Bilang kalau dia sudah boleh pulang.”

Seva mengangguk, lantas mengaktifkan louds speaker supaya Kenzie bisa mendengar pembicaraannya dengan Nika.

“Mami!”pekik Nika dari seberang sana.

Seva dan Kenzie bertukar pandang, kaget.”Kamu kenapa, Nika?”

“Mami, Nika diterima kerja di Perusahaan Samala!”pekik Nika masih dengan euforianya.

“Syukurlah kalau begitu,sayang.”

“Samala itu, Perusahaan apa? Nggak pernah dengar,”bisik kenzie pada Seva.

Seva menempelkan telunjuk ke bibirnya, menyuruh sang suami tidak berkomentar atas jenis Perusahaan yang menerima Nika bekerja.”Kamu senang banget,ya, sayang?”

“Iya, Mami, akhirnya Nika dapat kerjaan kantoran.” 

“Nika...” Kenzie bersuara.

“Papi, jangan khawatir,Nika pasti bisa seperti Papi dan Mami. Sekarang, memang masih Perusahaan kecil, tapi, nanti Nika akan berproses bisa masuk Perusahaan besar,”ucap Nika dari seberang sana.

“Nika...” Kenzie berkaca-kaca, ada rasa penyesalan di hatinya.”Sayang, kamu nggak perlu kerja di sana lagi. Kamu sudah boleh pulang dan langsung kerja saja di Perusahaan Kakek.”

“Apa Mas Ghandi yang minta Papi memulangkan Nika?”tebak Nika. Ia tahu, Ghandi pasti akan tetap berusaha bagaimana pun caranya agar ia bisa pulang. Pria itu tidak bisa hidup tenang jika melihat Nika menderita.

“Bukan! Papi sendiri yang mau. Sudahlah, Papi nggak mau kamu menderita di sana. Pulang,lah dan kita kumpul bersama lagi di sini,”kata Kenzie.

Nika tersenyum senang, Papinya sudah berubah pikiran. Tapi, sayangnya, ia masih mau di sini untuk bisa selalu melihat Arjuna, Bos gantengnya.”Papi, Nika udah memulai di sini. Nika nggak masalah kalau harus jauh dari Mami sama Papi. Bukankah untuk sukses itu harus melewati banyak proses,ya?”

“Nika, jangan merasa terpaksa, sayang. Mami nggak masalah kalau kamu pulang. Kita juga nggak akan bahas masalah tradisi keluarga itu lagi. Cepatlah pulang, bantu Mami urus perusahaan. Papi kamu,kan nggak ngerti apa-apa,”curhat Seva yang ditanggapi Kenzie dengan ciuman di pipi.

“Mami...Nika nggak merasa terpaksa. Pokoknya Nika mau kerja di sini.Titik.”

“Heh?”mata Kenzie menyipit curiga. “Ada orang ganteng di kantor barumu,ya?”

“Tepat!” Nika tertawa.

“Ah, sudah kuduga. Kamu harus hati-hati,ya,”pesan Kenzie.

“Iya, Pi, tapi...tambahin uang jajan Nika dong, Pi!”rengek Nika akhirnya. Selama beberapa bulan menjadi ojek online, ia harus meredam beberapa keinginannya untuk makan enak.

“Iya, nanti Papi kirim. Baik-baik di sana,ya!”

“Terus...Nika nggak jadi pulang dong,ya.” Seva terlihat kecewa.

“Ya, Nika nggak mau.”

“Mami, Papi, doakan saja ya. Ya udah, Nika mau pulang nih! Sudah dulu ya.”

“Mami kirim uang untuk beli baju baru sekarang,ya. Kamu pergi belanja sama Bik Asih, belikan juga untuk Bik Asih,”kata Seva sebelum mengakhiri pembicaraan.

“Iya, Mi. Nika tunggu transferannya.” Nika terkekeh,”bye, Mami, Papi.”

Seva tertegun menatap ponselnya yang sudah tidak tersambung panggilan.”Anak kita udah dewasa,ya. Udah ada laki-laki yang dia suka.”

“Iya,sayang, waktu begitu cepat berlalu. Ya udah, aku transfer Nika dulu.” Kenzie mengambil handphone dan mengirim sejumlah uang untuk anak gadisnya. Begitu juga dengan Seva, ia mengirimkan uang untuk Nika. Semoga saja ia berkembang dengan baik di luar kota sana.

Sementara itu, Nika masuk ke rumah dengan riang. Memanggil-manggil Bik Asih.”Bik!”

“Apa, Non? Kok teriak-teriak!”kata Bik Asih yang baru selesai salat Maghrib.

“Bik, udah masak?”

“Belum? Kebetulan bahan-bahannya habis. Sekalian antisipasi kalau Non bawa makanan orderan fiktif ke rumah.”

“Bik, ayo kita makan di luar. Kita makan yang enak, belanja-belanja!”ajak Nika dengan semangat.

“Lah, nanti uang kita habis, Non!”

“Papi sama Mami kirim uang buat kita belanja, Bik! Banyak, “bisik Nika senang.

Mata Bik Asih langsung berbinar.”Ayo kalau gitu.”

“Nika mandi dulu, ya!”

“Iya, Non, Bibik mau dandan yang cantik dulu.”

Keduanya sibuk mempersiapkan diri masing-masing. Mereka pergi naik sepeda motor, menuju sebuah pusat perbelanjaan ternama. Uang yang dikirimkan Kenzie cukup besar, Nika bisa membeli pakaian kerja yang bagus.

Pertama sekali, mereka berbelanja. Nika masuk ke sebuah toko pakaian dengan brand ternama. Saat sedang memilih, ia tidak sengaja menyenggol lengan orang di sebelahnya. Orang itu langsung melotot ke arah Nika.

“Maaf, Mbak!”ucap Nika.

“Hei, apa, sih gembel ini!” Wanita dengan pakaian seksi itu mendorong Nika.

“Maaf, Mbak. Apa ada yang kotor atau luka?”tanya Nika sopan.

“Dari penampilanmu, tentu aja kalau nempel begini, badanku jadi bau!”katanya sambil menunjukkan ekspresi jijiknya.

“Ya ampun, sombongnya orang ini,”gumam Bik Asih.

“Kalau begitu, saya minta maaf. Saya benar-benar tidak sengaja.”

Wanita itu menggelengkan kepala,”wah, sudahlah. Kalau kalian tidak berniat belanja sebaiknya segera pergi. Kasihan pelanggan lain, kan, pasti tidak nyaman.”

“Hah, baiklah. Ayo, Bik, kita pergi. Kita belanja di toko sebelah aja,”kata Nika sembari memeluk lengan Bik Asih.

Wanita itu hanya tertawa mengejek. Toko sebelah adalah toko yang menjual lakaian lebih mahal dari toko ini. Nika tidak akan sanggup membelinya.

 

Nika mencoba pakaian yang ia beli kemarin satu persatu. Hari pertamanya kerja, harus terlihat sempurna. Gadis itu menjatuhkan pilihan pada stelan kerja bewarna abu-abu. Kemudian ia memadu padankan dengan tas bewarna hitam. Ia sangat tidak sabar untuk hari ini.

“Bik, Nika pergi dulu!”kata Nika sembari memakai jaketnya.

“Non, sarapan dulu! Tadi Ibuk udah pesan supaya Non sarapan yang banyak!”kata Bik Asih yang berlari menghampiri Nika.

“Bik, nanti aja deh. Nggak sempat,”kata Nika.

“Ish!”Bik Asih menepuk bokong Nika.”Sarapan!”

“Bik, nanti Nika telat. Kan, nggak enak hari pertama kerja tapi telat.”

“Ya udah, nih, udah Bik Asih taruh di kotak makan,”kata Bik Asih menyerahkan kotak makan. Ia sudah mengantisipasi hal ini terjadi.

Nika menerima kotak makan, lalu memasukkannya ke dalam bagasi sepeda motor. Ia memakai helm, melajukan motornya.

“Hati-hati, Non. Jangan lupa makan!”teriak Bik Asih.

Nika menjawab dengan teriakan sembari melajukan sepeda motor. Ia segera menuju kantornya. Ia memarkir sepeda motornya denhan rapi, bergegas masuk ke dalam. Senyumnya sumringah ke arah satpam dan beberapa karyawan yang lain. Beberapa membalas, sementara beberapa tanpa ekspresi. Ia duduk di ruang tunggu, untuk menunggu sang Manager yang akan menunjukkan ruangan serta memberikan tugas-tugas pertama Nika. Kemarin, karyawan yang diterima ada tiga orang. Dua karyawan baru lainnya belum datang.

