
Deskripsi
Hey, to close the year I bring Chapter spesial Seanna, yang tidak pernah di post di Wattpad maupun Versi cetak.
Warning! (21+) hard content
1,362 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Seanna
Selanjutnya
EBOOK GHINARAGA
169
16
GHINARAGA“Seconds to Lost” Novel by :Adelia GHINARAGA Copyright : @Novelindopublishing, 2022 Penulis : Adelia Penyunting : Adelia Layout : Novelindo Cover : Shioki Ukuran : 14x20 Hak Cipta penulis dilindungi oleh undang-undang.Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi tanpa izin penulis.
Ucapan terimakasih Terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa.Kepada keluarga, sahabat, yang tidak ada hentinya memberikan bantuan serta dukungan. Terimakasih kepada seluruh pembaca yang telah mengadopsi buku ini. Hope you enjoy this story …
Chapter 1Perempuan dalam balutan pakaian bernuansa retro yang kental, didominasi warna cokelat mencolok hingga ke stockingnya itu--terlalu menarik perhatian. Tiap langkah yang diambil kaki jenjang berstilettonya mengundang decak kagum siapa saja, terlebih kala dengan gaya elegan ia menepis anak rambut yang terbawa angin sambil melepas Lugano Diamond Sunglasses miliknya dan menyerahkan benda seharga ratusan juta itu pada seseorang yang mengintili dari belakang sembari memegangi payung berwarna merah gelap.Dia Ghinata Freya ... Menantu keluarga konglomerat Aditama yang terkenal akan kecantikan serta gaya nyentrik yang selalu diusungnya dalam setiap kesempatan. Orang tuanya menambahkan Freyadibelakang nama Ghinata bukan tanpa alasan. Freya memiliki arti Ratu di antara dewa-dewa, atau bisa juga dikatakan wanita dari kalangan bangsawan. Dan itulah takdir hidup yang Ghina jalani sedari kecil. sinkron dengan kehidupannya yang bak Tuan putri. Disanjung, dipuja, dielu-elukan lantaran perangai, wajah, serta sikap khas keturunan darah biru. Hasil didikan orang tuanya dari dulu. Ghina selalu optimis bahwa ia adalah nomor satu. Ia cantik, cerdas, berasal dari keluarga terpandang. Ghardana sang Ayah, pernah bilang jika Ghinata tak terkalahkan dalam hal apapun. Namun sepertinya tidak untuk hari ini, kan? Karena Ghina baru saja menemukan sebuah fakta tentang dirinya--yang untuk pertama kali dalam hidupnya ... ia dikalahkan. Bukan dalam hal kecantikan atau semacamnya, tapi ... Dalam memenangkan hati sang suami, Ghina kalah oleh seorang PELAKOR. Catat!P.E.L.A.K.O.RSIALAN!Wanita dengan derajat setinggi dirinya kalah dihadapan spesies rendah dan tak tahu malu seperti mereka? Go to Fu*king Hell! Yang benar saja?Ghina jelas tak terima!Nyonya, tunggu atuh jalannya jangan cepat-cepat. Ini kaki saya kependekan buat mengimbangi. Shut up!Gadis pendek bergincu merah, berambut merah dan memegang payung merah itu lantas diam seribu bahasa dibentak sang nyonya, di hadapan banyak orang pula. Uh, malunya sampai usus.Keduanya kini tengah memasuki sebuah toko kue yang namanya sedang naik daun di kalangan remaja dan para pekerja kantoran. Well, setidaknya masih diberi label naik daun untuk beberapa menit kedepan karena tempat ini akan segera Ghina buat sepi dalam sekejap mata setelah ini.Dimana boss kamu? tanya Ghina begitu sampai di meja kasir. Hey, kamu tuli? sindir ia ketika gadis bercelemek di hadapannya itu hanya diam, memasang tampang gugup.M-mbak Siera ...Selamat siang, nyonya. Apa sudah membuat janji temu? Tiba-tiba muncul seorang wanita paruh baya dengan jenis celemek yang sama, tampak lebih tenang menyambut kehadiran seorang Ghinata. Janji temu? Seketika Ghina tertawa. Memangnya dia sesibuk dan sepenting para CEO gitu? Nggak level banget bikin janji temu sama pemilik toko kumuh ini. Sudah cepat panggilkan! bentaknya yang kian menyedot atensi para pelanggan yang ada disana. Ada apa ini? Ah, ini dia. Seseorang yang menjadi tujuan Ghinata bertamu kemari kini menunjukkan batang hidungnya. Dia gadis dengan rambut lurus, kulit seputih kapas, memakai dress kolot sebatas lutut yang sedikit kebesaran. Dan ... Oh God, Ghina rasa rahangnya akan jatuh saat itu juga.Dirinya kalah ... dengan gadis semacam ini? Hey! Bayangan Ghina bahkan lebih cantik dari nya.Apa yang dilihat Raga dari wanita ini? Secara fisik dia bahkan kalah telak dari Ghina. Ayolah, orang dengan gangguan penglihatan terparah sekalipun akan mengakui jika Ghinata jauh lebih unggul.Bersama amarah bercampur rasa tak terima yang menggelegak, Ghina mendekat pada Siera yang memandangnya dengan tampang bingung, dan di detik berikutnya ... PLAK!!Dalam sekejap Ghina mencetak bekas telapaknya yang langsung memerah di pipi putih mulus Siera. Dasar pelacur, tukasnya dingin.Siera yang masih belum bisa mencerna situasi, hanya bisa melongo dengan tatapan tak percaya. A-apa? Kamu ... Pelacur. Ghina Mengangkat dagu tinggi-tinggi, lalu memicing. Berucap dengan nada santai seolah kata pelacur merupakan bahasa ringan sehari-hari.Apa kamu nggak punya sedikit saja rasa malu sudah menggoda suamiku? Atau pada dasarnya kamu memang tidak punya malu? A-aku nggakngerti apa yang kamu--Jangan sok polos, bitch, sergah Ghina cepat. Kusarankan pergilah ke dokter bedah. Mungkin mereka bisa membantu menyambungkan urat malumu yang putus itu. Semua orang menyaksikan bagaimana Ghina dengan sangat berani menindas wanita yang ia sebut pelacur itu tak tanggung-tanggung. Pelanggan yang masih didominasi oleh remaja-remaja berseragam disana sejenak berhenti dari aktivitas dan serentak terperangah, bahkan ada juga yang tak melewatkan kesempatan merekam kejadian tersebut. Suasana semakin riuh ketika Ghina maju selangkah lagi, menjambak rambut hitam Siera hingga wanita itu mendongak paksa, matanya terpejam, namun sekalinya terbuka, rinai tercetak jelas. Jangan main-main denganku, wanita sial, peringat Ghina setengah mendesis, barulah setelah itu ia lepas Cengkraman di rambut Siera, kini beralih menarik kerah wanita itu dan siap menampar Siera sekali lagi ketika tangan besar seseorang lebih cepat menahan tangannya yang telah melayang di udara. Seseorang yang tanpa perlu melihat, dari wangi parfumnya saja Ghina sudah bisa menebak jika seseorang itu adalah ... Naraga, suami brengseknya.Memalukan, desis Raga tepat dibelakang kuping Ghina. Ia hempas pergelangan tangan istrinya itu sambil melayangkan sorot mengancam yang jelas diabaikan oleh Ghina. Aku memalukan? Kelakuan kalian yang memalukan, bodoh! Ghina hentikan-Hakku untuk melabrak perempuan yang sudah beraninya mengusik rumah tangga kita.Apa itu pantas disebut rumah tangga, Ghina?Diam Sialan! Raga memejam saat Ghina berteriak tepat di depan wajahnya, namun ia berusaha untuk tak ikut tersulut dan membuat suasana menjadi kian runyam.Memindai tatapan pada sang kekasih yang kini berlinang air mata dan tampak sangat ketakutan, Raga mendekat, membentengi tubuh ringkih Siera dengan tubuh besarnya, bertingkah seolah Ghina adalah ancaman yang kapan saja bisa menyakiti sang wanita.Pulang sekarang, kita bicara di rumah, tuturnya dingin. Dan Ghina merasa benar-benar rendah sekarang. Sekali lagi merasa kalah. Kalah karena suaminya lebih memilih berada di sisi wanita lain dibanding menenangkan dirinya yang notabene berstatus sebagai seorang istri.Tapi Ghina menolak terlihat sebagai pihak yang kalah, meski hatinya merasa seperti itu, sudah seharusnya ia sembunyikan lagaknya dengan terus membangun tembok keangkuhan yang kokoh. Ia bukan wanita lemah. Ia bukan tipe istri dalam serial drama yang dengan gampangnya menangis, memperlihatkan sisi tak berdaya hanya karena diselingkuhi suami. Itu menjijikkan, dan itu bukan gayanya. Ah, terlalu pasaran.Kembali mengangkat dagunya dengan gaya arogan, Ghina kembali membuka suara, kali ini dengan tangan terlipat di depan dada dan satu alis terangkat. Jadi kamu lebih memilih perempuan rendah itu daripada istri kamu? Ckck, kamu memang sama rendahnya dengan dia. Kalian menjijikkan. Ghina membuat gelagat mendesah tak habis pikir, seperti yang selalu para wanita dalam drama Korea lakukan. Kamu tahu, Ga? Kamu itu kayak Anj*ng. Selalu saja butuh daging lebih. ucapan merendahkan itu Ghina rujukan pada sikap tak pernah puas yang bukan hanya ditujukan untuk Raga, tapi juga seluruh peselingkuh.Sial, rasa-rasanya itu saja tak cukup. Sungguh Ghina ingin mengabsen deretan penghuni kebun binatang disini andai ia tak memiliki janji lain yang tak bisa dibatalkan.Mengharuskan ia untuk berbalik dan pergi bersama sang bawahan yang selalu mengintili. Namun ketika sampai di depan Toko yang sekaligus merangkap menjadi cafe kecil-kecilan itu, Ghina berhenti, berbalik sambil menggertak gigi lalu memberi titah pada Hana, bawahan nya. Ambilkan batu. H-hah? Buat apa, nyonya? Ambilkan saja! Yang sedang ukurannya. Aku hitung sampai ti-Eh, iya nyonya, sabar dong ah. Gelagapan Hana mencari apa yang diminta sang nyonya, lalu setelah dapat ia serahkan benda tersebut-- yang tak tunggu-tunggu langsung Ghina lemparkan ke arah kaca jendela toko, mencipta bunyi pecahan kaca nyaring yang bukan hanya mengangetkan penghuni toko, namun juga orang-orang diluar, disekitarnya yang tengah berlalu lalang.Ghina membersihkan tangan cantiknya dari sisa-sisa debu, lalu berjalan anggun memasuki mobil yang sudah dibukakan pintunya oleh sang sopir. ***
Chapter 2 Usai membuat kekacauan di toko kumuh Siera, Ghina yang sama sekali tidak terkontaminasi rasa bersalah itu kini melanjutkan perjalanannya menuju Bandara. Menjemput seorang ... teman. Teman baik. Atau bisa dibilang satu-satunya teman yang ia miliki sejak kecil. Orang yang paling dekat dengannya. Tapi Hana juga dekat, kan? Ya kendati statusnya berbeda, karena Ghina tidak berteman dengan pesuruh. Standarnya tinggi dan itu mungkin menjadi salah satu alasan mengapa ia tidak memiliki teman selain orang ini. Kita sampai nyonya, tegur Hana, ia sudah keluar lebih dulu tanpa menunggu sopir membukakan pintu untuk Ghina. Saat hendak membuka payung, sang nyonya menegur. Nggak usah. Kamu disini saja, ucapnya dingin. Hana mengangguk dan kemudian diam di tempat seraya memperhatikan Ghina yang menjauh dari pandangan. Lobi ramai seperti biasa, membuat Ghina risih karena menjadi pusat perhatian walau harusnya ia terbiasa. salahkan gaya busananya. Orang-orang awam pasti menganggap ia norak karena masih setia mengusung konsep vintage. Maksudnya ... hey! Wanita muda mana yang bergaya seperti itu di abad ke 21? Ghina hampir tidak pernah memakai jeans selama beberapa tahun terakhir. Isi lemarinya nyaris didominasi gaun vintage dari motif bunga, polkadot, stripes hingga polos. korset, bahkan topi dan sepatu khas era 20an sampai 60an. Dan tentu tidak mudah mendapatkan itu semua. Seharusnya orang-orang seperti mereka bangga karena di negeri ini masih ada seorang Ghinata yang sangat menjunjung tinggi gaya fashion masa lampau. Mengabaikan sorotan-sorotan menganggu tersebut, Ghina yang mulai bosan menunggu kini memutuskan berbalik, bergegas meraih ponselnya dari dalam tas, hendak menekan nomor seseorang ketika panggilan dari orang yang dimaksud lebih dulu muncul di layar ponsel. Senyum Ghina lantas merekah. Aku sudah sampai di Bandara. Kamu dimana? cercanya tepat setelah panggilan terhubung. Di belakangmu, ucap si pemilik suara bass itu.Ghina menggigit bibir bawah saat dapati dorongan untuk tersenyum lebih lebar. Jangan bercanda, cicitnya antara buncahan rasa senang serta gugup berlebihan. Berbaliklah.Tak tunggu-tunggu lagi. Ghina memutar balik badannya dengan cepat, lantas dihadiahi pemandangan sosok tinggi tegap, eumm ... tampan, (tak lagi diragukan) yang berdiri tepat dihadapannya.Oh, Ghina ingin berteriak! Ghina juga ingin melompat, berlari menuju sosok itu, memeluknya erat namun pada kenyataan, Ia tetap di tempat, terpaku walau mata berbinar. Ghina membiarkan lelaki itu berderap mendekat lebih dulu lalu mendekapnya dalam pelukan hangat. Ah, kini Ghina rasakan matanya memanas. Selamat datang kembali, Gerald. Ia bergumam di bahu sahabat karibnya tersebut, tersenyum seraya membalas pelukan. Cuma itu? tanya Gerald bernada tak puas. Ghina melepas pelukan dan menatap lelaki itu dengan kedua alis menyatu. Apanya yang cuma itu?Cuma ucapan selamat datang? Memangnya apa yang kamu harapkan?For God's shake! Tiga tahun aku nggak pulang. Kamu nggak rindu aku? Ghina memutar bola matanya melihat tindak dramatisasi dari Gerald. Stop being childish! Nggak mungkin aku nggak rindu kamu. Cuma emang harus gitu aku utarakan disini? Kayak nggak ada waktu lain aja. Okay! Okay! Gerald beri anggukan, menyeringai sebelum menaikan turunkan alisnya. So ... how about a kiss? Segera mengangkat tangan, Ghina mengusung benda berkilau yang tersemat di jari manisnya. I've been married, kalau kamu lupa, sarkasnya lalu menoleh kanan kiri, mengisyaratkan bahwa orang-orang sedang memperhatikan mereka. Beberapa diantaranya pasti mengenal keluarga Aditama dan otomatis tahu apa posisi Ghina disana. Kayaknya kamu beneran lupa, eumh gak heran sih. Memangnya apa yang kamu ingat disini? Papa meninggal aja kamu nggak pulang, apalagi pernikahanku? Melihat Ghina yang memberengut dengan bibir mengerucut seolah ingin menangis, Gerald dilanda rasa tak enak. Calm Sweety. I'm just kidding. kenapa jadi melankolis begini? Btw aku emangnggak datang, but I sent you a gift, ingat?Ghina tak membalas, hanya diam. Tak juga bereaksi kala Gerald memeluknya lagi, kali ini lebih erat. I Miss you like crazy, desah lelaki itu di puncak kepala Ghina. Melepas rindu usai bertahun-tahun tak bertemu dikarenakan dirinya harus menempuh pendidikan jenjang S2 di Scotlandia. Selama itu ia tau Ghina kesepian. Perempuan itu tidak memiliki teman, hanya Geraldo saja yang mampu memasuki teritori personal seorang Ghinata itupun lewat pendekatan yang tidak mudah, Gerald berjuang untuk menyandang status teman Ghina dari sewaktu mereka kecil. Dan ia berhasil, sebagai imbalan Ghina menjadikan Gerald satu-satunya orang yang ia percaya. Kamu bawa mobil, kan? Antar aku ya. ‘’Ayahmu punya banyak mobil, tapi kamu selalu numpang di mobil orang, cecar Ghina dengan raut kesal yang dibuat-buat. Tapi Gerald tau wanita itu tak akan menolak usulannya. Ayolah, kamu datang untuk menjemputku, kan? Iya, bawel. Keduanya lalu berjalan bersisian keluar dari area tersebut, Gerald menarik kopernya sambil kembali mengajak Ghina berbincang tentang hal-hal ringan, sampai dering ponsel wanita itu menghentikan perbincangan. Ghina mendengus saat dapati nama Naraga tertera di layar, melirik ke arah Gerald yang juga menatapnya, Ghina maju beberapa langkah sambil beri isyarat bahwa ia harus mengangkat telepon, walau setengah hati. Dan Gerald mengangguk mengerti. Halo-Kenapa belum sampai rumah? Nada Raga terdengar mendesak, Ghina bahkan sampai harus menjauhkan ponsel dari telinganya. Kamu sudah di rumah? tanya Ghina. Belum, aku menghubungi maid dan mereka mengatakan kamu belum pulang. Kemana? Bukankah aku menyuruhmu-Aku di rumah sakit.Bohong! Aku baru saja dari rumah sakit.Pengakuan itu sejenak membuat Ghina terperangah. K-kamu, ngapain kesana?!Ingin mencegah kalau-kalau kamu membeberkan masalah tadi pada mama. Jangan memperburuk keadaannya. Ouh, dia sangat mencemaskan ibu Ghinata. Menantu yang baik sekali, kan? Sayangnya peran Raga sebagai suami tak sebaik perannya sebagai menantu, sebagai suami ia lebih patut diajukan jempol terbalik. Jadi sekarang kamu dimana? Raga mendesak lagi. Bukan urusanmu.Tapi kamu mesti pulang, kita harus bicara Ghin-“Bodo!Sambungan diputus oleh Ghina segera setelah ia katai lelaki itu. Enak saja dia, bagaimanapun juga, Ghina sedang kesal dan dalam keadaan seperti ini seharusnya Raga tak berhak memerintahnya. Dia pikir Ghina akan menurut? Cih, jangan har-Ting!Raga : Pulang sebelum aku memblokir akses kartu kreditmu. Shit!Menggeram rendah, Ghina berbalik cepat ke arah Gerald dengan memasang tampang menyesal. Sepertinya aku nggak bisa antar kamu."Itu tadi suami kamu? Iya, dia pengen aku cepat pulang, maaf. It's okay. Aku pikir suamimu bukan tipe orang yang suka menunggu. Dan ... kamu seharusnya nggak menutup telepon secara sepihak apalagi ngatain dia. Itu nggak sopan, bagaimana pun juga dia-Mulai deh, mulut emak-emaknya kambuh. Tampang doang berandalan, hobinya ceramah panjang lebar, dengus Ghina tak suka. Mengusap-ngusap surai hitam wanita yang selalu menemaninya sejak usia 6 tahun itu, Gerald membalasnya dengan tersenyum, mengucapkan kalimat 'hati-hati di jalan' sebelum ia lepas Ghina pergi menemui suami wanita itu--yang Gerald tau jelas bukan orang sembarangan. Sedikit aneh rasanya melihat perubahan status sahabatnya yang tiba-tiba. Dua puluh tiga tahun hidup tanpa mau mencicipi manisnya percintaan, siapa sangka seorang Ghinata akan mendahuluinya dalam urusan rumah tangga? Well, meski terjadi dalam ranah perjodohan yang mengatasnamakan balas budi, namun cinta bisa datang karena terbiasa, kan? Dan ia harap Ghina serta suaminya bersedia memperjuangkan hal itu.°°°Sopir dengan cekatan membukakan pintu untuk Ghinata, wanita yang kini membuang nafas jengah dan melangkah malas-malasan begitu melihat BMW X5, kendaraan favorit Raga terparkir dengan gagahnya di garasi. Sepeninggal sang nyonya yang mulai masuk ke dalam mansion, masih di tempat tersebut Hana serta sopir kepercayaan Ghina yakni Pandji, mulai memulai sesi favorit mereka yakni bergosip ria, karena kebetulan--kejadian hari ini memang lebih dari sekedar menarik untuk didiskusikan. Gila, Ji. Aku kalau tau suamiku kedapatan selingkuh, apalagi yang modelnya kayak Tuan Raga, mungkin udahnangis darah aku, Ji. Kayak di film-film. Hana menggeleng-gelengkan kepalanya seraya meringis. Lah itu si nyonya jangankan nangis, kelihatan lagi pikiran aja kagak. Masih sempat pula jemput temannya di Bandara, santai bener kayak nggak punya beban. Itu dia masih punya hati nggak sih, Ji? Udah mati rasa kali. Huss! Masa iya? Tau!Eh, Ji. Terus aku penasaran. Kok bisa ya Tuan Raga selingkuhin nyonya. Kalau misal suami aku nih, selingkuh sama cewek yang standar mukanya diatas aku bisa dimaklumi lah ya. Loh ini selingkuhannya si Tuan kalau disandingin sama nyonya, beuh! Ibarat lirik lagu, 'masih kalah jauh! Gitu ya? Biar guejelasin. Panji tersenyum mengejek. Fisik emang penting di mata cowok yang sedang dalam pencarian pendamping. Tapi kalau statusnya udah jadi suami, fisik bukan jadi patokan, Han. Ibaratnya itu cuma bonus. Sementara hati dan sikap itu poin utama. Suami juga butuh diayomi, dilayani, diurus dan kita semua di rumah ini tahu, untuk figur seorang istri jangankan yang idaman lah, yang standar aja nyonya Ghina nggak mampu sama sekali. Telak! Hana tak menampik fakta tersebut. Ya, nyonya nya memang tak seberguna itu dalam menjalankan tugasnya. Tapi tetap saja selingkuh bukan solusi yang baik kan? Itu dilarang! Memang salah mengajak Pandji berdebat soal hal ini karena pria akan selalu berpikir dari sudut pandang mereka dan wanita seperti dirinya pun sama.Apapun alasannya selingkuh tetap nggak bisa dibenarkan! seru Hana tepat didepan wajah Pandji. Sakit rasanya melihat milikmu direbut, walaupun Hana sangsi Ghina turut merasakan hal itu mengingat gelagatnya sepanjang perjalanan biasa saja, ataukah sebenarnya adalah wanita itu yang terlalu pandai menyimpan dan menyamarkan luka hanya untuk dirinya sendiri? Karena yang Hana tau—seorang Ghinata sangat benci dikasihani. °°°Tak tau kapan terakhir kali Ghina menginjakkan kaki di ruangan yang dijuluki teritori pribadi milik suaminya ini, yang jelas Ghina ingat ketika waktu itu bersikeras ingin masuk, ia dihadiahi siraman kopi hangat Raga pada piyama sutranya dan Raga ia beri lemparan berkas tepat di muka. Bisa dibayangkan betapa bar-bar keduanya jika sudah bertengkar, kan? Kendati Ghina sedikit menghormati gaya lelaki itu yang tak mudah main tangan. Karena bisa dikatakan Ghina lah yang tak segan melakukan KDRT. Ia sering melempar sendok ke kepala Raga jika lelaki itu mengganggunya saat sarapan. Duduklah. suara berat Raga mengintrupsi.Sejenak Ghina pandangi lelaki dibalik meja kerja itu dengan intens sebelum menggeleng. Nggak. Aku pengen cepat-cepat keluar dari sini, jadi cepat bicara sekarang. Ghina tak ingin berlama. Raga mendengus untuk itu. Istrinya sepertinya tak sama sekali menuntut sebuah penjelasan, seolah tak peduli. Benar-benar istri yang ajaib. Berdekhem singkat, Raga bangkit dari kursi kebesarannya dan berderap mendekati Ghina seraya melonggarkan dasi yang terasa mencekik. Sekarang kamu sudah tau, bukan? tanyanya tanpa alihkan pandangan. Tahu kemana arah pembicaraan ini, Ghina sengaja sedikit mengangkat dagunya dan menjawab tenang. Iya, lalu? Lalu? ulang Raga bersama tatapan menyelidik. Kamu tidak ingin mempermasalahkan sesuatu? pancingnya. Seperti? Ah, Ghina sangat tidak peka.Seperti ... Raga menjeda panjang, ia mengubah atmosfir ruangan ini menjadi lebih tegang dengan tatapan matanya yang dipertajam saat jaraknya dengan sang istri hanya tinggal beberapa jengkal. Perceraian?Oh, respon Ghina teramat singkat.Bercerai ya? Dan melepaskan satu-satunya sumber uang yang bisa Ghina dapatkan? Hell!Kala itu ia sudi menikahi Raga karena tak siap menjadi gembel. So, sudah jelas dirinya akan menolak mentah-mentah usulan tersebut.Sekarang kalian sudah tau kan? Terserah ingin menilai dirinya seperti apa, karena pada kenyataan ... Ghina memang sematerialistis itu. Pernikahan ini sejak awal dimanfaatkan olehnya, untuk meraup pundi-pundi dari keluarga Aditama. Maju selangkah guna semakin memperkikis jarak antara ia dan sang suami, perlahan Ghina membawa jemari lentiknya mengusap tepi rahang Raga yang kokoh, lalu mendekatkan wajahnya hingga kabut di manik hitam lelaki itu tertangkap jelas. Sempurna adalah kata yang tepat, Ghina nyaris tak pernah memperhatikan Raga sedetail ini dan ia baru menyadari, jika Raga memiliki rasio diluar daya pikir. Suaminya titisan dewa? Sementara ditempatnya Raga terpaku menyelami telaga bening yang hanya berjarak beberapa centi di bawah rahangnya itu. Ghina ... sekilas melihat wajahnya, kesan yang didapatkan adalah lugu, tak berdaya, lemah. Namun perangainya menjelaskan sebaliknya. Ghina tak suka didominasi, ia tak seperti Siera yang selalu membuat Raga puas dengan sikap pasrahnya. Ghina berbeda. Perempuan ini berani, bahkan terlampau berani untuk mulai berjinjit dan menaburkan kecupan di bibir Raga, kecupan yang berubah menjadi lumatan amatir, membuat Raga menyeringai karena Ghina sama sekali tidak mahir. Perempuan ini takut lelaki dan hanya pernah berciuman satu kali dengannya di depan altar pernikahan mereka. Ouh, Ghinata yang malang. Niat ingin memprovokasi Raga dengan ciuman? Sayangnya ia lupa jika Raga pria nakal, tak mungkin lemah hanya karena bentuk keintiman semacam itu. Meski pada akhirnya gerakan bibir Ghina tetap ia imbangi dengan manis, pinggang ramping wanita itu hampir ia raih manakala lebih cepat Ghina menarik diri. Ada sorot menantang di matanya ketika memandang Raga yang terengah. Bercerai, ya? Wanita itu mengusap bibir dengan ibu jari, sebelum mengulas seringai tipis. In yourdreams, husband. Bersenang-senang lah dengan pelacurmu, aku tak peduli selama kamu siap menambah jata bulananku. Dan Ghina melangkah keluar dengan angkuhnya, meninggalkan Raga yang terpaku bagai manekin. Bunyi peraduan antara heels dengan lantai marmer mengiringi senyap yang kembali tercipta setelah perdebatan tanpa emosi berarti itu usai. Sampai pada pintu keluar yang siap ia tarik kenopnya, Ghina berhenti begitu bayang-bayang tentang pertanyaan Hana di mobil tadi kembali bertamu singkat di kepalanya. Emang nyonya nggak cemburu Tuan sama cewek lain?Cemburu?Maaf, yang Ghinata cintai bukan Raga, tapi uang lelaki itu. Lalu kenapa ia marah saat pertama kali tau suaminya berselingkuh? Entahlah… Mungkin karena Ghina masih tak bisa menerima begitu saja dirinya dikalahkan oleh perempuan kelas rendah seperti Siera.
Chapter 3 Ghinata ... Raga masih ingat pertemuan pertama antara ia dengan wanita yang kini berstatus Istrinya itu adalah ketika usia keduanya masih bocah. 5 atau 6 tahun? Entahlah, yang jelas sudah sangat lama.Namun sama sekali tak ada yang berbeda dari sosok Ghina. Dia masih si angkuh yang sama. Menyebalkan, susah diatur dan bermental ratu. Bahkan ketika nasib putri konglomeratnya berada di ujung tanduk, dan ia harus hidup bergantung sepenuhnya pada nama besar Aditama tanpa rasa malu, kesombongannya bahkan tak pudar. Mereka tak dekat, tak juga tumbuh bersama. Bertemu hanya sekali dua kali dalam beberapa fase. Fase remaja adalah yang paling membekas karena Raga sempat menaruh minat pada sosok Ghina yang saat itu berusia tujuh belas tahun. Keduanya dipertemukan kembali di pesta anniversary perusahaan, Raga hendak mendekati Ghina dan bertanya akankah gadis itu masih mengingatnya? Namun saat menangkap Ghina berlaku kurang ajar, menyiram dan mempermalukan seorang pelayan dengan segelas tequila hanya karena tak sengaja menyenggol gaunnya, ketertarikan Raga lantas memudar begitu saja.Ia benci perempuan sombong. Sialnya, dari semua tipe ideal yang ia ekspektasikan, realita justru menghantarkannya pada sosok yang paling ia antisipasi, bar-bar dan bermuka dua. Ghina itu sangat pandai memainkan peran, begitu anggun di depan khalayak namun berlaku tak sopan dihadapannya. Bertingkah seolah tak berdaya di hadapan Ayah Raga, lantas beralih menindasnya jika mereka ditinggal berdua. Raga tidak tahu dosa apa yang ia perbuat hingga dengan begitu teganya Tuhan mempersatukan Ia dan Ghinata. Keluarga Ghina memang keturunan darah biru seperti yang selalu wanita itu banggakan, akan tetapi soal materi, mereka hanya sepenuhnya bergantung pada perusahaan Aditama. Mengandalkan kejeniusan Gharda, Ayah Ghina dan tentu saja modal yang tak sedikit dari Rama, ayah Raga. Keduanya berhasil membangun sebuah sektor bisnis bidang pariwisata dan perhotelan yang berkembang pesat tiap tahunnya. Ayah Ghina setau Raga, orang baik, tak tamak seperti putrinya. Bertahun-tahun diberi posisi standar di perusahaan, tak membuat beliau mengeluh atau menuntut lebih.Sampai ketika jatuh sakit hingga sekarat, barulah sebuah permintaan tak terduga Gharda utarakan. Dihadapan sang ayah, ibu, dan semua orang yang ada disana kala itu, beliau menuntut Raga ... memperistri putrinya. Nyaris satu ruangan memperlihatkan gelagat terkejut tak terkecuali Ghina sendiri.Yang tidak sama sekali tersentil akan permintaan itu hanyalah Rama, dan ibunda Ghina. Yang mana mereka sudah tahu, dan sudah merencanakan ini sejak jauh-jauh hari. Menjodohkan putra dan putri masing-masing. Sebuah kekonyolan yang ternyata masih dianut para orang tua kolot itu membuat Raga serasa dikutuk. Ya, hidup dengan Ghina dan dipaksa berpisah dari Siera adalah kutukan. Oh, kekasihnya yang malang, sayang Raga tak mampu berbuat banyak jika tak ingin ditendang keluar dari lingkup Aditama, mengingat betapa sang ayah memanjakan Ghina. Obsesinya memiliki seorang putri yang tak terpenuhi, akhirnya disalurkan kepada Ghina. Lihat betapa beruntung wanita ular itu. Kekuatan terbesar berada di pihaknya. sebagai lawan, ia punya kartu as yang bisa melumpuhkan Raga. Benar-benar menyebalkan. Hana!Oh, itu dia ... Lengkingan suara si Medusa. Menggema begitu Raga menapak kakinya pada marmer di ruang tengah. Bawakan anggur yang serupa dengan ini. Cepat! Perintahnya. Bersandar pada empuknya sofa, bak nyonya besar Ghina menselonjorkan kaki mulusnya pada paha seorang pelayan muda, terlihat pelayan itu membaluri sambil memijat pelan sepanjang betis, hingga ke telapak kaki Ghina dengan cairan mengkilap berbau tajam. Raga tidak suka bau ini, produk murahan jenis apalagi yang dibawa masuk istri gilanya ke rumah.Ingin mengomel, Raga urung ketika sekali lagi pesan manis Siera memintanya untuk cepat datang kembali menyambangi ponsel. Memilih mengabaikan kegiatan wanita dengan kimono satin hitam yang kini kembali meneriaki Hana karena belum juga memunculkan batang hidungnya. Ini mansion, bukan Hutan belantara tempatmu dibesarkan dulu. Raga menyarkas sembari melangkah. Aku dibesarkan di keraton! tanggap Ghina membuat langkah laki-laki itu terhenti. Mendadak memutar badan, dan menghadiahinya senyuman remeh. Keraton milik siapa? Pamanmu? Berhenti membual. Ghina bungkam. Tak berniat mendebat lagi. Karena yang akan terjadi jika Ghina ikut tersulut adalah timbulnya perdebatan yang tiada ujung. Ghina meraih gelas piala besar dengan isian anggur, lalu diteguk pelan oleh wanita itu ketika gerakan tangannya mengisyaratkan pelayan muda untuk melepaskan kakinya dan berlalu dari sana. Kenapa masih disini? Mau keluar, kan? Ngelonin selingkuhan. ucap Ghina santai sambil menggoyangkan tangkai gelas kaca ditangannya. Rahang Raga mengetat seketika seiring dengan kepalan tangan. Jaga mulut kamu, desisnya. Sudut bibir Ghina terangkat membentuk senyum miring. Kenapa? Fakta kok, suamiku ingin bertemu selingkuhannya. Siera bukan selingkuhan. Ketenangan yang mengancam Raga perlihatkan, membuat Ghina serta merta kembali beraut datar.Lalu?"Dia kekasihku.Oh, jadi punya kekasih disaat kamu sendiri masih punya istri—Kekasih jauh sebelum kamu datang, sela Raga cepat, aku sudah lebih dulu menjalin hubungan dengannya bahkan sebelum pernikahan kita ditentukan.Godam menghantam Ghina telak. Terkejut? Ya, tentu Ghina terkejut. Tapi sudah ditegaskan sejak awal kan? bahwa mendramatisir keadaan bukanlah gayanya. Pintar mengendalikan diri hingga di mata Raga, terlihat tak ada reaksi berarti Ghina tampilkan seolah tak ada yang wanita itu pedulikan, bahkan pengakuannya barusan tak mempengaruhi apapun. Terlepas dari itu, dia tetap selingkuhan di mataku. Dia rendah dan memalukan. Dua kata terakhir, lebih pantas ditujukan untuk kamu, koreksi Raga. Masih berdiri dengan gagahnya di hadapan Ghina yang mulai duduk tegak. Perlahan-lahan terpancing emosi. Bahasamu, tuan Raga, peringat Ghina mencoba tenang. Setidaknya sebagai seorang wanita yang masih punya harga diri, aku tidak akan pernah Sudi menjalin hubungan dengan pria beristri. Secinta apapun aku kepadanya, moral tetap lebih penting, tukasnya dengan bangga. Namun segera Raga lunturkan rasa bangga itu dengan kalimat yang ia tahu bisa melumpuhkan seorang Ghina. Sepenting-pentingnya moral di mata kamu, tidak lebih penting dari uang, kan? Melihat Ghina kembali tak tanggap akan kalimatnya, mencipta seringai tipis di bibir Raga. Kala tertangkap pias di wajah sang istri yang berubah sendu, sebuah kepuasan turut menyambanginya. Well, hitung-hitung balas dendam. Rasa kesalnya memang membubung tinggi sejak siang dikarenakan ulah Ghina yang tak tanggung-tanggung mempermalukan wanitanya di hadapan banyak orang.Cinta, moral atau apapun itu memang tidak ada pentingnya untuk kamu, tapi uang pengecualian besar.’’ Kembali bariton rendah menggema di ruang luas, mewah berlapis kaca namun senyap karena tak seorang pun pelayan diperbolehkan untuk mendekati teritori, dimana terdapat sang Tuan dan nyonya sedang bersitegang. Kini Lelaki dengan balutan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku itu tersenyum miring. Tatapannya memicing remeh saat menelisik lekuk tubuh Ghina yang diam di tempat bersama raut datar.Berapa harga diri yang kamu tinggikan itu, Ghina? Yang ditanya bungkam, bahkan disaat langkah Raga semakin dekat, tidak ada antisipasi darinya. Hanya obsidian keduanya yang masih saling terikat erat. Menyalakan bara satu sama lain lewat tatapan. Karena aku sangsi jika kelak kamu tak berniat menjualnya jika sudah tak ada lagi yang tersisa. Byurrr ...Lelehan Anggur membasahi area wajah hingga ke bagian atas kemeja Naraga. Siapa lagi pelakunya jika bukan ... Ghinata. Jangan samakan aku dengan jalang bodohmu. Selain atas nama cinta konyol, dia pasti bersedia kamu tiduri juga demi segepok bantuan finansial, kecamnya bersama dada yang naik turun sebab amarah. Ia tidak terima direndahkan, apalagi oleh Naraga!Aku mungkin menggadaikan kebebasanku dengan menikah, tetapi aku cukup pintar dengan tidak memberikan yang lebih dari itu.Raga segera naik pitam, tak lagi peduli pada ocehan Ghina ketika ia tarik kerah kimono wanita itu dan membawanya berdiri dengan paksa, akan tetapi cengkeramannya mengendur sesaat setelah Ghina melanjutkan, Itulah kenapa sampai sekarang kamu hanya bisa menggenggam statusku sebagai seorang istri tanpa mampu mengambil lebih.Ya. Dua tahun berlalu begitu saja dan kondisi Ghina masih tetap sama seperti awal mula ia dibawa masuk ke rumah ini. Raga pria normal, jelas. Ghina juga bukan tak pandai mengartikan gelagat sang suami yang kadang, disaat-saat tertentu menatapnya dengan sorot bak harimau lapar. Tapi, yah. Seperti katanya, Ghina hanya mencoba berpikir cerdas, mengatur batasan agar tak jatuh ke dalam pesona suaminya yang berbahaya, sebab ia sadar, selain kekayaan, nama besar serta tampang yang dielu-elukan seluruh negeri, tak ada lagi yang bisa diharapkan dari sosok pria tidak berperasaan seperti Naraga. Jadi Ghina hanya ingin menjaga baik-baik hatinya. Apa yang ia lakukan ini sudah benar, kan?
Chapter 4Wanita dalam balutan gaun pengantin menjuntai kelantai itu kesulitan mengimbangi langkah pria dihadapannya, yang bertingkah seolah-olah sudah buta dan tuli sejak dini. Tidakkah ia lihat Ghina kesulitan membawa rumbai-rumbai ini? Tak ada niatan membantu sama sekali bahkan setelah diteriaki berkali-kali. Shit! semua gara-gara Hana, kacung tak tau diri yang bisa-bisanya teler bahkan sebelum pesta resepsi resmi usai. “ck, inilah yang terjadi jika gadis kampung sok-sokan dicekoki alkohol. Sekali teguk langsung tumbang.” Batin Ghina terus mengoceh tiada henti. Lihat saja Hana, besok pagi akan ia beri gadis itu wejangan—maut, agar jerah.Akhirnya … setelah melewati perjuangan cukup melelahkan, mulai dari pemberkatan, hingga pagelaran resepsi besar-besaran yang demi saus tartar membuat Ghina nyaris menangis lelah, kini keduanya telah sampai di suit Eksklusif mereka, salah satu kamar terbaik dari hotel bintang lima tempat resepsi diadakan.Rahang Ghina nyaris jatuh melihat betapa seduktifnya kamar itu di-design, khas pengantin baru sekali, dengan dominasi warna merah dan mawar yang banyak, juga lampu yang sengaja diredupkan, meninggalkan kesan erotis cukup kental. Oh .. ini pasti ulah si ayah mertua. Ck, bisa-bisanya dia. Raga masuk lebih dulu, menanggalkan jas, meletakkannya asal-asalan di atas ranjang penuh mawar, menyisakan kemeja hitam ketat yang mencetak jelas otot bisep lelaki itu kala lengannya tertekuk untuk membuka simpul dasi. Seketika potongan lirik dari lagu terpesona yang selalu dikumandangkan Hana hampir di tiap detik, mulai terputar dengan sendirinya di otak Ghina, membuatnya segera menggeleng. Menepis jauh-jauh daya tarik tersebut sebelum ikut melangkah masuk, duduk di tepi ranjang dan segera melepas heels yang membuat kakinya luar biasa pegal. Ghina memang sering menggunakannya tapi tidak untuk waktu selama tadi, nyaris seharian penuh benda itu tak lepas dari kaki cantiknya. Fokus pada kesibukan masing-masing, tak ada dialog yang tercipta diantara pasangan pengantin baru dadakan itu, menyisakan keheningan panjang yang sekali-kali hanya diisi dengan dengusan serta umpatan samar Ghina ketika ia terpaksa harus menanggalkan gaun super ribet dari tubuhnya, secara mandiri.Setidaknya ia bersyukur resleting gaun berada di samping dan bukannya di belakang tulang punggung, sehingga ia tak perlu susah-susah meminta bantuan pada Raga, atau laki-laki itu akan mencapnya sebagai tukang modus ... lagi.Raga masuk ke kamar mandi dan beberapa saat kemudian terdengar bunyi pancuran air. Kesempatan itu Ghina gunakan untuk cepat-cepat menyelesaikan sesi berganti pakaian hingga hanya kimono tipis yang sekarang melingkup di tubuhnya karena setelah Raga, adalah giliran dirinya untuk membersihkan diri. setelah cukup lama, lelaki itu akhirnya keluar dari kamar mandi, yang secara tiba-tiba membuat Ghina tersedak liurnya sendiri melihat Raga bertelanjang dada, handuk yang melilit di pinggangnya sangat rendah hingga mencetak—gila! Ghina pasti sudah gila. Bisa-bisanya ia memikirkan itu. Well, ini memang pertama kali ia disuguhkan pemandangan lelaki setengah telanjang secara langsung, karena biasanya hanya Iasaksikan melalui majalah atau media sosial. Apalagi tubuh tegap dan kokoh Naraga tidak bisa dianggap sepele, terlihat cukup mengintimidasi dipadukan dengan tinggi badannya yang jauh diatas Ghina, lalu tato di bawah perutnya yang—cukup! Ghina, take care of your mind!Singkat, Ghina berdekhem pura-pura tak mempedulikan Raga yang sibuk mengeringkan rambut basahnya dengan handuk kecil, Ghina langsung melangkah menuju kamar mandi tanpa basa-basi sebab tubuhnya mendadak terasa panas dan ia butuh air dingin untuk kembali menormalkan suhunya. °°°Dua jam waktu yang dihabiskan Ghina hanya untuk mandi, lalu membersihkan sisa-sisa makeup dan menaburkan sejumlah cairan dari botol-botol kaca, pada wajah serta tubuhnya. Hal yang membuat Raga tak habis pikir. Sebab apa gunanya Ghina menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk itu disaat ia bahkan telah mendapatkan semuanya. Wajah cantik, kulit yang bersih. She'sperfect. Maksudnya— visualnya, meski perangai berada di urutan akhir, tidak ada yang bisa menampik kecantikan putri semata wayang Ghardana itu. Ghina... Panggil Raga, mulai tak sabar. Ia berniat akan menunggu Ghina selesai dengan ritualnya tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda itu akan terjadi. Hm.Jawab yang benar. Teguran lelaki itu membuat Ghinamendengus samar. Selalu saja, Raga sudah seperti ayahnya yang selalu berkesempatan mengingatkan apa yang bendar dan tidak. Iyaa, mas. Mas?!Pffftt, Ghina ingin tertawa tapi sebisa mungkin ditahan. Jujur ia tak pernah memanggil seseorang dengan sebutan “Mas”. Karena terdengar menggelikan. Tapi sejak menjalin perjodohan dengan Raga, sang mertua selalu mengingatkan. Raga itu akan jadi suami kamu, hormati dia.Jadi, Ghina hanya menjalankan perintah, apalagi Raga si gila hormat dan taat kesopanan (katanya) juga tampak sangat menuntut dipanggil seperti itu olehnya. Kita sudah menikah—“Iya tau kok."Bisa tidak memotong ucapkanku?Terpejam, Ghina mendesah malas. Maaf, jawabnya enggan. Raga kembali bicara, Aku tahu terlalu awal untuk membahas ini, tapi …Pernikahan kita terjadi bukan atas dasar kemauan masing-masing, dan seumur hidupku, menikah selalu menjadi list paling terbelakang, dan aku pikir kamu juga ... Ya, Ghina juga tak pernah membayangkan akan menikah di usia semuda ini. Ia terlampau menikmati kesendiriannya. Ia masih ingin bersenang-senang tanpa diselipi beban sekecil apapun.Tetapi jika dipikir-pikir, memang masih mampukah ia bersenang-senang jika stok uang menipis? Ayahnya pengidap kardiovascular selama nyaris tiga tahun, sudah lama tak bekerja semenjak jatuh sakit, sedang pengobatannya membutuhkan biaya mahal setiap bulannya, ditambah gaya hidup Ghina yang dibesarkan seolah keluarga mereka akan terus kaya raya selamanya, membuat pengeluaran membengkak pesat sedang pemasukan nyaris tak ada. Ya, Ghina tak bekerja padahal cuma dia satu-satunya anak yang bisa diharapkan, sebab Gatr— Lupakan. Ghina tak mau membahas tentang manusia tak berguna itu. Ini tidak akan berjalan seperti seharusnya, Ghina. sikap serta pemikiran kita terlalu bertolak belakang. Tidak ada kecocokan. Kamu dan kesendirianmu sedang aku adalah pria yang bebas. Kita sama-sama pembenci komitmen, jadi aku pikir—Langsung pada intinya saja, Raga. Perasaan baru beberapa menit lalu Raga masih dipanggil “mas” oleh Ghina dan sekarang, Ghina hanya memanggil namanya saja. Tepat setelah ia tangkap punggung wanita itu yang kaku ... sekaku suaranya. Aku tidak bisa menjalani ini. Aku tidak ingin memaksakannya, aku ... tidak bisa mencintaimu kamu.Tunggu. sanggah Ghina, mulai mengambil ancang-ancang untuk berbalik arah. Dan disaat Raga merengut dalam, berpikir wanita itu akan memperlihatkan satu atau dua butir air dari telaga beningnya. Jelas ia salah. Karena Ghina justru menghentikan kalimatnya dengan berkata ...Mendadak aku teringat kisah-kisah novel yang pernah kubaca. Kalimatmu barusan, adalah dialog lumrah para tokoh pria dalam—Ghina, aku serius! Tanggap Raga merasa dipermainkan pada situasi yang seharusnya dihadapi dengan keseriusan dan wanita itu malah mengaitkan dirinya dengan para tokoh tidak nyata. Oke lanjutkan. Ghina memangku kaki, melipat dua tangannya di depan dada.Jangan berharap banyak. Pernikahan ini mungkin akan jauh dari kata harmonis, lanjut Raga yang langsung saja Ghina timpali.Sejak awal juga aku nggak pernah memihak perjodohan ini. Tapiaku sangat menghargai cara ayah menyelamatkanku dari bayang-bayang kegembelan yang menyiksa, sambung Ghina dalam hati. Yang mengikat kita hanya status, diluar itu kita bebas menjalani kehidupan masing-masing, itu kan, yang kamu mau bilang? Tebak Ghina. Dan seperti dugaanya Raga mengangguk. Kalau begitu ayo. Aku tidak masalah, justru sangat bersyukur, karena ternyata bukan cuma aku yang tak benar-benar menganggap pernikahan ini ada. Lagi ... Ghina penuh dengan kejutan.Mengembalikan atensi dari aksi terperangahnya oleh respon Ghina yang tak terduga, Raga berdekhem pelan. Tapi, di depan ayah dan media— Aku pernah menjuarai lomba memainkan peran di sekolah seni. Sekarang tergantung kamunya. Aku tentu bisa mengimbangi, sahut Raga dengan seulas smirk tipis yang membuatnya tampak lebih menawan dan nakal di saat bersamaan. Ia yang berpikir bahwa percakapan telah usai, siap meletakkan kembali benda pipih diatas nakas tatkala suara Ghina kembali mengudara. Tapi Raga ... Apalagi?Aku nggak suka berakting kalau nggak dibayar, kamu ngerti maksudku kan? Raga menyandarkan punggung lebarnya pada kepala ranjang dan menatap Ghina dengan raut memaklumi. Kamu tidak akan kurang satu apapun. Aku mau blackcard-mu. Jangan gila. Ada kartu lain, besok ku berikan. Sekarang istirahat. Ghina tersenyum puas, namun kala lelaki itu memilih berbaring sepenuhnya dan memunggunginya, senyum Ghina berangsur redup.Mengamati pantulan dirinya—masih dalam balutan jubah mandi yang melindungi sebuah gaun malam tipis, ketat dan melekat pas hingga mencetak lekuk tubuhnya. Ghina tersenyum bak orang bodoh. bisa-bisanya ia termakan bujuk rayu Hana yang mengatakan bahwa malam pertama akan sangat mengesankan. Ya, mengesankan memang, tapi dalam artian lain. Keberadaannya ditolak bahkan saat belum genap sehari resmi menjadi seorang istri. Raga tampak benar-benar tak tertarik padanya. PR untuk jadwal belajar masak dan belajar memuaskan suami kini resmi Ia cancel❌ Oh ayolah Ghina, kuku-kuku cantikmu akan terselamatkan, dan tubuh seorang gadis ini bisa terus terpelihara dengan baik. Kapan lagi bisa jadi istri perawan yang tetap dinafkahi secara luar biasa oleh suami yang tak banyak menuntut?Well, menjadi salah satu menantu dalam silsilah keluarga Aditama sangat menggiurkan. Tak apa meski tak ia dapatkan cinta Raga. Ada manfaat lain seperti ... turut menyusup dalam kehidupan tajir nan mentereng khas para kalangan Aditama. Tercukupkan tanpa harus bekerja keras. Ultimatum Raga ini boleh juga. Ghina jadi tidak perlu susah-susah bertingkah seperti seorang istri yang baik di depan Raga. Tak perlu berakting. Toh, selama ini Ghina sudah cukup antisipasi melihat ketidaksukaan lelaki itu setiap berhadapan dengannya. Karena sebagai pemegang prinsip “My attitude depends on your attitude towards me.” Ghina memang tak pernah berharap banyak sejak awal. Dan di detik ini juga, ketika Raga mengumandangkan ketidakpeduliannya terhadap pernikahan mereka, maka hal serupa akan Ghina lakukan. °°°Masih dengan jemari bertengger di kedua sisi kerah kimono Ghina, Raga menatap wanita itu lekat dengan sorot ketertarikan yang berbaur ancaman tersirat. Kalimat Ghina seolah menantangnya dan Raga tidak suka ditantang. Atau andrenalinya akan terpacu hingga yang bernama tantangan itu bisa ia taklukan.Kalau aku mau, aku bisa memaksamu melakukannya, ujarnya setengah berdesis. Hendak mempertegas siapa yang lebih berkuasa disini. Jangan macam-macam. peringat Ghina, semakin memperketat rahang seraya menghalau tatapan menghunus Raga yang bisa saja berubah jadi membius.Kenapa? Dagu Raga terangkat menuntut jawaban. Kamu istriku, dinafkahi dari hasil keringatku. Aku punya hak penuh.Hentikan ... lirih Ghina, dan ia terkesiap saat Raga mendorongnya kembali hingga terjerembab pada sofa sedang laki-laki itu berdiri menjulang, tak henti menatap Ghina seraya memperbaiki letak arloji di pergelangan tangannya. Ghina diam merasakan Raga sedang berusaha mengintimidasi sekaligus mendominasi dirinya malam ini. Dorongan untuk meludahi wajah lelaki itu pun kian kuat saat dengan kasar Raga menarik helaian rambutnya, membuat Ghina lebih mendongak kala ia berbisik di atas bibir wanita itu. Kamu tidak akan bisa menolak disaat aku menuntut kamu tunaikan kewajibanmu dan mengambil apa yang menjadi hak-ku. Ada sekat di tenggorokan Ghina yang mengakibatkan nya sulit menelan Saliva. Jadi sebaiknya jangan menentangku untuk yang satu itu, tandas Raga.Ghina lalu memberontak berusaha melepaskan tarikan Raga di rambutnya sebelum berdiri dan menghadiahi pria itu dorongan walau tak berefek.Sebelum tau kamu selingkuh mungkin aku akan takut pada ancaman mu, Raga. Tetapi karena sekarang sudah tau. Maka jangan harap aku akan sudi memuaskan lelaki yang juga dipuaskan oleh wanita lain. Tiduri saja Siera, jangan ganggu aku! Tanpa mau mendengar respon yang berujung memperpanjang perdebatan, Ghina memilih tinggalkanruangan lebih dulu dan masuk ke kamarnya. Persetan pada teriakan Raga yang mengatakan mereka belum selesai bicara karena Ghina sekarang sudah cukup muak. Muak pada takdir yang membawanya pada Raga. Muak pada kehidupannya kini yang tak setentram dulu saat ia belum bersuami. Melajang tanpa pernah menyicip indahnya perasaan kasmaran khas anak muda. Ghina pikir dengan bertahan selama itu, maka kelak Tuhan akan mengirimkannya pasangan yang tepat, dan Ghina akan dengan bangga memamerkan kisah percintaannya yang langkah dimana ia hanya berpacaran satu kali, dengan satu laki-laki yang akan menikahinya sekali pula—untuk seumur hidup. Sebagaimana Ghina yang menjadikan dia satu-satunya, maka timbal balik akan Ghina dapatkan.Tapi ternyata nol besar. Buktinya ia diduakan. CK, Takdir memang tidak selamanya selaras dengan angan-angan.……… Chapter 5Bersama perasaan yang masih awut-awutan akibat berdebat dengan Ghina, Raga memacu cepat kendaraannya lewati jalanan ibukota yang selalu ramai, sampai akhirnya ia berhenti di basement sebuah gedung apartement. Mematikan mesin mobil sambil tangan terulur meraih jaket dan topi kemudian memakainya, Raga yang sudah seperti dalam mode penyamaran itu beralih keluar dari kendaraan. Raga masuk, menaiki lift, hingga menginjakkan kaki di unit paling atas. Tak perlu menekan bel pintu, karena ia turut memegang akses sandi unit milik Siera.Aku pikir kamu tidak akan datang. Tepat saat Raga masuk, suara lembut sang kekasih menyapa pendengarannya. Tak menjawab, namun masih bersama raut keras Raga maju selangkah lebih cepat karena Siera berdiri tak jauh dari pintu masuk, ia raih pinggang wanita itu, menubrukan tubuh keduanya dan lantas menyambar bibir Siera dengan ciuman yang dalam. Wanita itu tersenyum, melingkarkan lengannya pada leher Raga dan membalas pagutanya. Raga, hentikan. peringat Siera begitu ciuman terlepas namun Raga masih saja mendesak. Kamu sedang marah? Apa yang membuatmu marah? tanya wanita itu yang sebenarnya tak butuh jawaban. Raga memang hanya akan bersikap seperti ini ketika sedang marah, selebihnya biasa saja. Tidak ada sentuhan berarti diantara mereka ketika lelaki itu sedang dalam mode normal. Siera sudah terbiasa menjadi tempat Raga melampiaskan amarahnya, namun baginya tidak apa-apa, ia sama sekali tak masalah karena hanya disaat seperti inilah ia dapat merasakan sentuhan sang kekasih yang tak pernah gagal membuatnya mabuk kepayang. Raga tidak sembarangan menyentuhnya, lelaki itu menghormatinya. Aku bertengkar dengan Ghina. Dia selalu membuatku naik pitam. Lagi? Siera memutar bola matanya jengah. Ia kembali mendekat, mendekap tubuh Raga. Ini bukan pertama kalinya Ghina menjadi penyebab kemarahan Raga. Dan Siera tahu hanya dirinya lah yang mampu meredam emosi lelaki itu.Aku sudah bilang jangan suka berdebat dengannya. Dia menakutkan dari semua ceritamu, tapi saat kami bertemu secara langsung, ternyata dia jauh lebih mengerikan. Dia wanita yang sangat kasar. Aku jadi tahu kenapa kamu nggak betah berlama-lama di rumah. Menatap kekasihnya lekat, Raga bertanya. Sejauh mana dia menyakitimu? Tidak banyak, hanya menampar. Tapi aku nggaktaugimana jadinya kalau tadi kamu nggak datang. Bekas tamparan Ghina masih terasa, Siera meringis mengingat betapa dengan sekuat tenaga wanita itu melayangkan tangannya.Salah satu jemari Ghina yang terselip cincin berlian besar berhasil meninggalkan luka kecil di sudut bibir Siera sebab Ghina menggunakan bagian luar telapak tangannya. Raga melihat luka tersebut dan lelaki itu sendiri yang mengobatinya dengan telaten sesaat setelah Ghina pergi meninggalkan Toko. Dia tidak akan bisa mendekatimu sejengkal pun setelah ini. Jangan takut, aku sendiri yang akan memastikannya, tukas Raga. Kamu serius? Raga mengangguk singkat. Siera diam untuk beberapa saat dengan pikiran menerawang kentara terlihat dari raut wajahnya. Memangnya dia tidak—Dia tidak masalah dengan hubungan kita. Dia mengatakan tidak peduli selama aku memberikannya jatah bulanan lebih banyak dari yang seharusnya, ujar Raga, menaikkan kaki-kaki panjangnya ke atas meja Siera, hingga menggeser dan menjatuhkan beberapa tumpukan koleksi majalah wanita itu. Dia memerasmu? Tanya Siera dengan dua alis terangkat dramatis. Lebih baik daripada dia bersikap mendramatisir.Siera tampak menghela nafas sebelum berkata lirih. Aku tidak tahu ada jenis wanita sepertinya.Berhenti membicarakan dia. Terpejam sambil merebahkan tengkuknya pada Sandaran Sofa, Raga memerintahkan Siera untuk membawakan segelas soda, dan wanita itu lantas bertindak dengan cepat memberikan apa yang diminta. Yang Raga sukai dari Siera adalah karena Siera sangat patuh, Siera menakuti dan menghormatinya sebagai lelaki. Bukan seperti ... Ah, untuk apa membandingkan sosok sempurna Siera dengan istrinya yang bahkan tidak mampu mengecat kuku kaki tanpa bantuan para maid. Ghinata butuh orang lain untuk mengurus dirinya sendiri lalu bagaimana bisa ia mengurus Raga? Lucu sekali. Aku menyiapkan makan malam untuk kamu, mungkin sudah sedikit dingin. Biar kupanaskan ya. suara lembut Siera kembali mengalun indah. Dan lagi-lagi hanya anggukan yang Raga beri sebagai jawaban. Dia tidak lapar. Ghinata telah melunturkan nafsu makan Raga dan menggantikannya dengan rasa muak. Namun lantaran tak ingin mengecewakan Siera yang sudah susah payah menyiapkan, ia terima saja tawaran dari sang kekasih kendati sebenarnya Raga masih memikirkan wanita lain. Istrinya ...yang terlampau menyebalkan hingga Raga serasa ingin mencekiknya. Masih banyak hal yang rasanya perlu mereka bicarakan, tetapi wanita itu bertindak seakan Raga adalah kuman atau sejenisnya dan Ghina tak Sudi bersitatap untuk waktu yang lama. Jujur, itu melukai harga diri Raga sebab ini bukan kali pertama Ghina berlalu tanpa mau menuntaskan perdebatan mereka, gemar menghindarinya dan itu membuat Raga gemas. Selesai makan malam, Raga kembali duduk di ruang tengah sambil menatap kedepan pada layar tv yang menampilkan tayangan-tayangan membosankan. Ia sama sekali tidak tertarik, sampai Siera datang dan duduk di pangkuannya, melingkarkan lengan pada lehernya lalu mengecup puncak hidung Raga. Raga tersenyum menyambut sang wanita dengan jemari tangan naik merambah dan mengelus pinggang rampingnya. Apa kamu masih memiliki stok wine dari Henri Jayer di gudang anggur mu? tanya Siera. Raga tampak berpikir sejenak sebelum balik bertanya. Maksudmu Crosparantoux?Salah satu merk anggur termahal, harganya 4.894 USD dan tidak dijual sembarangan, Raga menyetoknya dari Perancis dan karena pihak perusahaan tak bisa menyetok banyak, mereka hanya mampu memberi tiga botol saja. Aku tidak begitu ingat, tapi botol pertama kuhabiskan bersama Rayen, dan terakhir kali mama datang meminta botol kedua. Seharusnya masih ada satu stok tersisa, aku akan membawakannya untukmu. Raga optimis sebab di dalam gudang anggur, Wine tersebut diletakkan secara terpisah dan spesial, tak ada seorangpun mengetahui. Kendati Ghina suka minum Wine, tetapi kecil kemungkinan ia berani menyentuh yang menjadi kesukaan Raga. Janji ya? Siera menuntut dengan nada manja.. sejurus kemudian menyusupkan wajah pada perpotongan leher Raga dan berbisik disana. Aku sangat menginginkannya, jadi tolong bawakan untukku, kita bisa minum bersama. Raga tak menjawab namun Siera tau kekasihnya itu akan turuti kemauannya. Empat tahun waktu yang lebih dari cukup untuk saling mengenal satu sama lain secara mendalam. Perangai Raga adalah makan minum Siera. Ia tau segalanya. Meski terkesan tertutup dan dingin, Siera mengerti keinginan Raga hanya satu yakni ... Diperhatikan. Dan seandainya ia lah yang menempati posisi Ghinata. Siera jamin Raga akan mendapatkannya setiap detik. Ya ... Seandainya...Sepanjang malam selama empat tahun terakhir yang dilakukan Siera hanya berandai. Kehidupannya tak pernah berjalan mulus. Dulu Siera bekerja sebagai seorang office girl di Perusahaan ayah Raga, ia tidak mampu mendapatkan posisi lebih layak dikarenakan hanya lulusan SMA. Bekerja pada sebuah perusahaan raksasa pun ternyata tak lantas membuat Siera lepas dari berbagai macam jerat intimidasi. Dia sering menjadi korban perundungan rekan-rekannya dan entah kebetulan seperti apa yang membuat momen tersebut selalu tertangkap oleh Raga. Lelaki itu ... kendati ia berusaha untuk tak peduli, tetap saja sisi kemanusiaannya menggelegak. Terlebih fakta bahwa Siera hanya sebatang kara menambah rasa prihatinnya. Siera dengan tubuh kurus dan kulit pucat tampak sangat rapuh, yang mana membuat Raga tertantang untuk melindungi wanita itu. Setelah aksi penyelamatan, mereka menjadi dekat. Raga perlahan-lahan menyadari ketergantungan Siera terhadapnya dan begitupun sebaliknya. Kepatuhan Siera membuatnya senang, gadis itu siap diperintah dan hal itu mencipta kepuasan tersendiri untuk Raga. Sebagai lelaki dengan tingkat dominasi tinggi, wanita dengan kesan tak berdaya seperti Siera jelas merupakan tipe idealnya. Namun Raga terlalu gengsi untuk bertingkah secara transparan. Hingga pada suatu hari, Siera memulai lebih dulu, memberanikan diri menyatakan perasaan yang dipendamnya, mengaku bahwa ia mencintai Raga.Raga dengan senang hati menerima pengakuan wanita itu. Mereka berdua pun resmi menjadi sepasang kekasih, namun naas hubungan tersebut berhasil diendus dan ditentang habis-habisan oleh sang Ayah. Ia bahkan memecat Siera. Awalnya Raga yang memang tak memiliki perasaan apapun selain ketergantungan sekaligus keprihatinan akan kondisi Siera, tak berniat mengambil tindakan apapun, akan tetapi melihat bagaimana Siera berusaha keras untuk datang padanya, mengatakan bahwa ia mencintai Raga begitu besar dan hanya Raga lah yang siera miliki di Dunia ini sebab keluarganya sendiri telah meninggalkannya. Gejolak ingin melindungi dalam diri Raga tak bisa lagi diajak kompromi. Raga memang tak terang-terangan menentang, namun sedikit bermain licik dimana Siera berhasil ia sembunyikan dari jangkauan sang Ayah. Dan saat berpikir jika semua akan baik-baik saja dibawah kendalinya, kesepakatan gila justru menjerat ia bersama Ghinata, wanita berperilaku buruk bersama ayahnya yang meski tengah berada diambang maut namun masih terlampau cerdas dalam memanfaatkan situasi. Keputusan Ghardana bukan saja merusak seluruh rencana Raga tetapi juga angan-angan Siera yang memang sudah kecil harapan sejak awal, menjadi sepenuhnya sirna. Siera ... panggil Raga karena wanita itu hanya diam dengan deru nafas teratur, saat ia periksa ternyata Siera sudah tertidur. Efek kelelahan bekerja ditambah lagi sempat menjadi korban penganiyaan Ghina, itu pasti menguras tenaga. Menghembuskan nafas pelan, Raga dengan hati-hati menggendong Siera menuju kamar wanita itu lalu membaringkannya di ranjang, Raga mengecup kening Siera penuh sayang. Namun kala hendak berbalik, suara serak Siera kembali terdengar. Wine ... sebut wanita itu, samar dalam lelapnya.Raga tersenyum kecil menyadari betapa Siera menginginkan anggur tersebut hingga terbawa mimpi. Dan Raga sudah berjanji akan membawakanya saat ia kembali. Melirik jam tangan yang sudah menunjukkan angka nyaris tengah malam, Raga putuskan untuk pulang. Siera sudah tidur. Tidak ada lagi alasan Raga untuk tetap tinggal karena dirinya memang tidak terbiasa menginap di tempat sederhana. Lagipula .... Ranjang Siera terlalu kecil untuk mereka berdua.
Chapter 6Ghina eratkan selendang yang membungkus tubuh berbalutkan gaun tidur bertali tipis miliknya, ketika udara dingin berhembus melalui cela jendela. Malam sedang pekat, tidak ada bintang. Tampaknya sebentar lagi akan turun hujan sebab langit mulai bergemuruh.Menuang kembali wine kedalam gelas tangkai kesukaannya, Ghina meneguknya perlahan--kemudian mendesah. Rasa Wine satu ini berbeda, Ghina tidak tahu mereka punya koleksi yang seperti ini, dan dia juga tidak mengerti mengapa orang-orang menaruh Wine dengan rasa terbaik pada sudut ruangan yang jarang dijangkau. Sudah berapa lama kamu disembunyikan, hm? Kamu harus berterimakasih karena aku berhasil menemukan dan mengeluarkanmu dari kotak gelap itu. Monolog Ghina pada botol wine dihadapannya. Ya ... Ya, katakanlah dia Gila, ini efek sebab terlalu lama kesepian. Drrttdrrtt ...Getar di ponsel Ghina membuatnya meraih benda tersebut, dan begitu nama Gerald tertera di layar, senyum pada wajah redupnya mengembang. Belum tidur? Suara Gerald terdengar parau di seberang sana.Tadinya sih udah tidur, tapi mimpi buruk, sahut Ghina. Mimpi itu lagi?Hm .. Masih sering? Semenjak keluar dari rumah udah jarang kok. Cuma beberapa kali.Gerald ber-oh ria seadanya. Sekarang lagi ngapain? Minum. Ghina teguk wine-nya lagi. Di gudang anggur. Bisa hentikan kebiasaan itu? Ini udah mau tengah malam lho. Ghina tersenyum kecut sambil menggoyangkan tangkai gelas. Nggak bisa dan nggak mau. Masih mending aku lampiasin bareng wine, daripada rokok atau ekstasi? Gerald terdiam cukup lama. Mereka terlibat keheningan panjang sebelum Gerald kembali bicara. Gatra-Jangan sebut namanya. sergah Ghina, tanpa sadar setengah membentak. Jangan bahas dia atau aku tutup telfonnya, ancam wanita itu dengan nada datar dan dingin.Helaan nafas Gerald terdengar jelas. Menyayangkan sikap Ghina yang ternyata masih belum bisa berdamai dengan masa lalu. Suamimu tau kamu suka minum di jam segini? Pembicaraan pun dialihkan ke topik lain.Dia tahu, ungkap Ghina. Dan dia tidak masalah? Apanya yang harus dipermasalahkan? Dia bahkan tidak peduli ... batin Ghina. Sepersekian detik lalu tersenyum miris mendengar pertanyaan Gerald yang terdengar lucu di telinganya.Ghina ...Hm?Kenapa tidak menjawab?Topik pribadi rumah tangga bukan sesuatu yang patut dibicarakan dengan orang lain, Gerald.Jadi aku orang lain, Ghina? Hening .... Ghina diam, dan Gerald menandai keterdiamanya sebagai bentuk keengganan wanita itu untuk bicara lebih lanjut. Gerald sadar ternyata sang sahabat sudah mulai belajar menyembunyikan sesuatu darinya. Suara kamu beda, kamu sakit?Efek terlalu banyak minum, maybe? Hentikan sekarang juga, Ghina! Nada Gerald terdengar lebih tegas sekaligus menuntut. Lagi-lagi Ghina hanya tersenyum bersamaan dengan langit yang mulai menjatuhkan rintik-rintik hujan. Tidak deras, namun cukup membuat Ghina kembali merasakan sepi yang nyata. Gerald ... panggil Ghina lirih. Terdengar kurang bersahabat, Gerald menjawab. Apa?Terimakasih sudah mempedulikanku. Selain Gerald, tidak ada lagi orang yang melarang Ghina melakukan apapun, tak ada yang menegurnya. Jika ia sakit, para maid tentu mengurusinya, namun Ghina tau itu dilakukan hanya sebatas penunaian kewajiban sebagai pelayan. Tidak ada yang benar-benar khawatir, tidak ada yang benar-benar prihatin akan kondisinya. Mungkin sekalipun ia ingin bunuh diri ... Tidak ada yang peduli.Ah, andai sang ayah masih hidup atau paling tidak ... ibunya tak terbaring di rumah sakit, mungkin Ghina masih bisa tersenyum senang di dalam lingkup keluarga ideal, yang menyayangi ia lebih dari apapun. Memang masih ada Gerald disini, tetapi sampai kapan pria itu akan betah menjadikannya prioritas? Suatu saat Gerald pasti akan menikah, prioritas utama jelas istri dan anaknya. Lalu siapa Ghina? Jelas ia akan terlihat begitu tak tahu diri jika saat itu tiba dan ia masih berharap Gerald memperhatikan dirinya dengan cara yang sama seperti sekarang. Yup, pada akhirnya ... Ghina akan benar-benar sendirian. Tapi tidak apa-apa, kan? Setidaknya punya banyak uang. Uang bisa melakukan segalanya. Sayangnya, uang tidak bisa membeli ... seorang teman.Ghina tidak pernah benar-benar merasa salah atas setiap keputusan yang ia buat dalam hidupnya. Tetapi akhir-akhir ini ... lambat laun rasa sesal akan keangkuhan yang sejak dulu ia pertahankan mulai menggerogoti. Lihatlah buah akibat dari keengganannya mencari banyak teman. Ghina sungguh kesepian. Aku mengantuk. Kita sudahi ya, tutur Ghina pelan, mulai merasa tak nyaman. Untungnya Gerald mengerti dan ia setuju untuk mengakhiri obrolan mereka. Istirahatlah. Have a nice dream, sweetie. Hm, kamu juga. Dan sambungan pun terputus. Bersamaan dengan itu tiupan angin kencang menulusup masuk melalui jendela, aroma khas kayu basah menyeruak masuki indera penciuman Ghina yang membuatnya refleks memejamkan mata.ketika mendengar ketukan sepatu pada ubin lantai serta derit pintu gudang yang perlahan terbuka, Ghina tergelak. Sementara Raga datang dengan dipayungi anak buahnya.Tatkala lelaki itu meyakini akurasi pandangan pada seorang wanita yang tak lain adalah istrinya, segera ia perintah anak buah tersebut untuk pergi meninggalkan mereka berdua. Menutup pintu, Raga dengan pembawaan dingin dan santai seperti biasa berderap dekati Ghina, tepatnya hendak melewati wanita itu saat Ghina lebih dulu menahan langkahnya dengan seutas kalimat menyebalkan. Kok pulang? Nggak jadi tidur sama jalang itu? Raga merapatkan rahangnya. Menolak dorongan untuk tidak menanggapi ocehan sang istri. Jaga mulut kamu. Ghina terkekeh sekilas penuh drama sambil melakukan kebiasaan menggoyangkan tangkai gelas wine di tangannya. Ngomongin fakta masa nggak boleh sih? Ah .. inilah Ghinata, gemar memancing emosi Raga lalu ketika suaminya menanggapi lebih jauh, menghindar adalah cara wanita itu untuk lolos dari jerat perdebatan mereka, pergi setelah berhasil membuat kekesalan Raga memuncak. Mendengus, kini Raga benar-benar berderap mendekati Ghina yang masih duduk di kursinya. Ia maju dengan dagu terangkat dan tatapan tajam. Kita terbiasa mengurusi hidup masing-masing, kenapa jadi suka mengusikku begitu tau aku punya wanita lain? Selama ini kemana, hm?Menelusup kan kedua tangan kedalam saku celana, Raga mengubah caranya menatap Ghina dengan memicing remeh, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. Jangan katakan... kamu cemburu?Tawa Ghina lantas menyeruak, beradu dengan bunyi rintik hujan. Cemoohan turut ia selipkan dalam nada tawanya. Sir, look at me.Apa aku terlihat cemburu? Tingkat kepercayaan dirimu menggelikan. Ghina kembali tertawa, kali ini dengan telunjuk terangkat mengarah ke sembarang arah. Siera ... Wanita kumuh itu tak sebanding denganku. Jangankan cemburu, insecure saja tidak ada sejengkal pun.Mungkin Ghina baru akan merasa seperti itu jika selingkuhan Raga sekelas putri presiden dengan wajah Kendal Jenner dan tubuh Kim Kardashian. Tapi apa yang bisa diirikan dari Siera disaat kelas mereka bahkan berbeda? Kasta mereka jelas tak sama. Puas menertawai Raga, Ghina memegangi perutnya seraya menggeleng. Ada yang salah dengan seleramu, Raga. Dia bahkan tidak lebih berkelas dari Hana, kamu tau? Hahaha.Hentikan, peringat Raga bersama sepasang tangan terkepal. Akan tetapi Ghina tampak tidak terpengaruh. Coba pikirkan berapa banyak cemoohan yang akan kamu dapati hanya dengan membawanya ke pesta para petinggi?AKU BILANG HENTIKAN!! APA?! Bentak Ghina tak kalah keras. Gigi-gigi Raga bergemeretak kala hendak membawa wanita itu lebih dekat dengan cara menarik kasar selendangnya, yang malah membuat helaian tersebut terjatuh di bawah kaki Raga, menyisakan tubuh Ghina hanya dengan balutan gaun malam tipis saja. Sesaat membaca pergerakan Ghina yang cepat-cepat ingin memungut kembali selendangnya, secepat itu pula Raga sengaja menginjak dan menahannya dengan pantofel yang melapisi kaki lelaki itu. Sambil menyeringai Raga amati betapa risihnya Ghina saat berpenampilan terbuka di hadapannya. Mulut kurang ajar yang sejak tadi tak berhenti berceloteh kini terbungkam erat. Usaha Ghina mengalibikan pandangan ke arah lain sia-sia sebab tatapan mereka kembali bertemu ketika pada bahunya yang terbuka ... Raga letakan telapak tangannya yang dingin dan kasar. Sedikit meremas, pria itu berdesis samar. Berhenti bersikap toxic, kamu justru terlihat menyedihkan.Ghina bergerak mundur setengah langkah dengan cengkraman Raga yang masih bertengger di atas kulitnya. Selanjutnya kembali terdengar bisikan kasar Raga, napasnya yang terasa panas menyapa permukaan wajah Ghina sambil ia sapukan pandangan pada keseluruhan tubuh milik sang istri. Kamu kenapa, hah? Kesepian?Tuduhan itu beralasan, Raga peka terhadap tingkah Ghina yang biasanya tak acuh menjadi suka mengusik, seakan butuh perhatian dan tak terima diabaikan. Padahal wanita itu jelas terbiasa tak diperhatikan Raga, begitupun sebaliknya. Di sisi lain, mendengar tudingan berupa fakta yang keluar langsung dari mulut suaminya, Ghina pias.Apakah ... sekentara itu?Resah sebab motif yang sendirinya tak ia mengerti perlahan terkuak di depan Raga, Ghina menghempas tangan lelaki itu dan menjauh, ia raih kembali botol wine di atas meja bermaksud membawanya ke kamar namun lagi-lagi kalah cepat dari Raga yang merampas botol itu, tak sengaja mengamatinya dan kemudian tersadar jika Wine yang sejak tadi diteguk Ghina adalah Wine yang dimintai oleh Siera.Shit!Mengingat butuh waktu berminggu-minggu untuk mendatangkannya kembali sedangkan Siera begitu menginginkannya saat ini, percikan amarah berkobar dalam diri Raga, tingkat emosinya memuncak dan ia ... Siap murka. Siapa yang menyuruhmu meminumnya? desis Raga penuh tekanan. Ghina menatap Raga gelagapan kemudian menatap botol wine di tangan lelaki itu yang sudah hampir habis. Reaksi Raga seolah menerangkan bahwa Ghina telah melakukan kesalahan tak termaafkan.KATAKAN SIAPA?! Lelaki itu kembali mendesak. K-kenapa kamu membentak?! Ghina tak suka dibentak, ia benci seseorang berteriak padanya. Karena kamu telah melewati batas! Hardik Raga tajam.Tubuh Ghina menegang mendengar suara serak yang tak hanya mengubah atmosfir jadi mencekam tapi juga terasa seperti sebuah ultimatum kematian di telinganya. Entahlah, Ghina hanya merasa takut akan aura intimidasi Raga yang terasa lebih kuat dari biasanya. Lelaki itu seolah siap mematahkan batang leher Ghina saat itu juga.Aku hanya minum--Ini milik Siera! Aku sudah janji akan membawakannya untuknya, dan lihat apa yang kamu lakukan?Oh ... Jadi ini karena perempuan itu. Pantas saja ... Ghina membatin jengah.Meminum hingga nyaris tandas? Sialan! Memberi kuasa atas gudang anggur ini padamu bukan berarti kamu bisa bersikap seenaknya!Raga berderap perlahan namun tiap langkahnya terasa seperti ancaman yang membuat Ghina mundur secara naluriah.Kamu memang menantu kesayangan ayah, tapi ingatlah sebagai istri statusmu hanya diatas kertas. Apa harus aku ingatkan kembali agar kamu tetap pada batasan, hah? Oh, lihatlah betapa Raga bertindak terlalu eksesif hanya karena Ghina mengusik sesuatu yang telah diklaim sebagai milik kekasihnya. Raga yang selama ini bahkan nyaris tak pernah membentaknya ... Brengsek ... Ghina berdesis nyaris tak terdengar saat Raga berbalik, meninggalkannya sambil meletakkan botol wine tersebut secara kasar pada sudut meja. Masih tersisa sedikit ... lirih Ghina yang sekali lagi berhasil menghentikan langkah tegas Raga. Lirikan tajam ditujukan lelaki itu untuk sang istri lewat punggungnya yang besar dan tegap. Ia tahu Ghina akan semakin memecahkan amarahnya namun tetap saja ia menunggu apa yang hendak wanita itu ucapkan.Wine-nya ... masih tersisa, bawa saja untuk jalang itu, karena wanita seperti dia juga pasti sudah sering terima bekasan, kan? ucap Ghina dengan senyum sinis khas dirinya. Tanpa aba-aba Raga berbalik dengan murka sembari menyambar botol wine yang baru saja ia taruh di atas meja, dan dalam sekejap mata melemparkannya ke arah Ghina. Lantas saja ... Perpaduan antara teriakan kencang wanita itu serta bunyi kaca yang beradu dengan dinding memenuhi ruangan tersebut.Nyaris ... nyaris saja hampir mengenai Ghina sebelum pecahan-pecahan tersebut akhirnya berserakan dilantai tempatnya berpijak. Adapun hal yang membuat Raga ikut terkejut hingga nyaris terhuyung, sesaat setelah suara bising itu terdengar adalah karena tingkahnya sendiri. Raga kehilangan kontrol diri. Dan ia tidak pernah seperti ini sekalipun usai meninggalkan fase remajanya yang kelam. Raga pada dasarnya bukan seorang tempramen akut, ia juga bukan tipe yang mudah kasar terhadap wanita, tetapi dengan Ghina... berbeda. Sial! Ia hampir menyakiti fisik wanita itu melalui cara paling jahat. Tidak ... tidak, sasaran Raga sedari awal memang bukan Ghina, itulah kenapa lemparannya meleset. Kini dihadapannya, hanya ada wanita yang seolah ditinggal daya tubuh. keringat menganak sungai di pelipis dan sekitar dahi Ghina. Tubuhnya gemetar, tatapannya hampa bak orang yang tengah diserang ketegangan emosional. Dan di detik yang sama, Raga melihat sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya yaitu ... tangisan Ghinata. Istrinya terisak seraya mengencangkan tangan untuk menutupi kedua telinga. Belum cukup sampai disitu, seolah bukan dirinya Ghina juga menggumamkan kata maaf berkali-kali yang mana hal itu berhasil membawa ribuan Godam menghantam dada Raga oleh rasa bersalah. Tapi Ghina berucap dengan nada kosong. Bukan kemauannya tetapi seakan sudah terdoktrin di otaknya. Sesuatu yang tidak Raga ketahui adalah saat ini istrinya hanya tengah dirasuki sekelebat bayangan dari masa lalu. Ketika lelaki itu maju satu langkah hendak meraih Ghina, Ghina terlihat was-was. Air matanya kembali menetes, sesak. Ia beringsut menjauh walau tanpa tenaga.Raga membuatnya takut ...Ghina terus terisak berusaha menutup telinganya saat Raga menyebut namanya, dan disaat yang sama, Hana masuk, gadis itu panik seketika kala melihat Ghina yang berjongkok sambil terisak kencang sedang dihadapanya, sang Tuan berdiri dengan wajah pias. T-tuan, apa yang anda lakukan?Hana tak mampu menyembunyikan keterkejutannya, ia berhambur ke arah Ghina lalu memeluk tubuh sang Nyonya yang sudah sangat bergetar dan pucat. Nyonya ... Membawa Ghina berdiri dengan susah payah, Hana memberi siratan tak senang untuk Raga yang masih terpaku terus memandangi Ghina. Anda bebas melakukan apapun karena anda Tuan di rumah ini. Tapi bisakah untuk tidak bersikap kasar terhadap nyonya? Dia menyebalkan tapi sekalipun dia tak pernah mengusik kehidupan anda. Meski bersikap seenaknya di rumah ini tapi dia selalu tau batasannya jika itu berhubungan dengan anda, dan hanya satu kesalahan anda nyaris melukainya? Ini kali pertama dimanamaid yang selalu dibawa Ghina ikut bersamanya, yang katanya telah menjadi tangan kanan Ghina sejak masih kanak-kanak itu berani melemparkan tatapan tak suka yang begitu kentara pada sosok Raga.Tuan bisa menghukum saya atas kelancangan saya, tetapi kali ini Tuan memang sudah keterlaluan. Setelah mengatakan kalimat yang menguras habis sisi keberaniannya, segera Hana membawa sang majikan keluar melewati Tuannya. Ia tidak lagi memikirkan bagaimana nasib dirinya jika Raga benar-benar tersinggung, karena yang ada dipikiran Hana hanyalah membawa Ghina menjauh, menenangkan serta mengembalikan kesadaran wanita itu dari jerat traumatis yang ia derita. Oh, haruskah Hana memanggil psikiater? Tapi Ghina akan marah jika tahu Hana membawa masuk psikiater ke rumah ini tanpa ijinnya, sebab Ghina benar-benar tak ingin seorang pun tau akan kondisi psikisnya yang ternyata jauh dari kata baik-baik saja.
Chapter 7Kapan terakhir kali seorang Naraga diterpa rasa bersalah terhadap istrinya sendiri? Ah, rasanya hampir tidak pernah. Hubungan mereka terlalu dingin, terlalu asing. Jarak yang tercipta terlalu jauh. Tetapi untuk pertama kalinya setelah dua tahun masa pernikahan, timbul sebuah kekeliruan dalam hati Raga yang mana itu berkenaan dengan Ghinata. Raga merasa keliru akan perbuatannya pada wanita itu. Merutuk karena tak seharusnya ia melakukannya. Ya, Hana benar ... Raga sudah keterlaluan. Tapi itu sungguh diluar kendali. Raga bahkan menyadari bahwa dirinya telah lost control begitu menangkap bagaimana Ghina bereaksi.Respon yang ditunjukkan wanita itu sangat diluar dugaan dan Raga tak mampu menyepelekan hal tersebut. Ghina ... dia jelas tidak baik-baik saja.Sorot matanya yang mendadak kosong cukup untuk menerangkan bahwa ada yang tidak beres dari wanita itu. Sial! Ini benar-benar mengganggu, tapi Raga terlalu gengsi untuk sekedar menghampiri dan menanyakan pada Hana, maid yang sepertinya tau banyak hal itu, tentang kondisi Ghina. Pada akhirnya, yang bisa Raga lakukan hanyalah berusaha untuk memadamkan ketidaknyamanannya atas sikap sang istri—bersama beberapa tegukan wine. Hal itu berlangsung bermenit-menit lamanya hingga bayangan wajah sembab penuh air mata kembali mengusik konsentrasi Raga. Baik, cukup sudah! Raga tidak lagi mampu mengatasinya, persetan dengan apa saja, karena sekarang juga ia hanya akan datang pada Ghina, mungkin meminta maaf, lalu memaksa wanita itu bicara perihal apa yang baru saja ia saksikan. Hujan mengguyur semakin deras namun tidak lelaki itu pedulikan, ia berjalan kembali menuju mansion utama walau dengan basah kuyup. Para pelayan beserta anak buah menyambutnya kebingungan, beberapa dari mereka cekatan menawarkan handuk dan jubah penghangat tetapi Raga mengabaikannya. Langkah yang terkesan tergesa benar-benar hanya terfokus pada satu area, yakni kamar Ghina di lantai tiga. Hal itu pun lantas membuat level ingin tahu para penghuni mansion kian meningkat. Pasalnya sang Tuan memang terkesan jarang menjejaki kaki disana sebab semua orang tahu lantai tiga merupakan wilayah kuasa Ghinata. Berdiri tepat di depan kamar istrinya, Raga dengan kondisi masih basah kuyup itu justru mendadak gentar. Gagasan mengenai Ghina yang akan menolak kehadirannya seperti biasa, kembali hadir. Tapi Raga tegaskan dia tidak datang untuk itu. Untuk sebuah penolakan.Sudah sejauh ini ... Dia tak mungkin menemui Ghina jika bukan untuk menuntaskan rasa penasarannya.Bersamaan dengan tarikan napas panjang, Raga ulurkan tangan menyentuh kenop pintu kemudian mendorongnya agar sedikit terbuka menampilkan cela. Lelaki itu hendak menerobos masuk jika saja siluet Hana yang sedang menyelimuti Ghina dengan ketenangan extra berhasil mengurungkan niatnya. Tidak ada pergerakan dari tubuh istrinya yang berbaring membelakangi pintu masuk, perempuan itu seperti sudah terlelap damai disaat Raga justru berpikir bahwa dia masih terus menangis. Detik demi detik berlalu dengan Raga yang masih betah berdiam di dekat pintu, hingga tatkala menangkap pergerakan Hana akan berdiri usai terlihat merapikan anak rambut Ghina, segera Raga rapatkan kembali cela pintu—lalu menyingkir secepatnya dari sana. Tak ingin tertangkap basah saat sedang peduli pada sang istri. Karena usai dapati fakta bahwa Ghina sudah lelap saja ... entah kenapa terasa mampu melunturkan satu beban yang semula menyesaki dada Raga. Pemandangan Ghina saat tidur, seperti bayi... wajahnya begitu tenang, tanpa tampang arogan sebagaimana biasanya kala wanita itu berdiri dengan eksistensi seorang GhinataFreya yang sombong dan paling menjunjung tinggi harga diri. Bersama pandangan yang tertuju pada mata sembab sang nyonya, nafas Hana berhembus pelan. Memasang topeng setiap saat ... apa tidak lelah? Hanya demi tak diinjak-injak Ghina menyematkan perilaku bertentangan dari perangai aslinya. Namun ini lah yang terjadi jika puncak ketahanan berada di ambang batas, kan? Hanya tangis yang mampu mengekspresikan seberapa rapuh Nyonya-nya. Sebab sehancur apapun Ghinata sekarang, ia tetap tak akan mau bicara. Wanita itu egois dengan selalu menyembunyikan apapun termasuk kesakitan nya seorang sendiri. Bagaimana Hana bisa tau? Pikirkan saja, apa yang tidak ia ketahui sebagai orang yang telah mendampingi Ghina selama belasan tahun lamanya. Apalagi usia mereka hanya terpaut tiga tahun, dengan Hana yang lebih muda. Dulu ... sewaktu kecil, Hana pernah ditelantarkan oleh ibunya yang bekerja sebagai PSK, Hana dipungut oleh ketua preman di daerahnya untuk dijadikan pengemis bersama anak-anak jalanan lainnya. Namun semua berubah kala Tuan Ghardana yang sangat baik hati itu bersedia memberikan kehidupan lebih layak untuknya sebagai bentuk terimakasih hanya karena Hana membantu mencegat seorang pencopet yang hendak menjadikan Tuan Ghardana sebagai korban. Usia Hana masih 7 tahun saat ia dibawa tinggal bersama keluarga Ghardana. Dan disanalah kali pertama ia bertemu dengan nyonya Miranda, Ghinata, dan kakak laki-laki nya ... Gatra. Mengingat betapa besar Jasa keluarga itu terhadap hidupnya membuat Hana akhirnya memutuskan untuk selalu mengabdikan diri kepada Ghina. karena setelah semua kekacauan, hanya wanita itu yang ditinggalkan.Dan Hana ... ia pun sama. seburuk apapun keadaan mereka, Hana bersumpah ia akan selalu berada di sisi Ghina untuk menguatkan, tak peduli seberapa rendah wanita itu memandangnya hanya sebatas kacung bawahan, Hana benar-benar sudah membiasakan diri. Sebab ia cuma ingin memastikan bahwa salah satu orang yang berperan penting dalam memperbaiki hidupnya ... selalu baik-baik saja. °°°Pagi menjelang, Raga hampir siap dengan setelan jas kantor yang membalut rapih tubuhnya, menyematkan arloji pada pergelangan tangannya, dan terakhir adalah memasang simpul dasi. Semua dilakukan secara mandiri. Jika anak dakjal a.k.a Rayen, sahabatnya tau bahwa Raga yang sekarang beristri tak ada bedanya dengan Raga yang dulu masih Jejaka, pria itu akan menertawai nasibnya hingga terpingkal. Sejurus kemudian barulah Rayen pamerkan betapa harmonis rumah tangganya, tentang istrinya yang begitu patuh dan perhatian dari mulai membuatkan sarapan, menyiapkan Jas, menautkan simpul dasi, sampai menunggunya pulang kerja. Seluruh pengakuan tersebut sungguh membuat telinga Raga panas sebab tak ia dapatkan perlakuan semacam itu dari istrinya. Tapi bukankah itu kemauannya? Itu yang ia inginkan dan Ghina hanya bertindak sebagai mana mestinya. Lalu siapa yang pantas disalahkan atas keadaan ini? Tentu saja, Ayah Raga dan ... Mendiang Ghardana. Mereka terlalu memaksakan kehendak. Tanpa mau tahu jika Raga dan Ghina sama-sama enggan saling memperjuangkan.Selesai bersiap-siap, Raga bergegas turun dari kamarnya di lantai dua, dan menemukan sosok Ghina di meja makan, sedang mengoleskan selai pada Rotinya. Raga memperhatikan wanita itu seiring langkahnya mendekat. Ghina bertampilan seperti biasa, bersikap seperti biasa. Ia bahkan tak repot-repot melirik saat Raga duduk pada kursinya.Disaat-saat tertentu Ghina memang terlihat pandai mengendalikan diri, seperti sekarang saat ia bersikap seolah semalam tidak terjadi apa-apa. Namun ada yang berbeda dari sesi sarapan bersama mereka pagi ini, dimana Raga menyadari bahwa mereka tidak pernah secanggung ini sebelumnya. Terbiasa mengabaikan satu sama lain memang iya, tapi Ghina yang hanya diam, berwajah datar, makan dengan tenang bahkan nyaris tak menunjukkan gerakan apapun selain tangan-tangannya yang sibuk dengan pisau dan garpu, sedikit banyak mengusik konsentrasi Raga. Membuatnya terus-terusan melirik istrinya itu. Jelas, Ghina masih marah atas perlakuannya. Dan Raga baru tahu jika diamnya seorang wanita sebab marah ternyata lebih meresahkan daripada mereka menunjukkannya secara gamblang. Ghina biasanya suka sarapan dengan satu tangan yang mengotak-atik ponsel atau membolak-balik halaman majalah, lalu sesekali terkikik tanpa sebab. Tapi hari ini Raga tak melihatnya. Ghina yang berhadapan dengannya sekarang terlalu tenang. Ingin minta maaf, Raga enggan usai melihat Ghina terlampau mengacuhkannya tak tanggung-tanggung. Tetapi ikut mendiamkan diri dan membuat keduanya tenggelam dalam lautan kecanggungan juga bukan pilihan yang bagus. Ekhem. lelaki itu berdekhem singkat, berharap mendapatkan satu saja lirikan tajam Ghina. Namun nihil. Fokus wanita itu persis seperti siswa yang sedang memecahkan soal ujian Nasional. Tak terpengaruh oleh apapun. Dan bisa-bisanya Raga kesal karena itu ... Keheningan kembali menyelimuti. Kali ini Raga benar-benar berusaha abai, persetan dengan Ghina dan tingkah anehnya itu. Toh ia sudah berusaha membangun percakapan tapi tak dipedulikan. Deringan nada terdengar dari ponsel Raga, langsung ia ulurkan tangan dan mengecek siapa pengganggu paginya yang ternyata adalah sang kekasih, Siera. Siera menelpon, sementara Raga tidak dalam kondisi baik untuk menjawab atau menanggapi segala ucapan manis wanita itu. Entahlah ... Ia hanya sedang tidak mood. Akan tetapi pada panggilan kedua ia putuskan untuk menerima dan bicara. Ada apa? tukasnya datar. Selamat pagi ... sahut nada riang tersebut. Dan Raga membalas dengan Ya.Kok nggak bales ucapan selamat paginya?I'm having breakfast, sanggah lelaki itu cepat. sohurryupand talk, tandasnya yang membuat Siera terbungkam cukup lama. Sedang Raga beralih menatap Ghina dengan ujung matanya. Aku akan ke kantor kamu buat bawain makan siang, tenang. Pakai mode penyamaran kok. Jadi jangan lupa ingetin sekretaris kamu untuk biarin aku masuk. Raga hanya ber-hmm ria.Sesaat mengamati Ghina hendak mengangkat wajah untuk pertama kalinya sejak ia duduk disana, tanpa peringatan Raga matikan sambungan telepon nya dengan Siera. Tenang saja ... Siera bukan jenis kekasih yang berani mengomelinya untuk hal sepele semacam itu. Terlihat Ghina sedang mengambil beberapa lembar roti, menumpuknya diatas piring, sebelum memaku pandangan pada wadah berisi lembaran keju yang ternyata lebih dekat pada sisi suaminya. Dan tanpa wanita itu ketahui, pada detik dimana ia mendongakkan kepala, disaat itulah jantung Raga serasa mencelos melihat mata yang selalu memancarkan kilat arogansi itu berubah menjadi sayu dan bengkak pada bagian kantung—Menandakan jika Ghina telah menangis banyak. Damn. Ghina sukses membuat Raga kembali merasa Bajingan. Ketakutan nyata yang wanita itu tunjukkan, tangisannya, semua bentuk kerapuhan yang semalam menggelisahi tidur Raga kembali menyapa pagi ini.Akan mudah jika istrinya mengindikasikan watak tersebut sejak awal Raga mengenal wanita itu. Tetapi ini ... adalah momen langka bahkan nyaris tak pernah terlintas bahwa Ghina akan berubah drastis secepat itu hanya karena nyaris ia kasari. Tanpa mengalihkan pandangan, suara berat Raga mengudara. Ghina ..Hana! cegat Ghina sengaja memanggil pelayan pribadinya. Tak butuh waktu lama untuk Hana datang menyambangi sang majikan. Iya nyonya? Bawakan Roti dan susu ini ke Taman belakang, ucap Ghina, sekilas melirik Raga dengan dingin—sebelum beranjak dari duduknya.Mendadak aku ingin sarapan disana saja. Dan setelah itu ia benar-benar pergi meninggalkan Raga bergeming di tempat, menatap punggung istrinya menjauh dengan Rahang yang mengetat marah. Sial! Lagi-lagi untuk kali pertama sejak berumah tangga, Naraga merasa benar-benar terganggu akan ketenangan yang tercipta diantara ia dan Ghinata. ***
Chapter 8Brak!Pertemuan antara tebalnya berkas dengan meja kaca keras mencipta bunyi yang menginvasi ruangan dimana seseorang sedang marah-marah. Maklum, sejak menapaki kantor pagi tadi, Naraga memang sudah memancarkan aura tidak mengenakan, dan nasib naas berturut turut menimpa dua orang karyawan yang tengah menjadi sasaran amukan oleh sang atasan. Kalau sudah nggak niat kerja, ajukan Resign!’’ Yang dimarahi hanya bisa terdiam seribu bahasa. Mau ngebantah takut dipecat. Susah jadi bawahan mah, Kalau boss besar bilang salah ya salah, meski nggak diperlihatkan secara gamblang- letak kesalahanyadimana. Bawa dan perbaiki, lembur atau tidak, pastikan malam ini juga selesai. Baik, Pak. Pemuda bertampilan klimis itu pun undur diri. Telinganya sudah panas sedari tadi, jadi ia tak ingin membuang-buang waktu lagi saat disuruh pergi. Berada satu ruangan dengan Naraga mode PMS memanglah membuat batin tersiksa. Dan bertepatan dengan keluarnya ia dari ruang tersebut, seorang wanita berpakaian kasual sederhana-dengan sebagian wajah tertutup masker pun masuk. Siera tersenyum kecil saat turut merasakan aura mencekam yang diciptakan oleh kekasihnya di dalamnya sana. Kamu marah-marah lagi, ucap wanita itu pelan dan ramah. Sedang Raga masih duduk di kursi sambil menautkan tangan dan menumpukan siku diatas meja kebesarannya, berwajah datar seperti biasa. Kali ini karena siapa?Meletakkan paperbag berisikan makan siang diatas meja tamu, Siera masih terus mencoba membangun percakapan meski Raga terlihat enggan. Kalau itu masih tentang istri kamu, aku harap kamu harus belajar mengabaikannya seperti dulu, bila perlu jangan terlibat pembicaraan apapun karena ujung-ujungnya kamu yang bakal tersulut. Kini pandangan Raga mulai teralih padanya walau masih setajam saat ia mengomeli karyawan barusan. Tapi itu bukti bahwa kalimat Siera ampuh menarik perhatian Raga. Aku benar kan? Apa yang enggak aku mengerti dari kamu. Siera kembali melemparkan senyum tulus terbaiknya. Ia mendekati Raga, mengelus bahu pria itu sesekali memijit pelan. By the way seperti janjiku pagi tadi, aku bawain makan siang buat kamu. Lasagna, your favorite."Mau makan bareng? Raga mengangguk, namun senyum Siera berubah kecut mendapati fokus kekasihnya tak sepenuhnya ditempat- alias mengarah entah kemana. Padahal sudah ada dirinya disini. Entahlah... mungkin tentang pekerjaan. Tidak mungkin Ghina kan? Toh jika diurutkan mengenai hal apa saja yang tidak Raga pedulikan, wanita itu pasti berada di urutan teratas, pikir Siera menyemangati batinya yang sejujurnya mulai terusik.Mereka mulai makan dalam hening, Siera bertanya apakah Raga menyukai masakannya, dan Raga berkata apapun yang dimasak Siera ia selalu suka. Suasana pun kembali hangat, Raga lagi-lagi memuji bagaimana Siera dengan segala kelembutan yang dimiliki- mampu menenangkan dirinya. Akan tetapi hawa kembali dingin saat wanita itu bertanya, Wine yang kemarin aku minta eumm ... masih ada, kan? Raga berhenti mengunyah. kata Wine mengingatkannya pada kejadian semalam. Dan mau tak mau ... Kembali Ghinatalah yang menguasai pikiran lelaki itu. Raga tidak mengerti mengapa di begitu sensitif pada hal yang bersifat lemah dan rapuh. Dulu .. ia juga merasakan ketidaknyamanan seperti ini saat melihat ketidakberdayaan Siera, dan sekarang Ghina. Sialnya, ia juga tak bisa menampik bahwa sikap acuh istrinya adalah alasan dibalik seluruh amukannya pagi ini.Raga? Soal wine- Lupakan, Ghina telah menghabiskannya. Raut kecewa tercetak amat jelas di wajah Siera, seakan tidak terima dan ingin protes, tapi tak jua melihat tampang culas Raga. Cukup mengerti kekasihnya bukan lelaki yang pandai membujuk dengan kata-kata menghibur. Dia beruntung bisa menguasai semua hal dirumah kamu, kamu beri dia hak terlepas dari ketidaksiapan nya menunaikan kewajiban sebagai seorang istri. Maksud kamu? Well, kamu sendiri yang bilang ke aku waktu itu kalau dia nggak bisa apa-apa. Dia bahkan nggak bisa masak mie instan karena kesulitan menyalakan kompor. Like .. wow, bahkan anak usia belasan bisa melakukannya. Dengan hati-hati Siera menaburkan nada candaan di akhir kalimat, yang mana itu justru terkesan sangat awkward.Ghina fobia api, ungkap Raga singkat. Sejujurnya fakta tersebut pun baru ia peroleh dari sang mertua ketika berkunjung ke rumah sakit tempat beliau dirawat--beberapa bulan usai pernikahan berjalan. Saat itu Raga paham kesalahannya yang menilai Ghina tanpa tau alasan dibalik ketidakmampuan wanita itu di dapur. Tapi terlepas dari semuanya, bukankah ini tergolong fatal? Karena ditilik dari sisi manapun, pengecualian itu sekilas telah membuat Ghina terlihat cacat untuk figur seorang istri. Oiya? Kasihan sekali. Mimik wajah Siera seakan menyayangkan hal tersebut. Ternyata ada juga yang di takuti, tandasnya bersama tatapan menerawang. Raga selesai dengan Lunch-nya meski wadah berisi makanan dihadapan pria itu masih terisi penuh, lalu ia segera beranjak dari sofa kembali ke kursi dibalik meja kerja. Siera yang masih mengunyah terus memperhatikan dalam diam, terasa sekali ada yang berbeda dari prianya hari ini. Toko kamu nggak buka? Memasang kacamata baca untuk lebih memfokuskan ia untuk meninjau berkas, Raga sempatkan bertanya pada Siera. Dipegang anak-anak sementara aku disini. Tenang aja, mereka-Sebaiknya selesaikan makanmu dan kembali kesana. Kamu sudah diberi wewenang, jadilah atasan yang bertanggungjawab. Siera pias di tempat.Raga melunturkan secercah senyumnya lagi dan lagi dengan kalimat yang jelas terdengar seperti pengusiran tersirat. Genangan air mata sulit ditepis hingga muncul tanpa sengaja di pelupuk sayu wanita itu.Tapi ia tegaskan berulang kali bahwa Raga tak suka melihatnya menangis, maka dari itu ia harus menahan sesak bagaimanapun caranya meski sulit.Siera akhirnya tersenyum berusaha terlihat tidak apa-apa, kendati jatuhnya malah kecut. Seharusnya ia sudah terbiasa terhadap Raga yang memang selalu dingin, setidaknya prinsip jika lelaki itu membutuhkannya lebih dari apapun cukup untuk membuat Siera merasa aman akan posisinya. Raga menggilainya, itu yang Siera tahu. Baiklah, kalau begitu aku pergi. Pamitnya usai membereskan barang bawaan dan kembali memakai mode penyamaran. Namun saat ia hendak berbalik, Raga memanggil, mengisyaratkan Siera kembali mendekat pada mejanya, menarik tengkuk wanita itu agar merunduk untuk sebuah ciuman dalam yang singkat. °°° 19.30 pm | Naraga'sMansion Ya! CHEON SEO JIN!Yakk! JO DAN TAE!Di sebuah courtyard berkonsep tropis yang terdapat dalam kediaman mewah Naraga, Hana bersama gagang sapu miliknya sedangkan Panji yang menodongkan senapan pajangan milik sang Tuan sedang beradu akting sekaligus adu jotos. Tak jauh dari sana, Ghina memperhatikan dengan gelak tawa yang tak bisa ditahan. Rupanya kekonyolan duo kacung tersebut tak hanya sebatas bergosip ria belaka. Lihatlah bagaimana sekarang keduanya bertingkah layaknya sedang mendalami peran tokoh antagonis dari sebuah drama yang sedang viral baru-baru ini. Ghina tahu sebab Hana pernah menyuruh ia untuk menontonnya guna mengisi waktu luang, tak lupa pula Hana mengimingi jika salah seorang aktris dalam drama tersebut memiliki kemiripan fisik dengan Ghina. Dan bujukanya mempan, Ghina memang terlihat sangat antusias pada awalnya, namun menjelang pertengahan episode, wanita itu menggeplak kepala Hana karena berani-beraninya meracuni Ghina dengan Drama yang justru membuat otaknya sakit.Damn! Masalah hidupnya saja sudah penat, menonton drama semacam itu hanya akan membuat kepala Ghina semakin pening hingga berpotensi mengeluarkan asap. Eh! Ji, Han. Tuan udah pulang, mampus kalian! ujar salah seorang kepala pelayan kepada mereka berdua. Langsung saja, tak butuh waktu lama untuk Hana melompat dari sofa beludru yang semula diinjakinya, sementara Panji telah lari terbirit-birit mengembalikan senapan angin pada tempatnya. Gelak tawa Ghina juga lantas terhenti begitu saja, ia merubah raut wajah menjadi datar ketika si kepala pelayan membawa kabar bahwa suami jahatnya telah pulang. Ia menjauh, menuju sofa di ruang terbuka dan mendudukinya. Biasanya di jam segini Ghina akan meminum wine ditemani pijatan lembut oleh para maid, namun agaknya ia sudah mulai mengenal kata kapok untuk mencari gara-gara dengan Naraga. Pria itu rupanya tak segan-segan menyakitinya. Dan Ghina sungguh tidak bisa dihadapkan pada bahaya yang sama--seperti yang selalu mengancam dirinya di masa lalu. Ia sadar telah melanggari salah satu isi perjanjian yang selama ini menjadi dinding pembatas diantara mereka, yaitu tidak boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing. Raga benar, ia terlihat menyedihkan, seakan-akan tak terima diselingkuhi sedangkan mereka berada dalam satu lingkup yang tak seharusnya. Maka dari itu, Ghina memutuskan untuk berhenti. Ia bukan hanya tak akan mengusik Raga, tapi juga mengabaikan pria itu sepenuhnya. Mereka kembali ke fase awal, orang asing. Angin malam berhembus menerpa wajah murung Ghina. Ia memejamkan mata, menikmati sepi yang terbentuk dalam kesendiriannya. Ternyata tak terlalu buruk, yang membuat ini bermakna adalah bahwa keheningan menjadi waktu terbaik untuk seseorang bisa menjadi diri sendiri. Well, disaat kita lelah seharian menjadi orang lain, ketika hening tiba maka akan bebas menjadi diri kita yang sebenarnya, dalam artian apa adanya. Kembali membuka mata kala ponsel di sakunya bergetar, fokus Ghina terpecah begitu menemukan nama Gerald sedang mencoba melakukan panggilan video. Ghina terpaksa menerima walau tabu baginya berkomunikasi dengan cara tersebut. Hey sweet- sapaan hangat Gerald menggantung saat menyadari ada yang berbeda dari sahabat perempuannya. Are you cut your hair?Ya, sahut Ghina tersenyum manis sambil menyentuh kecil rambutnya. I'm still pretty, right?"As always! Tukas Gerald menjentikkan jarinya di seberang sana. Selama perbincangan, Ghina tak berhenti tersenyum untuk Gerald karena dia sesekali menggodanya. Mengalihkan topik, Ghina lalu bertanya bagaimana keadaan orang tua Gerald dan lelaki itu mengatakan bahwa mereka baik-baik saja, lalu ia menawarkan untuk menjenguk ibu Ghina di rumah sakit nanti dan tentu Ghina mengijinkan. Selanjutnya mereka bersenda gurau layaknya sepasang sahabat pada umumnya.Saat Gerald berniat menguji kemewahan kediaman Ghina dengan kediaman lelaki itu, ia justru dibuat terperangah saat Ghina menunjukkan pemandangan di sekitarnya. Your husband makes Hawai at home? seru Gerald sedikit mendramatisir. Menurutmu? Goda Ghina, mengangkat satu alisnya keatas. Gerald berdecak seraya menggelengkan kepala dan mengangkat satu tangan tanda menyerah. I lost! But- oh my God, Naraga pasti sangat kaya dan- Is he a romantic person? tanya Gerald penasaran.Ghina tampak berpikir sejenak sebelum menjawab Nope, tapi aku pikir ... dia sangat perfeksionis. Tipe kamu sekali, kan? Tuduh Gerald.Lagi-lagi Ghina butuh waktu untuk membalas ucapan sahabatnya dan berakhir dengan anggukan singkat yang sedikit ragu. Gerald terkekeh geli mendapati semburat merah terbit di pipi wanita itu, walau sangat samar.Ghina bangkit melanjutkan aksi pamernya, langkah yang bersentuhan dengan rerumputan sejuk membawa ia menyusuri tepi kolam renang kemudian duduk tegak diatas sun lounger.Dengan wajah masih menghadap layar ponsel, Tawa perempuan itu terlihat lepas bahkan hingga kedua matanya menyipit membentuk eyesmile. Selain tentang kesendirian, Gerald juga termasuk dalam salah satu faktor yang mampu membuat Ghina bertingkah apa adanya. Ghina, aku pikir ada seseorang di belakangmu, ucap Gerald mengundang Ghina untuk menoleh ke belakang dan ia kesal karena tidak menemukan apapun, yang berarti Gerald hanya sedang berusaha menakut-nakuti nya. Maksudku, di atas sana. Tunjuk Gerald tampaknya serius. Ghina kembali mengikuti instruksi lelaki itu. Keterkejutannya tak dapat dipungkiri tatkala menangkap presensi pria yang sedang berusaha ia hindari, kini berdiri menumpu sebelah tangannya pada pembatas balkon sedang satu tangan lainnya memegang tangkai gelas piala berisi cairan berwarna gelap. Naraga ... dengan kemeja berlapis rompi formal dan tatanan rambut tidak serapih biasanya, tengah menyesap winediatas balkon kamar lelaki itu yang tidak jauh dari tempat istrinya sedang duduk. Otot serta proporsi tubuh tingginya tampak sempurna sekaligus menakjubkan dari bawah. Matanya mengamati Ghina, intens dari mulai kakinya yang telanjang hingga kembali ke wajah wanita itu. Caranya memandang sangat tidak biasa ... lebih tajam bersama kernyitan samar yang tercipta di sepanjang dahi. Ghina melihat itu dan dengan cepat merasa tidak nyaman. Berbalik membelakangi, segera wanita itu mengucap pamit sebelum mengakhiri panggilan videonya bersama Geraldo. Selang beberapa menit setelah Ghina berpikir Raga telah masuk ke dalam kamar untuk mandi mengingat lelaki itu tidak bisa berlama-lama dalam kondisi lengket sepulang kerja, dugaannya malah meleset. Nyatanya pria itu tetap disana ketika Ghina menengok untuk kedua kali bersama hembusan angin.Telak dan intens, obsidian keduanya bertemu secara spontan. Dan ini mulai terasa asing alias tidak seharusnya. Tingkah Raga mendatangkan kerisihan bagi Ghinata sebab tak terbiasa diperhatikan sedalam itu oleh sosok yang selama ini telah banyak mengabaikan kehadirannya. Memutus kontak mata terlebih dulu, Ghina sudah benar-benar berniat bangkit guna menghindari Raga tetapi langkahnya kandas, lalu semua keadaan canggung itu pun terabaikan kala seluruh atensi Ghina hanya tertelan pada sebuah pesan singkat yang masuk ke ponselnya. Gatra:Gue butuh 20 juta malam ini. Tatapan Ghina lantas berubah nyalang, saliva tercekat di lehernya dan tangannya yang memegang ponsel perlahan gemetar sesaat setelah membaca isi pesan. Belum cukup sampai disana, wajah piasnya semakin pucat saat satu lagi pesan baru dari nomor serupa kembali muncul di layar. Gatra:Gue lagi di ruang rawat Mama sekarang. So, you know what I mean, right ... Little sister ? :) Kesulitan memasok udara ke dalam paru-paru nya, kembali Ghina terduduk lemas di atas sun lounger, nyaris menangis. Tanpa menyadari jika dari balik balkon kamar, Naraga masih mengawasinya lekat.---
Chapter 9Panik melanda Ghina saat membaca pesan terakhir. Seperti jantungnya akan jatuh dari tempatnya, ini mengerikan. Tidak ada satupun hal di Dunia ini yang bisa membuatnya gentar—tetapi Gatra adalah sebuah pengecualian. Dia orang paling berbahaya, nekat, dan tidak waras yang pernah Ghina kenal selama hidupnya. Dia bisa menyakiti siapapun tanpa tau takut. Bagaimana Ghina bisa merasa tenang jika orang seperti itu kini berada satu ruang dengan Mama? Tanpa pikir panjang, meski tangan senantiasa gemetar Ghina memencet tombol panggilan. Tak butuh waktu lama untuk Gatra mengangkat teleponnya. Dan Ghina mendengar suara itu lagi ... yang terasa seperti serangan fisik di dadanya. Sangat sakit.Terhubung jauh tak lantas membuat ia merasa baik-baik saja, sebaliknya Ghina dilanda ketegangan hebat sama halnya ketika keduanya saling bertatap muka. Sebesar itu pengaruh Gatra terhadap dirinya. Lelaki itu kelemahannya ...A-aku transfer sekarang juga tapi tolong pergi dari sana. Mohon Ghina, tak peduli seberapa gelisah suaranya terdengar di seberang sana dan membuat Gatra kembali merasa menang sebab berhasil membuatnya ketakutan. Kenapa panik, hm? I miss my Mom. Apa yang salah dengan itu?Bohong! Itu tidak mungkin! Ooh santai sekali dia bicara disaat jantung Ghina nyaris terlepas.Kakak, kumohon... sungutnya nyaris terisak. Gelegak tawa Gatra lantas berderai memenuhi gendang telinga Ghina—yang ditempatnya sama sekali tak bisa bergeming, ia berdebar dengan keras, takut sang ibu diapa-apakan. Baiklah adik kecil, gue tunggu dalam lima menit, dan jika masih belum—‘’Kapan aku pernah menolak permintaanmu, kak? sambar Ghina mulai lelah dengan ketakutannya. Gatra terdiam lama, saat ia kembali bicara, nada suaranya berubah dingin. Ya. Lo memang harus tau diri, anak sialan.Ghina mulai berkeringat, tenggorokannya menjadi kering. Masih tetap diam sesaat sambil meremas tangan.Ini hanya nominal kecil, suatu saat gue pasti butuh jauh lebih banyak dan lo harus siap. Gatra tak lagi terdengar menggoda Ghina, kali ini ia sangat serius dalam setiap tekanan kata Nilai segitu terlalu sedikit untuk ukuran Boss besar kayak suami lo.Dan ini lah alasannya ... alasan mengapa Ghina tidak bisa meninggalkan Raga sekalipun lelaki itu terus menyakitinya tanpa sadar. Dengar, bodoh. Gue tau lo emang nggak berguna dalam hal apapun, tapi satu hal yang semua perempuan bisa lakuin. Lo bisa muasin dia diatas ranjang kalian ... and he definitely give you what you want.Gatra terang-terangan mencela dan Ghina hanya tanpa sepatah kata. Tak ada gunanya membantah, mengiyakan pun juga tak akan mengubah apapun. Be a good whore for him. Gue masih butuh uang Aditama.Akan tetapi sesuatu mengenang di pelupuk mata wanita itu ketika Gatra menyebut dirinya dengan julukan tak pantas. Kalau lo masih belum mampu membuat dia benar-benar puas, sini, datang ke gue. Dan bakal gue ajarin cara yang benar. Gatra terkekeh kembali sebelum menggeram. You know I always want you, so Fu*king much! Ghinata..Sambungan terputus oleh Ghina, tak tahan dengan kelancangan Gatra. Seakan ada yang meremas-remas dadanya, nafas wanita itu tersendat, air mata yang luruh segera dihapus cepat. Ini bukan kali pertama ia dilecehkan secara verbal oleh kakaknya sendiri. Percayalah, Ghina pernah mengalami yang lebih buruk dari itu. Tak ingin mengulur waktu dan membuat Gatra lebih lama berada di dalam ruang Mama, segera Ghina lakukan transaksi melalui aplikasi mobile di ponselnya, mentransfer sesuai nominal yang diperintahkan Gatra. Tak lupa ia mengirim pesan agar kakaknya segera pergi dari sana dan membuat ia sedikit lebih tenang saat Gatra membalas menyanggupi. Itulah Gatra ... dia akan tetap pada batasan ketika keinginannya dituruti, sebaliknya jika tidak, apapun bisa saja terjadi.Menghela nafas dalam-dalam, Ghina pastikan tidak ada satupun air mata yang tersisa di wajahnya sebelum bangkit, ia butuh tidur segera dan mungkin akan melewatkan makan serta sesi perawatan malam harinya. Sampai ia mendengar langkah kaki mendekat, Ghina terperanjat saat menoleh dan menemukan Raga sudah benar-benar ada di belakang nya. Masih mengenakan Jas kantor lengkap pria itu yang sedikit kusut. Heran, Ghina menyipitkan mata curiga. Ngapain kamu? Mungkin tak disadari wanita itu bahwa sudut bibir Raga berkedut samar melihat Ghina yang kembali ke mode sinis nya, tak seperti di pagi hari, dimana ia begitu dingin. Dan katakanlah otak Raga bermasalah sebab secara tidak langsung ia mengesahkan bahwasanya sikap bar-bar Ghina membuat ia merasa lebih tenang. Jengah pertanyaannya tak kunjung dijawab, tanpa bicara lagi Ghina berbalik pergi.Aku ingin mengajakmu ke pesta. Raga berhasil membuat langkah Ghina terhenti, wanita kembali menghadapnya dan berkata datar. Aku tidak mau, pergi saja sendiri. Raga menyeringai Katakan penolakan itu pada Papa. Melihat Ghina mulai memainkan ekspresi di wajahnya, lelaki itu melanjutkan Sebab ini pesta kolegan nya.Ghina mendengus kesal, tak menyukai gagasan itu karena bagaimanapun ia tidak tak akan mampu menolak pinta sang mertua.Kapan? Tanyanya. Besok malam. Baik.Percakapan selesai, Ghina tidak ingin memperpanjang. Jadi ia memilih minggat lebih dulu dari sana, sungguh tak berharap Raga akan menahannya untuk satu permintaan maaf. Ck, ayolah, suaminya yang sombong dan angkuh—jelas pantang melakukan itu. Dia kan Brengsek!°°°Seseorang membuka lalu menutup kembali pintu kamar disaat seorang gadis belia tengah berbaring menyamping malas-malasan nyaris tenggelam dalam mimpinya. Langkah kecil terdengar do belakangnya. Lampu kamar itu sudah diredupkan sejak tadi—hingga hanya menyisakan cahaya remang-remang yang berasal dari luar. “Mungkin Hana.” pikirnya mengingat anak perempuan berambut cokelat sebahu itu sering mengendap-endap masuk dan tidur di sofa kamarnya ketika dia takut sendirian di kamar belakang.Berusaha abai, Ghina pejamkan matanya kembali. Ini sudah sangat larut, ia harus segera tidur jika tidak mau kulit terawatnya berubah menjadi kusam besok pagi, dan membiarkan anak-anak bodoh di kelas mereka berkesempatan untuk mencelanya. Namun ada yang ganjal disini, aura mencekam di sekitarnya terasa asing membuat Ghina lagi-lagi membuka mata dan kontan waspada. Rasa dingin mengejutkannya saat tiba-tiba selimut yang melingkupi tubuhnya melorot hingga ke pinggang, disusul gerakan tangan yang mengusap kecil disana.Tak sanggup lagi menjaga ketenangan begitu dirasa ini mulai tak wajar, bersama seluruh nafas tertahan serta sekujur tubuh meremang, Ghina berbalik cepat dan siap membuka mulut jika saja sebuah telapak tangan besar tak membungkam teriakannya. Gadis itu melotot sempurna, tenggorokan Ghina tercekat hebat. Ia menggerakkan kaki dibalik selimutnya, meronta sekuat tenaga. Melupakan fakta jika seseorang yang kini merangkak diatasnya begitu besar, membawa kekuatan berkali-kali lipat hingga sanggup melumpuhkan pergerakan gadis kecil dibawah tekanan tubuhnya. Hmmph ... hmmh! Gumam Ghina tak jelas di sela bungkaman. Demi Tuhan, ia begitu ketakutan. Sama sekali tak dapat menyerap apapun di dalam otaknya yang terserang panik tak terkira. Tatkala sosok itu mencekal kedua tangannya, dan menutup seluruh akses pergerakannya, batin Ghina mengerang was-was. Tak bisa dicegah, satu bulir bening menggelayut di pelupuk mata gadis itu, dan ia pun mulai terisak kecil.Sosok mengerikan tersebut menunduk, wangi mint dari nafasnya yang sedikit berat lantas menguar terpai wajah Ghina. Kondisi penerangan kamar sangat minim membuat ia kesulitan mengenali rupa si lancang diatas tubuhnya. Akan tetapi kala deras hujan menghantam tanah, disusul bunyi gemuruh serta kilatan petir yang muncul sesekali memberi penerangan maximal walau singkat, Ghina mencoba menajamkan penglihatannya. Tak ingin berprasangka, namun ketika maniknya jatuh pada ujung rambut gelap dan sepasang mata hitam intense yang di bingkai bulu mata lebat, Ghina hanya bisa merasai dadanya dihimpit oleh bebatuan besar. Lalu seringai itu ...Gatra? Ghina tersentak, bukan hanya sekedar membuka mata tapi juga membawa tubuhnya bangkit tiba-tiba dari pembaringan. Mimpi buruk, lagi. Mimpi yang setiap datang mengganggu tidurnya dan terasa amat nyata. Karena memang berasal dari kenyataan yang pernah dihadapi Ghinata. Jantungnya berdebar menyakitkan, tubuhnya melembab karena keringat begitu juga dahinya. Ia memejam, kemudian membuka kembali matanya dan melihat kearah jam kecil diatas nakas. Sudah lewat dari pukul 02.00 dini hari.Tidur Ghina sangat nyenyak pada awalnya—sampai mimpi itu menyambangi dan menghancurkan lelapnya. Gatra yang tiba-tiba kembali menghubungi ia hari ini, mungkin telah menjadi pemicunya. Meregangkan tubuh, Ghina meraih tombol dan menyalakan lampu lalu menjalarkan tangan pada rambutnya, mencoba untuk merapikannya. Setelah itu ia mengambil beberapa napas dalam untuk meringankan sakit di dada, sebelum bangkit. Berjalan keluar kamar, menuruni tangga hendak menuju dapur. Apakah perut kosong juga menjadi salah satu faktor datangnya mimpi buruk? Itu terdengar konyol, tetapi Ghina benar-benar merasa harus mengisi perutnya sekarang. Tadi, ia melewatkan makan malam dan pergi tidur lebih cepat dari biasanya. Suasana gelap menyambutnya dibawah, tirai-tirai tebal yang ditarik rapat menutupi jendela-jendela tinggi di mansion tersebut. Ghina menghidupkan beberapa lampu, dan membiarkan cahaya dari lampu-lampu itu menyalurkan penerangan samar ke arah dapur, sebab ia sendiri enggan menyalakan lampu utama ruang tersebut. Meski dalam keadaan remang-remang seperti ini Ghina justru lebih mirip maling kelaparan yang hendak mencuri. Diawali dengan membuka lemari, Ghina terkejut saat tak dapati satupun menu yang masih utuh disana. Semuanya sudah bekas makan, dan seorang Ghina tentu lebih memilih kelaparan sepanjang malam daripada menyantap makanan sisa. Sial! Tapi opsi kedua juga tidak tepat, kan? Perut tidak bisa diajak kompromi, bahkan tubuhnya sudah kehabisan tenaga karena lapar. Hebat sekali perempuan dengan riwayat penyakit lambung ini, masih sempat-sempatnya memikirkan soal gengsi disaat sudah keroncongan akut. Menutup kembali pintu lemari, Ghina berjalan menuju kulkas lalu membukanya dan kembali tercengang melihat isi didalamnya yang didominasi bahan pangan mentah.Sialan sekali, jangankan memasak, menyalakan kompor saja ia tidak bisa. Ghina takut pada api. Memang terdapat beberapa potongan dessert seperti puding dan cheesecake di dalam lemari pendingin itu, tapi ... Oh yang benar saja? Memakan makanan manis di tengah malam?Terimakasih, Ghina masih menjaga bentuk tubuhnya. Itulah kenapa ia sedari tadi menghindari roti dan selai yang berada diatas meja. Lalu sekarang bagaimana? Membangunkan Hana? Lupakan, sebab gadis itu sudah pasti mengunci pintu kamarnya dan tidur seperti kebo. Satu-satunya cara membangunkan dia adalah dengan menggedor pintu keras-keras dan membuat kegaduhan, sedang Ghina tidak ingin para maid lainnya terbangun dan mendapati fakta bahwa si nyonya menyedihkan ini tengah kelaparan. Well, katakanlah ia salah satu dari mereka yang gemar mempersulit diri sendiri. Mau tak mau, terpaksalah Ghina membondar-bandir isi dapur, menyusuri kabinet satu ke kabinet lainnya dengan harap menemukan satu saja stok makanan instan yang dianggap terlarang oleh si Tuan rumah Naraga yang terhormat. Apalagi kalau bukan Mie cup? Pilihan paling praktis. Bahkan hanya butuh air panas untuk menyajikannya.Namun sebelum sempat ia temukan persediaan yang mungkin disembunyikan Hana di sebuah tempat, lampu dapur menyala penuh, terang benderang membuat Ghina seketika terlonjak kaget, sebelum mematung ditempat tatkala mendengar suara berat pria yang sangat dikenalnya.Kamu sedang apa?Oh shit! Ibu peri, tolong tenggelamkan Ghina ke dasar bumi. Rasa hangat menjalari pipinya, merasa terlalu malu lantaran kini benar-benar terlihat seperti pencuri makanan yang tertangkap basah. Ghina? Bariton itu kembali menyentak, naluri Ghina langsung siaga penuh saat membalikkan badannya dan seketika dihadapkan pada Naraga.Sang suami yang bertelanjang dada dengan celana training sedikit ketatmenggantung rendah dipinggul rampingnya. Oh My—Apa Ghina pernah mengatakan bahwa ia cukup terkejut dengan tato di bawah perut Raga? Bukan apa-apa, hanya saja pria itu terlihat seperti anak baik-baik ketika Ghina pertama kali melihatnya. Dan tato itu memberinya kesan ... Berandal.Oh ya, terkutuk lah otak Ghina sebab bisa-bisanya ia masih memikirkan masalah tato disaat genting, ini menyangkut harga dirinya yang bisa terancam jatuh lagi di hadapan sang suami. Tak ada pilihan selain mengayun langkah lebar-lebar, berbalik meninggalkan Raga seperti biasa. Sayang Ghina tidak bisa melakukan itu lagi, penyebabnya adalah karena Raga lebih dulu merenggut lengannya, menatap wanita itu dengan siratan curiga. Dan setelahnya, Ghina bisa mendengar Raga yang menggeram rendah dibelakang telinganya. Kenapa? Apa yang kamu lakukan tengah malam begini? Awalnya Raga hanya berniat menyeduh secangkir kopi untuk menemaninya berkutat di ruang kerja. Tapi tak disangka ia justru menemukan seorang wanita bergaun tidur pola rendah dengan pinggiran berwarna pink, yang tak lain adalah istrinya sendiri. Raga baru menyadari jika Ghina telah memotong rambutnya— dan itu secara menakjubkan membuat istrinya terlihat jauh lebih belia. Apalagi dengan wajah polosnya tanpa polesan seperti ini. Ghina meringis kecil, tak sanggup berpaling apalagi membalas tatapan intens Raga, dan membiarkan lelaki itu melihat wajahnya yang sudah Semerah tomat. Jadi ia menjawab tanpa menoleh Nggak ada, cicitnya. Kamu pucat. "Nggak!Lapar?Sial! Tawa kecil dibelakang Ghina hanya membuat segalanya lebih buruk. Raga menertawakannya. Fantastis! Jatuh sudah harga dirinya. Biar aku tebak, kamu ingin makan tapi tidak bisa memasak, kan? Raga pasti sedang menyeringai, Ghina tak mau membayangkan betapa menyebalkanya wajah itu terlihat. Seluruh tenaga wanita itu kerahkan hanya demi terlepas dari kukungan suaminya. Namun disaat Ghina berhasil bebas dan menumpukan tubuh lemahnya pada ujung meja, Raga malah menghadang langkahnya dengan sepatah kalimat yang entah kenapa terdengar sangat menohok hati wanita itu. Kelaparan tapi tidak bisa apa-apa bahkan untuk sekedar membangunkan pelayan, kamu bodoh atau apa? Spontan Ghina mengencangkan pegangannya di ujung meja. Ia bisa merasakan getaran amarah dalam suara berat itu. Tetapi kenapa? Kenapa dia yang harus marah? Sialan, Ghina bahkan tak mengganggunya. Ia yang kelaparan, mengapa si brengsek itu yang ribut? Kendati lamat-lamat dikuasai emosi, niat untuk mendebat Raga Ghina kubur dalam-dalam karena ia telah berjanji akan memasabodohkan suaminya. Mereka adalah orang asing, berkali-kali Ghina tekankan itu. Namun Naraga sepertinya tidak pernah puas bertingkah seperti benalu.Berhenti, ucap lelaki itu dingin. Diabaikan Ghina yang terus melangkah hendak meninggalkannya hanya membuat Raga semakin menajamkan suara hingga nyaris berseru keras. Aku bilang berhenti!Kesal, Ghina berbalik memberikan tatapan tak kalah tajam. Tanpa Raga ketahui jika perempuan itu kini sedang berusaha keras menahan cairan yang hendak menggenangi sepasang manik miliknya. Ini masih soal kalimat menyakitkan Raga. Ya, Ghina tau ia memang tidak berguna. Tetapi ia tidak suka saat Naraga sengaja memperjelas itu semua dihadapannya. Sementara Raga tidak bodoh, ia bukan tipe tidak pekaan yang tak menyadari kesedihan di mata istrinya. Ia bisa melihat emosi di kedalaman netra kelam Ghina. Dahi lelaki itu berkerut, terlihat seolah-olah ia terpengaruh. Walau sejujurnya Raga sendiri pun tidak yakin bahwa dirinya bisa bertindak sejauh itu, apalagi saat dengan lancang ia mengatakan kepada Ghina untuk ...Duduk disitu, aku akan memasak untukmu.
Chapter 10Semua orang tahu Naraga adalah lambang keangkuhan yang nyata. Dia cerdas, lahir dengan sendok emas, sukses di usia muda dan menghasilkan banyak uang dari sederet kontemplasi Jenius yang sudah menjadi rahasia umum para Gen Aditama. Well, ditilik dari sisi manapun ia pantas untuk sombong, bukan?Lalu bisakah kalian bayangkan bagaimana seorang Boss perusahaan ternama yang dalam kesehariannya terbiasa duduk di balik meja kebesaran, berhadapan dengan setumpuk berkas berisi proyek bernilai Miliaran rupiah, kini justru tengah mencoba peruntungannya di sebuah ... DAPUR?Tempat itu mungkin tak menjadi asing untuknya. Sebab sang Ayah yang berwatak Tegas pernah membiarkan Raga tinggal sendirian di New York saat menempuh kuliahnya. Menempati sebuah Flat sederhana untuk beberapa bulan pertama tanpa adanya asisten rumah. Alhasil, semua Raga kerjakan sendirian, dan memasak salah satunya. Tapi juga perlu ditekankan bahwa ini adalah pertama kalinya Naraga memasak untuk orang lain. Ah bukan orang lain, istrinya. Istrinya yang nyaris selalu ingin ia enyahkan keberadaannya, tak pernah dianggap, tak pernah diperlakukan sebagaimana harusnya. Beruntung, Ghinata berbeda dari wanita kebanyakan, ia tak pernah menuntut apapun dari Raga selain uang dan uang. Padahal jika mau, jelas ia mampu melakukannya. Dan Raga pikir, itu cukup melegakan—-mengingat tak ada lagi yang bisa ia janjikan kepada Ghinata selain limpahan materi. Duduklah, ini tidak akan lama. katanya pada Ghina yang tampak kikuk itu untuk mengisi salah satu kursi di meja makan.Kamu tidak ingin mati kelaparan, kan? Sebaiknya menurutlah, untuk kali ini, jangan keras kepala. Kalimat Raga keluar seperti titah tanpa bantahan. Reaksi stimulus dalam diri Ghina membuat ia mau tidak mau mematahkan aturannya sendiri dengan menuruti sang suami. Sudah terjadi, mau bagaimana? Lagipula situasi ini membuat Ghina merasakan sensasi menjadi satu-satunya penguasa di mansion dan Raga adalah kacungnya. Ooh ... Perasaan-Ralat, kehaluan ini menyenangkan. Karena pada dasarnya status Ghina adalah nyonya sementara. Pada akhirnya, si bebek jelek Siera lah yang akan menjadi nyonya di rumah ini, selamanya. Ghina tidak masalah, hanya tinggal menunggu sampai ia lelah dengan semuanya, dan pergi menyelamatkan harga diri yang mungkin sudah tidak tersisa lagi di hadapan Naraga.Wanita gila harta, begitu lelaki itu mengecapnya. Persetan, ia butuh uang untuk mempertahankan hidup Mamanya, ia butuh banyak uang untuk membuat Gatra tetap diam dan tak mengacau. Ia butuh uang ... untuk tetap hidup dalam kenyamanan. Uang memang bukan segalanya, tetapi segalanya butuh uang. Ghina hanya berpikir realistis dan tak mau salah langkah. Sang Ayah menjodohkan ia dengan Raga bukan tanpa alasan. Kamu punya riwayat penyakit lambung, begitu kata Mama, jadi sebaiknya berhenti bersikap kekanakan hanya karena sedang merajuk, sampai tidak turun untuk makan malam. seruan bernada protes dari Raga memecah lamunan Ghina.Ghina tetap mempertahankan diam nya, tak berniat menyela Raga yang salah mengartikan. Ayolah, alasan Ghina tidur lebih cepat adalah karena Gatra, bukan karena efek merajuk pada Raga.Kini tampak lelaki itu yang sedang membuka pintu kulkas dan kabinet secara bergantian, mengambil beberapa bahan pangan dari sana lalu menyambar pisau, sendok dan beberapa peralatan kecil lainnya sebelum ia mulai berkutat bak seorang chefhandal. For God's sake, terlihat pandai dan mahir memainkan tangan-tangan berjari panjang itu diataskitchentable, tiap gerakan Raga hebatnya menghantarkan getaran-getaran asing pada diri Ghina. Sesuatu yang dinamakan .. insecure. Tidak ada wanita manapun di dunia ini yang sanggup membuatnya merasa seperti itu, tetapi nyatanya rasa rendah diri justru timbul disebabkan oleh kesempurnaan segala sisi yang nyaris dimiliki oleh Raga, suaminya.Minus laki-laki itu hanya terletak pada perangai yang buruk, sedangkan Ghina hampir minus dalam segala hal terkecuali soal kecantikan tiada Tara yang ia miliki. katakanlah dia more confident akan fisiknya, toh memang begitu kenyataannya. Menit demi menit berselang, cuma suara detikan jam yang mengisi keheningan diantara mereka, sampai wangi masakan menyeruak masuki indera penciuman Ghina. Ia yakin andai Raga tak berdiri disana hanya dengan mengenakan celana training dan memamerkan pemandangan indah dari punggung telanjangnya, Ghina pasti sudah sangat menikmati aroma kelezatan itu. Sayang, fokusnya kini terbagi. Mendengus rutuki matanya yang kurang ajar, sepersekian detik kemudian, Ghina dibuat terkejut, menahan napas seraya membeliak. Suara-suara tak mengenakan dengan begitu tak tau malu keluar dari perutnya. Dalam hati Ghina mengumpat keras, kembali berdoa agar benar-benar ditenggelamkan ke dasar bumi begitu menangkap dengusan geli dalam suara berat Raga. Pria itu menoleh dari balik bahunya, memicing ke arah Ghina yang tengah memerah malu sambil melingkarkan lengan pada perut serta menggigit bibir bawahnya. Sialan karena konsentrasi Raga justru terpecah saat ia mulai menilai betapa menggemaskannya wanita itu sekarang.Apa lihat-lihat? Kamu nggak pernah dengar bunyi perut? sewot Ghina, sejujurnya tidak tahan ditatap sebegitu mencela oleh Naraga. Menyeringai kecil, Raga menggeleng samar sebelum kembali menyibukkan diri pada apa yang sedang ia kerjakan. Serta merta mempercepat gerakan setelah mendengar betapa tersiksanya perut Ghina. Raga bukan hanya sekedar bergelut dengan penuh konsentrasi tapi juga sangat pintar membaca situasi, melihat ada beberapa persediaan hidangan disana namun tetap tak disentuh oleh Ghina-cukup menjelaskan jika wanita itu hanya mencari sesuatu yang tidak berpotensi mengancam berat badannya. Aah, perempuan dan segala perhitungan mereka. Raga memperhitungkan segalanya, ia harus membuat sajian yang cukup mudah, cepat namun tentunya sehat meski dikonsumsi tengah malam. Maka dari itu ia memilih untuk mengukus kentang, menumbuknya hingga benar-benar halus sebagai pengganti nasi, lalu menyiapkan omelette tomat sebagai lauk pendamping. Usai mematikan kompor gas, Raga menata dua menu tersebut diatas piring kaca sebelum menoleh dan melangkah menuju wanita itu.Habiskan, perintahnya dengan nada memaksa seraya meletakkan piring berisi kentang tumbuk dan omelette di hadapan Ghina. Tanpa menoleh ataupun membalas, Ghina hanya menggerakkan tangan untuk meraih sendok dan garpu, hidangan hangat telah siap disantapnya- sesaat sebelum berhenti karena melihat Raga tak kunjung pergi, dan malah mengambil tempat pada kursi didepannya. Ghina menurunkan garpu dan berpaling menghadap Raga. Bisakah kamu pergi?Wow ... Lihatlah manusia tak tahu terima kasih ini.Kamu pikir berhak memerintah ku? Ini bukan perintah, ini permintaan. Persetan, culas Raga menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi bermaterial bantalan empuk. Ghina mendengus malas. Apa kamu nggak punya kerjaan lain sampai harus menonton orang yang sedang makan? Kalau aku mau, kenapa tidak? Ghina kehilangan kata-kata. Tidak mengerti dengan diri Raga juga sikap lelaki itu akhir-akhir ini yang dirasa sedikit berbeda. Seperti biasa Ghina makan dengan sangat lamban, tidak heran mengapa Raga selalu lebih dulu meninggalkan wanita itu di meja makan, setiap saat. Kecuali pagi hari ini, dimana Ghina meninggalkannya lebih dulu dan memilih sarapan di taman karena marah. Raga masih betah bersandar, mengetuk-ngetukan telunjuknya di atas meja dengan pikiran serta pandangan terkonsentrasi pada wanita yang duduk berseberangan dengannya. Ghina saat ini tengah menyelipkan helaian-helaian rambut yang membingkai di sekitar wajah tirusnya, mereka sangat halus dan mudah jatuh. Satu lagi perbedaan disadari Raga, ternyata Ghina tak hanya memotong tetapi juga menghilangkan sentuhan warna cokelat di ujung rambutnya, yang sejujurnya lebih terlihat bagus pada kulit pucat wanita itu.Tatapan Raga lalu terarah ke bibir tipis dan seksi Ghina yang sedang mengunyah. Selain mulutnya yang sensual, mata Ghina adalah bagian yang memiliki daya tarik kuat. Sebab seberapa keras wanita itu berusaha terlihat tajam dan tegas, selalu saja gagal. Bukannya terkesan berani, Ghina malah terlihat innocent dan ... menggoda.Godaan lain pun datang dari gaun malamnya yang berpotongan rendah di dada. Belahannya nampak samar, membuat liontin dari kalung yang dikenakannya hampir tenggelam disana. Dia cantik. Selalu cantik sejak pertama kali Raga melihatnya. Kecantikan yang mengelilingi Naraga, menggoda inderanya. Mata sayu, wajah mulus bak porselen, dan jangan lupakan bibirnya, yang merah muda dalam dan selalu lembab.Jika Raga menuruti Nafsu, ia tentu mampu menyeret Ghina ke ranjangnya dan memaksa wanita itu untuk melayaninya. Ghina bersenang-senang dari uang hasil jeri payahnya, lalu apa yang Raga dapat sebagai balasan? Jika pun ia berkeinginan kuat merealisasikan hal tersebut, siapa yang akan menentang? Mereka telah sah di mata Hukum dan Agama. Sayang--logika di otak Raga bermain lebih dominan dibanding hasrat pada selangkangannya. Pernikahan mereka cacat sejak awal, dan ia memiliki Siera jauh sebelum Ghina datang. Ghina menjatuhkan potongan terakhir omeletnya ke atas piring, lalu meraih kertas tissue guna mengelap mulutnya-pertanda jika ia telah selesai. Kehadiran Raga sama sekali tak mempengaruhinya sampai ketika ia mengangkat wajah dan tersentak saat mata Pria itu menahannya. Satu detik, dua detik, tiga detik ...Ghina menurunkan bulu matanya karena kecanggungan yang tiba-tiba mencengkeram. Raga melihat bagaimana ia mengatupkan bibirnya yang sensual itu. Mengernyit sebelum berkata Sebaiknya-Kamu baik-baik saja? Sambar Raga cepat. Dahi Ghina berkerut lebih dalam mencerna kata-katanya. Kenapa mendadak terasa sangat sakit ketika ia menanyakan tentang itu?Kenapa harus disaat Ghina sedang berjuang melawan kerapuhannya?Kenapa ... baru sekarang?Ghina tidak pernah baik-baik saja. Tidak pernah. Bertahun-tahun ia hidup dalam ketakutan dan tidak ada yang peduli.Keengganannya bercerita adalah karena memang tak memiliki siapa-siapa untuk dijadikan teman keluh kesah. Soal kejadian di gudang anggur, aku minta maaf.Senyum merekah di sudut bibir Ghina. Tipis dan terlihat sinis. Aku belum bisa memaafkanmu. Aku bukan malaikat, jadi aku masih butuh waktu untuk benar-benar melupakan tindak seseorang yang nyaris melukai fisikku secara sadar. Aku mengerti. Sebuah anggukan Raga berikan. Sekarang bisa kah kita bicara tanpa diselingi emosi? lanjutnya.Memangnya kita pernah seperti itu? Maka dari itu aku ingin kita memulainya.Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.Tandas Ghina seraya bangkit, secepatnya berjalan hendak meninggalkan dapur. Dan secepat itu pula Raga menyusulnya, ia meraih Ghina, menyudutkannya dengan tangan yang bertengger kokoh di pinggul wanita itu, menahan dengan sedikit memaksa.Ada ... koreksi Raga. Reaksi tak wajarmu malam itu, kita perlu membicarakannya. Ooh ... Bisakah Ghina melakukannya dengan begitu samar hingga Raga tidak menyadari apa yang sedang menyerangnya sekarang? Lelaki itu hanya akan membuka lukanya.Lupakan. ujar Ghina, berpaling hindari tatapan menyelidik suaminya. Kamu punya pengalaman buruk?"Apa maksud kamu? Lepas! Keresahan Ghina begitu kentara. Suara menuntut Raga datang bersamaan dengan tangan besarnya yang menyelinap-menarik Ghina lebih dekat. Kamu ketakutan.Ghina mengetatkan rahangnya seraya mendongak menekankan kata. Aku baik-baik saja.Dengan segenap kekuatan, ia melepaskan diri dari genggaman Raga dan dominasi pria itu yang seperti menyembilu dada, mendorong Raga agar menjauh dari hadapannya, mencoba memperoleh sedikit jarak.Sebersit tatapan nelangsa melintas di mata lelaki itu dan Ghina kembali membuka bibir, siap mengatakan kepada sialan Raga untuk enyah. Kamu ingin aku berhenti mencampuri urusanmu, kan? as you F*cking want! Sudah kulakukan jadi tolong tinggalkan aku sendiri dan kita sama-sama impas! Jangan bertingkah seolah-olah kamu peduli, Sialan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan