
Satu hari sebelum hari pernikahan, Ryan meninggalkan surat pembatalan penikahan untuk Dira. Merasa marah dan frustrasi, Dira ingin bunuh diri. Karena jika pernikahan ini gagal, ia akan dinikahkan paksa dengan Duda tua di Kampungnya. Saat ingin bunuh diri, ia menemukan sosok pria terdampar di tepi sungai. Ia segera meminta pertolongan warga. Saat sadar, pria itu kehilangan ingatannya. Saat itulah Dira mengatakan kalau pria tersebut adalah RYan, calon suaminya. Mereka benar-benar menikah keesokan...
PART 1
##
Hai, Dira. Ini aku Ryan. Maaf kalau aku memberimu kabar melalui surat. Maaf, kita tidak bisa menikah. Kita harus mengakhiri hubungan ini. Saat kau baca surat ini, aku sudah berada di tengah laut luas. Aku sudah sangat jauh darimu.
Bunga di genggaman Dira terlepas. Matanya terasa panas dan pandangannya mulai buram. Air mata menutupi pandangannya usai membaca surat dari Ryan, calon suaminya. Dira mematung cukup lama. Secarik kertas yang masih ia genggam kini basah oleh air mata yang akhirnya jatuh. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Pernikahan akan dilaksanakan besok. Namun, kekasihnya justru memutuskan hubungan ini. Pernikahan ini harus tetap terlaksana. Jika tidak, ia harus menikah dengan pria tua di kampung ini. Pria yang seharusnya cocok menjadi Kakeknya.
Dira berjalan gontai ke arah hutan dekat rumahnya. Hatinya dihantui rasa takut yang luar biasa.
Wanita itu berdiri di tepi jurang, melihat ke arah sungai yang sedang mengalir deras. Sepertinya, melompat adalah hal yang tepat. Ia lebih baik mati daripada menikah dengan Pria tua itu. Jika orang tahu bahwa pernikahannya gagal, pria itu pasti menikahinya dengan paksa. Sementara Dira tidak bisa berlindung pada siapa pun.
Dira menyipitkan matanya. Jantungnya hampir copot saat menyaksikan ada seonggok manusia yang nyangkut di atas batu. Dira berjalan cepat untuk menghampiri.
"A-astaga, siapa ini?"
Dira berlutut memeriksa keadaan pria itu. Ia mengecek nadinya, berdenyut lemah. Dira tak mungkin menyelamatkan pria itu sendirian. Wanita itu berlari kencang meminta pertolongan warga.
"Tolong! Tolong,"teriak Dira dengan napas yang memburu. Jantungnya berdegup kencang seakan ingin lepas. Ia menghampiri tempat di mana warga sering berkumpul. Semua orang melihat ke arah Dira. Dira tersentak melihat ada Pak Sarjo, pria yang ingin melamarnya ada di kerumunan.
"Ada apa, Neng?"tanya salah satu di antaranya.
"A-anu, Pak, tolong~tolongin ca-calon suami saja. Dia terpeleset pas datang ke sini." Dira terpaksa berbohong karena Pak Sarjo ada di sana. Ia harus bisa melindungi dirinya.
"Di mana dia?"
"Di sungai."
Mereka berbondong-bondong datang ke sungai. Mereka segera memberikan pertolongan pada orang tersebut. Orang tersebut berjenis kelamin laki-laki. Dia sangat tampan. Kulitnya terlihat bersih. Jelas sekali bahwa pria itu bukan orang yang tinggal di sekitar lokasi ini. Dira menatap lelaki itu dengan deg-degan. Ia berharap warga segera pergi usai menggantikan pakaiannya. Ia khawatir kalau pria itu akan bangun dan mengatakan kebenarannya.
Dira cemas sekali. Tetapi, ia juga mencemaskan keadaan orang itu yang belum sadar. Ia sudah menelan banyak air. Beberapa warga sudah berusaha mengeluarkan airnya saat di sungai tadu.
Suara batuk terdengar. Dira tercekat, tangannya gemetar. Pria itu terbangun dengan mata yang merah. Ia tampak kesakitan dengan memegang dadanya. Pria itu tampak linglung sembari melihat sekelilingnya.
"Dira, dia sudah bangun."
"A-ah, iya~syukurlah." Dira menghampiri lelaki itu dengan wajah senang. Ia harus memperlihatkan kalau mereka benar-benar terlihat seperti pasangan kekasih.
"Bagaimana perasaanmu?"tanya Dira dengan hati-hati.
"Kalian siapa?"tanya pria itu dengan bingung.
"Hah?" Dira tercekat. Ia terkejut sekaligus senang,"ini aku Dira. Kamu nggak ingat aku?"
Pria itu menggeleng."Tidak. Aku ada di mana dan~kenapa ramai sekali."
"Siapa nama kamu dan dimana asalmu?"salah satu warga bertanya.
"Nama? Namaku~ah, siapa namaku?" Ia terlihat kebingungan.
Hati Dira semakin lega dengan keadaan ini.
"Wah, ingatan kamu terganggu, ya? Sebaiknya dibawa puskesmas, Dir. Tapi ya jauh banget. Mana kamu dan dia mau menikah besok?"
"Saya akan menikah?"tanyanya bingung.
"Gi-gimana keadaan kamu? Ada yang sakit?"tanya Dira gugup. Semua orang sedang memperhatikannya.
"Aku merasa sehat. Hanya merasa sedikit pusing. Dadaku sakit,"jelasnya dengan suara lemah.
"Dira, sepertinya calon suami kamu ini benar-benar lupa ingatan. Tapi, kami sudah memberi tahu kalau kalian harus menikah besok."
Pria yang tidak diketahui namanya itu menatap Dira."Kita akan menikah besok? Ah, maaf~aku tidak ingat apa pun."
Dira terperangah, wajah lelaki itu sangat bersinar walaupun pencahayaan di sini tidak banyak. Wajahnya seperti seorang Pangeran. Jantung Dira berdebar kencang. Wajahnya terasa panas membayangkan suami seperti itu. Tapi, bukankah ini penipuan. Bagaimana kalau ingatan lelaki itu kembali dan status mereka nanti sudah menikah.
"Walaupun kau lupa ingatan, kalian harus menikah. Karena semua sudah disiapkan di Aula Desa."
"Dira, beri tahu namanya. Dia sama sekali tidak tahu namanya sendiri."
"Na-namanya Ryan. Iya, namamu Ryan,"balas Dira deg-degan."Kau mungkin lelah. Makan dan istirahatlah. Siapa tahu,ingatanmu besok pulih."
"Iya. Ayo kita pulang dan biarkan dia istirahat. Tak apa mereka di sini, toh, mereka akan menikah besok,"kata salah satu Bapak yang ikut menolongnya tadi.
"Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, terima kasih atas pertolongannya,"kata Dira dengan hati yang lega.
"Menikah? Tapi, tidak terlihat persiapan apa pun di sini?"
Dira tersenyum kecut,"karena kita hanya akan menikah secara adat. Yang terpenting pernikahan ini diakui dan sah. Pernikahan kita diadakan di Aula Desa. Disaksikan warga desa saja karena aku tidak punya keluarga."
"Ah, begitu."Pria yang kini bernama Ryan menatap sekeliling,"maaf, aku sama sekali tidak mengingatmu."
"Tidak apa-apa. Lagi pula ini musibah, kamu jatuh ke sungai dan kepalamu terbentur batu. Apa~pernikahan ini dibatalkan saja?"
Pria itu menggeleng,"mana mungkin pernikahan yang sudah direncanakan sejak lama batal begitu saja. Meskipun aku tidak ingat, pernikahan akan tetap dilaksanakan. Ingatanku pasti akan kembali secara perlahan."
Hati Dira terenyuh. Hati lelaki itu sangat lembut dan baik. Baru kali ini ia menemukan pria seperti itu. Tidak hanya parasnya yang tampan, hatinya juga seperti itu. Wajah Dira terasa panas. Tuhan mengirimkan pengganti Ryan di waktu yang tepat.
"Jangan khawatir. Maafkan aku." Ryan memegang tangan Dira.
"Ah~" Dira tertawa kecil,"aku mengkahwatirkan keadaanmu. Kau harus istirahat. Pasti sakit sekali kan jatuh di sana. Berbaringlah. Aku akan menyediakan makanan."
"Siapa namamu? Maaf~aku tidak ingat nama calon istriku. Maafkan aku, aku tidak ingat apa pun,"kata Ryan dengan wajah penuh rasa bersalah.
"Tidak apa-apa. Aku bisa mengerti. Jangan dipaksakan mengingat semuanya. Lakukan dengan perlahan dan hati-hati. Yang terpenting kau sudah siuman dan ada di sisiku lagi." Entah kenapa Dira bisa berkata demikian. Padahal ia baru saja kehilangan calon suaminya. Namun, menyadari kehadiran pria yang entah siapa namanya itu, kesedihannya sirna seketika. Hatinya terasa berbunga bunga dengan kehadiran lelaki tampan ini.
Lelaki itu mengangguk."Masaklah dengan hati-hati dan jangan sampai terluka. Jangan memikirkanku, aku baik-baik saja. Aku akan istirahat dan menunggumu sampai selesai."
Dira mengangguk senang. Ia membetulkan posisi bantalnya."Berbaringlah, aku akan menyiapkan teh hangat lebih dulu."
"Terima kasih~namamu~maaf, ah, kita ini akan menikah, kan. Kita punya panggilan khusus sebelumnya bukan?"
Dira menggeleng."Tidak ada panggilan khusus. Namaku Dira. Panggil saja Dira~kalau begitu aku ke belakang dulu."
"Iya, Dira."
Dira berjalan cepat ke dapur. Wanita itu bersandar di pintu sembari memegangi dadanya yang berdebar kencang. Wajahnya terasa panas karena kelembutan dari lelaki itu."Apakah dia benar-benar manusia? Kurasa aku langsung jatuh cinta padanya."
PART 2
##
Dira mematung dengan nampan di tangannya. Pria yang dinamakan Ryan itu sedang terbaring dengan mata terpejam. Dalam keadaan tidur seperti itu pun, ia terlihat tampan sekali. Sebenarnya ia sangat enggan memanggil dengan nama Ryan seperti nama mantan kekasihnya. Sayangnya ia sudah memberikan identitas mereka saat mendaftarkan pernikahan.
Dira meletakkan nampan dengan hati-hati. Ia duduk di sisi dipan untuk membangunkannya. Dira gemetaran, ia menyentuh kulit tangan Ryan yang sangat putih dan lembut."Ry~Ryan~bangun."
Mata Ryan terbuka dengan cepat. Tampaknya ia juga tak tidur dengan nyenyak."Hai~,"katanya dengan senyuman.
"Maaf membangunkanmu. Ayo makan."
Ryan bangkit dengan perlahan. Dira membantunya karena lelaki itu sedikit sempoyongan. Dira membantu Ryan duduk dikursi berbahan plastik yang tak jauh dari sana.
"Keadaanmu mengkhawatirkan sekali. Aku takut kau akan semakin parah besok."
Ryan tersenyum."Setelah makan dan minum keadaanku pasti membaik kok. Setelah ini aku akan istirahat dengan benar. Aku pasti sembuh besok."
"Silakan dimakan."
"Terima kasih. Oh, ya~bagaimana dengan orang tuaku? Atau orang tuamu?"
"Kita sama sama tidak memiliki orang tua. Hanya ada kita berdua. Itulah alasan kenapa kita bersama. Karena kita memang memiliki latar belakang yang sama. Aku akan menceritakannya nanti ketika kamu nggak pusing lagi. Sebaiknya jangan memikirkan apa pun sekarang,"kata Dira.
"Ah, benar...besok hari yang penting. Maafkan aku."
Dira tersenyum memerhatikan lelaki itu makan. Sikapnya menunjukkan bahwa lelaki itu bukan orang sembarangan. Hati Dira kini bertanya-tanya darimana Lelaki ini berasal dan kenapa ia bisa ada di sungai. Mana mungkin Dira menanyakannya, dia saja tidak ingat apa pun.
Tetapi, lupakan mengenai hal itu. Dira harus menyelamatkan dirinya. Jika seandainya lelaki itu memiliki ingatannya kembali, ia akan menjelaskan alasannya.
"Kamu tidak makan?"tanya Ryan yang sadar sedang diperhatikan.
Dira menggeleng dengan wajah bersemu merah."Aku sudah makan sebelum kita pergi bersama di sungai."
"Ah, baiklah...aku mengerti."
Dira terdiam sembari memerhatikan Ryan makan dengan lahap. Suasana hatinya sedikit berubah mengingat mereka akan menikah besok. Entah akan terjadi atau tidak, Dira belum memikirkan bagaimana kelanjutannya. Bagaimana jika ia ketahuan berbohong. Ia pasti akan dikucilkan semua orang.
Ryan mendongak menatap Dira."Apa yang sesang kau pikirkan?"
Dira menggeleng."Tidak ada. Aku hanya cukup deg-degan untuk besok."
"Pasti ini adalah hal yang kita nantikan sejak lama, ya?"
"Bagaimana kamu bisa mengatakan demikian? Kamu tidak ingat apa pun, kan?"
Ryan tersenyum penuh arti."Meskipun aku tidak ingat apa pun, aku merasakan sesuatu di dalam hati. Perasaan yang sangat bahagia,yaitu cinta. Aku pasti sangat dicintai orang di sekitarku. Dan itu kamu. Lalu, aku juga pasti mencintai lebih dari kamu mencintaiku. Perasaan ini begitu tenang dan damai. Rasanya tidak ada keinginan lain selain hidup bersama dengan bahagia."
Ucapan Ryan terdengar begitu manis dan melelehkan hati Dira.
"Oh, ya~apa pekerjaanku?"
"Apa?" Dira tercekat. Pekerjaan Ryan selama ini adalah Petani. Tetapi, mana mungkin orang setampan lelaki itu ia sebut Petani di Desa. Terlebih lagi kulitnya mulus tanpa cela. Dira memutar otaknya,"sebenarnya kau punya usaha kios sembako. Tapi, seminggu lalu terbakar habis."
"Apa? Setragis itu kah hidupku selama ini? Lalu aku tak akan bisa menghidupimu."
"Ah, jangan khawatir, kita sudah memiliki tabungan yang cukup. Kita bisa memulai hidup yang baru. Sebaiknya kita pindah saja dari sini setelah menikah,"kata Dira. Lelaki itu pasti memiliki keluarga dan pasti akan mencarinya. Dira tidak bisa tinggal di sini selamanya. Ia harus pindah dan memulai hidup baru. Ini juga untuk menutupi kecurigaan warga di sekitarnya.
"Baiklah kalau begitu. Aku berjanji akan bekerja dengan keras untuk membahagiakan kamu."
"Terima kasih,"ucap Dira tersipu. Rasanya sangat bahagia mendengarnya. Pria itu sangat bertanggung jawab meskipun ingatannya hilang.
Karakternya terlihat baik dan kebaikan tak akan pernah pudar.
"Aku sudah selesai makan. Terima kasih atas makanan dan minumannya, Dira."
"Kurapikan dulu, ya. Setelah ini kamu bisa istirahat lagi,"kata Dira dengan cekatan.
Ryan menyeka mulutnya. Ia bergerak pelan naik kembali ke atas dipan. Ia berbaring dengan hati yang bertanya-tanya. Tempat ini terasa begitu asing. Namun, hati dan jantungnya terasa berdebar seakan ada yang memanggil namanya. Ryan melihat sosok Dira yang muncul kembali. Wanita itu tampak sederhana. Wajahnya polos tanpa make up dan juga skincare. Biar pun begitu, Dira memiliki kulit yang bagus. Kecantikannya tidak kalah dengan kecantikan wanita-wanita metropolitan.
"Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"
Ryan menggeleng."Tidak ada. Hmmm~aku melihat hanya ada satu tempat tidur di sini. Apa ada tempat tidur lainnya?"
Dira gelagapan. Hidupnya memang sangat miskin hingga keadaan rumahnya seperti ini. Tetapi, ia menemukan sesuatu di saku celana lelaki itu. Melihat penampilan Ryan saat ditemukan, sepertinya lelaki itu kerja kantoran. Untung saja warga tidak terlalu curiga dengan penampilannya saat ditemukan tadi. Dira tidak menemukan dompet atau identitas apa pun di celananya. Tetapi, ia menemukan dua ikat uang yang masih basah. Dira menyimpannya rapat-rapat di suatu tempat. Ia juga sudah menyembunyikan pakaian bekas lelaki itu.
"Dira?"panggil Ryan lagi karena Dira tak menjawab.
"I-iya, cuma satu tempat tidur. Tapi, nggak apa-apa, aku punya tikar kok." Dira menatap tikar yang sudah usang di sudut ruangan. Biar pun usang, tikar itu masih bisa ia gunakan untuk tidur.
Ryan menghela napas berat."Ini sudah malam, kan, ayo kita istirahat. Kamu juga harus istirahat. Ayo, tidurlah di sebelahku."
"A-apa? Mana mungkin?" Dira tercekat.
Ryan menatap Dira lekat-lekat."Kenapa kamu secanggung itu? Kita ini sepasang kekasih bukan? Besok kita juga sudah sah menjadi suami istri. Selamanya kita akan berdekatan dan bersama."
Wajah Dira merona."Iya, aku mengerti. Tapi, ya tetap saja aku merasa canggung."
"Tidurlah di sini. Kita hanya akan tidur,"kata Ryan. Ia tidak merasakan apa pun saat melihat Dira. Tapi, saat ini ia sedang kehilangan ingatannya. Jika ia bersikap acuh, itu akan melukai hati wanita itu. Terlebih lagi mereka akan menikah besok.
"Baiklah." Dira naik ke atas dipan dengan gemetar. Ryan berbaring di dekat dinding dengan tenang. Pria itu memang langsung tertidur. Mungkin karena kelelahan dan masih merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
Dira berbaring dengan tegang. Ia terlihat sulit tidur karena ada pria asing di sebelahnya. Beberapa menit suasana menjadi hening. Sesekali terdengar suara jangkrik dan serangga-serangga di pohon.
"Kamu udah tidur?"tanya Ryan pelan.
"Belum. Kenapa?"
"Ada hal yang ingin kutanyakan sebelum kita menikah besok."
Jantung Dira berdegup kencang. Ia mencurigai pertanyaan lelaki itu tidak akan bisa ia jawab."Iya, tanya saja."
"Kamu bilang usahaku sudah habis terbakar. Bagaimana cara kita melanjutkan hidup? Aku harus mencari pekerjaan baru, kan? Maksudku, aku akan melakukan apa pun. Tapi, ingatanku hilang. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan." Ryan sangat mencemaskan hal ini. Ia akan menikah besok tapi ia tidak punya pekerjaan sama sekali. Bagaimana ia bertanggung jawab atas pernikahan ini. Kenapa pernikahan ini bisa disetujui dalam keadaan ia pengangguran.
"Kita akan pindah dari tempat ini. Kita akan memulai hidup baru di suatu tempat. Kita sudah punya tabungan cukup. Kamu jangan khawatir soal makan. Kita bisa bertahan sampai kamu mendapatkan pekerjaan." Dira tidak tahu apa keahlian lelaki itu. Jika lelaki itu benar pekerja kantoran, maka tidak akan bisa bertani atau berkebun. Dira akan memikirkannya besok. Saat ini ia merasa lelah dan bingung. Kebohongannya berefek panjang. Tapi, ia harus menyelamatkan diri dari orang-orang yang ingin memanfaatkannya.
"Maaf kalau akhirnya aku menyusahkanmu."
"Tidak kok. Kita sudah berjanji untuk berjuang bersama,"kata Dira dengan kata-kata manisnya. Ia ingin meyakinkan lelaki itu sekali lagi. Ia harap tidak ada lagi pertanyaan mengenai hal ini.
"Terima kasih, selamat istirahat."
Lelaki itu benar-benar tidur. Tak lama kemudian Dira pun ikut tertidur karena sudah larut malam.
PART 3
##
Pukul sembilan pagi, Dira dan Ryan pun menikah. Acara berjalan singkat karena hanya acara sederhana. Usai menikah, mereka menikmati aneka kue tradisional dan teh hangat.
Dira menyapa tetangga yang hadir memberikan ucapan selamat. Lalu, secara tak sengaja ia mendengarkan percakapan tamu yang datang.
"Ada polisi di sekitar sungai. Rame banget. Mereka bawa perahu karet menyusuri sungai. Pak Kades nyusul ke sana. Warga juga rame lihat."
"Apa?" Dira tercekat,"Po-polisi? Kenapa?" Dira ikut nimbrung di obrolan karena ingin tahu.
"Katanya baru ada yang kecelakaan. Mobilnya jatuh ke jurang. Kemungkinan korban jatuh ke jurang dan hanyut ke sungai. Kemungkinan korbannya lewat atau sangkut di daerah ini."
Wajah Dira berubah pucat pasi.Itu pasti pria yang ia temukan. Korbannya pasti adalah pria yang sekarang telah menjadi suaminya."Semoga aja korbannya segera ditemukan. Kalau begitu saya pamit ya, Bu, mau pulang."
"Pengantin baru udah nggak sabar, ya?"
Dira tersipu malu."Bukan, Bu, kita mau persiapan pindahan. Kan kita mau langsung pindah."
"Kenapa buru-buru pindah, Dira."
"Iya, males lihat Pak Sarjo. Takut terusik. Lebih baik pergi, Bu."
"Ih iya. Ya udah hati-hati, Dira. Semoga semua lancar dan menjadi keluarga yang samawa."
"Terima kasih, Bu." Dira mencari keberadaan suaminya. Lelaki itu sedang duduk sendirian memerhatikan sekeliling. Dira menghampirinya dengan cepat."Ayo kita pulang."
Ryan mengangguk."Iya."
Keduanya pulang berjalan kaki. Sepanjang jalan Dira melihat ke sana ke mari. Mungkin saja ada yang melaporkan bahwa mereka menemukan orang tenggelam di sana. Banyak orang berseliweran di dekat rumahnya. Padahal biasanya sunyi sekali. Sepertinya mereka melihat sungai yang sedang ramai.
Sesampai di rumah, Dira mengunci pintu rapat-rapat. Ryan sampai terheran-heran dengan sikap Dira.
"Ry-Ryan~" Dira memegang tangan Ryan.
"Ada apa? Kenapa wajah kamu pucat?"
Dira menggeleng."Nggak, aku cuma kelelahan. Hmmm~bagaimana kalau kita segera pindah sekarang?"
"Kenapa?"
"Itu sudah kesepakatan kita sebelum pernikahan. Begitu kita menikah, kita akan pindah ke tempat yang sudah kita tentukan." Dira menjelaskan dengan cemas. Ia berharap Ryan tak bertanya lebih jauh. Tapi, ia juga tak bisa berharap semuanya akan berjalan lancar. Ia tahu akan ada kesulitan karena Ryan akan melontarkan banyak pertanyaan.
"Begitu, ya. Baiklah."
"Aku akan menyiapkan segala keperluannya. Kamu duduk saja,"kata Dira. Ia harus bergegas sebelum warga sadar bahwa orang yang di sungai kemarin adalah orang yang menikah dengannya. Jika begini, Dira bisa ketahuan. Dira menyiapkan semuanya dengan cepat. Ia hanya perlu memasukkan pakaian dan uang yang ia temukan di celana pria itu. Untuk pakaian Ryan, ia bisa membelikannya yang baru. Uang yang ia temukan sangat banyak, sebesar dua puluh juta rupiah. Mungkin lelaki ini adalah orang yang kaya raya.
"Ryan, ayo~" kata Dira setelah satu jam bersiap.
"Aku tidak perlu ganti baju?"tanya Ryan bingung. Ia masih mengenakan kemeja putih yang ia gunakan saat menikah tadi.
Dira mengangguk."Iya nanti kita ganti di sana saja."
Dira memilih jalan pintas yang jarang dilalui warga. Ryan mengikuti dengan wajah linglung. Ia tidak tahu dengan situasi yang sedang terjadi. Ia hanya terus mengikuti Dira. Sampai akhirnya mereka berhenti di tepi jalan.
"Kita naik angkutan umum selama dua jam,"kata Dira sembari menunggu angkutan lewat.
Ryan mengangguk saja. Ia mengikuti Dira seperti orang bodoh. Tempat di sekelilingnya terasa begitu asing. Tapi, tak bisa ka pungkiri bahwa udara di sini sangat segar dan pemandangannya bagus. Angkutan melintas. Dira dan Ryan naik dan mobil berjalan menjauh dari Desa tersebut. Dira mengembuskan napas lega. Akhirnya ia bisa terlepas dari orang-orang yang menakutkan di sana.
Ryan tertidur di perjalanan. Sementara Dira tak bisa tidur karena kecemasan melanda. Ia tidak bisa tenang jika ia belum sampai ke lokasi tujuan.
Dira akan mengunjungi tempat milik keluarganua dulu. Sudah lama sekali tidak ditempati karena semua sudah tiada. Tapi, rumah itu sangat kuat karena terbuat dari kayu asli. Dira masih ingat beberapa kilometer dari tempat itu ada pasar. Ia akan membeli perlengkapan rumah di pasar itu.
Dua jam berlalu terasa cepat. Dira dan Ryan turun di persimpangan jalan. Mereka harus naik ojek lagi menuju ke dalam. Setelah itu, mereka harus berjalan kaki sepanjang dua kilometer. Ryan merasa kelelahan, tapi, Dira tampak begitu bersemangat. Suara keheningan terdengar begitu dekat. Dira tersenyum senang.
"Kita hampir sampai."
"Ini di mana?"
"Ini rumah peninggalan keluargaku. Kita akan tinggal di sini. Rumahnya besar, kita hanya perlu membersihkannya. Kita bisa memulai hidup baru di sini."
Ryan melihat ke sekeliling. Tidak ada rumah. Ia melihat beberapa rumah sebelum mereka tiba di sini. Rumah yang akan mereka tempati di tepi danau kecil yang cantik. Ia yakin kalau danau itu tidak begtu dalam. Di sekitarnya ada pepohonan yang besar. Sangat nyaman jika kita duduk santai di rerumputan di bawahnya."Aku akan bersih-bersih."
"Apa kamu bisa melakukannya?"
Ryan terkekeh."Kenapa tidak bisa."
Keduanya masuk ke rumah yang memang terlihat lama tidak ditinggali.
"Setelah membersihkan rumah, kita akan membeli perlengkapan rumah."
Ryan menatap Dira."Biar aku yang bersihkan rumah ini. Kamu istirahat saja."
Dira menggeleng."Bagaimana bisa begitu. Hmmm supaya adil, aku pergi belanja, kamu yang bersihkan?"
Ryan mengangguk setuju. Entah akan selesai atau tidak sebelum Dira pulang, setidaknya ia bertanggung jawab atas kehidupan mereka selama di sini."Apa kamu tahu tempat kamu ingin belanja?"
Dira tersenyum dan mengangguk."Aku tahu. Aku akan segera kembali." Wanita itu menyimpan tasnya,"aku akan membeli makanan sekalian. Maaf kamu kelaparan."
"Kita sama sama kelaparan. Ya sudah hati-hati, ya, dan cepat kembali."
Dira mengangguk. Ia berjalan cepat menuju ke pasar untuk membeli perlengkapan rumah. Sebagian besar uang mungkin akan terpakai. Tapi, yang terpenting adalah ia bisa hidup tenang berdua bersama lelaki itu.
Hamir dua jam kemudian, Dira kembali dengan beberapa orang yang membawakan barang-barang belanjaannya. Ryan keluar dengan wajah heran. Banyak sekali yang dibeli oleh wanita itu. Dira menghampiri Ryan setelah barang-barang diletakkan di teras rumah.
"Kamu sudah selesai?"
"Maaf, ya, belum. Masih sisa area belakang saja. Rumahnya sangat kotor jadi membutuhkan waktu yang lama,"jelas Ryan. Pekerjaan ini sangat melelahkan.
"Kita makan dulu, ya. Nanti kita lanjut beberes lagi,"kata Dira.
"Beberapa meter dari sini ada sungai kecil. Sepertinya air aliran dari danau. Airnya jernih sekali. Nanti aku akan buat pancuran air di sana. Kita bisa mandi di sana."
Senyum Dira merekah."Iya. Maaf, ya kita harus memulai semuanya benar-benar dari nol."
"Asalkan bersama, kita pasti bisa melewatinya,"balas Ryan.
"Setelah ini, biarkan aku yang membereskan rumah. Kamu membuat pancuran." Dira membagi tugas agar pekerjaan ini cepat selesai. Ia sudah melapor ke bagian penanggung jawab wilayah dengan menunjukkan surat bukti pernikahan mereka. Dengan begitu, kehidupan mereka di sini tak akan ada masalah.
"Iya. Memangnya kamu nggak capek? Kamu jalan kaki, kan?" Ryan memperhatikab wajah Dira yang penuh peluh. Tapi, wanita itu tampak bersemangat sekali.
"Kalau sekarang belum terasa capek. Lagi pula aku senang melakukannya. Aku senang Krena akhirnya aku kembali ke rumah keluargaku. Walaupun terpencil seperti ini, yang terpenting ini milik kita sendiri."
"Katakan kalau kau butuh bantuan, ya. Aku masih butuh penyesuaian dengan situasi ini. Maaf kalau aku juga canggung denganmu, Dira. Katakan apa pun yang ingin kau katakan."
Dira memegang tangan Ryan."Aku mengerti apa pun yang sedang terjadi. Jangan mengkahwatirkan perasaanku. Karena sejujurnya aku khawatir dengan kondisi kesehatanmu. Terima kasih karena kau selalu berusaha membuatku nyaman. Walau aku tahu ini tak mudah bagimu."
Ryan terenyuh mendengar ucapan Dira. Ia merasa bersalah karena wanita itu ternyata benar-benar tulus dan sabar. Dalam kondisi lupa ingatan seperti ini, Dira bisa menerimanya. Ryan berjanji akan selalu menjaga perasaan Dira. Ia akan berprilaku sebaik mungkin.
PART 4
##
Hari sudah malam. Dira dan Ryan sudah selesai berbenah. Dira juga sudah merapikan kamar. Ia membeli dua kasur tanpa dipan. Setidaknya mereka tidak tidur di lantai. Ia juga membeli selimut, sprei, dan bantal. Udara malam di sini sangat dingin. Rumah ini cukup nyaman ditinggali. Jauh lebih baik dari rumah sebelumnga yang bahkan terlihat kumuh. Hanya saja mereka menggunakan penerangan dari lampu yang masih menggunakan minyak tanah. Di bagian luar, mereka menggunakan obor. Semua itu adalah tindakan Dira. Karena pada dasarnya ia sudah terbiasa hidup di tempat seperti ini. Berbeda dengan Ryan yang asal sebenarnya berasal dari Kota metropolitan. Hidup dengan segala bentuk teknologi.
Dira harus memutar otak lagi bagaimana caranya mereka bisa bertahan hidup dengan uang yang tersisa. Sebenarnya Dira menemukan satu hal lagi di saku lainnya. Sebuah kotak perhiasan berisi cincin. Dira tidak tahu harus menjualnya ke mana. Tetapi, ia belum berniat menjualnya sekarang karena cincin itu sangat indah. Ia akan menjualnya dalam keadaan terpaksa.
Keduanya kini duduk di ruang tamu. Suasana begitu sunyi ditemani suara-suara serangga dan burung hantu. Penerangan yang sangat minim membuat Ryan sedikit bosan. Ia melihat Dira yang akhirnya istirahat. Wanita itu tampak baru saja selesai mandi.
Ryan mendekati wanita yang sekarang menjadi istrinya tersebut."Gimana airnya? Bagus, kan?"
"Ah, iya bagus. Jernih dan bersih. Airnya mengalir dengan baik,"balas Dira kaget karena Ryan ada di dekatnya.
"Kamu kelihatan capek. Maaf, ya, dari tadi kamu yang kelihatan sibuk. Aku nggak bisa bantu apa-apa."
Dira tersenyum di sela-sela lelahnya."Nggak apa-apa. Nanti juga lelahnya hilang. Lagi pula kamu sudah bantu banyak. Kita mengerjakannya bersama-sama loh."
Melihat wajah Dira yang sangat letih, Ryan menjadi tidak tega. Ia memang lelaki yang lembut sekali. Ia mengambil inisiatif memijit pundak Dira.
"E-ehh~" Dira kaget.
"Tenang aja. Aku memijitmu supaya capeknya hilang. " Tangan Banyu memijit dengan nyaman.
"Terima kasih." Wajah dan telinga Dira terasa panas. Pijatan Banyi terasa keras dan enak. Cocok untuk tubuhnya yang sakit, ia bekerja keras hari ini untuk menyelamatkan hidupnya.
"Apa di sini tidak ada listrik?'tanya Ryan.
"Hmmm ada. Tapi, rumah ini memang tidak dipasang listrik. Sabar, ya, nanti kita atur bagaimana supaya listriknya bisa dipasang. Kita harus menyesuaikan kehidupan kita di sini lebih dulu,"kata Dira.
"Oke. Kalau kamu keluar besok, aku boleh ikut nggak?"
"Boleh. Kenapa?"balas Dira ragu dan penuh tanya.
"Mungkin aja ada pekerjaan. Aku nggak bisa membiarkan istriku berbuat sendiri,"kata Ryan.
"Baiklah. Kamu boleh ikut. Nanti aku carikan pekerjaan di sana." Memang seharusnya mereka memiliki pekerjaan di sini. Jika tidak, uang mereka akan terus menipis dan Dira juga tidak tahu harus bagaimana. Ia juga harus mencari pekerjaan di sini.
"Hilang ingatan sungguh menyakitkan." Ryan melemparkan pandangannya ke sekeliling.
"Ke-kenapa? Apa kamu merasa sakit kepala?"
"Semua terasa asing dan tidak membuatku nyaman. Aku tak bisa ingat apa pun, oleh karena itu semuanya benar-benar asing. Aku ingin tahu banyak hal,tapi, rasanya lebih penting bagaimana caranya kita bertahan hidup." Ryan tersenyum lirih.
"Kamu boleh bertanya kok. Aku akan berusaha menjawabnya. Tapi, aku memang tidak tahu banyak karena kamu nggak mau terlalu bercerita tentang keluargamu,"kata Dira. Entah berapa kebohongan lagi yang harus ia ciptakan karena hal ini.
"Tidak apa-apa. Sudah malam, dan sepertinya udara di sini semakin dingin."
Dira setuju akan hal tersebut."Istirahatlah. Aku sudah membeli selimut hangat."
Ryan pun memang berniat tidur. Banyak sekali pekerjaan yang ia lakukan hari ini. Tubuhnya terasa lelah dan sedikit sakit di bagian tertentu. Anggota tubuhnya seakan tak pernah digunakan bekerja seperti ini."Dira~ untuk malam ini kita istirahat dulu saja, ya. Kita sudah melakukan banyak hal malam ini. Kamu juga pasti capek."
Dira menatap Ryan bingung."Ya, memang seharusnya kita istirahat, kan? Kenapa kamu berkata seperti itu. Aku~ ah, maksudnya~memangnya ada hal lain yang harus kita lakukan?"
Wajah Ryan merona. Pria itu tersenyum penuh arti. Otak Dira berputar, lalu ia merasa malu sendiri. Ia mengerti ke mana arah senyuman Ryan. "Ohh, maaf~karena lelah aku hanya memikirkan kita memang harus istirahat."
Dira merutuk dalam hatinya. Bagaimana ia bisa tidak memikirkan hal satu ini. Siapa pun yang sudah menikah, pasti akan melakukan hal tersebut. Hubungan suami istri. Tapi, mereka adalah orang asing. Sangat sulit memulai hubungan itu. Hati Ryan pun pasti juga sulit melakukannya. Jadi, Dira tidak memikirkannya.
Ryan tertawa kecil. Ia beringsut menutup pintu utama dan pergi ke kamar."Selamat istirahat. Semoga kehidupan kita ke depannya lebih baik." Pria itu berbaring dengan nyaman.
Dira tersenyum lembut. Ia menatap Ryan yang tengah berbaring tanpa berkata apa-apa lagi. Pria itu memilih tidur lebih dulu. Mereka memang orang asing. Wajar saja hal ini erjadi karena memang tidak ada keterikatan apa pun sebelumnya. Namun, perihal malam pertama, Dira sama sekali tak memikirkannya. Yang ada di otaknya hanyalah bagaimana cara agar ia selamat dari pria tua itu. Tetapi, dalam pernikahan tentu hal itu akan terjadi. Ryan tidak ingat apa pun. Ia hanya punya pilihan untuk percaya pada Dira yang sekarang menjadi istrinya. Oleh karena itu, ia menyadari jika mereka menikah, sudah pasti akan melakukan hubungan suami istri. Tentu saja hati Ryan tidak siap karena detak jantung hatinya tidak ada di sini.
Ryan tidur menghadap ke arah pintu. Dira mematung melihat embusan napas Ryan yang teratur. Wanita itu benar-benar terpesona dengan ketampanan laki-laki. Ia bahkan baru tahu di dunia ini ada pria setampan itu. Apakah pria setampan ini masih sendiri. Bisa saja pria itu sudah menikah atau sedang memiliki pasangan. Dira mengigit bibir bawahnya. Jika hal itu benar, maka hatinya akan terluka. Ia mulai menyukai lelaki itu.
Dira melangkah perlahan dan duduk di sisi kasur yang hanya beralaskan tikar. Ia merebahkan tubuhnya dengan kaku di sisi Ryan. Jantung Dira berdegup kencang. Ini malam kedua ia dan lelaki asing itu tidur bersama. Tetapi, tidak melakukan apa-apa. Malam ini Dira berpikir kotor. Bagaimana rasanya bersentuhan dengan pria tampan itu. Dia tipe lelaki yang lembut. Pasti akan memperlakukannya dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Dira mulai berfantasi. Tapi, fantasinya itu tidak akan terwujud dalam waktu dekat. Ia harus memberikan Ryan ruang untuk menyesuaikan keadaan.
Dira meletakkan kepalanya di bantal dan berbaring membelakangi Ryan. Ia memerhatikan sekeliling dan sibuk dengan pemikirannya sendiri. Lama kelamaan ia merasa mengantuk dan tertidur.
Bersambung….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