 

 

Chapter 5

Beberapa menit menunggu, Nika mendengar suara cekikikan dari arah pintu masuk. Kemudian Nika menoleh, dua orang wanita cantik dan seksi masuk. Mereka terlihat sangat modis, gayanya melebihi artis.

“Kenapa lihat-lihat begitu?”semprot Stella.

“Ah, maaf, saya hanya tersenyum menyapa, Kak,”kata Nika.

“Siapa, sih, ini orang?”bisik Julie, wanita di sebelah Stella.

Stella mengedikkan bahunya.

Nika berdiri, kemudian mengulurkan tangannya. ”Saya Nika, Kak. Karyawan baru.”

Aish!” Stella menempelkan tangannya pada tangan Nika, lebih mirip menepis daripada membalas uluran tangan Nika.

“Tangan kamu kotor, udah ah...yuk!” Julie memeluk lengan Stella dan berlalu dari hadapan Nika.

“Sombong amat, sih,”gumam Nika yang kemudian duduk kembali.

“Hei,”panggil Lina pelan. Lina adalah salah satu karyawan baru yang diseleksi bersamaan dengan Nika.

“Hai,”balas Nika.

“Bu Manager belum datang?”

“Kayaknya belum.”

Ponsel Nika berbunyi memecahkan keheningan. Wanita itu lupa untuk menonaktifkan bada dering. Untunglah ini tidak terjadi di jam kerja.

“Halo, Mas!”

“Kamu dimana, Nika?”tanya Ghandi sembaru masuk ke dalam mobil.

“Di kantor,Mas.”

“Kantor mana?”

“Aku diterima di Perusahaan Samala, Mas. Jadi, aku nggak ngojek lagi,”cerita Nika dengan riang.

Ghandi menarik napas panjang seraya menatap ke arah luar jendela.”Apa posisi kamu?”

“Admin.”

“Kamu bisa?”tanya Ghandi tidak yakin. Nika pasti akan kelelahan di hari pertamanya bekerja. 

“Bisa, Kak. Mudah saja kok kerjanya,” kata Nika dengan begitu yakin.

“Oke,lah. Kalau ada keluhan, bilang sama Mas,ya.”

“Iya, Mas.”

“Jangan telat makan!”

“Iya.” Wajah Nika langsung cemberut, kemudian ia melihat sang Manager masuk.”Mas, sudah dulu,ya. Bye...” Ia buru-buru memutuskan sambungan.

“Astaga, Nika...kapan aku berhenti meresahkanmu coba!”keluh Ghandi yang kemudian memejamkan mata. Mobil yang ditumpanginya berjalan menuju tempat meeting.

Semua karyawan baru dibawa ke dalam satu ruangan. Lina dan Vino ditugaskan membereskan file-file lama yang berantakan. Nika ditugaskan untuk mem-fotocopy beberapa tumpukan berkas.

“Katanya admin, kok malah begini,” gerutu Vino.

Nika menoleh, kemudian terkekeh. “Mungkin belum ada kerjaan lain, Vin, makanya kita ditugaskan yang ini dulu.”

“Padahal job desk-nya,kan, bukan ini, Nika,” sambung Lina yang setuju dengan perkataan Vino.

Nika tersenyum, ia berjalan ke lemari penyimpanan kertas. Mengeluarkan satu pack, kemudian membuka pembungkusnya. “Sabar aja, mungkin, saat ini...sedang ditest, apakah kita kuat dengan pekerjaan ini apa nggak. Nanti juga kalau dilihat kita rajin, mereka bakalan kasih pekerjaan yang bagus dan sesuai tugas pokok dan fungsi.”

“Iya, Lin, bersyukur aja karena kita dapat pekerjaan. Di luar sana banyak orang yang butuh pekerjaan.” Vino kembali melanjutkan pekerjaannya.

“Iya...iya,”balas Lina.

Ketiganya bekerja dengan tekun. Pekerjaan yang terlihat sepele itu ternyata tidak mampu diselesaikan dengan cepat. Keringat bercucuran karena ruangan hanya diberi kipas angin. Betis Nika mulai terasa sakit karena terlalu lama berdiri.

Pintu terbuka, kemudian Julie masuk dengan wajah angkuh. Ia meletakkan setumpuk berkas di meja sebelah Nika.”Tolong di-copy,ya, sebanyak sepuluh rangkap. Hari ini harus selesai, karena besok mau dibawa.”

Nika memegang berkas yang dibawa Julie, sebanyak lima berkas. Satu berkasnya berjumlah puluhan lembar. Sementara, yang sebelumnya juga masih banyak yang belum ia copy. Ia terduduk lemas untuk istirahat sejenak.

“Capeknya, lapar lagi.” Lina meyeka keringat.

“eh udah jam istirahat nih. Makan dulu,yuk!”ajak Vino.

“Aku bawa bekal!”kata Lina.

“Aku juga,”balas Nika.

“Ya udah kita makan dulu. Aku juga bawa bekal, biar hemat,”kata Vino menepuk-nepuk tangannya. Ia dan Lina pergi mencuci tangan, setelah itu ketiganya makan bersama.

“Kalau kerjaan di dalam sini terus, kapan ketemu Pak Junanya,”kata Nika dalam hati.

Sekitar pukul lima sore, jam kantor berakhir. Nika menumpuk berkas yang sudah selesai ia copy ke atas meja untuk diserahkan besok. Ia melihat karyawan berseliweran keluar kantor untuk pulang.

“Udah selesai, Nik?”tanya Lina.

“Udah.”

“Ayo, pulang,”ajaknya.

“Iya, duluan aja, aku mau rapikan ini sedikit.”

“Ya udah, bye!” Lina dan Vino berlalu. Nika merapikan lokasi kerja, merapikan tas, lalu keluar.

Nika menuju sepeda motornya, kemudian berkerut saat melihat bannya kempes. Gadis itu menarik napas panjang, ia harus mencari bengkel untuk menambal ban sepeda motornya. Sementara itu, seorang pria berkemeja biru muda menenteng clutch keluar dari kantor. Sembari berjalan menuju mobil, ia mengedarkan pandangannya. Langkahnya melambat saat melihat Nika berjongkok melihat kondisi ban sepeda motor. Ia segera menghampiri gadis itu.

“Nika!”

Jantung Nika berdegup kencang saat mendengar namanya dipanggil. Ia masih bisa mengenali suara laki-laki ini, bahkan ia tidak akan pernah melupakannya. Nika membalikkan badan perlahan.

“Pak,”sapa Nika dengan senyuman lebar. Melihat Arjuna yang masih saja terlihat  tampan, wangi, san juga rapi, Ia merasa minder dengan penampilannya yang sudah kusut serta wajahnya yang kusam karena kelelahan.

“Kenapa motornya?”

“Bocor, Pak.”

“Ah, kasihan. Ditinggal aja motornya. Nanti biar satpam yang urus,”kata Arjuna.

“Jangan, Pak. Saya cari tukang tambal ban aja, mudah-mudahan ada di dekat sini,”kata Nika. Ia sangat ingin diantar pulang oleh Arjuna, bahkan kesempatan ini, mungkin tidak akan datang dua kali. Tapi,ia sangat tidak percaya diri dengan kondisinya saat ini.

“Pak Man!”panggil Arjuna pada satpam yang tidak jauh dari posisi mereka berdiri.

“Iya, Pak!”

“Tolong,motornya Nika, nanti dibawakan ke bengkel ya. Bocor,”perintah Arjuna.

Pria paruh baya itu mengangguk,”baik, Pak.”

“Ayo, Nika, saya antar.”

“Be-beneran ini, Pak?” Nika langsung gemetaran. Rasanya seperti mimpi atau berasa sedang di drama Korea saja.

“Iya, Yuk!” Arjuna tersenyum Seraya berjalan ke mobil.

Nika masuk ke dalam mobil, duduk dengan resah. Semoga saja badannya tidak bau setelah seharian berkeringat.”Maaf,ya, Pak...merepotkan!”

“Nggak apa-apa, Nika. Kasihan juga kamu harus dorong motor,”kata Arjuna.

“Makasih, Pak.”

“Bagaimana hari pertama kamu kerja? Semoga betah,ya.”

Senyuman Arjuna yang begitu manis membuat hati Nika meleleh. Sisi lainnya berteriak dan joget-joget di dalam hati. “Saya pasti betah, Pak!”

“Bagaimana kalau kita makan malam dulu?”

“Wah, ja-jangan, Pak. Saya belum gajian,”tolak Nika.

“Nggak apa-apa. Anggap saja perayaan karyawan baru,ya.” Arjuna tertawa kecil, lalu ia melihat ada warung lamongan.”Makan di situ,yuk? Enak loh sambalnya.”

“I-iya, Pak, boleh.” Nika mengembuskan napas lega. Setidaknya ia diajak ke tempat makan biasa. Seandainya diajak ke restoran, ia pasti sangat tidak percaya diri bersanding dengan Arjuna.

Arjuna memarkirkan mobil, lalu turun. Ia langsung memesan dan mencari tempat duduk. Nika mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

“Bapak suka makan di sini,ya?”

“Iya. Paling suka ayamnya.”

“Wah, ternyata Bapak penyuka masakan nusantara,ya. Hebat sekali,”puji Nika.

“Apanya yang hebat, cuma penyuka masakan nusantara, Nika.” Arjuna menggulung lengan kemejanya sampai ke siku.

“Ya, kan, bisa saja Bapak penyuka makanan ala-ala barat, atau...makanan yang di restoran atau kafe-kafe kekinian begitu.” Nika tertawa kecil.

 

Chapter 6

 

Arjuna menggeleng,”saya dari kampung. Nggak biasa makanan begitu. Kalau kamu bagaimana?”

“Saya, sih apa saja, Pak. Yang penting bikin kenyang. Apa pun itu harus disyukuri,”balas Nika.

Arjuna mengangguk-angguk puas. Kali ini, ia tidak salah memilih karyawan. Ia rasa Nika bisa bertahan lama di kantor dan tidak perlu bolak-balik merekrut karyawan baru.

Pesanan mereka datang, kemudian mereka makan dengan lahap sembari berbagi cerita. Nika tidak mengerti kenapa mereka bisa langsung klop, padahal, ini kali pertama mereka bicara panjang lebar. Nika merasa nyaman ketika bicara dengan Bosnya itu. Hatinya semakin mantap untuk melabuhkan hati pada Arjuna.

Selesai makan malam, Nika diantar pulang. Bik Asih sudah resah menunggu di teras rumah karena ini sudah cukup larut. Wanita tua itu berdiri ketika ada mobil berhenti di depan rumah. Lalu wajahnya sumringah melihat Nika muncul dari sana. Ia cepat-cepat membuka pagar.

“Non, syukurlah udah pulang!”

“Iya, Bik, tadi makan dulu. Maaf ya... Bibik udah makan?”jawab Nika sambil berjalan masuk.

“Gimana bisa makan, Non, kalau Non belum pulang. Diteleponin juga nggak diangkat!”katanya dengan nada cemas.

“Maaf, Bik, hapenya disilent, nggak kedengeran.” Nika terkekeh. Dipeluknya lengan Bik Asih.

“Tadi, pulang sama siapa, Non? Motornya mana?”

“Ah, iya...ban motor Nika bocor, Bik, jadi...dianterin sama Pak Arjuna, Bos Nika!”

“Wah, baru hari pertama kerja udah dianterin Bos aja.” Bik Asih menatap Nika dengan curiga,”kok Non Nika seneng banget?”

“Iya,lah, Bik...secara Pak Arjuna ganteng banget.” Nika memekik sembari memegang kedua pipinya yang merona.

Bik Asih geleng-geleng kepala,”ya ampun, Non,Non! Ya udah mandi sana, Non! Pakai air hangat. Terus istirahat,ya?” Wanita tua itu mendorong Nika.

“Ya udah, Nika mandi. Bibik jangan lupa makan!”kata Nika setengah berteriak karena ia sudah berjalan masuk ke kamar.

Bik Asih memastikan Nika masuk ke kamar, mengunci pintu dan pergi mandi. Setelah itu, diam-diam ia menelepon Ghandi dan memberikan informasi bahwa Nika sudah pulang. Sejak sore tadi, Ghandi memang bolak-balik menghubungi Bik Asih, menanyakan keberadaan Nika. Katanya, Ghandi berusaha menghubungi Nika, tetapi, gadis itu tidak menjawab.

Usai mendengar penjelasan Bik Asih, Ghandi hanya bisa menarik napas panjang. Ada bagian hatinya yang terluka, tapi, ia tidak bisa berkata apa-apa.

“Dasar budak cinta!”celetuk Raffael yang sedari tadi memperhatikan keresahan Ghandi.

Ghandi melirik, kemudian melemparkan pena pada adiknya. “Sial!”

Raffael mengelak, kemudian tertawa keras.”Apa,sih, Mas. Santai dong!”

“Nggak usah komentarin hidupku!”

“Ya ampun, sensinya, bujang lapuk,”ejek Raffael yang kemudian kabur begitu saja. 

Ghandi mendengkus, kemudian memegang pelipisnya. Setelah ini, tidurnya tidak akan pernah nyenyak memikirkan Nika yang sedang dekat dengan seorang laki-laki di sana.

 

 

♥♥♥

      Nika melangkah riang memasuki area Kantornya. Ia melihat sepeda motornya sudah terparkir rapi di tempatnya dengan kondisi ban yang sudah tidak lagi bocor. Ia berlari kecil menghampiri Pak Man.”Pak...”

“Iya, Mbak...”

“Sepeda motor saya udah ditambal,ya?”

“Iya, Mbak, sudah beres.”

Nika membuka tas, mengambil uang lima puluh ribuan dari dompetnya.”Ini, Pak, terima kasih,ya.”

Pak Man mematung di tempat saat menerima uang lima puluh ribu itu. Belum sempat berkata apa-apa, Nika sudah masuk ke dalam kantornya. Di dalam sana, ada sekumpulan gadis-gadis yang sangat modis. Dari kejauhan saja aroma parfum mereka sudah tercium jelas. Dari aromanya, seperti parfum mahal. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, Nika menghampiri mereka. Semua yang ada di sana menatap Nika heran. Lirikan tajam itu tidak digubris Nika, ia melemparkan senyuman ramahnya.

“Hei, ngapain kamu di sini?”tanya salah satunya.

“Ah, cuma menyapa. Memangnya... tidak boleh?”

“Tidak. Kamu anak baru!”

Nika tersentak mendengarnya, ia tidak menyangka kalau anak baru diperlakukan seperti ini. Memangnya apa yang salah dengan dirinya. Mereka sama-sama karyawan, haruskah ada istilah senior dan Junior dalam hubungan sosial seperti ini. Junior tidak diperbolehkan berteman dengan senior, tidak adil sekali. Harusnya mereka bisa merangkul, memberikan banyak ilmu agar para Junior bisa berkembang.

Tiba-tiba saja semuanya terburu-buru menyusun barisan, merapikan penampilan mereka masing-masing. Nika masih berdiri di sana dengan heran. Arjuna masuk, tersenyum pada siapa saja yang ada di sana.

“Pagi, Pak!”sapa mereka bersamaan.

“Pagi,”balas Arjuna, lalu melihat ke arah Nika.

“Pa-pagi, Pak,”sapa Nika terlambat.

“Pagi, Nika, gimana motor kamu? Udah beres?”

Nika mengangguk,”sudah, Pak. Terima kasih sudah membantu.”

“Sama-sama. Semangat kerja di hari kedua,ya. Kamu pasti bisa!” Arjuna memberikan semangat.

“Terima kasih banyak, Pak.”

“Ya udah, saya naik dulu!”kata Arjuna sembari melambaikan tangan pada Nika.

Wanita-wanita cantik nan modis itu menganga, bisa-bisanya anak baru seperti Nika sudah diperhatikan seperti itu oleh Arjuna. Mereka saja, sampai sekarang tidak pernah diajak ngobrol di luar masalah pekerjaan. Mereka langsung mengerumuni Nika

“Kamu...kenapa bisa dekat sama Pak Juna?”

“Itu... Aku nggak tahu.” Nika cengengesan.

“Kamu kerabat Pak Juna?”

Nika menggeleng.”Aku sama sekali nggak kenal Pak Juna. Ya sudah...aku mau kerja dulu.”

Eits!” Nika ditarik hingga mundur, untung saja ia tidak terjungkal ke belakang.

“Kamu kasih penjelasan dulu!”

“Hei, kenapa pada ngumpul di sini? Kerja sana!” Julie datang bersama Stella. Wanita yang berkumpul di sana langsung membubarkan diri.

Julie menatap Nika sebal, pagi-pagi sudah membuat masalah saja.”Sudah selesai apa yang kuperintakan kemarin?”

“Sudah, Kak. Saya ambil dulu.” Nika masuk ke dalam ruangan, meletakkan tas, mengambil tumpukan lembaran copy-an kertas, lalu menemui Julie.”Ini, kak.”

“Kenapa masih berbentuk lembaran begini,sih!”protes Julie.

“Jadi, bagaimana, Kak?”

“Harusnya kamu jilid, nggak mungkin,kan kita menyerahkannya dalam bentuk lembaran kertas begini. Harusnya kamu tahu dong!”omel Julie.

Nika menelan ludahnya.”Tapi,kakak nggak kasih perintah itu kemarin.”

“Nah, harusnya kamu inisiatif dong! Kamu kan sarjana, nalarnya dipake. Jilid sekarang juga, pakai yang ring. Setengah jam lagi, kamu antarkan ke ruanganku!” Usai memerintah seenaknya, Julie meninggalkan Nika yang terbengong-bengong. Ia mengerti harus dijilid, seperti buku, tapi, menggunakan ring? Bagaimana caranya.

Belum hilang kebingungan Nika, Lina datang, menepuk pundaknya.”Nika, ngapain di sini?”

“Ah, nggak apa-apa kok. Yuk, masuk,”kata Nika. Diletakkannya kertas itu kembali ke atas meja, lalu mencari 'ring'yang dimaksud.

“Cari apa, Nik?”tanya Vino yang baru datang.

“Batang ring,”sahut Nika sembari sibuk mencari.

“Buat jilid kertas ya?”

Nika menoleh, mengangguk cepat.”Iya. Kamu tahu yang mana?”

Vino mengangguk, kemarin sewaktu beres-beres, ia melihat ring yang dimaksud, berbahan plastik bewarna hitam.”Ini.”

“Kok panjang banget?” Nika kaget. Bagaimana cara menggunakannya.

Vino mengambil kertas, lalu menyesuaikan ukuran. Ia memotong batang ring tersebut dengan cutter.”Nah, kamu siapkan dulu potongan sepanjang ini, sebanyak yang kamu butuhkan.”

“Oke. Makasih,ya.”

“Sama-sama. Aku sama Lina lanjutkan beresin file ya?”

“Oke!” Nika mengacungkan jempol. Ia memotong batangnya sampai sepuluh buah. Setelah itu, ia menyimpan kembali sisanya ke tempat semula. Lalu, tibalah saat pemasangan. Nika sama sekali tidak tahu bagaimana membuatnya terpasang pada kertas. Ia melirik Vino.

 

 

Chapter 7

“Vin!”

“Kenapa, Nik?”

“Masangnya gimana?”

“Kertasnya dilubangi dulu. Pakai alat, tuh di bawah!”tunjuk Vino.

Nika melihat sebuah alat, mirip mesin ketik, lalu ia mengangkatnya ke atas meja, cukup berat. Beberapa detik ia menimangnya, “Vin!”

“Bantuin dulu sana, Vin,”kata Lina.

Vino menghampiri, lalu mempraktekkan cara melubangi kertas menggunakan alat tersebut. Ia juga mengajari bagaimana menyusunnya agar rapi seperti semula.”Setelah selesai,nih, pasang ring. Cara pasangnya begini,”jelasnya sambil memasang satu ring.”Nah, selesai.”

Nika tersenyum,”makasih, Vin. Aku udah paham.”

“Oke. Semangat!!” Vino kembali membereskan file.

Pintu terbuka. Ketiganya menoleh ke pintu. Stella menatap ketiganya dengan sinis.”Oh, kalian sedang bereskan file ya. Tolong carikan Laporan Harian, minggu ketiga bulan November tahun dua ribu dua belas. Antarkan ke ruangan saya.”

“Laporan harian minggu ketiga bulan November tahun dua ribu dua belas!” Nika mencatatnya dengan cepat agar tidak terlupakan.

“Setengah jam sudah harus sampai ke ruangan!”katanya yang kemudian pergi.

“Ya ampun!” Lina menyeka keringat, ia harus mencari keberadaan file yang sudah lama itu.

Nika melirik jam berkali-kali, waktunya sudah hampir habis. Ia harus segera menyerahkannya pada Julie. Ia menyelesaikan tugasnya dengan cepat, lalu, pergi ke ruangan Julie. Katanya, ada di lantai dua. 

Nika mengetuk ruangannya, lalu masuk. Julie hanya melirik.

“Permisi, Kak, ini...” 

Julie memeriksa hasil pekerjaan Nika, lalu wajahnya terlihat marah.”Ini susunannya kebalik!” Dibantingnya ke lantai, lalu ia mengambil satu lagi,”Kamu salah lubang, harusnya di kiri, ini malah di kanan. Covernya salah pasang. Aduh...kamu bisa kerja nggak, sih!”

Nika tersentak karena mendapatkan bentakan yang cukup keras. Ia menelan ludah, matanya terasa panas ingin menangis. Tapi, ia tidak boleh cengeng, hanya pekerjaan kecil saja. Ia pasti bisa mengatasinya.

“Kamu bereskan sekarang juga!”teriak Julie,”Setengah jam lagi ini diminta sama Pak Juna. Cepat perbaiki sekarang!”

“Ba-baik, Kak.” Nika kembali membawa berkas-berkas itu ke ruangannya untuk segera diperbaiki. Ternyata, mencari uang sesakit ini, bahkan ini masih awal, masih sangat pagi untuk mengeluh. Tapi, apa iya harus diperlakukan seperti ini.  Bukankah sebaiknya mereka mengingatkan baik-baik ketika Nika salah, bukan dengan langsung membentak atau menyalahkan. Ia juga masih anak baru. Perlakuan mereka seolah-olah menganggap atau mengharuskan anak baru harus bisa segalanya.

Lina dan Vino menoleh ketika Nika kembali dengan berkas yang sama.

“Kok dibawa lagi?”tanya Vino.

“Banyak yang salah, Vin, harus diperbaiki.

“Mana yang salah, sini kubantu.” Vino memeriksa hasil pekerjaan Nika dan membereskan yang salah.

Dalam waktu singkat saja, ia sudah mampu menyelesaikannya. Bagian yang tidak bisa diperbaiki, dicopy kembali. 

“Wah, cepat, ya,”puji Nika.

“Aku pernah kerja di Toko ATK, Nik. Jadi, udah biasa.” Vino terkekeh.

“Ya udah, aku serahkan ini dulu,ya. Nanti kubantuin cari filenya kalau belum ketemu.”

“Oke.”

Nika berjalan tergesa-gesa ke ruangan Julie. Mereka berpapasan di depan pintu. Tampaknya Julie mau pergi.

“Kak, ini...”

“Ikut aku!”perintahnya.

Nika patuh, mengikuti Julie dari belakang. Mereka masuk ke dalam ruangan Direktur. Mata Nika langsung berbinar,”ruangan Pak Juna.” Ada hikmahnya juga ia melakukan kesalahan. Ia jadi tahu dimana ruangan Arjuna.

“Pagi, Pak!”sapa Julie.

Arjuna mengangkat kepalanya. “Pagi,silakan masuk.”

Nika baru saja ingin melangkah masuk, tapi, Julie cepat-cepat menahannya.”Sampai sini saja, kamu balik kerja!”

Nika tersenyum kecut,menyerahkan berkas dengan kecewa. Ia tidak bisa  melihat Arjuna berlama-lama. Sebelum Julie menutup pintu, ia mematung di tempat, berharap Arjuna melihatnya. Sampai pintu tertutup, hal itu tidak terjadi. Nila pergi dengan gigit jari.

Suara deru napas berkejar-kejaran memecahkan keheningan ruangan. Ghandi hanya bisa terdiam menyaksikan dua insan manusia yang tidak tahu malu, bercinta di hadapannya. Ia berusaha santai, tidak menggubris apa lagi terpengaruh. Ini adalah upaya dari sang Mama untuk menggoyahkannya. Untung ia bisa merespon dengan cepat, lalu berpura-pura menjadi orang lain.

“Ghan!” Nino mencabut miliknya, melepaskan pengaman, lalu membuang ke tempat sampah.

Ghandi melemparkan tisu yang ada di atas meja kepada sahabatnya itu. Nino terkekeh, ia membersihkan miliknya, lalu memakai celana.

“Cepat pakai bajumu!”kata Ghandi dingin pada wanita yang sudah ditiduri Nino.

Wanita itu terkejut, ia memunguti baju yang berserakan di lantai, memakainya cepat, lalu menghampiri Ghandi dan Nino.

“Kamu suruhan Mama?”tanya Ghandi.

