
Pernikahan layaknya princess di negeri dongeng adalah impian Kimberly Davies. Akan tetapi, siapa sangka semua impiannya hancur kala kenyataan tak sesuai dengan impiannya. Sang suami selalu mengabaikannya bahkan sejak mereka pertama kali menikah, Kimberly seakan tak pernah diinginkan.
Dalam keadaan hati yang hancur berkeping-keping, Kimberly pergi ke klub malam. Namun, lagi dan lagi takdir sedang mengajaknya bercanda. Wanita cantik itu mabuk hingga berakhir di ranjang Damian Darrel—pria berbahaya...
Bab 1. Trapped by the Jerk
“Berikan aku vodka,” ucap Kimberly dingin pada sang bartender.
“All right, Miss,” sang bartender langsung memberikan minuman yang dipesan oleh Kimberly
Kimberly menenggak vodka hingga tandas. Tak hanya satu gelas saja, tapi dia terus meminta sang bartender memberikannya minuman beralkohol tinggi itu. Sesekali, Kimberly melihat lautan manusia yang ada di lantai dansa. Rasanya wanita itu ingin menertawakan dirinya sendiri.
Semua orang berpasangan. Mereka tampak begitu mesra, sedangkan Kimberly? Wanita itu duduk di tempatnya meminum alkohol—seraya sedikit menari mengikuti alunan musik jazz yang tengah diputar oleh Disk Jockey.
Wanita berambut cokelat tebal dan bermata hazel itu sejak tadi tak luput dari pandangan banyak pria yang menatap dirinya. Tak tanggung-tanggung, para pria bahkan mengajaknya berkenalan dan juga berdansa. Akan tetapi, belum ada satu pun pria yang menarik di mata Kimberly.
“Whisky, please.” Suara berat milik seorang pria berbicara pada sang bartender begitu terdengar di telinga Kimberly.
Kimberly menoleh pada sosok pria yang duduk di sampingnya. Mata wanita itu menyipit menatap pria yang tampak tak asing itu. Kening Kimberly mengerut berusaha mengenali sosok pria itu. Namun, sayangnya alkohol begitu menguasai otaknya membuat Kimberly kesulitan mengenali pria yang meminta whisky pada sang bartender.
Tampan. Sangat tampan. Itu yang Kimberly nilai tentang paras pria yang ada di dekatnya itu. Hanya saja Kimberly tak mampu mengingatnya. Dalam otak Kimberly—pria di sampingnya itu adalah pria yang paling tampan dari semua pria yang sejak tadi berusaha mendekatinya.
“Kenapa kau melihatku seperti itu?” Pria asing itu menyesap whisky yang baru saja diberikan oleh sang bartender. Tatapannya tak lepas menatap Kimberly yang sejak tadi menatapnya. Senyuman samar di wajah pria itu terus terlukis, senyum yang mampu menggoda para kaum hawa.
“Apa kita saling mengenal? Wajahmu tak asing di mataku. Aku seperti pernah melihatmu,” ucap Kimberly setengah mabuk. Dia menatap dalam sosok pria tampan yang ada di hadapannya. Tubuh gagah dan maskulin pria itu terbalut oleh jas berwarna hitam, rahangnya tegas, hidungnya mancung menjulang melebihi bibir.
Kimberly mengakui sosok pria di hadapannya ini layaknya pahatan patung Dewa Yunani yang sempurna. Bahkan di kala pria itu menyesap minumannya—pria itu tampak sangat seksi di mata Kimberly. Ini sudah gila! Alkohol membuat kewarasan di otaknya menghilang. Bisa-bisanya dia mengagumi pria asing.
“Menurutmu apa kita saling mengenal?” Pria itu mendekat pada Kimberly. Mengikis jarak di antara mereka. Sepasang iris mata cokelat itu seakan mampu menghipnotis Kimberly.
Kimberly terkekeh pelan. “Mungkin kau hanya mirip dengan pria yang aku kenal. Lupakan saja. Kepalaku sedang pusing. Jadi pasti aku salah mengenali seseorang.”
“Kenapa kau sendiri di sini?” tanya pria itu dengan sorot mata yang begitu lekat pada Kimberly. “Dari wajahmu menunjukkan kau seperti wanita yang patah hati. Apa kau memiliki masalah dengan pasanganmu?” Pria itu kembali bertanya. Nada bicaranya serak dan rendah begitu menggoda.
“Patah hati?” Kimberly mulai tertawa. “Kenapa aku harus patah hati? Come on, aku ke sini karena bosan di rumah. Tidak ada kata patah hati untuk seorang Kimberly Davies.”
Senyuman misterius di wajah pria itu terlukis. Mata sayu Kimberly begitu menggodanya. Tubuh wanita itu indah. Bahkan sangat indah. Lekuk tubuh sempurna. Payudara yang padat dan berukuran menantang membuat pria itu tak lepas menatap Kimberly. Balutan gaun berwarna merah bermodel kemben sangat cantik dan seksi. Kimberly bagaikan angel yang ada di tengah-tengah klub malam.
“Kalau begitu kita sama. Aku juga sendirian di sini. Apa kau mau berdansa denganku?” pinta pria itu seraya menatap Kimberly yang mabuk.
“Apa aku harus menerima tawaranmu?” Kimberly membalikkan pertanyaan pria itu.
Namun, tiba-tiba tubuh Kimberly nyaris terjatuh. Pria itu sangat sigap menangkap tubuh Kimberly. Jarak mereka begitu dekat dan intim. Aroma parfume maskulin menyeruak ke indra penciuman Kimberly membuat darah wanita itu seolah mendidih. Aroma itu sukses membuat endorfin dalam dirinya bergejolak hebat. Otaknya mulai menyusun fantasi-fantasi liar kala pria asing yang tampan itu memeluk dirinya.
“Akan lebih baik jika kau menerima tawaranku. Kau kesepian dan aku pun kesepian,” bisik pria itu serak di depan bibir Kimberly. “Kita sama-sama membutuhkan.”
Kimberly tersenyum dengan mata yang sayu. “Well, kalau begitu jangan bertanya. Silakan bawa aku ke lantai dansa.”
Seringai di bibir pria itu terlukis. Tak banyak bicara, pria itu langsung membawa Kimberly ke lantai dansa bergabung dengan lautan manusia yang sejak tadi terdansa menikmati detuman musik. Malam semakin larut, keadaan suasana klub malam itu semakin meriah dan ramai.
Musik jazz berganti dengan musik slow motion. Pria asing itu memeluk erat pinggang Kimberly. Mereka berdansa dengan sangat mesra seperti layaknya pasangan yang tengah memadu kasih.
“Kimberly … namaku Kimberly. Kenapa kau belum mengajakku berkenalkan?” racau Kimberly kian mabuk. Tangan cantik wanita itu melingkar di leher sang pria asing yang mengajaknya berdansa. Meski mabuk tapi Kimberly menyadari pria yang mengajaknya berdansa ini belum sama sekali memperkenalkan diri.
“Tadi kau sudah menyebutkan namamu, Kim,” bisik pria itu seraya membelai begitu lembut pipi Kimberly.
Mata Kimberly semakin menyipit. “Kau curang. Kau belum memperkenalkan namamu.”
Pria itu tersenyum. Lantas dia menarik dagu Kimberly sambil berbisik serak, “Aku yakin kau pasti tahu namaku.”
Tampak kening Kimberly mengerut mendengar ucapan pria itu. Otaknya mulai bekerja mencerna. Namun, alkohol yang terlalu banyak telah menguasai jalan pikiran dan ingatan Kimberly. Akhirnya, Kimberly tak mau ambil pusing dengan ucapan pria itu.
“Kenapa pria tampan sepertimu sendirian?” racau Kimberly lagi.
Pria itu terkekeh rendah dan terdengar seksi. “Aku tidak sendirian. Aku sedang berdansa denganmu.”
“Ah, iya. Kau benar.” Kimberly berjinjit—lalu dengan berani dia mengecup bibir pria itu. Awalnya hanya sebuah kecupan saja, tapi perlahan Kimberly melumat bibirnya.
“Amatiran.” Pria itu menangkup kedua pipi Kimberly, menatap mata sayu Kimberly. “Ciumanmu itu masih amatiran, Kim.”
“Show me how to do the right kiss,” bisik Kimberly menggoda.
Mendengar respon Kimberly, pria itu langsung membenamkan bibirnya di permukaan bibir Kimberly, melumat dengan lembut, menggigit pelan bibir wanita itu agar membuka mulutnya. Desahan panjang lolos di bibir Kimberly kala pria itu mencium bibirnya dengan begitu panas dan liar. Ciuman pria itu seolah melumpuhkan saraf di sekujur tubuh Kimberly.
“You’re a good kisser,” bisik Kimberly menggoda tepat di depan bibir pria itu. “Temani aku malam ini. Aku ingin menghabiskan malamku denganmu.”
Pria itu membelai bibir ranum Kimberly dengan jemarinya. “Jangan menantangku, Kim. Kau akan menyesali keputusanmu itu.”
“Aku tidak mungkin menyesalinya. Malam ini temani aku. Bukankah tadi kau sendiri yang mengatakan kita adalah dua orang yang kesepian?” Kimberly merapatkan dadanya ke dada pria itu. Nadanya berbisik menggoda dan sukses membuat pria itu menggeram akibat suara seksi Kimberly.
Pria itu menarik dagu Kimberly, melumat kembali bibir ranum Kimberly, lalu berubah agresif dan menuntut. Tangan pria itu pun semakin memeluk pinggang Kimberly dengan erat. Memberikan remasan pelan, menyalurkan sensasi yang telah terselimuti api hasrat yang telah membara.
“You know, Kim, once you give up yourself to me, there is no chance of backing out.”
***
Bab 2. Sleeping With a Stranger
Rintihan perih lolos di bibir Kimberly di kala merasakan titik sensitive-nya terasa begitu perih dan menyakitkan. Tubuhnya terasa sangat remuk seperti dipukuli ribuan orang. Ah, sial! Kimberly mengumpat pelan di kala merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
Perlahan-lahan mata Kimberly terbuka. Wanita itu memijat keningnya yang mulai terasa sangatlah pusing. Tunggu! Tiba-tiba raut wajahnya berubah di kala menyadari dirinya berada di sebuah kamar asing. Tak hanya itu saja, dia juga melihat pakaian berserakan di lantai.
Apa yang terjadi? Jutaan pertanyaan muncul di benak Kimberly. Dalam hitungan detik, dia mengingat dirinya tadi malam pergi ke klub malam. Namun kenapa sekarang dirinya berada di sebuah kamar asing yang tak dia kenali?
Kimberly mulai memberanikan diri, mengintip ke balik selimut, melihat tubuhnya sendiri. Seketika matanya membulat sempurna melihat tubuhnya di balik selimut sudah telanjang, tanpa sehelai benang pun yang menempel di tubuhnya. Tidak hanya itu saja, banyak tanda kissmark di sekujur tubuhnya—membuatnya merinding.
“Ya Tuhan, Kimberly! Apa yang kau lakukan?!” gumam Kimberly gelisah pada dirinya sendiri.
Suara gemericik air yang bersumber dari kamar mandi, membuat Kimberly tersadar, bahwa ada orang di dalam kamar mandi. Otak Kimberly langsung jalan. Dia yakin di kamar mandi itu adalah pria yang menjadi cinta satu malamnya.
“Aku harus pergi sekarang,” gumam Kimberly lagi yang muncul ide untuk pergi meninggalkan kamar hotel ini, sebelum pria itu selesai mandi.
Kimberly mengumpulkan keberanian dalam dirinya. Dia menahan rasa sakit di area sensitive-nya. Dia turun dari ranjang, dan memunguti pakaiannya. Wanita itu memakai pakaiannya dengan cepat. Detik selanjutnya, dengan kaki telanjang dia berjalan meninggalkan kamar hotel seraya membawa heels dan tasnya.
Tak selang lama, di kala Kimberly sudah pergi meninggalkan kamar hotel, seorang pria tampan dan gagah, yang masih memakai handuk di pinggangnya—telah keluar dari kamar mandi. Tampak raut wajah pria itu berubah melihat ranjang sudah kosong, dan pakaian Kimberly sudah tidak ada.
Pria itu menyeringai penuh arti. “Kau tidak bisa lari dariku, Kim.”
***
Kimberly meremas pelan rambutnya mengingat kejadian tadi malam. Kejadian di mana dia menghabiskan malam bersama pria asing yang bahkan tak dia kenali. Sungguh, dia tak menyangka akan one night stand dengan pria asing. Tujuannya pergi ke klub malam untuk menenangkan diri, tapi kenyataannya dia malah mendapatkan masalah baru.
Sejenak, Kimberly berusaha mengatur napasnya, berusaha untuk melupakan kejadian tadi malam. Namun, sialnya bukan melupakan, malah Kimberly terus mengingat sentuhan pria asing itu. Hal yang tak mungkin Kimberly lupakan—sentuhan yang mampu meninggalkan memory yang begitu lekat di otaknya.
Tangan kokoh pria itu menjamah setiap inci tubuhnya, menjelajahi dengan sangat lembut dan mendamba. Dimulai dari tengkuk lehernya, kemudian bermain di area paling sensitive-nya yang memberikan sensasi sengatan ke sekujur tubuhnya.
“Argghh!” Kimberly berteriak seperti orang frustrasi.
Pintu kamar terbuka. Refleks, Kimberly mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Tampak raut wajah Kimberly berubah melihat Fargo—sang suami berdiri di ambang pintu. Sepasang iris mata hazel Kimberly begitu dingin menatap Fargo penuh curiga.
“Kenapa kau tadi malam tidak pulang, Fargo? Ke mana kau pergi? Tadi malam aku menghubungimu, tapi kau tidak menjawab teleponku,” cerca Kimberly seraya mendekat pada Fargo—yang sulit di hubunginya.
Fargo Jerald—pria yang sudah satu bulan ini resmi menjadi suaminya. Awalnya Kimberly berharap setelah menikah akan memiliki kehidupan yang indah layaknya di negeri dongeng. Namun semua itu hanya mimpi. Selama satu bulan Kimberly menikah dengan Fargo, pria itu selalu pulang malam dan tak pernah memedulikan dirinya. Puncaknya tadi malam Kimberly begitu frustrasi sampai-sampai membuatnya pergi ke klub malam untuk menenangkan diri.
“Aku sibuk, Kimberly. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan,” jawab Fargo dingin dan tak acuh. Raut wajahnya menunjukkan malas menjawab cercaan pertanyaan Kimberly.
“Kau sibuk apa, Fargo? Minggu lalu kau bilang kau sibuk mencari investor di perusahaan barumu. Aku sudah membantumu mengeluarkan dana yang tidak kecil demi membantu perusahaan barumu itu. Harusnya sekarang kau tidak lagi sibuk. Atau paling tidak kau bisa pulang di jam normal pulang kantor. Kenyataanya kau tetap pulang larut malam dan bahkan tadi malam kau tidak pulang!” seru Kimberly mulai emosi.
Minggu lalu Kimberly bahkan rela mengeluarkan dana besar dari perusahaan keluarganya hanya untuk membantu perusahaan baru yang dibangun oleh sang suami. Semua berawal dari Fargo yang mengalami kerugian tinggi di perusahaannya. Fargo tak memiliki muka jika harus meminta bantuan lagi pada ayah pria itu. Hal tersebut yang membuat Kimberly mengulurkan tangan bantuan pada sang suami.
“Kimberly, aku sedang tidak ingin bertengkar. Tadi malam aku memang sibuk. Perusahaanku itu masih butuh banyak investor. Aku ingin memperbesar cabang perusahaanku. Jika kau tidak percaya, kau bisa bertanya pada sekretarisku. Sudahlah. Kau ini cerewet sekali. Aku lelah.” Fargo hendak menuju kamar mandi, tapi langkah Fargo terhenti kala Kimberly menghadang dirinya.
“Kimberly, minggir,” seru Fargo penuh peringatan pada Kimberly.
“Kita belum selesai bicara, Fargo!” ketus Kimbery jengkel.
Fargo mengembuskan napas kasar, berusaha meredam kemarahannya. “Aku sedang tidak ingin bertengkar, Kimberly. Hentikan tuduhan-tuduhan tidak warasmu itu. Kau sendiri tadi malam tidak pulang, kan? Tadi pelayan melaporkan padaku bhawa kau tadi malam tidak pulang! Sekarang aku tanya padamu, ke mana kau pergi tadi malam?!”
Wajah Kimberly mulai memucat mendengar ucapan Fargo. Tampak Kimberly dilanda ketakutan hebat. Napas Kimberly seakan tercekat. Lidahnya kelu kesulitan merangkai kata. Namun, sebisa mungkin dia berusaha untuk tenang agar mampu menjawab pertanyaan Fargo.
“T-tadi malam mood-ku sedang tidak bagus karenamu. Kau tidak menjawab teleponku! Kau mengabaikanku! Itu yang membuatku menginap di rumah temanku. Aku bosan menunggumu di rumah yang belum pasti pulang,” balas Kimberly ketus.
“Fine, aku percaya padamu. Aku harap kau juga percaya seperti aku percaya padamu. Aku harus mandi. Aku lelah. Jangan menggangguku.” Fargo menutup pembicaraan. Tak ingin lagi berdebat, dia melanjutkan langkahnya meninggalkan Kimberly yang bergeming di tempatnya.
Kimberly mengusap wajahnya kasar. Wanita itu tampak begitu kesal. Lagi dan lagi, Fargo selalu mengabaikannya. Bahkan tadi dia pikir Fargo akan mencerca banyak pertanyaan kala tahu dirinya tidak pulang. Namun, ternyata apa yang dia pikirkan salah. Fargo malah menunjukkan sikap acuh dan seperti tak peduli.
***
“Kimberly, bersiaplah! Malam ini kita memiliki jamuan makan malam,” Suara Fargo berucap seraya melangkah mendekat pada Kimberly yang sedang duduk di ranjang dengan wajah yang tampak lesu.
“Kau pergi sendiri saja. Aku sedang malas keluar,” ucap Kimberly datar. Tubuhnya begitu lelah. Dia enggan untuk pergi keluar rumah. Terlebih kondisi mood yang masih kacau, membuatnya lebih memilih berdiam diri di kamar.
“Aku tidak bisa pergi sendiri. Keluarga besarku akan menanyakan keberadaanmu. Cepat kau ganti pakaianmu,” ucap Fargo dingin dan tegas.
Kimberly mendengkus tak suka. Detik selanjutnya, dia terpaksa untuk menuruti Fargo. Wanita itu bangkit berdiri dan segera mengganti pakaiannya. Meski tak ingin pergi, tapi Kimberly tidak bisa menolak. Pasalnya setiap ada acara keluarga, dia dan Fargo harus tampil bersama. Di hadapan banyak orang termasuk keluarga—mereka hanya tahu Kimberly dan Fargo layaknya pasangan sempurna. Padahal semua itu hanyalah tipuan belaka.
Sepanjang perjalanan, Kimberly memasang wajah jengkel dan kesal.
“Fargo, kenapa kau memberitahuku mendadak seperti ini?” tanya Kimberly seraya mengalihkan pandangannya menatap Fargo yang menyetir. “Harusnya kau bilang jika ada acara keluarga.”
“Aku juga baru tahu tadi sore. Ibuku menghubungiku, paman tiriku yang tinggal di Seattle sedang berada di Los Angeles. Itu kenapa keluarga besar mengadakan makan malam bersama,” jawab Fargo datar memberi tahu Kimberly.
“Paman tirimu?” Kening Kimberly mengerut, menatap serius Fargo.
“Damian Darrel, saudara tiri ibuku. Sekarang dia berada di Los Angeles. Kau pernah bertemu dengannya saat di pesta pernikahan kita. Dia memang jarang berada di Los Angeles. Dia lebih menyukai tinggal di Seattle. Dia ke sini hanya jika ada pekerjaan yang memang mengharuskannya untuk datang,” jawab Fargo lagi memberi tahu.
Kimberly terdiam beberapa saat mengingat nama ‘Damian Darrel’. Ingatannya langsung tertuju pada paman tiri dari suaminya itu. Damian dan Fargo tak memiliki hubungan darah sama sekali. Waktu itu Kimberly pernah diceritakan Deston Darrel, kakek tiri Fargo, menikah dengan Rula Wylie, nenek kandung Fargo. Deston dan Rula menikah dalam keadaan telah memiliki anak sebelum pernikahan mereka.
Saat Fargo dan Kimberly telah tiba di mansion keluarga Darrel, mereka segera masuk ke dalam mansion. Tampak senyuman di wajah Kimberly terlukis melihat mertuanya menyambut kedatangannya dengan sangat hangat dan ramah.
“Kimberly, kau cantik sekali,” puji Fidelya, ibu mertua Kimberly.
“Terima kasih, Mom. Mommy juga sangat cantik,” balas Kimberly memuji sang mertua.
“Apa kabar, Kimberly?” Deston, kakek tiri Fargo, menyapa dengan hangat. Meski usia tak lagi muda, tapi dia masih sangat tampan dan gagah.
“Baik, Grandpa. Kau sendiri bagaimana?” Kimberly balik bertanya dengan sopan.
“Baik. Aku juga baik,” jawab Deston hangat.
“Grandpa, di mana Paman Damian?” tanya Fargo yang tak menemukan keberadaan paman tirinya itu.
“Ck! Anak itu tadi bilang sudah di jalan, tapi kenapa sampai sekarang belum juga tiba,” ucap Deston kesal.
“Dad, lihatlah orang yang kita tunggu sudah datang.” Fidelya berucap pada Daston seraya mengalihkan pandangannya pada sosok pria tampan yang baru saja masuk ke dalam rumah. Pun semua orang yang ada di sana mengalihkan pandangan mereka pada sosok pria yang baru saja tiba itu.
Seketika raut wajah Kimberly berubah. Matanya menyorot lekat sosok pria yang datang. Dia seperti tak asing melihat mata pria itu. Namun tidak! Kimberly yakin itu hanya perasaannya saja. Di dunia ini banyak orang yang memiliki manik mata cokelat gelap.
“Damian, kau dari mana saja? Kenapa kau baru datang?” seru Deston seraya menatap tajam putranya yang baru saja datang.
“Maaf, tadi ada yang harus aku kerjakan,” jawab Damian dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Detik selanjutnya, tatapan Damian teralih pada sosok wanita cantik dengan balutan gaun berwarna silver model tali spaghetti. Parasnya anggun menawan. Bibir ranum penuh itu dibalut lipstik berwarna merah, membuat sosok wanita itu sangat seksi.
“Long time no see, Paman. Aku rasa aku tidak perlu mengenalkan lagi. Kau pasti kenal di sampingku ini Kimberly, istriku.” Fargo berucap kala dia merasa Damian sejak tadi tak henti menatap Kimberly.
Senyuman misterius di wajah Damian terlukis. Tatapan pria itu tak lepas menatap manik mata hazel Kimberly yang terlihat sedikit bingung. Lantas Damian mendekat pada Kimberly, menatap dalam dan penuh arti wanita itu.
“Baru saja kita bertemu, sekarang kita bertemu lagi. Nice to see you again, Kim.”
***
Bab 3. We’ve Spent the Night Together Last Night
Suara berat Damian berucap dengan senyuman samar di wajahnya. Refleks, semua orang di sana terkejut sekaligus mengalihkan pandangannya pada Kimberly. Tampak raut wajah Kimberly sedikit memucat. Ditambah semua orang menatap dirinya.
Tenggorokan Kimberly tercekat, lidahnya kelu, otaknya blank seketika tak mampu merangkai kata. Dalam benaknya berpikir kapan dia bertemu dengan Damian? Namun tunggu! Samar-samar dia seperti pernah bertemu dengan sosok tampan di hadapannya itu. Suara beratnya dan tatapan milik pria itu tak asing. Hal yang menguatkan ingatannya adalah aroma parfume maskulin Damian.
Saat sesuatu hal muncul dalam benak Kimberly, tiba-tiba saja napasnya memberat. Kakinya layak jelly yang tak mampu berdiri tegak. Jantungnya berpacu dengan begitu keras hingga seolah ingin melompat dari tempatnya. Wanita itu menggelengkan kepalanya meyakinkan apa yang ada di pikirannya salah.
‘Tidak. Tidak mungkin. Bukan dia orangnya. Pasti aku salah,’ batin Kimberly resah dan panik.
“Kimberly, kau bertemu dengan Damian di mana?” tanya Fidelya seraya menatap sang menantu dengan tatapan yang tersirat penasaran dan rasa ingin tahu.
“Ah, itu. Aku—” Kimberly menjeda beberapa detik. Memikirkan alasan apa yang paling tepat. Sungguh, wanita cantik itu tak tahu harus berkata apa.
“Aku bertemu dengan Kimberly secara tidak sengaja di jalan. Saat itu Kimberly tidak melihatku. Aku yang melihatnya. Aku ingin menghampirinya, tapi aku sedang terburu-buru karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Damian langsung menjawab tanpa menunggu jawaban dari Kimberly. Nadanya tenang tanpa beban.
Kimberly menelan salivanya susah payah mendengar jawaban dari Damian.
“Oh, begitu.” Fidelya mengangguk-anggukkan kepalanya paham.
“Ya sudah, lebih baik kita ke ruang makan. Pelayan sudah menyiapkan makanan untuk kita.” Rula, nenek kandung Fargo sekaligus ibu tiri Damian, bersuara meminta semua orang untuk ke ruang makan.
“Benar. Sekarang, ayo kita ke ruang makan. Ini sudah waktunya makan malam,” sambung Fidelya hangat.
Semua orang menurut. Lantas mereka melangkah menuju ruang makan. Sepanjang perjalanan menuju ruang makan, tatapan Damian tak lepas menatap Kimbely—yang sejak tadi terus memeluk erat lengan Fargo.
Di ruang makan, Kimberly bersama dengan keluarga besar Fargo mulai menikmati makan malam mereka. Keheningan membentang di ruang makan itu. Belum ada percakapan yang terjalin. Hanya saja Kimberly sejak tadi makan dengan posisi kepala yang sedikit tertunduk tak berani menatap Damian yang ada di hadapannya.
“Kimberly, apa kau dan Fargo menunda memiliki keturunan?” tanya Fidelya yang sontak membuat Kimberly tersedak. Fargo segera memberikan air putih untuk Kimberly. Pun Kimberly menerima air putih pemberian dari Fargo itu dan meminumnya secara perlahan.
“Terima kasih,” ucap Kimberly pelan seraya meletakkan gelas yang berisikan setengah air putih ke tempat semula.
“Mom, aku dan Kimberly masih baru menikah. Kami belum memikirkan tentang anak. Itu masih sangat lama, Mom,” jawab Fargo tegas dan penuh penekanan.
“Apa yang dikatakan Fargo benar. Dia dan Kimberly baru saja menikah. Biarkan mereka menikmati masa-masa romantis mereka dulu,” sambung Olsen, ayah Fargo, yang sejak tadi ada di sana, tapi pria paruh baya itu tak menyukai banyak bicara.
Fidelya mendesah pelan. “Baiklah, maafkan aku yang terburu-buru menanyakan tentang anak, tapi jujur aku sangat berharap Fargo dan Kimberly tidak menunda memiliki keturunan. Aku ingin sekali menggendong cucu, selagi aku masih belum terlalu tua.”
Kimberly tersenyum getir mendengar ucapan sang ibu mertua. Anak? Bagaimana dia dan Fargo memiliki anak? Hingga detik ini saja Fargo belum pernah menyentuhnya. Seketika ingatan Kimberly muncul tentang kejadian tadi malam. Shit! Bisa-bisanya dia one night stand dengan pria asing. Kimberly tak henti mengumpat dalam hati merutuki kebodohan dirinya.
“Damian, kau sendiri kapan ingin menikah? Usiamu sekarang sudah memasuki 34 tahun. Fargo saja yang baru 25 tahun sudah menikah. Kenapa kau belum kepikiran menikah?” tanya Rula menatap Damian dengan tatapan hangat.
Usia Damian dan Fargo hanya terpaut sembilan tahun. Saat itu Fidelya menikah di usia yang masih sangat muda. Tak heran jika usia Damian dan Fargo tidak terlalu berbeda jauh. Pun Damian dan Fidelya hanya terpaut perbedaan usia sembilan tahun. Fidelya jauh lebih tua dari Damian. Ini disebabkan Rula menikah di usia yang masih muda bahkan jauh lebih muda dari usia Fidelya menikah.
“Aku akan menikah, jika memang aku sudah ingin menikah,” jawab Damian dingin, dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Hm. Maaf, permisi aku ingin ke toilet sebentar.” Kimberly meminta izin untuk ke toilet.
“Kau ingin aku temani, Kimberly?” tawar Fargo seraya menatap Kimberly.
“Tidak usah. Aku sendiri saja,” jawab Kimberly dengan senyuman ramah di wajahnya. Seperti biasa Fargo selalu bersikap sangat baik dan romantis di hadapan banyak orang. Namun, jika di rumah Fargo akan kembali pada sifat awalnya yang tak peduli dan mengabaikan dirinya.
Saat Kimberly berjalan menuju toilet, tatapan Damian terus menatap punggung Kimberly yang mulai lenyap dari pandangannya. Seringai di bibir Damian terlukis. Pria itu menyesap wine di tangannya, duduk dengan tenang dan santai seolah tak terjadi apa pun.
“Permisi, aku ingin menghubungi asistenku sebentar,” ucap Damian berpamitan, sambil berdiri.
Deston menatap putranya. “Kau ini sedang makan malam, tapi malah mementingkan pekerjaanmu.”
“Hanya sebentar. Aku tidak akan lama.” Damian melangkah pergi meninggalkan ruang makan megah itu. Pria tampan itu tak mengindahkan tatapan dingin dan tajam dari sang ayah.
***
Kimberly menatap cermin seraya mengatur napasnya. Sungguh, hati dan pikirannya tak tenang. Dia tak tahu ada apa dengan dirinya. Sejak tadi tatapan paman tiri suaminya itu membuatnya seakan disudutkan.
Kimberly memutar keran wastafel, wanita itu membasuh wajahnya dengan air bersih. Detik selanjutnya, ketika dia yakin hati dan pikirannya sudah membaik, dia langsung membalikkan tubuhnya dan hendak meninggalkan kamar mandi. Namun …
“Ingin melarikan diri?” Suara berat Damian sontak membuat tubuh Kimberly nyaris terhuyung ke belakang akibat keterkejutannya. Refleks, Damian dengan sigap menangkap tubuh Kimberly.
“P-Paman! K-kenapa kau di sini?” Kimberly mendorong dada Damian agar pria itu melepaskan pelukannya. Namun, alih-alih melepaskan, malah pria tampan itu semakin memeluk pinggangnya dengan erat.
“P-Paman, l-lepaskan aku!” Kimberly kembali berusaha melepaskan pelukan Damian. Sayangnya Damian mendorong tubuh Kimberly, membenturkan tubuh wanita itu ke dinding. Tak hanya itu, dia menghimpit tubuh Kimberly, membuatnya tak bisa lagi bergerak sama sekali.
“Kau melupakan kejadian tadi malam, hm?” bisik Damian serak di telinga Kimberly.
Tenggorokan Kimberly tercekat. Wanita itu seperti merasakan ada batu di tengah tenggorokannya. Perkataan Damian sukses membuat otak Kimberly berhenti berpikir. Deru napas Kimberly mulai memburu. Tangannya berkeringat dingin karena ketakutan.
“K-kejadian apa? A-aku tidak mengerti maksudmu, Paman.” Kimberly menjawab dengan susah payah.
Damian tersenyum penuh arti. Lantas pria itu membawa tangannya membelai pipi Kimberly seraya berbisik serak, “Bisa-bisanya setelah kau puas, pagi harinya kau malah melarikan diri. Setidaknya kau harus menyapa pria yang telah menghabiskan malam denganmu, Kim.”
Tubuh Kimberly membeku. Napasnya kian memburu. Perkataan Damian sukses membuat darahnya seperti berhenti mengalir. Beberapa detik, ingatan Kimberly mulai terkumpul. Mata itu, suara itu, dan aroma parfume itu. Tiga hal yang tak luput dari ingatan Kimberly. Sungguh, seluruh organ dalam tubuh Kimberly melemah. Dalam hati, wanita itu berusaha menepis semua yang muncul dalam otaknya. Namun, sayangnya perkataan Damian seolah membeberkan fakta yang ada.
“K-kau … k-kau—”
“Yes, tadi malam kita telah menghabiskan malam bersama. Kau memberikanku fantasi baru, Kimberly. Sayangnya pagi hari kau sudah melarikan diri. Padahal aku masih ingin lebih lama bersenang-senang denganmu, Kim.” Damian berbisik tepat di depan bibir Kimberly.
Kimberly menggelengkan kepalanya. Tidak. Ini tidak mungkin! Hati Kimberly selalu berontak. Akan tetapi semua sudah jelas. Pria asing yang menghabiskan malam dengannya adalah Damian Darrel, paman tiri suaminya sendiri. Demi Tuhan! Kimberly merasa ingin jantungnya berhenti berdetak. Bisa-bisanya dia tidur dengan paman tiri suaminya. Sungguh, Kimberly merasa sudah gila. Tadi malam alkohol begitu menguasai dirinya, hingga membuatnya sampai tak mengenali seseorang.
“T-tadi malam aku mabuk. Aku tidak mengingat apa pun. Tolong lupakan semuanya. Tidak perlu diingat-ingat lagi. Apa yang terjadi tadi malam merupakan bentuk ketidaksengajaan. Jadi tidak usah dibahas. Sekarang tolong menyingkir dariku. Suamiku sudah menungguku di depan.” Kimberly menjawab ucapan Damian dengan berani, sambil mengatur napasnya susah payah.
Pria itu menarik dagu Kimberly, menatap manik mata hazel wanita itu dengan lekat. “Kenapa aku harus melupakan, hm? Kau memberikan fantasi yang luar biasa. Sangat disayangkan aku harus melupakan kejadian tadi malam. Tubuhmu indah, Kim. Aku menyukai tubuhmu,” bisiknya vulgar di telinga Kimberly.
“Jaga ucapamu! Aku sudah memiliki suami!” seru Kimberly mulai emosi.
Damian terkekeh rendah seolah mengejek ucapan Kimberly. “Tadi malam kau jelas mengatakan suamimu tidak peduli padamu. Kenapa kau harus berpura-pura di hadapan semua orang, Kim?”
“A-aku mabuk! Ucapan orang mabuk tidak usah didengarkan! Aku mencintai suamiku!” sembur Kimberly menyanggah semua perkataan Damian.
Damian tersenyum misterius. Pria itu kian menarik dagu Kimberly, mendekatkan bibir wanita itu pada bibirnya. “Apa suamimu mencintaimu juga, hm? Jika iya, kenapa suamimu belum menyentuhmu, Kim? Baru kali ini aku menemukan ada seorang istri yang masih perawan.”
***
Bab 4. A Sweet Threat
“Kimberly? Kenapa kau lama sekali di toilet?” Suara Fargo sedikit memprotes kala Kimberly baru saja masuk ke dalam ruang makan.
“Maaf.” Hanya kata itu yang bisa Kimberly katakan. Wanita itu kembali duduk di samping Fargo. Raut wajahnya terlihat jelas mati-matian menutupi hati dan pikirannya yang begitu berkecamuk.
Tak lama setelah Kimberly kembali ke ruang makan, Damian melangkahkan kakinya tegas memasuki ruang makan. Aura wajah pria tampan itu dingin, dan sangat misterius.
“Damian kau dari mana?” tanya Daston penuh interogasi pada putranya itu.
“Aku baru saja berbicara dengan seseorang yang penting,” jawab Damian datar seraya melihat Kimberly yang tampak pucat.
“Orang penting? Siapa? Apa kau sedang dekat dengan seorang wanita?” sambung Fidelya yang penasaran.
“Bisa dikatakan seperti itu,” jawab Damian lagi dengan senyuman di wajahnya.
“Wah, aku tidak sabar mengetahui wanita yang sedang dekat denganmu, Damian,” seru Fidelya antusias dan tersirat tak sabar.
Raut wajah Kimberly semakin pucat dengan pancaran mata menunjukkan jelas ketakutannya, mendengar apa yang diucapkan oleh Damian. Dia memilih menundukkan kepala. Sungguh, Kimberly sejak tadi tak henti mengumpat merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa dia menghabiskan malam dengan paman tiri suaminya sendiri? Membayangkan itu semua rasanya membuat Kimberly ingin sekali lenyap dari dunia ini.
Sepanjang makan malam berlangsung, tatapan Damian tak henti menatap Kimberly yang sejak tadi menundukkan kepala tak berani menatapnya. Senyuman samar di wajah Damian terlukis. Pun semua orang tak menyadari tatapan Damian itu hanya tertuju pada Kimberly.
Hingga ketika makan malam itu berakhir, buru-buru Kimberly mengajak Fargo untuk segera kembali pulang. Fargo dan Kimberly berpamitan pada seluruh keluarga. Terlihat Damian sejak tadi hanya diam. Bahkan di kala Fargo dan Kimberly berpamitan pulang lebih dulu, tak ada satu pun respon dari Damian. Hanya saja Damian mengulas senyuman misterius dan sorot mata yang memiliki jutaan arti dalam.
Di perjalanan pulang, Kimberly tak berbicara sepatah kata pun. Sama halnya dengan Fargo yang hanya fokus melajukan mobilnya. Malam kian larut, perkotaan di Los Angeles penuh diterangi lampu jalan, mempermudah laju mobil yang melewati jalan tersebut.
“Kimberly, kau kenapa?” tanya Fargo seraya melirik Kimberly sebentar. Entah kenapa Fargo merasa ada yang berbeda dari Kimberly.
“T-tidak. Aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah saja. Aku ingin segera beristirahat,” jawab Kimberly cepat dan memaksakan senyuman di wajahnya.
“Sebentar lagi kita sampai. Kau bisa istirahat. Ingat, besok pagi kau harus ikut ke perusahaan. Ada dokumen yang wajib kau tanda tangani,” balas Fargo mengingatkan Kimberly. Nada bicaranya tak acuh dan terkesan tak peduli.
“Apa tidak bisa dokumen itu dibawa pulang olehmu? Nanti aku akan menandatanganinya di rumah,” ucap Kimberly yang enggan untuk pergi.
“Tidak bisa. Besok aku akan pulang terlambat. Aku butuh tanda tanganmu. Itu dokumen penting karena kau telah menginvestasikan uangmu ke perusahaan baruku,” jawab Fargo lagi menekankan dan tersirat memaksa Kimberly untuk datang.
Kimberly mengembuskan napas panjang. Detik selanjutnya, Kimberly memilih menganggukkan kepalanya. Tak ada pilihan lain, sekarang dia lebih memilih menghindari perdebatan. Berusaha percaya sepenuhnya pada Fargo adalah cara yang terbaik demi keutuhan rumah tangganya.
***
Sebuah ruang kerja dengan desain klasik membuat ketenangan sendiri kala Kimberly duduk di sofa yang ada di ruang kerja itu. Aroma musk menyeruak ke indra penciuman Kimberly. Wanita cantik itu mulai membaca secara teliti dokumen yang baru saja diantar oleh sekretaris. Dia telah berada di ruang kerja Fargo. Wanita itu duduk seorang diri, karena Fargo sedang menemui rekan bisnisnya di luar.
Saat Kimberly sudah yakin dengan isi dokumen tersebut, dia langsung membubuhkan tanda tangannya di sana. Namun, tiba-tiba terdengar dering ponsel milik Fargo. Dia mendesah pelan, Fargo lupa membawa ponselnya. Dia mengambil ponsel suaminya itu, dan menatap bingung nama yang terpampang di sana.
“Gilda? Kenapa Gilda menghubungi Fargo?” gumam Kimberly dengan raut wajah serius. Detik selanjutnya, dia hendak menjawab panggilan telepon itu tetapi Kimberly terlambat karena Fargo lebih dulu datang dan merampas ponselnya.
“Jangan menjawab teleponku, Kimberly!” seru Fargo mengingatkan dengan nada cukup tinggi dan menegaskan.
Raut wajah Kimberly berubah kala Fargo terlihat begitu marah padanya. “Kenapa saudara tiriku menghubungimu? Sejak kapan kau dekat dengan Gilda?”
Gilda Olaf adalah saudara tiri Kimberly. Tepatnya lima tahun lalu Kimberly kehilangan ibunya akibat sang ibu sakit keras. Satu tahun setelah kepergian ibunya, ayahnya menikah lagi dengan seorang janda yang memiliki satu orang putri bernama Gilda Olaf. Bisa dikatakan hubungan Kimberly dan Gilda tak pernah baik. Gilda yang selalu mencari-cari keributan hanya karena masalah kecil. Hal yang membuat Kimberly tak mengerti adalah kenapa Gilda menghubungi Fargo. Padahal selama ini dia yakin Fargo tidak pernah dekat dengan Gilda.
“Aku memiliki urusan pekerjaan dengannya,” jawab Fargo datar dan dingin.
“Pekerjaan apa? Gilda itu model. Pekerjaan macam apa yang melibatkannya?” cerca Kimberly lagi menuntut agar Fargo menjelaskan padanya.
“Hentikan tuduhanmu, Kimberly. Aku memang ada urusan pekerjaan dengan Gilda. Dia menjadi model di perusahaan temanku,” tegas Fargo yang kesal. Akan tetapi matanya memancarkan sedikit rasa khawatir dan cemas.
“Permisi, Tuan Fargo?” Seorang sekretaris melangkah masuk ke dalam ruang kerja Fargo—dan langsung membuat perdebatan Fargo dan Kimberly terhenti.
“Ada apa?” Fargo mengalihkan pandangannya, menatap sekretarisnya itu.
“Tuan, di depan sudah ada Tuan Damian Darrel. Apa beliau diperbolehkan masuk?” tanya sang sekretaris yang sontak membuat Kimberly terkejut.
“Persilakan Pamanku untuk masuk,” jawab Fargo datar.
“Baik, Tuan.” Sekretaris itu menundukkan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Fargo dan Kimberly.
“Fargo—”
Perkataan Kimberly terpotong kala melihat Damian masuk ke dalam ruang kerja Fargo. Tampak wajah Kimberly menjadi panik. Jantungnya berpacu dengan keras kala melihat Damian. Tadi malam Fargo tak bilang akan mengundang Damian. Andai saja Kimberly tahu, dia akan mati-matian menolak ajakan Fargo untuk datang ke perusahaan.
‘Ya Tuhan kenapa pria itu ada di sini?’ batin Kimberly resah dan gelisah.
“Paman, duduklah. Terima kasih sudah datang,” ucap Fargo pada Damian.
Damian mengangguk singkat. Pria itu duduk tak jauh dari Kimberly. Senyuman di wajah Damian terlukis. Pria itu tahu Kimberly terkejut sekaligus panik melihatnya. Namun, dia tetap santai tanpa beban seolah tak memiliki masalah.
“Kimberly, Paman Damian akan menjadi investor terbesar di perusahaan baruku,” ujar Fargo memberi tahu Kimberly.
“Ah, begitu.” Kimberly tersenyum pucat mendengar fakta yang terucap di bibir sang suami. Tenggorokannya seakan tercekat dan dia tak mampu merangkai kata. Ketakutan dan kecemasan terus menelusup ke dalam dirinya.
Getar ponsel begitu terasa di saku celana Fargo. Terlihat wajah Fargo panik kala mendapatkan panggilan telepon tepat di depan Kimberly. Pria tampan itu sedikit gelagapan, tapi dia berusaha menyembunyikan rasa cemasnya.
“Maaf, aku harus ke toilet sebentar.” Fargo langsung meninggalkan Damian dan Kimberly di ruangannya itu.
“Fargo, tunggu!” Kimberly ingin sekali ikut dengan Fargo, tapi apa alasannya? Tidak mungkin dia mengikuti sang suami yang ingin pergi ke toilet.
“Aku baru tahu ada seorang wanita yang merelakan uang tidak sedikit demi suaminya. Great. Aku jarang menemui wanita sepertimu, Kim.” Damian berucap kala dirinya membaca dokumen di hadapannya. Pria itu melihat Kimberly sebagai investor dengan jumlah nominal cukup besar, tapi tentu itu tak ada artinya bagi Damian.
Kimberly mengembuskan napas kasar mendengar ucapan Damian. Wanita itu memberikan tatapan dingin dan tak ramah. “Fargo adalah suamiku, jelas aku wajib membantunya. Uang bukanlah masalah.”
“Well, istri yang baik,” komentar Damian dengan senyuman misterius di wajahnya. Pria itu mengambil pena miliknya dan membubuhkan tanda tangan di dokumen tersebut. Dia meletakkan dokumen yang sudah dia tanda tangani ke atas meja, dan menatap lekat Kimberly. “Jangan terlalu naif menjadi wanita, Kimberly. Kau boleh baik, tapi jangan bodoh.”
“Apa maksudmu?” Kening Kimberly mengerut, tatapannya kian tajam pada Damian.
Damian tak banyak bicara, pria itu menarik tangan Kimberly. Merapatkan tubuhnya pada tubuh wanita itu. Sontak Kimberly terkejut kala Damian memeluk erat tubuhnya.
“Le-lepaskan aku, P-Paman!” Kimberly memukul-mukul lengan kekar Damian.
“Panggil namaku, Kim,” bisik Damian serak di depan Kimberly.
“Jangan konyol, Paman! Lepaskan aku! Nanti suamiku bisa melihat!” seru Kimberly tegas bercampur dengan kepanikan nyata.
“Panggil namaku, maka aku akan melepaskanku,” bisik Damian lagi seraya membelai kasar pipi Kimberly.
“Damian Darrel, lepaskan aku!” tegas Kimberly dengan napas memburu penuh emosi.
Damian tersenyum misterius. Pria itu melepaskan pelukan Kimberly. Namun sayangnya dia tak benar-benar melepaskan. Dia menarik dagu Kimberly, mendekatkan bibir wanita itu ke bibirnya. “Kau seperti harimau liar ketika marah. Aku menyukai amarahmu, Kim,” bisiknya serak.
“Kau sudah gila, Damian! Aku ini sudah memiliki suami! Lupakan kejadian waktu itu!” seru Kimberly penuh peringatan.
“Sayangnya aku tidak bisa melupakan fantasi baruku, Kim,” jawab Damian seraya menatap dalam manik mata hazel Kimberly yang menunjukkan jelas kobaran kemarahannya. “Aku jadi penasaran, bagaimana suamimu tahu tentang skandal kita ini?”
Raut wajah Kimberly begitu takut sekaligus memucat mendengar ucapan Damian. “A-aku peringatkan kau, jangan pernah kau mengatakan pada siapa pun tentang kejadian di klub malam. Atau aku akan—”
“Atau apa, Kimberly? Kau ingin mengancamku, hm?”
“Iya! Aku akan memberikan pelajaran untukmu, jika kau sampai memberi tahu pada orang lain! Aku tidak main-main dengan ucapanku, Damian!” tegas Kimberly menekankan.
Damian kembali terkekeh mendengar ancaman Kimberly. Ini pertama kalinya ada orang yang mengancam seorang Damian Darrel. Pria tampan itu kini semakin menarik Kimberly mendekat padanya. Bahkan bibir mereka bersentuhan. Deru napas saling menerpa kulit masing-masing. Manik mata cokelat gelap Damian mengunci tatapan manik mata hazel Kimberly.
“Ancaman yang sangat manis, Kim. Aku menyukai ancamanmu.”
***
Bab 5. Complicated
Seorang pria tampan dan gagah berdiri di ruang kerjanya yang megah seraya menatap gedung-gedung bertingkat di Los Angeles dari jendela tinggi. Pria tampan itu menyesap wine di tangannya perlahan. Tatapannya menatap lurus ke depan dengan pikiran yang menerawang. Senyuman samar di wajahnya pun terlukis begitu misterius. Aura dingin dan sorot mata tegas menyelimutinya.
“Tuan Damian,” sapa Freddy, asisten Damian yang melangkah mendekat.
“Ada apa?” Damian mengalihkan pandangannya, menatap dingin Freddy yang berdiri di hadapannya.
“Tuan, apa Anda masih lama berada di Los Angeles? Minggu depan Anda memiliki meeting penting. Apa memungkinkan empat hari lagi Anda kembali ke Seattle?” tanya Freddy sopan.
Damian terdiam beberapa saat mendengar pertanyaan Freddy. “Untuk sementara aku akan tetap di sini sampai waktu yang belum bisa aku tentukan. Meeting di Seattle, bisa kau minta direktur perwakilan untuk menggantikanku.”
Freddy sedikit bingung dan tak mengerti. “Maaf, Tuan. Bukankah sebelumnya Anda berniat di Los Angeles hanya untuk tiga hari saja? Maksud saya, Anda sendiri yang mengatakan tidak suka berlama-lama di sini.”
Selama ini Damian sangat jarang ke Los Angeles. Terakhir Damian datang ke Los Angeles hanya karena menghadiri pesta pernikahan Fargo—keponakan tirinya. Pun kala itu Damian menghadiri pesta pernikahan tidak lebih dari satu jam. Jika memiliki pekerjaan di Los Angeles; maka Damian pasti akan menyelesaikan pekerjaannya dan segera kembali ke Seattle. Namun, sayangnya kali ini berbeda. Damian bahkan seolah enggan untuk kembali ke Seattle.
“Aku merubah rencanaku, Freddy. Ada sesuatu hal yang membuatku tidak bisa langsung meninggalkan Los Angeles.”
“Maaf, apa boleh saya tahu rencana yang Anda maksud?”
“Nanti kau akan tahu. Sekarang keluarlah. Selesaikan pekerjaanmu yang lain.”
“Baik, Tuan. Saya permisi.” Freddy menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Damian.
Saat Freddy sudah pergi, Damian menatap gedung-gedung bertingkat dari balik jendela tinggi ruang kerjanya. Dalam benak pria tampan itu saat ini tengah memikirkan satu nama. Sosok wanita yang berhasil membuat Damian menunda kepulangannya ke Seattle.
Kimberly …
Nama itu tercetus tanpa sadar dalam hati Damian. Tak pernah Damian sangka akan memiliki skandal dengan istri keponakan tirinya sendiri. Lebih tepatnya ini adalah skandal yang manis. Tujuan Damian datang ke klub malam karena menghilangkan kejenuhannya. Hingga kemudian, ada satu wanita duduk di klub malam seorang diri yang berhasil membuat perhatian Damian ke arah wanita itu. Semua mengalir begitu saja bahkan sampai berakhir di ranjang. Well, Damian menyadari betapa berengsek dirinya karena telah meniduri istri keponakan tirinya sendiri.
Akan tetapi, ada satu hal yang membuat Damian terkejut sekaligus tak menyangka yaitu Fargo belum pernah menyentuh Kimberly. Di usia yang sudah dewasa masih ada seorang wanita yang masih perawan itu adalah hal yang mustahil. Sosok Kimberly seperti menjadi jarum di dalam jerami.
“Permainan yang sangat menarik,” guman Damian dengan seringai di bibirnya.
***
Kimberly mengembuskan napas kasar penuh rasa gelisah. Wanita itu memikirkan pertemuannya dengan Damian di kantor Fargo. Sungguh, dia tak tahu Fargo akan mengundang Damian. Tujuannya mendatangi kantor Fargo karena mengurus proses investasi yang dia lakukan pada perusahaan yang baru saja Fargo dirikan. Namun siapa sangka ternyata Damian juga berinvestasi di perusahaan baru Fargo. Bahkan Damian menjadi investor paling tinggi di perusahaan baru milik suaminya itu.
Darrel Group adalah salah satu perusahaan besar di Amerika. Tak heran jika Damian menjadi salah satu investor terbesar di perusahaan yang baru saja Fargo dirikan. Tepatnya setelah Kimberly tahu Damian adalah pria yang menjadi partner one night stand-nya.
Kimberly tak sengaja menemukan artikel tentang Damian Darrel di internet. Rupanya paman tiri suaminya itu memiliki kekuasaan sangat besar dan berpengaruh di Amerika. Selama ini bisa dikatakan Kimberly tak pernah terlalu mengikuti informasi lengkap tentang para billionaire muda di Amerika. Terlebih Darrel Group belum pernah terlibat kerja sama dengan perusahaan keluarganya. Itu yang membuat Kimberly tak begitu mengetahui secara dalam.
“Kimberly, kau bodoh sekali.” Kimberly memijat pelipisnya guna meredakan rasa sakit di kepalanya.
Suara ketukan pintu terdengar, membuat Kimberly mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Dia mendecakan lidahnya sebal kala ada yang mengganggunya dalam keadaan kepalanya yang pusing seperti ini.
“Masuk!” seru Kimberly kesal.
Saat kenop pintu terbuka, seorang pelayan melangkah masuk ke dalam, mendekat pada Kimbery seraya menyapa dengan sopan, “Selamat malam, Nyonya Kimberly.”
“Kenapa kau menggangguku?” tanya Kimberly menahan rasa kesalnya.
“M-maaf, Nyonya. Saya tidak bermaksud mengganggu Anda. Saya hanya ingin menanyakan menu makan malam apa yang Anda ingin makan malam ini?” tanya sang pelayan sopan dengan kepala yang masih tertunduk.
Kimberly memejamkan mata singkat. Jika tidak diingatkan pelayan, maka dia tidak akan ingat sejak tadi siang belum makan. Rasa pusing di kepalanya membuatnya tak nafsu makan. Sepertinya kerumitan yang terjadi telah membuatnya kenyang.
“Tolong buatkanku salad sayur dan salmon panggang saja,” jawab Kimberly datar.
“Baik, Nyonya. Hm, Nyonya ada yang ingin saya sampaikan pada Anda,” ucap sang pelayan sopan namun tersirat serius.
“Ada apa?” Kimberly menatap pelayan itu lekat.
“Tadi Tuan Fargo menelepon, Nyonya. Beliau mengatakan malam ini akan pulang terlambat,” kata sang pelayan memberi tahu dan langsung membuat raut wajah Kimberly berubah.
“Fargo menelepon ke rumah? Kenapa dia tak menghubungi ponselku?” tanya Kimberly dengan nada kesal. Siang tadi saat Kimberly berada di kantor Fargo, suaminya itu memang meminta Kimberly untuk pulang duluan. Alasannya seperti biasa Fargo mengatakan sibuk dan sibuk. Entah apa yang membuat suaminya itu sibuk sampai lupa segalanya.
“Nyonya, mungkin ponsel Anda tidak aktif, jadi Tuan Fargo menelepon ke rumah,” jawab sang pelayan sopan.
Mendengar jawaban dari pelayan, Kimberly segera mengambil ponselnya yang terletak di atas sofa dan segera melihat ke layar—dan seketika Kimberly mengumpat melihat ponselnya tidak aktif. Dia lupa mengisi daya baterai ponselnya. Terlalu banyak yang menjadi beban pikirannya sampai-sampai hal kecil dan penting dalam hidupnya saja sampai diabaikan.
“Bagaimana, Nyonya? Apa benar ponsel Anda tidak aktif?” tanya sang pelayan hati-hati. Pelayan itu menggaruk kepalanya tak gatal. Ada rasa takut Kimberly mengomel padanya.
“Ya, aku lupa mengisi daya baterai di ponselku. Sekarang kau keluarlah. Tolong siapkan makan malam untukku dan bawakan aku teh hijau. Malam ini aku ingin malam di kamar. Aku sedang malas makan di ruang makan,” jawab Kimberly dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Baik, Nyonya. Saya akan segera siapkan makan malam untuk Anda. Kalau begitu saya permisi.” Sang pelayan menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Kimberly.
Kimberly menghempaskan tubuhnya di sofa tepat kala pelayan sudah pergi. Wanita itu menyandarkan punggungnya di sofa sambil memejamkan matanya sebentar. Sesaat, benak Kimberly memikirkan kejadian di mana Fargo mendapatkan telepon dari Gilda. Bukan berniat mencurigai, tapi Kimberly yakin selama ini Fargo dan saudara tirinya itu tak pernah menjalin komunikasi dekat. Namun kenapa sepertinya mereka sekarang ini dekat sekali?
“Besok aku harus bertemu dengan Gilda. Aku akan bertanya langsung padanya,” gumam Kimberly dengan sorot mata lurus ke depan dan pikiran yang menerawang.
***
Saat pagi menyapa, Kimberly sudah bersiap-siap ingin pergi ke rumah keluarganya. Hari ini tujuan Kimberly adalah menemui saudara tirinya itu. Namun, tentu dia tak akan bilang pada Fargo akan menemui saudara tirinya. Wanita itu hanya mengatakan pergi ke kantor seperti biasa.
“Kimberly …” Fargo melangkah keluar dari walk-in closet, menghampiri Kimberly yang tengah menikmati sarapannya.
“Ada apa?” Kimberly mengalihkan pandangannya, menatap jengkel Fargo. Tadi malam suaminya itu pulang begitu larut. Entah jam berapa, karena Kimberly sudah tertidur.
“Minggu depan ada rapat para pemegang saham. Kau jangan lupa datang. Ada beberapa dokumen yang harus kau tanda tangani lagi. Di pembahasan meeting, aku minta kau cukup menuruti apa yang aku katakan.” Fargo duduk di samping Kimberly—pria itu mengambil cangkir yang berisikan kopi panas dan langsung menyesapnya perlahan.
“Aku tidak perlu datang di meeting itu. Cukup kau saja. Lagi pula aku adalah istrimu, jadi kau bisa mewakiliku di meeting para pemegang saham,” jawab Kimberly datar sambil memakan sandwich di tangannya.
“Kau tidak bisa tidak datang, Kimberly. Perusahan ini masih baru aku dirikan. Paling tidak di awal-awal kau tetap wajib datang,” balas Fargo menekankan dan penuh ketegasan.
“Aku tidak bisa datang, Fargo. Jika kau ingin aku datang, kau wajib untuk mengusir Pa—” Perkataan Kimberly terpotong kala menyadari apa yang akan dia ucapkan. Buru-buru Kimberly meneruskan. “Maksudku, aku malas datang. Banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan.”
“Jangan keras kepala, Kim. Semua sudah diatur. Minggu depan meeting pemegang saham. Luangkan waktumu satu jam saja. Setelah meeting, kau bisa ke kantormu,” jawab Fargo yang menyudahi sarapannya. “Aku harus berangkat sekarang. Pagi ini aku memiliki meeting penting.”
“Fargo, tunggu—” Kimberly menahan lengan Fargo.
“Ada apa lagi, Kimberly?” Fargo mengalihkan pandanganya, menatap Kimberly.
“Hm, apa malam ini kau akan pulang terlambat?”
“Aku tidak tahu. Belakangan ini pekerjaanku terlalu banyak. Kau jangan menungguku. Kau tidur duluan saja.”
“Tapi—”
“Aku harus berangkat sekarang. Aku tidak ingin terlambat di meeting pentingku ini. Kau jelas tahu aku baru saja mendirikan perusahaan baru. Banyak hal yang harus aku urus. Jadi tolong kau mengerti posisiku.”
Fargo menyambar kunci mobilnya, dan melangkah pergi meninggalkan Kimberly yang masih bergeming di tempatnya. Tampak Kimberly mendecakkan lidahnya jengkel. Namun, dia tak memiliki waktu jika masih dirundung rasa kesal. Detik selanjutnya, ketika Fargo sudah pergi, Kimberly meninggalkan kamar—menuju mobil yang sudah disiapkan.
Sepanjang perjalanan, Kimberly menatap cuaca begitu cerah. Sayangnya tak secerah hatinya. Benak dan hatinya kacau terlalu banyak hal rumit yang dia pikirkan. Dia merasakan dirinya berada di sebuah labirin yang dia tahu dirinya tak bisa untuk kembali.
Saat di lampu merah, Kimberly menghentikan mobilnya tepat di paling depan. Namun tiba-tiba tanpa sengaja tatapan Kimberly teralih pada salah satu toko perhiasan yang tak jauh darinya.
Mata Kimberly menyipit melihat pasangan pria dan wanita tampak mesra keluar dari toko perhiasan tersebut. Kimberly mendekatkan pandangannya, sosok pria tampan berpakaian jas hitam sangat tak asing di matanya. Wajah tampan, aura ketegasan, cara berjalan yang jantan. Semua hal yang miliki pria itu sangat Kimberly hafal.
‘Damian? Bukankah itu Damian? Tapi siapa wanita yang di sampingnya itu?’ batin Kimberly dengan raut wajah yang ingin tahu. Entah kenapa hati Kimberly seakan merasakan sesuatu.
Ya, pria yang baru saja keluar dari toko perhiasan itu adalah Damian Darrrel. Akan tetapi kali ini berbeda, kali ini Kimberly melihat Damian bersama dengan sosok wanita yang tak dia kenali. Jaraknya dan Damian cukup jauh. Itu yang membuat Kimberly tak terlalu jelas melihat wajah wanita yang bersama dengan Damian.
***
-To Be Continued
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
