
"Jangan panggil mbak dong, panggil Sila aja." Sila tersenyum manis.
Bab 15 Kabar Berita
Pagi-pagi sekali, Nino menghubungi Bima untuk menanyakan bagaimana kondisi di sekitar rumahnya, apakah masih ada para wartawan yang menunggu di sana.
Pria itu melangkah ke pintu depan kemudian membukanya. Bersamaan dengan itu sebuah kendaraan mobil yang ia kenali siapa pemiliknya, masuk melewati gerbang dan berhenti di halaman rumah.
"Pokoknya kamu atur aja ya, Bim. Aku mau hari ini semua beres dan nggak ada lagi wartawan yang sibuk cari berita sampai kejar-kejar Yayan." Nino memberi perintah pada Bima, sebelum akhirnya pria itu menutup ponselnya dan menghentikan percakapan mereka.
Sila turun dari mobil, dengan kotak berisi makanan di tangannya gadis itu menaiki undakan anak tangga menuju teras depan rumah, di sana sudah ada Nino, yang kemudian menoleh setelah mematikan sambungan telepon di tangannya.
"Rajin banget pagi-pagi udah namu," sindir Nino saat gadis itu sudah berdiri di hadapannya.
Sila berdecak sebal. Setelah sempat melengos, gadis itu kembali menatap pria di hadapannya. "Yayan masih di sini kan?" tanyanya.
Sejenak Nino terdiam. Tatapannya lembut mengarah pada gadis itu. "Sepagi ini, calon tunangan aku datang cuma buat nyari cowok lain?" tanyanya dengan nada menggoda. "Aku jadi cemburu."
Mendengar itu Sila berdecak meremehkan. "Mana mungkin kamu bisa cemburu? Memangnya masih normal?" tantangnya.
Nino perlahan mendekat, tatapannya tampak aneh. Sila yang tiba-tiba saja merasa terancam, memundurkan kakinya hingga menabrak kursi yang terletak di teras rumah, dia jatuh terduduk di sana.
Nino semakin merapat, menaruh kedua tangannya pada lengan kursi dan mengurung gadis itu di dalamnya. "Bagian mana dari diri aku yang kamu anggap tidak normal, Sila?"
Sila memundurkan kepala, saat pria di hadapannya itu semakin mencondongkan wajahnya. Dia ingin beranjak dan mendorong tubuh Nino untuk menjauh, tapi melihat tatapannya yang begitu teduh, dia justru berubah luluh.
Tidak ada debaran juga rasa hangat di ruang hatinya saat pandangan mereka saling bertemu. Nino terus mendekat, mencari keanehan dalam dirinya. Dan semakin resah saat dia tidak merasakan apa-apa pada gadis itu.
"Eh, maaf."
Suara itu membuat keduanya menoleh. Nino menegakkan tubuhnya, begitu juga Sila yang ikut berdiri dan langsung mencegah seseorang itu untuk pergi.
"Yayan? Tunggu."
Yara yang sudah berbalik dan nyaris melangkah, seketika berhenti. Cangkir kopi di tangannya sedikit bergetar. Melihat kedekatan mereka entah kenapa hatinya berubah gusar. Tidak mungkin dia berani untuk cemburu pada keduanya.
"Aku tadi mau nganterin kopi," ucap Yara saat kembali berbalik, menyodorkan secangkir kopi untuk Nino yang tidak langsung menerimanya.
"Taruh saja di atas meja." Nino memberikan perintah, mulai saat ini dia tidak akan terlalu dekat dengan pemuda di hadapannya. Dia ingin kembali normal.
Yara sedikit terhenyak, pria yang selalu menerima uluran cangkir kopi dari tangannya kini tidak lagi bersikap sama, kenapa dia merasa kecewa?
"Yayan, aku bawain kue buat kamu."
Yara menoleh pada Sila yang mengulurkan sekotak kue di hadapannya. Setelah melirik sekilas pada Nino, dia mengambil benda itu dan menerimanya. "Makasih, Mbak."
"Jangan panggil mbak dong, panggil Sila aja." Sila tersenyum manis.
Yara sejenak terdiam. Belum sempat menanggapi, Nino yang kembali bersuara membuat dia kemudian menoleh.
"Aku udah pastiin nggak akan ada lagi wartawan yang ganggu kamu, kamu bisa berangkat kerja hari ini."
"Biar aku yang anter ke tempat kerja." Sila memotong ucapan Nino dan maju satu langkah menghalangi pria itu. "Kamu mau kan?" tanyanya pada Yara, yang dalam pandangannya adalah seorang pria.
Yara tertegun. Tatapannya mengarah pada Nino yang terlihat diam saja. Entah kenapa dia berharap pria itu akan berkata bahwa dialah yang akan mengantarkannya. Namun setelah beberapa saat berlalu, tidak juga ada tindakan apa-apa dari pria itu.
"Aku udah bilang A Sigit buat jemput, jadi nggak usah diantar." Yara berdusta, ponselnya saja sudah tidak punya data Internet, bagaimana dia bisa menghubungi abangnya.
"Yah, sayang banget." Sila tampak menyesal. "Lain kali aja deh."
Yara menunggu tanggapan dari Nino, namun pria itu justru mengangguk. Setelah berkata, "oh, yaudah." Dia pun melangkah pergi meninggalkannya.
Kalimat itu berhasil menjatuhkan kedua bahu Yara. Dia ingin tertawa, tapi juga menangis secara bersamaan. Mana mungkin pria sekelas Nino Nakula akan perhatian pada dirinya, tidak seharusnya dia mengharapkan apa-apa.
"Eh, Sila. Kapan datangnya?" Nena yang melongok dari arah pintu sedikit terkejut dengan keberadaan gadis yang ia sapa itu.
"Baru aja kok, Tante."
"Ayo masuk! Ngapain di luar aja." Nena mengajak calon menantunya itu untuk masuk, dia pun segera melangkah pergi.
Sila menoleh pada Yayan dan mengajaknya ikut masuk juga, tetapi dia menolak. Dan Sila pun melangkah masuk meninggalkannya.
Sesaat Yara berpikir, jika diperhatikan Nino dan Sila memang pasangan yang serasi. Wajah rupawan dengan karir keduanya yang cemerlang, dirinya bukan apa-apa jika harus berada di antara mereka.
Ditinggal sendiri, Yara menduduki kursi yang terletak di teras itu, pandangannya mengarah pada secangkir kopi yang ia letakan di atas meja. Kepulan uap panas sudah tidak lagi terlihat dari sana, mungkin cairan gelap itu sudah berubah dingin, sama seperti pemiliknya.
Dering ponsel membuat Yara sedikit terlonjak, dia mengambil benda itu dari saku celana dan terharu saat mendapati nama sang kakak yang tertera di sana.
"A Sigit. Jemput aku!"
***
Sigit merasa bingung saat adiknya itu lebih banyak diam, dalam perjalanan menuju restoran pun gadis itu tidak banyak berbicara. Setelah menjelaskan alasan kenapa dia bisa berada di kediaman keluarga dari Nino, tidak ada lagi percakapan di antara mereka.
"Aa kapan sih mau sewain aku kontrakan, aku udah nggak tahan." Yara mengeluh setelah turun dari motor dan memberikan helm pada pria itu.
Sigit tentu saja terkejut, "emangnya kamu diapain sama Pak Nino, bilang! Biar aa hajar."
"Emang aa berani?"
"Ya enggak lah!"
Yara berdecak sebal, memukulkan helem pada lengan sang abang yang belum sempat ia terima. "Aa tuh nggak bisa nggak ngeselin."
Sigit yang masih duduk di atas jok motor, menghindar dengan memundurkan tubuhnya. "Emang kamu diapain sampe nggak betah di rumah mewah itu?"
Pertanyaan Sigit membuat Yara terdiam. Haruskah ia berkata bahwa pria itu telah berhasil mengkudeta hati dan pikirannya. Dia seperti tengah merasakan kehilangan sesuatu yang bahkan belum sempat ia genggam. "Nggak diapa-apain sih, tapi nggak betah aja," ucapnya lirih.
Sigit menghela napas, merapikan helm yang diberikan sang adik dan ia sangkutkan di tempatnya. "Sabar ya, nanti aa cariin. Kamu betah-betahin aja dulu. Yang penting kan kamu bisa makan dan punya tempat tinggal. Itu sudah cukup."
Yara sebenarnya ingin mengeluh lagi, tapi wajah lelah sang kakak membuatnya tidak tega untuk melontarkan kalimatnya. Setelah berpamitan pada Sigit, gadis itu setengah berlari menuju kamar mandi umum untuk mengubah penampilannya, menjadi karyawan resto sebagai Kayara Azna.
***
Beberapa hari berlalu, Yara sudah jarang bertemu Nino di rumahnya. Pria itu selalu memberi pesan agar dirinya tidak perlu menyiapkan makan malam. Bahkan selalu berangkat lebih pagi sebelum dia menyiapkan sarapan.
Hal itu tentu saja membuat Yara merasa bingung, tapi dia mencoba untuk bersikap biasa saja. Toh mereka juga tidak pernah saling kenal sebelumnya. Seharusnya ini menyenangkan, dia hanya perlu sedikit membereskan rumah dan tidak banyak pekerjaan. Iya, dia memang harus bersikap seperti itu.
Pesanan terakhir sudah Yara antarkan. Menjelang magrib, pengunjung resto tidak terlalu ramai, Yara menghampiri Ega juga Mbak Iis yang tengah bersantai di bagian kasir.
"Meja nomor sebelas minta tambahan es jeruk tadi, kamu udah kasih?" Mbak Iis bertanya saat Yara menghampiri mereka.
Yara mengangguk. "Udah, Mbak," ucapnya, kemudian menoleh pada Ega yang tampak murung raut wajahnya. "Si Ega kenapa Mbak Iis?" Dia pun bertanya.
Wanita bernama Iis itu menoleh. "Lagi galau dia, pujaan hatinya udah tunangan."
Yara tertawa. "Pujaan hatinya yang mana si?" tanya gadis itu.
"Siapa lagi kalo bukan Pak Nino."
Deg!
Detak jantung Yara terasa berhenti, bertunangan, pujaan hati, Pak Nino, kata-kata itu berputar di benaknya dengan berulang-ulang. "Gimana, Mbak?" Dengan suaranya yang sedikit bergetar dia pun bertanya.
Belum sempat Mbak Iis menjawab, Ega yang duduk di sebelahnya sudah bergelayut sedih pada lengan perempuan itu.
"Mbak Iis, pokoknya jangan nyalain tivinya ya, sore ini Pak Nino mau jumpa pers, dia mau ngenalin tunangannya juga." Ega meraung sedih, meski tidak ada air mata yang mengalir di pipinya, gadis itu terlihat amat merana.
Yara yang penasaran, mengambil remot tv dan menyalakan benda yang sengaja ditempelkan pada tembok atas, agar pengunjung juga dapat melihatnya.
"Yaraaa! Matiin!"
Teriakan Ega tidak lagi terdengar oleh Yara, pandangannya mengarah pada televisi yang menampilkan sosok Nino, juga Sila yang berdiri saling berdampingan.
Di hadapan mereka para wartawan tampak sibuk mengambil gambar, pasangan itu memamerkan tangan kiri masing-masing, yang tersemat cicin serupa di jari manis keduanya.
Yara membeku, entah kenapa hatinya begitu sakit melihat itu.
"Ya, anterin jus ke meja nomor dua belas gih," suruh Mbak Iis dengan meletakan segelas jus di hadapan Yara, namun gadis itu malah diam saja. "Yaya!"
"Eh iya, Mbak Iis." Yara yang terlonjak kaget tidak sengaja menyenggol gelas dan membuat isinya tumpah di atas meja.
"Ya Allah Yara, gue suruh anterin bukan tumpahin." Mbak Iis mengomel.
"Maaf, Mbak. Aku nggak sengaja." Yara mengambil kain lap kemudian membersihkan tumpahan jus di atas meja.
"Aduuh, cantik banget lagi tunangannya." Ega menggigit lap di tangannya dengan gemas.
Mbak Iis menoleh. "Katanya nggak mau nonton."
"Terlanjur lah. Tapi mereka cocok juga sih, yang satu pengusaha. Satunya lagi model sama artis sinetron." Ega menjelaskan profesi pasangan muda, yang menjadi buah bibir di akun lambe lumrah beberapa hari ini. Dan selama itu Yara memang kehabisan kuota, gadis itu juga jarang nimbrung dengan teman-temannya.
"Jan jangan gimmick doang, buat matahin scandalnya sama siapa tuh cowok berkacamata."
"Mas Yayan," jawab Ega, yang memang serba tahu jika menyangkut sebuah berita. "Tapi kayaknya ini asli deh, s6oalnya yang aku baca di akun lambe katanya mereka tuh udah kenal sejak kecil, ibunya aja sahabatan, duh aku jadi tau wajah ibu Pak Nino, cantik banget sumpah padahal udah tua."
"Namanya juga orang kaya," ucap Mbak Iis, "itu tunangannya namanya siapa sih, emang artis sinetron beneran?"
"Duh lupa aku," ucap Ega. "Kalo nggak salah namanya Sila Marcelia Atmaja. Pemain sinetron yang lagi naik daun."
"Ooh, yang judul filmnya ikatan tali puser bukan sih?"
"Ikatan cinta dong, Mbak Iis. Masa tali puser." Ega memukul rekan kerjanya itu dengan serbet di tangannya.
Mbak Iis tertawa, dia sengaja menggoda kepekaan gadis itu."Lah ikatan Cinta mah Si Andini dong, kok mukanya beda?"
"Eh iya bukan, ikatan takdir judul filmnya," ralat Ega.
Saat perdebatan judul sinetron itu masih berlanjut di antara mereka berdua, Yara masih sibuk mengelap meja, namun pikirannya entah kemana. Jiwanya terasa kosong. Tanpa sadar dia pun meneteskan air mata.
"Lah, Ya. Kenapa lo?" Mbak Iis bertanya.
"Yara kamu kenapa?" Ega yang ikut panik menghampiri gadis itu dan menyentuh pundaknya. "Kenapa, Ya?"
Yara mengangkat kepala, tangisannya semakin kuat, bersahut-sahutan dengan suara televisi yang tengah menayangkan azan magrib. "Mbak Iis jahat, aku numpahin jus diomelin," rengeknya.
"Mbak Iis Nih." Ega mengomel.
Iis tentu saja terkejut. "Yaelah Yaya! Baperan banget sih lo. Iya gue minta maaf."
****
Bab 16 Curiga
Nino duduk bersandar di meja kerjanya, pandangan pria itu mengarah pada cincin pertunangan yang melingkar di jari manis.
Semakin hari, mengagumi sosok Yayan membuatnya merasa semakin tidak normal. Dan dengan cara ini dia menghindari pemuda itu juga perasaannya.
Sebuah ketukan di pintu dan suara terbuka setelah itu membuat Nino kemudian menoleh. Bima melongokkan kepala, mengatakan bahwa makan siang pesanan pria itu sudah berada di tangannya.
"Kamu sudah makan?" Nino bertanya pada asistennya.
"Belum, Pak. Ada yang masih perlu saya selesaikan sebentar lagi." Bima yang membawa kotak berisi makanan, dari restoran ternama dekat kantornya itu melangkah masuk, berniat memberikan benda itu pada atasannya.
"Buat kamu saja, Bim." Akhir-akhir ini selera makan Nino sedikit berkurang, atau mungkin dia merindukan masakan Yayan. Beberapa hari tidak makan di rumah, sepertinya dia kehilangan berat badan.
Kalimat itu membuat Bima menghentikan langkah. "Eh, gimana Pak?"
"Kamu aja yang makan." Nino beranjak berdiri, merapikan jas yang ia kenakan kemudian melangkah menuju pintu. "Aku mau ke sekolahan Loly, nanti makan di sana aja," imbuhnya, lalu melangkah pergi.
Bima yang masih berdiri di tempatnya menoleh pada jam dinding yang tersangkut di ruangan itu. "Jam segini Nona Jira bukannya sudah pulang." Dia bergumam sendiri.
Sesampainya di sekolahan Jira, ternyata tempat itu sudah sepi. Nino melirik jam di pergelangan tangan. Anak itu pasti sudah dijemput oleh ibunya, apa dia harus pulang ke rumah?
Aroma masakan yang menguar dari restoran yang terletak di sebelah sekolahan itu membuat Nino menjadi lapar. Dia pun memutuskan untuk makan siang di sana saja.
Di tempat yang sama, Yara yang tengah mencatat pesanan untuk diberikan pada koki amat terkejut saat mendapati Nino melangkah masuk ke tempat itu. Dia berjongkok untuk bersembunyi di bawah meja.
"Kenapa, Ya?" Ega yang berdiri di sebelahnya jadi bingung. Dan saat menolehkan pandangannya ke depan dia berubah senang. "Pak Nino?"
Nino mendekat. Menanyakan apakah masih ada kursi yang kosong untuk dirinya, dia kesulitan mencari tempat karena pengunjung tampak penuh.
Belum sempat Ega menjawab pertanyaan pria di hadapannya, Mbak Iis yang datang dengan membawa nampan pesanan tamu, menegur Yara yang berjongkok di bawah meja.
"Yaelah Yaya, lo ngpain di situ." Mbak Iis bertanya dengan suaranya yang tidak bisa dibilang pelan. Wanita itu memberikan nampan di tangannya pada Ega.
Yara yang tengah bersembunyi tentu saja kaget, dia mengacungkan pulpen di tangannya yang sejak tadi ia genggam. "I, ini Mbak Iis, aku ngambil pulpen ini jatoh," ucapnya, kemudian beranjak berdiri, berharap pria bernama Nino itu sudah pergi.
Nyatanya Nino masih berada di tempatnya, pria itu sedikit mengerutkan dahi saat Yara tampak terkejut melihat dirinya.
Sesaat hening, suara bising di dalam resto yang penuh dengan pengunjung itu mendadak sepi. Tatapan keduanya bertemu, rasa hangat menjalar di ruang hati Nino. Sama seperti saat dia menatap seseorang bernama Yayan.
"Eh, Omnya Jira, mau pesen apa?" Dengan canggung Yara kemudian bertanya.
Ega menyikut lengan gadis di sebelahnya. "Pak Nino nyari kursi kosong, cariin gih. Aku mau nganterin pesanan," ucapnya, kemudian melangkah pergi membawa nampan di tangannya.
Di tinggal berdua Yara jadi canggung, dia pun keluar dari meja dan melangkah cepat mencari kursi kosong di tempat itu.
Setelah merapikan piring kotor, yang baru saja ditinggalkan pengunjung dan memberikannya pada karyawan lain yang lewat, dia menyuruh Nino untuk duduk.
"Mau pesen apa, Bang? Eh Pak." Yara kelepasan memanggil pria itu seperti saat dia menjadi Yayan.
Nino yang sudah duduk di kursinya menoleh, kemudian menyebutkan menu yang biasa ia makan di restoran itu. Namun dia meralatnya, beralih menanyakan menu yang sering ia makan di rumahnya. "Apakah ada?"
Yara tertegun, menu itu biasa ia buatkan saat Nino meminta makan malam. Dan memang salah satu menu andalan di restoran ini. "Ada, Pak. Minumnya apa?"
"Seperti biasa."
"Lemon tea?" Setelah menyebutkan itu Yara sontak terdiam, lagi-lagi rasa gugup membuatnya kelepasan.
Nino menatap gadis itu dengan melipat lengannya di depan dada. Tingkahnya yang aneh membuat ia jadi curiga, siapa gadis ini sebenarnya?
"Anda sering memesan minuman itu saat makan di sini bersama Jira," ucap Yara, menjelaskan kenapa seolah dia bisa tahu tentang kebiasaan pria di hadapannya.
Nino mengangguk. "Iya, itu saja."
"Baik, mohon tunggu sebentar." Yara segera berbalik dan melangkah pergi, namun pria itu memanggilnya lagi.
"Tunggu." Nino mengangkat tangan kirinya, menghentikan langkah gadis itu.
"Iya, Pak?" Yara berbalik, tertegun saat menatap cincin yang tersemat pada jari manis pria itu, ingatannya kembali berputar pada berita pertunangannya dengan wanita bernama Sila, hatinya kembali terluka. "Ada apa?"
"Aku mau kamu yang masak buat aku." Pinta Nino, entah kenapa dia ingin memastikan sesuatu.
Sejenak Yara tertegun. Apakah Nino mulai curiga bahwa dia adalah orang yang sama, dengan seseorang yang tinggal di rumahnya. "Saya di sini hanya pelayan."
"Saat Jira yang meminta pesanan, kamu yang memasak untuknya bukan?" Nino bertanya memastikan.
"Iya, sesekali memang saya yang masak jika-,"
"Buatkan menu itu untuk aku," potong Nino, tidak peduli gadis itu keberatan atau tidak, dia hanya ingin memastikan sesuatu saja.
Setelah gadis itu setuju dan berbalik untuk menyiapkan pesanannya, Nino menunggu dengan memainkan ponsel. Dia jadi berpikir sedang apa Yayan sekarang dan di mana pemuda itu bekerja.
Lama Nino berpikir, mengambil keputusan untuk menelepon pemuda itu atau tidak. Dan akhirnya dia melakukannya.
Saat pria itu menempelkan ponselnya pada telinga, dia terkejut saat dering telepon terdengar jelas di sebelahnya. Dan Nino mendapati Yara sudah berdiri di sana saat ia menolehkan kepala.
Dering ponsel yang ia letakan di saku apron membuat Yara sedikit kelabakan, apakah pria itu tengah menghubunginya?
Setelah meletakan makanan yang ia bawa ke atas meja, Yara mengambil benda itu dan menekan simbol mute saat nama Bang Nino muncul di layarnya.
"Halo Sayang, iya bentar lagi mama pulang," ucap Yara berpura-pura menerima panggilan telepon agar pria itu tidak curiga. "Iya, tungguin mama ya, Sayang," imbuhnya dengan melangkah menjauhi Nino, yang tampak kebingungan di kursinya.
Perlahan, Nino menurunkan ponsel dari telinganya. Panggilan telepon untuk Yayan tidak mendapatkan jawaban, dia justru lebih tertarik memikirkan karyawan resto itu, yang mungkin saja sudah punya anak dan tengah ditunggu kepulangannya.
Nino mulai memakan pesanannya, sejenak dia terdiam. Rasa masakannya berbeda dari yang biasa Yayan suguhkan kepadanya, mungkin dugaannya memang salah. Keanehan karyawan resto itu tidak ada hubungannya dengan pemuda yang saat ini masih tinggal di rumahnya.
Di balik meja kasir, tempatnya berdiri memperhatikan Nino yang tengah menikmati kudapannya. Yara mengusap dada, dia tidak mengindahkan permintaannya untuk memasak pesanan pria itu. Tentu saja Yara meminta bantuan koki, bahkan hanya untuk menyiapkan Lemon tea saja bukan dia yang meraciknya. Semoga pria itu tidak curiga.
"Kenapa sih, Ya." Ega menepuk pundak Yara dan membuat gadis itu terkejut.
"Ih kamu ngagetin aku," omel Yara. "Eh, Ga. Nanti kalo Pak Nino udah selesai kamu aja yang kasih tagihannya ya," pinta gadis itu.
Ega yang tersenyum senang tentu saja mengiyakan dengan semangat, tanpa sedikitpun merasa curiga kenapa Yara menghindari Nino, dia justru terlihat bahagia.
"Yara, jadi nggak ntar jalan-jalan sepulang kerja?" Ega kembali mengingatkan rencana mereka.
"Iya jadi."
Setelah pulang kerja dan memenuhi janjinya dengan Ega untuk jalan-jalan bersama, Yara kemudian pulang ke rumah Nino.
Seperti biasa, gadis itu selalu berhenti di wc umum untuk mengubah penampilannya menjadi Yayan, si bapak berkacamata penunggu kamar mandi itu selalu kebingungan saat pengunjung wanita yang datang menyewa kamar mandinya, selalu keluar dengan penampilan seorang pria. Tapi sepertinya Yara tidak pernah merisaukannya.
Tempat itu cukup dekat dengan rumah Nino yang terletak di pinggir jalan. Yara cukup berjalan kaki untuk bisa sampai di sana.
Malam ini Yara lupa tidak mengenakan korset di dadanya, tapi dia pikir itu tidak akan bermasalah. Baju yang ia kenakan cukup longgar untuk menyamarkan keberadaan gunung kembar. Dan lagi, akhir-akhir ini Nino sering pulang malam dan terkesan menghindarinya. Jadi aman-aman saja.
Suasana rumah tampak gelap saat Yara memasukinya, gadis itu menyalakan saklar lampu dan terkejut saat mendapati pria bernama Arjuna tengah tertidur di atas sofa.
Arjuna sepertinya terganggu dengan kedatangan Yara, kedua kelopak matanya terbuka, terlihat sayu dan tidak bercahaya.
"Bang Arju? Kenapa?" Takut-takut Yara bertanya, pria itu kemudian terduduk dan menyandarkan tubuhnya pada sofa, dia tampak menangis.
Tentu saja hal itu membuat Yara khawatir, Arju menyuruhnya untuk mendekat dan saat Yara duduk di sebelah pria itu, dia langsung memeluknya.
Yara reflek menyilangkan kedua lengannya di depan dada, "Bang Arju kenapa si?" Yara menolak untuk dipeluk, dia takut pria itu akan sadar bahwa dadanya begitu empuk.
Arju menceritakan tentang hidupnya yang begitu nelangsa, harus tinggal satu atap bersama mantan yang masih dia cinta, yang kini sudah menjadi ibu tirinya. Yara bingung harus memberi tanggapan bagaimana.
"Sabar ya, Bang Arju. Namanya juga hidup pasti banyak cobaan, kalo banyak cucian mah laundry dong." Yara mencoba menghibur pria itu, namun sepertinya tidak berpengaruh.
Pria itu memeluk tubuh Yara yang masih menyilangkan kedua lengan di dadanya. Sepertinya dia mabuk, dari ucapannya yang terkesan ngelantur Yara menduga, Arjuna tidak sadar sepenuhnya.
"Yayan aku sedih, kamu tau nggak sih." Arju kembali merengek.
"Iya, Bang tau."
"Temenin aku minum, Yan."
"Eh, gimana?"
****
Netizen: Duelaah Mas Yayanku masih volos diajakin mavok, aku tak relaaa ๐ญ๐ญ
Author: nggak papa orang Bang Enjun mabok air mineral doang, kebanyakan jadi teler. ๐คซ๐คซ๐
Netizen: iiih gamauuu gasukaa galaaaik
Author: idih najooong ๐๐๐
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