“Mama?” Wanita itu mengernyit, lalu menatap pria yang bercinta dengannya tadi.

“Aku adalah Ghandi yang sesungguhnya...dan dia...yang becinta denganmu tadi adalah Nino,”jelas Ghandi membuat wanita itu menganga.

“Kalian menipuku!”amuknya sembari melemparkan apa pun yang ia lihat ke arah Ghandi dan Nino.

“Itu salahmu, kenapa begitu murahan...diiming-imingi uang saja sudah langsung mau!” Ghandi mendecih.

“Diiming-imingi uang katamu?” Wanita itu mendekat ke Ghandi denban sorotan tajam.”Aku diiming-imingi perasaan! Katanya, kau pasti akan jatuh cinta padaku!”

“Kau pikir, cinta itu bisa dipaksa? Kamu...Jena, kan?”tebak Ghandi Jena adalah wanita yang akan dijodohkan dengannya. Beruntung Jena tidak tahu wajah aslinya.

“A-aku...” Jena kebingungan.

“Kamu Jena, perempuan yang mau dijodohkan denganku. Sayangnya ...kamu terlalu bodoh untuk menjadi pasanganku. Bagaimana ku bisa tidak mengenali calon suamimu sendiri?” Ghandi menertawakan Jena,”sekarang kau sudah bercinta dengan temanku. Aku nggak mau bersama dengan wanita bekas temanku.”

“Itu salahmu, kenapa berpura-pura!”

“Kau yang berusaha menggodanya, Jena! Begitu tahu...ternyata Nino adalah Ghandi, kau langsung menerkamnya seolah-olah tidak ada orang lain di sini. Kau bahkan tidak punya rasa malu, bertelanjang di hadapan orang asing.”

Wajah Jena merah, diraihnya tas miliknya, lalu pergi dari sana. Ghandi menggeleng-gelengkan kepalanya, mulai muak dengan semua ini.

“Bro! Berhenti sajalah!” Nino menepuk pundak Ghandi.

“Berhenti apa?”

“Berhenti  berharap pada Nika, aku rasa itu hanya perasaan sayang terhadap adik yang berlebihan. Kita semua paham, kalau Nika adalah cucu perempuan satu-satunya di keluarga Adiguna. Tapi, pasti akan ada laki-laki yang bisa mencintainya dengan tulus. Kau cukup mengawasi hubungan asmaranya saja,”kata Nino yang tak pernah bosan menasehati.

“Sayangnya...aku nggak mau,”kata Ghandi. Ia berdiri menghampiri telepon di meja. Ia menghubungi seseorang dan berbicara,”tolong sofa di ruanganku diganti sekarang juga.”

Nino tersentak,”hei, kenapa diganti?”

Ghandi meletakkan batang telepon, lalu menoleh. “Mungkin saja spermamu berserakan di sana!”

“Siapa tahu bisa berkembang dan menjadi janin sofa,”kata Nino asal.

“Najis. Ayolah keluar...ruangan ini bau sperma,”kata Ghandi sambil berjalan keluar.

“Kau juga punya sperma, woy!”teriak Nino. Ia berlari kecil untuk mensejajarkan langkah mereka.”Ngomong-ngomong...kau enggak nafsu lihat kita bercinta?”

“Nggak.”

“Masa,sih, padahal Jena itu lumayan!”

“Aku hanya bisa bernafsu jika bersama Nika. Tegangannya bisa mencapai level tertinggi hanya dengan mencium pipi atau keningnya,”kata Ghandi jujur.

“Kayaknya kau harus periksa kejiwaan deh, Ghan. Itu udah kelainan,”komentar Nino, kasihan melihat sahabatnya.

“Aku nggak mau. Biarkan aku tersiksa dengan perasaan, asalkan aku hanya jatuh cinta pada Arunika.”

“Budak cinta.” Nino menggeleng-gelengkan kepalanya.

 

 

Chapter 8

Saat terus berjalan, mereka berpapasan dengan Kenzie. Ghandi menatap pria itu datar, lalu dibalas dengan tatapan datar juga oleh Kenzie.

“Eh, Pak Kenzie...ada apa ini ke kantor?”sapa Nino untuk mencairkan suasana.

“Menemui laki-laki ini!”tunjuknya pada Ghandi. ”Ada apa cari saya?”balas Ghandi dingin.

“Oh, sudah berani bersikap dingin sama Papinya Arunika,ya?” Kenzie sengaja memberikan penekanan pada nama anak gadisnya itu, supaya Ghandi langsung luluh.

Ghandi mendecak,”ada apa, Om? Apa Nika baik-baik saja?”

Kenzie terkekeh, ia sudah menduga ini sebelumnya.”Sangat baik.”

“Kita ngobrol di ruangan lain aja, Om, ruanganku lagi dibersihkan,”kata Ghandi.

“Oh...oke.”

Nino masih berdiri di tempat menyaksikan Ghandi dan Kenzie berjalan duluan.”Keluarga yang aneh. Tapi, untungnya orang kaya...” Nino menggaruk kepala dan menyusul keduanya.

 

Jam kerja sudah berakhir. Nika mengembuskan napas panjang mengakhiri pekerjaan hari ini. Badannya terasa sesang dipukuli warga sekampung, lelahnya bukan main. Ia ingin langsung tidur begitu sampai di rumah. Dengan wajah lusuh, baju kusut, ia keluar kantor.

Gadis itu menoleh ke sana ke mari berharap bertemu dengan Arjuna. Tapi, mobil Bosnya itu sudah tidak ada di parkiran. Mungkin sudah pulang lebih dulu karena ia keluar sudah lewat lima belas menit dari waktu yang ditentukan. Nika melangkah gontai ke sepeda motor, mengendarainya dengan lesu. Macet panjang menambah 'kuota' lelah Nika. Begitu sampai di rumah, menyimpan sepeda motor di garasi, Nika langsung berbaring di ruang tengah.

“Non!” Bik Asih membangunkan Nika.

“Nika nggak makan dulu, Bik, ngantuk banget. Capek!”

“Non, mandi terus makan dulu, baru tidur,”kata Bik Asih khawatir.

“Jangan dulu, ya, Bik, Nika langsung mau tidur,”kata Nika dengan rengekan. Bik Asih tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Padahal saat itu, ia sedang berkomunikasi dengan Ghandi.

Ghandi menggeram di ujung telepon sana.”Bik!”

“Iya, Mas?”

“Saya mau ke sana sekarang, tolong bukakan pintu jam berapa pun saya datang.”

“Baik, Mas.”

Ghandi memutus sambungan, kemudian meraih jaketnya. Baru saja ia bangkit, Kellyana sudah mengahadangnya. “Mau kemana?”

“Pergi, Ma!”

“Kamu ada janji malam ini,kan?”kata Kellyana mengingatkan.

Ghandi menaikkan sebelah alisnya, “oh...dengan Raline? Ini aku baru mau pergi,”kata Ghandi berbohong.

Kellyana mengangguk, merapikan kemeja Ghandi.”Mama sangat berharap kali ini, Ghandi.”

“Iya, Mama tenang saja.” Ghandi tersenyum, kemudian melangkah keluar. Sambil menuju garasi, ia menghubungi salah satu anggotanya untuk menyiapkan jet. Ia akan segera terbang menemui Nika. Ia membohongi Mamanya sendiri agar tidak menimbulkan perdebatan yang akan menbuang waktunya. Ia harus segera sampai dan memaksa gadis itu makan.

Sekitar pukul sebelas malam, Ghandi tiba di rumah kontrakan Nika. Bik Asih membuka pintu begitu bel berbunyi, mempersilakan Ghandi masuk.

“Mana Nika, Bik?”

“Itu, Mas, di ruang tengah. Mas Ghandi mau minum apa?”

Ghandi menggeleng,”Bibik istirahat aja. Saya nginap di sini kok. Nanti saya bangunkan kalau butuh bantuan.”

“Ya udah kalau gitu, Mas. Bibik tidur,ya. Ngantuk.”

“Iya, Bik.” Ghandi tersenyum geli melihat Nika berbaring di atas karpet bulu. Ia berjongkok, ”Nika...bangun...”

Nika hanya menggumam.

“Arunika!”panggil Ghandi lagi.

Samar-samar Nika merasa namanya dipanggil oleh lelaki. Tapi, ia mungkin sedang bermimpi, di rumah ini tidak ada siapa-siapa selain Bik Asih dan dirinya.

“Aih, kamu ini keras kepala sekali!” Ghandi membopong Nika ke kamar, membaringkan gadis itu ke tempat tidur. Pelan-pelan, ia melepaskan pakaian kerja Nika yang pastinya sudah bau keringat dan penuh debu jalanan.

“Mas...” Nika terjaga, mengerjapkan mata lalu tersadar kalau Ghandi ada di hadapannya. Ia pikir sedang bermimpi.

“Sudah bangun...” Ghandi santai saja membuka pakaian Nika.

Nika menepis tangan Ghandi.”Mas ngapain, sih, buka-buka bajuku!”

“Kata Bik Asih kamu nggak mau bangun, lihat baju kamu penuh debu. Nggak nyaman dipakai tidur!”jawab Ghandi.

Nika memanyunkan bibirnya,”aku bisa sendiri.”

“Ya sudah, sana bersih-bersih badan, ganti semua pakaiannya, termasuk dalaman! Habis itu kita pergi makan di luar!”kata Ghandi mengacak-acak rambut Nika.

Nika menggeleng.”Mau tidur...”

“Harus makan!”

Nika tidak bisa menolak permintaan Kakaknya itu. Ia pergi ke toilet, menbersihkan diri, lalu mengganti semua pakaiannya. Ia kembali menemui Ghandi. “Sudah.”

“Sudah,ya, kamu mau makan apa?”

“Makan sate,”balas Nika.

“Ah, ayo!” Ghandi memeluk pundak Nika, membawa adiknya itu makan sate ayam sepuasnya. Setelah itu, mereka langsung pulang.

“Kenapa Mas ke sini?”tanya Nika ketika mereka baru masuk ke rumah dan mengunci pintu.

“Karena kamu nggak mau makan!” Ghandi mencubit batang hidung Nika yang mancung.”Kamu nggak boleh begitu, Nika, kamu tinggal cuma berdua sama Bik Asih. Katanya mau mandiri, tapi, makan saja susah.”

“Aku cuma kecapekan, makanya nggak enak makan.”Nika mengerucutkan bibir begitu mendapatkan nasihat lagi. Sepertinya akan menjadi ceramah panjang.

“Kamu sudah kerja, harus jaga kesehatan. Bekerja di kantor itu sangat menguras pikiran,”sahut Ghandi yang langsung membawa Nika ke dalam kamar.

“Tapi, di kantor...pekerjaannya menguras tenaga, Mas, bukan pikiran,”keluh Nika tanpa sadar.

“So, kamu mau menyerah?”

Nika menggeleng cepat,”tentu aja enggak. Aku harus berjuang, kan? Aku pasti bisa.”

“Baguslah kau begitu!” Ghandi melepaskan jaket dan menggantungnya.

Nika memerhatikan gerakan Ghandi dengan heran.”Mas, nginap di sini?”

Ghandi mengangguk, ia masuk ke dalam selimut Nika.”Iya, ini udah malam, kan. Besok pagi aja terbang langsung ke kantor.”

“Tidur di sini?”tatap Nika tajam.

“Iya, keberatan?” Ghandi menatap Nika tajam. 

“Ahh.. “ Nika menggaruk-garuk kepalanya. Jika ia mengatakan keberatan, pasti Ghandi akan marah. Tapi, sebenarnya ia memang keberatan. Tidak nyaman berada dalam posisi seperti ini.

Ghandi memeluk pundak Nika, menenggelamkan tubuh mungil gadis itu di dadanya.”Tidurlah, besok kamu harus kerja.”

Nika mengangguk, otot-ototnya mulai rileks mendapat pelukan seperti itu.”Iya, Mas.”

Keduanya hening dalam lamunan masing-masing.

“Nika!”panggil Ghandi.

“Iya, Mas.”

“Ayo pulang! Papi bilang, kamu sudah dibebaskan dari tradisi itu.”

“Aku sudah tahu, Mas. Papi sama Mami juga sudah minta aku pulang. Tapi, aku yang nggak mau,”jelas Nika dengan senyuman lebar. Tentu saja, ia sudah memiliki rasa pada Arjuna. Tidak akan rela pergi dari sana.

“Kenapa?”

“Entahlah, Mas!” Nika semakin menenggelamkan kepalanya di dada Ghandi. Kedua tangannya juga memeluk pinggang laki-laki itu.

Ghandi tersenyum senang, kemudian mengecup puncak kepala Nika dengan lembut. Perlahan mata Nika terasa berat, lalu tertidur dengan nyenyak. Ghandi membiarkan posisi mereka seperti itu cukup lama. Ia meraih remote AC di atas nakas di sebelahnya, menambah suhu dinginnya. Kemudian, dengan hati-hati ia membaringkan Nika, memeluknya dengan posesif dengan kecupan berkali-kali ke wajah gadis itu.

 

Pagi sudah tiba, Ghandi membuka mata. Rasanya cepat sekali waktu berlalu, baru saja bertemu, ia harus berpisah lagi dengan Nika. Dipandanginya wajah Nika yang masih terlelap. Rasanya Ghandi ingin khilaf sekarang juga. Pagi-pagi adalah momen dimana milik laki-laki akan terbangun, menegang dengan sempurna. Ghandi mengeratkan pelukannya dari belakang, menggesekkan miliknya ke bokong Nika. Dua tangannya meremas dada Nika pelan. Lama-lama ia bisa gila sungguhan.

 

 

Chapter 9

Nika bergerak sedikit, mendorong bokongnya ke belakang, milik Ghandi semakin menancap ke sana. Ingin rasanya lelaki itu menurunkan celana tidur Nika, dan langsung memasukinya. Pikiran Ghandi sangat kotor pagi ini. Ia menggerakkan miliknya perlahan, lalu tiba-tiba, ia merasakan Nika menekan sesuatu. Gas pertama Nika pagi ini keluar dengan suara keras.

Untunglah tidak berbau. Ghandi mendengkus, memukul bokong Nika. miliknya langsung melemas. Nika tertawa di balik selimut. Ia hanya tahu, Ghandi memukulnya karena ia buang angin. Tapi, ia tidak sadar apa yang sudah diperbuat Ghandi padanya tadi.

“Bangun,”bisik Ghandi.

“Jam berapa, Mas?”

“Jam lima.”

Nika membalikkan badan, ia masih ingin bermalas-malasan beberapa menit saja. Ia melirik Ghandi, menatapnya dalam, lalu menenggelamkan kepalanya di dada bidangnya. Ghandi menerimanya dengan senang hati, mengusap-usap puncak kepalanya lembut.

“Kalau capek, jangan dipaksakan.”

Nika mengangguk,”capek, Mas, tapi ya sudahlah. Risiko. Rasa capek ini dirasakan oleh jutaan manusia di negara ini,kan. Bahkan...masih ada yang jauh lebih menderita dibandingkan aku.”

“Maksudnya...kamu kan bisa memilih untuk ada di zona nyaman saja.”

“Iya...iya.” Nika menyudahi ritual bermalas-malasannya. Ia bangkit dari tempat tidur.

“Loh, kok udahan?”

Nika tertawa.”Udah dong, kan, mau siap-siap.”

“Masih jam lima, masih bisa santai,lah!”kata Ghandi sebal, ia tidak bisa lagi mesra-mesraan dengan Nika.

“Mas, aku,kan bukan Bos yang bisa seenaknya saja datang dan pulang kantor. Aku harus datang tepat waktu. Aku mandi,ya.” Nika masuk ke dalam toilet.

Ghandi termenung, kemudian mengambil ponsel untuk menghubungi orang suruhannya menyiapkan jet. Ia akan kembali ke Surabaya satu jam lagi. Bertemu dengan Nika membuat perasaannya lega. Ghandi keluar kamar, dilihatnya Bik Asih sedang menyiapkan sarapan. Bik Asih menoleh sekilas, tersenyum, lalu melanjutkan masaknya. Ghandi duduk di meja makan yang tidak jauh dari dapur.

“Kopi, Mas?”tawar Bik Asih sambil tetap bekerja.

“Susu cokelat saja, Bik,”pinta Ghandi.

“Baik, Mas.” Dengan cekatan wanita paruh baya itu menyiapkan susu cokelat untuk Ghandi. Setelah selesai, ia menyajikannya.”Mau sarapan apa, Mas?”

“Yang ada aja, Bik,”balas Ghandi. Kalau ini sedang di umahnya, mungkin ia akan meminta sebuah menu seperti sedang sarapan di hotel. Tapi, ini rumah kontrakan Nika. Bahan makanan di sini pasti terbatas.

“Oh, iya, Mas. Bibik lagi masak, sebentar lagi selesai,”katanya sambil kembali ke dapur. Ghandi menuju ke toilet yang ada di dekat dapur, lalu masuk ke dalam untuk mandi.

Bik Asih menyiapkan sarapan di meja makan. Lalu, mengambil kotak makanan dan mengisinya untuk bekal makan siang Nika. Pokoknya, majikannya itu tidak boleh telat makan apa lagi sampai tidak makan karena kesibukan kerja. Jika tidak sempat keluar, tentu bekal ini sangat membantu.

Lima menit saja waktu yang dibutuhkan Ghandi untuk mandi. Setelah itu ia keluar sembari mengeringkan rambut.Ia kembali duduk, menikmati susu hangatnya. Bik Asih menghampiri, duduk di sebelah pria itu.”Silakan dimakan, Mas.”

“Makasih, Bik. Itu bekal?”

“Iya buat Non Nika. Kasihan kalau misalnya nggak sempat keluar beli makanan, kan...jadi Bibik bawain aja.”

“Tapi,kan, udah dingin, Bik kalau dimakan siang nanti,”kata Ghandi yang kurang suka dengan masakan yang sudah dingin.

“Ya mau bagaimana lagi, Mas, yang penting nggak basi dan...Non Nika makan,”katanya sambil menata makanan dengan rapi.

Nika pun muncul, dengan stelan kerja yang lengkap. Ia duduk di hadapan Ghandi.”Wah, Mas sudah mandi.”

Ghandi mengangguk.”Kamu jarang makan kalau di kantor ya?”

“Makan kok, Mas....”

“Ini dibawain bekal, jangan sampai terlambat makan,ya. Kalau kamu sakit, posisi kamu bakalan digantikan oleh orang lain,”jelas Ghandi.

“Ini, Non,nanti dimakan, ya.” Bik Asih meletakkan kotak makan yang sudah siap dibawa ke hadapan Nika.

Nika mengangguk cepat, lalu menghabiskan sarapannya. Seyelah selesai, ia menyandang tas, mengambil jaket, lalu menuju garasi. Ghandi mengikutinya dengan cepat.

“Kamu udah mau berangkat?”

Nika mengangguk,”kenapa, Mas?”

“Mas mau pulang, nih.”

“Oh, iya hati-hati, Mas,”balas Nika cuek karena ia terburu-buru. Ia memutar sepeda motornya, tapi, Ghandi menghalanginya untuk keluar.

Stop! Turun dulu.”

“Ada apa, Mas.” Nika membuka helm, lalu turun. Tiba-tiba saka Ghandi merengkuh tubuhnya begitu lama tanpa berkata apa-apa. Ia melihat jam tangannya berkali-kali.

“Mas, aku bisa terlambat,”keluh Nika.

Ghandi melepaskan pelukannya,”sudah, berangkat sana. Hati-hati.”

Nika mengangguk, ia kembali naik ke sepeda motor, memakai helm lalu melaju cepat. Sementara itu, Ghandi masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya. Sepanjang jalan dihabiskannya dengan termenung dan tidur. Sopirnya sudab paham, Ghandi selalu begini setelah bertemu dengan Nika.

Sesampainya Nika di kantor, ia masuk. Kali ini ia sedikit terlambat karena Ghandi seperti mengulur waktunya. Pelukan itu seakan-akan adalah  pelukan terakhir mereka. Entah apa yang dipikirkan sang Kakak sampai berbuat seperti itu.

Nika melangkah cepat ke ruangannya, mengabaikan beberapa orang yang tengah berdiri di ruang tunggu.

“Eh, anak baru...”

Nika menoleh, melempar senyuman.”Iya, Kak, ada yang bisa saya bantu?”

Copy, ya, kalau ada yang gambar...dicopy warna. Jilid biasa, terus...tulisannya harus jelas semuanya ya. Dicopy sebanyak dua puluh rangkap. Deadline sebelum jam istirahat,”katanya dengan nada memerintah.

Nika menatap lembarannya yang tebal dengan menelan ludah. Menu pertamanya pagi ini cukup mengenyangkan. Ia segera masuk, menarik napas panjang, dan memulai pekerjaannya hari ini.

Dengan susah payah Nika membawa tumpukan berkas yang dicopy ke lantai tiga, di mana ia harus mengantarkan ke pemiliknya. Di depan tangga, ia bertemu dengan Arjuna. Dengan spontan, Arjuna mengambil sebagian dari tangan Nika dan membantu membawakannya.

“Terima kasih, Pak, tapi,saya bisa sendiri,”kata Nika dengan halus, walau di dalam hati ia sangat senang mendapatkan bantuan ini.

“Nggak apa-apa, sekalian saya mau ke atas juga,”balasnya ramah.

“Terima kasih, Pak.” Nika mengikuti Arjuna sampai ke lantai tiga. Sedikit membanting yang ia bawa ke meja seorang wanita.

Wanita itu tersentak, lalu berdiri dan meminta maaf meskipun ia belum menyadari kesalahannya.

“Lain kali, kamu bisa melakukannya sendiri atau minta tolong sama laki-laki untuk angkat berkas sebanyak ini!”katanya dengan keras.

“Maaf, Pak, saya salah,”katanya dengan membungkuk berkali-kali.

Nika tertegun, ada kelegaan di dalam hati karena Arjuna mengetahui kelakukan senior-senior di sini. Tapi, entahlah, apakah setelah ini mereka akan semakin menjadi atau tidak. Sebagai anak baru, Nika hanya bisa pasrah.

“Mulai besok, jika minta bantuan, yang wajar-wajar saja,ya, kalian senior harus bisa menbimbing, bukan menyusahkan seperti ini,”amuk Arjuna.

Setelah itu, Arjuna meninggalkan lantai tiga dengan wajah emosi. Nika masih berdiri di tempat, ketakutan, dan merasa tidak nyaman karena mendapatkan tatapan sinis dari beberapa orang di sana. Perlahan, ia menjauh, lalu segera pergi dari sana.

“Pak Arjuna!”panggil Nika begitu melihat Bosnya masih tidak jauh.

Arjuna membalikkan badan, tersenyum ramah seperti biasa.”Ada apa, Nika?”

“Terima kasih, Pak.”

 

 

Chapter 10

 

“Sama-sama. Lain kali...jika kamu diperlakukan tidak adil seperti tadi, kamu harus lapor pada Manager. Jangan takut!”

Nika mengangguk.”Baik, Pak.”

“Ya sudah, kembali kerja dan tetap semangat!”

Mendengar kata-kata Arjuna, Nika langsung merasa diterbangkan ke khayangan, menari bersama bidadari-bidadari surga. Rasanya indah sekali.”Pak Arjuna...manisnya!”

“Seneng banget habis ngobrol sama Pak Juna.” Stella, senior yang terkenal galak itu menghampiri Nika. Dengan kedua tangan bersedekap, ia menatap anak baru itu dengan serius.

Nika tersenyum kecut, sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk menunjukkan kebahagiaan di depan sesama karyawan.”Ah, nggak kok....”

Stella tersenyum sinis.”Kamu...jangan mentang-mentang habis dibelain Arjuna, terus sok seperti ini. Dia memang baik pada siapa saja. Nggak usah mikir macem-macem!”

“Nggak macem-macem, Kak. Ya sudah, saya kembali kerja, Kak. Maaf mengganggu.” Lebih baik Nika mengalah, daripada terus mendengarkan celotehan Stella yang tidak berfaedah sama sekali.

“Hufh! Dasar nggak berguna!”cetus Stella.

Nika yang sudah melangkah menjauh, tiba-tiba saja menjadi emosi yang mendengarkannya. Ia berbalik arah,”apa maksud Kakak bilang aku nggak berguna!”

“Memang tidak berguna!” Stella menatap penampilan Nika dari atas sampai ke bawah dengan jijik.

“Ada apa ini?” Julie muncul karena mendengar suara ribut-ribut 

“Biasa, tikus kecil ini cari masalah!” Stella tertawa merendahkan.

“Udahlah, nggak level bicara sama orang seperti ini,”balas Julie yang juga ikut tertawa merendahkan,”harga keset kaki aku aja lebih mahal ketimbang bajunya.”

Stella dan Julie tertawa bersamaan. Nika mengepalkan tangannya.”Memangnya gaju yang kalian dapatkan di sini, mampu membeli barang-barang mewah?” Nika menyerang balik.

“Gaji kami tidak sama dengan gajimu, anak tikus. Jauh lebih besar. Tentu saja cukup untuk memenuhi kebutuhan kami, termasuk membeli tas dan make up mahal kami!”

Nika tertawa kecil,”tas tiruan,ya?”

Stella memandang Nika tak suka.”Enak saja, kami selalu membeli yang asli! Memangnya kamu, nggak mampu beli. Wajah kamu aja itu...aduh, kusam!”

“Udahlah, Stell, buang-buang waktu! Dia juga nggak akan tahu apa yang kanu omongin!” Julie mendecak sebal.

“Aku tahu! Dan aku bukannya nggak mampu membeli apa yang kalian sebutkan tadi. Cuma...aku memang nggak mau memiliki.”

Stella dan Julie tertawa keras.”Ya ampun, beraninya...”

Stella melangkah lebih dekat ke Nika.” Kalau sampai kamu bisa membeli itu semua, kamu bisa bergabung bersama kita. Tidak ada istilah senior dan Junior di antara kita. Kamu juga akan terbebas dari perintah-perintah kita. Dengan syarat...kamu harus pakai make up merk maik oper. Harus lengkap. Terus skincare yang bagus dan produk dari luar negeri. Ingat,ya, semuanya harus asli. Kalau kamu nggak bisa memenuhi itu...lebih baik cari teman lain!”

Nika tersenyum penuh arti. Tantangan yang bagus, jika ia berhasil memenuhinya, ia bisa terbebas dari tugas-tugas di luar job desk.”Iya, aku bakalan beli kok. Murah aja itu,”kata Nika tanpa sadar. Ia tinggal minta dibelikan pada Seva, Kenzie, atau Ghandi. Semuanya pasti akan langsung mewujudkannya.

Semua tertawa geli saat Nika mengatakan itu adalah make up yang murah. Mereka berpikir, Nika menganggap harganya seperti produk lokal. Mungkin, gajinya saja hanya bisa membeli dua atau tiga produk saja.

“Ya udah, kita tunggu kamu tunjukkin semuanya ke kita,ya. Habis itu kamu boleh jadi teman kita.”

“Iya...” Nika mengangguk mantap dan meninggalkan kedua wanita yang kini tertawa terbahak-bahak.

Nika masuk ke dalam ruangannya, lalu ia mendengkus karena disepelekan oleh mereka yang tidak tahu siapa dirinya. Kemudian ia duduk, melihat jam tangan. Tumpukan berkas yang akan dicopy masih banyak. Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum. Dalam bekerja harus ikhlas, agar lebih berkah.

Pukul dua belas siang, Lina, Vino, dan Nika menghentikan pekerjaan. Nika mengambil bekalnya.

“Hari ini aku nggak bawa bekal,”celetuk Lina.

“Wah, sama,”kata Vino.

“Ya udah, kalian beli aja...atau mau makan bareng aku nih?” Nika menawarkan.

“Kita makan di luar aja. Kita tinggal dulu,ya, Nik!” Lina melambaikan tangan.

Nika mengangguk kuat, diambilnya tumbler, meneguknya sampai puas. Kotak makan bewarna biru muda itu terbuka. Aroma sedap makanan membuat perutnya keroncongan. Sambil menghabiskan makan siangnya, ia menghubungi Sang Mama.

“Halo, sayang!” Suara riang Seva menyapa anak sulungnya.

“Mami! Lagi apa?”

“Lagi potongin kuku papi, nih!”

“Ish, Papi!”gerutu Nika. Kemudian ia mengaduk-aduk makanannya sendiri.

“Mi, make up yang Mami pakai merknya apa?”

Channal.”

Channal?” Nika mengerutkan keningnya. “Bukan Maik oper?”

Seva tertawa kecil.”Bukan, sayang. Kenapa tiba-tiba nanyain make up. Kamu mau beli make up,ya kaena udah kerja kantoran?”

“Jangan cantik-cantik, nanti Papi cepet jadi Kakek!”komentar Kenzie dari kejauhan. Kebiasaan Seva jika ada suami di sebelahnya selalu menloudspeaker telepon.

“Papi, masa anak gadis satu-satunya nggak boleh cantik, sih!”gerutu Nika.

Kenzie tertawa, kemudian mendekatkan wajahnya ke telepon.”Maaf, sayang...kamu harus cantik, buat banyak laki-laki mengejar kamu. Tapi, tetap, pilihlah yang kaya dan baik hati.”

“Papi matre,”gerutu Nika. Kemudian ia beralih pada Seva,”Mami!”

“Iya, terus gimana tadi? Jadi, make upnya?”

“Iya, Mi. Beliin,ya. Yang merk maik oper aja. Soalnya kalau beli sendiri, Nika nggak ngerti.”

“Tapi, kalau cuma maik oper, uang kamu lebih dari cukup untuk beli satu set,sayang,”kata Seva.

“Tapi, Nika nggak ngerti, Mami! Tolong pesankan,ya, Mi.”

“Malam ini Mami pesankan satu set,ya. Belajar dari video aja untuk cara memakainya. Terus...mau dipesankan apa lagi? Baju, tas?”

“Nggak, Mi, itu aja.”

“Kamu udah makan siang?”

“Ini lagi makan, Mi.”

“Ya udah, habis potongin kuku Papi, langsung Mami pesankan, ya. Yang langsung dari sana saja, nanti langsung datang,”kata Seva.

“Makasih, Mi, Pi. Muaaahhh!” Nika mengecup ponselnya sendiri.

“Istirahat dulu, Nika. Bila perlu tidur siang, lima belas menit. Supaya kamu lebih segar untuk jam berikutnya,”saran Seva.

“Iya, Mi. Sudah dulu,ya.”

“Iya, sayang.”

Nika memutuskan sambungan. Kemudian ia memekik senang karena sekarang hidupnya tidak sesulit dahulu. “Eh, skincarenya lupa!” Nika menepuk jidat,”minta Mas Ghandi deh, syukur-syukur dibeliin.”

Nika kembali mengambil ponsel, lalu menghubungi Ghandi 

“Mas,”ucap Nika begitu tersambung.

“Kenapa?”

“Lagi sibuk?”

“Nggak.”

“Mas, beliin skincare dong,”ucap Nika dengan nada manja. Ia akan seperti ini jika ada maunya saja.

“Apa itu?” Ghandi menghentikan pekerjaannya sejenak.

“Entahlah, sejenis perawatan wajah.”

“Oh, iya iya. Kirim uang aja, kan?”

“Ih...sekalian pesankan!”rengek Njka lagi.

Ghandi mengembuskan napas berat.”Mas mana ngerti masalah skincare, Nika. Kamu aja yang cewek nggak ngerti.”

Nika memanyunkan bibir.”Mas, tolongin dong...perlu banget nih.” Nada bicaranya semakin dibuat semanis mungkin. Hati Ghandi pasti akan meleleh dan tidak akan menolak. 

Ghandi berdehem, karena hatinya terasa sejuk mendengar suara lembut diiringi dengan desahan itu. “Bukan kebutuhan mendesak, kan?”

“Mendesak! Kalau Nika bisa membeli itu, Nika akan terbebas dari perpeloncoan senior. Mereka janji nggak akan nyuruh-nyuruh aku sembarangan lagi.”

“Oh gitu....” Ghandi mengangguk-angguk, kasihan jika Nika diperlakukan seperti itu di Kantornya. Tapi, memang seperti itulah fenomena yang kadang terjadi pada anak baru.

“Iya. Tolong ya, Mas Ghandi....”

“Ya udah, sama kayak punya Bude aja gimana? Soalnya Mas kenal sama yang punya toko di sana.” Ghandi ingat bahwa Mamanya pernah membeli beberapa product kecantikan dan ia cukup mengenal dengan pemiliknya.

“Iya, Mas. Makasih, ya. Kapan dipesankan?”

“Habis telponan, malam nanti bakalan udah sampe kok. Tenang, ya. Kamu lagi apa?”

“Makan.”

“Udah dingin makanannya, kan?”

Nika meringis,”iya, Mas. Mas di kantor?”

“Di hatimu, sih!” Ghandi tertawa kecil.”Mas mau makan di luar, sudah dulu,ya. Kalau butuh apa-apa hubungin Mas.”

“Iya, Mas. Hati-hati.”

“Iya, Nika.” Ghandi memutuskan sambungan. Kemudian ia menghubungi kenalannya untuk memesan satu set skincare Orchidee Imperiale black la cure. Setelah itu, ia pergi untuk makan siang bersama Nino.

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Kiss Me
Selanjutnya KISS ME (11-15)
0
0
CIUM AKU! Maka akan kuwujudkan semua keinginanmu!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan