
“Loving you, just leaving the scars.”
Berjuang membuang bayang-bayang gelap di masa lalu, tidak mudah bagi Nicole Tristan. Gadis cantik itu telah jatuh cinta sedalam-dalamnya, pada pria yang telah mempermainkannya. Pria yang menjadi cinta pertamanya, hanya menjadikannya sebuah permainan. Layaknya boneka yang sudah tak layak lagi digunakan.
Rasa putus asa menyerang. Nicole berjuang berdiri dengan kedua kakinya, melupakan bayang-bayang gelap yang menghancurkannya. Namun, siapa sangka takdir...
Bab 1. Mendapatkanmu
“Nicole, kau sendirian?”
Dua orang pemuda asing menghampiri seorang gadis cantik bernama Nicole. Mereka berdiri di sisi kanan dan kiri Nicole—seakan memblokir jalan gadis itu. Terlihat jelas tatapan mata Nicole menatap dingin dua pemuda asing yang mendekatinya.
“Siapa kalian? Kenapa kalian bisa tahu namaku?” tanya Nicole sedikit bingung. Dia merasa dua laki-laki asing ini bukanlah teman sekelasnya, juga bukan kakak kelasnya. Gadis cantik itu berada di tengah-tengah pesta ulang tahun teman sekolahnya, namun tak menyangka ada banyak orang yang hadir.
“Well, kami jelas saja tahu namamu, Nicole. Para laki-laki di sini banyak yang membicarakanmu. Mereka mengagumi kecantikanmu,” bisik salah satu pemuda itu.
Nicole menatap tajam dua pemuda itu. “Tolong jangan ganggu aku. Aku tidak ingin diganggu.” Lalu, gadis itu memilih beranjak dan hendak pergi meninggalkan pesta, namun tangan Nicole dicengkram kuat oleh salah satu laki-laki di sisi kanannya.
“Come on, Nicole. Kau bisa habiskan pesta bersama dengan kami,” ucap pemuda itu sedikit kesal mendapatkan penolakan Nicole.
“Lepaskan aku!” Nicole mencoba melepaskan cengkraman tangan pemuda itu, namun sulit karena pemuda itu mencengkram tangannya dengan kuat.
“Nicole, ayolah. Jangan naif.” Dua pemuda itu memaksa Nicole.
“Lepaskan dia!” bentak seorang pemuda tampan dengan postur tubuh tinggi dan rahang tegas, menatap tajam dua pemuda yang mengganggu Nicole.
Nicole mengalihkan pandangannya, menatap Oliver Maxton—kakak kelasnya di sekolah tengah ada di hadapannya. Beberapa detik Nicole diam terpaku di kala Oliver mendekat padanya. Pahatan sempurna wajah Oliver membuat Nicole terhipnotis.
“Jangan ganggu dia,” ucap Oliver mengusir dua pemuda yang sepantaran dengannya, ingin mengganggu Nicole.
“Kau siapa?” tanya salah satu pemuda itu.
“Aku kekasihnya. Kau masih berani mengganggunya?” Oliver merengkuh bahu Nicole, membawa masuk gadis itu ke dalam pelukannya. Tampak raut wajah Nicole memucat terkejut kala berada di dalam pelukan Oliver.
Dua pemuda asing itu mendekat, dan menatap tajam Oliver. “Kau jangan berbohong!”
Oliver tersenyum sinis. “Apa wajahku menunjukkan aku berbohong?! Pergilah, Bodoh! Jangan ganggu kekasihku!”
Dua pemuda asing itu terpancing emosi di kala Oliver menghina mereka dengan kata ‘Bodoh’. Salah satu pemuda asing itu tak bisa mengendalikan emosinya, dia hendak menyerang Oliver, namun temannya segera menahannya agar tak bertindak gegabah. Mereka tak mungkin tak mengenal Oliver Maxton. Lahir bukan dari keluarga sembarangan, membuat dua pemuda itu tak bisa bermain-main dengan sosok Oliver.
“Get the fuck out of here,” desis Oliver penuh ancaman.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, dua pemuda asing itu akhirnya, memilih pergi meninggalkan Nicole dan Oliver. Samar-samar terdengar cibiran dari dua pemuda itu. Namun, Oliver memilih untuk tak menggubris cibiran itu.
“Duduklah, mereka sudah pergi. Tidak ada lagi yang mengganggumu,” ucap Oliver seraya menatap Nicole yang masih memucat.
“T-terima kasih.” Nicole segera menjauh dari Oliver, dan kembali duduk di tempatnya.
Oliver tersenyum mendengar ucapan terima kasih Nicole. Pemuda itu menggelengkan kepalanya sebentar, kepada dua orang yang berada di seberang, mengabaikan mereka, dan menatap Nicole kembali.
“Kenapa kau hanya sendirian datang ke pesta?” tanya Oliver ingin tahu.
“Aku hanya sebentar saja di sini karena undangan temanku. Sebentar lagi aku juga akan pulang,” ucap Nicole pelan. Kegugupan sedikit terlihat di wajahnya, di kala gadis itu berbicara berdua dengan Oliver.
“Harusnya kau tidak pergi sendiri ke pesta. Kau lihat tadi, Kan? Dua laki-laki asing mencoba mendekatimu.”
“Jika aku tidak pergi sendiri, aku harus pergi dengan siapa? Teman dekatku hari ini tidak bisa ikut.”
“Di mana kekasihmu?” Sebelah alis Oliver terangkat.
“Aku belum memiliki kekasih,” ucap Nicole jujur dengan pipi sedikit merona malu.
Oliver menundukkan kepalanya, mendekat pada wajah Nicole. “Jadi tadi aku tidak salah mengaku-aku sebagai kekasihmu, kan?”
Jantung Nicole berdebar tak karuan kala wajah Oliver mendekat padanya. Buru-buru Nicole menjauh dari Oliver, namun tepat ketika Nicole menjauh, gadis itu nyari terjatuh dari kursi. Refleks, Oliver memeluk pinggang Nicole, merapatkan tubuh Nicole ke tubuhnya.
Raut wajah Nicole memucat akibat rasa gugup yang melandanya. Kedua tangan Nicole berkeringat dingin. Ditambah aroma parfume maskulin di tubuh Oliver membuat seluruh saraf di tubuh Nicole seolah tak lagi berfungsi.
“T-terima kasih,” ucap Nicole gugup. Gadis itu segera membenarkan posisi duduknya agar menjauh dari Oliver. Tentu, pemuda itu turut membantu guna menjaga keseimbangan tubuh Nicole.
“Hati-hati. Kau bisa terjatuh, Nicole.” Oliver membelai pipi Nicole lembut, menatap dalam manik mata silver gadis itu.
Nicole menelan salivanya susah payah. Bulu kuduknya meremang merasakan sentuhan Oliver di pipinya. Manik mata cokelat gelap Oliver begitu menghipnotis Nicole, namun dengan cepat Nicole membuang pandangannya pada Oliver. Gadis itu enggan bertatapan dengan kakak kelasnya di sekolah.
“O-Oliver, kenapa kau di sini? Harusnya kau bergabung dengan temanmu yang lain,” ucap Nicole pelan, dan tersirat meminta Oliver menjauh darinya. Pun Nicole menghindari percakapan Oliver yang membahas tentang ‘Kekasih’
Oliver tersenyum samar. “Aku lebih suka di sini, Nicole.” Lalu, Oliver mengambil vodka yang diantar oleh pelayan dan menyesap vodka itu perlahan.
Nicole sedikit mendongak, menatap Oliver yang tengah minum Vodka. Tak menampik bahwa, gadis itu terpesona dengan ketampanan Oliver. Tubuh tinggi tegap. Wajah rupawan. Kulit bersih. Oliver layaknya tercipta untuk menggoda para kaum hawa.
“Kau ingin mencoba minumanku, Nicole?” Oliver menawarkan vodka di tangannya.
“Maaf, aku tidak minum alkohol, Oliver,” ucap Nicole pelan.
“Kau sedang tidak ingin minum atau memang tidak pernah minum alkohol?” tanya Oliver seraya menatap lekat Nicole.
“Aku belum pernah mencoba minum alkohol,” jawab Nicole jujur.
Oliver tersenyum penuh arti. “Ah begitu. Kau tidak ingin mencobanya? Lagi pula kita di pesta. Sayang sekali jika kau tidak minum. Minumlah sedikit saja.”
Nicole menatap gelas yang disodorkan Oliver. Terlihat, gadis itu sedikit penasaran. Selama ini memang dia belum pernah mencoba minu-minuman berlakohol. Entah kenapa pikirannya berkata mendorongnya tak masalah mencoba sekali-kali.
Perlahan, Nicole mulai mencoba vodka milik Oliver. Dia memejamkan matanya saat rasa pahit dari minuman beralkohol menyentuh tenggorokannya. Senyuman di wajah Oliver terus terlukis, melihat Nicole mulai mencoba vodka miliknya.
“Oliver, rasanya pahit sekali,” ucap Nicole dengan kening yang mengerut.
“Tegaklah langsung. Kau akan merasa tubuhmu menjadi hangat.” Oliver kembali menyodorkan satu gelas vodka lagi pada Nicole.
Nicole menurut dan menenggak vodka yang Oliver berikan. “Tubuhku terasa hangat minum ini, Oliver.”
Oliver tersenyum samar. “Aku sudah bilang tadi padamu, Nicole.”
Nicole terus menenggak vodka yang disodorkan oleh Oliver. Gadis itu tak menyadari sudah berapa banyak vodka yang telah dia habiskan. Kepala Nicole sedikit memberat. Matanya berkunang-kunang. Tubuhnya ambruk, dan dengan sigap Oliver membekap tubuh Nicole. Pemuda itu, menangkup kedua pipi Nicole yang memerah.
“Kau rupanya benar-benar lemah alkohol, Nicole,” bisik Oliver tepat di depan bibir Nicole.
“Oliver kepalaku pusing sekali.” Nicole menyentuh kepalanya.
Oliver membopong tubuh Nicole, memindahkan ke atas meja. Tangan pemuda itu memijat kening gadis itu, berusaha membantu dari rasa pusingnya. “Masih pusing, hm?” bisiknya serak menggoda.
“A-aku masih sedikit pusing.” Nicole pusing, tapi berada di dekat Oliver ini membuat energy dalam tubuhnya tersedot.
Oliver menarik tengkuk leher Nicole, dan membenamkan bibirnya ke bibir gadis itu. Dia melumat bibir manis Nicole sambil berbisik, “Bagaiamana? Apa masih pusing?”
“A-aku—” Pagutan bibir Oliver telah melumpuhkan seluruh saraf tubuh Nicole.
“Bibirmu manis, Nicole.” Oliver membelai bibir Nicole dengan jemarinya. Lantas, pemuda itu kembali melumat bibirnya. Tanpa sadar, gadis itu melingkarkan tangannya di leher Oliver, dan memejamkan mata kala Oliver mencium bibirnya.
Oliver tersenyum senang melihat Nicole menikmati pagutan bibirnya. Pemuda itu mengecup lembut bibir Nicole seraya berbisik, “Ikutlah denganku.”
Mata Nicole sayu berkabut penuh hasrat. Alkohol telah menguasai dirinya. “I-ikut ke mana?” tanyanya dengan tubuh yang begitu lemas.
“Nanti kau akan tahu. Ikutlah denganku, Nicole. Temani aku,” bisik Oliver seraya meremas pelan lengan Nicole.
Nicole mengangguk lemah merespon ucapan Oliver. Tak lama, tubuhnya kehilangan tenaga, gadis itu nyaris terjatuh, namun Oliver langsung menahan tubuh mungil itu dengan sigap.
Oliver membawa Nicole di sebuah hotel. Pemuda tampan itu melepaskan jaketnya, menatap lekat kulit putih porselen Nicole membuat dirinya semakin bereaksi. Oliver menundukkan kepalanya, mencium leher Nicole meninggalkan banyak jejak kemerahan di sana.
Oliver membawa tangannya, membelai bagian bawah Nicole, hingga membuat tubuh Nicole menggelinjang—dan seketika meloloskan desahan. Dirasakan bagian bawah di sana sudah basah, tak bisa ditahan lagi olehnya, Oliver langsung menerjang Nicole dengan pusakanya.
“Akh, sakit…” Dengan jemarinya, Nicole mencengkram punggung Oliver, menandakan betapa hal ini sungguh menyakitkan untuknya.
Raut wajah Oliver berubah. “Kau ... masih perawan?”
***
Bab 2. Permainan
Nicole merasakan pusing luar biasa kala membuka mata. Tubuh gadis itu terasa remuk seperti tengah melakukan aktivitas berat. Sesekali, Nicole meringis merasakan titik sensitive-nya begitu perih dan sangat sakit. Gadis itu seakan mendapatkan pukulan keras hingga menimbulkan rasa sakit luar biasa.
Perlahan ketika mata Nicole mulai terbuka, tatapan gadis itu terkejut melihat dirinya berada di sebuah kamar asing yang tak pernah dikenalinya. Raut wajah Nicole menegang penuh ketakutan. Detik selanjutnya, Nicole memberanikan diri melihat tubuhnya sendiri.
Bagai tersambar petir, betapa terkejutnya Nicole mendapati tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun. Nicole melihat ke samping—menatap di sampingnya sudah kosong. Tak ada siapa pun di sana. Napasnya memberat. Debar jantungnya semakin berpacu kencang.
Raut wajah Nicole pucat pasi. Ingatan gadis itu tergali mengingat dirinya mendatangi pesta, dan Oliver menghampirinya. Nicole meremas-remas rambutnya. Ingatan lainnya muncul di mana dirinya meminum minuman alkohol milik Oliver.
“Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?” Nicole panik. Rasanya dia ingin menangis sekeras mungkin, tapi tak mungkin dia menangis dan tetap berada di sini. Dia meneguhkan hatinya untuk berusaha tenang.
Nicole menyibak selimut, turun dari ranjang dan langsung memakai dress-nya yang tergeletak sembarangan di lantai. Dengan menahan rasa perih dan sakit di titik sensitive-nya, Nicole berjalan meninggalkan kamar itu.
Di depan kamar, tepatnya di ujung sana, tatapan Nicole teralih pada tiga laki-laki yang nampak tengah membicarakan sesuatu hal yang sangat penting. Mata Nicole menyipit tajam, seperti mengenali punggung salah satu laki-laki itu.
Nicole hendak mengabaikan, tapi entah kenapa hati Nicole mendorongnya untuk melangkah menuju ke arah sana. Akhirnya, dia memutuskan untuk melangkah mendekat pada kumpulan tiga pria yang tengah berbicara penting.
“Well, Oliver Maxton jadi kau berhasil meniduri Nicole Tristan?” ujar Matthew seraya menatap Oliver.
Oliver tersenyum sinis. “Aku yakin kau melihatku membawa Nicole meninggalkan pesta, kan?”
“Tapi kami tetap butuh bukti, Oliver. Permainan akan dikatakan kau pemenangnya, jika kau menunjukan bukti video kau meniduri Nicole,” sambung Carlos menantang Oliver untuk menyerahkan bukti padanya.
Oliver dengan santai memberikan video yang ada di ponselnya pada kedua temannya itu. “Kalian bisa melihat sendiri. Aku bukanlah pembual. Jika aku berhasil, maka aku akan mengatakan yang sebenarnya.”
Carlos dan Matthew mengambil ponsel Oliver itu, dan segera memutar video yang ada di sana. Terlihat seringai di wajah Carlos dan Matthew terlukis melihat video di mana Oliver meniduri Nicole. Tubuh keduanya terbalut oleh selimut, hanya bagian atas terlihat sedikit mereka tak memakai apa pun.
Suara desahan Nicole terdengar merdu. Carlos dan Matthew nampak puas kala Oliver berhasil memenangkan permainan. Ya, mereka tak menyangka Oliver akan mampu memenangkan permainan ini.
“Luar biasa, Oliver. Kau berhasil meniduri Nicole Tristan.” Carlos dan Matthew tertawa puas kala sudah melihat video itu.
“Jadi kalian menjadikanku barang taruhan?” Tubuh Nicole membeku di tempatnya. Air mata gadis itu berlinang deras menyentuh pipinya. Semua percakapan Oliver dengan kedua temannya telah Nicole dengar. Hati Nicole bagaikan tercabik-cabik mendengar dirinya dijadikan taruhan oleh tiga laki-laki yang merupakan kakak kelasnya tu.
“Nicole?” Carlos dan Matthew terkejut melihat Nicole. Dua laki-laki itu sedikit kikuk, karena terpergok oleh Nicole. Sedangkan Oliver hanya diam di tempatnya, menatap wajah Nicole hancur penuh dengan air mata.
“Kenapa kalian jahat padaku?! Kenapa?” teriak Nicole begitu keras.
“Oh, come on, Nicole. Ini hanya permainan. Nanti kau juga pasti akan melakukannya dengan kekasihmu. Jangan terlalu dianggap serius.” Matthew berkata dengan tanpa dosa, seakan bahwa tindakan yang dilakukan sama sekali tak bersalah.
Mata Nicole menatap Carlos dan Matthew dengan tatapan memerah penuh amarah kebencian. “Di mana hati kalian, menjadikan kehormatan seorang gadis untuk sebuah bahan permainan?”
Carlos mendekat, dan menarik dagu Nicole. Pemuda itu mendekatkan bibirnya ke bibir Nicole sambil berbisik, “Relaks, Nicole. Tidak perlu berlebihan. Permainanmu dengan Oliver cukup memuaskan. Suara desahanmu merdu. Andai saja aku yang ada dalam permainan itu, maka aku tidak akan membiarkanmu tidur sepanjang malam.”
“Berengsek!” Nicole memukul lengan kekar Carlos.
Carlos dan Matthew tertawa melihat kemarahan Nicole.
“Pergilah. Aku akan mengurusnya,” ucap Oliver dingin pada kedua temannya.
Carlos dan Matthew mengangkat bahu mereka. Kemudian, mereka menatap Oliver dan berkata bersamaan. “Baiklah, kami pergi dulu. Besok hadiahmu akan kami kirimkan.” Lalu, Carlos dan Matthew melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Nicole menatap Oliver dengan tatapan memerah, akibat tangis yang tak kunjung reda. Dia mendekat, dan menatap Oliver penuh kebencian. “Kau puas? Semoga kau bisa tidur nyenyak bersama hadiah yang kau dapatkan.”
“Tentu saja aku puas, aku mendapatkan dua kesenangan malam ini.” Oliver mendekat membelai pipi Nicole dengan dua jarinya.
Plakkk
Nicole menampar Oliver keras. Bahu gadis itu bergetar. Air matanya semakin mendera mendengar apa yang Oliver katakan padanya. Kilat matanya memancarkan jelas sebuah dendam dan kebencian mendalam.
Oliver menyentuh pipi kanannya, menatap dingin Nicole. “Berani sekali kau menamparku,” geramnya, menahan amarah dalam dirinya.
“Tamparan itu tidak sebanding dengan apa yang kau lakukan, Oliver! Di mana hati nuranimu?! Kau tega menjadikan kehormatan seorang gadis, demi sebuah permainan!” teriak Nicole keras.
“Perempuan sepertimu itu dari luarnya saja naif, aku tahu kamu menikmati sentuhanku, jadi jangan munafik!” seru Oliver dingin.
Nicole menyeka air matanya dengan wajah penuh kemarahan. “Laki-laki sepertimu tidak akan pernah tahu, bagaimana hancurnya ketika dijadikan sebuah permainan Oliver Maxton, aku bukan barang yang bisa dijadikan barang taruhan!”
Nicole melangkah mundur menjauh dari Oliver. Matanya nampak nanar dan rapuh. Rasa sakit sangat jelas terpancar dari mata gadis itu. Tatapan Nicole sukses membuat Oliver bergeming di tempatnya tak berkutik sedikit pun.
“Selamat, Oliver Maxton. Kau telah menghancurkan hidupku. Mulai detik ini, aku tidak akan pernah mau lagi melihatmu apalagi menyebut namamu. Demi Tuhan, aku membencimu. Aku sangat membencimu!”
Nicole berlari pergi meninggalkan Oliver yang masih bergeming di tempatnya. Suara tangis gadis itu terdengar begitu menderita. Sorot mata Oliver terus menatap dalam dan dingin Nicole yang telah pergi. Entah kenapa hati Oliver terusik mendengar apa yang Nicole katakan padanya.
Beberapa tahun berlalu …
Nicole menatap jalanan perkotaan London. Mata Nicole begitu lemah di balik sikapnya yang tegar. Kepingan memori buruk akan masa lalu, muncul di pikirannya di kala wanita itu melihat hamparan kota London. Memori yang telah dia buang jauh-jauh, dan berharap tidak lagi bertemu dengan sosok pria yang menghancurkanya.
Mobil berhenti tepat di lampu merah. Banyak orang menyeberang lewat zebra cross. Namun, tiba-tiba di saat lampu hijau, sosok pria tak asing berada di dalam mobil, melewati Nicole. Sosok yang sangat tak asing di matanya.
“Tidak! Dia bukan pria berengsek itu!” Nicole terkejut dan buru-buru menepis pikirannya. Wanita cantik itu yakin bahwa apa yang dia lihat adalah salah. Dia menarik kembali pandangannya, dengan jantung yang kini berdebar tak karuan.
***
Bab 3. Kepingan Luka Hati
“Nona Nicole, adik Anda meminta pesta pernikahan diadakan di outdoor. Beliau tidak mau di gedung,” ujar Sadie—asisten Nicole—memberi tahu.
Nicole mengembuskan napas kasar. “Menyusahkan saja. Cuaca mendung seperti ini, aku harus melihat lokasi di outdoor. Apa tidak ada pilihan wedding venue lain?” Raut wajah Nicole menunjukkan kekesalan. Jika adik tirinya memilih wedding venue di outdoor dalam kondisi cuaca yang tak bagus, maka itu sama saja menyusahkan dirinya.
Sudah sembilan tahun Nicole meninggalkan kota London. Sebuah kota yang memang Nicole tak ingin lagi untuk ditinggali. Nicole mendatangi kota London, demi permintaan Shania—adik tirinya—yang memintanya menjadi wedding organizer di pernikahan adik tirinya itu. Dia sudah menolak, tapi ayahnya terus mendesaknya.
Selama ini, Nicole tak pernah memiliki hubungan baik dengan adik tirinya. Sejak kepergian ibunya, Nicole cenderung lebih tertutup. Luka di masa lalu meninggalkan kesesakan baginya hingga membuatnya meninggalkan kota London.
Perselingkuhan ayahnya di masa lalu menambah luka di hati Nicole semakin dalam. Kecewa, benci, namun tetap bertahan bukanlah hal yang mudah. Nicole tetap berusaha berjalan walau berada di tengah badai. Walau sebenarnya di mata Nicole— semua pria sama. Sama-sama hanya akan meninggalkan luka yang amat dalam.
Sadie menggaruk kepalanya tidak gatal. “Itu sudah menjadi keinginan Nona Shania, Nona. Beliau memang menginginkan pesta pernikahannya diadakan outdoor. Beliau bilang sudah memiliki konsep pernikahan. Nanti beliau akan membahas dengan Anda.”
Nicole memijat pelipisnya pelan. Sudah bertahun-tahun Nicole berkecimpung di dunia wedding organizer, tapi kalau pelanggannya macam adik tirinya, maka Nicole sangat malas. Keinginan adik tirinya itu sangat konyol. Jika tak dituruti, maka pasti dia berdebat hebat dengan adik tirinya. Tapi, jika dituruti maka Nicole selalu dibuat jengkel setiap saat.
“Nanti Shania akan datang bersama calon suaminya atau tidak?” tanya Nicole dingin.
“Hm, saya rasa Nona Shania datang bersama dengan calon suaminya, Nona,” jawab Sadie sopan.
Nicole memejamkan mata singkat, dan berkata dengan nada kesal, “Semoga calon suami Shania memiliki otak yang waras, dan tidak memilih pesta pernikahan di outdoor dalam kondisi cuaca yang kurang bersahabat seperti sekarang. Tapi kalau calon suaminya memiliki ide yang sama dengannya, itu artinya mereka berdua sama-sama tidak waras. Pantas saja berjodoh.”
Sadie meringis mendengar ucapan sarkas Nicole.
Mobil yang membawa Nicole dan sang asiten mulai memasuki wedding venue yang letaknya tak terlalu jauh dari pusat kota. Nicole segera turun dari mobil bersama dengan sang asisten. Detik selanjutnya, wanita cantik itu melangkah dengan anggun memasuki wedding venue itu.
Saat Nicole sudah berada di wedding venue, wanita itu sama sekali tak melihat keberadaan adik tirinya. Nicole sedikit berdecak kesal. Bisa-bisanya adik tirinya itu datang terlambat. Padahal sebelumnya, dia sudah mengingatkan bahwa dirinya memiliki jadwal yang padat selama berada di London.
“Sadie, di mana Shania? Kenapa dia lama sekali?” seru Nicole kesal.
“Tunggu sebentar, Nona. Saya akan mencoba menghubungi Nona Shania.” Sadie segera menghubungi nomor Shania, namun sayangnya hasil yang didapatkan nihil. Nomor Shania aktif, tapi sama sekali tak mendapatkan jawaban.
“Bagaimana, Sadie? Di mana Shania?” tanya Nicole menahan emosi dalam dirinya. Hal yang paling Nicole benci adalah menunggu lama. Padahal dirinya sudah datang tepat waktu. Jika saja tahu Shania akan datang terlambat, maka Nicole memilih untuk tidak usah datang.
“Nona Shania tidak menjawab telepon saya, Nona,” jawab Sadie bingung, dan sedikit panik. Pasalnya, jika Shania tak kunjung bisa dihubungi pasti Nicole tak mau menunggu. Alhasil keributan akan terjadi.
Nicole mendengkus tak suka. “Sudahlah, kita ke hotel saja. Aku tidak mau menunggunya. Aku lelah.”
“Nona, tapi ayah Anda bisa marah kalau Anda langsung pergi tanpa mau menunggu Nona Shania.” Sadie mencegah Nicole, berusaha membujuk bosnya itu untuk tak langsung pergi.
Nicole mendecakkan lidahnya. “Aku tidak peduli apa yang dikatakan ayahku. Jangan halangi aku. Aku ingin ke hotel dan segera beristirahat.” Lalu, Nicole hendak meninggalkan wedding venue itu, namun langkah Nicole terhenti kala berpapasan dengan Shania yang baru saja datang.
“Nicole sorry, tadi ada kecelakaan di jalan tol. Sorry membuatmu menunggu,” ucap Shania yang merasa tak enak pada Nicole, karena sudah membuat kakak tirinya itu menunggu lama.
Nicole menatap jengkel Shania. Pancaran mata Nicole membendung rasa marahnya. “Aku sudah bilang padamu jangan sampai terlambat. Kau bisa berangkat lebih awal, agar terbebas dari masalah di jalanan!” Nicole membenci ada yang mencari-cari alasan, karena bagi Nicole masalah timbul tetap karena kecerobohan.
“Iya, sorry. Kali ini aku mengakui kesalahanku. Tadi aku ingin berangkat lebih awal, tapi kekasihku baru selesai meeting. Itu kenapa aku jadi terlambat. Lain kali aku tidak akan terlambat lagi,” ujar Shania berusaha menjelaskan pada kakak tirinya itu, dan mengakui kesalahannya. Pun Shania berjanji tak akan mengulangi kesalahannya lagi.
“Ya sudah, lupakan saja. Aku tidak mau membahasnya. Sekarang, di mana calon suamimu?” tanya Nicole yang tak melihat siapa pun di samping adik tirinya.
“Calon suamiku tadi—” Shania melihat ke arah pintu, dan di kala sosok pria tampan muncul, wanita itu langsung berseru, “Itu dia, calon suamiku.”
Seketika tubuh Nicole nyaris ambruk kala melihat Oliver Maxton ada di hadapannya. Nicole memperkuat injakan kakinya agar tak tumbang. Seperti bumi yang berhenti pada porosnya, tubuh Nicole seakan tak sanggup lagi berdiri.
Mata Nicole memerah, menahan air matanya. Dadanya sesak luar biasa. Rasa sakit yang dia alami lebih dari ribuan jarum menusuk ke dalam tubuhnya. Wanita cantik itu berusaha kuat untuk menahan air matanya tak tumpah.
Oliver bergeming di tempatnya, menatap Nicole dengan tatapan penuh arti. Sembilan tahun pria itu tak melihat Nicole, dan sekarang ketika dirinya kembali melihat wanita itu, rupanya Nicole semakin cantik. Meskipun banyak berubahan di fisik Nicole, namun pria itu tak mungkin lupa akan sosok wanita yang ada di hadapannya.
“Sayang, di depanmu ini adalah Nicole Tristan, kakak tiriku yang waktu itu aku ceritakan padamu. Dia tinggal di Swiss dan memiliki bisnis wedding organizer. Dia ke London khusus untuk membantu acara pernikahan kita, Sayang,” ujar Shania seraya memeluk Oliver, dengan begitu manja, memperkenalkan Nicole pada calon suaminya.
Oliver menganggukan kepalanya, merespon ucapan Shania. Pria tampan itu tak mengatakan sepatah kata pun selain menganggukan kepala. Akan tetapi, walau responnya hanya anggukan, tatapan pria itu tak lepas menatap sosok wanita yang ada di hadapannya.
***
-To Be Continued
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
