Novel - Bagaimana Aku Bertemu Kematian-TAMAT

33
19
Deskripsi

Novel ini bergenre thriller fantasi religi dengan banyak balutan sarkas. 

BLURB

Hanif merasa gelisah karena selama berminggu-minggu selalu mengalami mimpi yang sama. Yaitu didatangi seorang perempuan yang mengatakan bahwa ia akan meninggal 3 hari lagi. Saat hidupnya sedang dihantui mimpi buruk, kekasihnya Nancy ditemukan berselingkuh dan sahabatnya Abdul melakukan pengkhianatan,

Di sisi lain, ada seorang wanita bernama Raya sedang mencari seorang lelaki dari masa lalunya, ia ingin menyampaikan surat...

Bagaimana Aku Bertemu Kematian?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Achi TM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sinopsis

 

Bagaimana Dewo dan Bima bertemu kematian?

            Bagaimana Papa bertemu kematiannya?

            Bagaimana Bang Nero bertemu kematiannya?

            Bagaimana Farah dan Firza bertemu kematiannya?

            Bagaimana Mama bertemu kematiannya?

            Bagaimana Abdul bertemu kematiannya?

            Semua orang punya sebab kematian, punya cara bertemu kematian yang berbeda. 

            Bagaimana saya bertemu kematian?

            Setelah puluhan tahun hidup di dunia, saat inikah jawabannya?

            “Innalillahi wainna ilaihi rajiun ….”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Isi

 

1. Tujuh Hari Menuju Kematian

2. Enam Hari Menuju Kematian

3. Lima Hari Menuju Kematian

4. Empat Hari Menuju Kematian

5. Tiga Hari Menuju Kematian

6. Setelah Kematian Itu

7. Pertemuan Itu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1

Tujuh Hari Menuju Kematian

 

Aku

Aku tertidur. 

Saat kemudian aku terbangun, aku tak lagi melihat kamu. Kamu yang beberapa bulan belakangan ini menjadi bunga tidurku. Aku menguap dan memperbaiki posisi dudukku, menikmati sisa sore di taman ini. Lagi-lagi aku gagal menemuimu. Aku tak punya banyak waktu, surat cinta ini harus segera kuberikan. Cinta sejati tak seharusnya lama berada di dalam saku celanaku, dia harus masuk ke hatimu secepatnya. Sebelum semua terlambat dan hanya tersisa penyesalan. 

Biasanya aku melihatmu di taman ini, puluhan tahun yang lalu. Taman yang kamu sebut sebagai Taman Pelangi. Aku harap kamu masih biasa jalan-jalan sore mengitari taman ini. Tapi, taman ini tak lagi seindah dulu. Lampion warna-warni berbentuk pelangi—dulu kau sering menceritakan padaku bagaimana awal lampion itu menghiasi taman—kini sudah lusuh, tinggal kerangka. Bahkan tak layak lagi disebut hiasan. Patung angsa di danau buatan, yang dulu kaubanggakan sebagai karya seni masyarakat yang penuh cita rasa, kini kehilangan kepalanya. Hanya patung badan angsa yang kusam serta danau yang menghitam. 

Taman ini tak seindah sepuluh tahun yang lalu. Pantas saja aku tak lagi menemukan kamu di sini. Lantas, sebelum aku jatuh tertidur lagi, aku segera pergi. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku berjalan ke luar taman. Berpapasan dengan muda-mudi yang berkencan dengan setan, membuat sepercik semangatku menggelora. Aku menghampiri mereka.

“Sudah menikah?”

“Belumlah, Mbak,” jawab si Cowok Tanggung dengan ketus.

“Terus, ngapain pacaran di sini? Mau maksiat? Sana pulang!” Aku sedikit menghardik, melotot tajam pada sang Perempuan. “Jangan mau mengobral harga diri kamu. Kalau kamu nggak kasihan sama tubuh kamu, kasihanilah orangtua yang membesarkan kamu.” Nada suaraku tetap tegas. 

“Udah nggak zaman ceramah, tauk!” Si Cowok menyalak. 

Si Cewek terlihat kikuk, sementara sang Cowok kesal dan menarik pacarnya ke luar taman. Entah mereka mencari tempat aman lainnya atau memang pulang ke rumah. 

Aku menghela napas, menyesali sikapku yang agak kasar. Kamu sering bilang, seharusnya dakwah itu lemah lembut karena Rasulullah Saw. mengajarkan seperti itu. Tapi, senja ini, di bawah langit jingga dan matahari yang keemasan, saat aku tak menemukanmu setelah sepuluh tahun mencari, bagaimana aku bisa lemah lembut?

Aku menghirup napas panjang, mengembuskannya pelan seraya berkata dalam hati, “Raya, semuanya akan baik-baik saja. Ya, semua akan baik-baik saja. Aku pasti akan menemukan kamu, meskipun hanya punya sedikit waktu.”

Kata dokter, tujuh hari lagi adalah hari kematianku. 

Tapi, kata kamu, kematian itu adalah mutlak rahasia Allah. 

Kataku, sebelum mati, aku harus bertemu kamu. Menyampaikan cinta ini.

Dan, itu mutlak.

***

 

Saya

Saya tercekat karena mimpi itu lagi. Mimpi tentang seorang perempuan muda yang terus mencari-cari saya. Perempuan itu cantik, berkulit putih, langsing cenderung kurus, selalu memakai jilbab hijau muda, serta senantiasa merintih kesakitan. Saya tidak tahu siapa dia, saya tidak mengenalnya. Itulah yang membuat saya takut. Karena, gadis itu selalu datang dalam mimpi saya, tepat di sepertiga malam, dan saya selalu terbangun tepat pukul 03.00 pagi. Setelahnya, saya tak pernah bisa tidur lagi. 

Sialnya, itu membuat saya selalu mengalami bad mood di pagi hari. Mungkin begini perasaan yang biasa dialami cewek kalau akan PMS—saya tidak terlalu yakin. Yang saya rasakan adalah kepala pusing, mengantuk, dan terus-menerus menyingkirkan perempuan misterius itu dari kepala saya.

“Mungkin dia calon jodoh elo, Han,” celetuk Abdul seenaknya. Asal. Karena, dia tahu bahwa sekarang saya punya pacar. 

Abdul menyodorkan kopi hitam pesanan saya. Kami duduk di kafe yang berada tepat di depan gedung kantor. Beginilah akibatnya kalau berangkat kepagian. Pukul 07.00 pagi, saya sudah ada di depan kantor karena saya bingung menghabiskan waktu seorang diri di apartemen dengan perasaan kacau akibat mimpi itu. 

“Kalau emang Tuhan nunjukin itu calon istri gue, seharusnya Dia tahu bahwa gue suka sama cewek seksi, kayak Nancy,” kata saya sambil menyeruput kopi hitam. Hangat dan sedikit menenangkan kegelisahan saya sepanjang pagi ini. 

“Ah, elo, Han, sama Tuhan aja mintanya banyak, tapi salatnya boro-boro,” Abdul mencibir. 

Saya menyengir. Lalu, kami terlibat obrolan ringan di pagi ini. Seputar pertandingan sepak bola yang saya lewatkan semalam, lalu beralih pada kegiatan komunitas sepeda santai kami, kemudian kembali lagi pada topik perempuan misterius itu. Sial! Dia lagi dia lagi. Ini karena Abdul yang terus penasaran kayak perempuan. 

“Emang kenapa elo takut banget sama tuh cewek? Mukanya kayak zombie?”

Saya meletakkan gelas kopi dengan kasar di atas meja, rasanya malas meladeni dia. Tapi, apa mau dikata, Abdul ini memang mempunyai tingkat penasaran yang tinggi. Kalau kata anak muda zaman sekarang, itu istilahnya “kepo”. Mendadak, saya merasa tua. Umur saya sudah 32 tahun, tapi belum menikah juga. Sementara, Abdul sudah punya tiga anak, tapi hobinya tetap saja ikutan biro jodoh. Edan dia! Katanya mau cari istri lagi biar bisa poligami. Kalau edannya sudah mulai akut, saya biasa menampar dia. Karena, istrinya adalah mantan pacar saya waktu kuliah. Masa saya tega membiarkan orang yang pernah saya cintai disakiti oleh Abdul? 

Saya tak pernah segan menampar Abdul karena dia sahabat saya sejak SMA. Kami pernah berbual-bual suatu hari setelah lulus SMA bahwa kami akan menjadi sahabat sepanjang masa sampai maut memisahkan kami. Faktanya, dia yang selalu mengikuti saya. Dia ngotot masuk kampus tempat saya kuliah meskipun harus membayar mahal lewat jalur khusus, dia ngotot mau kerja di kantor jadi karyawan biasa seperti saya meskipun bapaknya punya usaha minimarket di mana-mana. Terkadang saya berharap dia mati duluan sehingga saya bisa menikahi jandanya. 

“Han!” Abdul menoyor kepala saya, kebiasaan kasarnya yang tidak pernah hilang. “Elo ngayalin apa, sih?”

“Istri lo!”

“Dul, kalo elo jatuh cinta sama perempuan berjilbab yang selalu hadir di mimpi gue, nanti malem elo dateng, ya, ke mimpi gue. Elo bawa, deh, dia ke KUA, biar nggak usah ganggu hidup gue lagi,” jawab saya tegas.

Di kejauhan, saya melihat gedung kantor sudah dibuka. Bergegas, saya berdiri sambil menyambar ransel. Abdul ikut berdiri dan ikut menyambar ransel. Ia menyejajarkan langkahnya dengan langkah saya.

“Elo serius, Han? Kalo dia mau, sih, gue oke-oke aja.”

Ini saya yang gila atau Abdul yang sudah tidak waras?

“Serius, nanti malam gue tunggu di mimpi gue.”

***

 

Aku

Aku kembali ke rumah sakit tempat Nenek dirawat, menyusuri lorong-lorong penuh orang sakit yang berlalu-lalang, bercampur dengan suster, dokter, serta bau obat-obatan. Beberapa suster yang sudah sering berpapasan denganku memberikan senyum hangat. Aku balas tersenyum. Tanpa kusadari, langkahku sudah berada di depan pintu kamar Nenek. Dari balik kaca, aku melihat Nenek sedang salat dengan posisi berbaring. Pasti suster yang memasangkan mukena itu karena aku melihat seorang suster menunggu di pinggir tempat tidur. Aku membuka pintu yang menimbulkan suara berderit. Suster memberi isyarat agar aku tidak membuat keributan. Nenek masih khusyuk menyelesaikan rakaat terakhir salat Magribnya. Aku berdiri diam di sudut ruangan sampai Nenek usai memberi salam.

Bergegas, aku mengambil alih tugas suster untuk membantu Nenek melepaskan mukena. Suster memberiku beberapa pengarahan seputar obat yang harus Nenek minum serta jadwal kemoterapinya. Pengarahan yang berulang-ulang setiap hari dan sudah kuhafal baik di luar kepala. Demi menghormati tugasnya sebagai suster, aku hanya menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih. Suster lalu keluar dari kamar dan membiarkan aku bersama Nenek menikmati ruang rawat VIP yang sunyi ini.

“Assalamualaikum, Nek,” kataku setelah selesai melipat mukena. 

Aku membelai rambut putihnya yang terang bercahaya di bawah lampu, lalu mengecup keningnya yang penuh kerut. Pada zaman ini, kemoterapi untuk kanker tak lagi begitu menyakitkan atau menyebabkan rambut rontok. Teknologi kedokteran sudah begitu maju.   

“Waalaikumsalam, Raya …,” jawabnya berusaha terlihat riang dan kuat. Senyumnya yang lebar serta binar bola matanya yang masih bundar sempurna menutupi sakit yang menggerogotinya. 

Aku menciumi punggung tangan Nenek sambil menatap nanar leher dan pundaknya. Kanker tiroid pernah bercokol di sana, namun kanker itu sudah berhasil dilumpuhkan dengan obat-obatan baru yang ditemukan manusia pada zaman ini. Namun, sebuah penyakit baru yang lebih ganas dari kanker, hasil mutasi dari virus-virus terdahulu yang membuat Nenek menjadi lemah. Aku tak terlalu paham apa nama virus itu dan dari mana virus itu berasal. Menurut dokter, virus tersebut tumbuh karena manusia kurang bergerak. 

Mereka menyebutnya “V-Diamond”. Berlian. Membatu. Keras.

Manusia sudah dilenakan oleh kemajuan teknologi. Facebook pada zaman dulu sudah berganti dengan Touch, sebuah teknologi komputer baru. Sekali sentuh, layar mereka sudah bisa terkoneksi satu sama lain. Jika berteman, mereka bisa saling membaca pikiran masing-masing, berbincang tanpa bicara, tanpa mengetik, bahkan ada aplikasi khusus yang membuat orang-orang bisa saling bertandang dalam mimpi. 

Touch menyingkirkan Facebook, Twitter, Skype, Instagram, dan media sosial lainnya hanya dalam waktu kurang dari dua bulan setelah program canggih itu diluncurkan. Hanya segelintir orang kuno yang masih menggunakan Facebook dan Twitter. Bahkan, mereka menggangap Touch sebagai program sampah yang tidak menyisakan ruang privasi buat orang lain. Aku pun tidak terlalu menyukai program itu. Khususnya aplikasi bermain dalam dunia mimpi. Ini sungguh-sungguh mengusik tidur.

Menurut Nenek, Facebook dan Twitter di zamannya sudah merenggut kesempatan banyak orang untuk bersilaturahmi. Dahulu orang senang saling bertandang, khususnya bila Lebaran tiba. Tapi, sejak Facebook booming dan semakin menjadi bagian dari kehidupan, orang cukup mengirim ucapan selamat Idulfitri di wall Facebook, bermaaf-maafan, dan selesai sudah. Semakin lama, kue kering yang biasa Nenek sajikan setiap Lebaran hanya habis dimakan diri sendiri. 

Berbagai teknologi canggih juga berhasil membuat manusia kehilangan momen bergerak mereka. Eskalator berjalan yang melintang di setiap jalanan penting ibu kota membuat para pejalan kaki enggan melangkah. Untuk mengurangi populasi mobil dan motor, pemerintah kota-kota besar di Indonesia berhasil membuat kereta dengan tenaga surya yang berbentuk panjang, berjalan cepat tanpa hambatan, dan dapat menampung banyak orang. 

Taman-taman asri ditinggalkan, kuburan diramaikan dan ditata sedemikian rupa seolah taman. Semakin hari orang-orang tua semakin langka. Kualitas makanan serta pola hidup yang tak sehat telah menekan populasi manusia, menurunkan tingkat harapan hidup. Meninggal di usia 35 tahun adalah hal yang lumrah. Itulah sebabnya orang berlomba-lomba memesan kaveling kuburan, meramaikannya, dan memasang aplikasi Touch di sana. Orang-orang yang berusia di atas enam puluh tahun diistimewakan. Mereka diberikan rumah mewah dan fasilitas kesehatan gratis, dianggap sebagai manusia yang berhasil hidup dengan baik, serta dijadikan guru untuk mengajari anak-anak agar kembali kepada kehidupan normal, makanan sehat, dan pola hidup sehat. 

Tetapi, begitu sampai di rumah, anak-anak itu sudah kembali tenggelam dalam Touch Game Dream. Hanya dengan tidur, mereka bisa bermain game sepuasnya. Sekolah hanya formalitas dan diisi oleh anak-anak yang mengantuk. 

Tak masuk akalnya, Touch menyediakan komunikasi untuk orang-orang mati. Apakah teknologi sudah memutarbalikkan akal pikiran manusia? Agama hanya menjadi semacam ritual. Salat, mengaji, bersedekah sudah menjadi tren. Namun, sekadar menjadi tren. Sikap selfie semakin menjadi-jadi. Berfoto saat salat, lalu memasukkan fotonya ke dalam akun Touch. Sedekah, berfoto; mengaji, berfoto; membantu orang, berfoto. Bahkan, kini sedang tren orang-orang mem-posting foto sakaratulmaut. Foto itu di-posting oleh orang terdekat mereka, dipajang di akun Touch mereka, dipajang pula dalam nisan yang berbentuk layar android. Hal itu telah menjadi tren selama sepuluh tahun terakhir. 

Orang-orang dibodohi teknologi. Orang-orang yang mati itu lalu muncul lagi di akun Touch saat layar nisan mereka disentuh. Mereka tahu bahwa itu hanyalah rekaman kegiatan Touch selama mereka hidup. Mereka tahu, tetapi tidak mau tahu bahwa setelah kematian tak ada lagi kehidupan dunia. Mereka hanya menghibur diri karena duka atas kematian. 

Setelah kematian, yang ada hanyalah alam barzakh. Mereka membayangkan alam barzakh begitu indah, begitu bebas tanpa beban, seperti Touch. Mereka lupa bahwa di sana Malaikat Munkar dan Nakir bertanya dalam kubur, “Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Apa kitab sucimu? Siapa rasulmu?”

Mereka tak bertanya berapa jumlah teman di akun Touch-mu.

Tapi, tentu saja di balik ribuan orang gila yang menganggap kematian sebagai hal yang tak perlu ditakuti, ada ribuan orang lain yang masih waras dan menganggap kematian sebagai hal yang harus ditakuti. Bukan takut akan matinya, tetapi takut setelah kematian itu. Takut akan apakah amal telah cukup, apakah bekal sudah bisa memenuhi, dan takut bila mati dalam keadaan suulkhatimah. 

Maka, kematian dan tren sakaratulmaut di Touch terus menjadi trending topic dalam berita, menjadi perdebatan panjang di antara ulama.

Lalu, tiga tahun lalu, virus V-Diamond ditemukan. Mematikan dan membunuh banyak orang. Manusia hanya akan bertahan selama tujuh hari setelah tertular oleh penyakit itu. Virus itu tak menular lewat udara, tak menular lewat sentuhan fisik, virus itu menular lewat mimpi.

 Sejak tiga tahun lalu, orang-orang mulai memasang antivirus dalam akun Touch mereka. Orang-orang yang terkena virus itu tak bisa masuk ke dalam akses mana pun. Termasuk Nenek. Ah, Nenek tak pernah main Touch. Tapi, kenapa virus itu menular dengan cepat dan ganas?

Dokter bilang, virus yang ada dalam diri Nenek berasal dari kenangan masa lalu. Aku semakin tak mengerti mengapa kenangan bisa begitu menyakitkan. 

Aku menghela napas sambil menutup jendela, memandangi lampu kerlap-kerlip ibu kota yang tetap ramai dan penuh geliat. Sejak sepuluh tahun kepergianmu, aku tak bisa menemukanmu di mana pun. Aku mencoba untuk memakai akun Touch, berharap bisa menemukanmu di dunia mimpi, tapi nihil. Aku tahu kamu tak terlalu suka dengan aplikasi itu. Kamu satu di antara sekian ratus orang yang memilih tetap menggunakan Facebook dan Twitter. Tapi, sepuluh tahun terakhir, dua akun sosial itu bagaikan bangkai yang teronggok di pinggir rel kereta api. 

Aku tak menemukan jejakmu di mana pun. 

Sampai tujuh hari yang lalu, aku bisa menemukanmu dalam mimpi. Sejak itu aku yakin kamu juga mencariku. Aku yakin kamu menungguku agar aku bisa menemukanmu. Di suatu tempat yang tak tersentuh oleh Touch. 

            “Sudah kauberikan surat cinta itu, Raya?” tanya Nenek dengan mata mengantuk. Dia sudah mulai lelah dan bosan. Serangan pertama yang dilakukan oleh V-Diamond adalah melumpuhkan semangat, setelah itu melumpuhkan harapan. 

            Sebelum V-Diamond melumpuhkan harapan hidup Nenek, aku harus berusaha keras menyalakan pelita harapan agar tetap pada tempatnya. Itu saran terbaik dari dokter karena obat yang ada saat ini belum bisa menyembuhkan penyakit itu. Hanya memanjangkan umur untuk beberapa jam. Beberapa hari. 

“Belum, Nek,” jawabku hati-hati sambil melangkah ke samping Nenek. 

“Kamu tahu, kan, Raya? Harapan terbesar Nenek adalah kamu menemukan Mas Hanif, lalu kamu menikah …,” Nenek terdiam, napasnya pendek-pendek, “membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.”

Lalu, Nenek tertidur. Aku meremas surat di saku celanaku sebelum akhirnya menutup tubuh ringkih Nenek dengan selimut.

***

 

Saya

Saya tenggelam dalam aktivitas.

“Lagi Facebook-an, ya, Nif?” tanya Ami, rekan satu ruangan saya di kantor. Cewek cantik, modis, seksi, jomblo, tapi saya tidak tertarik padanya. 

Saya hanya mengangguk sambil kembali mengutak-atik akun Facebook saya di gadget.

“Emang masih zaman, Nif? Sekarang, kan, udah ada jejaring sosial baru yang keren banget. Orang-orang yang masih pake Facebook, jadul, tahu.”

“Saya suka yang jadul.” Saya rasa, jawaban saya sudah cukup membuat dia kapok menggoda saya, dan saya benar. 

Ami yang merasa sangat up to date dalam fashion mulai mengangkat tasnya dan pamit pulang. Saya bernapas lega mengetahui dia sudah pergi. Tinggallah saya sendirian di ruang kerja saya. Dia perempuan yang keras kepala dan suka menggoda pasangan orang. Padahal, saya sudah dua kali mengajak Nancy ke kantor dan memproklamasikan dia sebagai pacar saya, tapi Ami tetap saja tak berhenti mendekati. 

Saya dan Nancy sudah saling mengenal selama satu tahun. Kami bertemu di sebuah kafe, lebih tepatnya Abdul yang memperkenalkan Nancy kepada saya. Hari ini Abdul sudah pulang paling awal setelah mempresentasikan game terbarunya pada bos besar. 

Saya mempunyai seorang abang, Nero namanya. Nama yang keren dan cocok untuk seorang vokalis band. Wajahnya lebih tampan daripada saya, badannya juga lebih tinggi dan tegap daripada badan saya. Dia bahkan mempunyai suara yang sangat keren. Saya iri setengah mati padanya, tapi saya tidak mau menjadi dia.

Dia terlalu mengekang hidupnya dengan agama. Lepas SMA, dia memilih jadi santri di Pekalongan, mempelajari ilmu agama Islam dan bercita-cita ingin menjadi ulama. Saya tidak setuju dengan keputusannya karena saya tahu dia pemain gitar andal di bandnya saat SMA. Suara raungan gitar metalnya selalu membuat saya kagum dan mengidolakan dia. Tapi, setelah dia masuk pesantren, saya membenci dia 180 derajat. Kami jadi sering bertengkar bila berada di rumah, membuat Mama histeris dan memilih meninggalkan kami.

Semenjak Papa meninggal, Mama memang selalu mudah stres, mudah tersinggung, dan tak suka mendengar keributan. Sejak Mama pergi, kami berdua menjadi akur, tepatnya kompak dalam mencari Mama. Kami menemukan Mama menangis di pusara Papa selama dua hari dua malam. Saat itu, saya khawatir Mama menjadi gila dan mulai takut dengan kematian. Lihatlah, betapa kematian membuat seseorang yang dulu ceria dan selalu penuh semangat hidup berubah menjadi sekuntum bunga layu yang sangat rapuh. 

Hati saya, yang semula berusaha tidak sedih atas kepergian Papa, ikut teriris melihat kondisi Mama. Bang Nero lalu membawa Mama ke pesantrennya. Ajaib! Belum satu bulan di sana, Mama sudah terlihat seperti bunga yang mau merekah, bahkan lebih bersinar dengan jilbab putih yang menutupi rambut dan dadanya. Ada sedikit sesak dan kesal melihat Mama seperti itu. Seakan-akan itu orang lain, bukan Mama yang saya kenal senang bersolek dengan sasak tinggi dan baju berbelahan dada rendah nan seksi. Bukankah dulu hal itu yang membuat Papa tergila-gila pada Mama?

“Apa Papa tidak sedih melihat Mama seperti ini? Bukan ini Mama yang dicintai oleh Papa,” protesku saat Mama pulang dari pesantren.

“Insya Allah, Papa lebih bahagia di sana jika melihat Mama begini,” jawab Mama sambil menepuk pipi saya lembut. “Kelak, carilah istri yang memakai jilbab ... salihah, karena salah satu tanggung jawab seorang suami adalah memastikan istrinya menutup aurat dengan sempurna.” Senyum Mama mengembang. Nyaris membuat air mata saya tumpah.

Sialan! Kenapa hati saya bergetar melihat Mama begitu damai dan bahagia seperti ini? Saya pun merasa kalah ketika akhirnya Mama memutuskan untuk terus “nyantri” di pesantren yang sama dengan Bang Nero. Bahkan sampai Bang Nero lulus dari pesantren itu dan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi swasta, Mama masih bertahan di pesantren itu. 

Jika kami berkumpul bersama, saya merasa seperti alien yang terdampar di bumi atau manusia yang terdampar di dunia alien. Saya tak bisa mengerti mereka. Saya tak paham bila Mama dan Bang Nero membicarakan soal kegiatan-kegiatan dakwah, soal hafalan Alquran, soal ulama anu, habib itu, serta diskusi-diskusi mengenai hadis dan kitab kuning. 

            Saya tak tertarik menjadi bagian dari mereka. Meskipun Mama sering meminta saya salat dan mulai belajar mengaji, saya menolak. Semakin hari, hubungan saya dengan Mama dan Bang Nero semakin merenggang. Tepatnya, saya yang menjauh. Begitu Mama memutuskan kembali pulang ke rumah, saya malah memilih pergi hidup sendiri di apartemen yang saya beli lewat cara mencicil dengan hasil keringat saya. Barulah ketika Bang Nero menikah, saya mau datang menemui Mama dan Bang Nero. Ala kadarnya, hanya untuk menghormati posisinya sebagai kakak saya. Selebihnya, saya tak tertarik mengenal istrinya yang selalu memakai jilbab panjang dan jika bicara dengan saya pun sekadarnya. Maka, hubungan kekeluargaan kami pun ala kadarnya. 

            Kata orang, Mama dan Papa salah memberi saya nama. Saya dinamakan Hanif Muslim, tapi saya tak selalu suka menjadi muslim. Sebaliknya, Bang Nero bernama lengkap Nero Sebastian, tapi dia sangat mencintai Islam. Kadang saya menggugat, hingga pada akhirnya meminta semua teman memanggil saya dengan sebutan “Hans”. Terkesan lebih kebarat-baratan dan keren ketimbang Hanif Muslim. Untuk hal ini, saya setuju kalau Mama dan Papa salah memberi nama. 

            Sampai Tuhan meminta saya untuk menemui Bang Nero. Saya sudah tidak sanggup lagi menahan rasa penasaran. Sepanjang hari ini, selepas mengopi bersama Abdul, saya selalu memikirkan mimpi saya. Bahkan, saat saya tertidur sebentar di meja kerja, yang terlintas pertama kali adalah sosok perempuan berjilbab hijau itu, yang tengah mengerang, kesakitan, minta tolong, dan jeritannya semakin kencang. Saya mungkin tak akan terbangun kalau Abdul tidak mengguncang tubuh saya. Desain interior yang saya corat-coret di kertas karton terjatuh ke lantai dan sukses saya injak-injak ketika saya terbangun dan kaget mendapati diri saya berada di dalam kantor. 

            “Elo harus konsultasi sama Bang Nero, Han, siapa tahu dia punya solusi,” celetuk Abdul sambil membereskan desain yang saya buat.

            Saya tak langsung menjawabnya. Saya mencoba menenangkan diri dan kembali bekerja mengutak-atik di depan layar komputer. Tapi, pikiran saya terbelah jauh, alam bawah sadar saya menyetujui ucapan Abdul.

            Itulah yang membuat saya membawa mobil saya ke depan rumah Bang Nero malam ini. Saya benci dengan rumah Bang Nero yang kecil dan penuh sesak dengan suara tangis anak-anak. Sepertinya ia ingin memproduksi anak sebanyak mungkin, yang ia bilang akan dijadikan mujahid-mujahid kecil pembela Islam. Saya tak terlalu menyukai anak-anak. Tapi, saya tahan ketidaksukaan saya itu untuk menuntaskan rasa penasaran saya malam ini.

            Dan, di sinilah kami sekarang, duduk di teras depan memandangi pot-pot pohon pakis sambil mendengarkan istri Bang Nero yang sibuk menenangkan ketiga anak mereka di dalam sana. 

            “Kenapa kamu harus takut sama dia, Hanif?”

            Telinga saya agak terluka mendengar nama itu disebut. Tapi, saya membiasakan diri.

            “Karena dia selalu datang setiap malam, Bang, sudah tujuh hari berturut-turut. Bahkan, tadi pagi dia datang saat saya hanya sedikit terkantuk.”

            “Tapi, kamu bilang sosoknya cantik, berjilbab hijau, dia bukan sejenis zombie yang suka kamu mainkan dalam game, bukan? Jadi, untuk apa kamu takuti?”

            Saya mengerang mendengar jawaban khas Bang Nero. Selalu seperti itu bila dia menjawab pertanyaan, malah memberi pertanyaan retorika yang susah untuk saya jawab. Lalu, saya mengingat-ingat hal apa yang sebenarnya saya takuti dari bagian mimpi itu. Ah … iya, satu hal yang selalu saya takutkan adalah …

            “Adegannya selalu sama,” saya mulai merekonstruksi ulang mimpi saya. “Pertama, perempuan itu terlihat baik-baik saja. Dia duduk di sebuah taman yang terlihat tak terawat. Kemudian, saya seperti melangkah ke arahnya. Tentu saja karena itu mimpi, saya jadi sulit mengendalikan langkah saya. Lalu, dia berbalik badan dan tersenyum. Tapi, dia lalu menangis tanpa berkata apa-apa, meraung-raung keras dan memohon kepada saya agar saya datang ke tempatnya. Saya bilang, ‘Saya tidak kenal sama kamu.’ Tapi, dia menarik lengan saya. Saya memberontak dan lari. Dia berjalan mengejar saya, Bang. Dia berjalan, tapi dia bisa mengejar saya yang berlari. Saya sampai terengah. Itulah sebabnya saat saya bangun saya merasa lelah.” 

Saya memandang Bang Nero, memastikan dia memperhatikan saya. Seharusnya saya tahu bahwa Bang Nero memang pendengar yang baik. Hal itu membuat saya tak kuasa menahan diri untuk terus bercerita. 

“Dia … dia menghadang saya. Raut wajahnya sedih, jilbab hijaunya melambai-lambai tertiup angin. Dia bilang, dia akan meninggal empat belas hari lagi. Tapi, esoknya saat dia datang lagi ke mimpi saya, ucapannya sudah berbeda. Dia berkata akan meninggal tiga belas hari lagi, lalu dua belas hari lagi … hitungannya terus berkurang seiring saya memimpikan dia lagi dan lagi, Bang.” Saya mengusap wajah karena tiba-tiba bayangan perempuan misterius itu muncul di depan mata saya. 

            “Lalu?” Bang Nero semakin penasaran.

            “Ya … lalu … lalu, siang ini dia bilang, tujuh hari lagi dia akan mati.” 

Bulu halus saya meremang. Saya mengusap kedua telapak tangan dengan gelisah dan memandang mata Bang Nero dengan nanar. Saya takut mengucapkannya. 

“Setiap dia selesai mengatakan dia akan meninggal, dia lalu memeluk saya erat, Bang, dan berbisik …,” spontan saya memegang telinga kanan saya. “Suaranya nyata berkata, ‘Setelah saya meninggal, kamu akan meninggal, hanya beberapa saat setelah saya meregang nyawa.’” 

Setelah mengucapkan kalimat itu, bahu saya rasanya mau runtuh, kemeja kerja saya basah oleh keringat. Bang Nero memandang saya lamat-lamat, dia tak perlu menegaskan lewat perkataan bahwa saya sangat takut dengan kematian. Kematian yang merenggut Papa dari kami, kematian yang membuat Mama sempat stres dan sedih, lalu kematian teman-teman saya. 

            “Kamu masih takut kalau kematian adalah seperti yang kamu pikirkan?” Tanpa menunggu jawaban saya, Bang Nero terus melanjutkan ucapannya. “Seperti ketiga temanmu yang meninggal dengan cara mengenaskan? Rio yang meninggal karena overdosis, kamu masih ingat bagaimana ekspresi dia yang kesakitan?”

            Saya mengangguk, tak mungkin lupa hal yang membuat lidah saya kelu itu. 

            “Lalu, Dewo dan Bima yang meninggal karena taruhan balap motor? Dewo dan Bima yang terpelanting satu kilometer dari motor mereka. Dewo yang meregang nyawa di tempat dan Bima yang kesulitan saat sakaratulmaut di rumah sakit.”

            Saya menutup telinga, tak kuat lagi mendengar kelanjutan cerita Bang Nero. Tanpa diceritakan pun saya sudah paham. Tapi, sepertinya Bang Nero sengaja menegaskan hal itu seolah memberikan shock therapy kepada saya. Kematian Rio membuat saya lupa bahwa saya sempat suka memakai sabu-sabu meskipun tidak kecanduan. 

            Kematian Dewo dan Bima membuat saya takut kebut-kebutan naik motor dan spontan membenci miras atau alkohol lainnya. Karena, minuman keras itulah yang membuat Dewo dan Bima kehilangan akal sehat dan nekat mengebut saat mabuk. 

            Saya tak pernah benar-benar bisa menjadi anak nakal. Setiap saya mau menjauh dari-Nya, pasti Allah memberikan contoh kematian yang menyesakkan dada. Pun saat saya mencoba berzina dengan mantan pacar saya. Saat itu, Abdul datang dan mengamuk, lalu mengatakan bahwa mantan pacar saya itu sudah hamil dua bulan. Dan, sialnya, itu adalah anak Abdul. 

            Saya pulang ke rumah Mama dan mencaci maki Abdul serta mantan pacar saya. Saya banting apa saja yang terlihat di depan mata saya; menendang meja, kursi, dan nyaris menghancurkan TV kalau Bang Nero tidak menahan saya. Spontan, saya menceritakan apa yang terjadi dan Bang Nero malah mengucapkan hamdalah.

            “Allah sayang sama kamu, Hanif. Allah tak ingin kamu berbuat dosa. Berzina itu salah satu dosa besar. Selama ini pun kamu sudah melakukan zina mata, zina hati. Kamu sudah mencium dia, memeluk dia, padahal kamu belum menikah dengannya. Sudah sepantasnya Allah memperingatkan kamu agar kembali kepada-Nya.”

            “Stop, Abang, jangan ceramah lagi! Ini bukan pengajian! Abang nggak tahu gimana rasanya dikhianati.”

            “Abang tahu, Hanif. Abang, kan, pernah remaja.”

            “Tapi, saya bukan remaja lagi, Bang! Saya serius ingin menikahi dia!”

            “Lantas, kenapa tidak kamu nikahi dulu baru kamu sentuh?” tanya Bang Nero tetap tenang. 

Saya tak langsung menjawab, tapi kemudian saya kembali marah membabi-buta.

Mereka bercinta di belakang saya, mereka menusuk saya dari belakang. Mereka menyakiti saya, tapi kenapa Allah tetap mendekatkan saya dengan Abdul? Kenapa tidak Dia buat Abdul mati saja sekalian seperti ketiga teman saya yang lain? Saat dulu saya mengucapkan hal itu, Bang Nero langsung menampar saya karena mendoakan kematian bagi Abdul dan istrinya. 

            Dua tahun saya menghilang. Saya memilih pindah kuliah ke luar kota dan memutuskan komunikasi dengan siapa pun termasuk Abdul. Setelah dua tahun menghilang, saya meraih gelar sarjana lalu bekerja sebagai seorang desainer interior di kota Jakarta, dan Abdul kembali bisa melacak saya. Suatu hari, dia datang ke apartemen saya bersama Bang Nero. Abdul minta maaf sampai bungkuk-bungkuk karena Bang Nero melarangnya bersujud di hadapan saya. Padahal, sumpah, saya mau banget meminta Abdul sujud tiga ratus kali berturut-turut sampai kepalanya—yang menurut saya kosong itu—bisa tahu bahwa dia salah. Licik sekali dia memanfaatkan posisi Bang Nero sebagai abang yang saya segani meskipun saya tak suka pada Bang Nero. Istri Abdul alias mantan pacar saya juga ikut menangis sambil menggendong anak pertama mereka yang lucu dan imut. Mana tega saya melihat mata bening itu menangis?

              Ada sebersit cinta yang muncul ketika melihat wajah mantan pacar saya itu. Cinta yang dulu begitu menggebu. Cinta yang pada akhirnya memadamkan seluruh stok cinta saya karena pengkhianatan mereka membuat saya mulai tidak percaya pada cinta. Bahkan, saya tak percaya bahwa saya bisa jatuh cinta lagi dengan perempuan mana pun. 

            Kemudian, bayangan Bima yang sakaratulmaut di rumah sakit menggugah kesadaran saya kembali. Saya ingat, Bima meremas tangan saya sekuat tenaga, sementara tubuhnya mengejang hebat, matanya melotot—terkadang bola hitamnya hilang. Menakutkan. Bibirnya mengerang, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa. Saat itu, ibu Bima berteriak memanggil dokter dan suster. Saya pun terjebak di samping Bima. 

            Bima meremas tangan saya sampai saya merasa kesakitan. Saya berusaha menarik tangan saya dan memukuli lengannya. Saya maki-maki dia, berharap dia melepaskan cengkeramannya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Saya menjerit kesakitan. Dokter dan segenap suster datang, mencoba melepaskan tangan Bima dari lengan saya, tapi gagal. Bang Nero, yang saat itu baru menjenguk Bima bersama ustaz kompleks rumah kami, langsung membantu dokter untuk membebaskan lengan saya. 

            Pak Ustaz berusaha membimbing Bima mengucapkan “la ilaha illallah”, tapi yang terjadi adalah Bima hanya membuka mulutnya lebar, lidahnya terjulur, matanya menatap saya, kemudian cengkeraman tangannya mengendur. Detik itu juga, dokter memeriksa denyut nadi dan napasnya. Semuanya hilang dan Bima dinyatakan tutup usia.

Saya melangkah mundur, lemas, dan terjatuh di lantai sambil memegangi lengan bekas cengkeraman Bima yang berdenyut-denyut dan memar kebiruan. Setelah kejadian itu, saya selalu memimpikan Bima berhari-hari—tepatnya, hanya tatapan matanya. Seolah-olah Bima mau mengajak saya ikut ke alam kubur. 

Selama ini, saya selalu suka diajaknya ke mana saja. Kami teman masa kecil di kompleks. Pertama kali Bima mengajak saya ke jalan menyimpang adalah saat saya kelas 3 SMP. Bima mengajak saya merokok, saya ikuti. Bima mengajak saya mencoba alkohol, saya ikuti. Bima menyuruh saya pacaran supaya tidak “kuper”, saya ikuti, meskipun akhirnya saya diputuskan oleh pacar saya itu. Bima mengajak saya ke diskotek, saya ikuti. Semua saya ikuti. Tapi, tidak untuk ajakannya yang terakhir. Saya takut mati. Saya takut kematian. 

            “Ingat surat Al-Munafiqun ayat 11, Hanif?” 

Suara Bang Nero membuyarkan semua ingatan saya tentang kematian. Membawa saya kembali pada kesadaran bahwa saya sedang berada di rumah Bang Nero, sedang duduk di teras dan mencoba “curhat” sambil menahan diri untuk tidak berkomentar atas suara teriakan anak-anak Bang Nero di dalam sana. 

Dan, Allah tidak akan menunda kematian seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Jadi, kamu tak perlu takut. Bila sudah saatnya ajal itu tiba, dia akan tiba. Semua sudah menjadi ketetapan-Nya,” lanjut Bang Nero. 

            Saya mengatur napas dan mencoba mendengarkan denyut jantung saya. Bersyukur bahwa saya masih hidup dan bisa ada di sini. Agak panas juga mendengar ucapan Bang Nero.

“Jadi, Abang yakin kalau saya bakalan mati tujuh hari lagi?”

            “Abang tidak memercayai mimpi kamu sebagai petunjuk kematian, Hanif. Mimpi yang berulang-ulang seperti itu pasti punya arti dan tafsir. Tapi, ilmu Abang belum sejauh itu untuk menjelaskannya, Hanif. Bisa jadi, mimpi itu mempunyai arti yang baik. Berprasangka yang baik saja. Lagi pula, kematian tak selalu semenakutkan itu, Hanif.”

            “Apa baiknya mimpi yang terus mengingatkan saya bahwa saya akan mati sebentar lagi … apa gunanya?” Saya sedikit membentak, berdiri, dan menendang pot bunga milik istri Bang Nero. Masa bodoh jika pot itu rusak, saya hanya ingin menyalurkan gundah dan kekesalan. 

            “Kebaikannya adalah ...,” Bang Nero ikut berdiri dan menepuk pundak saya dengan tegas, “kamu diminta mengingat kematian, yang berarti mendekatkan dirimu kepada Allah.”

            Saya kehabisan kata-kata, yang bisa saya lakukan hanya mendengus-dengus. Setelah berhasil mengatur napas kembali, saya terduduk dan menatap Bang Nero dengan nanar.

            “Saya nggak kenal perempuan itu, Bang.”

            “Mungkin perempuan itu mengenal kamu.”

            Jawaban dari Bang Nero tak memuaskan saya, malah membuat kepala saya semakin pening. Pertanyaan itu kemudian berulang-ulang di kepala saya, siapa perempuan itu? 

            “Bagaimana kalau saya beneran meninggal tujuh hari lagi, Bang?”[]




 


 

2

Enam Hari Menuju Kematian

 

Aku

            Aku mulai membuka akun Facebook-ku kembali setelah aku nonaktifkan selama kurang lebih lima tahun. Jikalau Facebook ini adalah sebuah rumah, dia pasti sudah penuh debu dan laba-laba. Tujuanku membuka akun Facebook kembali hanya untuk mencari jejakmu. Selama ini aku menjauhkan diri dari internet karena internet telah membuat banyak orang kecanduan dan menjadi tidak sehat. Tapi, hari ini aku yakin, aku bisa menjaga diri dari pengaruhnya yang luar biasa. 

            Aku hanya berselancar seperlunya. Mencarimu di berbagai grup, berbagai aplikasi, tapi tak ada. Aku hanya bisa memandangi fotomu bersamaku. Tanpa terasa, air mataku menetes. Aku mencoba membuka akunmu, tapi ternyata password-mu telah berubah. Bunyi azan Subuh menghentikan aktivitasku. Aku segera mematikan jaringan internet dan kembali mengubah fungsi ponselku menjadi ponsel biasa. Kamar rumah sakit ini semakin terasa dingin. Aku agak menggigil di atas sofa ini, sementara Nenek terlihat hangat berbaring di atas tempat tidur. Akan tetapi, aku tak pernah bermimpi untuk bisa berada di sana. 

            Dokter bilang, enam hari lagi perkiraan umurku dan Nenek akan berakhir. Sakitku tak separah sakit Nenek, tapi dokter bilang virus V-Diamond yang ada di tubuhku akan menjadi ganas lima hari lagi. V-Diamond ini berusaha menggerogoti semangatku dan Nenek, tapi kami mempunyai cara sendiri untuk tetap menjaganya. Bak menjaga api lilin yang semakin mengecil, sebisa mungkin kami tak membiarkan api di lilin itu terbawa angin. Maka, setiap hari kami berusaha membaca Alquran. Sehari satu juz. 

            Begitu mendengar Nenek mengerang, aku langsung bangkit dari sofa dan membantu Nenek untuk duduk. Nenek berwudu dengan tayamum, lalu aku membantunya memakai mukena.

            “Salat jemaah ya, Sayang.” 

            “Iya, Nek.”

            Aku segera ke kamar mandi dan mengambil air wudu. Kami lalu salat berjemaah bersama dengan aku menjadi imamnya. Nenek tak lupa mengingatkanku untuk melakukan pengobatan versi kami, membaca Alquran. 

            “Hari ini kalau bisa dua juz, Raya. Waktu semakin sempit,” ujar Nenek lirih.

            “Napas Nenek bagaimana?”

            “Insya Allah, Nenek kuat.” Dengan tangan gemetar, Nenek membuka Alquran terjemahan yang sudah lusuh. 

Umur mushaf itu sudah 45 tahun. Mas kawin, tanda cinta Kakek kepada Nenek. Sejak Kakek tiada, Nenek meletakkan mushaf itu di dalam lemari dan enggan membacanya. Sampai kemudian, dua bulan setelah itu, Nenek menangis sendirian di kamar setelah diketahui mengidap kanker. Ia rindu pada Kakek yang dulu juga pernah mengidap kanker yang sama. Beruntung pada zaman ini penyakit kanker mudah disembuhkan. Nenek mengambil mushaf itu kembali dan membacanya setiap hari. Nenek juga memperbaiki dan memperbanyak hafalan Alqurannya. Tujuh hari yang lalu, Nenek genap menghafal tiga puluh juz. Tak ada kata terlambat untuk terus menghafal Alquran. 

Hal itulah yang memotivasi aku untuk kembali menghafal Alquran juga. Kini, Nenek sedang mencoba menghafal isi terjemahan Alquran. Setiap hari ia memberiku satu ayat tentang kematian. Hal itu membuat aku merinding dan sedikit ketakutan.

Kami membaca dua juz Alquran dengan tenang hingga sayup-sayup terdengar alarm rumah sakit berupa suara ayam berkokok, yang menandakan sudah pukul 05.30 pagi. Nenek dan Kakek dulu selalu mengajariku untuk membaca Alquran dengan perlahan-lahan, tidak tergesa, menyesapi setiap kata dan kalimat yang keluar. Harus tartil.

“Jangan mengejar harus cepat-cepat khatam tapi tajwidnya kacau. Baca pelan-pelan saja tapi tartil, seolah-olah memasukkan ayat-ayat itu ke aliran darahmu, ke jantungmu, biar berdetak di sana. Fokuslah baca Alquran seolah-olah kau sedang bicara dengan-Nya. Jangan baca Quran sambil memikirkan skor game kamu yang belum high score,” nasihat Kakek suatu sore di saat aku berumur sepuluh tahun dan sedang tergila-gila dengan game Lozer. 

Di mana saja kamu berada, niscaya kematian akan menemukanmu, walaupun kamu bersembunyi di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, Quran surah An-Nisa ayat 78,” ujar Nenek bergetar. Setelah itu, bagaikan seorang penebang kayu yang menggunduli hutan, Nenek terlihat sangat lelah, lalu dia berbaring. 

“Iya, Nek.” 

Aku menyelimuti Nenek dan mencium keningnya, ritual yang dulu pernah Nenek lakukan terhadapku.

“Pagi ini aku ke Bandung, ya, Nek. Aku harus bertemu dengan seseorang.”

Aku harus kembali mencari kamu. 

“Ingat, Raya, umurmu sudah dua puluh tahun. Pada zaman ini umur 25 tahun sudah sangat tua bagi seorang perempuan untuk menikah.”

“Iya, Nek, aku akan menikah sebelum aku meninggal, Nek. Semoga aku tidak mendahului Allah.”

“Ucapkan insya Allah, Nak.”

“Insya Allah, Nek.”

“Surat cintamu untuk Mas Hanif sudah kamu buat dengan baik?” tanya Nenek sambil terkantuk-kantuk. Belum sempat kujawab, Nenek sudah jatuh tertidur. 

“Sudah, Nek,” jawabku lirih di telinganya. 

Bergegas, aku bersiap-siap menyambut hari. Setelah membersihkan diri, aku segera pamit pada suster yang pagi ini mendapat giliran menjaga Nenek. Tak lupa aku berpesan, hal-hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap Nenek. 

Di luar kamar, beberapa orang polisi berjaga di depan kamar Nenek. Ternyata wartawan media online dan televisi sudah mengantre ingin bertemu Nenek.

Aku segera menutup jilbabku dengan tudung jaket yang besar, lalu melintasi wartawan. Seorang polisi spontan mengawalku keluar dari kerumunan wartawan. Berbagai pertanyaan terbang di udara. Mereka bertanya tentang kondisi Nenek sekarang. Apakah benar Nenek akan meninggal enam hari lagi? Bagaimana dengan harta warisan Nenek, apakah semua hanya diberikan kepadaku? Dan, masih banyak pertanyaan yang melintas begitu saja di kepalaku tanpa aku berminat menjawabnya.

Tanpa kusadari, aku sudah melangkah hingga ke pintu utama rumah sakit. Cuaca di luar cukup dingin meskipun belum turun hujan. Aku segera masuk ke dalam mobilku yang sudah terparkir di depan pintu utama. Sopir pribadi keluarga kami sudah langsung menekan pedal dan memencet tombol otomatis ke mana tujuan kami. Roda mobil berputar cepat, lalu suara roda menghilang, dan aku tahu kami sudah masuk ke dalam zona tabung. Di zona tabung ini, mobil akan melayang cepat melintasi padatnya ibu kota. Hanya mobil khusus yang bisa memasuki zona ini dan hanya orang-orang kaya yang bisa mempunyai mobil khusus tersebut. Sementara, di bawah sana, aku melihat mobil-mobil berjalan dengan merayap. Kemacetan menjadi abadi di Jakarta. Sejak ibu kota Indonesia pindah bertahun-tahun yang lalu, Jakarta belum juga berubah. Tetap macet dan banjir. 

Dahulu aku pernah berbangga hati mempunyai banyak harta. Aku menghabiskan masa sekolahku dengan bersenang-senang. Meskipun rajin salat, mengaji, bersedekah, dan naik haji berkali-kali, ternyata tidak juga membuat hidupku menjadi sederhana. Aku begitu menyukai kemewahan, padahal Allah melarang umat-Nya bermegah-megahan. Ah, kini kematian begitu terasa sedekat tarikan napas. Mana mungkin aku berpikir soal tas branded, model sepatu terbaru, atau rencana jalan-jalan ke luar negeri. Tidak ada lagi. 

Yang ada di pikiranku kini hanya ada dua hal, kematian dan kamu. 

Aku ingin bertemu kamu sebelum Tuhan menutupkan usiaku. Aku ingin kembali merasakan pelukanmu, merasakan kasih sayangmu. Aku begitu merindu dan menyesal tak punya cukup amunisi untuk bisa berpuisi. Bahkan, puisi pun tak pantas untuk mewakili rasa rinduku yang begitu menggebu. 

“Nona, kita sudah sampai di Pusat Pemakaman Heaven Park. Apakah Nona jadi turun di sini?”

“Ya … ya, aku akan berdoa di makam Ayah dan Ibu,” kataku sambil bersiap untuk turun. Beberapa detik kemudian, mobil keluar dari zona tabung dan memasuki area parkir. Heaven Park terletak di daerah Bekasi. 

Oh, aku lupa bahwa ini hari Jumat. Betapa ramainya orang berziarah di hari Jumat. Entah siapa yang pertama membuat aturan itu, mungkin teknologi, yang mengatakan bahwa hari Jumat adalah hari yang berkah untuk berziarah. Padahal, berziarah bisa kapan saja. Berpuluh tahun lalu, Nenek bilang, pemakaman ini adalah pemakaman mewah. Satu makam bisa mempunyai lahan lima ratus meter lebih dengan berbagai fasilitas yang menarik. Sekarang makam di kompleks pemakaman ini masih mahal, tapi tak “semewah” dulu. Kematian semakin menjadi kebutuhan. Aku melihat sisa-sisa kemewahan itu dari internet.  

Aku melangkah menyusuri nisan-nisan Touch yang penuh dengan iklan. Biasanya nisan yang makamnya jarang disambangi hanya akan dipenuhi iklan. Beberapa saat kemudian, aku masuk ke area makam yang sedang ramai dikunjungi sanak saudara. Nisan-nisan yang berjejer menampilkan layar dengan aneka rupa gambar. Masing-masing layar menampilkan wajah orang yang sudah meninggal. Para peziarah datang dan bisa bercakap-cakap sepuasnya dengan “orang yang sudah mati”. Mereka terlihat riang dan mengobrol banyak hal sampai lupa menyampaikan doa. Ruang terbuka pemakaman ini terlihat seperti pasar malam atau bursa saham, ribut dan tidak hening. 

“Nisan Touch-nya, Bu?” Seorang pria gendut berkumis tiba-tiba menghadang jalanku. Pria yang selalu kutemui setiap aku pergi ke sini. 

“Tidak tertarik.” Itu adalah jawaban singkat untuk kesekian kalinya. Aku sudah bosan dengan penawarannya yang itu-itu saja. 

“Tapi, suami Ibu tertarik?” kata pria gendut itu berusaha menyejajarkan langkahnya dengan langkahku. 

“Saya belum menikah!” Aku agak sewot dan memicingkan mata kesal. Si Pria Gendut, yang belakangan kutahu adalah salah seorang calo pemasangan nisan Touch di pemakaman ini, mengarahkan telunjuknya pada sesuatu. Aku mengikuti apa yang hendak ia perlihatkan. 

Jantungku rasanya mau copot. Ada seorang lelaki di sana, gagah dan tampan. Sekilas, aku pikir itu adalah kamu. Tapi, aku tahu, dia bukan kamu karena kamu tak suka memakai celana ketat seperti yang dia kenakan. Terlalu ketat sampai-sampai aku takut ia kehabisan napas. Lelaki itu berdiri di depan nisan ayah dan ibuku. Dua nisan itu masihlah nisan batu marmer yang sering dicibir orang sebagai nisan yang kurang update. Aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu karena Nenek melarang keras aku mengubah nisan batu itu menjadi nisan Touch. 

“Saya tidak kenal dengan Anda,” kataku sambil berjalan tegas ke arah lelaki itu. 

“Saya juga tidak kenal dengan kamu,” katanya santai. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana ketatnya. “Tapi, wajahmu seperti familier. Sering lihat di TV.”

“Sedang apa Anda di depan nisan kedua orangtuaku?”

“Kuburan adalah sarana mengingat kematian. Dan, kamu sendiri sedang apa?”

Aku berusaha untuk tenang dan tidak terpancing rasa kesal. 

“Begini, Mas, pria gendut ini bilang bahwa Mas mengaku sebagai suami saya dan tertarik untuk mengubah nisan kedua orangtua saya menjadi nisan Touch?” Aku menjelaskan pelan-pelan dengan harapan dia mengerti. Tetapi, dia malah tertawa. Aku tetap memandangnya dengan serius. 

“Hei, tidakkah kamu kira ini lucu? Kayak film-film televisi zaman dulu.” Dia terus melebarkan senyum dan menampakkan giginya yang putih dan rapi. 

“Aku sudah kehilangan selera humor sejak kedua orangtuaku meninggal,” jawabku datar. Lelaki itu lalu mengatur sikapnya kembali sopan dan formal, kemudian berdehem. 

“Maaf, sepertinya kamu salah paham. Saya tidak bilang bahwa saya adalah suami kamu. Dia …,” lelaki itu menunjuk kepada si Pria Gendut yang kini cengar-cengir sambil mengibaskan brosur besar yang memperlihatkan gambar nisan Touch dan segala kelebihannya, “dia … menawarkan saya untuk mengubah nisan ini menjadi nisan Touch. Saya pikir, mungkin tidak ada salahnya beramal dengan membuatkan nisan Touch untuk kedua nisan ini yang ternyata milik … kedua orangtuamu?”

Pahamlah aku bahwa si Pria Gendut hanya mengada-ada soal sebutan “suami”. Aku lebih tertarik untuk membahas kata beramal yang tadi dia ucapkan. 

“Mohon maaf, Mas, kami bukan tak mampu membeli nisan Touch dengan mencicil atau bayar cash, tapi sebagai anaknya, saya memang tidak mau memasang aplikasi tersebut.” Aku membuka tudung dan merapikan jilbab di dahi. “Kalau boleh tahu, Anda siapa?”

“Saya mencari seseorang,” jawabnya tetap santai sambil bertolak pinggang, satu tangannya yang lain mengibas-ngibaskan udara. 

“Jadi, bagaimana dengan penawaran saya?” Si Pria Gendut tetap cengar-cengir. “Enak, lho, Bu, kalau pasang nisan Touch, Ibu bisa bicara dengan orangtua Ibu di alam sana.”

“Jangan konyol. Orang yang sudah meninggal sudah berbeda alam dengan kita. Lagi pula, orang mati yang hidup kembali di dalam nisan Touch hanyalah rekayasa komputer, tidak ubahnya seperti robot. Aku tidak bodoh seperti mereka.”

“Tapi, kita ada diskon untuk pembelian bulan ini, Bu.” 

 Aku menatapnya tajam karena dia terus bersikap seperti sales sejati. Aku yakin dia cukup paham dengan bahasa mimik wajah. 

“Oke … oke, saya pergi.” Si Pria Gendut berlalu dan mencari mangsa selanjutnya. 

“Kamu jutek juga, ya?” Lelaki itu tertawa kecil. “Tapi, aku setuju sama kamu, nisan Touch itu hanya komputer.”

“Lalu, kenapa Anda mau saja memasangkannya pada nisan kedua orangtuaku?”

“Aku hanya mencoba berbaik hati,” katanya ringan. “Siapa tahu kamu mau bertemu lagi dengan keluargamu.”

“Aku akan bertemu lagi dengan ayah dan ibuku pada hari manusia kembali dibangkitkan oleh Allah. Aku akan berdoa agar aku bisa masuk surga dan dikumpulkan kembali dengan ayahku, ibuku, kakekku, dan nenekku.” 

“Subhanallah. Sepertinya kamu bukan orang yang takut akan kematian.”

“Aku hanya takut mati jika amal ibadahku tak mencukupi. Bahkan, sampai detik-detik kematianku, aku tak yakin apakah amalku sudah mencukupi. Tapi, Nenek bilang, kematian itu hanya pintu gerbang menuju akhirat, menuju kehidupan yang abadi, semua orang melaluinya. Jadi, untuk apa takut? Hanya berpisah roh dengan badan. Pada hakikatnya, roh kita masih hidup.” Aku kembali memasang wajah masam karena menyadari sudah bicara terlalu banyak dan sebal melihat dia cengar-cengir saat aku menjelaskan definisi kematian versiku.  

“Perempuan berjilbab yang biasanya aku kenal selalu menebar senyum, lho. Bukan senyum genit, sih, tapi senyum persaudaraan.” Dia membuat isyarat tangan berupa sebuah lengkungan di depan wajahnya. “Aku muslim, kok. Jadi, kasih senyum, dong. Senyum itu, kan, ibadah.”

Aku tidak terlalu suka dengan tipe cowok yang banyak bicara seperti ini, tapi akhirnya aku tersenyum juga. Lillahi taala. Kemudian, aku mengabaikan dia dan menaburkan bunga ke makam Ayah dan Ibu yang bersisian. Tanpa peduli dengan hiruk pikuk di sekitar, aku menghaturkan doa yang tulus agar Ayah dan Ibu tenang di alam sana, diberikan cahaya kubur, dan kelak kami dikumpulkan di dalam surga. 

Setelah aku selesai dengan semuanya, aku berdiri dan mendapati lelaki itu masih berdiri di samping nisan Ayah. 

“Hei, tadi katanya kamu mencari seseorang?” tanyaku penasaran karena dia terlihat sedih saat menatap nisan Ayah. Apakah dia mencari Ayah?

“Iya ... oh, kenalkan, namaku Sena.” Dia menangkupkan kedua tangannya di dada. Berarti dia lelaki yang cukup memahami aturan agama Islam. “Aku mencari Pak Firza, ternyata dia sudah meninggal,” katanya sambil menatap nisan ayahku. Benar dugaanku tadi. 

“Aku anaknya,” ucapanku membuat dia manggut-manggut. 

“Tadi kamu sudah bilang begitu.”

“Jadi, ada urusan apa dengan almarhum ayahku?” 

Angin bertiup lebih dingin. Aku melihat beberapa rombongan peziarah sudah mulai meninggalkan pemakaman. Banyak di antara mereka tertawa-tawa sambil melambai kepada nisan Touch. Meringis aku melihat pemandangan itu. Rasulullah menganjurkan kita berziarah, tujuannya tak lain adalah agar kita mengingat kematian. Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya, mereka bahkan lupa apa tujuan kematian sebenarnya, yaitu perjalanan menuju-Nya. 

“Apa kamu kenal dengan Miss Margaretha?”

Sekujur tubuhku menegang mendengar nama itu disebut. Siapa sebenarnya lelaki yang ada di hadapanku ini? Mengapa ia bertanya tentang orang yang sedang aku cari?

***

 

Saya

Saya terbangun dalam keadaan ketakutan dan terengah-engah. Sama seperti kemarin. Yang berbeda hanya suara perempuan dalam mimpi saya, suaranya semakin terdengar jelas. Saya juga bisa melihat motif bunga matahari di jilbab hijaunya, dan sentuhannya terasa sekali di lengan saya. Begitu panas. Saya langsung melompat dari kasur dan membuka keran wastafel. Dengan cepat, saya membasahi lengan saya yang masih terasa panas itu. Saya jadi ragu kalau itu adalah mimpi. Apakah ada seseorang yang mau mengerjai saya? Santet? Teluh atau semacamnya? Oh, ayolah, Hanif, zaman sudah begitu modern dan dukun sudah berubah wujud tanpa kemenyan. 

Merasa lengan saya tetap panas, saya pun membuka keran shower dan berdiri di bawahnya menikmati kucuran air dingin menerpa kepala saya, dahi saya, bahu saya, tubuh saya. Saya tak peduli baju saya basah atau saya mendapati ternyata saya menggigil kedinginan. Saat ini saya memilih kedinginan dan menghilangkan panas di lengan dan otak saya. 

Perempuan berjilbab hijau itu bilang, enam hari lagi dia akan meninggal dan setelah itu saya pun akan meninggal. Perempuan itu gila karena sudah membuat saya gila. Jantung saya berdebar begitu kencang saat saya mencoba mengambil handuk dan mengeringkan tubuh saya. Dada saya begitu sesak sehingga saya membutuhkan oksigen lebih banyak. Begitu saya membuka jendela, saya tak mendapati matahari pagi, melainkan hanya hujan deras yang mengguyur bumi. Pantas saya begitu kedinginan setelah mandi. 

 Setelah berpakaian dan menyeduh kopi panas, saya terduduk di sofa sambil mengurut dahi. Selama delapan jam saya tidur, kenapa mimpi itu datang berulang-ulang? Seolah menegaskan bahwa ia bukan mimpi? Siapa perempuan itu? Ke mana saya harus mencarinya?

Suara lagu lawas sebuah grup musik mengentakkan lamunan saya. Saya bergegas mengangkat ponsel.

“Hai, Sayang, lagi ngapain? Lupa, ya, kita janjian sarapan bareng di Kemang?” suara serak Nancy terdengar dari seberang sana. Merdu dan menenangkan. 

“Hai, Sayang. Hujan deras banget. Kayaknya saya juga telat ke kantor, nanti kita ketemu pas makan siang aja, ya.”

“Oke, deh, Sayang. Miss u. Aku sarapan dulu, ya. Kamu sarapan apa?”

“Saya ngopi dulu aja.”

“Oke, bye!”

Nancy menutup saluran telepon. Setelah menghirup kopi panas, saya tak bisa berhenti untuk membuat kopi lagi. Saya memutuskan bahwa hari ini saya tidak boleh tidur sedikit pun. Maka, saya membuat bergelas-gelas kopi dan meminum semuanya. 

Sepanjang perjalanan menuju kantor, saya masih sempat mampir ke kafe dan memesan kopi. Saya menghirupnya perlahan-lahan sampai saya tiba di meja saya. Abdul sudah terlebih dahulu ada di seberang ruangan, ia melambai penuh semangat dan saya hanya membalas dengan senyuman kecil. Meminum terlalu banyak kopi di pagi hari membuat saya mual dan perut saya perih. Saya bekerja sepanjang pagi dengan perasaan gelisah karena saya terus membayangkan perempuan itu dan betapa saya takut dengan apa yang dia katakan.

Saya begitu tak sabar ingin bertemu Nancy dan mencurahkan segala kegelisahan saya. Ia adalah pendengar yang baik dan bisa memberikan solusi yang baik. Saya yakin solusinya lebih menenangkan hati ketimbang jawaban absurd dari Abdul atau nasihat keagamaan dari Bang Nero. Maka, siang ini saya bergegas pergi ke tempat makan favorit kami, yaitu Steak Mania di kawasan Kemang. Lokasinya tepat di tengah-tengah antara kantor saya dan kantor Nancy. Saya duduk di kursi favorit kami sambil menunggu kedatangan Nancy. 

Saya menikmati kebersamaan saya dengan Nancy. Memang hati saya pernah tidak percaya pada cinta. Saya pun tidak yakin bahwa saya benar-benar mencintai Nancy. Yang pasti, kalau dihitung dalam range 1 sampai 100, saya mencintai mantan pacar saya seratus persen sampai detik ini. Sementara itu, awalnya saya hanya menyukai Nancy, lalu berubah menjadi cinta sebanyak tiga puluh persen. Semakin intens saya berkenalan dengannya, berpacaran layaknya orang kebanyakan, kadar cinta saya naik menjadi lima puluh persen. Entah kenapa, sulit sekali menembus angka 60. Padahal, Nancy itu seksi, perhatian, cantik, tidak cerewet, dan tidak sok ngatur. Nancy memberi saya kebebasan. Ia bahkan tak menuntut saya untuk segera menikahinya, padahal usianya sudah 35 tahun, tiga tahun lebih tua dari saya.

Meskipun sudah berpengalaman dengan kehidupan bebasnya, Nancy tak pernah memaksa saya untuk melakukan kontak fisik yang terlampau jauh. Saya trauma. Bukan berarti saya sok suci dan tidak butuh. Bukan berarti saya takut dengan dalil-dalil dosa dan tetek bengek lainnya yang sering digaungkan Bang Nero. Saya hanya trauma. Titik. Persetan orang mau mengatakan saya perjaka tua, yang penting diri saya bahagia dan tenang. 

Saya pribadi masih menjajaki Nancy. Dua bulan setelah dikenalkan oleh Abdul di Café Brussel, Nancy yang masih berdarah Canada itu sudah memperlihatkan rasa ketertarikannya kepada saya. Saat itu Abdul juga memperkenalkan Claudia, Wulan, Asih, dan Inggit. Sebagai sahabat yang pernah kurang ajar merebut mantan pacar saya, dia mempunyai keinginan untuk mencarikan saya istri. Karena, dia tahu, saya diam-diam masih mencintai istrinya meskipun saya tak pernah mengatakan hal itu. Atau, jangan-jangan istrinya masih mencintai saya juga? Makanya Abdul begitu bersemangat untuk selalu mencomblangi saya.

Di antara ratusan perempuan yang diperkenalkan Abdul, hanya Nancy yang klik dengan saya. Sebenarnya kami mempunyai banyak perbedaan, tapi justru perbedaan itu yang membuat kami nyaman satu sama lain. Saya suka dengan isi kepalanya yang penuh imajinasi dan sarat dengan ilmu. Ia bahkan paham benar soal hukum-hukum Islam meskipun tak menganut agama yang sama dengan saya. 

“Suatu hari nanti, bila menikah denganmu, saya akan masuk Islam,” katanya lembut saat dulu kami makan siang bersama di tepi pantai. 

“Itu sangat romantis,” jawab saya sambil menyuapi dia salad buah.

Suara high heels yang beradu dengan lantai restoran sangat familier di telinga saya. Itu suara langkah Nancy dan membawa saya kembali ke masa kini. Kenyataan bahwa saya akan segera mencurahkan isi hati saya padanya membuat saya antusias menyambut dia. Saya berdiri dan membantu dia meletakkan tas serta bolero rajutannya ke sudut meja yang kosong. 

I miss you,” bisik Nancy sambil mencium pipi saya. 

Me too,” jawab saya, kemudian saya memanggil pelayan dan memesan makanan yang biasa kami santap tanpa saling bertanya. 

Dua bulan bersamanya seperti sudah dua puluh tahun. Mungkin saya terkesan berlebihan, tapi hati saya berkata bahwa Nancy akan selalu ada dalam hidup saya sampai berpuluh-puluh tahun ke depan. 

Seyakin saya menghirup oksigen setiap hari, seyakin itulah saya bahwa Nancy adalah jodoh saya. Masalahnya adalah kapan saya berani melamarnya? Tak pernah tebersit di pikiran saya untuk melakukan hal itu dalam waktu dekat. Nancy pun tak pernah menjadikan pernikahan sebagai akhir dari kisah cinta yang romantis meskipun ia sering menyinggung soal itu secara halus. 

“Sayang, saya mau menceritakan sesuatu. Hal yang selama beberapa hari ini mengganggu hidup saya.” Saya memulai pembicaraan serius ini setelah kami selesai mengisi perut dengan steak sirloin yang lezat dan penuh bumbu. “Saya …”

Nancy langsung meremas tangan saya dan tersenyum keibuan, seolah saya adalah anak kecil yang ketahuan mencuri mangga dan ia memaklumi perbuatan saya. 

“Saya sudah dengar semua ceritanya dari Abdul, Hanif. Don’t worry, it’s just a dream.

Sial! Abdul lagi. Mungkin sesekali saya perlu bereksperimen untuk menjahit mulutnya. 

“Oke …,” saya melepaskan genggaman tangannya, “apakah saya sekarang kelihatan seperti cewek yang hobi curhat sana-sini? Lelaki macam apa saya ini?” Saya mengangkat bahu dan bersandar malas. 

“Apa kamu belum mendapat ketenangan batin saat curhat sama Bang Nero?” 

Bahkan, Abdul memberi tahu Nancy bahwa saya “curhat” pada abang saya. 

“Saya pikir, saya bisa dapat ketenangan setelah saya cerita sama kamu, Nan.” Saya memperbaiki posisi duduk saya. “Saya bukan lelaki cengeng, saya juga tidak pernah seperti ini. Kalau ini tidak begitu menggelisahkan saya, untuk apa saya cerita ke sana-sini demi mendapat jawaban yang menenangkan hati saya?”

“Hanif, jangan emosional begitu, dong. Keep calm aja,” Nancy memakai boleronya kembali. 

Ya, dia benar, saya seharusnya lebih dewasa menghadapi mimpi. Mereka bisa bilang seperti itu karena mereka tidak bermimpi seperti saya. Saya tak bisa juga menyalahkan Nancy yang bersikap santai tanpa memberikan solusi. Seharusnya saya tahu dia memang tipikal perempuan yang logis dan tidak terlalu percaya pada hal-hal di luar nalar. Bagi saya, kemunculan perempuan berjilbab hijau yang meneror saya bukanlah sekadar mimpi. 

I love you, Nancy.” Saya mendadak tak ingin dia meninggalkan saya hanya karena sikap konyol saya soal mimpi ini. 

            “Love you, too, babe,” ia mengecup pipi saya lagi, kemudian mencangklong tas kerjanya. “Saya harus ke suatu tempat, jadi nanti jangan jemput saya ke kantor, ya. Bye ….”

Dia tak membiarkan saya merespons ucapannya. Nancy berbalik badan dan pergi seperti sedang dikejar sesuatu hal. Saya menghempaskan diri di kursi restoran dan memutar-mutar ponsel saya di atas meja. Rasanya sudah tak berselera menghabiskan sisa kopi saya siang ini. Perut saya mulas dan saya benar-benar mual. Maka, saya segera berdiri dan menyambar jas, kemudian langsung berlari mengejar Nancy yang sedang berjalan menuju mobilnya. 

            “Nancy, saya ikut kamu, ya.”

            Reaksi Nancy sepertinya kurang senang. Ia begitu ekspresif sehingga saya bisa tahu jawabannya tanpa ia bicara. Tetapi, saya begitu suntuk untuk bekerja dan membutuhkan sedikit ketenangan. Saya mendapatkan ketenangan bersamanya dan saya butuh bersamanya untuk beberapa jam ke depan. Saya memasang wajah imut saya yang mungkin sudah uzur ini, memberikan senyum terbaik, sampai akhirnya dia luluh dan memberikan kunci mobilnya kepada saya. Dengan senang hati, saya menyambarnya dan segera berada di balik kemudi.

            “Kita akan ke mana, Sayang?”

            “Ke rumah sakit,” jawab Nancy tanpa tendensi apa pun. 

            “Ouw … saya kira kita akan pergi ke tempat romantis,” sejujurnya saya mengharapkan hal itu. 

            Nancy adalah seorang editor di sebuah penerbitan. Dia bilang, salah seorang penulisnya sedang sakit dan ia ingin menjenguk. 

Sampai di sebuah rumah sakit, saya memutuskan untuk tetap di mobil menunggu Nancy. Saya paling benci rumah sakit, tempat orang-orang menunggu ajal. 

            “Kematian bisa di mana saja, Hanif, tak selalu di rumah sakit,” kelakar Nancy setelah dia menertawai saya habis-habisan soal ketakutan saya pada rumah sakit. Nancy tak pernah takut atau trauma pada apa pun, itu yang membuat saya kagum. Karena, saya yakin, di umurnya yang sudah 35, bukan tak mungkin ia mengalami banyak kejadian pahit dalam hidup. Tapi, Nancy seperti bersikap biasa saja terhadap kehidupan. Ia bahkan tak takut pada apa pun, bahkan kepada Tuhan. Hal yang terakhir selalu saya abaikan. Jika tidak, itu akan mengurangi rasa cinta saya kepada Nancy. Karena, meskipun tak pernah salat atau mengenal-Nya lebih dalam, saya masih sedikit takut pada-Nya. 

            Ternyata, di dalam mobil saya begitu suntuk mendengar radio atau bermain game. Nancy lama sekali sehingga membuat saya menyesal sudah meninggalkan kantor. Bos besar pasti marah karena pekerjaan saya terbengkalai. Saya segera keluar dari mobil dan melihat ke sekeliling. Tempat parkir ini sepi. Berarti jarang ada orang yang berobat ke rumah sakit kecil ini atau memang tak banyak pasien yang membawa mobil.

            Saat sedang meregangkan badan, saya mendengar sesuatu.

            Druk! Bruk! Bak!

            Saya berbalik badan dengan sigap dan mencari sumber suara. Siapa yang jatuh? Siapa yang bertengkar? Kemudian, suara duk … duk … duk ... terdengar lemah. Mata saya kemudian tertumbuk pada sesuatu, sebuah mobil dengan kaca film yang cukup gelap. Bergoyang-goyang. Dan, dari sanalah suara itu muncul. Saya tahu ada seseorang yang sedang kesulitan. Naluri saya memerintahkan saya untuk lari menghampiri mobil itu. 

            Saya menempelkan wajah ke kaca mobil dan sebuah tangan mengejutkan saya. Tangan itu memukul-mukul kaca, lalu saya melihat seorang perempuan sedang meronta kesakitan. Saya berusaha membuka pintu, namun terkunci dari dalam. Dengan panik, saya mencari-cari benda berat apa saja yang bisa saya gunakan untuk memecahkan kaca. Sebuah batu besar ada di pinggir tempat parkir. Spontan, saya memecahkan kaca jendela belakang mobil itu. Beberapa orang yang mungkin terkejut mendengar bunyi kaca pecah mulai berdatangan. 

Saya melihat ada satpam yang berteriak-teriak, mungkin ia pikir saya maling. Saya tak peduli. Saya tetap masuk ke dalam mobil melalui jendela belakang yang terbuka. Saya takut dengan ekspresi perempuan tadi. Ekspresi itu pernah saya lihat pada papa saya, pada Dewo, pada Bima. Saya ngeri … saya ngeri.

Saya menemukan badan perempuan itu meringkuk gemetar. Dia mengerang. Sekujur tubuh saya meremang. Perempuan itu memakai jilbab hijau dengan motif bunga matahari! 

***

 

Aku

“Aku mengenal Miss Margaretha. Dia pelukis perempuan yang terkenal itu, bukan?”

“Ya … ya, tapi, maksud saya ...,” Sena menggaruk ujung hidungnya, kemudian mengembuskan napas pelan, “maksud saya, bukan mengenalnya sebagai pelukis terkenal, tapi sebagai teman? Sahabat? Bukankah dulu ia pernah dekat dengan ayahmu?”

“Aku tidak tahu. Itu sudah lama sekali. Aku hanya mendengar namanya, bahkan aku tak pernah bertemu dengannya.” Aku kembali memakai tudungku karena udara semakin dingin dan gerimis mulai turun. “Kalau pembicaraan sudah selesai, aku mau segera kembali ke mobil. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawab Sena. Akan tetapi, ia mengikuti langkahku dengan ringan sambil terus mengajukan pertanyaan. “Kamu mau ke mana?”

“Pergi ke Bandung.” Aku menjawab sekadarnya.

“Ke rumah siapa?”

“Ke tempat seseorang.” Aku tak akan memberi tahunya jika aku akan bertemu Miss Margaretha. Perempuan itu mau menemuiku setelah aku membuat janji seminggu yang lalu dan dia memintaku untuk datang sendiri. Ia perempuan misterius yang tak suka publikasi, bahkan hanya segelintir orang yang mengetahui rumahnya, dan dari segelintir itu hanya beberapa orang yang dipersilakan masuk ke dalam rumahnya. 

Aku menjual nama Nenek untuk bisa mendapatkan waktu bertemu dengannya. Semua ini aku lakukan demi menemukan kamu. Beberapa orang yang mengenalmu mengatakan bahwa Miss Margaretha bisa membantuku menemukan di mana kamu. 

“Siapa orang itu?” tanya Sena saat aku sudah berdiri di depan mobilku. 

            “Apa Anda wartawan? Kita bisa punya waktu untuk wawancara, tak usah berpura-pura mengenal ayahku dan mencari Miss Margaretha,” tembakku langsung.

            Sena merogoh kantongnya lalu mengambil sesuatu yang tak lain adalah kartu nama. Ia menyerahkan kartu nama itu kepadaku. 

            “Sena Dwi Utomo, masih pakai nama mainstream zaman dulu karena saya memang keturunan Jawa tulen. Dan, saya adalah CEO Touch.”

            Dengan ekspresi heran sambil terus menatapnya, aku mengambil kartu nama yang ia sodorkan. Di kartu nama itu dan dalam berita-berita di televisi atau koran, Sena CEO Touch adalah lelaki gondrong yang selalu memakai kacamata. Tetapi, lelaki di depanku kini adalah lelaki berambut cepak tanpa kacamata. 

            Seolah mengetahui isi pikiranku, Sena segera merogoh kacamata model terbaru dari dalam sakunya. Ia memakai kacamata itu dan berpose seperti foto-foto yang umumnya dipajang di berbagai media massa. Aku terkekeh kecil dan mengangguk-angguk.

            “Pantas saja Anda senang datang ke pemakaman. Anda pasti tidak suka melihat ada dua batu nisan yang konvensional karena tidak memakai produk buatan perusahaan Anda. Tapi, maaf, aku tetap pada prinsipku.”

Sena kembali tertawa. Ia menggerak-gerakkan sepatu bot model terbarunya di tanah sambil melipat kedua tangan ke belakang. 

“Raya, kamu tenang saja, saya tidak sepicik itu. Dua nisan Touch yang kamu beli tidak akan membuat saya langsung mendapatkan keuntungan yang lebih besar.”

“Anda tahu namaku?” Seharusnya aku tak heran karena aku sedang menjadi bahan pemberitaan akhir-akhir ini, dan jawaban dia membenarkan semua itu.

“Wajahmu menyaingi wajah saya di koran. Tapi, saya agak terkejut juga, ternyata kamu anak Pak Firza.”

“Oke, waktuku nggak banyak.” Aku melihat jarum jam digital tembus pandang yang muncul dari kulit kuning langsatku. Pukul 10.00 pagi ini, Miss Margaretha ingin bertemu denganku dan dia tak menoleransi keterlambatan atas apa pun. Tepat waktu atau tak bertamu sama sekali. “Jadi, jelaskan dengan singkat apa tujuan Anda mencari ayahku. Apakah dia punya utang dengan perusahaanmu?”

“Jangan berpikiran negatif terus, dong, Miss Raya. Jadilah muslimah yang selalu berpikir positif.”

Ah, dia benar, aku sepertinya terlalu dikejar-kejar waktu sehingga segala sesuatunya tampak buruk di mataku. Meskipun aku dan keluargaku membenci Touch, toh aku harus tetap bersikap baik pada CEO-nya. Jadi, ucapan maaflah yang keluar dari mulutku. 

“Ayah saya adalah CEO sebelum saya, Deni Ramadhan Romanjaya. Beliau baru meninggal tiga hari yang lalu.”

Innalillahi wainna ilaihi rajiun,” ujarku turut bersimpati. Pasti berat kehilangan seorang ayah di usia dewasa. “Aku turut berduka cita.”

“Terima kasih. Sebentar …,” Sena berbalik badan melewati beberapa mobil. Di ujung tempat parkir, aku melihat ia masuk ke dalam mobil besar dan mewah, kemudian keluar kembali dengan membawa sebuah peti kecil berwarna silver yang besarnya pas seukuran telapak tangan. “Apakah kamu tahu apa yang menyebabkan Ayahmu meninggal?”

“Takdir,” jawabku malas-malasan. Apakah ia sedang ingin berteka-teki? Sedangkan kakiku sudah tak sabar ingin segera masuk ke dalam mobil dan melesat pergi ke Bandung.

“Hahaha …. Alhamdulillah, ternyata kamu punya selera humor juga. Katanya tadi sudah hilang selera humornya?” Sena menatap jail. 

Aku tetap hanya memberikan ekspresi datar kepadanya sehingga ia diam sendiri dan mulai serius memperlihatkan peti kecil silver itu. 

“Ibumu memang meninggal karena kanker, tapi ayahmu tidak.”

“Jangan sok tahu. Kamu siapa? Begitu lancang mengenal ibu dan ayahku seolah-olah mereka adalah orangtuamu.” Aku tak bisa mengendalikan nada suaraku. “Kakek dan Nenek bilang, Ayah dan Ibu meninggal karena kanker. Di masa itu, wabah kanker begitu luas, liar dan ganas.” 

“Santai saja, Raya. Saya bisa menjelaskan pelan-pelan.” Sena lalu mendesis dan menatap peti kecil silver di tangannya. 

Gerimis ini membuat aku mulai kedinginan. Dengan isyarat mata dan alis yang dinaikkan dengan tegas, Sena memintaku untuk mengambil peti kecil itu. Aku memegangnya dan menyesal tak memakai sarung tangan karena peti kecil yang terbuat dari aluminium itu begitu dingin dan agak berbau kimia. 

“Peti ini disimpan erat oleh kakekku sebelum ia jatuh sakit. Tapi, kemudian ditemukan oleh ayahku. Beliau lalu mencari tahu mengapa peti ini terlihat sangat berarti.”

“Memang apa isinya?” Ternyata aku masih manusia normal yang punya rasa penasaran. 

“Nona, hujan akan turun deras sekali. Kalau kita terlambat, kita bisa dihadang banjir di pintu keluar tol zona tabung.” Sopirku menginterupsi dari balik jendela mobil.

“Ya, sebentar.” Aku menatap Sena tajam.

“Buka saja,” jawab Sena. Sekarang, raut jailnya hilang dan cengirannya menjadi datar. Mungkinkah isi peti kecil ini begitu menakutkan?

Aku memiringkan sedikit kepalaku, ragu-ragu untuk membukanya. Suara petir yang menggelegar seperti menyentak diriku untuk segera bertindak. Aku membuka peti kecil silver itu perlahan-lahan. Berdebar dan penuh rasa ingin tahu. Ada apa di dalam sana?

Sebuah benda berbentuk oval panjang tergeletak di atas kain beledu merah tanpa motif. Benda oval itu terlihat seperti beku. Aku menyentuhnya pelan dengan tangan. Ternyata, benda itu dikelilingi oleh gel pengawet, sebuah gel khusus yang digunakan untuk mengawetkan barang-barang sehingga tidak lapuk atau rusak. Aku sering menemukan gel ini dalam buku-buku kuno di perpustakaan. 

“Apa benda ini adalah … test pack?” kataku ragu setelah melihat tanda “+” merah pada benda oval itu. Secara spesifik, benda itu seperti cangkang berwarna kelabu, bagian depannya berwarna putih kekuningan dan terdapat tanda “+”. Sebagai perempuan normal yang belum pernah berhubungan dengan hal-hal sensitif seperti ini, menyebut kata “test pack” di depan lelaki asing cukup memalukan. 

“Benar,” Sena menjawab tegas. 

“Untuk apa benda ini diawetkan?” 

“Perhatikan baik-baik, apa kau melihat ada bercak darah?”

“Ya …,” aku memiringkan peti kecil silver itu dan mendapati bercak darah. 

“Benda ini adalah penyebab kematian ayahmu.”

Ucapan Sena langsung membuatku terkejut dan nyaris melepaskan peti kecil silver itu dari genggaman. Sena seolah ingin menepuk pundakku, tapi segera ia urungkan dan hanya bergerak tak teratur, seperti salah tingkah. 

“Maaf, aku tak bisa mencari kata-kata yang lebih tepat.”

Bibirku seakan membeku. Sebuah test pack? Penyebab kematian ayahku adalah sebuah test pack? Tidak! Ayah meninggal karena kanker otak, tidak mungkin karena benda ini!

“Aku bersumpah. Aku tidak berbohong.” Sena menegaskan.

Sakit kepala rasanya mendengar itu semua. Kakiku lemas.

Test pack? Penyebab kematian Ayah? Test pack? Mustahil!

***

 

Saya 

Saya bingung mau berbuat apa. Perempuan yang meringkuk di depan saya ini memakai jilbab hijau dengan motif bunga matahari. Saya hafal betul detailnya, itu adalah jilbab yang sama dan motif yang sama. Kaki saya lemas, kaku, dan tidak berdaya. Satpam dan beberapa orang lain sudah berdiri di belakang saya. Melihat saya bengong, mereka mendorong saya hingga terduduk di bagian belakang bagasi. Saya tak tahu persis apa yang mereka perbuat. Ribut, kisruh. Kemudian, saya mendengar pintu mobil dibuka dan suara perintah untuk memasukkan perempuan itu ke UGD. 

Kenapa saya malah seperti sapi ompong begini? Entah berapa lama saya terdiam. 

“Mas, itu istri Mas?” tanya si Satpam dengan terengah-engah. 

Saya menggeleng. 

“Dia siapa?”

“Saya tidak tahu,” jawab saya masih berusaha untuk tetap pada taraf tenang. Sekilas tadi, saat melihat perempuan berjilbab hijau itu, saya langsung ingat dengan kematian. Perempuan yang selalu menggaungkan kematian dan sedang meringkuk. Saya nyaris berteriak histeris dan lari tunggang-langgang, tapi sekarang saya malah layu di sini. 

“Lho? Sampeyan gimana, sih? Kalau nggak kenal ngapain ditolongin?” celetuk teman si Satpam yang baru datang dan bajunya basah oleh keringat. Saya menerka dia adalah tukang parkir. 

“Ini soal kemanusiaan, Mas. Kalau ada orang mati di tempat parkir ini, apa Mas mau disalahkan?” jawab saya setelah kembali menjadi lelaki rasional. Saya berdiri dan menapakkan kedua kaki saya dengan mantap di atas aspal. 

“Apa perempuan itu meninggal?” tanya saya agak ketakutan. Saya tak siap mendapat jawaban iya. Karena, jika memang benar perempuan itu adalah perempuan yang ada di dalam mimpi saya, berarti setelah dia meninggal, maka saya akan meninggal? 

“Edan! Edan, Hanif! Kamu tidak akan percaya omong kosong seperti ini, kan?” jerit hati dan pikiran saya. Kedua elemen tubuh saya itu mulai beradu pendapat, berargumentasi dan membuat saya ngeri sendiri. 

“Masih di UGD, kata dokter keracunan.” Seorang yang lain datang dan langsung duduk di tepi trotoar, bergabung dengan si Satpam dan si Tukang Parkir. 

            Saya memperhatikan sekeliling. Ternyata peristiwa ini mengundang banyak orang untuk datang, berkerumun, menonton, dan berbisik-bisik. Saya melihat Nancy muncul dari balik kerumunan dengan wajah heran dan bertanya-tanya. Ia mencari-cari saya di mobilnya. Sebelum ia lebih bingung, saya melambai ke arahnya tanpa suara. 

Nancy bisa merasakan lambaian saya. Ia menoleh dan bilang ada apa dengan gerakan bibir. Saya hanya tersenyum. Ia menghampiri saya dan heran melihat si Satpam dan dua temannya sedang seru bercerita mengenai proses penyelamatan perempuan berjilbab hijau itu. 

“Kamu yang bikin ribut-ribut ini?” selidik Nancy. 

“Apa kehebohannya sampai ke dalam rumah sakit?” tanya saya yang sudah lebih rileks. 

Nancy mengulum bibirnya. 

“Saat saya mau keluar dari kamar, seorang pengunjung di sebelah ranjang teman saya bercerita bahwa ada seorang pria memecahkan kaca sebuah mobil. Kemudian, pria yang lainnya menyelamatkan seorang perempuan yang pingsan. Dan …,” Nancy menatapku penuh tanya.

“Saya adalah si Pria yang memecahkan kaca,” saya menepuk kedua paha saya. Sudah saya putuskan, hasil perdebatan hebat antara pikiran dan hati saya, bahwa saya harus menemui perempuan berjilbab hijau itu. Seharusnya saya memilih kembali ke kantor lalu pulang ke apartemen dan duduk santai di depan TV, tapi yang terjadi adalah saya pergi menemui perempuan itu. 

Nancy tidak bermasalah dengan keputusan saya. Itulah yang saya suka darinya, ia tidak ngambek seperti kebanyakan perempuan lain yang masih terjebak dalam jiwa kekanakan mereka. Nancy memberikan kebebasan, memberikan pilihan meskipun ia sempat meragukan.

“Kamu yakin perempuan itu yang ada di dalam mimpimu?”

“Saya yakin sekali, Nancy.”

“Tapi, di dalam mimpimu dia bilang enam hari lagi dia akan meninggal. Kenapa dia meninggal hari ini?”

“Dia belum meninggal sejauh ini. Makanya, saya mau tahu kondisi dia.”

“Bagaimana kalau dia meninggal? Apakah kamu juga akan meninggal seperti yang dia katakan di dalam mimpi?”

“Saya tidak tahu, Nancy.” 

Saya tak mungkin bilang pada Nancy bahwa saya takut setengah mati dan rasanya ingin kencing di celana jika mendapati perempuan itu meninggal. Saya ngeri pada stadium tertinggi. Saya ngeri membayangkan saya mati dan menerka-nerka apa sebab kematian saya. Tapi, saya harus memberanikan diri menemui perempuan itu. Memastikan dia masih hidup.

Maka, saya pergi memasuki rumah sakit, sementara Nancy memilih kembali ke kantornya. Sepanjang memasuki lorong rumah sakit, saya membayangkan banyak kemungkinan. Jika perempuan itu mati sekarang, berarti besar kemungkinan mimpi yang saya alami adalah omong kosong karena dia bilang akan meninggal enam hari lagi. Jika perempuan itu tidak meninggal sekarang tetapi sekarat atau koma, bisa jadi dia meninggal enam hari lagi. Jika perempuan itu meninggal sekarang dan mimpi saya bukan omong kosong, apakah saya juga akan meninggal sekarang? 

Sekarang?

Saya sesak napas di tengah lorong rumah sakit dan terduduk di bangku tunggu. Menurut orang di ruang UGD, perempuan itu sudah dipindahkan ke ruang ICU. Berarti kondisinya memang gawat. Di saat saya belum memutuskan rencana selanjutnya, saya melihat langkah yang bergegas menuju saya. Baru saja saya mau mendongak, sebuah tinju menghantam rahang saya dengan kencang. Begitu cepat, sampai saya tak sempat berteriak atau melawan.

Buk! Tinju kedua datang ke pelipis saya saat saya merasakan denyut kesakitan akibat tinju yang pertama.

“Pak! Sabar, Pak!” Itu seperti suara si Satpam yang ada di dekat tempat parkir.

“Tahan, Pak … selow dulu!” Suara teman si Satpam.

Saya terhuyung, jatuh dari kursi dan meringkuk di lantai. Sepasang tangan memegang ketiak saya dan membantu saya berdiri. Saya merasakan darah mengalir di bibir saya, manis dan kecutnya bisa saya kecap. Perlahan-lahan, saya melihat siapa yang memukul saya. Seorang lelaki yang terengah dengan wajah marah tengah dikepit oleh si Satpam dan temannya. 

“Siapa Anda? Kenapa saya dipukul?” Sesungguhnya saya ingin mengeluarkan suara menakutkan, tapi yang keluar hanya suara kecil seperti mencicit. 

“Nggak usah banyak tanya kamu! Seharusnya saya yang nanya siapa kamu, tega-teganya mau membunuh istri saya!” Bapak itu berusaha melepaskan diri dari si Satpam yang terus mengunci lengannya. 

“Sabar, Pak. Bapak itu tidak mau bunuh istri Bapak, justru dia mau menolong!” seru si Satpam cepat seolah sudah tak ada waktu lagi untuk menjelaskan. “Saya tadi sudah berusaha menjelaskan ke Bapak, tapi Bapak lari aja. Jadi … jadi …,” si Satpam mulai kebingungan memilih kata. 

“Jadi, bapak ini harus minta maaf sama bapak itu!” sambung si Tukang Parkir, teman si Satpam.

Saya terlalu lelah untuk memberikan penjelasan panjang lebar. Jadi, saya mencoba mencerna maksud pembicaraan mereka dengan menyenderkan kepala saya di tembok sambil memandangi lelaki yang tadi memukul saya. Lelaki itu masih terengah-engah, mungkin ia juga sedang mencerna ucapan si Satpam dan mencoba mengerti situasi. Saya melihat kepalan tangannya berangsur-angsur mengendur, lalu napasnya terlihat stabil. Melihat dia sepertinya tidak akan memukul saya lagi, tubuh saya langsung rileks dan debar jantung saya tidak seekstrem tadi. 

“Istri saya …,” ujar lelaki itu lemas. “Dia di ICU. Dokter bilang, kritis … minum racun tikus. Istri saya … istri saya nggak mungkin seperti itu. Dia pasti diracuni ....” Lelaki itu menangis dan terlihat lemah. 

Satpam dan temannya membimbing lelaki itu duduk di bangku yang sama dengan saya, berjarak agak jauh dari posisi saya duduk. 

Lelaki itu menoleh pada saya dengan pandangan sinis bercampur heran. “Tadi saya tanya sama orang dekat parkiran. Katanya, Anda yang menghancurkan kaca mobil saya. Anda apakan istri saya? Anda punya dendam apa sama dia?” Bibirnya bergetar. 

“Saya tidak kenal dengan istri Anda,” jawaban saya meluncur cepat, tenang. Berusaha sebisa mungkin mengabaikan rasa sakit di kepala dan gigi saya. Lelaki di samping saya ini pasti mengira saya yang berusaha mencederai istrinya. “Saya mau masuk mobil ketika saya mendengar suara aneh, kemudian saya melihat istri Anda memukul-mukul kaca mobil. Saya hanya berusaha menolong. Saya tidak tahu apa yang terjadi sama dia.”

“Dan, saya yang bopong dia ke UGD, Pak,” kata si Tukang Parkir. “Demi Allah, saya lihat bapak ini nggak megang istri Anda, Pak. Bapak ini cuma ngancurin kaca mobil, buka pintu supaya kami bisa masuk. Karena, mobilnya terkunci dari dalam.”

“Berarti yang ngasih laporan sama Bapak cuma lihat dari kejauhan. Saya, nih, saksi matanya,” si Satpam menegaskan.

Napas lelaki itu tercekat, kemudian ia menghela napas panjang dan menatap saya penuh penyesalan. Dengan tertatih, ia berdiri di depan saya dan menarik tangan saya, kemudian terduduk lemah di lantai dan meletakkan punggung tangan saya di dahinya.

“Saya minta maaf, Pak. Astagfirullahalazim, saya khilaf. Maaf, Pak … maaf. Saya cuma panik, Pak. Saya benar-benar mencintai istri saya, dia segala-galanya buat saya.”

“Bapak kayak nggak punya Tuhan aja. Bukankah yang seharusnya dijadikan segala-galanya adalah Allah?” Saya spontan berkata demikian. Mungkin karena kalimat itu sering dilontarkan Bang Nero, secara tak sadar saya menirunya. Ah, saya sok suci. Bisa jadi jika saya nyaris kehilangan Nancy, saya bisa seperti lelaki ini, hilang kendali.

Tapi, benarkah cinta saya kepada Nancy sedalam cinta lelaki ini pada istrinya? Sementara, saya sendiri masih menaruh sedikit cinta pada mantan pacar saya. 

Lelaki di depan saya menunduk lama, kemudian duduk di sebelah saya. Dia menepuk pundak saya sambil mengangguk-angguk, mengiyakan ucapan saya barusan. Lalu, mengalirlah cerita. 

Ia dan istrinya sudah menikah selama delapan tahun. Adik-adik dan kakaknya sudah menikah juga dan sudah memiliki anak, sedangkan istrinya tak kunjung hamil. Segala pengobatan sudah dijalani, dari mulai ke dokter, pengobatan herbal, alternatif, sampai kemudian ke dokter lagi, tapi hasilnya nihil. Setelah gonta-ganti dokter, baru dokter rumah sakit ini yang berani mengatakan bahwa istrinya mandul dan tak mungkin punya anak. Istrinya stres, apalagi ibu dan saudara-saudara yang lain sudah menuntut mereka untuk punya anak. 

Ya ampun, memangnya kehamilan dan kelahiran itu kuasa manusia? Untuk kali ini, aku setuju dengan ucapan Bang Nero, “Kayak nggak punya Allah aja!”

Ini adalah kedua kalinya sang Istri dan dirinya berkonsultasi. Sebenarnya lelaki itu yang memaksa untuk berobat lagi pada dokter yang sama. Ia bersikeras tak percaya bahwa istrinya mandul. Tapi, sang Istri menolak. Sampai akhirnya, pagi tadi di ruang dokter SPOG mereka berdebat. Dokter agak kesal karena lelaki itu tak memercayainya. Akhirnya, sang Dokter meresepkan obat kesuburan. Saat lelaki itu pergi ke apotek, sang Istri segera ke mobil dan—menurut perawat UGD tadi—keracunan racun tikus. Lalu, lelaki itu … meninju saya.

“Maafkan saya,” ulangnya lebih tulus. “Saya kehilangan kendali.” 

“Ya, saya paham,” saya meringis, masih kesakitan. 

“Saya ganti biaya pengobatan Anda.”

“Panggil saja Hans.”

“Ah, saya Heru. Maaf, Hans, mari kita ke UGD, kita obati luka di bibir kamu.” Dia sudah tak lagi menggunakan kata ganti Anda

Satpam dan temannya lalu pamitan ke luar, pergi sambil menggumam tak jelas. Saya yakin, di luar sana mereka pasti akan punya cerita untuk dibagikan.

Saya dan Heru lalu pergi ke UGD untuk menerima perawatan di bibir dan dahi saya. Gusi saya berdarah, tapi tak sampai menanggalkan gigi saya. Heru mengurus semua biaya lalu mengajak saya mengobrol di kafe rumah sakit. Kami memperbincangkan hal-hal umum—saya tahu ini adalah bentuk menghapus rasa bersalah pada diri Heru. Terlihat sekali Heru berusaha untuk mengalihkan pikirannya dengan banyak menanyakan hal-hal seputar kehidupan saya. Tapi, saat saya bercerita, dia tak banyak menyimak. Akhirnya, saya lebih banyak bertanya padanya, dan itu berhasil membuat dia terlihat agak tenang karena pikirannya sibuk memikirkan jawaban.

Seharusnya saya kembali ke kantor, menyelesaikan pekerjaan, kemudian kembali ke apartemen dan menikmati malam dengan tenang. Tapi, saya terjebak di sini, di lorong rumah sakit ini menunggui istri Heru. Saya tak mungkin bilang kepada Heru soal mimpi-mimpi saya. Cukup sudah dua tinju mampir di wajah saya. 

Sudah pukul 02.00 pagi, hari sudah berganti. Saya terkantuk-kantuk di bangku koridor saat melihat Heru tergopoh-gopoh menghampiri saya. Wajahnya cerah dan saya yakin itu artinya dia membawa berita bahagia.

“Istri saya sudah sadar … alhamdulillah ….”    

“Iya, iya ….”

“Alhamdulillah.” Ia mengulangi perkataannya, seolah saya harus mengikuti perkataannya. 

“Iya … al … alhamdulillah.” Janggal sekali menyebutkan kata yang jarang diucap.

“Ayo, ikut saya.”

“Ke mana?”

“Saya mau salat malam, saya mau berterima kasih kepada-Nya,” ujarnya dengan sangat tenang. Ia seolah orang yang berbeda dengan yang saya kenal siang tadi.

“Ya, silakan, silakan.” Saya kembali duduk. Asar, Magrib, dan Isya tadi, ia bolak-balik salat, tapi diam saja. Kenapa sekarang tiba-tiba dia mengajak saya?

“Ayolah, ikut, salat Tahajud selalu istimewa. Apalagi istri saya sudah sadar, sudah melewati masa kritis.”

“Ya … ya,” saya melipat kedua lengan di atas dada sambil berdiri dan menunduk-nunduk. Istrinya sadar, berarti saya sudah lepas dari ancaman kematian? Hei, tadi saya sempat tertidur, terkantuk-kantuk, tapi saya tak memimpikan perempuan berjilbab hijau itu. Saya tak lagi memimpikan istrinya. 

“Ayo … ayo ….”

“Ya … ya ….” Serta-merta, saya bahagia. Lega. Langkah saya mengikuti Heru.

Ternyata mimpi saya sebelumnya memang hanya mimpi sampah. Tak bermakna. Hahaha …. Kematian, saya tidak takut sama kamu!

Malam itu, setelah ribuan hari tak pernah menyapa-Nya, saya merasakan sebuah sensasi baru. Saya seperti datang ke rumah yang begitu tua dan kosong, yaitu hati saya sendiri. Ternyata hati saya sudah lama tak terisi dengan nilai-nilai Islam. Saya agak lupa bagaimana bacaan salat, tapi saya bergerak saja pelan-pelan seolah khusyuk. Heru tampaknya orang yang rajin beribadah. Saya mau terlihat sebagai orang lain di matanya agar saya bisa mendekati istrinya. Ya, bagaimanapun saya harus bertanya pada istrinya, “Siapa kamu? Mengapa lancang sekali masuk ke dalam kehidupan saya?”

Setelah salat, saya merasakan kantuk luar biasa. Saya tak kuasa untuk berdiri, saya memilih berbaring sebentar di musala lalu tertidur. Saya tertidur begitu dalam, begitu lelah, memasuki alam mimpi, dan … sial! Saya di taman itu lagi! Saya tengah berjalan menuju perempuan berjilbab hijau dengan motif bunga matahari itu lagi.

“Lima hari lagi saya akan meninggal ….”

Tidak! Tidak! Bangunkan saya … bangunkan saya!

***

 

Aku

Aku menganggap ucapan Sena itu konyol. Tidak mungkin ayahku meninggal karena sebuah test pack. Maka, aku memilih untuk membentaknya, menyuruh dia pergi dan tidak lagi memberi tahu hal-hal konyol. Kemudian, aku naik ke mobilku dan segera memasuki zona tabung. Rupanya Sena tidak mau meninggalkanku begitu saja, ia segera masuk ke dalam mobilnya dan mengejarku. Aku meminta sopir untuk segera mempercepat laju kendaraan, akan tetapi kecepatan di zona tabung sudah diatur sedemikian rupa agar tak terjadi bentrokan atau kecelakaan. Mobilnya pasti lebih hebat daripada mobilku. Karena, dengan kecepatan yang sama, 60 km/jam, ia bisa menyejajarkan mobilnya dengan mobilku.

 Sena membuka kaca mobilnya kemudian berteriak, “Kamu mau ke mana?”

Aku mengabaikan dirinya. 

Kemudian, badan mobil Sena terbuka, mengeluarkan sebuah alat yang serupa dengan medan magnet. Aku lupa bagaimana cara kerja alat itu, tapi alat itu memang selalu ada pada mobil-mobil supercanggih dan biasanya digunakan oleh polisi untuk meringkus mobil penjahat. 

Bang! Tubuhku terguncang. Sopirku terkejut dan berusaha tetap menyetir dengan tenang. Tapi, secepat apa pun sopirku menginjak gas agar bisa mendahului mobil Sena, mobilku tak pernah bisa lebih cepat daripada mobil Sena. Ya, karena Sena sudah menempelkan alat medan magnet itu ke mobilku sehingga mobilku dan mobilnya berdempetan. Mobil canggihlah yang pada akhirnya memegang kuasa. Sena berusaha membuat mobilku berhenti, tapi aku ngotot pada sopirku untuk terus menginjak gas sekuat tenaga. 

Sampai tiba-tiba aku merasakan tubuhku terguncang hebat. Bum! Buk! Tubuhku bergerak ke samping kanan, kemudian merasakan benturan yang luar biasa. Beruntung pengamanan di dalam mobilku cukup bagus sehingga benturan itu tak mencederai tubuhku. 

“Nona, ada gempa.” Sopirku mematikan mesin. 

Aku melongok ke luar jendela dan melihat mobil Sena juga turun ke lantai zona tabung. Aku membuka seat belt, kemudian segera turun dari mobil. Di depan kami, mobil-mobil ikut berhenti dan orang-orang keluar dari mobil. Kemudian, aku melihat ada arus berwarna kecokelatan mengalir di depan pintu keluar tol zona tabung. Itulah sebabnya pintu tol zona tabung ditutup. Karena, di daerah ini saat gempa dan hujan bersatu, banjir besar tak terelakkan. Aku melihat ke bawah, pandanganku menembus lantai kaca zona tabung. Kemacetan parah terjadi di sana, hiruk pikuknya melebihi keriuhan di sini. Banjir melanda saat macet, tentu saja membuat kekacauan. Tapi, ada yang lebih kacau dari pemandangan itu, hati dan pikiranku. 

Sena juga keluar dari mobilnya. Dengan santai, ia memakai kacamata dan berkacak pinggang menunggu banjir selesai melintas. Aku menghampirinya dengan berkacak pinggang juga dan memasang wajah arogan.

“Tuan Sena, bisakah Anda melepaskan magnet mobil Anda dari mobil saya?” Padahal, aku mau berteriak, “Apa, sih, mau kamu?” Tapi, sebagai seorang terpelajar, aku akan menjaga sikap di depan umum. Itu yang selalu diajarkan Nenek. 

“Kamu mau ke mana?” tanya Sena tanpa wajah berdosa.

“Apa maumu?” tanyaku langsung pada persoalan inti. Tenang tanpa berteriak karena aku tak mau orang di samping kanan kiriku mendengar pembicaraan kami. 

“Begini … aku, kan, belum menjelaskan semuanya, tapi kamu sudah pergi begitu saja. Dengar, soal test pack itu kita lupakan saja dulu.”

Ooh …. Rasanya wajahku merah padam. Seorang muslimah yang menjaga keperawanan seperti diriku harus berbicara soal test pack di depan banyak orang? Sena sungguh tak sensitif. Aku langsung menutupi wajah bagian bawahku dengan sapu tangan. Aku khawatir ada wartawan di antara orang-orang ini. 

“Raya, kakekku sudah begitu tua. Dia pencipta Touch, dan kamu tahu … setiap manusia punya dosa.”

“Langsung pada intinya saja.”

“Aku sudah pada intinya dan mohon sabar mendengar ceritaku.” Sena menyengir, ia lalu memakai topi yang ia ambil dari saku celananya. 

Masya Allah. Sejenak, aku merasakan desiran kecil di hati. Saat ia memakai topi, aku teringat kamu. Kamu yang aku cintai dan aku kasihi selalu. Kamu yang selalu aku rindukan. Aku rindu melihatmu memakai topi dengan gaya yang khas. Aku bergegas mengucapkan istigfar. Tidak … tidak boleh!

“Bisa aku lanjutkan?” tanya Sena.  

Aku mengangguk, mencoba bersabar dan menanti kelanjutan ceritanya. 

“Kakekku adalah pencipta Touch. Kamu tahu, kan, siapa dia?”

Aku kembali mengangguk meskipun tak peduli siapa dia. Aku tak terlalu kenal dengan pencipta Touch dan tidak tertarik mengenalnya. Yang aku tahu, selama ini dia dikenal sebagai Steven Cow meskipun dia bukan orang Cina. 

Sena melanjutkan ucapannya, “Kakekku sudah sekarat, bertahun-tahun dia sekarat, tapi dia tidak mati-mati. Maksudku … dia belum meninggal juga. Ia susah meninggal. Seorang ustaz lalu memintaku untuk berdialog dengan Kakek karena aku adalah cucu kesayangannya. Dari hasil komunikasi terpatah-patah dan lamban, akhirnya aku tahu bahwa kakekku punya salah pada seseorang dan sampai detik ini belum pernah minta maaf pada orang itu.”

“Apakah maksudmu kesalahan kakekmu pada orang itu jadi penghalang kakekmu untuk mengembuskan napas terakhirnya?” Aku jadi agak penasaran meskipun belum paham dengan apa yang dimaksud Sena. 

“Ya. Dan, itu wallahualam. Kita sebagai manusia punya keterbatasan dalam berpikir dan berlogika. Kadang tak mudah memahami kehendak-Nya.” Kali ini Sena terlihat agak gelisah. 

Aku menoleh ke ujung zona tabung yang masih tertutup. Traffic light masih menunjukkan bahwa banjir belum selesai melintas. Di bawahku, jalan raya sesak dipenuhi mobil dan manusia. Aku nyaris tak menemukan spasi di antara mereka. Banjir melewati gorong-gorong bawah tanah dengan cepat, sebagian lagi menyeruak ke atas dan membuat jalanan tergenang. Berpuluh-puluh tahun Jakarta tak pernah kehilangan pesona. Tak ada yang mau beranjak pergi dari tempat yang dulu pernah bertakhta menjadi ibu kota.

“Raya?”

Aku terkesiap, lalu memberi isyarat pada Sena agar melanjutkan ucapannya. 

“Kakek memintaku mencari Bu Firza. Beliau ingin aku menyerahkan ini pada Bu Firza, tetapi ternyata ibumu sudah meninggal juga. Kakekku tak tahu,” lanjut Sena.

“Memang kakekmu siapanya ayah dan ibuku?”

“Mana aku tahu.” 

Jawabannya membuat aku menaikkan alis setinggi mungkin. 

“Mungkin Kakek pernah memberikan utang besar, kemudian marah karena ibumu tak bisa membayar utang, hehe … bercanda. Kakek hanya memberikan peti kecil ini. Lihat baik-baik, di bawah peti ini ada laci kecil. Kakek menuliskan surat permintaan maafnya pada ibumu dengan tulisan tangan. Kuno sekali. Peti ini dikunci dan Kakek memercayakan kuncinya kepadaku. Dia percaya aku tidak akan mempermalukan dia dengan membaca surat itu secara diam-diam. Tapi, cerobohnya, aku menghilangkan kunci itu.”

“Lalu?”

Suara gemuruh air banjir yang melintas sayup-sayup mengecil. Itu tandanya sebentar lagi pintu keluar tol zona tabung akan dibuka dan kami harus bergegas pergi. Tapi, pembicaraanku dengan Sena membuka satu cakrawala baru tentang kehidupan ibuku. Aku tak begitu mengenal Ibu karena beliau meninggal saat aku masih bayi.

Sena menyerahkan peti kecil itu kepadaku, kali ini aku tak akan menolaknya. Aku tak peduli dengan test pack yang aneh itu, tapi aku ingin tahu isi surat di dalam bagian bawah petinya. 

“Aku menelepon uakku, kemudian bertanya apa yang harus aku lakukan. Aku merasa bersalah. Aku menjatuhkan kunci itu di toilet.” Ia terlihat malu mengakui hal itu.

Orang-orang sudah kembali ke dalam mobil masing-masing dan siap untuk tancap gas. Tapi, aku belum bisa bergerak, kakiku rasanya dipaku. Mendadak, aku terkesan dengan cerita Sena, bahkan mulai terpikat dengan wajah Sena yang menurutku memang lumayan tampan. Astagfirullahalazim. Ya Allah, ampuni hamba. 

Sena tipe lelaki yang bisa cepat memikat wanita. Seperti kamu … ya, dia nyaris persis seperti kamu. Ah, aku semakin ingin bertemu denganmu. 

“Uakku bilang, aku harus bertemu Miss Margaretha karena dia memiliki kunci peti kecil ini. Peti ini diberikan oleh beliau untuk kakekku. Lihat, peti ini penuh ukiran, bukan? Ini karya seni, bukan sembarangan. Dan, uhm … ya, kakekku sering membeli lukisan Miss Margaretha. Mungkin itu sebabnya Miss Margaretha memberikan peti kecil manis ini untuk beliau.”

Aku memperhatikan dengan saksama peti kecil silver di tanganku. 

“Nanti aku sampaikan pada Miss Margaretha. Kebetulan aku mau bertemu dengannya sekarang.” Akhirnya, aku mengungkapkan ke mana tujuanku.

“Benarkah? Alhamdulillah, Allah memberikan jalan. Keren! Kamu tahu, katanya susah sekali ketemu dengan Miss Margaretha. Kamu keren kalau bisa ketemuan sama dia. Apa kamu pelukis juga? Di koran hanya disebutkan bahwa kamu cucu pemilik Rumah Sakit Sehat Sentosa, tidak lebih.”

“Ya, aku juga suka melukis, tapi hanya hobi biasa. Aku tak mungkin bisa sehebat Miss Margaretha, dan lagi, setelah lulus kuliah di bidang ilmu kesehatan masyarakat, aku harus mengurus rumah sakit. Tapi, sebulan terakhir, aku mendelegasikan semuanya pada orang lain. Aku … aku …”

“Ayolah, Raya, berhenti bicara. Kamu baru saja mengenal dia. Tak mungkin kamu ungkapkan semua jati diri kamu.” 

Meskipun keluarga Sena mengenal keluargaku dengan baik, tapi rasanya tak mungkin mengatakan kepada Sena bahwa hidupku diprediksi hanya tinggal enam hari lagi. Enam hari lagi …. 

Mendadak, aku ingin segera tidur dan mengabarkan kepadamu dalam mimpiku bahwa enam hari lagi aku akan meninggal. Meskipun kamu pasti akan berkata, “Tak ada yang tahu kapan kita mati, dengan siapa, memakai baju apa, pada pukul berapa … tak ada yang tahu. Dokter sekali pun.” 

Tapi, aku merasa letih dan lelah. Aku berhenti bicara pada Sena dan langsung masuk ke dalam mobil. Sopir Sena sudah melepaskan magnet dari mobil kami. Sopirku langsung menginjak gas dengan kencang dan berusaha secepat mungkin mengejar ketertinggalan waktu. Sudah pukul 10.10. Aku sudah terlambat. 

“Mau melanjutkan perjalanan atau kita pulang lewat zona tabung selanjutnya, Nona?” tanya sopirku.

“Lanjutkan saja. Kalaupun gagal bertemu, yang penting aku sudah berusaha.”

Sekarang aku mempunyai dua misi. Pertama adalah menanyakan di mana kamu berada. Aku berharap Miss Margaretha mengetahui hal itu. Yang kedua adalah meminta kunci peti ini. Aku mau sedikit mengenal sisi lain dari ibuku sendiri. 

“Nona, mobil teman Nona tadi terus mengikuti kita,” ujar sopirku saat kami telah keluar dari pintu tol zona tabung. 

Aku menoleh ke belakang dan mendapati mobil Sena berusaha untuk menyejajarkan diri dengan mobilku kembali. Oh ... apa, sih, maunya lelaki ini? 

Bip! Bip! Bunyi pesan mobil. Pesan yang muncul di monitor touch screen yang ada di dashboard, biasanya digunakan oleh pengendara lain untuk memberi tahu jika ada ban bocor, atap rusak, atau pemberitahuan dari kepolisian soal lalu lintas kota. Aku menoleh ke dashboard dan melihat siapa sang Pengirim Pesan. Muncul nomor pelat mobil beserta foto fisik mobilnya. Itu adalah mobil Sena. Iseng sekali dia mengirimkan pesan melalui pesan mobil.

Aku mau ikutin kamu. Aku harus memastikan bahwa kamu menerima surat itu dengan baik. Karena, ini amanah dari Kakek. Kamu ahli waris dari Bu Firza. Sena.

Aku balas mengetik di touch screen. Kamu tak perlu khawatir. Aku akan kirim bukti foto jika surat ini aku terima dan aku baca.

Beberapa saat kemudian, ketika mobilku sudah memasuki daerah Bandung, Sena kembali mengirimi pesan mobil. 

Kirim ke akun Touch aku, ya, di #SENAMIND#

Aku tak membalasnya lagi. Apakah dia mau mengerjaiku? Mobil Sena sudah berputar arah, lega rasanya karena dia tak segila yang aku kira. Dia masih menghormati privasiku. Aku jadi ingat kamu. Ya, kamu juga selalu menghormati privasiku. Di saat aku sedih dan ingin sendiri, kamu tak pernah menggangguku dengan banyak pertanyaan. 

Tak sabar rasanya ingin segera bertemu Miss Margaretha. Selangkah menuju kamu.[]

 

 

3

Lima Hari Menuju Kematian

 

Aku

            Aku memimpikan kamu lagi. Kamu sedang ada di sebuah musala, entah di mana. Kamu tertidur dan aku menghampirimu. Aku mengatakan bahwa lima hari lagi adalah waktu kematianku. Lalu, kamu berteriak histeris, kamu tak terima akan hal itu. Kamu memelukku erat dan mengguncang tubuhku agar aku tidak mengatakan hal itu lagi. Kamu tak mau kehilangan aku. Begitupun aku, aku tak mau meninggalkan kamu. 

            Aku terbangun dalam keadaan sangat lelah. Lelah jiwa juga ragaku. Lima hari lagi, menurut prediksi dokter, aku dan Nenek akan pergi untuk selama-lamanya. Rasanya takut … takut … meskipun aku selalu sesumbar tak takut. Tapi, itu manusiawi rasanya jika membayangkan betapa sakitnya nyawamu dicabut, seperti ditusuk ratusan pedang secara bersamaan. Tak bisa membayangkan itu. 

            Kemarin … kemarin saat kakiku tertusuk paku saja, seluruh saraf di badanku rasanya mau putus. Tapi, aku bersyukur karena tertusuk paku. Jika tidak, mungkin aku tak pernah bisa bertemu Miss Margaretha. 

            Aku duduk di sofa sambil memandangi Nenek yang masih tertidur. Kemarin aku pulang ke kamar ini pukul 09.00 malam dan Nenek sudah terlelap. Sekarang, saat terbangun dari tidur, masih pukul 03.00 pagi. Aku ingin sekali salat Tahajud, tapi kaki bekas tusukan paku ini begitu ngilu dan kesakitan untuk berjalan ke kamar mandi. Salat fardu saja aku lakukan dengan susah payah. Ya Allah, bolehkah aku berlibur di sepertiga malam ini? 

            Tapi, Nenek terbangun tepat saat aku mengucapkan pertanyaan itu. 

            “Raya, bantu Nenek untuk salat qiyamullail ….”

            Ah, Nenek. Melihatmu begitu rajin beribadah membuat aku merasa kecil dan lemah. Aku menyugesti diriku sendiri, mengatakan bahwa kakiku baik-baik saja. Dengan tertatih, aku membantu Nenek berwudu di atas tempat tidur, memakaikan mukena, kemudian Nenek salat dengan khusyuk. Aku ingin melakukannya untuk diriku sendiri, tapi aku lelah dan terduduk kembali di sofa. Menikmati kamar ini. Membangun kesadaran bahwa aku sudah tak lagi berada di rumah Miss Margaretha. 

Kamar rumah sakit ini mempunyai bau yang jauh berbeda dengan rumah Miss Margaretha yang dipenuhi wangi bunga lavender. Wangi yang mengingatkan aku pada bau lotion obat nyamuk. Ingatanku melayang pada kejadian kemarin. Kejadian beberapa jam lalu. 

Pukul 11.00 aku baru bisa menapakkan kakiku di depan pintu gerbang rumah Miss Margaretha yang megah dan luas. Aku sudah terlambat satu jam dari waktu yang sudah dijanjikan. Melalui satpamnya, Miss Margaretha menolak untuk bertemu denganku karena pukul 11.00 adalah jadwal dia membaca Alquran. Miss Margaretha adalah seorang mualaf dan dia selalu berusaha untuk belajar Alquran sebanyak-banyaknya sebelum salat fardu dimulai. 

Aku memohon kepada satpam agar dibukakan pintu. Aku berbicara di kamera CCTV, berharap Miss Margaretha mau memberiku kesempatan. Saat salah seorang pembantu Miss Margaretha keluar untuk membuang sampah, aku mencoba untuk ikut masuk. Akan tetapi, satpam menahan tubuhku. Aku kesal karena lelaki yang bukan mahramku itu berani memegangku begitu saja. Aku berusaha menghindar dan nyaris terjatuh di depan pintu gerbang. Aku mencoba tetap berdiri seimbang, akan tetapi telapak kaki kananku tertusuk paku. Tiba-tiba saja aku mendengar suara Miss Margaretha di intercom.

“Bawa dia masuk dan suruh Rendi membersihkan sisa paku bekas itu.”

Alhamdulillah. Baru sekarang aku bersyukur diberikan musibah. Meskipun kakiku nyeri dan sakit bukan main, aku masih berusaha untuk tenang dan bersikap sopan. Rasanya tak mungkin aku menjerit-jerit melampiaskan rasa sakitku di depan perempuan terhormat seperti Miss Margaretha. 

“Maaf, ya, Teh, jadi luka begini,” seorang asisten rumahtangga yang lainnya datang membawa kotak P3K dan langsung menangani luka di kakiku. Aku menggigit bibir bawah dengan keras saat ia mengoleskan alkohol pada lukaku. 

Saat sakit seperti ini, aku jadi teringat kamu. Kamu tak pernah membiarkan aku terluka. Kamu selalu menjaga tubuhku, fisikku, bahkan tak membiarkan hatiku terluka oleh cinta. Itu sebabnya aku tak pernah jatuh cinta dengan lelaki mana pun. Hanya kamu yang aku cintai dan aku sayangi. Karena, meskipun kamu pergi dan tak kembali, aku yakin kamu tak pernah berniat untuk menyakiti. 

Setelah selesai mengobati lukaku, asisten rumahtangga ini memapahku ke sebuah ruangan yang lebih kecil daripada ruang depan. Baru kusadari bahwa rumah Miss Margaretha ini bergaya minimalis kuno dengan campuran klasik ala Eropa. Tak seperti rumah-rumah masa kini yang cenderung berbentuk kotak atau bulat sempurna. Sambil berjalan dengan kaki berdenyut, aku mengamati setiap benda yang ada di rumah ini. Nyaris minim perabotan. 

“Miss Margaretha orang yang simpel, ya? Tidak banyak perabotan di sini,” kataku mencoba mengalihkan pikiran saat berjalan dengan rasa sakit.

“Dulu Miss Margaretha punya banyak koleksi patung dan aneka perabotan mahal. Setelah masuk Islam, beliau bilang ingin hidup sederhana. Ia menjual patung-patung itu dan perabotan-perabotan yang tak diperlukan. Uangnya disumbangkan ke panti asuhan.”

“Kenapa dijual?” Aku meringis, rasanya tak sanggup lagi melangkah. 

“Miss Margaretha tak ingin malaikat tak berkunjung ke rumah ini karena patung-patung itu. Ehmm ... soal perabotan, kata Miss Margaretha, dia takut jika dimintai pertanggungjawaban atas harta-hartanya di akhirat nanti.”

“Subhanallah,” ucapku tulus, tepat saat kami sudah berada di pintu masuk ruangan kecil yang ditunjuk oleh Asisten Miss Margaretha. “Beliau menjadi sederhana, berbeda dengan dulu. Sebelumnya beliau begitu glamor.”

“Begitulah. Meskipun baru dua tahun masuk Islam, Miss Margaretha sudah berusaha menjalankan agamanya dengan kaffah. Ini ruang tamu khusus, silakan duduk.” Asisten Miss Margaretha membantu aku untuk duduk dengan nyaman.

“Kapan tepatnya Miss Margaretha masuk Islam?”

“Tanggal 16 April, dua tahun yang lalu.”

Hatiku bergetar. Aku tak pernah melupakan tanggal itu. Itu tanggal ulang tahun kamu dan dua tahun lalu kamu menghilang dariku pada tanggal yang sama.

Sebelum pergi, Asisten Miss Margaretha melanjutkan ceritanya, “Waktu itu Miss Margaretha diantar pulang oleh seorang lelaki tampan, katanya bernama Mas Hanif. Mereka …” 

 “Kami hanya berteman baik.” Sebuah suara lembut namun tegas mampir ke telingaku dan membuat Asisten Miss Margaretha tersentak kaget. Ia langsung meminta maaf dan memohon diri.

Aku memberanikan diri untuk melihat perempuan anggun di depanku. Perempuan cantik dengan gamis sederhana, nyaris tanpa manik-manik atau segala hiasan yang menunjukkan ketinggian derajat di mata manusia. Mata perempuan itu biru dan teduh, mata Miss Margaretha. Aku sudah sering melihat wajah dan perawakannya di majalah, TV, dan internet, namun melihat sosok aslinya nyaris membuat aku ingin melompat. Miss Margaretha mewakili semua stereotip perempuan berkelas. Gaya duduknya anggun, sopan, napasnya teratur, punggungnya tegak, dan senyumnya mengembang menenteramkan. Aku tak pernah melihat senyum itu di media mana pun. Ia tak seseram yang dibayangkan banyak orang. Ia cantik. Kecantikan yang sesuai dengan definisi kecantikan menurut berbagai zaman.

“Apalagi yang ingin kamu ketahui tentang saya?” tanyanya masih dengan senyum tulus. Aku tahu itu bukan senyum sinis atau senyum menyindir. Dia sungguh-sungguh bertanya dan suaranya memiliki efek menenangkan. Aku merasa reaksi asistennya tadi hanya karena malu tepergok sudah membicarakan orang lain tanpa seizin yang punya cerita.

“Mohon maaf kalau aku lancang.” Sekonyong-konyong, aku pun ikut malu dan tanganku spontan menyusuri saku celana panjangku yang lebar. Di sanalah surat untukmu tersimpan rapi. Aku akan selalu memastikan surat itu tak hilang. Lalu, aku memeluk tas jinjing, di sanalah kotak pemberian Sena aku simpan. Aku tak mengerti mengapa aku jadi begitu defensif. Mungkin karena aku merasa Miss Margaretha begitu misterius. Ya, pandangan matanya misterius, menyimpan banyak rahasia. Termasuk rahasia berdua denganmu. Mengapa kamu tak pernah bercerita padaku?

Aku menelan ludah.

“Soal Mas Hanif …,” akhirnya aku mengucapkan tiga kata itu setelah memutuskan tak mau rumit merangkai kalimat. Miss Margaretha melirik jam tangannya. Aku rasa to the point adalah pilihan yang tepat. 

“Sudah saya bilang, kami hanya berteman.” Dia tertawa ringan, seolah tak punya beban. 

Asisten lain datang menyuguhkan teh dan aneka camilan. Miss Margaretha menawariku untuk menikmati sajian sebelum akhirnya ia kembali bicara, “Teman spesial tentunya.” 

Matanya lalu menerawang. Aku yakin banyak kenangan yang ingin ia ingat. 

“Tapi, tenang saja, it’s a long time ago. Kami hanya berteman. Saya tahu dia masih mencintai seseorang,” Miss Margaretha mengerling kepadaku. 

Aku menunduk malu, memilin ujung jilbab. 

“Aku …,” sayangnya, aku hanya sanggup memandangi teh yang mengepul di dalam cangkir.

Miss Margaretha mengambil satu cangkir dan menyesap isinya pelan. Ia memandangiku, menunggu aku bicara, dan lidahku terasa semakin kelu. Aku meremas saku celana panjangku, meremas surat itu. 

“Aku mau menyampaikan su … rat … untuknya. Surat cinta yang harus dia terima.” Aku menyelesaikan kalimat itu seperti mau mengembuskan napas terakhir. Ah, berlebihan. Bahkan, aku belum siap menghadapi kedatangan napas itu. Seperti itulah beban yang aku rasakan. Betapa malunya membicarakan hal yang pribadi pada seseorang yang pertama kali kita temui.

“Apa dia tidak pulang ke rumah?” Miss Margaretha meletakkan cangkir kembali ke atas meja, suara berdenting terdengar berbarengan dengan gelengan kepalaku. “Seharusnya dia pulang.” 

“Apa Miss tahu di mana dia sekarang?” Sekarang aku sudah lebih rileks setelah Miss Margaretha menghela napas berat.

            “Tidak.” Miss Margaretha menggeleng, “Tapi, saya akan mencari tahu.” Ia lalu menggenggam jemariku erat. Jarak di antara kami memang tak terlalu jauh, hanya dipisahkan sebuah meja kayu jati berukuran kecil. “Saya sudah mencari tahu siapa kamu setelah kamu membuat janji dengan saya. Saya juga suka dengan lukisan mini yang kamu buat. Dan, saya sangat tahu betapa berartinya Mas Hanif untuk kamu.”

            Aku lega karena tak perlu menjelaskan banyak hal kepada perempuan ini. Dia begitu baik, mau meluangkan waktu untuk mengenalku sebelum kami bertemu. 

            “Mas Hanif orang baik, dia lelaki setia, dan …”

            “Maaf, Miss,” asisten yang tadi menemaniku kini datang tergesa-gesa dengan ponsel kuno di tangannya. “Mister Darto menelepon.”

            “Ah, iya,” Miss Margaretha melepaskan genggaman jarinya, lalu menerima ponsel yang dijulurkan asistennya. “Ya, waalaikumsalam … baik, saya sedang ada tamu. Baik … saya segera ke galeri. Waalaikumsalam.” 

Miss Margaretha menyerahkan ponselnya kembali lalu menatapku iba. “Sebenarnya banyak sekali yang ingin saya ceritakan, tapi saya harus ke galeri Masjid Agung untuk pameran kaligrafi.”

            “Seandainya aku bisa ikut.”

            “Sayang sekali, Dear, seandainya saya punya kuasa untuk menentukan undangan.” Miss Margaretha lalu memeluk saya. “Saya akan segera menghubungimu. Assalamualaikum.” 

            Miss Margaretha berdiri, aku spontan berdiri dan hendak mengejarnya. Tanpa sadar, aku menabrak ujung meja dan terjatuh dalam posisi merangkak. Telapak tanganku terasa panas saat bertumbukan dengan lantai marmer yang dingin. Miss Margaretha berbalik badan dan berjalan ringkih hendak membantuku, namun asistennya lebih cekatan dan sudah membantuku berdiri. Kami berhadap-hadapan, otakku rasanya rusak. “Sudahlah, Raya. Tak perlu menyusun kalimat terlalu indah. Langsung saja pada masalah.”

            “Aku hanya punya waktu lima hari lagi sebelum virus V-Diamond di badanku membuat aku tertidur lelap sampai entah kapan, koma, atau aku bisa saja mati mendadak. Aku hanya butuh bicara dengannya secepat mungkin, menyampaikan surat cinta, lalu memintanya kembali. Aku … aku … begitu kacau. Aku takut dengan kematian, takut dengan penyakit ini, tapi aku sok berani, tapi aku takut tak bisa bertemu dengannya sebelum aku benar-benar mati.” Napasku terengah. Air mataku melesak cepat. “Aku sudah mencarinya ke sana kemari. Aku nyaris putus asa dan berharap Anda memberikan jawaban segera. Aku butuh … butuh bertemu dengan dia!” 

Miss Margaretha memandangku dengan raut kesedihan yang sulit aku ungkapkan lewat frasa apa pun. Ia tak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah satu kali, kemudian memelukku erat, mengabaikan napasku yang putus-putus serta emosiku yang meledak.

            Begitu lama ia memeluk sampai aku mendengar suaranya berbisik mendamaikan, “Demi malaikat yang mencabut nyawa dengan keras, demi malaikat yang mencabut nyawa dengan lemah lembut, demi malaikat yang turun dari langit dengan cepat, dan malaikat yang mendahului dengan kencang, dan malaikat yang mengatur urusan dunia.” 

Aku bergidik dan mematung mendengar ucapan Miss Margaretha. 

Sungguh kamu akan dibangkitkan pada hari ketika tiupan pertama mengguncangkan alam. Tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua. Hati manusia pada waktu itu merasa sangat takut, pandangannya tunduk. Orang-orang kafir berkata, ‘Apakah kita benar-benar akan dikembalikan kepada kehidupan yang semula? Apakah akan dibangkitkan juga apabila kita telah menjadi tulang belulang yang hancur?’ Maka, pengembalian itu hanyalah dengan sekali tiupan. Maka, seketika itu mereka hidup kembali di bumi yang baru.”

            Ia melepaskan pelukannya sambil tersenyum dan menepuk kedua pipiku pelan. Sikapnya begitu bijaksana dan nasihatnya langsung tepat sasaran. Aku masih berdiri terpaku ketika melihat bayangnya menghilang ke ruangan sebelah. Air mataku menetes satu per satu ke pipi. Hatiku lebih terasa nyeri daripada kaki yang berdenyut ini. 

Surat An-Naziat ayat 1 sampai 14. Miss Margaretha mengucapkan artinya dengan lancar. Firman Allah yang selalu kamu ucapkan ketika aku takut akan kematian.

            Saat aku takut melihat bibi tetangga meninggal.

            Saat aku takut melihat sepupuku menemui ajalnya karena kecelakaan.

            Saat itulah kamu selalu membisikkan firman-firman-Nya dengan lembut sambil membelai rambutku.

            “Suatu saat kita akan dihidupkan kembali. Kematian hanyalah pintu menuju dunia selanjutnya. Tak ada yang perlu ditakuti.” 

            Kalimat-kalimat itu membesarkan hatiku selama ini. Tapi, lima hari lagi … aku tak yakin bisa tetap tegar. Aku tak yakin Miss Margaretha juga bisa menemukanmu, padahal aku sangat berharap padanya.

            “Raya …,” suara Nenek menyeretku kembali pada aroma rumah sakit, “salatlah, hari sudah mau terang.”

            Aku menyibak tirai jendela dan mendapati langit mulai kebiru-biruan. Berapa lama aku melamun? Atau, aku tertidur? Aku bergerak ke kamar mandi, hendak mengambil wudu, menunaikan kewajiban dua rakaatku dengan kaki nyeri serta perasaan yang campur aduk. 

            “Raya.”

            “Iya, Nek.”

            “Apa kamu sudah menyerahkan surat itu kepada Mas Hanif?”

            “Belum, Nek, karena aku belum …,” sesuatu seperti menghantam kepalaku. Spontan, tanganku memeriksa saku celana dan mendapati kekosongan di sana. Celana lebarku hanya mempunyai satu saku, dan kosong. “Astagfirullahalazim … suratnya …”

            “Ada apa dengan suratnya?” Wajah Nenek memucat. 

            “Nggak … nggak ada apa-apa. Hanya tertinggal di tas,” aku memberikan jawaban secepat kilat. Aku tak mau membuat Nenek khawatir. Aku menyelimuti dirinya dan membelai rambutnya. “Suratnya ada di dalam tas.”

            Aku harap begitu. Aku tak mau menerima kenyataan jika surat itu hilang. Apakah di rumah Miss Margaretha? Di jalan? Di minimarket? Di koridor rumah sakit? Aku harus menyusurinya satu per satu. 

“Tenangkan dirimu Raya. Tenang ….” 

***

 

Saya

Saya pernah mendengar cerita teman sekantor saya yang istrinya keguguran. Tapi, bukan soal keguguran itu yang menjadi keajaiban. Setelah tiga minggu keguguran dan kembali check up ke dokter, ditemukan fakta menarik bahwa ada janin lain yang sedang bertumbuh di rahim istrinya. Janin itu sudah berumur tiga bulan. Jelas ini bukanlah keajaiban dan pasti ada penjelasan ilmiah di dalamnya. Namun, saya tak terlalu tertarik mendengar penjelasan ilmiah yang teman saya ceritakan, hanya prasangka-prasangka, segala macam teori. Menurut Bang Nero, jawabannya sudah jelas, itu adalah kuasa Allah.

Saya melihat lagi kuasa Allah yang lain. Sesosok janin kecil berusia 24 hari ternyata tumbuh di perut istri Heru. Berita itu ia dapatkan pagi ini. Menurut ceritanya, dokter SPOG menemukan sesuatu yang janggal di rahim istrinya. Kemudian, diadakan pemeriksaan ulang dengan alat-alat yang lebih canggih. Lalu, terjadilah itu. Heru dan istrinya melihat janin kecil itu di layar USG 4D. Seolah janin itu sedang keluar dari persembunyiannya. Saya yakin, kalau dia lahir, dia akan jago bermain petak umpet. Bayangkan saja, dokter sudah memvonis istrinya mandul dan janin itu tiba-tiba saja muncul.

Baiklah, bukan tiba-tiba. Saya meminjam bahasa Bang Nero; ilmu pengetahuan manusia itu terbatas, hanya setitik dari lautan ilmu yang dimiliki Allah. Ya … ya, kali ini dengan berat hati, lagi-lagi saya terus membenarkan ucapan Bang Nero. Saya tak suka mendengar dia ceramah. Namun, entah mengapa, jika saya menemukan sebuah masalah, pastilah ucapan dia yang selalu muncul di kepala saya. Mengapa bukan kalimat Mario Teguh yang “sabda”-nya selalu saya baca, saya dengar, dan saya jalankan?

Ini seperti … seolah-olah Tuhan mau mendobrak hati saya yang beku. Sial! Kenapa saya jadi mual di saat Heru menarik tangan saya untuk menemui istrinya. Padahal, saya mau pamit, segera pulang ke kantor untuk memohon-mohon pada bos saya agar saya tidak dipecat. Ini sudah pukul 10.00 pagi dan Heru terus memaksa saya. 

Semua alasan yang saya utarakan agar tak bertemu istrinya sudah dipangkas habis oleh Heru. Ia mempunyai banyak amunisi untuk “membunuh” saya. Masa, sih, saya harus berteriak keras di telinganya bahwa istrinyalah yang akan segera mati dan mengajak-ajak saya untuk mati! Konyol! Saya pasti terdengar konyol. Apalagi saya berpikir, jika saya tidak menemui istrinya pagi ini, saya berharap malam nanti istrinya lupa dengan wajah saya dan tidak bisa datang ke mimpi saya. Jelas sekali itu pemikiran bodoh. Memangnya istrinya adalah penjelajah mimpi?

Ini semakin rumit dalam pikiran saya. Seperti benang kusut. Kenapa Tuhan suka sekali bermain-main dengan perasaan saya? 

Maka, agar urusan ini segera selesai, saya pun mengikuti langkah Heru. Saya hanya menunduk, tersenyum, sebisa mungkin menghindari kontak mata, dan saya tak mau menatap wajahnya. Saya pasti ngeri. Beginikah rasanya menghadapi orang yang mau mati? Membayangkan wajah dan tubuh orang di depanku akan membeku menjadi mayat, lalu si Calon Mayat ini akan menarikku juga dalam kematian. 

“Terima kasih, ya, Mas Hanif. Atas izin Allah, Mas Hanif sudah menolong saya.” 

“Iya sama-sama, Bu.” Saya lalu tak lagi menyimak isi pidato terima kasih dia dan Heru yang terus saling menimpali dan terkesan mengobrol sendiri. 

Saya memandang ujung jilbab hijau bermotif bunga matahari yang masih dikenakan oleh istrinya, lalu mulai bertanya-tanya, seperti apakah sebab kematiannya? Karena sakitkah? Karena kebodohan dokter baru diketahui bahwa ternyata itu bukan janin melainkan kanker ganas? Karena kegugurankah? Karena rumahnya terbakar? Tabrakan di jalan? Ditembak perampok? Lalu, saya bertanya, seperti apakah sebab kematian saya nanti setelah dia?

“Sa … saya pamit dulu. Assalamualaikum.” Saya sudah tak kuat lagi.

“Hanif … Hanif, tunggu.”

            Saya sudah tak kuat lagi. Saya tak peduli. Saya berlari secepat mungkin menyusuri koridor, keluar dari rumah sakit, ke lobi, sampai saya sesak napas dan dada saya mau meledak. Saya menghambur ke badan jalan yang ada di depan lobi utama, menghadang taksi pertama yang baru saja menurunkan penumpang. Saya melihat Heru keluar dari rumah sakit ketika taksi yang saya tumpangi sudah berputar balik dan terburu-buru keluar dari tempat parkir. Saya meminta sopir taksi untuk menginjak gas sekuat tenaga, mengebut, pergi sejauh mungkin. Apakah sebab kematian saya? Saya hanya bisa bergidik ngeri. 

Ini gila!

Jika saya menyetir sendiri, saya yakin tak bisa menyetir dengan stabil. Rasanya tertumbuk pikiran, tak tahu apa yang harus saya kerjakan. Kepala saya mengatakan bahwa saya harus kembali ke kantor meskipun sudah nyaris pukul 11.00 siang. Banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan, tapi saya tak mungkin fokus melihat desain-desain yang berantakan dengan badan yang bau seperti ini. Kemeja yang lusuh, rambut yang setengah basah, mata sembap dan agak bengkak, serta pikiran yang penuh dengan kata kematian.

Bersumpah demi langit dan bumi, saya tak bisa tenang duduk di dalam taksi. Rasanya saya ingin memiting sopir taksi yang santai menghadapi kemacetan sambil mendengarkan alunan musik pop di radio. Saya buru-buru, bergegas, tapi hendak ke mana? Ke alam barzakh? Sial! Saya tak mengizinkan dialog dengan diri sendiri, tapi entah suara siapa yang sedang berdebat di hati atau pikiran saya.

“Mungkin kita bisa menghabiskan waktu dengan memprediksikan apa sebab kematianmu?” sahut sisi hati yang lain.

Sial! Jangan ngerjain saya! Saya masih mau hidup panjang. Mati di ranjang.

“Ya, mungkin kamu akan mati di ranjang. Esok hari.”

Kepala saya berdenyut keras. 

“Tentu saja setelah perempuan berjilbab motif bunga matahari itu meregang nyawa.”

“Atau, kamu ingin sedikit pengalaman dengan memotong urat nadi?”

Saya tidak sudi bunuh diri.

“Pikirkan saja seratus cara kematian di film reality show yang pernah kamu tonton.”

Saya menyesal menonton itu. Saya mencengkeram kerah kemeja saya, keringat bercucuran. Slide demi slide bermunculan samar-samar, seratus cara kematian di acara konyol. Tersedak ikan, dihantam bola bowling, terkena pecahan kaca ... sial ... sial!

Saya terengah-engah sendiri, bertarung sendiri, gila sendiri, dan butuh oksigen banyak. Saya membuka jendela, menyadari bahwa ada kerumunan di sekitar taksi saya. 

“Ada apa?” tanya sopir taksi yang sudah mulai sadar bahwa kemacetan itu menjengkelkan. 

“Ada yang mati ketabrak truk.”

Mungkin tertabrak truk?

Arrghh …! Aura kematian di mana-mana. Saya menutupi kepala dengan kedua tangan saya, entah melindungi apa. Saya mau meledak. Berkeping-keping, lalu kembali ke dunia nyata. Saya pasti mimpi. Tapi, kenapa saya mengantuk? Tidak, saya tidak boleh tidur. Mata saya memindai lingkungan sekitar, bukan daerah kantor saya, tapi saya tahu ini adalah daerah rumah Nancy. Saya butuh dia. 

Saya bergegas merogoh kantong celana, mengambil segala recehan yang ada di dalamnya. Menyesal saya meninggalkan dompet saya di kantor. Setelah menyerahkan seluruh uang yang ada, saya segera keluar dari taksi, sebisa mungkin tidak penasaran dengan sosok mayat yang sedang dikerumuni warga. Memangnya mayat itu topeng monyet, hah? Kenapa senang sekali membicarakan yang sudah mati?

Tanpa sadar, saya berlari kencang, melintasi gapura kompleks perumahan tempat Nancy tinggal. Dada saya sesak dan untuk saat ini saya membutuhkan pelukan. Mungkin memeluk Nancy akan mengembalikan kesadaran saya. Sekonyong-konyong, saya ingat dengan ibu saya. Saya rindu, tapi saya malu. Kalau saya menceritakan tentang ketakutan akan kematian saya, ibu pasti akan ceramah, Bang Nero akan ceramah, dan saya jadi pasien penyakitan yang terinfeksi lemah iman.

Tapi, Nancy hanya akan mendengarkan saya.

Saya tiba di depan rumah Nancy yang tak berpagar ketika sebuah pertanyaan melintas cepat, apakah Nancy ada di rumah? Bodohnya saya, ini baru pukul 11.00 siang dan tak mungkin seorang editor yang sibuk seperti Nancy memilih berleha-leha di rumah saat jam kerja. Masa bodoh dengan semuanya. Saya tahu di mana Nancy menyembunyikan kunci rumahnya. Selalu di bawah pot bunga kaktus. Cara klasik miliknya. 

Pot bunga kaktus itu ternyata sudah bergeser dari tempatnya, bahkan berantakan. Seperti diambil paksa, terjerembap, tak terawat. Apakah saya akan mati tertusuk duri kaktus?

“Oh … ayolah, Hanif, kamu sudah paranoid. Seharusnya kamu pergi ke psikiater, bukan kepada Nancy.” 

Saya tak butuh psikiater, saya butuh Nancy. Saya meyakini hal itu. Maka, saya segera mengambil kunci di bawah pot, membuka pintu, dan duduk di dapur Nancy. Saya pernah beberapa kali pergi ke dapur rumahnya bersama Abdul. Tempat ini nyaman dan selalu bau kue jahe. Meskipun tak ada hujan salju di Jakarta, tetapi Nancy mempunyai perapian dengan batu tungku. Perapian itu menyala. Saya heran, kenapa Nancy tak takut rumahnya terbakar?

Saya hendak mematikan perapian dengan air, tapi saya takut kalau saya salah; malah menyiramkan minyak yang bukan air, kemudian api menyambar saya. Saya mati terbakar.

Saya memilih duduk membeku di kursi dapurnya yang terbuat dari kayu jati. Rumah ini rumah tua, milik ekspatriat terdahulu sebelum Nancy datang ke Indonesia. Saya merasakan kesunyian di dalam rumah ini karena memang rumah ini hanya mempunyai sedikit barang. Di luar sana, terdengar suara dedaunan bergemeresik, sepertinya tertiup angin yang agak kencang. Sayup-sayup, saya mendengar suara orang mengucap “la ilaha illallah”. Berulang kali, berirama, lalu perlahan-lahan senyap berganti doa-doa. 

Suara-suara itu mengusik saya, membuat mata saya tertumbuk pada lubang angin kecil di atas meja keramik tempat kompor berada. Terbawa rasa penasaran, saya menaiki meja keramik itu dan lupa bahwa saya mungkin saja bisa mati karena jatuh terpeleset. Telanjur, saya sudah berdiri di atas meja keramik ini. Mata saya beradaptasi dengan lubang angin yang buram dan kotor. Hingga saya fokus pada satu spot. Di seberang sana, kurang dari seratus meter jaraknya, sedang ada pemakaman baru. Orang-orang berkerumun mengelilingi liang lahat yang masih basah, gundukan tanah merah tua kecokelatan. Beberapa orang terlihat berada di bawah lubang, sedang memasukkan sebuah benda putih panjang. 

Oh, itu bukan benda. Saya pernah melihat prosesi itu bertahun-tahun yang lalu ketika papa saya meninggal. Jadi, jelas sekali, sesuatu yang putih panjang itu adalah mayat. Jenazah. Kenapa begitu banyak kematian yang saya saksikan hari ini? Orang-orang menggumamkan bait doa. 

Saya perhatikan sekali lagi dengan baik-baik dan bergidik saat menyadari bahwa ternyata rumah Nancy bersebelahan dengan pemakaman umum. Kaki saya lemas, hingga nyaris terduduk di atas kompor. 

Dengan sisa kesadaran di tengah rasa kantuk hebat yang melanda serta ketakutan akan kematian, saya menuruni meja keramik dan berusaha tetap menjaga keseimbangan saat berjalan kembali ke tempat duduk. Kepala saya berdenyut, pusing hingga berputar-putar. Apakah ini yang dinamakan dengan “kematian itu begitu dekat”? Saya dihantui kematian. Aroma kematian ada di sekitar saya. Perut saya lalu seperti mulas, sesuatu menggumpal membuat mual. Pandangan mata saya kabur dan tubuh saya limbung. 

Sebaiknya saya pergi dari sini. Keputusan untuk menenangkan diri di rumah Nancy adalah hal yang salah. 

“Maka, seharusnya kamu pergi ke rumah Allah.” 

Suara siapa itu yang berdengung tiba-tiba? Saya semakin ingin muntah. Mungkin masuk angin? Semalam saya kurang tidur dan saat saya melangkah, saya merasakan kaki saya begitu kebas.

Apakah saya terjebak dalam mimpi? Seperti dalam film “Inception”? Saya sudah mati di dalam mimpi dan sekarang sedang berada di dalam limbo? Membangun mimpi saya sendiri? Namun, mengapa susah sekali menguasai mimpi? Kalau ini mimpi, seharusnya saya bisa menyuruh kaki saya untuk berlari sekencang mungkin. Tapi, untuk mencapai daun pintu rumah Nancy saja saya harus bersusah payah berjalan.

Satu entakan gagang pintu, maka saya akan segera keluar dari aroma kematian ini. Ugh … rumah ini seperti kuburan. Letaknya tepat di sebelah kuburan. 

“Rumah yang tak pernah dingajiin Alquran itu ibarat kuburan.” Suara Bang Nero yang menukil salah satu hadis—entah apa—terngiang di telinga saya. Omong kosong Bang Nero lagi. Kenapa harus dia yang sejak kemarin menggedor-gedor kesadaran saya? 

Ah, kamar apartemen saya tak pernah saya kajikan Quran tetap baik-baik saja. Nyaman saja. Ini pasti hanya karena saya sedang dilanda euforia kematian di mana-mana. Rumah sakit, kamar mayat, kecelakaan di jalan, pemakaman, rumah di samping pekuburan. Kepala saya semakin berdenyut saat tangan saya berhasil meraih gagang pintu dan menurunkannya. Sekali dorongan, pintu terbuka dan saya keluar, kembali ke apartemen dan tidur. Saya mengantuk luar biasa. Atau, mungkin sebenarnya saya akan kembali ke dunia nyata, keluar dari mimpi ini. 

“Dorong gagang pintu ke bawah. Dorong daun pintu. Terbuka … terbuka.” Ini kenapa, sih? Kenapa pintunya susah dibuka?

“Errghh ….” Saya menaikturunkan gagang pintu dengan kencang, mendorong daun pintu dengan bahu, menendang, memukul, mengambil ancang-ancang, lalu menabrakkan tubuh saya, tapi pintu di depan saya bergeming. 

Sial! Saya baru ingat bahwa kunci pintunya masih tergantung di bagian luar. Apakah ada orang yang iseng mengunci saya? Apakah Nancy kembali dan mengira rumahnya tak ada orang lalu dikunci begitu saja? Alasan yang konyol. 

Saya membungkuk dan mengintip lubang kunci. Tertutup. Itu artinya, kunci sialan itu masih tercantol di pintu. Rasanya saya seperti menghirup asap rokok teman sekantor saya. Sesak dan bikin pusing. Tubuh saya sudah tak kuat menopang, ambruk terjatuh, bahu saya merosot di daun pintu. 

Saya segera mengeluarkan ponsel, berusaha menghubungi Nancy dan baterai ponsel yang low seolah mendukung saya untuk sengsara. Dengan sisa kekuatan yang ada, saya mencari-cari charger ponsel milik Nancy. Saya tahu di mana dia meletakkan charger, kami mempunyai jenis ponsel yang sama. Tapi, kenapa lacinya kosong? 

“Maafkan saya lancang, Nancy, tapi saya butuh menghubungi kamu.” 

Maka, saya mengubrak-abrik meja riasnya, kolong tempat tidurnya, lemari Nancy, menjelajahi nyaris separuh rumahnya sampai saya merasakan tubuh saya seperti diputar-putar oleh Frankenstein. Saya tak menemukan charger ponsel di mana pun sampai pandangan saya berputar, perut saya perih karena belum makan, dan saya lelah. Saya sempat mendengar suara “bruk” sebelum akhirnya saya tertidur … atau entah pingsan? Tapi, belum sempat saya mengetahui ini apa, saya melihat perempuan berjilbab hijau dengan motif bunga matahari itu lagi. Membelakangi saya … di Taman Pelangi.

Saya mau lari. Tapi, saya lelah sekali. 

***

 

Aku

Aku mau meninggalkan Nenek dan segera mencari surat itu, tapi pagi ini Nenek mendadak manja. Ia meminta aku menyuapinya sayur bayam. Katanya, sudah lima tahun terakhir Nenek tidak makan sayur bayam asli. Ya, zaman sekarang segala sesuatunya serbainstan, makanan dan suplemen bentuknya sudah sama-sama kapsul. Bahkan, aku makan beras sehari sekali saja. Sementara, para asisten rumahtangga di rumah kami hanya bisa memberikan keluarganya beras seminggu sekali, bahkan sebulan sekali.

Pangan seperti barang langka. Segalanya menjadi sangat mahal dan susah didapat. Populasi ikan layak makan menurun tajam karena pencemaran laut semakin tak terkendali. Tentu saja beberapa negara yang sangat maju menjaga kualitas ikan dan laut mereka. Tapi, dunia secara keseluruhan sudah sulit makan makanan berkualitas baik. Aku berterima kasih pada orang-orang yang sudah menciptakan kapsul bayam, kapsul nasi, kapsul ikan, kapsul daging, dan kapsul lainnya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh manusia fana ini terhadap makanan. 

Setelah makan bayam, suasana hati Nenek menjadi sangat gembira. Meskipun aku tahu tangan kirinya sudah susah digerakkan. Sudah kaku. Karena suasana hatinya bak musim semi, Nenek banyak membicarakan kisah cintanya dulu bersama Kakek, bagaimana awal mula mereka berjumpa. Sungguh bukan di tempat yang romantis, tapi aku senang mendengarkan cerita pertemuan mereka meskipun terus diulang-ulang. Khusus untuk saat ini, kesenanganku terganggu karena aku terus memikirkan soal surat itu. Hilang di mana? Ke mana aku harus mencarinya? Duh, kenapa aku teledor sekali?

Lalu, tiba-tiba saja Nenek tertidur saat bercerita. Ini adalah salah satu indikasi bahwa virus V-Diamond itu sedang menyerang kenangan-kenangan Nenek. Ya, virus itu menyerang cepat saat penderitanya mengenang banyak hal indah. Kenangan yang membangkitkan gairah hidup justru membuat virus itu semakin ganas. 

Padahal, aku berencana mengajukan beberapa pertanyaan seputar peti kecil berisi test pack yang masih nyaman meringkuk di dalam tas jinjingku. Aku tak sepenuhnya percaya pada ucapan Sena. Lagi pula, kami baru bertemu kemarin, bukan? Bagaimana mungkin aku bisa percaya sepenuhnya jika kematian ayahku ada sangkut pautnya dengan test pack? Kepalaku mendadak pusing ketika aku berusaha mengingat cerita-cerita Kakek dan Nenek seputar kematian kedua orangtuaku.

“Ingat, Raya! Virus V-Diamond tingkat medium sedang bersemayam di tubuhmu.” 

“Lima hari lagi … lima hari lagi aku akan meninggal,” gumamku saat aku berusaha menenangkan kepalaku untuk fokus pada tujuan hari ini. Mencari surat cintaku. 

“Istigfar, Nona Raya,” seorang perawat yang baru datang membawa nampan berisi buah-buahan kapsul segera menangkap tubuhku yang sepertinya linglung. “Kapan kita meninggal adalah rahasia Allah. Kita tidak boleh mendahului-Nya. Nona bisa jadi mati besok, bisa jadi tahun depan, atau mungkin ratusan tahun lagi, tak ada yang tahu.”

Aku mengangguk, membenarkan ucapan perawat ini sambil menolak dengan halus untuk ditidurkan di sofa.

“Atau, saya antar ke kamar rawat Anda?”

“Aku tak perlu dirawat. Aku masih punya tugas yang harus kuselesaikan,” tandasku.

Nenek mengerang. Perawat sigap menghampiri Nenek yang bermimpi buruk. Aku segera menyambar tas jinjingku lalu menghambur ke luar ruangan.

Sebelum Nenek bangun, aku harus menemukan surat cinta itu. Seharusnya hari ini aku bisa menemui salah seorang tante jauhku yang baru pulang dari London. Tapi, masalah surat hilang ini lebih penting dari apa pun, meskipun tanteku itu kelak mungkin akan sulit ditemui. Ia adalah satu-satunya tanteku yang masih hidup. 

Pergelangan tanganku bergetar saat aku sudah tiba di lobi rumah sakit. Aku beruntung hari ini tak banyak wartawan yang datang, tetapi beberapa dari mereka di kantin sudah mulai berdiri, hendak mengejarku. Entah kapan mereka akan bosan dengan semua berita yang sekarang tak lebih dari sampah. 

Aku berjalan cepat keluar dari lobi, mengabaikan pergelangan tanganku yang terus bergetar. Sakit …. Aku mengentakkan tangan. Kemudian, dalam hitungan dua detik, sebuah hologram berbentuk manusia mini seukuran jari telunjuk muncul di hadapanku. 

“Assalamualaikum, Raya. Bagaimana dengan rencana hari ini?” tanya Tante Maryamah tanpa basa-basi.

“Waalaikumsalam, Tante Maryamah,” aku terus berjalan ke arah tempat parkir. “Surat cintaku hilang, Tante. Aku harus mencarinya sekarang. Kalau surat itu hilang, aku takut Nenek akan pergi lebih cepat.” 

Air mataku mengembang. Membayangkan Nenek akan meninggal, rasanya aku takut. Meskipun mungkin tak setakut Nenek yang harus menghadapi malaikat maut, tapi aku takut kehilangan. Ah, Raya, kau pun akan segera menyusul Nenek.

Kemudian, ucapan perawat tadi berkelebat, aku segera beristigfar dan berusaha berkonsentrasi pada ucapan Tante Maryamah di seberang sana.

“Kamu sedang tidak fokus, percuma Tante bicara sama kamu,” ketusnya. “Kalau aku tidak sempat dibesarkan oleh kakekmu, mungkin aku sudah malas membantu kamu. Aku sibuk, Raya. Sangat sibuk!”

“Ya, Tante, aku minta maaf. Lain kali aku akan membalas kesalahan ini.”

Hologram lalu menghilang. Aku menghela napas pendek, masuk ke dalam mobil, dan sopirku sudah langsung menyalakan mesin. Tante Maryamah memang selalu tak suka diabaikan, selalu buru-buru, selalu tak mau mengerti. Ia adalah keponakan Kakek satu-satunya yang masih hidup dan bekerja sebagai ahli nutrisi di berbagai negara.

“Kita ke mana, Nona?”

Pikiranku buntu. Aku terdiam beberapa jenak, mencoba berpikir ke mana surat itu jatuh. Apakah terjatuh di mobil ini? Aku menunduk dan menyusuri sofa mobil dengan hati-hati, menyisir setiap sudutnya yang bersih dan nyaris tak ada noda. Tak ada apa-apa selain tas jinjing yang barusan aku bawa.

“Apa Bapak melihat surat?”

“Saya tidak melihat ada benda lain di mobil ini selain sofa mobil, setir, dan dashboard,” jawabnya lugas.

Aku menyakini ucapan sopirku. Samar-samar, aku mendengar pintu mobil diketuk. Aku membuka sedikit tirai hitam yang menutupi kaca dan melihat beberapa wartawan sudah berkerumun. Aku meminta sopirku segera pergi ke tempat terakhir yang kudatangi kemarin.

Aku menyusuri toko kain ... ah, iya, kemarin sore aku mengurus pembelian kain kafan. Apakah surat beramplop putih itu terjatuh di antara banyak gulungan dan hamparan kafan putih? Tak ada. Dua kali aku menyusurinya dan nihil. Besok kain kafan yang kupesan akan diantar ke kantorku. Bulu kudukku meremang. Apakah benar lima hari lagi? 

Tak pantas rasanya aku mendahului keputusan Allah. Setidaknya, jika tidak lima hari lagi atau lebih cepat, aku sudah mempunyai persediaan kain kafan. 

Karena tak menemukan surat cintaku di toko kain ini, aku segera ke kapsul market. Aku ingat, aku mampir ke sini sebentar untuk membeli beberapa minuman kapsul yang mempunyai efek menenangkan. Aku meminta security setempat untuk membantuku mencari surat. Pada zaman ini, surat fisik dengan amplop menjadi sesuatu yang langka dan mahal. Semua pengunjung yang mengetahui aku kehilangan surat fisik langsung ikut mencari. Lalu, hasilnya nihil dan aku lelah.

Aku memutuskan untuk kembali ke Bandung. Kepastian terakhir, mungkin surat itu tertinggal di rumah Miss Margaretha. Aku harus bertemu dengan pelayan yang mempertemukan aku dengan Miss Margaretha. Aku berharap surat itu memang tertinggal di sana atau aku akan menangis membayangkan harus menulis ulang surat itu. Zaman ini, menulis dengan tulisan tangan adalah hal langka dan sulit. Butuh waktu berbulan-bulan bagiku menyelesaikan dua halaman surat itu, dan … ah ….

Getaran lenganku membuyarkan segala awang-awang. Aku menerima panggilan telepon ketika sopirku memasuki zona tabung. Hologram muncul dengan logo rumah sakit, kemudian berganti dengan wajah close up Dokter Barbara. Dokter pribadi Nenek, perempuan berkewarganegaraan Belanda yang baru masuk Islam dua tahun lalu. Wajah Barbara tampak cemas.

“Assalamualaikum, Raya. Anda harus segera kembali ke rumah sakit.”

“Waalaikumsalam. Kenapa?” Ada perasaan tak nyaman menyergapku. 

“Kenangan nenekmu semakin melesat cepat. Berputar-putar di layar seperti tornado, tak terkendali. Kamu harus segera kembali. Wassalamualaikum.”

Hologram hilang. Aku menahan napas, membuangnya cepat. Dengan sedikit rasa panik, aku meminta sopirku untuk segera keluar dari zona tabung. Kembali ke rumah sakit menjadi prioritas saat ini. Dokter Barbara adalah dokter terkenal dan sangat sibuk. Ia tak akan repot-repot meneleponku bila tak terjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan. Itu berarti kondisi Nenek tidak berada dalam zona nyaman dan aku ikut gelisah.

Sepanjang jalan, pergelangan tanganku terus bergetar. Aku melihat nomor tak dikenal di atas kulitku. Segera saja, aku menekan pergelangan tangan dan mengeluarkan seutas tali kecil yang berfungsi sebagai ponsel seluler masa kini. Aku menyimpan tali itu ke dalam kotak kecil, akan tetapi ponsel klasikku berbunyi dan sangat mengganggu. Begitu tiba di rumah sakit, aku langsung berlari memasuki koridor darurat. Masuk ke dalam tabung khusus untuk para pasien gawat darurat. Dengan tabung itu, aku bisa sampai ke koridor kamar Nenek dengan cepat tanpa harus bertemu wartawan. Aku tak suka mengambil jatah tempat pasien, namun ini adalah keadaan darurat.

“Raya …,” Dokter Barbara segera menyambutku ketika aku baru tiba di depan pintu. 

Aku melirik kondisi di dalam kamar. Tempat tidur Nenek ditutup oleh tabir tembus pandang yang berfungsi sebagai penangkal kenangan. Mereka berusaha menghalau kenangan yang mungkin melintas lewat sinyal-sinyal Touch. Padahal, menurutku itu hal yang mubazir karena Nenek sama sekali tidak menggunakan Touch atau mengikuti aplikasi apa pun. 

“Ikut saya.” Dokter Barbara berjalan di depanku, masuk ke dalam ruang monitor kesehatan yang terletak di sebelah kamar Nenek. 

Aku mengikuti langkahnya dan memperhatikan dia menekan-nekan layar komputer berukuran besar. Kemudian, sebuah gambar muncul. Gambar yang berisi potongan-potongan film tak beraturan dengan kualitas gambar yang buruk. 

“Ini adalah kenangan nenekmu. Awalnya kabur, lambat laun semakin terang. Siapa lelaki ini?” Ia menunjuk seorang lelaki muda yang memeluk Nenek mesra. “Dia kakekmu?”

Aku mengangguk cepat. Kepalaku ikut nyeri. Mau tidak mau, aku juga jadi mengenang Kakek. Aku harus mengendalikan diri, belum saatnya aku terkapar seperti Nenek.

“Apa yang terjadi sebelum nenekmu tertidur?”

“Nenek teringat pada Kakek dan dia bercerita banyak soal kenangan cinta mereka. Nenek tertidur ketika sedang menceritakan saat-saat bertemu dengan Kakek.”

Dokter Barbara mengangguk, kemudian matanya tertuju pada layar. Aku mengikuti pandangannya. Gambar terkini adalah gambar Nenek saat masih muda, sedang hamil besar, dan perutnya terus dielus oleh Kakek. Lalu, cepat berganti dengan gambar Kakek menyisiri rambut Nenek, Kakek yang menggendong Nenek saat pendarahan ketika hendak melahirkan, Kakek yang menunggui Nenek pascaoperasi caesar, lalu berganti lagi ke masa tua mereka, Kakek yang berjalan renta bersama Nenek, menyusuri jalan raya yang kotor pada masa kini. Kakek rela mengantre es krim di restoran tua dan setelah dua jam mengantre baru mendapatkan es krim itu. Ketika es krim Nenek terjatuh, Kakek rela memberikan jatah miliknya. Itu ketika mereka tua, pada usia pernikahan mereka yang ketiga puluh, dan mereka …

“Mereka romantis, ya,” tandas Dokter Barbara. Sama seperti yang ingin kukatakan. Kemudian, ia mendesah panjang. “Maaf, saya terpukau melihat gambar kenangan-kenangan nenekmu. Beruntung sekali memiliki suami seperti kakekmu.”

Aku tersenyum pahit. Ya, tapi ada satu hal yang tak diketahui oleh Dokter Barbara. Sebuah kenyataan pahit yang kini dilalui oleh Nenek. Ah, tak perlu aku beri tahu, pada saatnya nanti kenangan itu akan terkuak di layar ini. 

“Kami harus menghapus semua memori nenekmu jika kamu ingin ia tetap hidup panjang.” Akhirnya, kalimat itu keluar dari Dokter Barbara. “Mohon untuk tidak keras kepala lagi, Raya. Ini adalah saat yang genting. Nenekmu bisa saja meninggal malam ini.”

“Anda bukan Allah yang menentukan segalanya, Dokter Barbara,” kataku sengit.

“Saya hanya memberikan kemungkinan terburuk. Nenekmu kritis.”

“Aku tetap memegang amanat Nenek. Dalam kondisi terburuk apa pun, Nenek tak mau kenangannya dihapus. Apa gunanya hidup panjang tanpa kenangan? Untuk apa hidup abadi tanpa kenangan? Bukankah kenangan yang tetap membuat kita hidup?”

“Itu ungkapan kuno. Sekarang, kenangan akan mematikannya.”

“Lalu, apakah hidup tanpa kenangan akan tetap dianggap hidup?” Aku melipat kedua tangan di dada, defensif.

Dokter Barbara tampak lelah. “Kamu yang akan segera memiliki rumah sakit ini. Kamu yang berkuasa.”

Aku mengernyit. “Barbara,” aku memanggil namanya tanpa embel-embel dokter, itu berarti aku sedang dalam kondisi tidak senang, “rumah sakit ini milik Allah, dan tak ada yang berkuasa atas hidup orang lain kecuali Allah.”

Dokter Barbara menatapku lembut. Dari ekspresi wajahnya, aku tahu ia menyesal dengan ucapannya, tapi terlalu gengsi untuk minta maaf. Dokter Barbara kemudian kembali menatap layar, mungkin ia sedang memikirkan langkah apa yang bisa dilakukan tanpa harus melakukan tindakan ekstrem seperti menghapus semua memori Nenek.

“Baik, kami akan berusaha menahan laju kenangan ini. Jika nenekmu terbangun, ajaklah ia untuk membicarakan hal-hal ringan. Alihkan pikirannya. Itu berarti kamu harus tetap mendampingi nenekmu, Raya.”

“Tak bisakah aku ke Bandung sebentar?” Rasanya berat untuk menanyakan hal itu karena aku sudah tahu pasti jawaban Dokter Barbara adalah sebuah gelengan. Ia lalu pergi ke luar ruangan, kembali ke kamar Nenek untuk melakukan beberapa tindakan. 

Saat-saat seperti ini, aku ingin pergi ke Taman Pelangi dan berharap kamu ada di sana. Kamu … kamu yang dulu selalu berhasil menenangkan kegelisahanku. Kamu yang selalu menasihatiku agar senantiasa kembali kepada Allah. Katamu, “Saya hanya bisa menenangkan hatimu dalam beberapa jenak, tapi yang bisa menenangkan jiwamu hanyalah Allah. Maka, janganlah sekali-sekali berpaling dari-Nya dalam segala kondisi.”

“Datanglah pada-Nya.” 

Maka, aku memutuskan untuk salat Zuhur di musala yang ada di koridor yang sama. Setelah menuntaskan empat rakaat, aku langsung memanjatkan doa, meminta diberikan yang terbaik untuk Nenek. Kemudian, aku menemui-Nya lagi dalam dua rakaat yang lebih khusyuk, menyelesaikannya dengan tetesan air mata yang mengaliri pipi. Pada titik ini, aku harap aku bisa bertahan. 

Ketika aku keluar dari musala, seseorang menghadangku. 

“Sena?” tanyaku penuh rasa heran. 

“Maaf, aku sengaja mencarimu. Perawat bilang, kamu ada di musala. Salatmu lumayan lama, pasti doanya banyak,” ia berusaha tetap ceria dan jail. Sok dekat. 

“Bagus. Ternyata, kamu memang orang berpengaruh sampai-sampai security mengizinkan kamu memasuki koridor khusus ini.” 

“Aku bilang aku teman dekat kamu dan nenekmu. Aku memperlihatkan ini.” Ia memperlihatkan hologram foto saat aku dan dia pertama kali bertemu di depan kuburan kedua orangtuaku. Dia pasti membayar orang untuk melakukan hal itu. “Kamu tak memberi kabar setelah pulang dari rumah Miss Margaretha, sedangkan aku butuh informasinya. Apakah surat itu berhasil kamu baca?”

“Surat yang mana?” hardikku. Persoalan surat dan surat membuat pikiranku kacau. 

“Surat yang ada di peti kecil itu. Kamu sudah bisa membukanya?”

Aku memejamkan mata sejenak, berharap saat kubuka mata, aku mendapati Sena telah lenyap. Tapi, nyatanya dia masih ada di depanku. Senyumnya terlihat indah dan berkilau, rambutnya kini tersisir lebih rapi. Ia memakai jas warna biru tua serta kemeja putih yang bersih. Gaya berdirinya santai, namun tetap gagah. Astagfirullahalazim, ada apa denganku? Tak seharusnya aku memperhatikan Sena sedetail itu. Tak pantas rasanya.

Aku lalu teringat kamu. Aku tak mau mengkhianati janjiku kepadamu. Ada desir mengalir halus di jantungku. Sesuatu yang membawa napas rindu. Aku merindukanmu. Lelaki di depanku, Sena, membuatku teringat padamu, lalu kepada surat cintaku untukmu ….

Sekarang aku berada pada dua pilihan yang tidak menyenangkan. Tetap menemani Nenek atau kembali ke Bandung untuk mencari surat itu. Keduanya adalah nyawa yang harus dijaga. Amanah yang harus diselesaikan. 

“Raya? Peti kecil itu? Bagaimana? Sudah dapat kuncinya?”

“Mengapa kamu begitu antusias seolah-olah jika aku berhasil membuka laci peti itu maka kamu bisa menguasai dunia?”

Dia tergelak. “Ayolah, Raya, ini bukan waktunya bercanda.” Ia melirik jam digital di pergelangan tangannya. “Aku hanya punya waktu sepuluh menit untuk bicara denganmu. Kakekku sudah kritis. Aku sudah jelaskan padanya bahwa kedua orangtuamu sudah meninggal. Dia begitu terpukul.” Sena menggosok hidungnya, ia tak memberi kesempatan padaku untuk merespons ucapannya. “Kakek lalu bilang tak apa-apa, namun kebenaran harus tetap disampaikan. Surat itu harus dibaca olehmu, sebagai anaknya. Kalau perlu dibaca juga oleh kakek dan nenekmu. Dan, sejak pagi, Kakek terus bertanya padaku apakah surat itu sudah dibaca olehmu. Aku berusaha menghubungimu dan kamu tak pernah menjawab teleponku.”

“Maaf, kupikir itu nomor asing, jadi aku tidak mengangkatnya.” Akhirnya aku berkesempatan bicara. 

Kami berdiri di koridor, seorang perawat mondar-mandir keluar masuk kamar Nenek. Berarti penanganannya cukup serius dan aku tak nyaman mengobrol dalam keadaan seperti saat ini. “Kenapa kamu harus repot-repot datang?”

“Aku harus menyelesaikan amanah yang Kakek berikan kepadaku. Setidaknya dia mendapatkan maaf dari anak Bu Firza.”

“Tapi, apa yang harus aku maafkan?” Lalu, aku teringat sesuatu, hal yang pernah didengung-dengungkan oleh Kakek. “Ya … tapi, mungkin kakekku begitu benci pada kakekmu, Steven Cow, sampai-sampai …”

“Sampai kenapa?”

“Ng … nggak apa-apa.” Rasanya aku tak tertarik membahasnya.

Aku memandangi mata Sena, ada sinar kejujuran dan penuh tanggung jawab di sana. Diam-diam Tuhan menyematkan rasa kagumku untuk lelaki ini. Zaman sekarang, begitu langka bertemu orang jujur dan amanah.

“Apakah kamu sehat?” tanyaku sekonyong-konyong. 

“Aku sehat … tak terkena penyakit apa pun. Kenapa?” 

“Kupikir kamu sepertiku, sakit, lalu berusaha berbuat yang terbaik sebelum mati.”

Ekspresi wajah Sena agak terkejut saat aku mengatakan sakit

Well, lalu kenapa? Untuk berbuat yang terbaik, mengapa harus menunggu sakit? Karena, kematian tak selalu diawali dengan sakit, bukan?” Aku yakin ia berusaha menutupi nada terkejut yang keluar dari mulutnya. “Ehm … memangnya kamu sakit apa?”

“V-Diamond. Lima atau empat hari lagi, atau bisa lebih cepat … aku mati.”

“Meninggal.” Ia mencoba meralat, kemudian melanjutkan ucapannya. “Kamu tahu? Sakit keras tak selalu membuat orang meninggal. Orang sehat pun bisa meninggal. Jadi, jangan terlalu hiperbolalah. Aku tahu kamu lebih paham agama daripadaku, optimis sedikitlah.”         

“Ya, kamu benar.” 

“Ayo, Raya, jangan mendahului Allah. Berhenti mengatakan bahwa lima hari lagi, empat hari lagi … berhenti.” 

Aku menghela napas panjang. Aku menatap Sena dan kembali ingat apa kepentingannya bertemu denganku. Aku merogoh tas jinjingku, mengambil peti kecil perak dari dalam sana. Aku mendapati mata Sena mengikuti peti yang aku pegang. Aku menghela napas. 

“Begini, aku punya misi penting sebelum aku mati. Sama sepertimu yang juga punya misi untuk menyampaikan amanat kakekmu sebelum kakekmu meninggal. Aku, kita, sama-sama tahu bahwa waktu kematian hanyalah Allah yang tahu. Tanpa bermaksud mendahuluinya, aku harus menunaikan misi itu sebelum aku mati. Karena, bisa saja dua detik setelah ini aku mati, bukan?” 

Sena mengangguk setuju. 

“Misiku adalah … aku mau menyampaikan surat cintaku untuk orang yang aku cintai dan aku sayangi,” tegasku. 

Ekspresi Sena tak berubah, tetap tersenyum lebar. Padahal, aku berharap ekspresi wajahnya berubah. 

“Apa sebenarnya yang kamu harapkan dari perubahan wajah Sena itu, Raya?” 

Aku sendiri tak mengerti. Jadi, aku mengabaikannya dan melanjutkan pembicaraan karena Sena mendadak terlihat gelisah. Aku melihat lengannya bergetar, ada panggilan telepon dan Sena langsung menutupnya. Ia seperti memberiku kesempatan untuk segera menyelesaikan penjelasanku. 

“Intinya, kemarin Miss Margaretha begitu sibuk. Ia kelihatannya tak bisa membantuku banyak untuk mencari orang yang sangat aku rindukan. Bayangkan saja, kakiku tertusuk paku,” aku menunjuk ke arah kakiku yang tertutup oleh kaus kaki yang bergelembung karena menutupi lilitan perban. Sena mengikuti arah mataku dan aku puas mendapati ekspresi wajahnya sedikit menaruh iba padaku. 

“Lukanya lumayan membuat aku sakit dan konsentrasiku agak terpecah. Sehingga, ketika Miss Margaretha bergegas pergi, aku pun buru-buru ingin pulang. Sampai-sampai surat yang menjadi misi utamaku itu harus hilang, tertinggal entah di mana. Aku sudah mencari surat itu ke mana pun dan tidak ketemu. Satu-satunya tempat yang kemudian kuyakini sebagai tempat surat itu hilang adalah di rumah Miss Margaretha. Jadi, kamu seharusnya maklum jika aku lupa soal kunci peti kecil ini.”

“Kalau begitu, ayo ke Bandung lagi. Ke tempat Miss Margaretha. Tak apa kalau aku menunggu di sebuah kafe. Sehingga, aku tak perlu tahu di mana Miss Margaretha yang misterius itu tinggal.” Sena merapikan poninya. 

“Gayanya persis seperti saat kamu merapikan ponimu.

Deg! Astagfirullahalazim ….

“Tidak bisa, Sena. Saat ini, nenekku …”

Belum selesai aku berbicara, suara alarm berbunyi. Pertanda seseorang menerobos masuk dari pintu koridor yang dijaga ketat. Seharusnya tak seorang wartawan pun bisa menembus tiga penjaga pintu. Tapi, sosok yang menyeruak dari pintu koridor bukanlah sosok wartawan yang menenteng kamera lensa tua, kamera tembus pandang modern, atau perekam suara canggih apa pun. Yang berlari menyongsong aku dan Sena adalah seorang anak kecil berambut ikal yang digerai indah, senyumnya lebar menggoda. Di belakangnya, tiga penjaga pintu terlihat mengejar dengan perasaan bersalah. 

Lari gadis kecil itu begitu gesit sehingga penjaga pintu tak berkutik ketika gadis kecil itu langsung menghambur ke pelukan Sena sambil berteriak, “Ayah! Ayah! Ayo kita pergi!”

Ah, Ayah? Sena seorang ayah? 

Aku menatap lelaki di depanku dengan takjub. Aku pikir dia masih bujangan. Ia masih muda dan sikapnya terlalu santai untuk menjadi ayah masa kini yang kaku dan serius. 

“Hahaha … sabar, Sayang,” Sena mencium pipi gadis kecil itu, kemudian membungkuk dengan ekspresi penuh permintaan maaf. “Maaf kalau putri saya merepotkan.”

Aku memberi isyarat kepada para penjaga agar kembali ke tempat dan mengatakan semua baik-baik saja. Aku melihat seorang baby sitter berdiri agak ketakutan di depan pintu. Sena melirik baby sitter itu dan memberi isyarat yang sama denganku. 

“Tenang, dia tidak terkena penyakit apa pun,” tegas Sena. “Salsabila, putriku, dia sehat. Alhamdulillah.”

Pss …. Aku mendengar suara penyemprot sterilisasi ruangan yang otomatis keluar jika ada anak kecil sehat yang “terpaksa” masuk ke dalam ruang pesakitan ini. 

“Ya, tapi sebaiknya Salsabila segera pergi. Karena, penyemprot itu hanya bertahan sepuluh menit.” Aku berusaha ramah terhadap Salsabila meskipun terasa kaku dan kikuk. Aku tak pernah bertemu anak kecil. Pada zaman sekarang, anak kecil yang sehat menjadi hal yang tak terlalu lazim, jika tak bisa disebut langka.

Istri Sena, ibu Salsabila, pastilah seorang ibu yang telaten. Salsabila terlihat sehat. 

“Oke, aku ada janji mau jalan-jalan sama Salsa, besok aku akan menghubungimu. Assalamualaikum.”

“Assalamualaikum!” seru Salsabila mengikuti. 

Sena berlalu dariku dengan cepat sambil menggendong putrinya. Salsabila melambai kepadaku. Aku membalas lambaian tangan Salsabila. Ada desir aneh di hatiku saat melihat Sena dengan bahagianya mencium Salsabila. Aku mengabaikan desiran itu. Bagiku sekarang, kesehatan Nenek lebih penting. 

“Bertemu denganmu jauh lebih penting!”[]

 

 


 

4

Empat Hari Menuju Kematian

 

Aku

            Aku teringat saat pertama kali aku memutuskan untuk mencurahkan kasih sayang dan cinta kasihku kepadamu. Malam itu aku menangis karena sahabatku pindah rumah tanpa memberi tahuku. Rasanya aku sendirian dan tak dihargai. Kamu mengajakku ke Taman Pelangi dan di sanalah kamu memberiku sekuntum bunga melati. 

“Bila banyak, bunga melati harum semerbak. Kalaupun hanya sendiri, bunga melati tetap mewangi,” katamu sambil menempelkan kelopak bunga kecil itu di hidungku. “Hakikatnya, manusia akan hidup sendirian. Lahir sendiri, mati sendiri. Jadi, berhentilah bersedih.”

            Kini aku sendirian. Tepatnya merasa sendirian tanpa kamu di sisiku. Mungkin aku akan ke liang lahat seorang diri, tapi aku mau ditemani saat mati. Aku ingin kamu di sisiku, menuntunku mengucapkan dua kalimat syahadat yang agung. Ya Allah, mudahkanlah lisanku, kuatkan hatiku, izinkan kelak aku kembali dengan jiwa yang tenang. 

            Lalu, Quran surat Al-Fajr ayat 27 sampai 30 bergaung di telingaku, “Hai Jiwa yang Tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida lagi diridai-Nya. Maka, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” 

            “Bagaimana bekalmu hari ini, sudah kamu siapkan?” Suara akrab Nenek mengembalikan aku kepada realita waktu dan tempat. Aku tersenyum melihat Nenek sudah terlihat lebih cerah. 

            Semalaman aku tidak tidur dan hanya membaca Alquran terus-menerus. Aku berharap Nenek terbangun dari masa kritisnya untuk sekadar memperbaiki bacaanku yang sesekali masih berantakan. Akan tetapi, sampai Subuh Nenek tetap bergeming. Dokter Barbara terus memintaku tak putus asa. Ia yakin Nenek mendengarkan bacaanku dalam masa-masa kritisnya. Menurut Dokter Barbara, membaca Quran bisa menghalau lamunan. Menghalau datangnya kenangan karena hati dan pikiran kita hanya terfokus kepada Allah, Zat Yang Mahamulia.

            Di titik akhir, segala kenangan yang sebenarnya hanya penggalan-penggalan ingatan itu akan musnah. Yang kita kenang benar-benar di dalam kubur adalah apa saja yang sudah kita lakukan untuk bekal di akhirat nanti.

            Nenek terbangun satu jam yang lalu. Perawat mondar-mandir memeriksa kondisi tubuh Nenek dan sejauh ini semua baik-baik saja. Setelah bangun, Nenek hanya menenggak sebutir kapsul makanan, setelah itu ia lebih banyak diam. Diamnya Nenek membawaku pada lamunan, kemudian pertanyaan Nenek menyeretku kembali pada kenyataan. 

            “Kamu lalai menyiapkan bekal kematianmu untuk hari ini.” Nenek menoleh pada jendela yang dengan ramahnya menyampaikan terik sinar matahari. “Hari sudah siang dan kamu tidak salat Duha. Nenek lihat kamu melamun saja.”

            “Nenek pun melamun,” balasku cepat. Tiba-tiba aku tak mau disalahkan. Aku lelah menjaga Nenek semalaman dan ucapan terima kasih rasanya lebih pantas untuk disandingkan dengan kelelahanku. 

            “Nenek berzikir, Raya,” jawab Nenek lembut dan tenang. “Kamu terlihat gusar.”

            Aku menyentuh lengan Nenek, membenamkan wajahku di sana. “Nenek benar, aku sedang gusar. Nenek tak perlu bertanya mengapa aku gusar karena aku sendiri tak tahu.” 

            Kehilangan surat cinta itu dan tak mempunyai kesempatan untuk mencarinya adalah kegusaran yang pertama. Dokter Barbara baru mengizinkan aku keluar setelah yakin bahwa Nenek bisa stabil dalam lima jam berikutnya. Tapi, ada kegusaran lain yang membuatku tidak tenang dan tak bisa memejamkan mata meskipun Nenek sudah memintaku tidur. Aku terus mengingat kenangan manis bersamamu. Kemudian, wajah Sena muncul sekonyong-konyong menggantikan bayanganmu dalam ingatanku. Aku gusar. Gelisah. 

            “Nenek mendengar kamu mengaji, Sayang.”

Aku merasakan getaran kecil tanda tangan Nenek gemetar saat membelai rambutku. Belaiannya begitu lemah, tapi aku bisa merasakan kekuatan di sana. Nenek mau bertahan demi aku. 

“Tapi, kamu bukan mengaji karena Allah. Pikiranmu tak fokus pada ayat-ayat-Nya. Bercabang ke berbagai arah. Nenek tak bisa mengikuti arah pikiranmu, tapi Nenek tahu kamu begitu gusar. Tuntaskanlah kegusaranmu, Raya.”

            “Nenek …”

            “Nenek akan katakan pada Dokter Barbara bahwa Nenek akan baik-baik saja.”

            Aku tak menjawab, hanya sebuah pelukan hangat yang kuberikan kepada Nenek. Pelukan ini mengingatkan aku padamu, kemudian pada janji-janji kebersamaan kita. Janjimu kepadaku. 

Sontak, kenangan-kenangan itu menghantam kepalaku. Tubuhku terasa lemah, nyeri di punggung. Mengapa kenangan terasa mengoyak tubuhku? Ya Allah, bekalku belum cukup untuk bertemu dengan-Mu. Aku rasa seribu tahun pun tak akan cukup.

            Aku berusaha mengalihkan kenangan tentangmu yang bisa membuatku lemah. Aku harus mencari pembahasan lain. Berdiskusi dengan diriku sendiri. 

            Dulu sekali, aku bercita-cita meninggal di tengah peradaban Islam yang kembali berjaya. Cahaya Islam di Eropa kembali terang benderang, Cordoba dan Granada kembali menjadi pusat peradaban Islam. Indonesia menjadi peradaban selanjutnya. 

Ilmu pengetahuan memang sudah berjalan begitu maju, namun tetap tak pernah mesra bersanding dengan agama. Islam memang telah banyak menguasai pemerintahan dan teknologi pada zaman ini, namun lebih banyak juga umat yang menjadi buih. 

Kantuk menyerbu mataku, seperti Kara Mustafa Pasha yang memimpin pasukannya menyerbu Kota Wina. Kepalaku menyuruk ke atas kasur, layaknya kuda sang Mustafa yang jatuh pada lubang yang ia buat sendiri dalam perang. Aku tak mau berperang dengan kenangan, tapi kenangan itu sudah menjajahku lebih jauh. 

Ternyata dulu kamulah yang selalu berapi-api menceritakan kepadaku tentang Cordoba dan Granada. Ah, lagi-lagi kamu. 

            Mimpi … adalah kenangan paling buruk.

            Karena, aku kembali memimpikan kamu.

            Kamu yang meringkuk di sebuah rumah yang mempunyai perapian. Kamu terlihat letih dan puas bangun tidur. Akan tetapi, dalam mimpiku, kamu ketakutan. Seseorang menggedor-gedor pintu. Membuatmu terjaga begitu lama. 

***

 

Saya

            Saya melonjak kaget saat suara gedoran pintu terdengar lagi. Kali ini lebih keras, membuat saya menjadi lebih awas. Saya benar-benar bangun tidur dan tak yakin sudah berapa lama saya tertidur. Saya yakin, saya sudah terlalu lelah karena mimpi bertemu perempuan berjilbab motif bunga matahari kali ini tak menakutkan bagi saya. Terkurung di rumah Nancy dalam keadaan mengantuk dan lapar ternyata lebih mengerikan. Lambung saya ikut menggedor dinding perut.

            Berapa lama saya tertidur?

            Saya tak melihat jam dinding di mana pun. Bunyi jam beker dari arah kamar memberi saya jawaban. Nancy selalu menelepon saya pukul 03.00 pagi jika ia ingin memulai rutinitasnya menulis novel. Saya yakin itu, bahwa ini adalah pukul 03.00 pagi … dini hari. Saya bisa menatap langit yang gelap dari balik jendela dapur. Bunyi jangkrik berpadu dengan desir angin, serta suara daun berbisik di antara jejak nada hujan yang rintik menajamkan telinga saya. Meyakinkan saya bahwa memang ada yang menggedor pintu rumah Nancy.

            Ah, saya ingat bahwa saya sempat bermimpi sedang berada dalam perpustakaan besar dengan gaya bangunan Eropa zaman Renaissance. Di sana saya membaca buku-buku puisi. Pantas saya menjadi agak puitis. Apakah saya sedang bereinkarnasi saat ini? Apakah saya sedang berhalusinasi? Atau sebenarnya saya sudah mati? Atau ….

            Saya menelan ludah begitu berat. Jangan-jangan seseorang—atau mungkin bukan orang—di luar sana adalah Malaikat Izrail? Ia datang tanpa salam?

            Suara gedoran di pintu hilang, tetapi saya tetap waspada sambil memindai diri saya sendiri, meyakini apakah saya masih hidup. Ya. Saya merasakan napas saya. Saya mencium bau badan saya. Saya menggigil karena dingin dan perut kosong. Saya nyata dan masih ada. 

            Sialnya, suara gedoran itu muncul lagi. Lebih keras. 

            “Nancy! Sayang, aku mohon buka pintunya.”

            Izrail tak mungkin bilang sayang! Itu suara laki-laki. Insting saya menangkap sesuatu yang tak beres. Saya merangkak pelan-pelan, melihat handle pintu yang bergerak naik turun. Saya baru ingat, saya terjebak di sini karena pintu ini rusak. 

            “Buka saja … tendang … buka … tolong … lapar …,” suara saya seperti mencicit. Kecil dan kalah oleh hujan yang langsung menderas. 

Kalau ini sudah pukul 03.00 pagi, berarti saya tidur nyaris dua belas jam. Tidak makan minum selama dua belas jam. Gilanya, saya begitu nyaman tidur di atas lantai yang dingin. Saya berusaha meraih handle saat saya mendengar kembali suara di depan pintu. 

            “Nancy sayang, aku tahu aku lelaki plin-plan, tapi kamu harusnya ngerti. Aku tidak pernah ngelupain kamu. Aku selalu dan masih cinta sama kamu.” Pemilik suara itu mendesah. 

Abdul! Sialan, itu Abdul! Itu suara Abdul.

            Saya menuntaskan lapar dan letih saya dengan kemarahan, kemudian saya meraih handle, berharap pintu segera terbuka sehingga saya bisa meninju lelaki itu. Apa-apaan dia? Bilang Nancy sayang? Cinta? Nancy itu pacar saya! Argh …. Tuhan, kembalikan suara saya! 

            “Kita bisa mulai lagi dari awal, Nancy.”

            Mulai apanya, hah? Emosi berlompatan di dalam kepala saya. Membakar hati saya. Memberikan energi luar biasa sehingga saya bisa melompat dan menendang pintu. 

            “Berengsek! Ngapain lo?” Tapi, suara yang keluar dari mulut saya hanya, “Grmm …!”

            “Nancy, aku rindu dengan anak kita.” Suara Abdul masih terdengar mesra. Ia kembali menggedor pintu. Mungkin tendangan saya kurang keras.

            Saya kembali menendang dengan keras, meninju hingga kepalan tangan saya terasa nyeri dan berdenyut. Saya tak peduli, saya merasa marah. Abdul jelas-jelas bilang sayang pada Nancy, mulai dari awal, lalu sekarang rindu dengan anak kita? Anak kita? Saya menyadari sesuatu, masa lalu tak selalu saya tahu. 

            “Abduuul!” Kali ini saya berhasil mengeluarkan suara saya. “Bajingan kamu! Buka pintunya! Biar saya hantam kamu!” ceracau saya penuh amarah. Dada saya sesak. Beginikah cara setan bersemayam di sana? Memenuhi paru-paru sampai saya sulit bernapas. 

            Setelah saya terengah-engah dan mengatur napas, saya kembali memanggil nama Abdul. Kali ini suara saya terdengar parau dan putus-putus. Amarah saya sedikit pupus, berganti harapan agar Abdul segera memanggil tukang kunci atau membantu saya mendobrak pintu ini. Akan tetapi, yang saya dapati hanya kesunyian. Abdul diam? Atau pergi? Karena, saya tak lagi merasakan deru napas di luar sana. Hanya tersisa suara hujan. 

            Suara langkah kaki yang menjauh menjawab semuanya. Sekarang saya sendirian kembali di rumah ini dengan beban pikiran yang penuh. Soal mimpi kematian, soal masa lalu Nancy dengan Abdul. Mereka bercinta? Anak kita?

            “Huaaaghh!” Saya menendangi udara, meninju angin, lalu terjatuh letih sendirian.

            Saya kembali memimpikan perempuan berjilbab hijau dengan motif bunga matahari itu. Saya ingin memindai wajahnya, memastikan bahwa perempuan itu memang perempuan yang sama dengan perempuan di rumah sakit. Ya, wajahnya mirip. Saya semakin merinding di dalam mimpi saya. Saya merasakan badan saya gemetar hebat.

            “Mas … Mas … astagfirullah … Mas … bangun, Pak, Mas, Bang … astagfirullah ….” Suara asing membangunkan saya. 

Mata saya sedikit terbuka, beradaptasi dengan cahaya matahari yang menyeruak masuk ke retina. Saya mengerjapkan mata beberapa kali. Saya merasa tulang-tulang saya menghilang. Pemilik suara asing tadi terlihat menelepon seseorang, namun sepertinya orang itu tak bisa dihubungi. Ia seorang lelaki berpakaian serbabiru. Saya melihat kotak perkakas kecil di sebelah kakinya. Saya masih berbaring, terlalu lemah untuk berdiri. Pemilik suara asing itu menoleh ke arah saya, kemudian tangannya membantu saya untuk duduk bersender di tembok.

            Dengan cepat, pemilik suara asing itu mengambilkan saya segelas air dan membantu saya minum. Tiba-tiba saya merasa menjadi manusia yang konyol. Peristiwa di rumah sakit kembali berputar di kepala saya, perempuan berjilbab hijau bunga matahari yang nyaris mati, saya dipukuli suaminya, tak bisa tidur karena menunggu “kematian” perempuan itu. Antara lega dan tetap khawatir ketika tahu bahwa perempuan itu tak mati. Saya merasa sedang dipermainkan oleh Tuhan. 

            “Tuhan tidak pernah mempermainkan kita, Hanif. Kitalah yang tidak bisa mengendalikan perasaan kita. Kita selalu merasa … merasa dan merasa yang negatif.” Suara Bang Nero melayang di kepala saya. 

Kenapa selalu dia yang muncul? Saya menggelengkan kepala cepat, berharap suara itu hilang. Tapi, suara lain Bang Nero muncul. Ucapan-ucapan ceramahnya yang kerap saya abaikan, kenapa melesak-lesak sekarang? 

            “Tapi, sesungguhnya kita tidak sepenuhnya bisa mengendalikan perasaan kita. Bahkan, jiwa kita, roh kita bukan milik kita, Hanif. Tak bisa kita kendalikan sepenuhnya. Oleh karena itu, berserah dirilah sama Allah.”

            Maksudnya menyerahkan diri itu apa? Pasrah untuk mati, begitu?

            Saya mengerang kecil. Berusaha duduk dan membuka mata lebar-lebar. Sekuat tenaga, saya menarik kesadaran dan mengumpulkan seluruh energi saya. Pria pemilik suara misterius itu ternyata sedang memperbaiki engsel pintu di sebelah saya. Ia membongkar engsel itu dan memasangnya dengan yang baru. Ternyata dia tukang kunci?

            “Wah, sudah bisa berdiri,” komentarnya saat melihat saya berdiri sempoyongan sambil bersandar di dinding. 

            “Anda siapa?” tanya saya sambil memijat kening. Mag saya pasti kumat, asam lambungnya sampai membuat kepala pusing.

            “Saya tukang kunci langganan Bu Nancy. Rumah ini, kan, rumah tua. Sudah empat kali lubang kuncinya bermasalah. Habis dikunci susah dibuka. Sudah dua kali juga Bu Nancy terkunci di dalam. Saya kira tadi Bu Nancy lagi yang terkurung, tapi ternyata Anda. Harusnya saya ke sini dua hari yang lalu, tapi dua hari yang lalu ibu saya meninggal.”

            Meninggal lagi! Kematian lagi! Seolah ini teror buat saya!

            Saya menelan ludah berat. “Saya permisi.” 

Cukup bagi saya untuk mengetahui informasi mengenai lelaki yang menolong saya. Saat ini saya punya tugas yang lebih penting. 

            “Oh iya, silakan. Anda lagi sial aja, Pak. Biasanya pacar-pacar Bu Nancy lainnya aman-aman aja kalau keluar dari rumah ini,” tukang kunci itu terus mencerocos, lalu tergelak. “Tapi, saya agak geli juga, sih, sama gaya hidupnya. Ya … namanya juga orang bule. Bulepotan gitu, deh.”

            Agak geram juga saya mendengar Nancy diolok-olok. Tapi, satu kenyataan menampar-nampar wajah saya. Lelaki lain? Pacar-pacar lain?

            Saya tak mau ambil pusing lagi. Saya langsung bergegas berjalan ke jalan raya. Ternyata, matahari sudah merangkak menuju Duha. Secepat kilat, saya menghentikan taksi dan memintanya untuk mengantarkan saya ke apartemen.

            Hal pertama yang saya lakukan di apartemen adalah makan. Saya makan masakan instan sebanyak-banyaknya dengan perasaan geram. Amarah boleh mendidih, tapi perut tetap harus diisi. Saya mencoba menyiram api dalam sekam di hati saya dengan air dingin, tapi percuma. Setelah mandi, saya malah merasa ingin menampar Abdul, menendangnya, meninjunya. Sebagai lelaki, saya merasa harga diri saya diinjak. Sebagai sahabat, saya merasa dianggap seperti angin kentut yang tak pernah diaku. 

            Cih! Saya mau meludahi mukanya. Saya tak perlu menjaga penampilan saya hari ini. Persetan dengan rambut saya yang belum disisir, kemeja dan celana yang tidak serasi, lupa memakai parfum atau mencukur jenggot. Yang saya pedulikan sekarang adalah kehadiran Abdul di kantor. Karena, saya tak mau meninju dia di hadapan mantan pacar saya dan anak-anak mereka. 

            Taksi yang saya tumpangi berhenti dengan decitan keras di depan gedung kantor saya. Seolah sopir dan mobilnya juga berada dalam frekuensi kemarahan yang sama dengan saya. Saya naik lift, pergi ke lantai tempat kantor saya berada. Begitu keluar dari lift, saya bisa melihat sahabat saya yang berkulit hitam eksotis itu sedang memberikan presentasi di depan para pemilik saham. Saya mengabaikan layar-layar putih, tempat ide-ide gilanya dihamburkan oleh cahaya proyektor. Saya akui dia brilian dalam IT, tapi gila dalam hidup.

            Drak!

            Saya membuka pintu rapat dengan kasar. Semua mata di ruangan itu memandang saya heran. Pandangan-pandangan itu malah membuat saya semakin tak bisa mengendalikan amarah. Saya melangkah besar-besar. Fokus saya hanya pada wajah yang “cengo” di depan layar putih itu. Dengan satu ayunan, saya meninju dia. Sekuat tenaga.

            Duaak!

            Abdul terdorong ke belakang, menabrak dinding. Wajahnya terkena cahaya proyektor, menciptakan bayang hitam di layar. Saya berdiri di depan proyektor, menarik kerahnya, lalu menggeram dan berkata kepadanya, “Apa maksud lo dengan anak kita, hah? Nancy itu pacar gue! Milik gue!”

            Dan, saya melayangkan satu tinju lagi, di dahinya yang mengernyit ketakutan.

***

 

Aku

Aku ingat, saat kita makan siang berdua, kamu menasihatiku soal kematian. 

“Kenapa harus takut mati, Raya? Bahkan jiwa kita ini bukan milik kita. Bahkan takdir hidup kita pun bukan milik kita. Semua adalah kepunyaan-Nya. Allah Yang Mahabesar.”

            “Tapi, aku takut mati.”

            “Takut mati kamu salah kaprah. Kamu bukan takut mati, kamu hanya takut kehilangan kenikmatan duniawi. Kamu takut meninggalkan teman-temanmu, takut berpisah dengan saya, bukan takut akan kematiannya.” 

Saat itu kamu langsung menandaskan cokelat panasmu yang asapnya masih agak mengepul. Aku ingat betul kamu lalu berkata, “Setiap hari kamu berusaha melupakan kematian. Kamu berusaha mengabaikan bahwa mati itu tak pernah ada supaya kamu bisa hidup bebas tanpa beban pikiran soal kematian. Itu sama saja kamu bersembunyi seperti pengecut. Kenapa tidak kamu ubah persepsi kamu soal kematian? Kematian bukan soal tragedi, keterpurukan, kesedihan, dan penderitaan. Berpikirlah bahwa kematian adalah sesuatu hal yang indah.”

            “Apa indahnya?” Saat itu aku gemas dengan jawabanmu. 

            “Indah karena kematian adalah pintu masuk untuk berjumpa dengan Allah. Kembali ke sisi Allah. Tapi, itu tergantung dengan bekal amal yang kamu bawa.” 

Kamu lalu berdiri dan duduk di sebelahku, kamu menggamit tanganku lembut.

“Jadikan kematian sebagai motivasi. Motivasi untuk terus belajar karena membayangkan waktu hidup begitu sempit. Motivasi untuk banyak beribadah dan berbuat baik karena membayangkan bekal kita masih sedikit, harus ditambah dan ditambah lagi. Dan …,” kamu lalu membelai jilbabku, “dengan mengingat kematian, hati kita yang sempit bisa menjadi lapang. Ah, untuk apa bersedih hati karena kalah lomba, toh kita masih hidup. Ah, untuk apa bersedih karena tak mendapat harta banyak, toh harta tidak dibawa mati. Ini hanya soal membolak-balikkan persepsi saja, Raya.”

            Kamu lalu membolak-balikkan telapak tanganmu di depan wajahku. 

            Kemudian, wajahmu memudar, berganti dengan adegan lainnya. Kamu dan aku berlari bersama di taman dan kamu mengizinkan aku untuk mengejar kupu-kupu. Lantas, taman itu berubah menjadi Taman Pelangi dan kamu selalu mengajakku melihat pelangi di sana. Aku merasakan diriku bernapas dengan teratur dan bayang-bayang dirimu silih berganti berdatangan di dinding kamar rumah sakit yang putih. Dan, aku mendapati diriku berbaring di atas tempat tidur. Bukan di atas sofa seperti biasanya. 

            Aku merasakan selang oksigen di hidungku, jarum infus menusuk lenganku. Aku melirik infus tanpa selang itu. Botol infusnya berisi cahaya berwarna merah jambu. Itu adalah obat untuk mengatur kenangan pada penderita virus V-Diamond. Aku segera duduk dan berusaha mencabut infus itu, tapi dua orang perawat yang sepertinya ditugaskan menjagaku langsung memegangi kedua tanganku. 

            “Anda tidak boleh ke mana-mana, Nona Raya.”

            “Siapa yang berani mengaturku, hah?!” jeritku kesal.

            “Saya mohon maaf sebelumnya, Nona Raya,” Dokter Barbara datang dari balik tirai. Ia memegang jarum suntik kecil yang berisi cairan warna hijau. “Kondisimu sedang tidak stabil. Kenangan-kenangan masa lalu sedang membabi-buta.”

            Sejujurnya aku menikmati kenangan indah bersamamu, meskipun kamu tak ada di sisiku lagi sekarang. Aku mau melompat turun dan kabur, tapi kaki kananku mati rasa. Kenangan itu sudah mengunci satu kakiku. Membuatnya sulit bergerak. Apakah aku harus mengalah sekarang?

            “Barbara, izinkan aku pergi sekarang.” Tanpa terasa, air mataku tumpah. “Aku harus ke Bandung menemui Miss Margaretha. Ada dua hal yang harus kudapatkan sebelum aku mati empat hari lagi.”

            “Justru kamu ada di sini agar kamu bisa bertahan lebih dari empat hari.”

            “Omong kosong dengan pengobatan ini, Barbara. Aku hanya akan seperti nenekku, lumpuh, tak bisa melakukan apa pun. Tak boleh berinteraksi dengan siapa pun. Aku membiarkan Nenek tetap dirawat, berharap hidup beberapa hari lagi agar aku bisa memenuhi permintaan omong kosong Nenek untuk menikah.” 

Aku tak mau sesenggukan di depan Dokter Barbara, tapi aku yakin dia mengerti apa yang kumaksud. Dia sudah lama mengenalku dan keluargaku. Karena dia begitu mengerti apa yang kubutuhkan, dengan santai dan angkuhnya Dokter Barbara menyuntik lenganku. Memasukkan cairan hijau yang kutahu adalah obat penenang. 

            “Kamu boleh marah dengan segala omong kosong. Tapi, Allah memerintahkan kita untuk berikhtiar semaksimal mungkin. Maka, kalaupun pengobatan ini tak berhasil, tak ada ibadah yang omong kosong, Raya. Tenangkanlah dirimu. Assalamualaikum.” Dokter Barbara berbalik badan tanpa menunggu reaksi dariku.             

            Cairan hijau itu bekerja dengan baik. Aku merasakan syaraf-syaraf di tubuhku mulai tenang, tak lagi setegang tadi. Aku agak rileks dan berbaring dengan perasaan sedikit santai. Perawat kemudian menyalakan murottal Alquran di layar LCD dan meletakkan remote-nya di dekatku sehingga aku bisa memilih surat yang ingin aku dengar. Aku menikmati alunan surat Ar-Rahman sambil memandang ke luar jendela yang gelap dan pekat. Hari ternyata sudah larut. 

            Baru saja selesai surat Ar-Rahman, seorang pria masuk ke dalam ditemani oleh perawat. Setelah memberi tahu bahwa jam besuk hanya tiga puluh menit, perawat itu segera keluar, lebih tepatnya menunggu di sudut kamar karena tak bisa membiarkan aku berduaan dengan lelaki yang bukan mahramku. 

            “Assalamualaikum, Raya. Sehat?” Suara Sena menyapaku. Senyumnya begitu lebar. Persis senyum kamu. 

Spontan, aku memalingkan wajah. “Waalaikumsalam.” 

            “Kenapa, Raya? Salah, ya, aku jenguk?” 

Ujung mataku bisa melihat Sena meletakkan buket bunga tulip di atas meja. 

“Bunga ini asli dibawa dari Belanda, diawetkan oleh kakakku untuk Salsabila. Tapi, saat kukatakan mau menjenguk kamu, dia memintaku memberikan bunga ini untukmu.” 

            Salsabila? Ah, anak Sena. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengenangmu meskipun hanya sekilas. Bukan aku ingin melupakanmu, namun jika melupakanmu bisa membuatku sedikit bertahan hidup, mengapa tidak? Ah, di mana kamu? Masih hidupkah dirimu? Sempatkah aku memberikanmu surat cinta itu?

            “Raya? Mandanginnya genit banget. Sampai terpaku seperti itu,” Sena tergelak.

            Aku beristigfar, sungguh tidak sadar sudah memandangi Sena sedemikian rupa. Melihat aku tak ikut tertawa, Sena langsung diam. 

            “Eng … maaf.” Sena menggosok hidung lagi, seperti yang sudah-sudah. Aku yakin, sebentar lagi ia mau mengatakan hal yang sama seperti kemarin. “Aku mau memastikan bahwa kunci itu …”

            “Aku sakit sejak tadi pagi. Dan, sebaiknya kamu pergi saja.” Aku mengibaskan tangan ke arahnya. “Dengan kondisiku seperti ini, kunci itu tidak penting. Mengetahui masa lalu tidak penting. Yang penting adalah aku harus sehat dan menemukan surat cinta itu, untuk masa depanku.”

            “Kematiankah masa depanmu?” tanya Sena langsung pada intinya, membuat mulutku ternganga. “Apa pentingnya surat cinta itu untuk kematianmu? Apa lebih penting dari berhasil mengucapkan dua kalimat syahadat?”

            “Hal seperti itu tak perlu dilatih, Sena. Selama jiwa ragaku selalu menyebut Allah, bersyahadat setiap hari dalam salatku, insya Allah, Allah yang akan menuntun lisanku.”

Sebenarnya aku ingin mengucapkan nada itu dengan amarah, tapi cairan hijau ini lebih ampuh menenangkan. Suaraku begitu bening dan lembut. Aku jadi takut Sena salah sangka, mengira aku perempuan yang mencari perhatian dia. 

            “Insya Allah. Amin.” Raut wajah Sena lalu berubah menjadi serius. “Tapi, aku mohon maaf sekali. Kalau kamu tidak bisa mengambil kunci itu, izinkan aku pergi sendiri ke rumah Miss Margaretha. Aku tak akan membocorkan alamat itu kepada siapa pun.”

            “Tidak bisa. Aku sangat menjaga amanah. Miss Margaretha mengamanahiku agar tak memberitahukan alamatnya kepada siapa pun.” Meskipun dengan suara lembut, aku yakin garis wajahku terlihat tegas di mata Sena. 

            “Kakekku juga memberiku amanah untuk memastikan kamu membaca surat itu.”

            “Nenekku juga memberiku amanah untuk menyampaikan surat cintaku dan menikah sebelum beliau meninggal.”

            “Menikah dengan siapa? Orang yang kamu rindukan itu?”

            “Bukan urusan kamu, Sena.” Kali ini aku berhasil mengeluarkan nada sengit. “Kamu terlalu banyak mencari informasi tentangku.”

            Sena menatapku serius. Wajahnya yang seperti itu agak mirip dengan rautmu. 

            “Kalau perlu, aku bisa duduk semalaman di sini bersama dua perawat lainnya, khusus untuk mendengarkan semua informasi tentang dirimu,” jawabnya datar. Tapi, kenapa terdengar seperti sesuatu yang romantis di telingaku? 

“Kamu tahu? Kita ini seperti sepasang sepatu yang terpisah. Satu sepatu tak mungkin berfungsi menjadi sepatu. Hanya dengan sepasang sepatu, maka sepatu berfungsi seutuhnya menjadi sepatu,” lanjutnya.

            Kepalaku mulai pusing. Soal sepatu itu … sepertinya dulu sekali pernah kamu ucapkan. Kenangan … kenangan menyerang. 

            “Aku pernah merasakan kesempurnaan beragama dalam pernikahan, tapi separuh jiwaku itu meninggal karena sakit yang sama denganmu.” 

Aku melihat mata Sena berkaca-kaca. 

“Istriku … meninggalkan Salsabila yang masih kecil. Kami bagai sepatu, yang membawa langkah kaki kepada kebaikan. Tanpa dia, aku hanya seonggok sepatu.”

            “Lalu, apa maksudmu tadi? Kita sepasang sepatu yang terpisah?” Aku mulai memegangi kepalaku. Samar-samar, aku melihat perawat di sudut ruangan sudah berjaga-jaga. Siaga. Sena terus berbicara sambil melipat kedua tangannya di dada. Tak ada cengiran.

            “Ketika istriku meninggal, ia seperti seonggok sepatu yang terbuang. Sampai kemudian sepatu itu diambil seseorang, diperbaiki, kemudian dipertemukan kembali dengan pasangannya. Kamu adalah sepatu yang sudah diperbaiki itu. Kamu dan aku dipertemukan. Untuk kemudian dipasangkan.”

            Sedikit demi sedikit aku mengerti arah pembicaraannya, tapi aku menantikan dia tertawa. Dia pasti sedang melakukan lelucon.

            “Istri itu adalah pakaian bagi suaminya. Maukah kamu menjadi pakaianku?”

            Perutku mulai melilit. Perawat sudah berjalan pelan ke arahku. Wajah Sena mulai panik, tapi dia berusaha untuk tenang. Dia pasti salah bicara, aku yakin dia salah bicara.

            “Berhenti bergurau, Sena. Kamu membangkitkan banyak kenangan.” 

Ucapannya persis seperti ucapanmu. Aku yakin sekali. 

            “Aku tidak bercanda, Raya. Seperti ungkapan lama yang tak diketahui dari mana sumbernya, aku ingin kita bertukar tulang. Kamu jadi tulang rusukku, aku menjadi tulang punggungmu. Kamu mencari suami. Aku mencari istri. Aku serius.”

            Persis seperti ucapanmu!

            Lalu, aku muntah dengan hebat.

***

 

Saya

            Saya duduk berhadap-hadapan dengan Nancy malam ini. Bukan di sebuah restoran romantis, bukan pula di kafe yang eksotis. Tapi, kami duduk di depan sebuah minimarket yang memang menyediakan fasilitas kursi dan meja untuk sekadar makan makanan ringan. Untuk meminta segala klarifikasi, saya tak perlu menyusun acara makan malam yang manis. Lagi pula, Nancy di hadapan saya saat ini sudah tak lagi terlihat manis. 

            Dengan santai, ia mengisap rokoknya. Saya mengambil rokok itu dan menginjaknya di bawah meja. Mati dan remuk. Saya sudah membenci rokok, Nancy tahu itu. Saya tahu dia hanya ingin mengalihkan gugup dengan asapnya. Nancy agak kikuk tanpa sebatang rokok di jemarinya, tapi saya tak peduli. Saya sudah telanjur marah berapi-api. 

            “Jadi, jelaskan pada saya, apa maksud ucapan Abdul?”

            “Saya masih tidak mengerti kenapa kamu bisa ada di dalam sana? Kamu seperti mata-mata, masuk rumah orang tanpa permisi, terjebak selama satu setengah hari di saat saya menginap di rumah teman saya karena pintu rumah saya rusak.”

            “Apa maksud ucapan Abdul?” Saya tak peduli dengan cara dia mengulur jawaban. 

            “Saya tidak mengerti maksud ucapan kamu, Hanif. Kamu terlalu penuh emosi. Take it easy, okay? Abdul hanya masa lalu.”

            “Itu! Kamu ngerti apa yang saya maksud. Itu. Masa lalu. Jadi, maksudnya mulai dari awal itu apa? Kembali ke masa lalu? Soexplain it to me.” Saya setengah menggebrak meja. 

            Nancy agak terkejut, tapi saya kagum dengan kemampuan dia yang tetap tenang dalam sikap dan kata-kata. Intonasi suaranya tidak terdengar seperti orang ketakutan. Ia terlalu santai, seolah tak ada beban. Ini membuat saya merasa seperti anak kecil dan dia adalah ibu yang sangat bijaksana. 

            “Baik … akan saya jelaskan. Tapi, berikan saya rokok.”

            “Kamu gelisah.”

            “Saya tidak gelisah. Okay, fine ….” Nancy menyenderkan tubuhnya ke pinggiran kursi, memangku satu kakinya ke kaki yang lain. Ia berusaha menggoda saya, tapi saya tak akan surut. 

Saya menatap mata Nancy dengan tajam. 

“Hanif, jauh sebelum saya bertemu kamu, saya sudah berteman dengan Abdul.”

            “Ya, saya tahu itu.”

            Nancy mengangkat bahu. “Yah, itu terjadi dua tahun sebelum saya bertemu dengan kamu. Kami berpacaran.”

            “Yang benar saja! Abdul sudah menikah sejak lima tahun yang lalu dan dia sudah punya dua anak dua tahun yang lalu.” Saya mau meledak.

            “Itu masa lalu, Hanif. Sekarang we are just friends.”

            Saya mulai uring-uringan untuk dua hal. “Pertama, itu artinya Abdul sudah menyelingkuhi mantan pacar saya. Mantan pacar yang masih saya sayangi sampai detik ini.” 

Saya mencari-cari sesuatu untuk saya lempar, namun tak ada. Hanya sekaleng coke yang akhirnya berhasil saya remas. Menyalurkan amarah ke sana. 

“Kedua, saya merasa dibohongi. Hah … saya dikasih pacar bekas mantan selingkuhan. Sial. Ketiga …,” saya menuding wajah Nancy yang innocent, “ketiga, saya ternyata salah menilai kamu. Perempuan macam apa yang menggoda suami orang, hah?”

            “Abdul hanya ingin anak lelaki dari saya, oke? Saya hanya membantu dia, oke? Dia adalah teman baik saya dan saya ingin membantu dia. Kedua anaknya perempuan, kan? Anak ketiganya juga perempuan, kan?”

            “Okee …. Terus, apa yang kamu lakukan untuk membantu dia punya anak cowok, hah? Menikah? Jadi suami istri?”

            “Saya hamil,” jawab Nancy singkat. Cukup meruntuhkan kasih sayang dan cinta yang saya bangun untuknya. 

Saya merutuki diri sendiri. Berpacaran dengan orang bule yang berpaham bebas, sudah seharusnya saya menerima kenyataan ini. Saya tahu dia berhubungan dengan banyak lelaki. Tapi, sampai hamil?

            “Saya mengandung anak Abdul.”

            Dengan Abdul? Sahabat saya … bukan … dia bukan sahabat saya!                            

            “Lalu?” Saya mendengus.

            “Ya, kami semakin mesra selama tujuh bulan terakhir. Dia mengajak saya untuk periksa USG 4D, semua sesuai rencana. Saya mengandung anak lelaki dan dia semakin mencintai saya. Hanif, dengar, ini jauh sebelum saya mencintai kamu.”

            “Kamu mencintai dia?”

            “Dulu …,” kali ini pertahanan Nancy roboh. Saya melihat matanya berkaca-kaca. “Saya berharap saya bisa menjadi muslimah saat itu. Saya rela menjadi istrinya yang kedua, masuk dalam agamanya. Saya berada pada titik kebahagiaan sebagai calon ibu. Sampai … sampai Abdul memberi saya ini.” Nancy mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya. Sebuah kotak peti perak kecil yang penuh ukiran. Ia membuka kotak itu dan kosong. “Di bawah kotak ini ada laci rahasia. Di sanalah ia menyimpan berlian senilai dua ratus juta. Dia memberikan berlian ini, kunci ini untuk saya. Dia juga memegang satu kunci, entahlah ….”

            “Dan?” Saya berada di antara rasa penasaran dan tak peduli lagi. Satu yang tak habis pikir. Saya tak percaya Abdul punya uang sebanyak itu untuk sebutir berlian. 

            Nancy tertawa, tapi air matanya mengalir ke pipi. 

“Sakit, Hanif. Saya pikir, saya akan dilamar. Saya sudah melihat berlian di sini. Indah sekali. Hah .... Tapi, ternyata dia bilang, berlian itu adalah harga yang pantas untuk anak saya. Dia hanya mau membeli anak di perut saya. Hah, dia pikir saya adalah perempuan yang hanya menyewakan rahim? Saya menginginkan anak itu dengan cinta dan dia mau membuang saya setelah dia mendapatkan anak saya!” Nancy mulai sedikit emosional, tapi dia bisa mengatur dirinya dengan cepat. Kembali stabil. 

            “Lalu, di mana anak itu?” Saya merasa, menjadikan Nancy sebagai calon istri adalah pilihan buruk. 

            “Mati di perut saya,” jawabannya simpel. “Saya stres. Saya minta dinikahi, tapi Abdul tidak mau. Dia malah mengatai saya perempuan jalang. Saya mabuk setiap hari. Saya minum banyak obat. Tidak makan, stres, dan ... voila! Anak itu mati di usianya yang kedelapan bulan.”

            “Kamu membunuhnya dengan sengaja?”

            “Saya hanya stres.”

            “Ya … kamu stres.”

            “Ya … ya …,” Nancy tergelak. Ia membuka laci di bagian bawah peti. Kosong. “Lihat, Abdul marah saat itu. Dia mengambil berliannya dan membuang peti ini untuk saya. Kata dia, peti ini mahal. Bisa puluhan juta. Ya … saya simpan saja. Kenang-kenangan kalau saya pernah …”

            “Kamu masih mencintai dia, kan?”

            “Hanif.” Nancy tampak terluka dengan pertanyaan saya. 

            “Lalu, kemarin malam? Kalian ngapain?”

            “Kami hanya teringat masa lalu. Terbawa suasana pesta di kantor saya dan dia berharap saya bisa memberikan dia anak lelaki lagi. Hanya itu.” 

            “Kamu pendosa, Nancy.” Gigi saya bergemeletuk.

            “Lantas, kamu bukan, Hanif?” Sekarang Nancy terlihat bosan. “Saya ternyata masih mencintai Abdul.”

            “Hahahaha … saya jadi barang mainan, ya? Apa jangan-jangan kamu memacari saya hanya untuk menyembuhkan patah hati kamu?”

            “Saya tidak yakin.” Nancy mengangkat bahu. “Tapi, saya juga mencintai kamu.”

            Saya memandang Nancy lekat-lekat. Saya mempertanyakan kembali isi hati dan pikiran saya. Diakah yang akan menjadi ibu dari anak-anak saya kelak? Sekonyong-konyong, wajah istri Bang Nero datang melintas. Sosok ibu yang anggun, salihah, dan saya yakin dia adalah tipikal perempuan setia. 

            Sial. Ternyata ucapan Bang Nero benar. Sebejat-bejatnya seorang lelaki, ia pasti menginginkan perempuan baik-baik untuk menjadi istrinya. Ini bukan soal perbedaan agama di antara saya dan Nancy, meskipun Bang Nero pasti akan berceramah sampai berbuih bahwa menikah beda agama adalah haram hukumnya. Sebagai lelaki, saya bisa saja dengan mudah meminta Nancy untuk masuk ke agama saya. Tapi, saya lebih ingin ia masuk dengan hati dan pikirannya sendiri, bukan karena keterpaksaan sebuah pernikahan. 

            Kini, semua harapan itu pupus. Lepas. Saya mungkin bukan orang saleh yang taat beragama. Mungkin saya juga pendosa. Tapi, saya tahu aturan moral. Selingkuh bukanlah permainan. Bagi saya, itu masalah prinsipil. Saya membayangkan mantan pacar saya yang sekarang menjadi istri Abdul. Apa ia tahu sebejat apa suaminya?

            “Saya bersumpah, Nancy. Saya tidak akan membiarkan anak cucu saya menikah dengan anak cucu si Abdul Jamal itu. Dia rusak!” Serta-merta sumpah itu meruah begitu saja dari mulut saya. “Dia itu sahabat paling bangsat!”

            “Dia lelaki baik, Han. Dia hanya belum menemukan perempuan yang tepat.”

            “Kamu masih mencintai dia?” Suara saya mulai meninggi.

            Nancy tak langsung menjawab. Ia berpikir cukup lama.      

            “Peti perak itu masih kamu simpan. Itu tandanya kamu masih menyimpan kenangan. Untuk apa? Hah? Apa artinya kalau bukan tanda kamu masih mencintai dia!”

            “Hans! Hanif!”

            “Apa?”

            “Tak masalah kalau saya masih mencintai Abdul. Toh kamu masih mencintai mantan pacarmu, kan? Istri Abdul? Apa yakin kamu tidak pernah selingkuh sama dia? Saya terima masa lalu kamu, kamu pun harus terima masa lalu saya. Itu namanya pendewasaan diri.”

            Saya terkekeh. “Pendewasaan diri? Jika kemarin malam kalian melakukan hal yang sama, kesalahan yang sama, apa itu yang namanya pendewasaan diri? Keledai saja nggak jatuh sampai dua kali, Nancy. I am not stupid.” 

Saya berdiri lalu menendang kursi yang saya duduki hingga jatuh ke lantai. “Saya pantang selingkuh.” Kemudian, saya pergi meninggalkan Nancy, menendang satu kursi lagi yang menghalangi langkah saya.

            Malam ini saya mau mengubrak-abrik hati saya. Pasti ada yang rusak dengan hati saya sampai-sampai saya bisa mencintai perempuan yang salah. Semua perempuan yang saya cintai, semuanya selingkuh. Dengan Abdul![]  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5

Tiga Hari Menuju Kematian

 

Aku

            Aku merasa badanku begitu ringan dan kepalaku terasa kosong tanpa beban. Aku membuka mata ketika mendengar suara burung bercicit. Layar LCD menyala, menampilkan aneka satwa liar yang dulu pernah berjaya di bumi ini. Zaman sekarang, satwa menjadi sangat dilindungi. Aku melihat perawat membuka tirai, seolah mempersembahkan matahari pagi kepadaku. Matahari yang sama dengan empat puluh tahun yang lalu, bahkan ribuan tahun yang lalu. 

            Aku menggerakkan kedua kakiku, sekarang sudah bisa digerakkan dengan baik. Tak ada lagi infus di lenganku, tak ada lagi alat penambah oksigen di hidungku. 

            “Selamat pagi, Tante.” Suara riang seorang anak kecil mengejutkanku. Aku menoleh ke samping dan melihat Salsabila melompat ke arahku sambil menyerahkan sebuket tulip berwarna merah jambu. “Pagi ini Tante terlihat lebih segar.”

            “Terima kasih.” Aku tersenyum kaku. Bagaimana mungkin dia bisa diperbolehkan berada di sini? Aku melihat Salsabila begitu lincah menata bunga tulip di atas mejaku. Rambut kuncir kudanya bergoyang ke sana kemari. Ia melantunkan selawat. Di bahunya tersampir phasmina mungil. 

            “Nona Raya, mau sarapan kapsul atau makanan untuk pagi ini?” Perawat menghampiriku, lalu tersenyum pada Salsabila yang terlihat puas selesai menata bunga. 

            “Apa saja.” Aku tak terlalu memikirkan makanan. Aku menunjuk ke arah Salsabila. “Mengapa anak kecil ini diizinkan kemari? Virus V-Diamond sangat berbahaya.”

            Perawat menghela napas panjang. “Lelaki yang bernama Sena itu ngotot agar Salsabila diperbolehkan merawat Anda, Nona. Dokter Barbara sudah memberikan obat antivirus V-Diamond yang pada orang dewasa bisa bertahan sampai satu minggu. Karena Salsabila masih anak-anak, maka khasiatnya bisa lebih panjang.” 

“Insya Allah, dia dijamin kesehatannya oleh Allah.” Suara Sena memotong penjelasan perawat.

Perawat lalu pamit diri untuk mengambilkan sarapan. Salsabila duduk di sampingku, seolah aku adalah orang yang begitu akrab dengannya. 

Aku sedikit lupa dengan apa yang dikatakan oleh Sena sebelum aku pingsan. Tapi, yang pasti, kalimat terakhirnya terus terngiang sampai sekarang. “Kamu mencari suami, aku mencari istri.”  Ini cukup mengguncang hatiku. Apakah ini? 

“Salsa ingin seperti Tante kalau sudah besar nanti,” ucap Salsa memecah keheningan antara aku dan Sena. 

“Dia banyak melihatmu di TV. Sejak nenekmu sakit, kamu, kan, jadi terkenal sekali sebagai pewaris tunggal rumah sakit ini.” 

“Papa, biar Salsa yang cerita.” Salsa lalu memeluk lenganku yang agak kurus. “Salsa melihat Tante cantik sekali menjadi dokter di sini. Salsa kalau sudah besar ingin jadi dokter juga.”

“Kuliah Tante belum selesai, Salsa,” senyumku semakin kaku. 

“Tapi, Tante keren, sudah pernah membuat pengobatan gratis untuk kaum miskin. Membuat gerakan anti-Touch. Salsa juga benci Touch, tapi Papa terus membela Touch.” 

Aku melirik Sena, lelaki itu menahan tawa. Agak lucu memang, cucu dari pemilik dan pencipta Touch tidak menyukai program yang dibuat kakeknya. 

“Salsa juga kagum melihat jilbab Tante. Setelah umur sembilan tahun, Salsa akan pakai jilbab. Tante juga pernah mengadakan fashion show tunggal dan uang hasil penjualan baju diberikan kepada anak yatim. Lalu, lukisan Tante juga pernah dijual dengan harga mahal dan uangnya Tante kasih untuk pembangunan rumah anak yatim piatu. Pokoknya Tante inspiratif banget, deh. Salsa sudah ngefans sama Tante sejak setahun yang lalu. Makanya, pas Papa bilang dia mau ketemu teman, eh, ternyata teman Papa itu Tante. Sepertinya Salsa sudah ditakdirkan untuk bertemu dengan Tante. Kenapa Tante begitu memperhatikan anak yatim piatu?”

Anak ini benar-benar full energy. Anak sekarang memang sudah lebih cepat sok dewasa dan kritis. Aku membelai rambut Salsabila dengan lembut. 

“Karena, sejak bayi Tante sudah menjadi yatim piatu, Nak.”

“Sama, dong! Salsa juga sudah ditinggal mama Salsa sejak kecil.” Dengan sekali gerakan, Salsa memelukku erat. Aku menatap Sena yang memalingkan wajah sendu. “Salsa pengen sekali Tante jadi mama Salsa. Mau, ya, Tante … mau, ya?!”

Oh, jadi ini alasan segala ucapan Sena semalam. Segalanya kini menjadi masuk akal mengapa orang yang baru tiga hari mengenalku sudah nekat melamar. 

“Salsa ngefans sama kamu … jauh melebihi aku,” Sena menyengir lebar. 

Aku hanya mengulum senyum. Salsa melepaskan pelukan dan mulai sibuk bermain dengan aneka mainan yang mungkin dia bawa dari rumah. Sena berdehem.

“Jadi, bagaimana dengan penawaranku semalam?”

“Kamu melakukan ini untuk Salsa?”

“Kurang lebih begitu.”

“Maaf. Aku tidak bisa mengkhianati orang yang aku sayangi. Orang yang sangat aku rindukan,” jawabku lugas.

Sena tersenyum kecil. Ia terlihat begitu santai menyikapi hidup. Atau dia sudah biasa melamar perempuan dan biasa ditolak? Atau baginya pernikahan hanyalah tawar-menawar? Aku tak peduli. Meskipun Sena mirip dengan kamu, yang jelas dia bukan kamu. Pun, aku tidak kenal dekat dengan Sena. Maka, sore ini, setelah memastikan aku sehat dan Nenek juga sehat, aku akan segera pergi ke Bandung. Aku akan mengambil surat cintaku lagi, meminjam kunci dari Miss Margaretha, membaca surat dari Stephen Cow, dan memvideokannya untuk Sena. Setelah itu, urusanku dengan Sena selesai. Maka, aku tak perlu mengatur debaran yang aneh ini. Aneh ….

Aneh. Debaran jantungku terasa aneh. 

***

 

Saya

Saya meringkuk di kasur dengan seluruh selimut menutupi tubuh saya. Kepala saya berat, badan saya ngilu. Saya mengabaikan hati saya yang hancur. Semalam saya tak ingat sudah minum berapa botol wiski. Sudah terlalu lama saya tak minum, badan saya butuh beradaptasi sehingga muntah-muntah di pagi hari. 

Ketika saya memutuskan untuk tidak berangkat kerja, bel pintu apartemen saya berbunyi. Suara belnya terdengar asing di telinga saya. Seolah-olah sudah begitu lama saya tidak menerima tamu. Paling-paling itu adalah petugas laundry atau pengantar susu. Maka, saya memutuskan tetap meringkuk meskipun sudah terbangun dan susah untuk kembali tidur. Bunyi bel itu terus berbunyi disusul suara ketukan pintu, lama hening, kemudian ketukan pintu lagi. 

“Hanif? Assalamualaikum. Hanif.” Suara itu sangat familier di telinga saya, seperti suara pengantar tidur ketika kecil. 

Suara ketukan dan suara memanggil berhasil membuat saya terbangun. Dengan selimut yang masih menutupi separuh badan, saya berjalan terseok-seok, memegang ujung meja dan ujung rak sepatu agar saya tak jatuh. Begitu pintu saya buka, saya disambut oleh senyuman hangat Mama. Saya menatap tak percaya, Mama ada di depan apartemen saya. Ke mana saya harus mengelak ketika Mama langsung memeluk saya erat?

“Kamu tak bisa kabur lagi,” Mama menciumi pipi saya, kemudian hidungnya mengendus wajah saya. “Kamu minum lagi, Sayang?”

Saya hanya tersenyum. Pasrah. Dua tahun ini saya selalu menghindari Mama. Setiap Lebaran, saya hanya mampir sebentar kemudian pergi berlibur bersama teman-teman kantor. Lebaran terakhir, saya memilih jalan-jalan bersama Nancy, Abdul, dan beberapa teman Nancy ke Pulau Seribu. Entah, apakah di sana mereka juga menjalin cinta? Mengingat itu, seolah ada kaset kusut disetel di kepala saya. Jika Mama pulang dari pesantren dan mau menemui saya, saya selalu menghindar. Berkali-kali Mama ke apartemen saya dan saya selalu memutuskan kabur. Tapi, kini Mama datang tiba-tiba. 

“Mama sudah telepon dan SMS kamu, tapi tidak direspons. Mama takut kamu kenapa-kenapa. Sepertinya kamu memang sedang dalam keadaan tidak baik.” 

Merasakan pelukan Mama membuat saya kembali pada kehangatan masa kecil. Mungkin memang benar, hubungan batin ibu dan anak tak akan pernah pudar. Mama menuntun saya untuk kembali ke tempat tidur. Ia mulai masuk ke dapur dan mencari-cari bahan makanan yang bisa dimasak. Saya memutuskan untuk kembali memejamkan mata, tetapi sulit tidur ketika mendengar Mama berselawat sambil memasak nasi di rice cooker. Saya akhirnya memperhatikan gerak-gerik Mama. Memang tak selincah saat terakhir kali saya bertemu dengannya. Jilbabnya kini semakin panjang, nyaris menutupi perut. 

“Hanif. Apa yang membuat kamu pagi ini tidak berangkat kerja? Tidur-tiduran saja karena semalaman mabuk?” tanya Mama sambil mencuci piring yang mungkin sisa makanannya sudah menimbulkan bau busuk karena dua hari tidak disentuh. 

“Itu bukan urusan Mama,” jawab saya singkat karena saya malas diceramahi.

“Ya, memang bukan urusan Mama.” 

Saya melihat raut wajah Mama sendu. 

Sekarang ia berbalik badan dan tersenyum sedih menatap saya. “Kamu tahu, Sayang? Seandainya Mama bisa memikul dosamu, Mama ingin sekali memikulnya. Tapi, Allah sudah berfirman bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.”

Mama mencari lap, kemudian karena tak menemukan lap, Mama hanya meniriskan piring dengan menggoyang-goyangkannya. Mama kemudian menghampiri saya, duduk di sebelah saya. Saat seperti ini, saya menjadi cengeng dan tak peduli menangis di pelukannya. 

Mama menjawab pelukan saya, mengelus-elus punggung saya yang lelah. 

“Pada akhirnya, Hanif selalu balik ke pelukan Mama,” ujar saya di ujung air mata. 

“Bukan, Sayang. Pada akhirnya, kita semua akan kembali kepada Allah.” Mama melepaskan pelukannya. “Mama tahu, anak lelaki Mama yang ini bukan tipe lelaki yang suka curhat. Seberat apa pun masalahmu, kembalilah kepada Allah.”

“Ma …,” saya mulai merajuk, malas terus-menerus diceramahi. Tapi, Mama seolah tak peduli. Tangannya yang sudah agak keriput menarik badan saya agar duduk tegak. Ia menepuk-nepuk punggung saya kencang. 

“Ayo bangun. Mandi, salat, dan mengadulah sesuka hatimu. Mama akan buatkan nasi goreng kesukaanmu, Hanif.”

“Ma …,” saya mengerang, “salat apaan? Ini udah siang, Ma.”

“Salat Taubat. Sesegera mungkin,” jawab Mama sambil lalu.

“Errrghh …,” saya mengerang malas. Tapi, Mama kembali memanggil nama saya. Ini seperti memori masa kecil ketika saya malas untuk sekolah dan Mama terus membujuk saya.

Saya hanya mandi dan salat Taubat seadanya. Saya tidak tahu bagaimana harus bertobat selain meminta ampunan kepada Allah. Entah cukup atau tidak. Setidaknya itu cukup memuaskan Mama. 

Saya menyantap nasi goreng buatan Mama dengan lahap. Kenapa rasanya begitu nikmat? Kenapa begitu nyaman kondisi ini? Padahal, selama ini saya menjauhi Mama. Kenapa Mama seolah-olah merasa saya wajar-wajar saja melakukan hal itu? 

Tepat azan Zuhur, Mama segera mengambil wudu di kamar mandi dan menyuruh saya melakukan hal yang sama. Apakah saya sekarang sedang bermimpi? Di mana apartemen saya yang nyaman? Kenapa saya terdampar di “pesantren”? 

Dengan malas-malasan, saya mengikuti semua kemauan Mama. Mama meminta saya menjadi imam, tapi saya terbata-bata mengeja Al-Fatihah. Mama salah, menyamakan saya dengan Bang Nero. Salah besar! Maka, ketika Mama membaca Alquran selepas salat Zuhur, saya memilih untuk ke luar kamar. Nongkrong sejenak di kafe dekat apartemen lebih menyegarkan pikiran. Itu pikir saya. Ternyata saya salah. Melihat perempuan-perempuan seksi duduk dengan manis, menarik perhatian dengan kopi, saling bergerombol dan tertawa membuat saya semakin sakit. 

Mungkin mereka perempuan baik. Baik dalam kategori mereka sendiri. Tapi, mereka bukan perempuan salihah. 

“Sebenarnya perempuan seperti apa yang kamu cari, Hanif?” 

Perempuan yang tidak selingkuh. Itu saja! Cukup! 

“Tapi, bagaimana menjamin seorang perempuan tidak akan selingkuh?” Lagi-lagi ucapan Bang Nero menyihir saya.

“Setidaknya, jadilah lelaki saleh agar bisa mendapatkan perempuan salihah. Orang yang taat kepada Allah tak akan melakukan selingkuh, hal yang jelas diharamkan agama.”

“Hanif.”

Saya terlonjak kaget, menumpahkan sebagian kopi yang sedang saya pegang. Mama sudah ada di samping saya dengan senyum kecil.

Perempuan-perempuan yang tadi melirik saya dan mencari perhatian langsung mencibir dan sibuk sendiri dengan gosip murahan lainnya. Saya berdiri dan mendorong Mama keluar dari kafe. 

“Pintu apartemen sudah dikunci, Ma?”

“Bukankah terkunci otomatis?” Mama menyerahkan kartu kunci apartemen kepada saya. Saya manggut-manggut sekaligus senang. Artinya, Mama sudah mau pulang. 

“Oke, sampai jumpa, Ma.” Saya melambai, siap menjawab waalaikumsalam

“Jumpa ke mana? Mama mau ajak kamu ke rumah Bang Nero. Hari ini dia ulang tahun. Kita mau mempersiapkan kematian.”

“Apa?”

***

 

Aku

            Aku baru saja selesai membantu Nenek berwudu ketika Salsabila datang. Anak kecil ini sepertinya terlalu dibiarkan bebas berkeliaran. Meskipun ia telah mendapat antivirus, tak ada yang bisa menjamin ia benar-benar bisa selamat dari serangan virus ini. Aku menarik Salsa menjauh dari Nenek yang kini sedang salat dengan posisi berbaring. Nenek sudah tak bisa lagi duduk. Virus itu telah melumpuhkan sebagian tubuhnya, menghanguskan sebagian besar energinya. Membuat Nenek begitu lemah. 

            Aku menggandeng Salsabila sampai di depan koridor. Di sana Sena sudah menunggu. 

            “Maaf, Salsa tadi bersikeras ingin pamit kepadamu.” Sena menggendong Salsa yang bertubuh mungil itu. 

            “Iya, tidak apa-apa. Sebaiknya Salsa segera pergi. Hari sudah siang dan aku harus ke Bandung untuk memenuhi hajatmu juga, kembali ke rumah Miss Margaretha.”

            “Terima kasih.”

            Dialog kami lalu menjadi dialog sunyi. Sekilas, kami saling pandang, aku mengalihkannya dengan cepat dan memandang Salsa. Aku mencubit pipinya lembut. 

            “Sampai nanti.”

            “Assalamualaikum, Tante Raya! Cepat sehat, ya, Tante!” seru Salsa riang. 

            “Waalaikumsalam,” jawabku tenang. 

Sena hanya mengangguk, kemudian berbalik badan. Punggungnya menghilang di balik pintu lift otomatis. 

            Aku menggelengkan kepala, berusaha mengaburkan bayang-bayang aneh seputar sosok Sena. Awalnya aku mengira dia lelaki cengengesan. Kemudian, aku sedikit terpesona, lalu ternyata dia sudah mempunyai seorang anak. Sikapnya tadi pagi mengubah semua image-ku tentang dia. Dia lelaki jantan dan tangguh. Hanya lelaki jantan yang berani melamar seorang perempuan dan tidak mengajak pacaran. Dan, dia juga lelaki yang sportif, dia tak marah, tak terlihat kecewa dengan penolakanku. 

            Andaikan saja aku bisa menerimanya. Sayangnya, aku terikat janji denganmu. Maka, aku segera menitipkan Nenek kepada perawat penjaga dan tak menyia-nyiakan waktuku untuk segera pergi kembali ke rumah Miss Margaretha. Surat cintaku … surat cinta itu harus segera sampai kepadamu. Aku harus menemukanmu segera. Di mana pun dirimu berada. 

            Hari ini ternyata ada peringatan Hari Buruh. Demo buruh besar-besaran sudah menjadi tradisi sejak ratusan tahun yang lalu. Kemacetan pun menjadi tak terkendali. Aku pikir daya tahan tubuhku sudah membaik, tetapi di dalam mobil badanku kembali menggigil. Aku berusaha untuk bertahan selama berjam-jam. 

            Matahari sudah tergelincir jauh, bulan segera memamerkan pesonanya, dan aku baru tiba di depan pintu gerbang rumah Miss Margaretha. Berdiri di depan pintu ini mengingatkanku pada nyeri akibat tusukan paku itu. Beruntung nyeri itu sudah sedikit menghilang meskipun kakiku masih merasa sedikit kaku. Setelah melewati pengawasan yang ketat serta tanya jawab yang membosankan karena aku mempunyai janji pertemuan, akhirnya aku bisa masuk. 

            Aku diminta untuk menunggu karena Miss Margaretha masih dalam perjalanan pulang dari Padang. Aku beruntung karena Miss Margaretha masih bisa kutemui. Ternyata Miss Margaretha hanya mampir sebentar ke rumahnya sebelum bertolak ke Austria. Maka, salah satu pelayannya mengingatkanku agar berbicara seefektif mungkin, karena aku hanya memiliki waktu bicara lima menit. 

            Baiklah, aku tak butuh banyak diskusi saat ini. Aku hanya membutuhkan surat cinta itu kembali serta meminta kunci peti perak kecil ini. Maka, agar semua berjalan cepat, aku mengeluarkan peti perak kecil itu dan segera memperlihatkan kepada Miss Margaretha begitu ia memasuki ruang tamu. Benar dugaanku. Miss Margaretha terbelalak melihat peti itu. 

            “Dari mana kamu mendapatkan benda antik itu?” 

            Sepertinya pembicaraan ini akan berlangsung lebih dari lima menit. Maka, aku menyimpan pembahasan ini dan langsung bertanya soal surat cintaku untukmu. 

            “Apakah Miss melihat selembar surat tulisan tangan, kira-kira berisi lima lembar, dalam amplop putih yang kusam? Mungkin terjatuh di sekitar sini tempo hari.”

            “Ah ….” 

Aku bersyukur Miss Margaretha tidak bersikukuh untuk segera mendapatkan jawaban. 

“Surat itu. Malam setelah kita bertemu, saya berhasil mencari tahu di mana Mas Hanif tinggal saat ini.”

            “Di mana?” tanyaku memburu. Spontan berdiri.

            “Mas Hanif berpesan agar saya tidak memberi tahu siapa pun. Keesokan harinya, salah satu pelayan di sini menemukan surat cintamu. Saya pikir, surat itu memang ditujukan untuk Mas Hanif karena di amplop memang tertulis begitu. Jadi, saya sampaikan langsung kepadanya.” 

            Aku kembali terduduk lemas. Berada dalam rasa lega sekaligus sedih. Mengapa kamu tidak mau bertemu denganku? Tapi, surat itu … surat itu sudah sampai ke tangannya.  

            “Sebenarnya aku lebih suka mengantarkannya sendiri,” kataku agak tidak terima dengan kenyataan itu, alih-alih aku berterima kasih.

            “Maafkan kelancangan saya karena saya tidak tahu nomor kontak kamu. Kamu tahu, kan, bahwa saya adalah manusia masa lalu yang tak terlalu terkoneksi dengan teknologi masa kini?” Miss Margaretha mulai melirik jam tangan kunonya. “Kamu tenang saja, saya tidak membaca isi surat itu.”

            “Apakah dia membacanya?” Aku berharap bisa mendapat pembahasan lebih.

            “Ya.”

            “Apakah dia mau kembali? Bagaimana reaksinya?”

            “Setelah membaca itu, dia hanya bergeming. Saya mengutip Alquran surat At-Tariq ayat 9 dan 10. Pada hari ditampakkan segala rahasia, maka manusia tidak lagi mempunyai suatu kekuatan dan tidak pula ada penolong. Saya tegaskan kepadanya bahwa dia harus kembali untuk menyampaikan rahasia yang belum dia sampaikan kepadamu. Daripada dia malu saat segala rahasianya ditampakkan di akhirat nanti.”

            “Rahasia apa?”

            “Soal kematian ayahmu.”

            Sekonyong-konyong, aku teringat dengan Sena, lalu aku membuka peti kecil di tanganku dan menatap test pack dengan bercak darah di sana. 

            “Siapa yang memberi peti perak kecil itu kepadamu?” 

***

            

Saya

            Saya tak percaya dengan istilah yang diucapkan Mama, “mempersiapkan kematian”. Apanya yang mempersiapkan kematian? Pemandangan yang saya lihat malam ini adalah Bang Nero yang sedang tertawa-tawa dengan anak-anak yatim piatu yang entah mengapa jumlahnya banyak sekali. Mungkin nyaris sampai seratus orang. Kepala saya masih pusing dan tak menikmati momen ini. 

            Mama menyuruhku melakukan ini dan itu; mengangkat bangku, meja, menata makanan. Istri Bang Nero sendiri sudah terlihat sibuk dengan segala “tetek bengek besek” serta amplop yang dibagi-bagikan Bang Nero. Huh, sudah merasa kaya raya, ya? 

            “Bagaimana acara persiapan kematian kita kali ini?” tanya Mama setelah semua anak yatim piatu itu pulang dan menyisakan kelelahan luar biasa bagi saya. Lelah fisik dan batin. 

            “Alhamdulillah, insya Allah menjadi bekal di akhirat nanti,” jawab Bang Nero senang. Ia menepuk lengan saya yang menutupi mata. Saya berdecak kesal, merasa dijebak dan tak berdaya. Ini tidak keren sama sekali, saya kembali berbaring di atas karpet karena Mama melarang saya segera pulang. 

            “Hanif pasti lelah. Biar saya buatkan teh manis hangat,” istri Bang Nero bersuara. 

            “Nggak usah, Sayang. Hanif tidak suka minum teh,” jawab Bang Nero.

            Saya berusaha mengabaikan keberadaan mereka dan ingin sekali rasanya melawan Mama. Tapi, mengapa hari ini saya kehilangan akal untuk mengarang alasan? Segala macam alasan yang saya ucapkan selalu dipatahkan Mama. Malam ini saya harus menginap di sini!

            “Hanif, kamu masih mimpi aneh lagi?” tanya Bang Nero. Sepertinya dia tidak peka dengan posisi saya yang sudah mau tidur. 

Akhirnya saya membuka mata dan mengangguk kecil. 

“Masih mimpi yang sama?”

            “Ya.”

            “Nero sudah cerita soal mimpi kamu, Hanif. Kalau kamu masih memimpikan hal itu, mungkin itu memang pertanda.”

            Saya teringat perempuan di rumah sakit itu. Bagaimana keadaannya sekarang? Masih hidupkah? Kalau memang benar prediksi mimpi itu, maka tiga hari lagi saya akan mati.

            “Huh, tak bisakah cari tema lain selain kematian?” Saya terduduk. Posisi saya ternyata tepat berada di tengah karpet. Mama, Bang Nero, istrinya, dan keempat anak Bang Nero mengelilingi saya. Jadi, tadi saya seperti posisi jenazah? Dikelilingi begitu? Saya langsung merinding. 

“Terus, apa maksud Mama bahwa itu pertanda? Pertanda saya akan mati?” Saya berusaha untuk tak terdengar ketus, tapi percuma, sudah saya lakukan. 

            Di luar dugaan, Mama tertawa. Kehidupan pesantren sudah mengubahnya menjadi perempuan yang sangat salihah. Dulu, kalau saya ketus sedikit saja, Mama pasti sudah mencubit saya. Sekali lagi, saya kehilangan Mama yang dulu. Mama yang sekarang masih asing bagi saya. Mama lalu menepuk lutut saya kencang. 

            “Semua orang pasti akan mati. Roh berpisah dengan badan. Roh berada di alam barzakh, sementara jasad hancur di dalam kubur. Tanda-tanda kematian selalu ada, kan, Hanif sayang? Jangan sewot begitu, dong. Nanti gantengnya hilang.” Mama mengelus pipi saya seperti saya ini baru berusia lima tahun.

            Istri Bang Nero menahan tawa, anak-anak mereka juga ikut tersenyum di belakang bahu ibunya. Saya baru sadar bahwa keempat keponakan saya ini lucu-lucu, tapi mereka seperti takut dengan saya. Memang, sih, saya sangat jarang datang ke sini dan tidak suka dengan anak kecil sehingga sering menampakkan wajah garang. Tanpa sadar, saya memelototi mereka. Ketiga anak yang lain langsung lari masuk ke dalam kamar, sementara si Bungsu yang baru berusia lima tahun tersenyum manis pada saya, memamerkan deretan gigi yang putih bersih. 

            Ternyata senyum anak kecil itu menyejukkan, ya.

            Tawa Bang Nero sayup-sayup masih saya dengar. Ia merangkul saya kencang. 

“Santai saja, Hanif. Mama hanya mengungkapkan fakta. Tanda-tanda kematian itu, kan, bertaburan di dunia ini. Seperti ulang tahun abangmu ini, salah satu tanda kematian, berkurang jatah hidup setahun, hehe …. Karena, kematian itu, kan, sejatinya pintu menuju perjalanan akhirat yang akan kita tempuh. Kita semua sedang berjalan ke pintu itu.”

            “Kalau Mama, lihat tanda kematiannya sudah semakin dekat. Badan sudah bau tanah, keriput di mana-mana, rambut memutih, badan ringkih, organ tubuh menua ….”

            Bang Nero tertawa meskipun tak terbahak. Mama pun terlihat girang dengan obrolan yang absurd ini. Mana ada orang ngobrolin kematian seolah-olah sedang bercerita tentang jalan cerita sinetron Indonesia! Tapi, senyuman mereka memudar ketika Bang Nero mulai bersenandung lirih. 

            “Apabila langit terbelah, bintang-bintang jatuh berserakan, lautan dijadikan meluap, dan kuburan-kuburan dibongkar. Maka, setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.”

            “Syairnya bagus, Bang, tapi bikin merinding. Nyeremin,” cetus saya.

            “Memang pasti bikin jiwa merinding, karena itu adalah terjemahan Alquran surat Al-Infitar ayat 1 sampai 5. Mau mendengar kelanjutannya?”

            Saya menguap bosan, lalu berdiri.

            “Hanif, jangan pulang. Mama mau semua berkumpul di sini.” Mama menarik lengan saya. Saya menatap dengan jenuh. 

“Mama mohon,” sambung Mama.

            Akhirnya saya mengalah dan duduk kembali di sebelah Mama. Saya menyandarkan tubuh ke tembok dan memejamkan mata, sementara Bang Nero terus menyenandungkan ayat-ayat ... apa tadi? Entahlah. Saya merasakan kelelahan yang luar biasa serta nyeri di bawah dada. Ada apa dengan saya?

            Suara Bang Nero masih terdengar bahkan ketika saya sudah mulai bermimpi hal yang sama. Saya berjalan di atas gundukan tanah, lalu berjalan di sebuah taman, melihat ke sekeliling taman yang suram.

            “Kematian pasti datang pada setiap insan, namun tak ada seorang pun yang tahu kapan dan di mana. Seperti apa kematiannya, apa sebabnya. Kita hanya bisa berusaha beribadah sebaik-baiknya agar kelak bisa meninggal dalam husnulkhatimah.”

            Saya merasakan napas saya sesak, rongga dada saya seperti dijepit kencang, tulang belulang saya rasanya pecah dan retak. Saya tergeletak di Taman Pelangi, saya tak melihat siapa-siapa, pun perempuan itu. 

            Sudah berakhirkah teror mimpi ini? Atau ini adalah akhir hidup saya? Dada kiri saya semakin nyeri. Debar jantung saya terasa semakin cepat, seperti mau melompat dari penyangganya. “Jangan sekarang, saya belum siap. Demi Tuhan, jangan sekarang.”

Udara … saya butuh udara. Kenapa badan saya terasa panas? 

            “Sudah saatnyakah? Apakah perempuan berjilbab hijau itu sudah meninggal?” 

            “Semuanya dipercepat.” Suara perempuan itu! Di mana dia? 

Saya berusaha berdiri untuk mencari sumber suara itu, namun tubuh saya sudah benar-benar membeku. Saya merasa sangat kedinginan. 

“Ternyata malam ini saya harus pergi, setelah itu ... kamu.”

            “Hei!”

            “Tenang, Hanif, kita akan baik-baik saja. Saya harap seperti itu.”

            Mata saya jalang melihat ke sana kemari, pandangan saya terbatas karena leher saya sama sekali tak bisa digerakkan. Saya harus bangun dari mimpi ini. Lalu, terdengar suara isak perempuan itu.

            “Benarlah bahwa kematian adalah rahasia Allah. Saya, dokter, dan semua ahli kesehatan hanya mampu memprediksi. Kapan tepatnya tak ada yang tahu.”

            “Kamu bilang tiga hari lagi!” Saya berteriak begitu, tapi anehnya bibir saya terkatup.

            “Saya bukan Allah. Saya salah, asal bicara. Tapi, setelah saya pergi … kamu juga pergi. Jika Allah berkehendak begitu.”

            “Kamu! Siapa kamu? Siapa?” 

            Tiba-tiba saya merasakan tubuh saya bergetar hebat.

            “Astagfirullahalazim! Nero! Masya Allah … Nero … la ilaha ilallah … Nero!”

            Kenapa Bang Nero? Ini saya, Ma. Saya Hanif. Saya yang sedang merasakan kesakitan. Saya merasakan sakit luar biasa. Rasanya seperti ditikam pisau ketika saya remaja dulu, tapi ini jauh lebih sakit. Mungkin ada ratusan pisau. Tidak … lebih sakit. Arrghh …. Perihnya luar biasa. Sesuatu yang asing memaksa untuk keluar. Seseorang menarik saya keras, tubuh saya terangkat lalu berdebam. Sakit …. Saya tak kuasa melawan. Ada kekuatan dahsyat yang menguasai saya. 

            “Bang Nero … Bang Nero!” Suara istri Bang Nero terdengar menjerit.

            Mengapa lagi-lagi Bang Nero? Ini Hanif? Selamatkan saya! 

Saya dicabik-cabik. Kulit saya terkelupas, tulang saya patah, darah berhamburan ke mana-mana. Saya hanya bisa mengerang, kehilangan segala rasa. Semuanya lalu hampa. Tersisa perih yang berkepanjangan.

            “Innalillahi wainna ilaihi rajiun …,” suara gumam lirih Mama yang terakhir kali saya dengar. 

***

 

Aku

            Aku tahu Miss Margaretha menunggu jawabanku. Ia mengabaikan panggilan asistennya yang mengatakan bahwa Miss Margaretha harus segera pergi. 

            “Ceritakan saja, apa kamu membeli ini dari toko barang antik?”

            “Bukan.”

            “Boleh saya pegang? Karena, peti ini familier bagi saya.” 

            “Silakan.” Aku membiarkan Miss Margaretha mengambil peti itu dari tanganku. “Sebenarnya ini bukan peti milikku. Seseorang bernama Sena, cucu dari Stephen Cow, memberikan peti ini kepadaku. Dia bilang, Anda memiliki kunci untuk laci kecil di bawah peti ini.”

            Miss Margaretha memandangku dengan penuh rasa heran. Aku yakin dia mempunyai segudang pertanyaan untukku. Aku pun begitu terhadapnya. 

            “Stephen Cow? Maksudmu Abdul?”

            “Abdul? Aku tidak kenal Abdul. Aku hanya kenal Sena, cucu Stephen Cow. Aneh sekali … ini rumit sekali,” aku mengerutkan kening. “Aku sendiri antara percaya dan tak percaya, mustahil. Karena, dia bilang, test pack di dalam peti itu adalah penyebab kematian ayahku, lalu ada surat dari Stephen Cow untuk ibuku yang disimpan di dalam laci kecil itu. Ceritanya rumit, sungguh tidak masuk akal.”

            “Tunggu di sini, saya akan membatalkan perjalanan. Ini benda antik, bukan benda yang dijual di pasaran. Dari mana benda ini berasal, saya harus tahu.”

            “Anda memegang kuncinya?”

            “Ya,” tegasnya. 

            Ketika Miss Margaretha berbalik badan untuk berbicara dengan asisten pribadinya, ponsel kunoku berbunyi dari dalam tas. Aku mencari ponsel lawas itu, kemudian dengan susah payah menjawab panggilan. 

            “Assalamualaikum, Dokter Barbara. Ada apa?”

            “Waalaikumsalam, Raya. Kamu harus ke rumah sakit sekarang juga. Madam Sakinah dalam keadaan kritis.”

            “Siapa?”

            “Madam Sakinah, nenekmu,” jawab Dokter Barbara dengan nada sangat panik. 

Aku terkesiap, sudah begitu lama aku tak menyebut nama Nenek. 

“Kembali sekarang, Raya. Nenekmu koma. Kembalilah sebelum dia benar-benar sampai titik akhir.”

            Napasku tercekat, jemariku bergetar, ponselku terjatuh tepat ketika Miss Margaretha mengatakan, “Saya akan mengajakmu bertemu Mas Hanif. Saya rasa, masalah surat untuk ibumu tentu berkaitan erat dengannya.”

***

 

Saya

            Saya mendengar suara orang ramai-ramai membaca surah Yaasin. Surah yang lazim dibacakan bersama di malam Jumat atau ketika ada orang yang baru saja meninggal. Lalu, saya mencium bau bunga melati yang menyengat. Sesekali, saya menangkap suara isak tangis anak-anak, lalu berganti suara tahlil. Baunya seperti bau jenazah. Apakah tubuh saya sudah menjadi mayat? Apakah saya diberi kesempatan untuk melihat jasad terakhir saya? Saya merasa melayang-layang, tapi tak ada satu pun yang bisa saya lihat. 

            Terbaringkah saya? Seperti apa rupa saya? Apakah seperti Bima dengan mata melotot ketakutan dan mulut menganga sulit ditutup? Apakah menakutkan? Semenyakitkan apakah kematian saya? Siapakah yang menangisi saya? Ke mana saya selanjutnya akan pergi? Saya terombang-ambing. Sekeliling saya hanya hitam pekat. Sangat pekat. 

            “Hanif … Hanif,” saya mendengar sayup-sayup suara Mama. 

            Kemudian, saya menyadari bahwa saya bernapas. Oksigen yang masuk ke hidung saya terasa begitu nikmat. Seolah-olah saya sudah tak bernapas ribuan tahun. Lalu, saya bisa merasakan kepala saya berdenyar, menyadari keberadaan detak jantung saya. Seketika, cahaya putih … blash … menerpa penglihatan saya. Kelopak mata saya bergerak naik turun.

            “Alhamdulillah, kamu sudah bangun.” 

Saya melihat senyum lebar Mama, ekspresinya terlihat sedih sekaligus lega. 

“Kamu tidur begitu lama. Semua orang berusaha membangunkanmu. Mama pikir kamu pingsan, tapi kamu bernapas begitu tenang. Bahkan mendengkur,” Mama membelai rambut saya. “Kamu tidur begitu damai.”

            “Saya belum mati, Ma?” Pertanyaan sekaligus ungkapan kegirangan saya. Begitu Mama menggeleng, saya tertawa sendiri. Saya merasa lebih segar. Ternyata “kematian” yang saya alami hanya mimpi. “Hahaha … saya mimpi saya mati, Ma. Gila … sakitnya luar biasa.”

            Wajah Mama menegang, ia tak menanggapi tawa saya. Mama hanya mengambilkan segelas air putih dan memberikan saya minum. Sambil terus tersenyum girang seolah baru memenangi lotere, saya meneguk air dengan semangat.

            “Hanif,” suara Mama mulai bernada bijak, “ketika kita nanti dibangunkan di akhirat, kita akan merasa bahwa kehidupan di dunia ini seperti mimpi. Begitu singkat, begitu cepat. Begitu tak terduga.”

            “Saya senang saya bangun dari mimpi saya. Saya sudah ketakutan, Ma. Saya takut saya benar-benar mati.” Saya menepuk-nepuk pipi saya, lalu mencubit pipi Mama. Kemudian, saya melihat ke sekeliling. Ini pasti kamar Bang Nero dan istrinya karena saya melihat ada foto pernikahan digantung di sana. Baru kali ini saya tidur di kamar Bang Nero. Adem. Nyaman meskipun tanpa AC. Hawanya tenang. 

            “Ma, Bang Nero sudah mau dikuburkan.” Istri Bang Nero masuk menerobos kamar begitu saja. Saya mencerna kalimat yang ia ucapkan. 

“Hanif sudah bangun? Alhamdulillah. Mari, Hanif, kita sama-sama ke tempat peristirahatan terakhir Bang Nero.” Senyum istri Bang Nero mengembang. 

            Ini pasti gila. Saya masih mimpikah? Saya menepuk-nepuk pipi saya lagi. 

            “Ma? Tadi dia ngomong apa? Lelucon soal kematian lagi?”

            Mama dan istri Bang Nero tidak menjawab, mereka hanya menerbitkan senyum. Tapi, tunggu dulu, saya menangkap wajah sembap Mama, mata merah istri Bang Nero, dan isak tangis anak-anak di ruang depan. Lalu, suara-suara orang bergumam; satu suara, dua suara, lebih dari sepuluh suara. Kemudian, langkah-langkah kaki. 

            Mama menggamit lengan saya untuk berdiri, membimbing saya ke ruangan depan. Di sana, beberapa orang lelaki muda seusia Bang Nero sedang mengangkat sesuatu. Mereka bersama-sama mengucap bismillah, kemudian sesuatu itu dibawa perlahan ke luar rumah. Keranda. 

            “Siapa yang meninggal, Ma?” Suara saya bergetar. 

            “Nero,” jawab Mama menahan sendu, tapi bibirnya tersenyum.

            Ada tangan tak terlihat yang sepertinya menarik seluruh tulang di kaki saya sehingga saya merosot jatuh terduduk. Lemas. Mama bersimpuh di depan saya sambil mengelus rambut saya dengan lembut. 

            “Ayo, Hanif, kita antar Bang Nero ke tempat peristirahatan terakhirnya.”

            Saya menggeleng berkali-kali. Ini pasti mimpi, kan? Pasti saya tertidur lagi. Tapi, Mama memeluk saya erat dan saya bisa merasakan kehangatan pelukan Mama. Saya ingin merasakan isak atau bahu yang berguncang-guncang, tapi saya tidak dapatkan itu. Mama malah tersenyum dan kembali meminta saya untuk ikut mengiringi jenazah Bang Nero. Saya melihat istri Bang Nero juga tersenyum pada anak-anaknya yang menangis. 

            “Ayah sudah pulang, kembali sama Allah. Kita hanya menunggu giliran, ya, Sayang.”

            Psikopat semuanya! Seharusnya mereka menangis!

***

            

Aku

            Aku berlari memasuki koridor tempat Nenek dirawat. Tawaran Miss Margaretha tadi begitu menggiurkan, akan tetapi aku harus mendahulukan keselamatan Nenek. Dokter Barbara bilang, Nenek membutuhkan aku. Aku meminta izin kepada Miss Margaretha agar aku menemui Nenek dulu di rumah sakit. Setelah itu, kami sepakat menemui kamu di daerah Padang. Akulah satu-satunya kerabat Nenek yang paling dekat dengan Nenek. Aku harus membuat Nenek kembali ke dunia nyata. 

            Di layar laboratorium terlihat potongan-potongan kenangan Nenek yang memudar. Kenangan-kenangan itu lalu redup perlahan-lahan. Dokter Barbara bilang, itu pertanda buruk. Karena, jika tak ada lagi yang dipikirkan, maka V-Diamond bisa dengan ganas menghajar jantung Nenek. Beruntung, samar-samar Dokter Barbara melihat sosokku di sana meskipun redup dan timbul tenggelam. Setidaknya itulah yang dipikirkan Nenek saat ini. Nenek sedang berjuang dengan penyakitnya. 

            Kemudian, ada sosok kamu di sana. Di layar itu. Aku tahu, Nenek pun sangat merindukan dirimu. Rasanya tak sabar ingin segera bertemu denganmu dan membawamu ke hadapan Nenek. Aku kembali ke kamar Nenek dan duduk di samping tempat tidur. Perlahan-lahan, aku menggamit jemari Nenek yang dingin. Jemari yang selalu membelai rambutku, jemari yang selalu merawatku sejak kecil, jemari yang kelak akan diciptakan kembali oleh Allah pada hari kebangkitan. Manusia akan diciptakan kembali dengan sama persis, bahkan sidik jarinya pun tak berubah. Aku berharap jemari inilah yang akan aku genggam di surga nanti, begitu juga dengan jemarimu. 

            “Nenek, sebentar lagi Nenek akan bertemu dengan Mas Hanif. Surat cinta dariku dan dari Nenek sudah dibaca olehnya.” Dadaku terasa seperti tisu, ada rembesan air berpolar di sana. Aku menahan tangis haru, membayangkan pertemuan yang akan terjadi. 

“Nenek harus bertahan. Seperti Raya, Nenek harus bertahan. Raya mohon, tetaplah di sini sampai dia kembali. Cinta akan menyatukan dua hati, cinta akan kembali menghidupkan hati yang mati. Cinta akan memberikan kekuatan. Nenek yang selalu mengatakan itu, kan?”

            Aku menciumi wajah Nenek berkali-kali, seolah wajah itu tak bisa kulihat lagi. Siapa yang tahu pasti kapan mati menghampiri? Nenek diprediksi bisa hidup tiga hari lagi, tapi Nenek sudah koma sekarang. Aku diprediksi akan segera menyusul Nenek, tapi aku masih sehat sekarang, masih bisa mengendalikan kenanganku yang liar. 

            Tak ada reaksi dari Nenek. Semoga ini bukan berarti ucapanku tak terdengar. Aku meyakini sepenuh hati bahwa Nenek bisa mendengarkanku. Aku berpamitan, kemudian segera pergi ke tempat parkir. Di sana Miss Margaretha sudah menungguku. Kami akan segera ke bandara, naik pesawat pribadi Miss Margaretha, kemudian terbang ke Padang. 

            Aku ingat Padang. Tempat seribu bagonjong. Daerah yang penuh perbukitan, pegunungan, lembah anai yang indah dan masih terjaga, jam gadang, gua Jepang, Bukittinggi … ke sanalah kami akan pergi. 

***

 

Saya

            Saya bersimpuh di samping gundukan tanah yang masih basah. Di bawah sana, jasad Bang Nero sudah dikebumikan. Saya sempat melihat wajah terakhirnya, wajahnya teduh dan seperti bercahaya. Berbeda dengan wajah Bima yang penuh ketakutan. Bang Nero sedang tertidur, tetapi mengapa ia memilih tidur di tempat yang kotor, bau, pengap, dan penuh binatang seperti di kuburan ini? Jasadnya akan dimakan binatang. Hancur!

            Bayangan tubuh Bang Nero yang tegap, gagah, dan tampan sirna sudah. Segala macam kenangan tentang Bang Nero yang memang tak seberapa menjejali kepala saya. Lebih banyak kenangan menyebalkan karena saya lebih banyak didakwahi olehnya. Tak ada kalimat yang nyaris tak ada makna. Bang Nero tak suka bersenda gurau terlalu berlebihan. Tapi, semalam ia bersenda gurau kepada saya. Tertawa lepas, seolah-olah itu adalah tawa terakhirnya. Sekuat tenaga saya menahan air mata, tetap saja sia-sia. Isak saya lepas ketika tanah terakhir ditata di atas gundukan. 

            Saya sebal diceramahi olehnya, terutama soal kematian. “Kematian itu rahasia Allah. Tak ada yang tahu kapan,” katanya berulang-ulang. Sekarang? Ya, rahasia itu membuat saya bisu. Membungkam saya. 

            “Semalam, kan, masih sehat, Ma,” ujar saya untuk kesekian kalinya. 

            “Bahkan orang sehat pun bisa meninggal mendadak. Orang yang sakit parah pun masih bisa bertahan hidup. Jadi, untuk apa kamu terus begini, Hanif? Mendekatlah kepada Allah.” Mama menepuk pundak saya, lalu memberi isyarat agar saya berdiri          

Saya melihat ke pintu pemakaman. Orang-orang sudah berduyun-duyun pergi. Istri Bang Nero dan ketiga anaknya sudah berjalan menjauhi makam. Bukankah seharusnya dia meratap? Mengapa jadi saya yang enggan pergi dari makam ini? Saya masih tidak percaya Bang Nero sudah meninggal. Padahal, semalam saya yang merasa kesakitan.

Mama akhirnya menarik lengan saya agar berdiri. Saya berdiri dan ikut saja ke mana Mama membawa saya. Sambil terus melangkah pergi, mata saya tak berhenti memandang nisan kayu bertuliskan Nero Robby Ardiano. Lahir: 22 Maret 1978. Wafat: 14 Juni 2014.

Hati saya nyeri, dia masih muda. Belum genap empat puluh tahun. 

Lantas, kapan saya?

Pertanyaan itu berdebam keras. Seperti sebuah gunung yang tiba-tiba terbelah, memuntahkan segala isinya. Mengguncangkan bumi, mengguncang kesadaran saya. Ketika saya ke luar pintu gerbang pemakaman, saya melihat seorang perempuan dari arah pintu lain berlari ke arah makam Bang Nero. Perempuan itu cantik, berjilbab, memakai gamis, dan terlihat anggun. Tapi, air matanya berderai. Saya yakin tak salah lihat, perempuan itu menangisi pusara Bang Nero. Siapa dia?  

***

 

Aku

Aku dan Miss Margaretha duduk berhadap-hadapan di dalam pesawat. Ini benar-benar pesawat pribadi. Sekaya apa pun kakek dan nenekku, mereka tak akan mampu membeli pesawat ini. Berarti Miss Margaretha benar-benar berlimpah dalam hal materi. Memang baru lima belas menit kami tak saling bersuara, tetapi sungguh membuatku tak nyaman. Aku pun berdebar-debar luar biasa karena tahu akan segera bertemu denganmu. Rasanya gelisah setiap helaan napas. Aku harus bisa mengontrol diri. 

“Uhmm … Miss Margaretha, maaf kalau saya lancang. Miss punya hubungan pribadi apa dengan …”

“Mas Hanif?” Miss Margaretha menyelaku. Aku mengangguk. 

Miss Margaretha mengambil segelas air putih dari meja kecil di antara kami, meneguknya sebelum kembali berbicara. “Kamu tenang saja. Saya bukan tipe perempuan yang akan menghancurkan percintaan orang lain. Meskipun Mas Hanif sudah bercerai dengan istrinya, saya pantang menjadi orang ketiga.” 

Mata Miss Margaretha berkaca-kaca, ia tersenyum getir. “Dulu sekali, saya pernah menjadi orang ketiga dalam hubungan pernikahan seseorang.”

“Siapa?” tanyaku cepat dan langsung membodohi diri sendiri karena sudah begitu lancang. 

Awalnya Miss Margaretha menatapku tak senang, tapi sepertinya ia juga membutuhkan seseorang untuk memuntahkan semua isi hatinya. 

“Abdul Jamal,” jawab Miss Margaretha pelan. Setelah itu, ia tidak berkata apa-apa lagi. Pandangannya beralih ke luar jendela, hanya ada kegelapan di sana. 

Malam seperti ini, aku merasa benar-benar ingin bertemu kamu. 

***

 

Saya

Saya merinding mendengar ucapan Mama. 

“Setan itu akan mengganggu kita. Sampai kita sakaratulmaut pun setan tetap mengusik kita, membisikkan kata-kata agar mengikutinya. Oleh karena itu, sudah sepatutnya sepanjang hayat kita selalu berusaha mendekat kepada-Nya.”

“Gila! Setan niat banget ganggu manusia.” 

Saya mengacak-acak rambut. Saat ini orang-orang yang mau melayat Bang Nero masih berdatangan. Banyak murid mengaji Bang Nero yang datang dan berdiskusi. Pertanyaan yang paling sering terlontar adalah bagaimana Bang Nero bisa meninggal?

Pertanyaan yang mengganjal saya sejak saya melihat jenazah Bang Nero di dalam keranda, namun begitu berat untuk saya tanyakan. Sementara, Mama dan istri Bang Nero terus menjawab pertanyaan banyak pelayat dengan senyum, seolah-olah mereka baru saja dapat hadiah undian. Saya duduk menyendiri di pojok ruang tamu. Saya kehilangan orientasi ruang, waktu, dan tujuan. Saya bingung luar biasa. 

“Memang dua hari yang lalu almarhum sempat bilang nyeri di dada dan perut. Rencananya semalam mau ke dokter, tapi beliau bilang nanti saja. Mumpung Hanif bisa datang bersama Mama. Almarhum kangen untuk kumpul bersama keluarga,” jawab istri Bang Nero tenang. 

Jadi, saya? Hanya karena saya Bang Nero tidak mau berobat? 

“Katanya masih ngobrol-ngobrol, Mbak. Kok, tahu-tahu meninggal?” tanya seorang murid yang sepertinya paling dituakan. 

“Iya. Setelah menyenandungkan nasyid gubahannya, Bang Nero batuk-batuk. Ia terlihat lelah dan mau tidur. Tapi, sebelum itu Bang Nero membangunkan adiknya yang tertidur di lantai. Bang Nero panik karena badan adiknya demam dan menggigil.” Suara Istri Bang Nero mulai bergetar, ia seperti menahan kesakitan akan kehilangan. Ya, sudah pasti kehilangan. 

“Tapi, adiknya tidak bangun-bangun. Bang Nero menggendong adiknya ke kamar dan bermaksud menelepon teman untuk pinjam mobil, mau dibawa ke rumah sakit. Tapi, tiba-tiba dia sesak napas. Tidak sampai lima menit, ia mengejang kesakitan. Sakaratulmaut. Mama membimbingnya hingga bisa mengucap dua kalimat syahadat.”

Mama kini kehilangan senyum, ia memeluk menantunya. 

Lagi-lagi karena saya. Perasaan bersalah menyergap diri saya. Kalau saja saya tidak demam mendadak, kalau saja saya tidak digendong Bang Nero, pasti Bang Nero masih hidup. Saya memang tidak terlalu dekat dengannya, tapi sekarang semua kebaikan almarhum terasa akrab di ingatan saya.  

“Hampir saja dia digoda setan. Sebelum mengembuskan napas terakhir pada pukul 02.00 malam, Bang Nero sempat bilang begini, ‘Ma, Papa datang ... Papa datang. Papa bilang, jangan percaya Allah … jangan percaya Allah.’” 

Mendengar ucapan Mama, saya tersentak. Tidak mungkin! Bang Nero itu lelaki saleh. Gila, apa? 

“Tapi, kemudian Mama berusaha untuk meyakinkan Bang Nero bahwa itu bukan Papa. Itu setan yang menggoda iman manusia di detik-detik sakaratulmaut. Mama berusaha untuk terus meyakinkan dia untuk mengucap dua kalimat syahadat. Betapa leganya saat dia bilang, ‘Ya, dia bukan Papa. Dia setan, sudah menampakkan wujud aslinya.’ Setelah itu, Bang Nero bergetar hebat. Bibirnya gemetar, badannya gemetar, air liurnya bercucuran, ia seperti ingin mengingat sesuatu tapi terkunci. Mama berusaha membimbingnya. Alhamdulillah … alhamdulillah … ia mengucap dua kalimat syahadat. Alhamdulillah, Allah yang ada di hari akhirnya.” Mama tersenyum senang. 

“Kenapa Mama senang begitu?” Saya tak tahan dengan senyum di tengah kedukaan saya. Saya merangsek, melintasi kerumunan orang yang menyimak Mama. Saya bersimpuh di depan Mama, ah… apakah saya menangis? Pipi saya basah. Sial! Saya pasti terlihat cengeng. “Bang Nero meninggal, sudah seharusnya kita nangis, seharusnya Mama sedih!”

Mama tersenyum. Samar-samar, saya bisa melihat matanya agak merah. Ia lalu mengelus lengan saya. 

“Mama bahagia karena insya Allah Bang Nero husnulkhatimah. Kematian itu sebuah keniscayaan, Hanif. Bolehlah bersedih, tapi tak perlu larut ditangisi. Kematian itu guru bisu dan sunyi. Dari kematianlah kita belajar bahwa hidup ini harus digunakan sebaik mungkin dengan beribadah. Mempersiapkan bekal untuk akhirat. Karena, kematian Bang Nero seharusnya menjadi pelajaran bagi Mama, bagi kamu, bagi semua orang yang mengenalnya.”

“Assalamualaikum … Ummi,” seorang perempuan masuk ke dalam rumah. Perempuan yang tadi kulihat menangis di makam Bang Nero. Setelah semua menjawab salam, perempuan itu menghambur ke pelukan Mama, kemudian ke pelukan istri Bang Nero. Tadi dia panggil Mama apa? Ummi?

“Ummi, maaf, Sakinah baru datang. Sakinah terlambat.”

“Tidak apa-apa, Kinah, berhentilah menangis.” Mama menyeka air mata Sakinah. 

“Kak, semoga Kakak kuat.” Perempuan yang dipanggil “Sakinah” itu memeluk istri Bang Nero. Adiknya? 

Mama lalu merangkul saya. “Ini Hanif, adik Bang Nero.”

Sakinah menatap saya yang susah sekali untuk berhenti terisak. Ah, masa bodoh. Ini, kan, memang momen kita boleh menangis sepuasnya. 

Sakinah mengatupkan kedua tangannya di dada, padahal saya sudah siap untuk memeluknya juga. Dia pasti kehilangan Bang Nero dan sudah pasti saya harus menganggapnya keluarga juga. 

“Hanif, Sakinah ini anak pesantren. Murid Bang Nero, tapi sudah Mama anggap anak karena dia yatim piatu. Dia baru saja lulus Biologi, ITB. Sakinah ini anak cerdas.”

Sakinah tampak malu dibanggakan oleh Mama. Saya agak cemburu, seumur-umur saya belum pernah dibanggakan begitu. Saya lalu memilih berdiri dan ke luar rumah, sementara Sakinah dan Mama mulai bercerita-cerita. Sampai di luar, masih banyak warga sekitar yang melayat, datang dan pergi. Saya duduk di pinggir jalan, di bawah tenda biru yang dipasang seadanya oleh pengurus RT. 

Pikiran saya mengembara liar. Mimpi-mimpi itu … soal kematian saya, perasaan sakit yang saya alami ternyata ilusi? Atau sugesti saya? Saya tak percaya ini semua. Kematian itu absurd. Sulit dipercaya. Roh berpisah dengan badan? Di mana rohnya? 

Saya mengacak rambut, kemudian meraba saku celana. Masih ada ponsel saya di sana. Saya segera mengambilnya dan bernapas lega karena belum “low bat”. Saya segera menghubungi Nancy, saya membutuhkannya saat ini. Saya menyesal telah begitu marah padanya, memutuskan untuk berpisah. Saya membutuhkan sebuah bahu. Sebuah belaian perempuan yang bisa menenteramkan. 

Berkali-kali saya menelepon, nyambung, dan berkali-kali juga tak diangkat. Nancy pasti marah pada saya. Saya harus memuntahkan gundah saya. Facebook! Sudah lama saya tidak update status, maka sudah sepantasnya saya membuat status. Menyatakan bahwa kakak tercinta saya meninggal, berharap komentar iba dan kasihan serta turut berduka. 

Sebenarnya apa yang saya resahkan? Bukan kematian Bang Nero, saya tahu betul itu. Tapi, kematian saya. Kenapa Bang Nero? Bukan saya? Apa arti mimpi itu? Apakah mimpi itu salah sasaran karena wajah saya dan Bang Nero memang agak mirip? Ataukah mimpi itu sebenarnya bersambung? Karena saya takut mati, setidaknya jangan hari ini, Tuhan.

Saya harus segera menemui perempuan berjilbab hijau dengan motif bunga matahari itu. Saya harus menemuinya. Tapi, ke mana harus saya cari?

“Mas Hanif.” Suara yang baru saya kenal mengagetkan saya, membuat saya mendongak dan mendapati wajah Sakinah di depan saya. Sekarang Sakinah tak lagi menangis, ia tersenyum. 

Saya melihat ke pintu gerbang rumah Bang Nero. Orang-orang yang keluar dari rumah itu pasti tersenyum, sementara yang masuk tampak bersedih. Mama sudah membubuhkan mantra bernama “husnulkhatimah”.

“Ya?”

“Ummi meminta saya untuk memanggilmu masuk.”

“Kamu dekat sekali dengan Mama saya?” Saya mendengar suara saya agak sinis.

“Iya, Ummi ingin punya anak perempuan, katanya. Mari masuk, Mas.”

Saya tak segera meresponsnya. Saya kembali melihat orang-orang yang keluar dengan tersenyum. “Mengapa husnulkhatimah bisa membuat orang senang?”

Tak langsung ada jawaban. “Karena, insya Allah, orang yang meninggal dalam keadaan husnulkhatimah atau dalam keadaan baik akan mendapatkan nikmat kubur dan masuk surga. Sebaliknya, bila kita meninggal dalam keadaan suulkhatimah atau dalam keadaan buruk, maka nerakalah tempatnya. Mas Hanif sendiri ingin masuk surga atau masuk neraka?”

Spontan, saya terbahak mendengar pertanyaannya. “Hah, pertanyaan buat anak kecil. Udah nggak zaman. Bahkan saya ragu, apakah surga atau neraka itu ada.”

Sakinah hanya tersenyum. Ia memiringkan kepala, seperti tanda bahwa ia menunggu jawaban saya. 

Saya dengan malas menjawab, “Oke, memangnya siapa orang bodoh yang mau masuk neraka?” Saya mengangkat kedua telapak tangan saya.

“Ya, orang bodoh di depan saya ini.” Sakinah balik tertawa. 

Sial! Dia ngerjain saya, ya? Saya mendelik, lalu tawanya berhenti. 

“Semoga Mas Hanif termasuk orang yang cerdas.”

“Heh, maksud lo apa?” Saya mulai kesal. “Maksud lo, gue bodoh?”

Sakinah mengangkat bahu. “Orang cerdas adalah orang yang selalu ingat kematian dan mempersiapkan bekal menuju kematian itu. Beribadah, memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk beribadah.”

“Elo sok tahu, ya. Emang gue nggak pernah ibadah?”

“Saya ragu, Mas Hanif. Bagaimana orang yang tidak percaya surga dan neraka mau beribadah kepada Allah. Apakah Mas Hanif meragukan Allah juga?”

Jawaban Sakinah menohok hati kecil saya. Pernah ada keraguan, tapi terlalu banyak keyakinan. 

“Saya yakin Allah ada. Tapi, kan, nggak mesti salat juga buat ngeyakinin orang kalau saya yakin sama Allah.”

“Alhamdulillah.”

Sakinah lalu melantunkan sesuatu, seperti mengaji, saya tak terlalu menangkap ucapannya. Ia lalu berkata, “Surat An-Nazi’at ayat 1 sampai 2. Demi malaikat yang mencabut nyawa dengan keras, demi malaikat yang mencabut nyawa dengan lemah lembut. Silakan Mas Hanif pilih, bahwa meskipun dicabut dengan lemah lembut sekali pun rasa sakitnya tak terperikan. Bayangkan bila dicabut dengan keras.” Sakinah bergidik sendiri, kemudian hendak berbalik badan. “Mari, saya masuk dulu mau bantu Ummi menyiapkan makan siang. Mas Hanif diminta masuk sama Ummi.”

“Jadi, semua orang senang karena Bang Nero husnulkhatimah?” Saya berdiri.

“Insya Allah, Mas Hanif. Semoga begitu adanya. Insya Allah. Semoga kita semua menyusul dalam keadaan baik, dalam keadaan husnulkhatimah.” Sakinah pun berlalu. 

***

 

Aku

Kami sudah sampai di bandara pribadi milik orang-orang kaya yang terletak di daerah Padang Panjang. Meskipun teknologi sudah berkembang sangat pesat, daerah ini tetap menjaga keasrian alam sekitar. Gunung Marapi masih kokoh dan tak lekang dimakan zaman. Perjalanan ke Bukittinggi kami lanjutkan dengan naik mobil listrik. Cepat dan terasa nyaman. Di sini belum ada kemacetan yang berarti. Hanya sesekali berhenti karena lalu lintas yang cukup padat. 

Jam Gadang tak pernah usang. Selalu direnovasi dan dilestarikan dengan baik. Mobil listrik melintasi great wall di Ngarai Sianok, menggoda aku untuk menaikinya. Tapi sayang, perjalanan kali ini bukanlah liburan. Ada hal yang lebih antusias untuk kulakukan, yaitu bertemu dengan kamu. 

Setelah bertahun-tahun, akhirnya kita akan berjumpa lagi.

Setelah ribuan hari penuh kerinduan, akhirnya kita akan saling berpelukan.

Setelah sekian detik waktu yang dilalui dengan kesepian, akhirnya akan ramai oleh kenangan kita. Aku … aku berdebar tak tentu arah. 

Aku menyiapkan beberapa alternatif kata pembuka. “Apa kabar? Bagaimana kabarmu? Aku rindu … tahukah kamu aku rindu?”

Dan, tibalah kami di sini, di ruang tunggu Pusat Penelitian Lansia. Aku terkejut mengetahui ternyata kamu memilih untuk mengasingkan diri di sini. Menyerahkan sisa hidupmu untuk berbakti pada masyarakat. 

Miss Margaretha tersenyum padaku, ia pasti bisa merasakan bagaimana senangnya diriku. Namun, semua kesenangan yang kurasakan ibarat kertas putih yang disiram noda kopi panas. Mengerut seketika.

“Pak Hanif sudah keluar dari sini. Baru saja kemarin beliau memutuskan untuk terbang ke Jakarta,” ujar Ketua Pusat Penelitian Lansia yang menemui kami. 

Bahuku merosot. Tak lagi setegang tadi. Rasa gembira bergegas diselimuti oleh kegundahan hati. Miss Margaretha mengelus punggung tanganku dengan lembut. 

“Hanif tidak akan pergi jauh, kita pasti bisa menemukannya.”

“Hari sudah sangat larut, pintu gerbang kami sudah ditutup. Menginaplah dahulu di sini, kami menyediakan ruang tamu,” lanjut Ketua Pusat Penelitian Lansia.

Aku hanya bisa mengangguk lemas. Sehari lagi, aku harus bersabar untukmu.[] 

 


 

6

Setelah Kematian Itu

 

Saya

            Saya sudah pergi ke rumah sakit tempat perempuan berjilbab hijau itu dirawat, tapi dia sudah tak ada di sana. Saya meminta alamat pasien kepada bagian administrasi, tapi ternyata tidak bisa diberikan dengan alasan privacy. Ke mana saya harus mencari? Saya begitu penasaran. Karena, setelah Bang Nero meninggal, saya tak pernah memimpikan perempuan berjilbab itu lagi. Apakah dia juga sudah meninggal?

            Sudah satu bulan berlalu sejak Bang Nero meninggal, selama itu pula pikiran saya berkecamuk atas dua hal, husnulkhatimah dan suulkhatimah. Sungguh hal itu memancing saya untuk membaca buku-buku Bang Nero. Istrinya tak keberatan melihat saya membawa beberapa buku islami. Seminggu setelah itu, istrinya memilih pulang kampung, kembali ke rumah kedua orangtuanya.  

            Ya, sejak saya memukuli Abdul di kantor, ternyata saya dipecat dengan sangat hormat. Entah mengapa saya tak bergairah lagi untuk mencari pekerjaan. Nancy menghilang. Dua kali saya pergi ke rumahnya dan selalu kosong. Ponselnya tak pernah bisa saya hubungi. Terakhir saya hubungi, “Nomor yang Anda tuju sudah tidak aktif lagi.” Saya memutuskan untuk belajar mengerti soal husnulkhatimah dan suulkhatimah. Saya juga sibuk Facebook-an untuk mencari perempuan dalam mimpi saya. 

            Sampai kemudian, hari ini Mama mengajak saya pergi ke pesantren tempat Mama belajar ilmu agama. Berkali-kali saya menolak karena saya belum berniat untuk menimba ilmu sejauh itu. Salat saja saya masih malas. Mama merayu saya, memohon, bahkan merengek sampai akhirnya saya iyakan.

            Maka, di sinilah saya sekarang, berjalan bersama Mama memasuki pintu Pesantren Hidayah. Mama menggandeng tangan saya erat, seolah tak ingin saya kabur. Kami berjalan ke arah sebuah masjid. Di dalam sana banyak santri yang sedang mengaji, seorang ustaz tampak memberikan ceramah. Mama berhenti di depan sebilah papan majalah dinding masjid yang besar dan tampak terawat. Ia memandang selembar foto dengan terharu. Saya mengikuti arah pandangan Mama. Foto lama bergambar seorang perempuan dengan kerudung pendek sedang memegang mikrofon. Di depannya ada Bang Nero, di samping perempuan itu ada Mama. 

            “Kayaknya saya kenal sama perempuan itu, Ma.”

            “Itu Sakinah. Kamu ingat, kan?”

            “Oooh … iya ….” Gara-gara dia, saya jadi ketakutan dengan suulkhatimah. “Dia lagi ngapain? Megang mic sambil nangis-nangis gitu.”

            “Dia mualaf, Hanif. Sejak umur sebelas tahun, Sakinah sudah menjadi yatim piatu. Ia lahir dari keluar nonmuslim, dirawat oleh pamannya yang mabuk-mabukan. Ia tak punya adik atau kakak. Pimpinan pondok pesantren ini menemukan Sakinah sedang belajar di tempat sampah, membaca buku, dan tekun menghafal. Sakinah lalu dibawa ke sebuah rumah yatim piatu. Setiap minggu, pimpinan pondok pesantren selalu memberikan Sakinah buku pelajaran baru. Dia anak cerdas.” 

Mama menghela napas panjang, raut wajahnya penuh kebanggaan. Lagi-lagi saya iri pada Sakinah yang sudah merebut segala kebanggaan Mama pada saya. 

“Sampai akhirnya, di umurnya yang keenam belas tahun, setelah empat tahun, Sakinah pamit diri dari rumah yatim piatu itu. Dia memilih untuk masuk Islam dan berguru di pesantren ini sampai lulus SMA. Setelah empat tahun kuliah di ITB, ia memilih mengajar di sini sambil membangun penelitiannya sendiri.”

            “Oooh … ya bagus, Ma.” Saya mulai mencurigai sesuatu, perasaan tak nyaman karena Mama mulai terus melihat ke arah saya nyaris tanpa kedipan. “Kenapa, Ma?”

            “Menikahlah dengannya.”

            Seolah ada kerikil berjatuhan di kepala saya. Nyaris membuat saya berteriak. “Hah?”

            “Iya. Memang kamu pikir apa maksud Mama membawa kamu kemari?”

            “Apa, Ma?”

            “Hari ini ulang tahun dia yang ke-23.”

            “So?” Saya mulai ingin kabur dari sini. 

            “Sebelum masuk Islam, nama Sakinah adalah Veronica. Setelah masuk Islam, Sakinah meminta izin agar memberikan nama muslim sendiri untuknya.” Mama meremas tangan saya kencang. “Dia memilih nama Sakinah Husnul Khatimah.”

            Meremang bulu kuduk saya. “Nama apa itu?” Semua bab tentang husnulkhatimah yang saya baca langsung mengawang di pikiran saya. 

            “Gimana?”

            “Seleranya jelek dalam memilih nama.” Jawaban saya membuat Mama mengernyitkan dahi. 

            “Gimana dengan permintaan Mama agar kamu menikah dengannya? Ia hanya ingin punya suami yang membawanya menuju keluarga yang sakinah dan kelak dapat membawanya ke dalam husnulkhatimah.”

            Saya melepaskan tangan Mama dengan agak kasar. “Ma, saya ini bukan lelaki saleh, nggak sekelas Bang Nero-lah.”

            “Tapi, Mama lihat kamu mulai membaca beberapa buku agama. Itu awal yang bagus, Hanif. Dulu Mama juga begitu. Itu pertanda, ada percikan hidayah dari Allah. Beruntunglah, Hanif, karena tak semua orang diberikan hidayah oleh Allah.”

            “Ma, I just read it, okay? Saya belum salat lagi, boro-boro puasa.”

            “Maka, jemputlah hidayahmu seluruhnya.” Mama memeluk saya kencang. 

            “Lagi pula, saya tak punya pekerjaan lagi,” elak saya kembali sambil memikirkan seribu alasan lainnya. Seharusnya saya tahu bahwa Mama pasti punya maksud tertentu mengajak saya kemari. Menyesal saya sudah menuruti keinginan Mama. 

            “Hanif, rezeki itu diatur oleh Allah.”

            “Iya, dan saya juga tahu bahwa Allah nyuruh kita buat kerja, kan, Ma?”

            “Jadi, carilah pekerjaan lain dan menikahlah.”

            “Maa …,” saya merajuk, tak ingin berdebat, tapi sepertinya Mama punya segudang amunisi untuk terus membujuk saya. 

            “Hanif, dia menerima kamu apa adanya.”

            Saya mendengus kaget. “Mama sudah bicarakan ini sama dia?”

            “Mama yang meminta dia untuk menjadi istri kamu dan dia bersedia. Dia tahu Bang Nero adalah lelaki saleh.”

            Saya mulai geram sendiri, gigi saya bergemeletuk. “Saya … bukan Bang Nero. Saya bukan orang saleh! Saya ini orang yang nyaris nggak percaya Tuhan dan masih gagal paham soal kenapa orang harus salat tunggang-tungging pagi malem ….” 

Mata saya melotot. Saya bisa melihat dengan jelas raut ketakutan serta kekecewaan di wajah Mama.

            “Cobalah untuk memikirkan hal ini dulu. Cobalah untuk berubah.” Suara Mama bergetar.

            “Ma, kalaupun saya sudah berubah menjadi lelaki saleh, saya tetap tak bisa mencintai dia. Mama tahu? Dua kali saya mencintai seorang perempuan dengan membabi-buta dan dua kali pula saya dicabik-cabik sampai mati rasa. Saya tidak mencintai dia dan sampai kapan pun saya tidak akan mencintai dia!” Telunjuk saya mengarah ke masjid, seolah tahu perempuan yang kami bicarakan mungkin ada di sana. 

            Mama berbalik badan, memunggungi saya, bahunya bergetar. Saya tahu dia menangis. Dia pasti ingin menggampar saya atau menyesal sudah melahirkan saya. Saya ingin memeluknya dan meminta maaf, tapi ego diri saya memenangkan segala arena. Ego membawa saya ikut berbalik badan dan melangkah pergi dari pesantren ini. 

 

Dua Bulan Kemudian

Setelah pertengkaran di pesantren itu, saya memutuskan untuk bekerja freelance. Saya sudah lelah hanya tiduran di apartemen, membaca buku agama yang entah mengapa tak pernah sampai ke hati saya. Semua buku milik Bang Nero kini teronggok di kardus. Segala ilmu, nasihat, serta berbagai kata mutiara tak mempan masuk ke kalbu saya. Apakah hati saya sudah begitu pekatnya? Sudah begitu tertutup? Mungkin saya lupa di mana menyimpan kunci lemari hati saya? Atau Tuhan memang sudah menggemboknya dengan gembok neraka? Ah, masa bodohlah. Saya lelah!

 Maka, saya mencoba bangkit dari segala peristiwa yang membuat saya linglung. Saya membuka kesempatan kepada siapa saja untuk bekerja sama dengan saya melalui berbagai media sosial. Selama beberapa hari tak ada order yang masuk ke dalam email saya. 

Sampai kemudian, sebuah email dengan nama yang familier menjadi pelanggan pertama saya. Sakinah Husnul Khatimah! Sekonyong-konyong, perdebatan soal pernikahan muncul kembali. Sial! Kenapa harus gadis ini yang mengirimi email order untuk saya?

Klik. Saya membuka kotak emailnya. 

Assalamualaikum, Mas Hanif, apa kabar?

Alhamdulillah, akhirnya Allah menunjukkan jalan. Sudah seminggu ini perusahaan tempat saya bekerja mencari seorang desainer grafis yang andal. Oh iya, saya sekarang bekerja di perusahaan farmasi. Kami akan membuat produk obat baru dan membutuhkan desain baru. Semoga Mas Hanif mau bekerja sama.

Isi email yang simpel dan langsung pada intinya. Ada tebersit perasaan tidak puas. Email ini tidak sesuai dengan ekspektasi saya. Saya pikir email ini akan berisi tangisan, rayuan, kesedihan karena saya tak mau menikah dengannya. 

“Hei, Hanif, apa kabar mamamu?” Sejak saya meninggalkan pesantren itu, Mama tak pernah menghubungi saya lagi. Lalu, wajah Mama dan wajah Sakinah silih berganti berputar di ruangan ini. 

            Lupakan soal tawaran menikah itu, lupakan soal keinginan Mama, lupakan soal rasa tak enak hati. Ini adalah masalah bisnis dan profesi. Saya harus profesional. Maka, saya segera mengambil ponsel dan menghubungi Sakinah. 

            Saya tak tahu bahwa suara Sakinah terdengar lembut di telepon. Nada bicaranya begitu santun, pilihan katanya tepat, cepat, dan bijak. Terlalu formal bahkan. Sampai saya sendiri kikuk karena dia bicara seolah-olah kami memang tak pernah kenal dekat. Tak apalah, justru ini seharusnya membuat saya nyaman, bukan? Tapi, kenapa saya jadi gelisah? 

            Setelah menetapkan perjanjian secara lisan, kami lalu bertemu di kantor Sakinah. Di perusahaan farmasi ini, ia bekerja sebagai kepala laboratorium dan salah satu tim yang membuat obat sakit kepala jenis baru. Ia mengajak saya untuk bertemu dengan pemimpinnya. Kami lalu terlibat dalam meeting sederhana. Sakinah menjelaskan tentang fungsi obat mereka serta kelebihannya dibandingkan produk lain. Kemudian, bagian marketing menjelaskan ide-ide pemasaran yang ingin mereka lakukan, dan saya berusaha memberikan ide-ide untuk desain kemasannya. Meeting yang cukup alot selama dua jam membuat mata saya sesekali menatap ke arah Sakinah. 

            Ternyata dia cantik. 

            Ternyata dia cerdas.

            Ternyata dia bukan perempuan yang suka cari perhatian. 

            Dia bisa menjaga sikap. Hei, lihat dia memakai jilbab!

Dia tak akan selingkuh … tak akan selingkuh. 

            Di menit-menit terakhir pertemuan ini, saya agak tidak fokus karena pikiran saya sudah liar berlompatan ke mana-mana. Untunglah saya bisa menyelesaikan semuanya dengan baik dan mendapatkan kontrak dengan harga lumayan. Pemimpin Sakinah menyuruh gadis itu untuk menemani saya makan siang. Saya ragu dia mau makan berduaan dengan cowok yang bukan mahramnya. Tapi, ternyata dia tidak menolak. 

            Dia mengajak saya pergi ke kantin perusahaan yang lebih terlihat seperti restoran mini. Kami berjalan sejajar, saya sengaja menyamakan langkahnya yang anggun. Mengapa saya mulai memperhatikan setiap detail dirinya?

            “Kamu suka kerja di sini?” Hanya itu pertanyaan yang berani saya ajukan. Mengalahkan pertanyaan “Apa benar kamu mau menikah dengan saya?”

            “Alhamdulillah suka. Meskipun tidak menjadi impian saya.”

            “Ooh. Memang apa impian kamu?” 

“Menikah dengan saya?” Sial! Kenapa kata hati saya jadi tidak terkendali seperti ini?

            “Saya ingin membuka rumah sakit sendiri. Bahkan saya sudah mempunyai namanya. Rumah Sakit Sehat Sentosa. Saya juga ingin menciptakan sebuah virus.”

            “Virus? Virus komputer?” Saya tertawa, sebenarnya mengajak bercanda, tapi terdengar agak mengejek. Sakinah hanya tersenyum. 

            “Virus untuk manusia. Virus untuk membunuh kenangan jahat, bekerja di otak. Sehingga, manusia tidak perlu lagi menangis karena harus mengenang hal-hal menyedihkan itu,” katanya tanpa ekspresi.

            “Oh … ya … sudah kamu beri nama juga?” Saya takut lagi menertawakannya. 

            “Ya. Namanya V-Diamond.”

            Saya terdiam. Kami sudah tiba di depan kantin, di meja dekat pintu masuk. Seorang perempuan yang pernah melahirkan saya melambai-lambai penuh rindu. Mama.

***

            

Aku

            Aku dan Miss Margaretha masih terjebak di Bukittinggi. Di Pusat Penelitian Lansia. Padahal, waktuku sudah semakin dekat. Dua hari lagi, prediksi dokter, virus V-Diamond yang bersarang di kepalaku akan menjadi ganas. Kesempatan hidupku akan menjadi sangat kecil. Sekarang saja aku sudah merasakan menggigil. Sungguh cuaca sangat tidak bersahabat. Hujan deras turun sejak semalam. Kami pikir, di pagi hari hujan akan reda, tapi sebaliknya hujan malah semakin deras. Bahkan terdengar kabar ada badai di daerah Padang Panjang. 

            Kami terjebak. Aku hanya duduk di kamar, memandang ke luar jendela. Menikmati gumpalan air yang menari bersama angin. Sesekali airnya menampar kaca jendela, menciptakan melodi mengentak-entak.

            Miss Margaretha mengucap salam, kemudian masuk ke kamarku. Kami tidur di kamar berbeda dan sejak pagi kami belum lagi bersua. Siang ini ia datang dengan membawa dua lembar amplop surat. Aku sangat mengenal kedua surat itu. Miss Margaretha memberikan kedua surat itu kepadaku. 

            “Petugas kebersihan menemukan surat ini di bawah kasur Mas Hanif. Sepertinya Mas Hanif sengaja meninggalkan surat ini. Mungkin dengan maksud suatu hari nanti ia akan kembali kemari,” ujar Miss Margaretha saat aku mengambil kedua surat itu dari tangannya. 

            Surat itu kini tak lagi dilem dengan rekat yang kuat. Amplopnya sudah setengah tersobek dan agak lecek. Aku mengelusnya seolah bertemu harta langka. Ya, zaman sekarang surat kertas memang langka.  

            Miss Margaretha duduk di bangku yang kosong dan dengan anggun menatapku. 

            “Kamu tidak mau membacanya?”

            “Eh?” Aku menepuk selembar surat yang agak tipis. “Ini suratku untuk … Kakek.” Akhirnya aku menyebut panggilan kesayanganku kepadamu. 

            “Ya, Mas Hanif pasti kakek yang baik sampai kamu mau menulis surat untuknya. Apa yang kamu tulis di surat itu?”

            Aku memperbaiki posisi dudukku agar berhadapan dengan Miss Margaretha. “Aku mengungkapkan segala kerinduanku kepadanya. Aku rindu saat berada di Taman Pelangi, aku rindu saat dia selalu memberiku nasihat, aku rindu dipeluk olehnya, aku rindu dicium dan digendong olehnya. Aku rindu selalu disayangi dan dikasihi. Aku sangat mencintai dan menyayanginya sebagai seorang kakek, pun dia mencintai dan menyayangi aku sebagai seorang cucu.” 

Aku mengusap air mata yang diam-diam meleleh ke pipi. “Sampai semuanya berakhir, sepuluh tahun yang lalu ketika umurku lima belas tahun. Kakek dan Nenek adalah orangtuaku setelah kedua orangtuaku meninggal dunia. Mereka yang merawatku. Selama aku dibesarkan, aku hanya diberikan cinta dan kasih sayang. Aku tak mengenal pertengkaran. Aku hanya mengenal cinta karena cinta Kakek kepada Nenek yang begitu besar. Mereka sangat romantis.”

            “Ya, saya tahu itu.” Miss Margaretha juga mengusap air matanya. “Saya pun iri melihat keromantisan mereka. Lanjutkan, Raya, saya ingin mendengar.”

            Aku memajukan kursiku. Aku rasa, aku butuh menggenggam tangan Miss Margaretha. Ia perempuan baik, tak sepantasnya sendirian sampai di usianya yang senja ini. 

            “Empat tahun lalu, mereka bertengkar hebat karena Nenek menerima selembar jilbab.”

            “Mengapa begitu?”

            Aku menggeleng bingung. “Hanya itu yang aku tahu.”

            “Bacalah surat dari nenekmu untuk kakekmu, mungkin kita tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Miss Margaretha terlihat tak sabar. 

            “Tapi, Nenek tak mengizinkan aku membacanya sebelum Kakek membacanya.”

            “Tapi, Mas Hanif sudah membacanya.”

            Aku menatap selembar surat lagi yang kupegang. Surat yang agak tebal. Di sanalah rahasia Kakek dan Nenek akan terkuak. Mengapa mereka bercerai di usia senja? Mengapa Kakek memilih pergi?

            “Yang aku tahu, Nenek pernah berkata kepadaku, bahwa satu hal yang paling Kakek takuti di dunia ini adalah kematian. Kakek sangat takut kematian meskipun di mulutnya penuh kalimat bijak soal kematian, seolah-olah ia orang alim yang siap mati. Tapi, di hatinya yang terdalam, Kakek punya trauma terhadap kematian. Dia begitu takut.”

            Miss Margaretha mengangguk-angguk, menunggu. Dengan jari sedikit gemetar, aku membuka surat yang ditulis oleh Nenek untukmu, Kek. Izinkan aku membacanya. 

***

 

Saya

            Saya akhirnya menikahi Sakinah. 

            Pekerjaan yang saya lakoni bersamanya membuat hati saya tergugah luar biasa. Ia perempuan salihah, kecintaannya kepada Allah dan rasul-Nya berhasil menghipnotis saya. Saya membongkar kembali buku-buku Bang Nero, membacanya sekali lagi, dan menemukan pencerahan yang luar biasa. Saya mulai belajar salat, kembali belajar membaca Alquran dengan Mama saya, kemudian mulai rutin ikut acara kajian. 

            Saya memilih untuk memantaskan diri saya sebelum saya akhirnya meminang Sakinah dengan sebuah kalimat sederhana yang saya sendiri belum menemukannya. Saya harus meminangnya dengan kalimat yang berbeda, tidak pasaran, dan bisa membuat dia terpukau. Saya lalu membeli banyak novel romantis, buku kumpulan kata-kata manis, segala bentuk rayuan, namun tak ada satu pun yang menurut saya berbeda. Saya ingin yang berbeda karena Sakinah adalah perempuan yang berbeda.

            Sampai kemudian saya bertemu Deni. Dia adalah anak pesantren yang baru berumur sepuluh tahun. Deni Ramadhan Romanjaya. Dia anak yatim, baru sebulan kehilangan sosok ayah. Awalnya dia datang ke pesantren dengan penuh air mata. Mama selalu bercerita bahwa setiap hari Deni selalu menangis. Saya lalu pergi ke pesantren dengan membawa satu kardus cokelat dengan berbagai variasi. Siapa sangka, Deni sangat suka cokelat. Senyumnya perlahan-lahan mulai mengembang. Pada dasarnya, ia adalah anak yang ceria dan cerdas. 

            “Biar aku yang buatkan kalimat lamaran untuk Mbak Sakinah, Om,” kata Deni lugu tapi serius. Saya setengah membekap mulutnya. Tak lucu jika rencana lamaran ini terbongkar dan menjadi gosip satu pesantren. 

            “Kamu masih kecil, tahu apa kamu soal cinta-cintaan.”

            “Deni cuma nulisin kalimat yang sering Deni dengar dari almarhum ayah Deni. Katanya dulu Ayah melamar ibu Deni dengan kalimat itu.”

            Saya penasaran dan mulai mendekatkan telinga ke depan wajahnya. “Apaan? Bisikin aja.”

            Deni membisikkan sesuatu. Saya tertawa dan mengacak-acak rambutnya. Tak butuh waktu lama, saya segera berlari pulang, menemui Mama yang kini tinggal di apartemen saya. Saya gendong Mama dan berlatih mengucapkan lamaran. Mama terlihat senang dan memeluk saya. Subhanallah, beginikah rasanya dekat dengan-Mu? Segala kesepian, kehampaan, dan masalah hidup seperti luruh hanya dengan mendekat kepada-Mu.

            Malam harinya, saya dan Mama pergi ke pesantren. Sakinah, diwakili oleh Pak Kiai, menerima lamaran saya. Lamaran yang membuat semua orang yang hadir tersenyum-senyum.

Bismillahirrahmanirrahim. Sakinah, kamu tahu? Kita ini seperti sepasang sepatu yang terpisah. Satu sepatu tak mungkin berfungsi menjadi sepatu. Hanya dengan sepasang sepatu, maka sepatu berfungsi seutuhnya menjadi sepatu. Maukah jadi sepasang sepatu denganku? Istri itu adalah pakaian bagi suami mereka. Maukah kamu menjadi pakaianku? Aku ingin kita bertukar tulang. Kamu jadi tulang rusukku, aku menjadi tulang punggungmu. Kamu mencari suami. Aku mencari istri. Aku serius.” Kalimat terakhir saya cuplik dari kalimat yang sedang tren di media sosial. 

            Pak Kiai ikut tersenyum dan memberikan Sakinah waktu untuk menjawab. Saya tak perlu mendengar ucapan ya atau tidak darinya. Dari sinar matanya yang berbinar, saya tahu bahwa Sakinah bersedia. 

            Lalu, kami menikah. Dalam ijab dan kabul yang sederhana. 

            “Saya berjanji akan menjadikan keluarga ini keluarga yang sakinah. Saya akan terus dan terus belajar untuk menjadi suami yang saleh, supaya saya bisa membawa kamu menemui husnulkhatimah.” Lalu, saya mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang.

            Saya bisa merasakan air mata mengalir di pipinya. “Amin, Mas Hanif. Kinah bahagia ... demi Allah, Kinah bahagia.”

***

 

Aku

            Aku mulai membaca surat yang ditulis Nenek dengan tulisan tangan yang rapi. 

            Assalamualaikum, Mas Hanif. Di mana pun Mas Hanif berada, Kinah doakan Mas Hanif selalu sehat dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. 

            Demi Allah, Kinah bahagia di sini. Bahagia meskipun sekujur tubuh sakit, letih, dan menderita. Penyakit ini menggerogoti segala kenangan kita. Satu per satu hilang. Tapi, Kinah berusaha mempertahankannya, meskipun Dokter Barbara berulang kali memohon agar Kinah bersedia menghapus semua kenangan tentang Mas Hanif. Tidak, Mas ... tidak akan. Bagi Kinah, Mas Hanif adalah sumber kehidupan Kinah di dunia.

            Sejak Mas Hanif pergi, kehidupan Kinah lumpuh. 

            Iya, Mas. Mas Hanif boleh menertawakan Kinah karena pada akhirnya Kinah terkena virus yang Kinah ciptakan sendiri. Mas pasti ingat bagaimana setiap hari Kinah bekerja di laboratorium untuk menciptakan V-Diamond. Bertahun-tahun, lima belas tahun virus itu mulai dikembangbiakkan. Siapa sangka V-Diamond gagal dan prototipenya dicuri orang. Orang jahat itu mengembangkan V-Diamond menjadi liar, tak terkendali sampai akhirnya menjadi wabah … merusak. 

            Sampai detik ini, Kinah masih menyesal mengapa bodoh sekali membuat virus yang malah merusak. Meskipun Kinah yakin, niat Kinah baik. Akan tetapi, Kinah yakin rencana Allah lebih baik. Ini adalah rencana-Nya yang terbaik. 

            Mas Hanif ingat ketika Mas Hanif menolak permintaan Ummi mati-matian di depan mading masjid? Mungkin Mas Hanif berpikir bahwa Kinah tak ada di sana. Mas Hanif salah, sudah sejak awal Ummi menyuruh Kinah berdiri di belakang mading. Ummi ingin Kinah mendengar sendiri jawaban dari Mas Hanif. Dan, ternyata … begitu rasanya patah hati. Ucapan Mas Hanif yang tak akan pernah mencintai Kinah menusuk hingga membuat Kinah demam menggigil pada malam harinya. 

Selama satu bulan, Kinah tersiksa oleh cinta dan rasa patah hati. Ya … ya … Kinah-lah yang meminta Ummi agar melamarkan Kinah untuk Mas Hanif. Sejak pertama bertemu, Kinah tertarik dengan Mas Hanif dan jatuh cinta pada Mas Hanif. Cinta yang bodoh. Mana mungkin Kinah jatuh cinta pada lelaki yang saat itu bahkan tak percaya akan adanya surga dan neraka. Rasa sakit hati itulah yang mendorong Kinah bermimpi ingin membuat virus yang menghilangkan kenangan buruk. 

            Tapi, Allah memang Maha Mengatur. Atas izin-Nya, kita dipertemukan kembali dalam sebuah ikatan pekerjaan. Atas kehendak-Nya, Mas Hanif diberikan hidayah secara perlahan, berubah pelan-pelan. Mungkin Allah ingin Mas Hanif dipantaskan dulu untuk Kinah. Allah memang Maha Penyayang, mempersatukan kita dalam ikatan suci pernikahan. 

            Kinah tak pernah memberitahukan hal ini sebelumnya. Kinah tak mau merusak rumahtangga sakinah yang sudah susah payah kita bangun. Tapi, apa lacur, keluarga yang harmonis dan kita sangka telah sakinah harus retak begitu saja. Karena, selembar jilbab. Kinah kira Mas Hanif sudah lebih dari pantas disebut “ustaz”. Tapi, mengapa seorang ustaz sangat takut dengan kematian? Jilbab hijau dengan motif bunga matahari itu pada akhirnya memicu segala pertengkaran. Lalu, Mas Hanif menceraikan Kinah karena Kinah ngotot tetap ingin memiliki jilbab itu. 

            Apa yang salah, Mas Hanif? Banyak penderitaan yang sudah kita lalui selama berpuluh-puluh tahun menikah. Mengapa hanya karena jilbab itu Mas Hanif ketakutan? Ya … ya … takut akan kematian. Itulah jawabannya. Kinah sudah mendengar soal mimpi-mimpi yang pernah mengusik Mas Hanif, mimpi-mimpi seputar jilbab itu yang membuat Mas Hanif terguncang. Tapi, mengapa harus rapuh di usia senja seperti ini? Bukankah seharusnya senja membuat kita lebih bijaksana? 

            Aku menghela napas berat. Berhenti membacakan surat ini kepada Miss Margaretha. Aku merasa bersalah, seolah mencuri kata-kata tanpa seizin pemiliknya. Miss Margaretha ikut mendesah, ia menyenderkan bahunya yang kurus ke punggung sofa. 

            “Lanjutkan, Raya,” ujarnya kemudian. 

            Aku tak segera melaksanakan keinginannya. Aku memandang ke luar jendela. Hujan sudah sedikit reda, namun angin kencang tetap bertiup menghalau dedaunan di luar sana. 

***

 

Saya

            Saya sangat bersyukur kepada Allah. Dia telah memberikan kemurahan rezeki yang tak henti-hentinya kepada saya. Setelah saya menikah dengan Sakinah, order untuk membuat karya desain tak henti-hentinya mengalir. Seolah keran yang kehilangan kendali. Saya lalu mulai kewalahan dan mencari beberapa teman yang bisa membantu saya.

            Tahun pertama pernikahan kami, saya sudah mampu membangun usaha sendiri. Sebuah perusahaan sendiri, tempat saya berdiri dengan kaki saya sendiri. Meskipun belum kokoh dan butuh perjuangan keras untuk membesarkannya, tapi saya bangga. 

            Tahun kedua pernikahan kami, saya sudah berhasil membelikan Sakinah rumah mungil sederhana. Mungkin rumah ini tak semewah rumah bukit yang dibangun oleh Abdul. Ya, mantan sahabat saya itu akhir-akhir ini mengusik saya. Bukan, dia tidak mengganggu Sakinah. Saya rela bertarung di kandang macan untuk melindungi Sakinah dari lelaki buaya macam Abdul. 

Mantan sahabat saya itu meneror saya melalui televisi. Dia mempunyai penemuan baru. Sebagai seorang programmer, ia menciptakan sebuah website baru untuk mengenang orang-orang yang sudah meninggal di sekitar kita. Itu adalah ide konyolnya bertahun-tahun yang lalu. Saya pernah membodohinya karena yakin ide konyolnya itu tak akan pernah bisa diterima masyarakat. Tapi, siapa sangka dengan selera masyarakat saat ini? Website Abdul langsung meledak, www.bagaimanakubertemukematian.com. Sebuah website sinting yang dikunjungi oleh orang-orang yang menurut saya sinting. 

            “Dalam website ini, kamu bisa memasang foto kamu, membuat list hal-hal yang mau kamu lakukan sebelum mati, update dan sebarkan kepada temanmu. Jika semua hal dalam list berhasil kamu lakukan, setelah kamu mati, kamu akan mendapatkan penghargaan bintang kematian,” ujar Abdul berapi-api dalam sebuah acara talk show.

            Saya dan Sakinah geleng-geleng kepala melihatnya saat kami duduk santai di ruang TV. Saya segera mengganti saluran TV lain yang lebih menyejukkan hati. 

            “Ide website-nya bagus, untuk membuat orang ingat kepada kematian. Tapi, pendekatannya salah. Ia lebih menyarankan orang-orang untuk melakukan hal-hal gila sebelum mati ketimbang beribadah dan memperbanyak amal sebagai bekal kehidupan kita kelak. Kinah tidak mau bertemu dengan amal buruk Kinah di alam kubur nanti,” Sakinah bergidik. 

            Saya merangkul Sakinah, kemudian mengelus ujung rambutnya yang halus dan terawat. “Saya juga ingin bertemu dengan amal baik saya di alam kubur nanti. Semoga kelak kita dipersatukan kembali di surga-Nya. Amin.”

            Sakinah ikut mengamini. 

            Tahun ketiga pernikahan kami, kedengkian saya kepada Abdul menjadi hal yang absolut. Saya membencinya kembali karena dia terlihat hidup lebih bahagia dari saya. Tepat saat perusahaan yang saya bangun mulai menghadapi goyahan pertamanya, website dan perusahaan Abdul malah semakin menanjak. 

            Saya menggeleng keras saat melihat website itu. Isinya kini bagi saya tak lebih dari sampah. Orang-orang berlomba-lomba melakukan hal gila sebelum mati—mari berdosa sebelum mati—dan hal-hal di luar batas keagamaan. Ada sisi hati saya yang menyombongkan diri. Saya sekarang menjadi orang saleh, sementara dia tidak! Yang saya dengar, Abdul bahkan menikah lagi. Tak tanggung-tanggung, dua istri sekaligus. Dia pun sudah dikaruniai anak lagi dari istri keduanya, seorang anak perempuan. Sementara, istri ketiganya sedang hamil dan akan segera melahirkan. Istri saya? Sakinah saya? Ia bahkan belum pernah merasakan gejala hamil. Siapa yang salah? Segala pertanyaan kapan punya anak mulai merongrong kami. 

            Mengapa saya harus mencari siapa yang salah? Saya tahu setan sedang sekuat tenaga menggoda saya. Maka, saya melawannya dengan pergi dari rumah. Saya tak mau Sakinah menjadi pelampiasan rasa dengki saya. Saya meminta izin ingin iktikaf di masjid selama satu minggu dan memintanya agar tidak mengganggu saya. Dia istri yang baik dan taat kepada suami. Sepulang dari masjid, saya merasa hidup saya lebih diliputi perasaan syukur. Saya menyongsong pelukan Sakinah yang menyambut dengan senyum merekah. Ia tak pernah bertanya kenapa dan kenapa. Sakinah mengerti saya. 

            Tahun keempat pernikahan kami, saya tahu Sakinah mulai resah. Dia mulai mempertanyakan dan segala kesabarannya hilang sudah. Usaha saya kembali menanjak, dan dalam beberapa hal, kali ini saya yang menguatkan Sakinah. Saya bersyukur bisa menjadi suaminya, semakin mendekatkan diri kepada Allah dan menantang saya untuk lebih bersabar. 

            Pada tahun inilah saya dan Sakinah bertemu dengan Abdul. Dunia ini memang sempit, apalagi Indonesia. Begitu sempit. Setelah berusaha menjaga hati untuk tidak bersinggungan dengan hal-hal seputar Abdul, Allah kembali menguji saya. Kali ini kami dipertemukan langsung. Saling berhadap-hadapan di pintu gerbang Pesantren Hidayah. Saya dan Sakinah seminggu dua kali pergi ke pesantren untuk menimba ilmu agama yang terasa semakin kurang. Sementara Abdul? Saya tak yakin dia mendadak ingin bertobat setelah kemarin saya mendengar ia mengadakan pesta besar-besaran di kapal pesiar yang baru dibelinya. Saya segera beristigfar, hanya Allah yang mampu membolak-balikkan hati. Saya tidak punya hak menghakimi.

            Tapi, Abdul tidak sendirian. Ia bersama istrinya, yang bukan mantan pacar saya dan saya tak tahu itu istrinya yang keberapa. Abdul menggendong seorang bayi yang masih merah. Ia tidak menyapa saya. Tapi, dari sorot matanya yang penuh kebencian bercampur senyum mengejek, dia seolah mengatakan bahwa dia lebih unggul daripada saya. Saya paham dia menyimpan dendam. Saya menyusul langkahnya yang bergerak cepat ke arah kantor pimpinan ponpes ini. 

Sakinah memanggil nama saya dan berusaha menyejajarkan langkah. “Mas Hanif mau ke mana?”

            “Itu Abdul, dia sahabat lama saya. Saya mau memberi salam,” ujar saya dengan suara yang sengaja dikeraskan. Saya berharap Abdul menoleh, tapi itu tak terjadi. Saya lalu berlari menghadangnya di koridor gedung ponpes. 

            Abdul terenyak. Istrinya yang entah keberapa bersembunyi di belakang punggung Abdul. Wajah Abdul terlihat sedikit pucat sekaligus menampakkan keangkuhan. 

            “Jangan pura-pura tak mengenal saya, Abdul. Saya hanya mau meminta maaf kepadamu.” Saya memeluk Abdul yang masih mematung dengan menggendong bayinya. Hmm … harum bayi, membuat saya merindukan tangis mungil itu. 

            Saya merasakan gerakan halus tubuh Abdul yang menolak saya peluk. Saya segera melepaskan pelukan ala kadarnya itu, lalu menepuk bahunya. 

            “Demi Allah, saya minta maaf, Abdul. Semoga tidak ada lagi dendam atau kebencian yang mengotori hati kita.”

            Senyum saya diabaikan oleh Abdul. Sebaliknya, ia dengan cepat menyerahkan bayi di gendongannya kepada sang Istri. Kemudian, kepalan tangannya melayang dalam satu ayunan … bruk! Dia meninju rahang saya keras. Saya terenyak, terdorong ke belakang, mata saya berkunang-kunang. Sakinah menjerit melihat saya ambruk terjatuh. Saya berusaha tetap dalam kesadaran. Orang-orang berkerumun, beberapa kelas yang tadinya sepi mulai gaduh. Para ustaz, yang melihat saya jatuh dengan darah yang mengalir di sela bibir saya, langsung membantu saya berdiri. 

            Pak Kiai keluar dari ruangannya, kemudian tergopoh-gopoh menghampiri saya yang dipapah oleh dua ustaz. Abdul terengah-engah.

            “Tenang saja semuanya, kami hanya sedang bermain-main. Lima tahun yang lalu dia meninju wajah saya di depan umum. Sampai saya dipecat dari pekerjaan saya dan harus luntang-lantung menderita selama satu tahun lamanya. Sekarang saya hanya menunjukkan padanya seperti apa rasanya ditinju di depan umum.”

            Saya hendak melawan, hendak membalas ucapannya, tapi bibir saya perih dan lidah saya kelu. Dua ustaz memapah saya masuk ke kantor PMR. Di sana, perawat yang bertugas segera membantu pengobatan saya. Sakinah dengan cekatan membantu perawat itu dan saya merasakan kenyamanan saat jemari Sakinah membelai ubun-ubun saya sembari meniupnya lembut. 

            “Mas Hanif, masalah apa pun yang terjadi di masa lalu, biarkan saja tertiup angin. Mas Hanif harus ikhlas. Pun ikhlas menerima ini.” Sakinah mengetahui semua cerita masa lalu saya. Dia tahu. Saya menceritakan semuanya, termasuk soal Nancy. Meskipun ia sedikit cemburu, tapi saya tahu dia percaya pada kesetiaan saya. 

            Dua jam kemudian, saya sudah merasa kembali sehat. Rahang saya sudah tak sesakit tadi, kepala saya sudah tak terlalu berat untuk diangkat. Saya dan Sakinah memutuskan pergi ke masjid untuk salat Duha, tapi yang kami dapati di sana adalah keributan. 

            Saya melihat beberapa ustaz sedang berlarian mengejar sesuatu. Kemudian, Pak Kiai tampak bingung menggendong seorang bayi. Dari kain gendongannya, saya hafal betul itu adalah bayi yang tadi digendong oleh Abdul. Nyaris semua santri senior mengerubungi Pak Kiai. Saya tak sanggup menahan rasa penasaran. 

            “Assalamualaikum. Ada apa, Pak Kiai?”

            “Waalaikumsalam, Hanif. Apa kamu kenal dengan orang tadi?”

            “Iya, saya kenal, Pak Kiai. Dia adalah mantan sahabat saya.”

            “Dia terkenal di TV, Pak Kiai, terkenal juga di internet!” seru seorang santri senior. Pak Kiai manggut-manggut masih dengan wajah bingung. 

            “Tadi dia kemari bersama istri ketiganya. Dia bilang, dia sudah menikah tiga kali. Istri pertamanya sudah mempunyai lima orang anak dan semuanya perempuan. Istri keduanya sudah punya dua orang anak dan perempuan juga. Istri ketiganya baru saja melahirkan bayi ini dan masih perempuan.” Peluh Pak Kiai bercucuran di dahi. “Dia bilang mau meminta saya merawat bayi ini. Meminta saya memberikan bayi ini kepada siapa saja yang membutuhkan.”

            “Astagfirullahalazim, apakah dia membuang bayi ini, Pak Kiai?” Hati Sakinah ikut tersentuh. Pak Kiai memejamkan mata lama. 

            “Wallahualam.”

            “Apa dia kemari hanya untuk meninggalkan bayi ini di sini?”

            “Tidak. Seminggu yang lalu dia sudah kemari, ingin mengadopsi seorang anak lelaki berusia remaja untuk ia jadikan anak. Ia ingin punya anak lelaki yang kelak bisa melanjutkan perusahaan yang ia rintis. Lalu, dia memilih Deni Ramadhan. Deni suka dengan internet serta website yang ia buat. Awalnya saya ragu, karena menurut beberapa ustaz, website yang sedang ia kembangkan jauh dari nilai-nilai Islam. Tapi, Deni bersikeras ingin pergi.” Pak Kiai menimang-nimang si Bayi yang kini mulai bergerak gelisah. 

“Maka, hari inilah, satu jam yang lalu dia menjemput Deni. Kami kira ia pergi bersama bayi ini. Tapi, ternyata bayi ini diletakkan di dalam masjid. Sampai kemudian bayi ini menangis dan seseorang menemukannya,” sambung Pak Kiai. Bayi di gendongan Pak Kiai kemudian mulai menangis. 

Beberapa ustaz yang tadi terlihat mengejar sesuatu kini kembali ke depan masjid dengan terengah-engah. Wajah mereka merah padam dan bersimbah keringat. 

            “Mobil Pak Abdul dan istrinya sudah pergi, Pak Kiai.”

            “Sakinah, tolong bantu saya sejenak.” Pak Kiai memberikan bayi kepada saya, kemudian saya memberikannya kepada Sakinah. “Saya akan panggilkan ustazah pengurus asrama agar dia merawat bayi ini.”

            Sakinah menerima bayi yang saya berikan dengan wajah berbinar. Saya baru menyadari bahwa sesungguhnya ia sangat merindukan kehadiran seorang anak. Sakinah menimang-nimang bayi itu penuh kelembutan. 

            Selama satu minggu, bayi itu berada di pesantren. Selama itu pula saya dan Sakinah berdiskusi bahkan berdebat untuk bisa merawat bayi itu. Saya tidak setuju karena saya sudah bersumpah tak akan menikahkan anak cucu saya dengan keturunan Abdul. Saya tahu betapa rusaknya dia. Tapi, Sakinah meyakinkan saya bahwa kami tidak menikahkan bayi itu dengan anak cucu kami, kami hanya mengadopsinya. 

Kemudian, Sakinah mengakhiri perdebatan kami dengan ucapan yang menyedihkan, “Bagaimana kita akan menikahkan anak Abdul itu dengan anak kita jika kita sendiri belum punya anak? Entahlah … belum atau memang tak akan pernah punya anak?” Linangan air mata Sakinah membuat saya lemah.

            Saya memeluk Sakinah lama sekali sampai akhirnya saya memutuskan akan mengadopsi bayi itu. Dengan ketentuan, apabila pihak pesantren sama sekali tak bisa melacak Abdul. Ya, sudah seminggu ini pihak pesantren sekuat tenaga mencari Abdul. Lelaki itu bak menghilang ditelan bumi. Meskipun dengan bantuan polisi, Abdul tak ditemukan. Begitu juga dengan istri pertama dan keduanya, serta anak-anak Abdul. 

            Menurut berita yang santer terdengar, Abdul pindah ke luar negeri. Tepatnya ke negeri Paman Sam, tempat kebebasan konon katanya dijunjung setinggi langit. Pada minggu kedua keberadaan bayi itu di pesantren, Pak Kiai akhirnya menghentikan pencarian. Ia tak lagi mau membawa masalah ini ke ranah hukum. Apalagi saya dan Sakinah sudah mengajukan diri untuk menjadi orangtua asuh bagi si Bayi. 

            Pesantren Hidayah memang mempunyai panti asuhan, banyak anak yang sejak bayi sudah dirawat. Tapi, Pak Kiai hanya menerima anak yang bapaknya sudah tiada, atau kedua orangtuanya memang sudah meninggal. Bayi di tangan kami saat ini sebenarnya tak masuk persyaratan. Maka, beruntunglah kami. Kami pulang dengan membawa Farah ke rumah. Ya, kami namai ia Farah.

***

 

Aku

            Aku kembali membaca surat yang ditulis Nenek untukmu, Kek. Aku bertahan dengan segala emosi yang menguasaiku. Dalam surat Nenek yang barusan kubaca, terkuaklah sebuah misteri yang selama ini aku pertanyakan. Mengapa aku hanya punya Nenek dari pihak bapak? Aku … dan Sena adalah saudara? Ah, tidak, tidak. Deni Ramadhan Romanjaya, apakah itu nama ayahnya? Berarti ayah Deni adalah anak angkat dari Steven Cow atau Abdul? Entah mengapa, fakta bahwa kami tak bersaudara membuat aku lega.

            Miss Margaretha kembali memintaku melanjutkan membaca isi surat. 

            Masihkah Mas Hanif ingat, setelah dengan ikhlas kita merawat Farah, Kinah lalu diberi anugerah kehamilan oleh Allah? Betapa bahagianya kita saat itu. Betapa beruntungnya kita saat anak yang lahir ke dunia adalah anak lelaki. Anak lelaki yang tampan dan lucu. Anak lelaki yang menjadi pelengkap keluarga kita. Mas Hanif, Kinah, Farah yang sudah berusia dua tahun, dan Firza, buah hati kandung kita.

            Ah, Mas Hanif, mengingat masa lalu selalu membuat saya menyesal. Saya menyesal tidak melarang kamu pergi. Tapi, saya tak punya hak. Kamu sudah menceraikan saya. Berbulan-bulan saya memohon kepada Allah agar kamu kembali, tapi kamu tak juga kembali.

            Jadi, bolehlah saya menuliskan hal-hal yang saya ingat agar Mas Hanif juga ingat. Karena, kenangan-kenangan itulah yang mengikat kita, bukan? Saya yakin, setelah Mas membaca surat ini, Mas Hanif akan kembali kepada saya. Kepada Kinah. Karena, Kinah percaya, cinta yang sudah kita rajut bertahun-tahun tak akan padam hanya karena pertengkaran. Tak akan lenyap hanya karena ketakutan Mas Hanif atas kematian, bukan?

            Kenanglah, Mas ….

            Kenanglah saat-saat kebersamaan kita. Saat kita menyusuri Pantai Parangtritis di Yogya, menikmati senjanya sambil berharap semoga kita bisa tetap bersama sampai tua. Saat bisnis Mas Hanif harus terpuruk untuk kedua kalinya, saya dan anak-anak men-support Mas Hanif. Ingatkah saat Mas Hanif memutuskan untuk menjual perusahaan? Farah datang membawakan kue yang Farah buat sendiri. Farah lalu berkata, “Farah berulang kali gagal membuat kue ini. Tapi, Farah tidak menyerah, ini adalah percobaan Farah yang ke-41 dan Farah berhasil.” 

            Lalu, kamu memeluk Farah dan menangis. Kamu malu diajarkan soal pantang menyerah oleh anak berumur sepuluh tahun. Lalu, Firza yang sudah berumur delapan tahun ikut menyerahkan hasil karyanya. Gambar wajahmu yang harus ia gambar berulang-ulang agar mirip denganmu. Mereka mengajarkan kamu pantang menyerah, kemudian kamu bangkit lagi. Dan, voila, Mas … usahamu melesat tinggi. 

            Dari hasil usahamulah kamu mewujudkan impian saya, memberikan saya uang untuk bisa membangun rumah sakit, membangun laboratorium, meskipun soal V-Diamond yang dicuri itu ... ah … sudahlah.

            Waktu terus merangkak jauh dan anak-anak kita tumbuh besar. Sampai berita pahit itu berembus kencang tanpa pendahuluan. Membuat kita terkaget-kaget. Farah jatuh cinta. Firza pun jatuh cinta. Tetapi, mereka tidak jatuh cinta dengan orang lain. Ya, mereka saling mencintai. Jatuh cinta satu sama lain. Saya sempat kalut, sempat tidak terima melihat mereka berdua berpelukan di suatu gerimis senja yang terlihat romantis.

            Padahal, sebagai orangtua, kita sudah sekuat tenaga memberikan pengajaran agama. Kita sudah memberikan pemahaman sebaik mungkin bahwa Farah bukanlah anak kita, bahwa Farah bukanlah mahram Firza, bahwa mereka berdua bukanlah kakak adik kandung. Mereka paham. Mereka menerima … lebih dari sekadar menerima, mereka jatuh cinta. 

            Ingatkah kamu, Sayang, saat kamu akhirnya uring-uringan dan berusaha memisahkan mereka? Kamu memarahi Firza habis-habisan, kemudian menghukumnya dengan menyuruh Firza pergi ke Pesantren Hidayah. Bersama neneknya di sana. Farah menangis di kamar, ia memberontak. Pergaulan anak muda sudah semakin masif. Sekuat apa pun kita membentengi diri dengan agama, kita tak bisa menghalau pengaruh negatif dari luar.

            Kemudian, seminggu setelah Firza di pesantren, Ummi dan Pak Kiai serta beberapa ustaz mendatangi rumah kita. Mereka mengatakan bahwa Firza ingin menikahi Farah. Jalan satu-satunya untuk menjaga hati kedua orang yang saling mencintai dan tak terbendung cintanya adalah menikah. Katamu, “Itu gila.” Firza baru sembilan belas tahun saat itu dan masih kuliah. Diskusi pun memanas.

            Saya ingat sekali momen-momen itu, Mas. Bagi saya, itu adalah momen yang indah. Karena, saya melihat kesungguhan di wajah Firza. Dengan lantang dan tegas, ia berkata, “Saya menikah karena Allah, saya mencintai Farah karena Allah, dan saya akan menafkahi dia.” 

Saya bangga berhasil mendidiknya menjadi anak saleh. Kamu pun luluh. Pernikahan anak-anak kita pun terjadi begitu cepat, sederhana, dan khusyuk. 

            Kebahagiaan merasuki keluarga kita setahun kemudian setelah anak pertama mereka lahir. Ya, cucu kita, cucu yang sangat kita cintai. Soraya Handayani. Raya. Cucu yang kelak kita jaga dengan sangat hati-hati. Bahkan sangat hati-hati agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. 

            Tak terasa, aku terisak membaca kisah cinta ayah dan ibuku. Nenek tak pernah menceritakan ini sebelumnya. Mereka ternyata dibesarkan bersama. Aku baru mengetahui kenyataan ini sekarang. Sungguh membuat pilu sehingga aku semakin tak sabar untuk bertemu dengan Kakek. 

***

 

Saya

            Saya akhirnya paham bahwa hidup ini berjalan ke arah kematian. Kata-kata itu saya resapi, bukan sebuah tulisan belaka. Saya melewati detik demi detik, menit ke menit, jam melompati jam, hari berganti hari, bulan berganti musim, bersama perempuan yang saya cintai. Sakinah Husnul Khatimah. Sudah 26 tahun kami melukis kehidupan bersama di atas kanvas pernikahan. Aneka warna sudah kami tumpahkan, segala gambar sudah kami lewati, berbagai frame dalam hidup telah kami nikmati.

            Hari ini adalah hari pemakaman mama saya. Beliau perempuan kuat, meninggal di usianya yang ke-75. Insya Allah dalam keadaan husnulkhatimah. Saya yang membimbing Almarhumah pada detik-detik terakhir. Saya melihat dahinya berkeringat dan lafaz syahadatnya begitu lancar. Napasnya lepas teratur. Saya meyakini bahwa Malaikat Izrail pasti mencabut nyawanya dengan lembut. Bau wangi semerbak meliputi kamar tempat Mama meninggal. Saya yakin malaikat-malaikat sedang membentangkan permadani putih, mengajak Mama pergi dari jasadnya dengan senyum semringah. 

            Apakah saya bisa seperti Mama? Saya bahkan tak menangis melihat Mama menutup mata. Setelah 26 tahun, akhirnya saya paham dan mengerti mengapa saat Bang Nero meninggal Mama tak lagi menangis. Istrinya tak lagi bersedih. Sesiapa pun yang meninggal dengan husnulkhatimah, pastilah berada dalam kebahagiaan. Lantas, mengapa harus kita tangisi jika kelak almarhumah akan bahagia? Insya Allah bahagia. 

            Apakah saya bisa seperti Mama? Lalu, tebersit pertanyaan lain. Seperti apakah kematian saya? Apakah saya bisa meninggal dengan tenang? Di mana? Bersama siapa? Kapan? Apa sebabnya saya meninggal? Dan, ratusan pertanyaan sepele lainnya. 

            Saya yang paling akhir meninggalkan tanah kuburan Mama. Saya mendoakannya berkali-kali, mengecup nisannya karena tak puas mencium jenazahnya. Kemudian, Sakinah menghampiri saya, memeluk saya dari belakang, dan membelai rambut saya yang sudah memutih. Inikah tanda-tanda kematian saya? Rambut yang mulai memutih? Badan yang sudah mulai ringkih dan tak lagi kekar, wajah yang mulai keriput. 

            Saya tersenyum dan memandang wajah Sakinah yang masih cantik di usianya yang kelima puluh. Dia masih anggun dengan balutan jilbab lebarnya serta gamis yang selalu terlihat bersih. Saya mencintainya … sangat mencintainya. Saya bersyukur setiap malam karena kali ini cinta saya tidak terinterupsi oleh kehadiran Abdul. 

Terakhir saya dengar, Abdul mengganti namanya menjadi Stephen Cow dan tinggal di Singapura. Rumah mewah yang ada di atas bukit, yang kerap ia bangga-banggakan di media, sudah kosong dan entah kapan akan ada kehidupan lagi di sana. Hidup selalu penuh dengan rangkaian masalah, tapi saya bersyukur memiliki Sakinah, ia selalu membantu saya menguraikan segala masalah itu. 

            Tetapi, pada akhirnya nasib membawa saya kembali kepada Abdul. Persahabatan kami yang retak setelah dua kali ia mengambil cinta saya kini harus kembali direkatkan demi seorang Farah. Ya, seharusnya sejak pertama memutuskan mengadopsi anak itu saya tahu bahwa ada benang merah yang tak akan putus. 

            Dua tahun yang lalu, Farah menikah dengan anak kandung saya sendiri. Ada sebuah kekalutan dan rasa tidak terima. Sesayang apa pun saya kepada Farah, di dalam dirinya tetap mengalir darah Abdul. Sekuat apa pun Sakinah mengajarkan agama Islam kepada Farah, di dalam dirinya tetap ada Abdul. Raut wajahnya, gesture pipinya, dagunya, semua mirip Abdul. Maka, lelaki itu tak pernah hilang sepenuhnya dalam kehidupan saya.

            Saya ingat sumpah saya kepada Nancy bahwa saya tidak akan menikahkan anak cucu saya dengan keturunan Abdul. Namun, sumpah itu harus saya ingkari. Semoga Allah memaafkan saya. Pak Kiai, Mama, Sakinah, bahkan Firza sendiri sudah memohon-mohon agar saya mencabut sumpah itu, memaafkan Abdul dan membiarkan Farah menikah dengan Firza ketimbang berbuat dosa. Maka, saya mengalah. Ah, ke mana Nancy? Kalau dia mengetahui hal ini, dia pasti menertawakan saya.

            Sudah 22 tahun saya tidak melihat Abdul. Maka, menemuinya seperti bertemu dengan masa lalu, saya harus melewati banyak kenangan buruk. Andaikata V-Diamond ciptaan Sakinah sudah bisa berfungsi dengan baik, saya berharap itu bisa menghilangkan segala kenangan buruk mengenai Abdul. Bisa membuat langkah saya lebih ringan saat pergi ke Singapura dan harus menunggu berhari-hari agar bisa bertemu dengan Abdul yang supersibuk. Kalau bukan berkat bantuan Deni yang kini memegang satu perusahaan Abdul, mungkin Abdul tak pernah bisa saya temui. 

            Demi kebahagiaan anak saya, saya rela harga diri saya diinjak. Dia, Abdul, dengan rendahnya menghina saya sebagai lelaki gagal. Ia membanggakan jumlah harta dan asetnya yang lebih besar daripada saya. 

Saya hanya menjawab dengan tersenyum, “Kita ini sudah tua. Harta bukan lagi menjadi tujuan utama. Hidup ini adalah ladang untuk mengumpulkan bekal kematian.”

Dan, Abdul menyahuti saya dengan tawa meremehkan. Ia terus berkelakar tentang banyak hal. Istrinya kini sudah empat, anaknya sudah ada lima belas orang dan—sungguh merupakan kuasa Allah—semuanya perempuan. Abdul menyerah untuk bisa mendapatkan anak lelaki biologis. Ia cukup bahagia dan bangga dengan kehadiran Deni.

            Awalnya ia enggan untuk menjadi wali nikah Farah. Bahkan ia sudah melupakan anak gadisnya itu. Saya membujuknya dan meletakkan segala harga diri di tingkatan paling bawah. Abdul puas melihat saya memohon. Ia akhirnya pulang ke Indonesia bersama istri ketiga dan putri kesayangannya, Tania. Untuk kali pertama dalam hidup Farah, akhirnya ia bisa bertemu ibunya. Ibu dan anak itu menangis tersedu-sedu, tega sekali Abdul yang memisahkan mereka berdua. Bahkan Abdul enggan memeluk Farah. Baginya, Farah sudah terlupakan. Selama di Indonesia pun, Abdul jarang bercengkerama dengan Farah. Ia memilih menghabiskan waktu berjalan-jalan dan memenuhi hasrat belanja putri kesayangannya. 

Menurut Deni, Tania adalah anak yang paling diemaskan, paling cantik, yang lahir dari rahim istri ketiganya. Lebih tepatnya, adik biologis Farah. Dia lahir empat tahun setelah kelahiran Farah. Tapi, bahkan Tania sendiri tak menganggap Farah sebagai seorang kakak.  

            Saya tak terlalu suka dengan perilaku Tania. Tampaknya Abdul tak memberikan pendidikan agama dengan baik. Semua istrinya tak ada yang memakai jilbab, anak-anaknya pun demikian. Bahkan Tania terlalu sering berpakaian seksi sehingga Sakinah memaksanya untuk memakai gamis bila sedang berada di rumah kami. Tania juga perempuan manja dan semua keinginannya harus menjadi nyata karena Abdul memang memperlakukannya begitu. Tania adalah putri dan tak boleh ada yang menolak keinginannya.  

Pernikahan Farah dan Firza menjadi sesuatu yang sakral bagi kami semua, khususnya bagi saya. Tak pernah terbayangkan dalam benak saya bahwa saya akan mempunyai menantu yang merupakan anak seorang Abdul. Seseorang yang pernah jadi sahabat saya kemudian saya benci. Meskipun saya mencoba ikhlas dan melupakan masa lalu, tapi kenangan selalu bisa membuat hati menjadi kotor kembali. 

            Tak sampai sehari setelah pernikahan, Abdul terbang kembali ke Singapura bersama istri ketiganya dan Tania. Satu minggu bertemu kedua orangtuanya tak bisa menggantikan puluhan ribu waktu kebersamaan yang hilang dengan mereka. Tapi, Firza bisa membawakan lembaran baru. Firza membuat perempuan itu tertawa. Mereka kedua anak saya.

            Saya bersyukur pernikahan Farah dan Firza berjalan dengan sangat baik. Selama dua tahun ini, mereka masih tinggal di rumah saya. Sakinah yang meminta mereka tetap tinggal di rumah karena rumah kami luas dan rasanya begitu sepi jika hanya ditinggali oleh kami berdua. Mama lebih memilih tetap mengabdi di pesantren dan pulang ke rumah hanya sesekali. Ketika cucu pertama saya lahir, Mama memilih tinggal di rumah, menikmati momen menjadi seorang buyut. 

            Hingga hari ini. Mama pergi sudah. Sakinah membimbing saya pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan di dalam mobil, ia terus menggenggam jemari saya. 

            “Mas Hanif memang tersenyum dan tampak tenang saat pemakaman Ummi. Tapi, saya tahu Mas Hanif menyimpan sebuah ketakutan. Apa yang Mas takuti?”

            “Apa saya terlihat gelisah?” tanya saya pada Sakinah, dan ia mengangguk. “Ya, saya takut akan kematian, Sakinah.”

            “Astagfirullah, Mas. Dengan semua perjalanan hidup Mas Hanif yang dekat dengan Allah, mengapa Mas masih berpikir seperti itu? Bukankah selama ini Mas Hanif tak lagi takut dengan kematian?” tutur Sakinah lembut meskipun saya merasakan dia khawatir. 

            “Iya, Sakinahku sayang. Setelah Bang Nero meninggal, hanya Mamalah satu-satunya anggota keluarga saya yang masih hidup. Allah begitu baik memberikan Mama umur panjang. Katakan saya bodoh, saya menganggap Mama akan terhindar dari kematian. Tapi, pada akhirnya ia kalah juga oleh maut.” Saya menatap Sakinah ragu-ragu. Sesuai dugaan saya, ia menatap saya dengan pandangan tak percaya sekaligus marah. 

            Sakinah melepaskan genggaman jemarinya yang lembut. “Inikah Mas Hanif yang saya kenal? Jadi, selama ini siapa sosok ustaz yang selalu mengajak manusia untuk mengingat kematian? Selalu mengingatkan manusia bahwa kematian itu pasti?”

            “Saya baru menyadarinya tadi, Sakinah.” Saya mengusap wajah. “Belum sampai satu jam yang lalu, saya baru menyadari bahwa umur sepanjang apa pun tetap akan dihadapkan pada kematian. Saya salah. Selama ini hati kecil saya masih ketakutan.” 

Saya mendekap Sakinah, meminta kekuatan dari kehangatannya. “Saya lalu ingat soal mimpi-mimpi saya, soal perempuan misterius dengan jilbab hijau bermotif bunga matahari itu. Itu adalah minggu paling sulit dalam hidup saya, Sakinah. Mimpi itu nyata.”

            “Tapi, Mas sudah menegaskan bahwa itu hanya mimpi.”

            “Ya, kamu benar. Mudah-mudahan ini hanya disebabkan karena kenangan buruk akan kematian. Insya Allah saya akan melawan ketakutan ini.”

            Sakinah membalas pelukan saya erat. Saya pikir semua akan baik-baik saja, sampai kemudian kami tiba di rumah dan mendapati Firza serta Farah sedang bertengkar hebat. Raya, cucu kami yang masih berusia sembilan bulan, menangis meraung-raung di atas box tempat tidurnya. Sementara Firza dan Farah saling melempar cacian. Ada apa? Selama dua tahun pernikahan mereka, saya tak pernah melihat mereka bertengkar. 

            Saya tak membutuhkan penjelasan lebih lanjut ketika saya melihat sesosok perempuan yang menangis-nangis di dekat Firza. Perempuan itu adalah Tania. Tubuhnya masih kurus seperti pertama kali saya bertemu dengannya, tapi kini perutnya membuncit. Ia menangis tersedu—sungguhan menangis—dan saya melihat sinar keputusasaan di wajahnya. 

            “Astagfirullahalazim. Istigfar, Farah. Ada masalah apa? Bicarakan baik-baik. Kita sedang masa berkabung. Seharusnya kematian seseorang membuat kita menjadi lebih dewasa, Nak.” Sakinah merangkul Farah yang masih menjerit-jerit. Saya belum menangkap kalimat-kalimat apa yang ia lontarkan.

            Saya menatap Firza dan kecewa ketika mendapati raut ketakutan di wajahnya. Ia seperti ingin kabur dari ruang tamu ini.

            “Dia yang seharusnya istigfar, Ummi. Dia yang seharusnya bertobat! Lelaki berengsek!”

            “Dia anak Ummi, Farah,” Sakinah menahan diri.

            “Tapi, dia menghamili Tania … dia menghamili Tania!” teriakan Farah disusul oleh lolongan menyayat hati. Farah terjatuh duduk di sofa dan bahunya terguncang. Sama terguncangnya dengan hati dan tubuh saya. 

            Saya menatap Firza kembali, mencari jawaban dari sorot mata anak saya. Dia ketakutan, bersimpuh di depan saya sambil menangis.

            “Demi Allah, Ayah, saya khilaf. Tania yang menggoda saya.”

            “Tapi, kamu mau saya goda!” Tania melengking. 

            Firza tak memedulikannya. “Malam itu saya khilaf, Ayah. Hanya sekali dan saya langsung bertobat. Saya memohon ampunan kepada Allah, tapi Farah tak mau mengampuni saya.”

            “Perempuan itu meminta Firza menikahinya! Bagaimana mungkin saya terima?!” pekik Farah. Sakinah terus berusaha menenangkannya. 

            “Kalaupun saya menikahinya, itu akan terjadi setelah anaknya lahir, dan Tania harus berubah menjadi perempuan salihah. Kami akan bertobat bersama-sama. Saya akan belajar menjadi ayah dan suami yang lebih baik.”

            “Firza, pernikahan bukan permainan.” Saya kehilangan kata-kata.

            “Kalau kamu tidak menikahi saya sekarang, saya akan lapor polisi!” Tania menjerit dan segera keluar dari rumah ini. Firza terdiam lama.

            “Firza, kejar dia!” kata saya. Saya tak mau mencari masalah. “Bawa dia kemari dan kita diskusikan masalah ini baik-baik.”

            “Tidak, Ayah. Saya mau menenangkan Farah dulu.”

            “Ikuti kata Ayah sekarang! Bawa dia kembali ke sini!” tegas saya.

            Firza tampak ketakutan dan segera keluar dari rumah ini, berlari menyusul Tania.

Kepala saya mendadak pusing dan jantung saya berdebar sangat cepat. Sakinah segera menangkap saya yang terhuyung, mendudukkan saya di sebelah Farah, kemudian mengambil Raya yang menangis di kamar. Saya bersyukur, dialah yang tetap tenang dalam keadaan ini. 

            Beberapa menit kemudian, satpam rumah kami berlarian masuk ke rumah dengan wajah ketakutan. Ia mengabarkan sesuatu yang membuat saya terpuruk untuk beberapa tahun ke depan. 

***

 

Aku

            Aku masih bergetar membacakan surat Nenek yang ditujukan untuk Kakek.

            Sejak Firza meninggal dalam kecelakaan itu, kamu mulai berubah. Kamu mulai menganggap Allah tidak adil. Allah itu Mahaadil, Mas. Saya adalah orang yang paling terluka atas kehilangan Firza, tapi saya yakin Allah Mahaadil, Allah Mahabaik. Allah tak ingin Firza terjebak dalam pernikahannya dengan Tania. Saya yakin Firza husnulkhatimah. Bukankah ia sudah bertobat dan Allah adalah Maha Pengampun?

            Jangan lagi menyalahkan diri atas kematian Firza. Ketika kamu memintanya untuk menyusul Tania, itu adalah kehendak Allah. Sudah diatur oleh-Nya. Maka, ikhlaskan semuanya, Mas. Saya katakan pada Raya, jika kamu sudah membaca surat ini, Raya boleh membacanya dan ia harus membacanya. Ia harus mengetahui hal-hal yang selama ini kita sembunyikan. 

            Raya harus tahu bahwa ayahnya meninggal karena kecelakaan saat mengejar Tania. Mereka meninggal bersamaan. Ayahnya bukan meninggal karena kanker. Ibunya sakit kanker karena perasaan sedih yang mendalam sehingga ia kalah oleh penyakit itu. Saya bersyukur Firza tidak meninggal di jalan. Ia sempat diopname selama beberapa hari, sempat berbicara pada kita, sempat meminta maaf kepada Farah, berkali-kali memohon ampunan kepada Allah, dan sayalah yang membimbing dia pergi. 

            Allah Mahabaik, Mas. Maka, jangan takut lagi kepada kematian. Allah yang menentukan kehidupan kita. Pun ketika Mas Hanif kembali dipertemukan dengan Heru. Mas Hanif malah ketakutan bukan main. Takut karena ternyata istrinya masih hidup. Mas Hanif mulai kembali bermimpi soal perempuan berjilbab hijau dengan motif bunga matahari. Setiap malam, kamu ketakutan dan memohon kepada saya agar tak lagi menerima istrinya berobat di Rumah Sakit Sehat Sentosa. Ketakutanmu semakin berlebihan.

***

 

Saya

            Saya menarik jilbab hijau dengan motif bunga matahari yang hendak digunakan oleh Sakinah dan melemparnya sekuat tenaga ke lantai. Saya seperti orang ketakutan, diburu kematian. Saya terengah-engah. Sakinah memandang saya nanar. Kami tak pernah bertengkar hebat selama empat puluh tahun pernikahan kami, tapi pertengkaran kali ini tidak bisa dielakkan. 

            “Sudah saya bilang, jangan pakai jilbab itu! Ini sudah keempat kalinya saya harus marah oleh hal yang sama, Sakinah!”

            “Tapi, ini hadiah dari istri Pak Heru, Mas Hanif. Sebagai tanda terima kasih karena Mas Heru menjadi sehat setelah berobat di Rumah Sakit Sehat Sentosa.”

            “Justru itu … saya takuti itu!” 

            “Ini jilbab langka, hanya diproduksi satu. Bunga mataharinya bukan hasil cetakan, tapi buatan tangan. Beledu serta ornamennya dijahit tangan. Dari pengrajin di Turki, makanya ini jilbab spesial.”

            “Justru itu yang saya takuti! Kalau hanya ada satu jilbab di dunia, maka saya akan segera mati begitu bertemu dengan perempuan yang memakai jilbab itu, dan dia sekarat!”

            “Mas Hanif mendoakan saya sekarat? Saya memang sudah tua dan sakit-sakitan, tapi saya tidak sekarat.”

            “Ya, tapi kematian bisa menimpa siapa saja, termasuk orang sehat seperti Bang Nero!”

            “Mas Hanif tahu hal itu, jadi mengapa harus takut? Mimpi Mas Hanif pasti akan jadi kenyataan karena setiap orang pasti meninggal, termasuk Mas Hanif. Jadi, kenapa harus takut? Ke mana menguapnya ilmu agama yang selama ini Mas amalkan?”

            “Cukup! Jangan ceramahi saya!” Saya mengambil jilbab dari lantai, kemudian membawanya ke luar kamar. Saya akan bakar jilbab ini sehingga tak perlu lagi merasa ketakutan. 

Sakinah menyusul saya, menghadang saya, dan berusaha sekuat tenaga mengambil jilbab dari tangan saya. 

            “Ini hanya jilbab, Sakinah! Saya bisa membelikan sepuluh yang lebih bagus dari ini!”

            “Ini bukan soal jilbabnya, ini soal Mas Hanif. Kalau saya membiarkan Mas membakar jilbab ini, berarti sama saja saya menyetujui ketakutan Mas Hanif. Mas harus membiarkan saya memakai jilbab ini dan lawan ketakutan Mas!”

            “Saya tidak mau kamu meninggal, Sakinah! Saya mencintai kamu.”

            “Saya juga mencintai kamu, Mas, tapi setiap orang pasti akan meninggal. Tak terkecuali, Mas. Tak terkecuali. Saya memakai jilbab ini atau tidak, saya pasti akan meninggal, Mas. Begitu juga dengan Mas Hanif.”

            “Cukup! Cukup! Saya akan pergi! Saya akan pergi dari kamu. Kamu tidak mau mendengarkan saya lagi, kamu keras kepala! Saya akan menceraikan kamu!” 

            Dunia sudah meledak di kepala saya. Tangisan Sakinah terdengar seperti peluru yang menembus jantung saya. Tapi, saya tak mau mati. Saya harus lari dari kematian. 

***

 

Aku

            Aku membaca bagian akhir surat Nenek kepadamu, Kek.

Mas Hanif, saya mungkin pernah menjadi perempuan kuat. Menemanimu dalam segala rintangan kehidupan. Tapi, ternyata saya menjadi sangat lemah ketika kamu pergi menceraikan saya. Saya sudah senja, kita sudah tua dan tulang-tulang kita begitu lemah. Saya tak bisa terus berjalan mencarimu ke setiap sudut kota atau menjelajahi tempat yang dulu pernah kamu singgahi. 

Saya telah menjadi perempuan lemah. Kehilangan cahaya hati dan cahaya mata saya, yaitu kamu. Saya tahu selalu ada Allah yang menguatkan saya. Tapi, sungguh, saya tak mau meninggal dalam kesendirian. Saya tak mau meninggal dengan status janda. Saya masih mencintaimu, Mas Hanif. Saya selalu menyematkannya dalam doa-doa saya agar saya bisa meninggal dengan husnulkhatimah.

Ingatkah janjimu? Akan menjadikan keluarga kita sakinah dan mengantarkan saya kepada husnulkhatimah? Saya bertahan demi kamu. Saya berjuang tetap hidup agar Allah berbaik hati mempertemukan hati kita berdua. Ya, hati kita, bukan sekadar fisik. Saya ingin kamulah lelaki satu-satunya yang akan menggenggam jemari saya di surga. Kembalilah, Sayang. Hadapi kematian kita kelak dengan cinta dan keberanian. Jika kamu masih takut akan pertemuan dengan-Nya, biar saya yang akan menemanimu, saya yang akan menenangkan badai hatimu. Kembalilah, Sayang. Saya selalu mencintaimu. 

 

Yours, yang selalu menantimu di ujung surga-Nya.

Sakinah 

 

 Aku melipat surat dengan perasaan sesak. Air mataku merebak dan Miss Margaretha juga sibuk menahan isak. Kami berdua berada dalam zona perasaan haru yang sama. Surat ini membuatku jungkir balik. Kenyataan demi kenyataan dipaparkan jelas, membuat aku tak percaya, tak bisa menerima. Sampai kemudian, Miss Margaretha menyerahkan sebuah kunci kecil kepadaku. 

            “Selesaikan semuanya. Ini adalah kunci dari peti kecil itu. Peti itu pemberian Abdul, saya mengembalikan peti itu kepada Abdul, setahun sebelum saya kembali ke Kanada. Bertahun-tahun saya menjalani hidup bebas di sana, sampai kemudian saya pergi ke Spanyol dan melihat Mezquita, sisa peradaban Islam di Cordoba. Dari sanalah saya mulai mempelajari Islam dari seorang muslimah yang menjadi teman saya.”

            “Lalu, bagaimana Miss bisa bertemu kembali dengan Kakek saya?”

            “Dulu saya jurnalis dan editor naskah. Tiga belas tahun yang lalu, saya menggeluti kembali hobi melukis saya. Saya belajar sehingga bisa menjadi ahli. Lukisan-lukisan saya banyak dibeli oleh para pengusaha dan pemerintah. Saya memutuskan kembali tinggal di Indonesia karena saya banyak mendapat ide melukis di sini. Di sinilah akhirnya saya bertemu kembali dengan Hanif dan dia yang memantapkan hati saya untuk memilih Islam.”

            “Karena Miss mencintai kakek saya?”

            “A long time ago, but now, I don’t. Saya murni mencintai Allah. Dia hanya membimbing saya mengucap dua kalimat syahadat di Masjid Agung. Setelah itu, ia menghilang. Setelah kamu datang ke rumah saya, saya mengerahkan semua koneksi saya untuk mencari Mas Hanif, dan di sinilah saya kembali bertemu dengannya. Khusus mengantarkan surat darimu dan nenekmu. Apa isi surat cintamu?”

            “Hanya satu halaman surat penuh cinta, kerinduan, dan keinginan Kakek untuk kembali kepada Nenek. Aku tahu mereka saling mencintai.” Aku memandang Miss Margaretha penuh selidik. Ia seperti tahu apa yang aku pikirkan. 

Miss Margaretha berdiri lalu memelukku. “Tenang saja, Raya. Saya tidak pernah berpikir untuk menjadi orang ketiga lagi,” ia tertawa kecil dan melepas pelukannya. “Saya sudah terlalu tua, saya ingin fokus beribadah kepada-Nya.”

            “Apa Miss tidak takut meninggal dalam keadaan belum menikah?”

            “Tentu saja saya ingin meninggal dalam keadaan sudah menikah. Semoga Allah mempertemukan saya dengan jodoh yang baik. Kalaupun tidak, setidaknya saya sudah berusaha.” 

            Seseorang mengetuk pintu, kemudian Miss Margaretha mempersilakannya masuk.

Salah seorang asisten Miss Margaretha yang ikut menginap membawakan kotak kecil sambil berkata, “Miss, hujan dan badai sudah reda. Sekitar tiga puluh menit lagi, jemputan akan datang. Ini kunci yang Miss minta, saya permisi.” Lalu, asisten itu pergi. 

            Miss Margaretha memperlihatkan kotak itu kepadaku dan membukanya. Isinya sebuah kunci perak dengan ukiran yang persis dengan model ukiran di peti perak kecil milikku. Aku membuka tas di atas meja, mengambil peti itu perlahan-lahan. 

            “Saat bertemu kembali dengan Mas Hanif, saya berkata kepadanya bahwa saya sudah mengembalikan peti pemberian Abdul kepada yang bersangkutan. Saya mencari Abdul ke sana kemari, Abdul yang sudah terkenal dan kaya raya. Kemudian, satu kunci milik saya, saya berikan kepada Hanif.” Miss Margaretha berdiri di depan jendela, menyibak sedikit tirai dan membiarkan cahaya matahari masuk setelah hujan reda. Punggungnya seolah memancakan sinar kepadaku. “Saya bilang waktu itu, ‘Peti itu sudah saya kembalikan, kuncinya ada di kamu. Itu artinya, saya sudah membuang hati saya untuk Abdul. Saya mengunci rapat hati saya untuk cinta dan kunci hati saya ada di kamu.’”

            “Itu artinya?” Aku bertanya hati-hati. “Miss masih berharap kakekku kembali kepada Miss? Miss masih mencintainya?”

            “Ya, itu terjadi setelah lima belas tahun pernikahannya dengan Sakinah. Bayangkan, Raya, saya menahan cinta yang perih di hati saya.  Saya menyempatkan diri khusus kembali ke Indonesia demi mempertanyakan cinta saya. Bila Hanif menerima cinta saya, dia akan datang kepada saya dengan membawa kunci itu. Tapi, dia tak pernah datang. Dia setia kepada Sakinah.” Miss Margaretha berbalik badan. Ia tampak anggun dengan jilbab dan gaun gamisnya. “Saat patah hati dan terpuruk itulah saya mengenal Islam. Saya jatuh cinta kepada Islam. Dan, saya merelakan Mas Hanif. Sangat merelakannya. Setidaknya Mas Hanif menyimpan kunci itu.”

            “Apakah itu tanda bahwa Kakek masih mencintai Miss?” Ada cemburu di dadaku.

            Miss Margaretha menggeleng.

***

            

Saya

            Saya sedang dalam sebuah perjalanan. Sebuah perjalanan pulang. Lagu lawas Coldplay yang berjudul “Fix You” menjadi teman setia perjalanan saya saat ini, mengalun dari speaker pesawat. Saya mencoba mengabaikan lagu ini dan membaca Alquran, tapi syair lagu ini seperti ditujukan untuk saya. 

            When you try your best, but you don’t succeed

            Saya sudah berusaha menjadi hamba Allah yang terbaik, menjadi suami saleh yang terbaik untuk Sakinah, tapi ternyata saya gagal. Saya lemah terhadap ketakutan saya sampai-sampai saya menceraikannya tanpa memproses ke pengadilan agama. Saya lari membawa jilbab hijau bermotif bunga matahari yang menjadi pemicu pertengkaran kami. Saya membuang jilbab itu, tapi orang-orang selalu mengembalikannya kepada saya. Seolah Allah ingin saya selalu mengingat kematian. Tetapi, setiap melihat jilbab itu, saya teringat pada kematian Bang Nero, pengkhianatan Nancy, terkurung di rumah Nancy, kelaparan, serta sugesti betapa sakitnya kematian. Ketakutan saya muncul kembali meskipun mimpi misterius itu tak pernah lagi datang, tapi begitu membekas hingga puluhan tahun. 

            Saya lalu berpikir mungkin saya sakit jiwa. Mungkin jin tengah bersarang di dada saya. Saya mencoba pergi untuk rukiah, tapi tak berhasil. Kemudian, hal yang bisa saya lakukan hanyalah mengabdikan diri untuk masyarakat. Saya merelakan diri saya jadi pusat penelitian para lansia. Membiarkan mereka belajar dari saya bagaimana menjadi tua. Manusia tua begitu langka di masa sekarang ini. Banyak orang yang mati muda karena kecanduan internet, tidak pernah olahraga, Touch, dan terkena virus V-Diamond. Virus yang dulu pernah digagas oleh Sakinah dan disalahgunakan oleh orang lain. 

            Dari tempat penelitian itulah saya tahu bahwa di Indonesia saat ini hanya tersisa 1.825 orang lansia. Hanya sebesar itu dari total satu miliar penduduk. Sungguh miris. Angka kelahiran tumbuh cepat begitu juga angka kematian. Peneliti zaman sekarang ingin mengembalikan masa tua kepada orang-orang. Banyak orang yang berusia 20-30 tahun mengikuti program “menjadi tua”. Cita-cita yang saat ini sedang tren di televisi adalah “mari menjadi tua dan meninggal dengan sehat”.          

Kemudian, tanpa sadar, selama sepuluh tahun di sana, saya menyimpan jilbab hijau dengan motif bunga matahari itu di bawah kasur saya. Saya menyimpan mimpi buruk itu.

            When you get what you want but not what you need

            Ya, saya memang mendapatkan apa yang saya inginkan. Saya ingin pergi dari Sakinah. Saya tak ingin seorang perempuan pun memakai jilbab itu dan mengajak saya meninggal seperti mimpi saya dulu. Saya merasa aman di pusat penelitian itu, tapi ternyata bukan itu yang saya butuhkan. Karena, saya tak nyaman. Saya selalu gelisah dan merindukan Sakinah. 

            Saya mencintai perempuan itu dan menyesal telah mengucapkan talak kepadanya. Bahkan mengajak ustaz Pesantren Hidayah untuk menyaksikan bahwa saya menceraikannya secara agama. Saya pikir saya bisa hidup selamanya. Saya bodoh. Saya sangat bodoh. Terima kasih kepada Allah yang sudah mendatangkan Nancy kepada saya. Bukan … bukan karena saya masih mencintai dia. Sejak Sakinah datang, tak ada lagi cinta untuknya, meskipun ia memberikan kunci hatinya kepada saya. Saya bergeming. 

            Pertemuan singkat kami beberapa kali membawa Nancy akhirnya memeluk Islam. Saya yang membimbingnya. Subhanallah ... Allahu Akbar. Setelah memeluk Islam, Nancy berkata bahwa ia sama sekali sudah tidak mencintai saya. Saya bahagia mendengarnya dan mengharapkan kebahagiaan untuk Nancy. 

            Saya pikir saya tak akan bertemu dengannya lagi. Sampai kemudian, di suatu senja yang begitu sepi, ia datang dengan gamis serta jilbab putihnya yang bersih. Di mata saya saat itu, ia laksana malaikat, bercahaya dan membawa kabar gembira. Ia bukan malaikat, akan tetapi ia membawa kabar gembira. Ia memberikan saya surat. Sesuatu yang sudah langka saat sekarang ini. Surat yang saya buka dengan tangan gemetar. Saya bahagia membaca dua pucuk surat itu. Satu dari Sakinah, yang satu lagi surat kerinduan dari cucu tersayang saya; Raya. 

            Yang saya butuhkan sekarang adalah cinta dari Sakinah. Cukup sudah saya menahannya selama sepuluh tahun ini. Saya tak mau kehilangan cinta lagi. 

            When you feel so tired but you cannot sleep

            Jiwa saya sangat lelah. Dan, kematian adalah tempat peristirahatan yang abadi.

            Stuck in reverse

            And the tears come streaming down your face

            Setelah menerima surat dari Sakinah, saya menangis. Campur aduk perasaan saya, antara bahagia dan sedih. Bahagia karena ternyata Sakinah pun masih mencintai saya. Sungguh besar ego saya yang enggan mengaku salah dan menemuinya. Kemudian, saya menangis dalam salat Tahajud saya, memohon ampunan kepada Allah. Sungguh saya sangat takut akan kematian. Ketakutan saya salah kaprah. Seharusnya saya menakutkan kelengkapan bekal saya, apakah saya akan meninggal dengan bekal yang cukup? Atau meninggal dengan bekal yang seadanya? Bahkan kosong? Apakah ibadah saya sia-sia? Seharusnya itu yang saya takutkan. Bukan malah menakutkan tentang sakitnya dicabut nyawa atau betapa pedihnya kehilangan kehidupan di dunia.

            Hidup sampai umur 77 tahun seperti saat ini sungguh merupakan mukjizat. Sungguh merupakan nikmat Allah. Sungguh saya orang yang tak pandai bersyukur. Kufur nikmat. Saya berpikir untuk apakah umur sepanjang ini? Mungkin ibadah saya tak cukup untuk bekal saya. Atau Allah masih ingin saya mengumpulkan bekal lagi? Entahlah, hanya Allah yang tahu rahasia umur. 

            When you lose something you can’t replace

            Saya kehilangan Sakinah. Dia sesuatu yang tak tergantikan. Ya Allah, berilah saya waktu untuk bertemu dengannya. Pesawat penumpang khusus lansia yang membawa saya terbang terasa sangat lamban. Ya Allah, izinkan saya kembali kepada Sakinah untuk mewujudkan impian terakhirnya. Membawanya pada husnulkhatimah. Meskipun saya tak tahu siapakah di antara kami yang akan pergi terlebih dahulu, tapi setidaknya, saya ingin ada di surga kelak bersamanya. Izinkan saya menikahinya kembali, ya Allah.

            Lights will guide you home

            Ya … ya, cahaya Ilahi telah mengantarkan saya kembali untuk pulang. Pulang ke rumah, Sakinah. Tunggu saya ….

            And ignite your bones

            Allah, kuatkanlah tulang-tulang saya agar saya bisa melangkah ke hadapan perempuan yang saya sayangi dunia dan akhirat. 

            And I will try to fix you

            Dan, saya akan mencoba memulihkanmu, Sakinah. Memulihkan hatimu yang terluka. Bertemu denganmu juga akan memulihkan saya dari ketakutan saya yang absurd ini.

            Dengan tangan gemetar, saya menggenggam tas ransel saya. Pesawat sudah landing. Lagu Coldplay berganti dengan alunan surah Ar-Rahman. Saya harus bersyukur.[] 

 


 

7

Pertemuan Itu

 

Aku

            Aku tak percaya pada pandanganku. Aku berpisah dengan Miss Margaretha di bandara. Ia harus melanjutkan perjalanan bisnisnya ke Paris. Begitu aku tiba di rumah sakit, di ruang rawat Nenek, hal yang pertama aku lihat adalah sosok tegap Kakek. Meskipun sudah berumur 77 tahun, ia masih tampak gagah dan rupawan walaupun tubuhnya rapuh.

            “Akhirnya aku bertemu denganmu, Kek ...,” gumamku pelan tapi berhasil membuat Kakek menoleh kepadaku. 

            “Raya …,” suaranya parau tapi masih hangat. Suaramu yang aku rindukan, Kek. 

            Aku berlari menyongsongnya, hal yang sudah lama ingin kulakukan. Aku memelukmu, mencium punggung tanganmu, Kek, lalu kamu membelaiku, menepuk pundakku. Kehangatan dan kasih sayang yang hilang selama sepuluh tahun terakhir.

            “Kamu sudah besar, Raya.” 

Aku melihat air matanya mengalir deras. Ia terisak. 

“Maafkan Kakek, Nak. Maafkan kebodohan Kakek.” Kamu lalu memelukku erat. 

            Seandainya saja itu terjadi. Seandainya saja aku bisa bersua denganmu. Tapi, semua itu hanya sekelebat imajinasi. Aku memang melihatmu di ruang kamar Nenek. Tapi, kamu berbaring kaku, tempat tidurmu dan tempat tidur Nenek bersisian. Membuat aku pilu. 

            Dokter Faisal dan Dokter Barbara beserta staf mereka meminta aku untuk keluar dan mengajakku berbicara di ruang pemantauan. 

            “Ada apa ini?” Sekarang air mataku yang meledak. Seluruh tubuhku ngilu. 

            “Lima jam yang lalu, beberapa orang berlarian ke ruang UGD membawa seorang kakek tua yang mengalami kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Taksi yang ditumpanginya menabrak truk molen. Ternyata kami mengenalinya, dia Tuan Hanif.” Dokter Barbara angkat bicara. 

            “Lalu, kenapa dirawat satu ruangan dengan Nenek?”

            “Kami sudah membawanya ke ruang ICU, di sana detak jantungnya malah melemah. Seorang dari beberapa pemuda yang membawa Tuan Hanif memberi tahu kalimat yang disebut oleh Tuan Hanif sebelum beliau koma.” Dokter Faisal menjelaskan. 

            “Apa itu?” Aku mulai tak sabar. 

            “Ya Allah, aku ingin kembali menikahi Sakinah,” ujar Dokter Barbara lembut. “Karena itulah, saya berinisiatif membawanya kemari. Selama tiga jam di ruangan itu, detak jantungnya stabil. Sepertinya ia bisa merasakan kehadiran Madam Sakinah.”

            Aku meremas jemariku, perasaan haru yang ingin meledak. Kenapa di saat seharusnya terjadi sebuah pertemuan indah malah menjadi seperti ini? Skenario-Mu, ya Allah, begitu dahsyat, dan hamba tak mampu mengelaknya. Koma berdua. Apakah sesuatu yang romantis atau tragis?

            “Nenek ingin sekali meninggal sebagai istri seorang Hanif,” ujarku di sela isak. “Kita harus membuat mereka menikah kembali sebelum meninggal.”

            “Raya, kami hanya manusia biasa. Bila Allah berkehendak mereka meninggal dalam keadaan menjadi duda dan janda, kita tak bisa mengelak.”

            “Justru karena kita manusia kita harus berusaha semaksimal mungkin. Kita usahakan. Urusan hasil, kita serahkan kepada Allah. Dia yang Maha Berkehendak dan tugas kita adalah berusaha. Usahakan!” tegasku.

            Dokter Barbara dan Dokter Faisal mengangguk. Mereka bergegas mencari tim dan mempersiapkan berbagai peralatan untuk membantu menyadarkan Kakek dan Nenek. Mereka baru koma, belum titik. Masih ada jeda. 

            Di tengah kesibukan para dokter, ponsel klasikku berbunyi. Aku menepi mencari tempat sepi dan menjawab panggilan. 

            “Assalamualaikum.”

            “Waalaikumsalam, Raya. Ini Sena.”

            Oh … aku nyaris melupakan dia. Hatiku gelisah. “Ya … Sena. Aku baru saja tiba dari Padang. Tenang saja, surat itu sudah aku baca. Kamu boleh sampaikan kepada kakekmu.”

            “Itu saja?”

            “Lalu, maumu apa?”

            “Tak ada isi surat yang membuat emosimu terkuras? Kakek bilang, isinya akan sangat membuat Bu Firza terluka. Tapi, kamu terdengar santai.”

            Aku menghela napas pendek. “Sena, tak ada gunanya menangisi masa lalu. Lagi pula, sebelum membaca surat dari kakekmu, aku sudah membaca surat dari Nenek kepada kakekku. Surat itu berisi rangkuman perjalanan hidup mereka. Sedikit banyak, aku tahu siapa ibuku yang ternyata … euuh … adalah anak dari kakekmu.”

            “Masya Allah! Benarkah itu?” Suara Sena terdengar gusar. Tapi, kemudian suaranya berubah sedikit riang. “Tapi, tenang saja, ibuku bukan anak kandung Kakek, ayahku juga adalah anak angkatnya. Berarti aku tidak punya hubungan darah sama sekali dengan dia.”

            “Apa hubungannya?” Aku menangkap gelagat yang akan membuatku malu. 

            “Itu artinya aku tetap bisa melamarmu.”

            Benar saja, pipiku memanas. Aku pikir dia sudah tidak akan membahas hal ini lagi. 

            “Aku …,” lidahku kelu. Apa aku mau? Ya Allah, aku bahkan belum mengenal dia lebih dekat. 

Aku menggeleng keras. “Tidak bisa, Sena. Waktu umur lima belas tahun, Kakek pernah memintaku berjanji untuk tidak menikah dengan anak, cucu, atau keturunan dari Stephen Cow, atau … yang baru kuketahui ternyata bernama Abdul Jamal. Aku tak boleh melanggar janji itu.”

            “Tapi, aku bukan keturunan kandungnya, Raya.”

            “Tapi, kamu sedikit banyak dididik olehnya.”

            “Raya,” Sena mengambil jeda agak lama, “aku tahu masa lalu kelam kakekku. Tapi, aku berani berjanji kepadamu bahwa aku tak pernah mempermainkan perempuan. Sejak Salsabila menyukaimu di TV, aku pun diam-diam mengagumi sepak terjangmu. Meskipun pertemuan pertama kita terkesan tak menyenangkan, tapi sungguh menyenangkan bagiku.”

            Jantungku berdebar tak keruan. Seharusnya kalimat manis seperti ini terjadi di sebuah restoran yang romantis atau di teras masjid yang syahdu, bukan saat kedua orang yang kucintai terbaring koma. 

            Aku memejamkan mata untuk beberapa jarak helaan napas. Sena memanggil namaku kembali. 

“Sena, aku tetap harus meminta izin pada kakekku. Tugasku sekarang adalah membuat mereka sadar. Pernikahan Kakek dan Nenek lebih penting dari pernikahanku.”

            “Apa yang terjadi? Aku akan membantumu.”

***

 

Saya

            Saya berada dalam sebuah dimensi aneh yang saya sendiri tak bisa mendefinisikannya. Kadang saya hanya melihat kepekatan, hitam bercampur abu-abu, lalu tiba-tiba saya berada di ruang dan waktu yang berbeda seperti siang hari dengan taman-taman bunga. Lalu, semua berubah lagi, saya berada di ruang hampa. Tubuh saya melayang-layang, tapi saya tidak merasa seringkih biasanya. Tulang-tulang saya terasa kuat, organ tubuh saya terasa bekerja kembali muda, saya bisa bergerak dengan cepat. Salto. Melompat. Sampai melihat cermin di mana-mana dan mendapati diri saya sewaktu masih berusia dua puluhan tahun. 

            Apakah saya sudah meninggal? Apakah hanya pingsan? Atau hanya tidur? Yang pasti, baru beberapa menit memejamkan mata di taksi, saya merasakan benturan luar biasa. Tubuh saya seperti dipukuli oleh puluhan palu. Diimpit batu hingga sesak. Saya pikir saya mati. Tapi, saya tak melihat Izrail, atau … sosok apa punlah itu yang mungkin bisa saya definisikan sebagai Malaikat Izrail.

            Tak ada yang menghampiri saya. Tiba-tiba saja saya ada di dimensi lain ini. Kemudian, ruang di sekitar saya menjadi gelap, hanya ada setitik cahaya di kejauhan. Saya seperti harus berenang ke sana, berlari, atau berjalan? Saya tak tahu persis seperti apa. Yang pasti, saya bergerak ke sana. Tapi, tubuh saya melemah. Saya melihat tangan saya kembali keriput dan tulang-tulang saya terasa rapuh. Jantung saya berdebar pelan, perut saya sakit bukan main, dan saya memutuskan untuk pasrah saja terluntang-lantung di sini. 

Namun, sebuah suara dengkuran halus yang akrab di telinga saya membuat kesadaran saya meningkat. Itu dengkuran halus Sakinah ketika ia tidur. Saya hafal betul meskipun sepuluh tahun tidak bersamanya. Suara itu begitu dekat di hati saya, membuat saya rindu setengah mati dan ingin bertemu dengannya. Sakinah ada di sini. 

            Saya berusaha untuk bergerak terus ke arah sumber suara itu, tapi saya selalu salah jalan. Sampai kemudian, kegelapan di sekitar saya hilang, berganti dengan ruang yang penuh layar. Ada wajah seseorang di sana, wajah yang sepuluh tahun lalu terlihat belia, kini sudah lebih tua dan terlihat lebih pucat. Raya … cucu saya tersayang.             

            Spontan, saya tersenyum melihat gambar itu. Saya merindukannya. Air mata mengalir di pipi saya yang keriput. Saya tersenyum lebar. Ah, saya malu memperlihatkan empat gigi depan saya yang sudah tanggal. Meskipun terlihat seperti bunga layu, Raya tetap terlihat cantik. 

            “Kakek ….” 

Saya melihat ia tersenyum bahagia. Suaranya bergetar dengan mata berkaca-kaca. Di sampingnya ada seorang dokter. Samar-samar, saya ingat ia bekerja di Rumah Sakit Sehat Sentosa milik Sakinah. Mengapa Raya di sana? Apakah dia sakit?

            “Kakek …,” Raya kembali memanggil saya. Perlukah saya jawab? Ah ….

            “Ya?” jawab saya pelan. Jika ini mimpi, maka biarlah menjadi mimpi indah, saya bisa berdialog dengan cucu saya tercinta. 

            Raya memekik girang. Saya heran. Seorang lelaki muda yang tampan maju ke depan layar. Ia seperti mengutak-atik sesuatu di atas layar itu. Sepertinya saya familier dengan wajah pemuda itu. Mengingatkan saya pada seseorang yang pernah saya temui. Tapi, di mana?

            “Kakek, bertahanlah, Kek. Ini aku, Raya. Aku merindukanmu, Kek. Aku sudah mencarimu sepuluh tahun terakhir. Aku sangat merindukanmu,” Raya terisak. Dada saya penuh dengan kenangan dan rindu. 

            “Kakek juga merindukanmu,” jawab saya lemah dan pelan. Tubuh saya menjadi lemas, tapi melihat Raya membuat saya kuat. Setidaknya, jiwa saya kuat, ada harapan-harapan serta pintu gerbang kebahagiaan di depan sana. 

            “Kakek sedang koma, berbaring di samping Nenek yang juga koma,” ujar Raya, suaranya kini agak putus-putus. 

            “Lanjutkan saja, Raya. Dekatkan dirimu ke telinganya.” Pemuda di sebelah Raya terlihat memberikan instruksi, lalu gambar Raya menghilang dari layar. 

            “Kakek, Kakek harus sadar. Kakek harus menguatkan diri untuk sadar. Bangunlah, Kek, bangun. Nenek koma.”

            Sakinah koma? Saya koma? Di ambang kematian. Tubuh saya bergetar ketakutan. Tanpa sadar, saya terduduk lemas, kemudian meringkuk. 

            “Kakek, insya Allah Kakek bisa kembali sadar. Kakek harus tetap hidup dan menikahi Nenek. Apakah Kakek masih mencintai Nenek?” Suara Raya kembali terdengar.

            “Ya … sangat mencintainya.” Saya merasa kedinginan sekali. 

            “Mas Hanif,” suara perempuan yang lembut segera menghangatkan saya. Sekuat tenaga, saya berusaha mengangkat kepala dan melihat siapa yang datang. 

            Sakinahku sayang. 

***

 

Aku

            Aku sangat berterima kasih kepada Sena. Setelah mendengarkan ceritaku dengan singkat, ia segera melakukan sesuatu. Sena beserta para ilmuwan di perusahaannya sedang mengembangkan teknologi baru, yaitu Touch Type 2. Jika Touch adalah program komputer, robot di dalam layar yang dibenamkan memori orang-orang yang sudah meninggal seolah-olah orang itu masih hidup di layar, maka Touch Type 2 khusus diperuntukkan bagi orang yang koma. 

            Aku sangat membenci Touch karena aku pikir itu membodohi masyarakat sehingga menghilangkan rasa takut akan kematian. Ketika rasa takut itu hilang, maka mereka akan lalai dalam mencari bekal menuju akhirat. Apalagi layar Touch sering menampilkan kebohongan dengan memberikan visual alam kubur yang sebenarnya hal gaib. Semua yang baik atau jahat semasa hidupnya, beragama atau tidak beragama, semuanya terlihat bahagia di dalam kubur. Seolah menafikan keberadaan alam barzakh serta menafikan Malaikat Munkar dan Nakir. 

            Namun, Sena menjelaskan kepadaku bahwa ia pun sebenarnya tak setuju dengan Touch. Itulah sebabnya ia menerima saja ketika warisan perusahaan Touch jatuh ke tangannya. Misi Sena tak lain adalah menghapus Touch dari makam. Menjadikan makam kembali menjadi guru bisu. Guru sunyi yang mengajarkan makna hidup sesungguhnya. 

            Sejak setahun lalu, diam-diam Sena dan timnya menciptakan teknologi Touch Type 2 ini, fungsinya hanya untuk menolong orang-orang yang koma dan kritis. Aku kurang paham bagaimana cara alat itu bekerja. Sena menjelaskan begitu singkat.

            “Alat ini akan bekerja langsung pada syaraf otaknya. Meskipun matanya tertutup, tapi alat ini memberikan visualisasi. Nenek dan Kakek akan melihat kita dari alam bawah sadarnya. Kita memberikan sugesti positif, menghubungkan Nenek dan Kakek dalam satu kabel kecil. Sehingga, mereka bisa bertemu di dimensi yang diciptakan alat ini. Mereka akan memberi kekuatan satu sama lain untuk bisa sadar. Alat ini juga mendeteksi bagian-bagian tubuh mana saja yang rusak dan harus diperbaiki demi menunjang kesadaran mereka.” 

Aku mengangguk mendengarkan penjelasan Sena yang panjang lebar. 

“Raya?” 

Aku menoleh kepadanya. 

“Tugas kita sekarang adalah berdoa kepada Allah.”

            Aku mengangguk. Sulit untuk banyak berkata-kata. Aku melihat jam tangan Sena bergetar, ia segera keluar dari kamar dan sepertinya menerima panggilan telepon. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan terburu-buru. 

            “Raya, aku harus pergi,” Sena memberi instruksi kepada timnya agar bergegas. “Kakekku kritis, dia terus memintaku di sisinya.”

            “Tapi …,” sekonyong-konyong, aku takut ditinggal sendirian meskipun Dokter Faisal dan Dokter Barbara ada di sini. “Bagaimana kalau alat ini tidak bekerja dengan baik? Kamu bilang, ini pertama kalinya dioperasikan pada manusia.”

            “Tenang saja, Raya. Semua sudah melalui berbagai uji coba. Aku akan meninggalkan dua teknisi di sini. Dokter Faisal dan Dokter Barbara juga akan membantumu, kan.”

            “Tapi, Sena …,” aku menatap mata Sena. Kami saling bertatapan untuk beberapa detik sebelum akhirnya Sena memalingkan wajah. Entah mengapa sebuah perasaan asing datang memelukku. Perasaan tak ingin ditinggalkan. Ingin Sena ada di sini. Tapi, aku segera menepis perasaan itu. Terdiam. Terpaku dan kehilangan kata-kata.

            “Tenang saja, Raya, ada Allah. Ada Allah di sisimu.” Tangan Sena terangkat seolah ingin menepuk bahuku tapi dia urungkan. Dengan canggung, Sena berpamitan kepada semua orang dan mendelegasikan alat Touch Type 2 kepada dua anggota tim yang ditinggalkan di sini. 

            Aku memandang punggungnya dan merasa bahwa aku akan merindukannya. 

            Perasaanku kali ini tidak meleset. Waktu berputar begitu cepat. Daun-daun berguguran setiap hari dan angin tak henti-hentinya berputar ribut di luar sana. Musim angin panas, seharusnya musim hujan. Tapi, pada masa ini, musim sudah tak lagi beraturan. Angka kalender di jam tanganku terus berputar, berpacu setiap hari. Matahari berganti bulan, bulan tidur, matahari muncul, begitu seterusnya sampai tiga purnama. 

            Dua orang yang mengurusi mesin Touch Type 2 tidak banyak bicara. Mereka hanya bekerja sepanjang hari, bergantian memeriksa mesin agar tetap pada kondisi prima. Dokter Barbara dan Dokter Faisal juga secara berkala memeriksa kondisi Kakek dan Nenek. 

Sudah 92 hari aku tidak bertemu Sena. Ini agak aneh karena pertemuan kami selalu terjadi setiap hari berturut-turut selama satu minggu, kemudian lenyap selama tiga bulan. Seperti ada jejak hati yang sengaja ia tinggalkan. Membuat aku resah. Resah karena Kakek dan Nenek tidak juga sadar dari komanya meskipun kondisi mereka cukup stabil. Resah karena Sena tiada berkabar. 

Pernah sekali aku mengontaknya, Salsabila yang mengangkat. Ia bilang, “Papa sedang sibuk mengurus Kakek. Membersihkan kotoran Kakek, memandikan Kakek, menyuapi Kakek, membacakan Kakek Alquran. Papa bahkan tidak pergi ke kantor.” Begitu celoteh Salsabila. Setidaknya aku tahu apa yang dia lakukan. Apa yang kami lakukan sama. 

            Mendadak, aku merasakan sehelai benang yang kuat mengelilingi kami. Sena adalah cucu angkat dari Abdul, mantan sahabat kakekku. Lalu, aku adalah cucu kandung Abdul dan kakekku. Pertemuan superrumit ini siapa lagi yang mengatur jika bukan Allah Swt.?

             Dari cerita Salsabila tentang keseharian Sena, aku semakin yakin bahwa ia adalah lelaki yang baik dan saleh. Ia begitu tahu bagaimana caranya berbakti dan membalas budi. Atau semua itu hanya demi warisan? Astagfirullahalazim, Raya … terlalu negatif. 

            Selama tiga bulan ini, aku telah menahan diri. Bermula dari aku mengharapkan kehadirannya, kemudian menjadi begitu sering sehingga aku selalu bersugesti bahwa Sena datang ke rumah sakit ini. Aku ingin sekali menampik kenyataan bahwa aku merindukannya. Aku bahkan menjadi rajin membuka akun Touch dengan harapan dia online. Tapi, dia tak pernah online. Ya, mengurus kakek dan mengurus perusahaan dari rumah bukan hal sepele, Raya. Boleh jadi dia lupa dengan niat ingin melamarmu.

            Aku memeluk lenganku sendiri, menatap jendela yang berembun. Hujan mulai turun dengan lebat dan aku menggigil. Aku ingin menjadi istrinya. Apakah lamaran itu masih berlaku? Lidahku membeku. 

            Aku menghampiri tempat tidur Kakek dan membelai rambutnya yang sepenuhnya memutih. 

“Kakek, aku mencintai cucu dari Abdul Jamal. Bukan … dia bukan cucu kandung. Bolehkah aku menerima lamarannya?” Aku lalu menciumi punggung tangan Kakek. “Bangunlah, Kek, katakan sesuatu. Bolehkah? Aku tak melanggar sumpahku, kan?” 

            Aku bahkan mulai tak yakin jika Sena memang masih menginginkanku. Aku menatap ponsel klasikku, kemudian ponsel jam tanganku, tak ada panggilan dari Sena. Sama sekali tak ada. Ia berarti tak memikirkanku. 

            “Mengapa bersedih, Raya?” sapaan Dokter Barbara membuyarkan lamunanku, aku terduduk tegak dan menyeka pipi yang basah. “Tak sepatutnya kamu bersedih.” 

Dokter Barbara dan dua perawatnya melakukan pemeriksaan rutin, sementara aku berdiri di pojok ruangan. Setelah semua selesai dan kedua perawatnya pergi, ia menghampiriku dengan senyum. “Kamu tahu berita apa yang membuatku bahagia hari ini?”

            “Apa?” tanyaku tak bersemangat.

            “Tidakkah kamu merasakan sesuatu yang aneh?”

            “Apa itu?”

            “Selama tiga bulan, kamu nyaris tidak pergi ke mana-mana. Kamu hanya tidur di kamar ini, mandi di sini, makan di sini, tidur di sini. Kamu merawat kakek dan nenekmu bergantian dengan dibantu suster. Tapi, kamu melupakan sesuatu.”

            “Apa, Barbara?” Aku mulai malas berteka-teki. 

            “Kamu ingat satu minggu lalu kamu melakukan tes darah? Tes mimpi, tes saraf otak?” 

Aku menjawab Dokter Barbara dengan anggukan. 

“Pagi ini hasilnya keluar. Virus V-Diamond yang bersarang di tubuhmu sudah menghilang.”

            “Allahu Akbar!” pekikku girang. Di luar perkiraan, berita ini membuatku riang. “Bagaimana bisa?”

            “Karena, kamu melupakannya, Raya. Kamu melupakan penyakit itu dan fokus mengurus kakek dan nenekmu. Virus V-Diamond menyerang kenangan, lalu membuat tubuh melemah. Satu-satunya cara untuk melemahkannya adalah dengan melupakannya. Kenangan tak baik untuk selalu bertakhta. Melupakan kenangan lebih baik ketimbang berkubang dalam kenangan. Karena, kita hidup bukan untuk terus mengenang masa lalu, kita hidup untuk maju ke depan.” 

Dokter Barbara memelukku dan memberikan selamat. Aku balas memeluknya.

Subhanallah. Aku sampai melupakan penyakit itu. Dan, semudah itukah untuk mengobatinya? Melupakan. 

Selepas kepergian Dokter Barbara, hal pertama yang kulakukan adalah memeluk tubuh Nenek yang terbaring lemah.

            “Nenek, aku sembuh, Nek. Aku sembuh hanya dengan melupakannya. Nenek, bangun, Nek. Kita akan jalan-jalan bertiga ke Taman Pelangi seperti waktu aku kecil dulu.”

Aku memeluk Nenek lama, mengelus-elus rambutnya yang memutih. Perlahan-lahan, aku mendengar suara desahan, lalu erangan. Aku mengangkat kepala dan menoleh ke arah Kakek. 

            Tubuh Kakek menggeliat!

            “Dokter Barbara!” jeritku sambil menekan tombol di samping tempat tidur. Dokter Barbara yang baru keluar dari ruangan segera berbalik dengan panik. 

            Aku membelakangi Nenek dan menunjuk ke arah tubuh Kakek yang menggeliat. Kakek bergerak setelah tiga bulan terbaring koma! Ini pertanda baik. Seharusnya Dokter Barbara menghampiri Kakek, tapi yang ia lakukan adalah menghampiri Nenek dan meminta perawatnya memanggil Dokter Faisal dan tim teknisi dari Touch Type 2. Apa-apaan ini?

            Aku menoleh ke belakang dan tercengang melihat tubuh Nenek terguncang-guncang. Dadanya terangkat ke atas, kemudian jatuh lagi, terangkat lagi, jatuh lagi. Kepanikan menyerangku. 

            “Ada apa? Ada apa?” Aku kembali menoleh ke belakang dan melihat Kakek terus menggeliat. 

***

 

Saya

            Saya berlari mengejar bayangan Sakinah dalam sebuah dimensi yang entah apa namanya. Saya juga tidak tahu sudah berapa lama saya ada di sini, terus mengejar bayangan Sakinah yang selalu bersembunyi. 

            “Saya mohon, Sakinah, jangan pergi. Saya sudah datang dan mau menebus semua dosa saya sama kamu. Saya ingin kembali mengikat tali suci pernikahan.”

            Bayangan Sakinah sudah menghilang entah ke mana. Suasana di sini gelap, dingin, dan bau apek. Meskipun begitu, saya bisa mendengar suara Sakinah menangis parau. 

            “Saya terkena V-Diamond, Mas Hanif. Saya tidak bisa terus di dekatmu.”

            “Mereka bilang kita koma. Mereka bilang kita bisa kembali sadar jika kita sama-sama semangat. Dan, saya yakin, cinta kita bisa membuat kita kuat, Sakinah.”

            “Justru bertemu denganmu membuatku semakin lemah.” Isak Sakinah tidak berhenti. Suaranya terdengar sedih, membuat seluruh jiwa saya pedih. “Kenangan bersamamu begitu manis, begitu banyak, begitu menyakitkan saya.”

            “Tidak perlu mengenang hal yang menyakitkan, Sakinah sayang.”

            “Saya tak pernah mengenang hal-hal buruk yang kamu lakukan pada saya karena itu memang nyaris tidak pernah. Tapi, setiap saya mengenangmu, virus ini menyakiti saya. Sekujur tubuh saya sakit, Mas, saya sudah tak kuat menahannya. Saya mohon, biarkan saya pergi, Mas.”

            “Tidak, Sakinah! Kamu tidak boleh pergi tanpa saya!”

            “Kamu tak boleh berdoa meminta kematian, Mas.”

            “Kamu juga tak boleh mengharapkan kematian, Sakinah!” tegas saya.

            “Saya …,” Sakinah menangis, melolong, dan saya hanya bisa bersimpuh di media yang saya pijak. 

***

 

Aku

            Aku butuh waktu beberapa detik untuk bisa mencerna ucapan Dokter Barbara. 

            “Peralatan Touch Type 2 harus segera dicabut dari tubuh Madam Sakinah.”

            “Kenapa?” Akhirnya, itu yang terlontar dari mulut saya. 

            Dokter Barbara tak menjawab. Ia dan Dokter Faisal beserta dua tim pilihan Sena segera melakukan tindakan medis dan mematikan kabel serta jaringan yang menempel di tubuh Nenek. Dengan demikian, nyala lampu Touch Type 2 yang semula terdiri dari dua utas kabel kini hanya tersisa satu. Aku membeku di tempat. Menelan ludah berat. 

            “Kenapa?” Sekarang aku menggugat. “Nenek bisa meninggal!”

            “Justru kalau diteruskan, nenekmu akan meninggal. Lihat ....” Dokter Barbara memegang bahuku, mengarahkanku untuk melihat alat pendeteksi jantung. Grafik jantung Nenek terlihat lemah. Beberapa detik kemudian, grafiknya menjadi sedikit stabil meskipun masih lemah. Aku mulai paham dengan apa yang dimaksudkan Dokter Barbara. 

            Aku duduk di sofa dan mencoba menenangkan diri, memijat dahiku. 

            “Sebenarnya, sejak sebulan lalu saya sudah mau mengatakan kepada Anda, Nona Raya, bahwa virus V-Diamond di tubuh Nenek sudah menyebar ke seluruh tubuhnya. Mereka dipertemukan di alam bawah sadar, itu justru memicu banyak kenangan. Kenangan itu membunuhnya. Saya salut pada Madam Sakinah, ia bisa bertahan selama ini. Tapi, sekarang adalah titik nadirnya. Jiwanya mungkin masih bisa bertahan, tapi tidak tubuhnya.” Dokter Barbara duduk di sebelahku. “Meskipun sekarang mesin itu sudah dimatikan, tak lantas membuat nenekmu selamat. Semua sudah selesai, Raya.”

            “Apanya yang selesai? Kamu bukan Allah yang bisa menentukan kematian!” Aku mulai kembali sewot, lalu melihat grafik jantung Nenek yang kembali melemah. 

            Dokter Barbara dan Dokter Faisal saling berpandangan. Aku tahu mereka akan membuat keputusan yang tidak populer. 

***

 

Saya

            Saya mulai bisa merasakan sesuatu mengalir dalam diri saya. Aliran darah. Seumur hidup, baru kali ini saya benar-benar merasakan aliran itu. Begitu hidup, begitu membuat saya terkejut, sehingga tanpa sadar tubuh saya menggeliat. Lalu, saya merasakan dan mendengar degup jantung saya sendiri. Saya masih hidup. Ya, saya masih hidup. Saya kembali dari pengembaraan. Kelopak mata saya terbuka, membiarkan cahaya matahari menyeruak masuk dan membuat saya silau. Saya memejamkan mata untuk beberapa saat, lalu beradaptasi dengan apa yang saya lihat. 

            Tempat ini sama persis dengan apa yang pernah saya lihat di layar. Saya menoleh ke sekeliling, hanya ada tembok putih bersih dengan tirai putih. Jendela yang tertutup, udara abu-abu di luar sana, entahlah, apakah itu asap? Meskipun begitu, cahaya matahari terlihat seperti berjuang memberikan sinarnya yang terang. Lalu, saya melihat api di kejauhan. Sebuah gedung besar dibakar. Samar-samar, saya ingat gedung apa itu. Itu adalah pusat Touch. Salah satu perusahaan yang dibangun oleh Abdul. 

            Lalu, saya menoleh ke kanan dan kiri saya, tak ada siapa-siapa. Saya yakin sekali, selama saya dalam dimensi aneh itu, saya selalu mendengar suara Sakinah di sisi saya. Ataukah itu hanya sebuah ilusi? Saya sendirian di rumah sakit ini. Dengan kabel-kabel dan selang aneh yang menempel secara acak di tubuh saya. 

            Saya sendirian di rumah sakit ini. Kenyataan ini membuat saya sedih. Tua dan sendirian. Siapa yang mau seperti itu? Tak ada!

            Lalu, saya menyadari suara lain selain dengusan saya. Saya menatap ke depan, ternyata TV dengan layar superflat tengah menayangkan sebuah berita. Saya nyaris tak menyadari keberadaannya. Berarti ada seseorang selain saya di sini. Mungkin dia sedang menonton TV, kemudian dia pergi ke suatu tempat. 

            Setelah beradaptasi dengan udara, pendengaran dan penglihatan saya merasa haus sekali. Saya meraba-raba bel di pinggir tempat tidur dengan lemas, kemudian memencetnya. Selama kurang lebih satu menit, saya tidak mendapat respons apa pun. Ke mana orang-orang? Ini rumah sakit, kan?

            “Sampai saat ini, Sena Ajitama, CEO Touch yang baru, belum juga ditemukan. Kebijakannya untuk mematikan jaringan Touch memicu kemarahan banyak pihak.”

            Saya mengernyitkan dahi, berusaha mengerti titik masalahnya. Reporter terus memberitahukan apa yang terjadi di lapangan. Saya melihat sebuah kerusuhan besar di kota Jakarta yang padat. Orang-orang memenuhi jalan, membakar apa saja, mengerumuni gedung, berteriak-teriak agar Touch dinyalakan kembali. 

            “Saya mau suami saya dikembalikan. Saya tidak bisa hidup tanpa dia.” Seorang perempuan muda yang terlihat depresi sedang diwawancarai. “Selama lima tahun setelah ia meninggal, ia terus menemani saya. Kami selalu bercengkerama setiap malam.”

            “Tapi, itu hanya program komputer, Bu.” Sang Reporter seperti mengompori. 

            “Bagi saya dia itu hidup! Sena yang tolol itu harus segera mengembalikan suami saya! Saya tidak rela!” Perempuan itu lalu menjerit-jerit.

            Saya mulai memahami situasi yang terjadi. Inilah yang sempat saya takutkan ketika program Touch sudah merajalela dan menguasai nyaris seluruh bumi Indonesia, bahkan sudah dipakai di beberapa negara luar negeri. Saya melihat beberapa pesawat helikopter dan pesawat jet pribadi lalu-lalang di angkasa. Orang-orang dari luar negeri pasti juga datang untuk melakukan protes.

            Saya dan televisi telah menciptakan keheningan sendiri sampai kemudian saya mendengar langkah beberapa pasang kaki yang datang. Wajah Raya muncul di pintu otomatis yang langsung membuka. Ia semringah melihat saya, tapi saya melihat matanya bengkak karena memerah. Raya yang saya sayangi, ia tumbuh menjadi sangat dewasa, tapi juga sangat berubah. Ia menyongsong saya penuh emosi, lengannya melingkar di leher saya. Dengan tangis bercampur tawa, ia mencium kening saya. Saya merasa kembali hidup meskipun belum bertemu belahan jiwa saya.

            “Di mana nenekmu, Raya?” 

***

 

Aku

            Aku tak langsung menjawab pertanyaan Kakek. Aku hanya terus memeluknya, meskipun ingin erat, tapi tak bisa. Aku tahu ia begitu lemas dan ringkih. 

            “Di mana Sakinah, Raya?” Kakek mengulangi pertanyaannya, lebih tegas dengan menyebutkan nama Nenek. 

            Aku melepaskan pelukan ketika Sena dan Salsabila masuk ke dalam ruangan ini. Wajah mereka juga pucat, pakaian mereka lusuh dan penuh peluh. Kakek menatap mereka berdua heran. 

            “Dia lelaki yang ada di layar, saat saya bermimpi …,” kata Kakek dengan terus memandang Sena. 

            Sena maju dan langsung mencium punggung tangan Kakek dengan sopan.

“Assalamualaikum, Kek. Namaku Sena Ajitama, anak dari Deni Ramadhan, cucu angkat dari Abdul Jamal alias Stephen Cow,” ujar Sena tanpa basa-basi. Aku kehilangan kesempatan untuk melarang dia mengutarakan semua kejujuran. Karena, begitu mendengar nama Abdul Jamal, Kakek langsung menepis tangan Sena dengan kasar. Matanya nanar.

            “Tidak harus dijabarkan sedetail itu, Sen,” protesku. 

            “Harus, Raya. Siapa yang tahu kalau dalam pencarian ini aku harus meninggal terlebih dahulu? Kakekmu harus tahu.” 

Aku mau membekap mulut Sena, tapi dia sudah telanjur mengatakan, “Dua jam yang lalu, kami sepakat untuk menikah.”

            “Sena!” hardikku. Kakek melotot dan menatapku dengan mengernyit.

            “Kakek, biar aku jelaskan duduk perkaranya. Tapi, tidak sekarang.” Aku segera keluar dari ruangan, mengurungkan niat untuk segera meminta restu Kakek. Aku harus memanggil Dokter Barbara dan Dokter Faisal serta beberapa perawat yang masih bertahan di rumah sakit ini. Kakek sudah sadar dan tentunya membutuhkan penanganan lebih lanjut. 

            Ini sebuah keajaiban, sebuah mukjizat. Setelah tiga bulan koma, Kakek bisa sadar tanpa cacat apa pun. Dokter Barbara dan Dokter Faisal setengah berlari menyongsong Kakek. Mereka gembira bisa bersua lagi dengan Kakek yang sudah lama tak ketahuan rimbanya. Sambil melakukan beberapa pengecekan, Kakek terus bertanya di mana Nenek.

            Dokter Barbara memastikan bahwa kondisi jantung Kakek sehat dan stabil sebelum akhirnya mengatakan, “Madam Sakinah dirawat di ruang khusus. Kami tak yakin nyawanya bisa tertolong.”

            “Bisa!” Suara parau Kakek mengagetkan kami semua. Ia lalu menuding ke arah Sena. “Kakeknya punya obat untuk menangkal virus itu. Saya tahu.”

            Sena terlihat tak percaya, begitu juga denganku. “Tidak mungkin, Kek.”

            “Nancy yang menceritakan rahasia itu kepadaku. Abdul mencuri prototipe V-Diamond, dialah yang membuat antivirusnya.”

            “Kalau memang ada, kenapa kakekku tidak menjualnya? Dia bisa jadi tambah kaya dengan banyaknya orang yang kena virus itu.”

            “Tidak bisa dijual.” Kakek mulai batuk-batuk. Matanya seperti ingin mengatakan banyak hal, tetapi sepertinya ia lelah. “Karena, antivirusnya menjadi pusat tenaga Touch. Kalau antivirus itu diambil, Touch akan mati total. Abdul tak mau rugi, dia licik dan jahat.”

            “Tuan Hanif, kakekku sudah mencoba bertobat. Dia sudah mau berubah.”

            Kakek menatap Sena sinis, lalu tertawa mengejek. “Mana mungkin.”

            “Kek, Allah yang memberikan hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki,” aku mengelus rambut Kakek. 

            “Touch sudah dimatikan,” Dokter Barbara ikut angkat bicara. 

            Mungkin karena mendengar berita itu dari orang yang ia percayai, Kakek jadi terkejut dan menggeleng terus-menerus. Ia tak mungkin percaya, tapi itulah yang terjadi. 

            “Kakek lihat di luar jendela sana? Dari luar mereka tak bisa melihat kemari, tapi kita bisa melihat mereka. Di luar sana mereka marah, mereka berdemo, dan mereka berusaha menghancurkan gedung Touch yang dipimpin Sena,” papar Dokter Barbara. 

            Sena menggiring Salsabila ke luar ruangan bersama perawat. Ia tak ingin anak itu mendengar kisah-kisah tentang kebencian. Aku melihat Kakek menatap nanar ke luar jendela. Meskipun sudah begitu renta, matanya masih jernih dan awas. 

            “Siapa yang mematikan Touch?”

            “Itulah yang hendak kami cari tahu,” Sena kembali masuk ke ruang rawat. “Satu-satunya orang yang bisa mematikan Touch hanya kakekku. Tapi, dia tak ada di rumah, tak ada di mana-mana. Padahal, dia sekarat. Semua keluarga panik, tak ada yang tahu ke mana ia pergi.”

            Kakek terlihat berpikir lama, sampai kemudian dia seperti teringat sesuatu. 

            “Lalu, untuk apa kamu ke sini? Sedangkan semua orang kota mencarimu.”

            “Saya mau menyelamatkan Madam Sakinah,” Sena berlutut di depan Kakek. “Saya sudah berjanji kepada Raya, saya akan menyembuhkan Kakek dan Nenek.”

            “Kenapa kamu harus melakukannya?”

            Aku berharap Sena tak melanjutkan ucapannya, tapi ia berkata tegas pada Kakek, “Karena saya akan menikahinya. Harus Kakek yang menikahkan saya dengan Raya.”

            Pipiku panas, teringat dua jam yang lalu aku baru saja menerima Sena di tengah kondisi yang penuh ancaman ini. Aku tak bisa lagi menunda, hatiku pun sudah penuh kerinduan ketika Sena datang ke rumah sakit ini, melamarku kembali, dan berjanji menyembuhkan Nenek dan Kakek. Waktu bisa saja berhenti sewaktu-waktu. Waktu untukku hidup, waktu untuk bumi ini berputar. 

            “Raya!” Kakek menatapku nanar. “Kamu melupakan janji kita.”

            “Tidak, Kek.” Aku ikut bersimpuh di samping tempat tidur. “Sena tidak mewarisi darah Abdul Jamal. Dia bukan cucu kandungnya.”

            “Apa pun itu!” Rahang Kakek mengeras. Napasnya terengah-engah. Aku nyaris menangis jika tak mengingat misi kami. 

            “Dokter Barbara, segera siapkan tim untuk masuk ke ruang bawah tanah. Kita akan memulai perjalanan.”

            “Kalian mau ke mana?”

            “Kami mau ke Singapura, mau mencari Kakek Abdul agar bisa mendapatkan antivirus untuk Nenek,” jelasku singkat. 

            Kakek seperti menahan emosi. Ia menatap Sena dengan kesal, kemudian beristigfar beberapa kali sebelum akhirnya angkat bicara. “Abdul tak mungkin ke Singapura. Antivirusnya pasti disimpan di bukit tempat rumah kesayangannya berada.”

            “Bukit? Bukit apa?” tanya Sena.

            “Saya lupa namanya. Dulu sering dia banggakan di TV soal rumah mewahnya di perbukitan itu. Sejak pindah ke Singapura, rumah itu tak pernah lagi terlihat media. Tapi, saya tahu di mana tempatnya meskipun saya belum pernah ke sana.” Kakek menjelaskan dengan patah-patah, ia terlihat letih. Salah satu perawat lelaki baru selesai memasang infus makanan dan vitamin untuk Kakek. 

            “Kakek harus ikut dengan kami,” kataku akhirnya.

            “Jangan, Raya,” Sena berusaha menghalangi. “Kakek harus tetap aman di sini.”

            “Picik kamu,” Kakek tertawa sinis. “Kalaupun saya meninggal, kamu pasti akan tetap mau menikah dengan Raya. Iya, kan? Kenapa kamu tidak membiarkan saya meninggal di samping belahan jiwa saya? Di samping orang yang saya cintai?”

            Sena kehilangan kata-kata. Aku memeluk Kakek erat. Berharap sebuah pelukan bisa menenangkan kegundahan hati Kakek. 

***

 

Saya

            Saya merasa dikhianati oleh Raya. Apa kata lelaki itu? Sudah melamar Raya? Mau menikahinya? Mau menyelamatkan saya dan Sakinah hanya karena dia mau menikahi Raya? Cih! Rasanya saya memilih mati daripada Raya menikah dengan cucu Abdul! Ya Allah, mengapa kebencian ini belum padam?

            Kini lelaki itu dan Raya memimpin perjalanan bawah tanah menuju rumah saya. Mereka berencana untuk memakai helikopter pribadi saya karena terlalu berisiko pergi ke rumah Sena. Kebencian saya pada lelaki itu pun dimulai. Bukan, saya tak membencinya. Saya hanya membenci keadaannya, statusnya sebagai cucu angkat Abdul. Saya berdoa agar Sena dan Raya tidak berjodoh. Saya berdoa Allah memisahkan mereka sebelum pernikahan itu terjadi. Saya tak akan membiarkan cucu kesayangan saya menikah dengan duda!

            Saya melirik Salsabila, gadis kecil yang selama dalam mobil bawah tanah terus menghibur saya dengan celotehan lucunya. Saya tidak membenci dia yang kini tertidur pulas karena lelah. Saya membenci takdirnya. Ah, apakah saya juga membenci Allah yang menetapkan takdir itu? Perih rasanya hati saya. Berpuluh-puluh tahun saya menyangka bahwa saya telah memaafkan Abdul. Berpuluh tahun saya mengira hati saya bersih dari segala dendam dan dengki? Tapi, ini apa? Yang bergetar dan mengotori hati saya apa?

            Menangis rasanya mengetahui saya masih menyembunyikan kemarahan, dendam, dan ternyata saya tak memaafkan. Miris rasanya menyadari bahwa hati saya kotor lagi. Ya Allah, bertahun-tahun saya beribadah, tapi mengapa begitu sulit menjadi ikhlas? Toh pada akhirnya saya tak lagi mencintai Nancy, mengapa masih harus membencinya? 

            Begitu sampai di rumah saya, Raya segera memimpin tim dari rumah sakit untuk membopong Sakinah. Saya belum diperbolehkan melihat wajahnya dari dekat. Dokter Barbara meletakkan Sakinah di dalam sebuah kapsul yang tidak tembus pandang. Saya ingin sesegera mungkin memeluk Sakinah. Maka, meskipun tubuh ini begitu lelah, saya rela ikut dalam perjalanan, memberikan petunjuk di mana bukit itu berada. Empat puluh tahun lebih sudah berlalu, banyak hal berubah termasuk hutan kecil di sekitar bukit. Tapi, bukitnya sendiri masih asli dan terpencil. Sepertinya Abdul juga membeli tanah di sekitarnya sehingga tidak diganggu oleh kontraktor mana pun. 

            Helikopter turun di halaman rumah mewah Abdul. Angin yang berasal dari baling-baling helikopter membuat tanaman serta rerumputan halaman bergoyang. Rumahnya sudah kumuh, tak tepat lagi dibilang mewah. Sudah terlihat usang dan penuh tanaman merambat. Sena begitu takjub melihat rumah Abdul yang bergaya Eropa itu. Rumah yang sudah jarang ada pada zaman sekarang ini. 

Raya mendorong kursi roda tempat saya duduk. Dia meyakinkan saya apakah benar ini tempatnya. Ya, saya mengangguk.                   

            Sena memimpin rombongan. Para dokter dan tim medis mengawal kapsul yang berisi Sakinah. Saya sangat tak sabar ingin memeluk jasad yang berada di sana. Semoga semua sesuai ekspektasi kami bahwa Abdul ada di sini. Ia yang mematikan semua sistem Touch sehingga antivirus bisa kami gunakan. Bahkan mungkin bisa dikembangbiakkan oleh Sena sehingga bisa membantu jutaan orang lain yang terkena V-Diamond. 

            Begitu mendekati pintu utama, saya merasakan roda kursi yang saya duduki berhenti. Raya tidak mendorong saya, ia tidak melangkah. Saya menoleh ke belakang dan mendapati wajah Raya yang keras dan tegang seperti menyimpan ribuan kebencian. Mungkin itulah cerminan ekspresi saya. 

            “Raya,” Sena berdiri di sebelah kami, “ayo jalan.”

            Sena tidak bertanya ada apa, berarti kemungkinan besar ia tahu apa yang dirasakan Raya. Suatu rahasia yang tidak saya ketahui. 

            “Aku takut tak bisa mengendalikan diri,” Raya terisak. “Aku tak mau membencinya, tapi begitu tiba di sini dan sadar dia mungkin ada di sini, aku jadi semakin membencinya.”

            Perasaan benci itu seperti serbuk penyakit yang menular dengan cepat. Merasuk ke dalam pori-pori kulit saya dan mengalir deras dalam darah saya yang tiba-tiba menggelegak. 

            “Saya juga membenci dia.”

            “Sampai kapan Kakek mau membencinya?” Pertanyaan Raya menyentakku. 

            “Saya … saya …,” saya menatap matanya yang basah, “kamu sendiri?”

            Raya tak menjawab. Sena mengeluarkan selembar kartu yang bergambar wajah Abdul. Di jalan tadi, ia menjelaskan bahwa semua rumah yang dibangun Abdul selalu bisa dibuka dengan kunci kartu itu. Maka, dia berharap hal itu berlaku juga untuk rumah ini. Tanpa memedulikan gelegak kebencian yang saya rasakan, Sena membuka kunci pintu utama. Ia bernapas lega dan memberikan instruksi kepada tim medis untuk masuk ke dalam.

            Kami semua terpana melihat isi ruang utama rumah ini. Begitu mewah. Arsitekturnya seperti abad pertengahan dipadu padan dengan gaya Timur Tengah. Meskipun sudah tua dan penuh debu, namun tetap terlihat elegan. Saya terbatuk begitu menyadari banyak sekali debu yang saya hirup. Salah satu tim Sena mengambil tabung berisi penyemprot pembersih. Mereka menyemprotkan antiseptik ke sana kemari. Sena melihat sekeliling sebelum akhirnya menunjuk ke arah lorong yang minim dengan debu. 

            “Sepertinya Kakek ke sana,” Sena berjalan di depan, memberikan komando. “Meskipun saya belum pernah ke sini, tapi saya yakin Kakek ke sana. Sepanjang jalan lorong ini terlihat lebih bersih.”

            Saya terus batuk-batuk sampai merasa dada saya sempit. Sesempit apakah ketika saya sudah berada di liang lahat? Di balik papan dan ditimbun tanah? Sesempit inikah? 

Napas saya berbunyi, berdengik. Raya mulai panik dan memanggil Dokter Faisal. Sebenarnya saya lebih suka bila Raya mau berjatuh cinta ria dengan dokter ini, yang segera menangani saya dengan cekatan. Sayangnya Dokter Faisal sudah punya istri. Lagi pula, siapa yang bisa mengatur cinta itu harus jatuh kepada siapa? Jodoh itu harus bersatu ke mana? 

            Benarkah Raya adalah tulang rusuk Sena? Mengingat masa lalu dan kenyataan bahwa ia adalah cucu angkat Abdul, anak dari Deni, membuat pusaran kenangan itu menenggelamkan saya dalam sebuah perasaan yang campur aduk. Tak nyaman.

            Tindakan medis Dokter Faisal membuat napas saya agak lega dan dada saya terasa sedikit lapang. Kami tiba di depan sebuah ruangan kaca besar. Lagi-lagi kami dibuat takjub. Saya menganga tak percaya bahwa ada kubah kaca raksasa di dalam rumah ini. Di dalam sana, saya melihat sosok lemah yang tua dan ringkih. Sosok lelaki yang dulu terlihat gagah dan kini tampak tak berdaya. Seperti cerminan diri saya sendiri. 

Ingin rasanya saya mengendarai kursi roda saya ke arah pintu kubah yang terbuka, masuk ke dalamnya, kemudian menendang Abdul sampai tersungkur. Namun, sebelum saya melakukan hal itu, Raya sudah mendahului. Dengan wajah penuh emosi, ia melangkah kencang. Suara kakinya bertalu-talu beradu dengan lantai. Kemudian, ia masuk ke dalam kubah. Saya membutuhkan waktu beberapa detik untuk menyadari bahwa Raya sudah di dalam sana, menampar wajah Abdul yang mencoba berdiri. Lalu, saya melihat kelebatan tubuh Sena yang berlari, menahan Raya yang terlihat mengamuk dan berteriak-teriak. Beberapa perawat perempuan membantu Sena memegangi Raya yang terus memberontak.

Cucu kesayangan saya itu menangis. Hati ini ikut nyeri mendengar apa yang ia ucapkan. Raya sudah tahu. Saya melihat Raya melempar peti kecil yang dia ambil dari tas selempangnya. 

“Kenapa harus kamu yang jadi kakekku, hah?! Kenapa kamu tega sekali menyuruh anak bungsumu untuk mengganggu ayahku? Kenapa?!” jerit Raya. Dadanya naik turun. Dua perawat yang menahan tubuhnya kewalahan. 

Dada saya juga sesak, air mata saya merebak. Saya melihat Sena membantu Abdul berdiri, sementara Raya mengacung-acungkan selembar kertas. Mungkin surat?

“Percuma kamu minta maaf di surat ini! Ibuku sudah meninggal! Sekarang aku tahu kenapa dia kena kanker dan nggak punya semangat hidup! Untuk apa kamu memberikan DNA darah di test pack itu, hah? Untuk apa kamu yakinin aku kalau darah di test pack itu adalah darah ayahku? Nggak perlu diyakinin! Nggak perlu! Karena, aku nggak pernah percaya!” Raya terisak, ia terduduk lemas. Kedua perawat melepaskan Raya perlahan-lahan.

Saya memencet tombol kursi roda dan menghampiri Raya. Drama apa yang sedang terjadi di sini sedikit banyak menangkap apa yang dimaksud oleh Raya. Saya menghentikan kursi roda saya di depan Abdul yang berdiri ditopang Sena.

Mata kami beradu. Meskipun fisik kami sudah layu, tapi tatapan mata tak pernah berubah. Untuk beberapa jenak, saya seperti kembali ke masa lalu. Saat-saat ia masih menjadi sahabat saya, saat dia dengan menyebalkannya mengikuti saya, berpura-pura, saat kami saling memukul, semua flashback kehidupan kami, dan 25 tahun yang telah menghilangkan kami satu sama lain. Abdul melepaskan diri dari genggaman tangan Sena, ia menghambur ke arah saya, bersimpuh dengan lengan berpegangan pada kursi roda. 

“Sayalah … yang … menyuruh bungsu saya untuk merusak rumahtangga anakmu.” Dengan susah payah, ia bicara. Terlihat megap-megap dan begitu susah mengambil napas.

Haruskah saya lampiaskan amarah saat ini juga? Akankah menamparnya bisa menuntaskan kebencian ini? 

“Dia … mencintai … Firza. Saya … tak suka … melihat kalian bahagia.” Abdul batuk-batuk, napasnya mengeluarkan bau aneh dan suara ngorok yang membuat saya ngeri. Sena ikut bersimpuh dan membantu Abdul tetap pada posisinya. 

            “Lelaki berengsek seperti itu tak perlu dimaafkan!” teriak Raya kembali. “Dia merenggut kebahagiaan saya! Dia merusak kebahagiaan orangtua saya!”

            “Ma … af … ma … af …,” suara Abdul bercampur suara grok-grok yang membuat bulu kuduk saya meremang. “Saya sudah lelah … sakit … lelah … tidak kuat .... Saya berdosa, banyak sekali dosa kepada Farah, kepada kamu … kepada Nancy. Saya …,” jemari Abdul mencengkeram lengan saya yang keriput dan lembek. Ia tersenyum kepada saya, senyum yang tulus dan melumerkan kebencian yang tadi sempat berapi-api. Sekarang saya kasihan kepadanya. “Saya takut … Allah tak memaafkan.”

            “Allah Maha Pengampun, Abdul,” ucap saya akhirnya. “Maka, saya sebagai hamba-Nya juga harus bisa memaafkanmu.” 

            “Dia merusak kehidupan ibuku!” jerit Raya sambil merobek-robek kertas di tangannya. 

Sena menatap Raya pilu. Saat itulah saya tahu bahwa Sena akan selalu bersedia menjadi bahu untuk Raya dan menjadi punggung untuk tempat cucu saya bernaung. Ia bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Raya.

            Seperti saya bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Sakinah. Bukankah awal mula berjodoh itu dari saling bisa merasakan? Tulang rusuk akan selalu menemukan tempatnya kembali pulang. 

***

 

Aku

            Aku tak tahu berapa lama aku menangis dan menjerit-jerit. Aku bahkan tak begitu sadar bahwa Sena sempat menarik tubuhku dari Kakek Abdul yang aku benci. Setidaknya kebencianku sempat menggunung, meletus, mengeluarkan lahar dan segala isinya. Sampai aku benar-benar terkuras dan lunglai pingsan. 

            Ketika aku terbangun, aku sudah terbaring di atas tempat tidur yang berada di dalam kubah kaca ini. Baru kusadari tempat ini lebih mirip laboratorium dengan segudang peralatan canggih zaman sekarang dan zaman dulu. Sayup-sayup, aku mendengar orang membaca surah Yaasin, lalu berganti dengan surah Al-Kahfi. Aku merinding, begitu menyadari bahwa yang membaca surah itu bukan hanya satu orang, tapi banyak. 

            Aku menyibak selimut dan melihat seseorang sedang dikerumuni oleh tim dokter dan tim perawat Rumah Sakit Sehat Sentosa. Lalu, ada Sena dan Kakek, kemudian … aku mengucek mata dan merasa takjub dengan apa yang aku lihat. Nenek duduk di sebelah Dokter Barbara dengan jilbabnya yang panjang dan elegan. Itu benar Nenek ... aku meyakinkan diriku sendiri. 

            Orang yang berbaring di sana adalah Abdul. Bulu tengkukku meremang melihat sosok lelaki itu tengah megap-megap. Suaranya seperti mengorok keras, separuh badannya kejang-kejang. Ia mengalami kesulitan sakaratulmaut dan orang-orang berusaha mempermudahnya. Kakek Hanif duduk di sebelah telinganya, terus-menerus membimbing Kakek Abdul untuk mengucap dua kalimah syahadat. Aku tak kuasa menahan kepedihan ini. Biar bagaimanapun, dia kakek kandungku. Darahnya mengalir di darahku. Mengapa pertemuan pertama kami menjadi ajang kebencian dan menjadi pertemuan terakhir?

            Aku menghambur ke arah kerumunan itu. Sena memberiku jalan untuk melihat Kakek Abdul. Aku duduk di samping tempat tidur dan membelai Kakek Abdul. Aku mengecup keningnya dan ikut berlinangan air mata. 

            “Raya memaafkan Kakek. Istirahatlah yang tenang, Kek … Raya memaafkan.”

            Mata tua Kakek Abdul sempat melirikku. Ia seperti ingin tersenyum, tapi bibirnya hanya bisa bergetar. Tak lama selang aku memaafkan Kakek, suara mengoroknya hilang, begitu juga dengan napas terakhir yang ia embuskan. 

            Napas terakhir ... seperti apakah napas terakhirku kelak?

***

 

Saya

            Saya tak bisa melukiskan suasana duka yang terjadi di rumah mewah ini. Dalam waktu kurang dari sehari, semua anak dan cucu Abdul berkumpul di rumah ini. Membuatnya menjadi agak ramai dan penuh suara. Kepala saya pusing dan saya ingin sekali memeluk Sakinah. Tapi, tak bisa, kami sudah bukan lagi suami istri.

            Ketika Abdul akhirnya memberikan antivirus kepada Sakinah dengan tangan gemetar, memasukkan cairan itu melalui infus, saya tahu bahwa Sakinah akan selamat. Dan, itu memang benar terjadi. Dua jam kemudian, Sakinah bangun. Semua virus V-Diamond lenyap dari tubuhnya. Ia bisa tertawa dengan para dokter dan perawat, kemudian terpaku ketika menatap saya. Saya pun memaku di tempat. Saya ingin memeluknya. Ia pun sepertinya begitu karena ia menahan diri dan meminta Dokter Barbara mengambilkan jilbab panjang untuk menutupi tubuhnya. Ia layaknya seorang perempuan muda yang pemalu dan saya gemas dibuatnya. Rindu saya meletup-letup.

            Terlebih ketika pemakaman Abdul dilakukan di belakang rumah itu. Sakinah dan saya terus-menerus mencuri pandang. Ini aneh, di saat saya melihat kematian dan akhir kehidupan, saya malah merasakan gairah hidup luar biasa. Mungkin saya bisa hidup ratusan tahun lagi. Saya meyakini hal itu. 

            Saya seperti rela selamanya di atas kursi roda asalkan Sakinah selalu bersama saya. Saya memikirkan rencana puluhan tahun ke depan. Kami akan membangun kembali mahligai cinta kami. Beribadah setiap hari, membangun cinta Ilahi di rumah kami. Bersama cucu kami tercinta atau mungkin cicit kami kelak. Saya yakin Allah akan memberikan kebahagiaan kepada kami. 

            Ternyata, cinta saya tetap bersambut. 

            “Mas Hanif,” Sakinah memanggil saya ketika semua orang sudah bersiap hendak berangkat ke helikopter yang menjemput kami. Ia berjalan anggun dan segar. Seolah baru saja mendapat kehidupan baru. Di sebelahnya, Raya menggandeng lengannya dengan senyuman lebar. 

            Dokter Faisal dengan santun meninggalkan kursi roda saya dan membantu yang lain. Angin dari baling-baling helikopter begitu kencang dan menerpa wajah kami. Tapi, teknologi masa kini membuat helikopter tak lagi bersuara ribut. 

            “Ya, Sakinah.” Saya menjawab selembut mungkin. 

            “Melihatmu di sini membuat saya merasa dilahirkan kembali,” Sakinah tersenyum. Senyum paling manis di seantero dunia ini. Senyum yang membuat saya melupakan bahwa kaki saya sakit, badan saya renta dan tua. Saya masih muda … bergejolak. 

            “Saya ingin menikah denganmu … kembali merajut cinta, sebagai satu keluarga. Kembali membawakan sakinah untukmu, meninggal husnulkhatimah bersamamu.” Saya menatap binar mata Sakinah, kemudian melihat Raya yang sibuk menyeka air mata. 

            Cucu kesayangan saya itu tak banyak berkata, ia memeluk saya erat. 

***

Aku

            Aku tak pernah merasakan haru luar biasa seperti saat ini. Begitu kami tiba di Jakarta, Sena segera membantuku mencarikan ustaz untuk menjadi penghulu pernikahan kedua kakek dan nenekku. Bukan hanya itu, Sena juga mencarikan wali hakim, mempersiapkan acara syukuran sederhana di Taman Pelangi, dan menyediakan banyak dana untuk itu semua. 

            Sementara ia sibuk sendiri dengan pernikahan Kakek dan Nenek, aku disibukkan oleh Salsabila. Gadis kecil itu menjadi cahaya mata bagiku juga kakek dan nenekku. Mereka berdua menyukai Salsabila, dan bolehlah aku berpikir bahwa itu tandanya mereka merestui pernikahanku dengan Sena. 

            Aku sendiri tak mau membahas kapan Sena akan menikahiku. Karena, Sena tahu, saat ini yang terpenting bagiku adalah menyatukan Kakek dan Nenek, jiwa mereka yang terpisah dan hendak kembali satu sama lain. Menjadi sepasang kekasih dunia akhirat.

            Prosesi pernikahan amat sederhana di dalam musala Taman Pelangi. Air mataku tumpah ruah melihat mereka akhirnya saling menempelkan jemari satu sama lain. Menautkannya dalam genggaman. Kakek tak henti-hentinya menciumi kening Nenek setelah dinyatakan sah kembali sebagai suami Nenek. Aku memeluk mereka satu per satu, kemudian memeluk mereka sekaligus. Tak ada yang lebih membahagiakan selain ini … tak ada. 

            Segala puji syukur kepada Allah. Semuanya tampak indah, harmonis, dan menyenangkan. Kakek dan Nenek terus saling memuji. 

            “Kamu jadi istriku di dunia dan akhirat ….”

            “Kamu adalah suamiku di dunia dan akhirat ….”

            Kemudian, Kakek mengeluarkan sesuatu dari dalam kotak kayu, selembar jilbab segiempat berwarna hijau dengan motif bunga matahari yang disulam. Jilbab yang indah dan berkilau. Itukah jilbab yang pernah memisahkan mereka? Kakek memasangkan jilbab itu ke atas kepala Nenek yang sudah berbalut jilbab putih. Bibir Nenek bergetar, ia sedikit menggeleng. 

            “Sakinah, kamu tenang saja. Saya tak mau lagi takut akan kematian. Saya ikhlas … menyerahkan hidup saya sepenuhnya kepada Allah. Mimpi-mimpi itu … jilbab ini …,” suara Kakek kemudian seperti tercekat. Ia memegangi dadanya, kemudian memeluk Nenek begitu lama. Nenek juga membalas pelukan Kakek, air matanya berlinang jernih.

            Semua tamu undangan yang hadir tampak heran. Ada apa dengan mereka?

            Tiba-tiba saja Nenek menghela napas. Seperti lega akan sesuatu. Kakek memeluk Nenek semakin erat. Tak ada yang berani memisahkan mereka. Tubuh Nenek bergetar sebelum akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Embusan napas terakhirnya membuat aku mematung. Nyaris histeris.

***

 

Saya

            Saya tahu saya berada dalam kebahagiaan tingkat tinggi. Mungkin ini sudah limitnya. Tak ada yang bisa menandingi kebahagiaan pada detik saya menikahi Sakinah kembali, mencium keningnya dan memeluknya erat seolah hanya dia yang akan bersama saya. Saya tak tahu apa yang terjadi, tapi gejolak kebahagiaan itu membuat dada saya nyeri. Jantung saya berdebar menjadi semakin kencang. Bayangan Sakinah memakai jilbab hijau dan motif bunga matahari mengingatkan saya pada perempuan dalam mimpi saya dulu. Diakah … Sakinah-kah yang dulu hadir dalam mimpi-mimpi buruk saya?

            Kemudian, pertanyaan-pertanyaan bermunculan. 

            Bagaimana Dewo dan Bima bertemu kematian?

            Bagaimana Papa bertemu kematiannya?

            Bagaimana Bang Nero bertemu kematiannya?

            Bagaimana Farah dan Firza bertemu kematiannya?

            Bagaimana Mama bertemu kematiannya?

            Bagaimana Abdul bertemu kematiannya?

            Semua orang punya sebab kematian, punya cara bertemu kematian yang berbeda. 

            Bagaimana saya bertemu kematian?

            Setelah puluhan tahun hidup di dunia, saat inikah jawabannya?

            “Innalillahi wainna ilaihi rajiun ….”

***

 

Aku

            Aku ….

            Lantas ….

            Bagaimana aku bertemu kematian?

 

 

~ Fin ~

 

Semoga menjadi pengingat.

 

Rumah Pena, 22 Mei 2014

 

 

            

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Do You Lie, Bestie? Part 1
0
0
Menjelang akad nikah, sebuah pesan WA misterius datang ke ponselku. Nomor Tak Dikenal: Salah satu dari tiga sahabatmu, berselingkuh dengan calon suamimu. Terkirim sebuah foto, calon suamiku memakai baju akad nikah sedang menggandeng tangan seorang perempuan yang memakai gelang persahabatan kami. Siapa? Siapa yang tega berbuat begitu?  ***“Itu pasti hanya pesan iseng, kak,” Nita mengelus pundakku, ia berusaha menenangkanku.Aku mulai berkeringat dan cemas.“Tidak mungkin iseng, Nita. Jelas sekali kalau itu Sultan memakai baju pengantin.”“Sssh… Kak Eva, bisa saja itu mereka hanya bertemu sebagai teman. Lalu si pengirim pesan bertingkah seolah-olah mereka selingkuh.” Nita kembali membesarkan hati. “Namanya orang iri hati, bisa saja, kak.”Rasa-rasanya ucapan Nita ada benarnya juga. Tiba-tiba Ayah masuk dengan wajah cemas. “Ada apa ini? Penghulu tidak punya banyak waktu, dia harus menikahkan di tempat lain. Ayo, Eva, semua sudah menunggu.” Suara Ayah terdengar jengkel dan menggelegar.Aku mengangguk, berusaha menepis pikiran-pikiran buruk itu. Bagaimana mungkin sahabatku sendiri menikung aku. Itu hanya ada di dunia sinetron bukan? Dalam dunia nyataku tidak begitu. Mereka bertiga orang-orang terbaikku. Kami bersahabat sejak 13 tahun lalu, sejak SMA. Tidak mungkin saling berbuat jahat. Kalau pun bertengkar kami akan berbaikan lagi. Ayah membimbingku menuju tempat akad nikah, aku berjalan pelan karena …. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan