
Abilian merupakan novel yang menceritakan kisah seorang pria broken home bernama Abil Alexander Levi. Sedari kecil hidupnya sangatlah rumit. Dibenci keluarga, dianggap sebagai beban oleh ayahnya. Namun karena beberapa insiden masa lalu, ia harus mengemban tanggung jawab besar sebagai bos dari perusahaan shadow company. Selama setahun terakhir sebelum menduduki kelas 12, hidupnya tambah rumit sebab konflik dengan ketua prime, geng yang ada disekolahnya. Namun saat masa sulitnya itu, dia diprtemukan...
Prolog
“Mau jadi apa kamu, hah?” Satu tamparan keras tepat mengenai pipi Abil dengan keras setelahnya, meninggalkan rasa perih yang menjalar di permukaan kulit tipisnya itu. Jejak merah akibat kerasanya tamparan sang ayah sangat jelas membekas di sana.
Jonathan marah besar ketika mendapati Abil pulang dalam keadaan berantakan. Seragamnya lusuh, wajahnya penuh luka lebam. Luka yang tadinya sudah tertutup, kini kembali terbuka dan mengeluarkan darah begitu ditampar oleh sang ayah. Abil hanya menunduk, membiarkan jonathan melampiaskan kemarahannya kepadanya.
“Kamu bisanya cuma malu-maluin keluarga, Abil. Ayah kerja cari uang biar ibsa menuhin kebutuhan kamu di sekolah. Harusnya kamu belajar yang bener, bahagiain orang tua, tapi malah gini hasilnya? Kerjaan kamu cuma bikin masalah tau gak.” Cecar Jonathan. Volume suaranya naik satu oktaf. Dia tiak tau harus bagaimana lagi menghadapi anaknya yang satu ini. Kesabarannya sudah mencapai titik penghujung batas. Untung dirinya masih bisa mengontrol diri agar tidak lepas kndali.
“Liat tuh, kakak kamu! Dia pulang bawa piala, prestasinya banyak. Sedangkan kamu? Cuma bikin ayah pusing terus. Beban keuarga yang ada.”
Perkataan itu mampu membuat Abil bungkam. Hatinya sakit bagai disayat ribuan pedang. Begitu tiadk bergunakah dia dalam keluarganya? Dia tau jika selama ini dirinya hanya mendatangkan masalah, tak pernah sekalipun dirinya membuat kedua orang tuanya bangga. Sudah lama ia ingin berubah, tapi bukan sekarang, proses yang ia butuhkan sangat panjang. Dia juga benci dirinya yang seperti ini, tapi haruskah ayahnya mengatakan hal seperti itu. Ucapan itu terlalu menyakitkan. Dia juga ingin mendapat kasih sayang orang tua. Ingin diperhatikan, dipeluk, ditanya ketika ada masalah, bukannya dipukul dan dimarah. Ayolah! Hanya itu yang ia inginkan, namun untuk mendapatkannya bak sesulit mencari mutiara di dalam lautan samudera terdalam. Sesulit itukah Tuhan? Sesulit itukah? Badannya sudah remuk, jiwanya hancur. Dia benar-benar lelah. Hampir setiap hari dia mndapat pukulan seperti ini, dan sekarang matanya sudah berkaca-kaca. Ini terlalu berat untuk ia tanggung sendirian tanpa tempat sandaran.
Argghh…
Sakit, sangat sakit. Pukulan itu datang bertubi-tubi tiada henti bahkan saat tubuhnya tersungkur di lantai. Abil mendongak, menatap kakaknya yang tengah berada di ruang tamu dengan iri. Kedua tangannya mengepal kuat ketika melihat sang bunda yang tengah menatap sendu ke arahnya. Perempuan itu hanya duduk diam, menonton dari sana sembari memainkan kedua ibu jari tangan. Dia tau jika bundanya takut mendekat karena Jonathan marah besar, tapi apakah bundanya tidak ada niatan sedikitpun untuk menenangkan ayah? Apakah bundanya tidak kasihan melihat dirinya seperti ini.
“Anak ga guna!” Itulah ucapan terakhir Jonathan sebagai penutup dari amarahnya lalu pergi masuk ke dalam kamar dan menutup pintu secara kasar, menciptakan suara debaman yang sangat keras karenanya.
Di ruang tamu, Abil bisa melihat bundanya yang meneteskan air mata. Kakaknya, Brams pun menatap dirinya iba. Abil memalingkan wajah, malas melihat wajah kasihan mereka. Dia kembali memasang ekspresi datar kemudian mengambil tasnya yang tergeletak di lantai. Tepat saat kakinya menapaki tangga pertama, suara sang bunda berhasil mnghentikan langkahnya.
“Sampai kapan kamu gini terus, Abil. Kapan kamu mau berubah? Contoh kakak kamu dong nak. Jangan buat masalah terus.” Ucap Naura parau.
Abil mendengus, sudut bibirnya terangkat menerbitkan senyum sinis di wajahnya. Ngga ayah, ngga bunda sama saja membandingkan dirinya dengan Brams. Orang tuanya hanya tau marah tanpa bertanya dulu apa masalah yang sebenarnya. Mereka berdua hanya memperhatikan Brams, Brams dan Brams. Tak pernah sekalipun mereka memperhatikan dirinya. Dia benci sibandingkan-bandingkan terus seperti ini. Dia juga ingin dimengerti.
Abil tak menggubris ucapan Naura. Pria itu membenarkan tas di bahunya lalu melangkah pergi, menapaki satu persatu anak tangga menuju tempat tidurnya. Dia ingin cepat-cepat merebahkan diri di kasur. Berharap dengan itu bisa mengurangi rasa sakit disekujur tubuhnya.
Sedari kecil dia memang sudah mendapat didikan keras dari sang ayah. Peraturan ketat dan hukuman yang keras telah menjadi makanan setiap hari baginya. Oleh karena itu, prinsip untuk tidak pernah menangis dan menampakkan kelemahan pada orang lain sudah tertanam sempurna dalam jiwanya sejak kecil. Berbeda dengan Brams. Kakaknya itu selalu mendapat apa yang dia inginkan apalagi kasih sayang dari Naura dan Jonathan. Bahkan saat liburan keluarga pun kehadiran Abil diantara mereka seolah tak dianggap. Selalu saja Brams yang mereka perhatikan. Haruskah orang tuanya bersikap tidak adil seperti itu? Dia juga ingin merasakan kasih sayang dari seorang ayah dan ibu. Setiap hari ketika pulang ke rumah selalu saja dimarahi Jonathan. Dia cape bigini terus. Rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang dan obat dari segala hal malah menjadi tempat yang paling ia benci dalam hidupnya.
Setelah masuk ke dalam kamar, Abil langsung melempar tubuh lelahnya di atas ranjang. Sangat nyaman, itulah yang pertama kali ia rasakan saat kepalanya jatuh mencium bantal. Dia tak peduli lagi dengan seragamnya yang penuh bercak darah. Sekarang dia hanya butuh memejamkan mata lalu terlelap, ingin istirahat sebentar.
Gue benci rumah.
***
Pendiam
Jam setengah enam, bahkan matahari masih enggan menunjukkan wujudnya, tapi waktu itu Abil sudah berada di sekolah, menyusuri koridor SMA Asura dengan hoodie yang membalut tubuhnya. Jujur saja suhu pagi itu sangat dingin, menggerogoti kulitnya hingga tembus ke daging. Ditambah suasana mencekam karena heningnya kelas sepanjang ia berjalan. Sama sekali tak ada tanda-tanda kehidupan di sana, hanya dirinya seorang. Dia melangkah masuk ke dalam kelas dengan papan nama XI E IPA. Posisi kelas yang ada di pojok sekolah membuat ruangan di sana lebih gelap, hanya sedikit cahaya yang masuk lewat pentilasi udara. Selain itu tak ada lagi cahaya yang masuk ke sana. Pria itu duduk di pojok kelas, menutupi kepalanya dengan tudung hoodie yang ia gunakan.
Huffft…
Abil mendengus pelan, lelah. Padahal dia cuma berjalan dari parkiran ke kelas tapi itu mampu membuat paru-parunya ngos-ngosan. Dia menyandarkan kepalanya ke dinding sembari memejamkan mata, menikmati nafasnya yang berderu kencang. Detik kemudian, ia memainkan handphone yang sedari tadi ia diamkan di saku celana, membiarkan tangannya berselancar dalam layar beranda demi mencari satu apk. Kedua telinganya sudah lengkap dengan headset bluethoot yang telah terhubung keperangkat yang ada di genggamannya. Hanya cara ini yang bisa membuat pikirannya tenang, melupakan masalah yang dihadapinya sejenak. Abil membenarkan posisi duduknya lalu fokus ke dalam game play.
***
“Bil!” panggil seorang perempuan, berusaha membangunkan Abil.
“Hmm.” Gumam Abil kemudian kembali terpejam. Dari tadi malam dia belum tidur. Sekarang pun dirinya masih sangat mengantuk namun jam terbangnya malah diganggu.
“Ih, Abil! Lo dipanggil Pak Sanul tuh di ruang guru.”
Tak ada jawaban. Abil sudah kembali terlelap dalam tidurnya. Perempuan itu mengernyit, tak percaya melihat Abil terlelap hanya mmembutuhkan waktu sebentar. Dia geram sendiri dibuatnya ketika melihat wajah tenang Abil seperti tak memiliki masalah.
“ABILL!!” Perempuan itu berteriak tepat ditelinga Abil sembari mengguncang tubuh pria di depannya. Tentu saja peprbuatannya itu menarik perhatian siswa-siswi yang ada di kelas. Karena cuma dia yang berani bersikap seperti itu kepada Abil. Seantero sekolah pun tau jika Abil adalah sosok yang misterius, lebih banyak diam dan menyendiri di kelas. Fakta itu membuatnya lebih sedikit memiliki teman.
“Apa sih, Bel?” Tanya Abil sedikit membentak. Selain mengganggu jam terbangnya. Perempuan itu juga merusak indera pendengarannya membuat kesabarannya hilang seketika.
Nabila Syakib, dia adalah teman masa kecil Abil sekaligus sepupu dari bunda. Kenal dalam waktu selama itu, membuatnya tau semua hal tentang Abil, begitu pula sebaliknya. Abil juga tau semua tentang Bela. Cuma dia yang sering menyapa Abil di sekolah.
“Hehe...” Cengirnya tak bersalah. “Itu, lo dipanggil Pak Sanul tadi.” Jelasnya kemudian.
“Di?”
“Di ruang guru. Sama disuruh ba–” Bela tak melanjutkan. Dia terpaksa harus menelan kembali ucapannya. Abil sudah lebih dulu pergi tanpa menunggu penjelasannya selesai.
“Kebiasaan tuh anak. Terlalu to the point terus ga peduli sama yang lain.”
Bela meraih tas Abil dan mengambil buku catatan al-Qur’an Hadits milik pria itu. Pak sanul memanggil Abil karena ingin memberinta tugas sekaligus meminta tolong untuk menuliskan materi yang sebentar lagi akan dipelajari. Tapi pria itu malah tidak mendengarkan Bela hingga selesai.
“Emang Bela ga ngomong sama kamu?”
“Ngomong Pak, tapi saya ga ngedengerin.” Jawab Abil jujur.
Sebenernya dia tau kalau Bela masih belum selesai bicarra saat dia tinggal pagi tadi. Toh, yang dia tanyakan cuma tempat dan Bela sudah menjawabnya. Jadi dia rasa topik pembicaraan di antara mereka berdua sudah tidak penting lagi kemudia pergi tanpa menunggu omongan Bela sampai ke titik.
“Emang kamu ngapain tadi?” Tanya Pak Sanul heran.
“Tidur.” Jawab Abil singkat.
“Di kelas ga ada yang ngisi?”
“Ada Pak”
Padahal Abil bisa menjelaskan lebih detail agar gurunya itu tidak bertanya lagi, tapi dia lebih memilih untuk menjawab seadanya, malas banyak bicara. Seolah dia memang sengaja membiakan guruya untuk bertanya lebih lanjut kemudian menjawabnya dengan singkat.
“Pelajaran siapa?”
“Bu Tin”
“Jadi selama pelajaran Bu Tin berlangsung kamu tidur?”
Abil mengangguk mengiyakan. Dia tak bisa berbohong dan mencari alasan lain sebagai jawaban. Sifat jujurnya itu tumbuh semakin kuat seiring bertambahnya usianya. Ditambah dengan didikan keras Jonathan. Sempurna sudah sifat jujurnya mencapai level puncak.
Pak Sanul geleng-geleng kepala mendengar jawaban Abil. Pria tua itu menatap Abil jenuh. Ingin marah, tapi dia tau itu percuma . wajah Abil selalu datar, tak ada ekspresi. Jika marah kepada murid di depannya, yang ada dia akan tambah jengkel melihat muka tak bersalah Abil.
“Ya sudah. Sekarang kamu ambil buku al-Qur’an Hadits kamu.” Titah Pak Sanul kemudian.
Tanpa menjawab, Abil mundur beberapa langkah, hendak pergi dari ruang guru. Namun suara decitan pintu terbuka berhasil mengurungkan niatnya untuk melangkah. Bela muncul dari sana sembari membawa buku dalam dekapannya.
“Kebiasaan lo! Orang belum selesai ngomong juga.” Bela mengoceh ketika sampai di hadapan Abil lantas menyerahkan buku yang ia bawa ke Pak Sanul. “Nih Pak, bukunya. Rapi, indah, tapi sayang pemiliknya kaya gini.” Gadis itu melirik Abil sembari menaik turunkan alisnya, mengejek.
Abil tau yang dimaksud kaya gini oleh Bela adalah pemalas dan sering tidurnya di kelas. Bisa jadi lebih dari itu. Belasudah mengenalnya begitu lama, bukannya tidak mungkin bagi Bela untuk mengejek sikapnya sewaktu kecil.
“Saya aja heran sama Abil. Udah tiduran, males, tapi sering dapet juara.kok bisa ya?”
Bukannya senang dipuji seperti itu, Abil malah merasa muak mendengarnya. Baginya pujian itu sama seperti racun yang perlahan menggerogoti hati. Lambat laun hal itu akan membuatnya terjerumus dalam kesombongan, bersikap congkak, lalu meremehkan orang lain. Wajah datarnya yang sudah tak enak dipandang malah semakin parah setelah raut wajahnya berubah marah. Kerutan di keningnya terlihat walaupun tak begitu jelas, tatapannya menjadi tajam, namun muka datarnya itu tetap tidak hilang dari sana.
Sadar akan perubahan pria di depannya, Bela memilih menunduk tak ingin melihat tatapan itu, takut.
“Ini tuliskan di depan. Materinya sampe sini. Kalau sudah selesai, nanti sepulang sekolah kembalikan ke saya.” Titah Pak Sanul sembari menjelaskan tugas yang diberikan kepada Abil.
Lagi-lagi Abil Cuma menerima buku paket dari gurunya tanpa menjawab lalu beranjak pergi dari sana. Sejenak, dia menatap Bela lekat. Sebuah tatapan tajam darinya mampu membuat gadis itu terintimidasi.
“Ikut gue!” Ucapnya lalu berjalan mendahului Bela.
Bela yang masih diselimuti rasa takut cuma bisa menuruti Abil, mengekor dari belakang. Mendengar suaranya saja membuat Bela gemetaran. Jangan tanyakan tentang sorot mata para murid yang lain, sudah pasti mereka menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak? Mereka berdua terlihat seperti pasangan yang tengah bertengkar. Langkah Bela yang dipercepat demi mengejar langkah Abil yang lebar bagai seorang perempuan yang tengah berusaha untuk menjelaskan kesalah pahaman atau melurusan suatu masalah kepada pacarnya. Bagi yang mengenal mereka hanya sebatas dari omongan ke omongan mungkin sudah menganggap mereka berdua sebagai sepasang kekasih.
“Duduk!” Titah Abil ketika setibanya di kelas. Bela menurut kemudian duduk di tempat Abil. Dia tersenyum simpul melihat Bela yang sedang menunduk takut. Setelah, itu dia juga duduk di samping Bela dan menatap tajam mata gadis disampingnya. Tatapan datar tapi penuh dengan tekanan.
Ditatap seperti itu membuat Bela semakin takut untuk sekedar membalas tatapan Abil. Sudahlah! Akhirnya dia memberanikan diri membuka suara.
“Bil! Lo marah?” Tanyanya pelan tanpa menatap lawan bicaranya.
Bukannya menjawab, Abil malah menaruh kepalanya di atas meja tepat di hadapan Bela. Dia meraih tangan Bela lalu meletakannya di kepalanya. Satu tangannya menggusap meja memberi isyarat ingin di elus. Gadis itu pun tersenyum, mengerti kalau Abil tidak marah. Pria di sampingnya ini memang lebih suka berbicara dengan sikap padahal menurutnya itu sangat merepotkan. Toh, Tuhan memberi mulut untuk mempermudah interaksi malah jarang Abil gunakan.
“Ga marah kan?” Tanya Bela memastikan sembari mengelus kepala Abil.
Abil hanya mengedikkan bahu, acuh. Dia sibuk menikmati elusan Bela yang sangat nyaman di kepalanya. Sesekali dia membenarkan posisi duduk demi mencari tempat ternyaman.
“Dasar bocil!” Ejek Bela melihat tingkah Abil yang seperti anak kecil, minta dielus sampai tertidur.
***
“Udah selesai tugasnya?” Tanya Pak Sanul saat Abil mengembalikan buku paketnya.
Abill mengangguk. “Udah Pak.” Jawabnya singkat. Dia terlohat seperti orang mengantuk. Matanya sedikit merah, suaranya serak seolah baru bangun tidur. Setelah jam istirahat tadi Abil sudah menyelesaikan tugasnya sesuai apa yang telah diperintahkan Pak Sanul, tapi setelah itu dia kembali ke tempat duduknya semula, menikmati elusan Bela yang menurutnya sangat nyaman sampai terlelap.
Guru Qurdis itu hanya manggut-manggut. Tatapannya masih tertuju pada buku paketnya, membuka satu persatu lembar dari setiap halaman, mengecek apakah ada yang rusak atau tidak. Guru itu mengernyit kala melihat Abil yang belum pergi dari hadapannya. “Kamu ngapain masih di sini?” Tanyanya sembari meletakkan bukunya di atas meja.
Abil balik mengernyit. Dia tidak pergi dari sini karena Pak Sanul berlum menyuruhnya pergi. Dari awalpun dia juga ingin cepat pulang seperti siswa lainnya. Siapa juga yang betah di ruangan seperti ini.seandainya islam tak mengajarkan sopan santun, sudah dari tadi dia pergi tanpa pamit.
“Ga ada Pak, assalamu’alaikum” Ucap Abil lantas pergi dari ruang guru itu tanpa menunggu jawaban Pak Sanul. Pria itu malas meladeni sifat gurunya yang sedikit pikun.
Awalnya Abil berjalan dengan tenang sepanjang koridor sekolah, sampai datang seorang gadis cantik, menawan, yang selalu mendatangkan masalah padanya. Meskipun menyandang gelar kembang sekolah, tapi tak pernah sekalipun Abil meliriknya.
“Bil! Boleh nebeng ga?” tanyanya penuh harap. Gadis itu datang dengan senyuman. Senyuman yang membuat para buaya darat ingin memakannya, sangat mempesona. Tapi bagi Abil itu hanya senyum palsu yang penuh dengan tipuan, setelah niatnya tercapai, gadis itu pasti akan pergi dengan sendirinya.datang hanya untuk singgah bukan sungguh, lalu pergi tanpa menjelaskan apa masalahnya. Dia menatap gadis itu datar, tak ada niatan sama sekali untuk menjawab pertanyannya.
“Boleh kan?” Tanya gadis itu sekali lagi saat tak kunjung mendapat jawaban dari Abil.
Abil tetap bergeming. Pandangannya pun menatap ke arah lain. Jika lama-lama bersamanya akan ada masalah baru nanti. Baru saja dia membatin seperti itu, seseorang yang muncul dari ujung koridor sekolah berhasil membuatnya mendengus kasar. Ayolah! Dia sangat malas mencari keributan hari ini. Tidak bisakah ia menjalani hari yang tenang satu hari saja?.
“Pacar lo” Ucap Abil sembari menunjuk dengan dagu.
Gadis itu menoleh ke belakang, mengikuti arah tunjuk Abil, dan betapa terkejutnya dia ketika melihat kehadiran seseorang . pacarnya datang bersama dua teman di sampingnya. Kali ini dia menatap Abil meminta perlindungan tapi percuma, pria di depannya tak menanggapi tatapannya yang ketakutan. Akhirnya dia memilih pergi tanpa menyelesaikan masalah yang ia datangkan pada Abil.
“Ck.” Abil berdecak kesal melihat ketiga pria itu semakin mendekat.
“Puas lo berduaan sama pacar gue?” Pria yang di tengah lebih dulu bersuara. Nada yang sangat menyiratkan kebencian. Sementara keduatemannya entak pergi kemana. Mereka berdua terlihat seperti sedang mengecek satu persatu kelas yangdi sekitar, munkin untuk memastikan kalau tidak ada siswa lain selain mereka berempat di sini.
“Ga” Jawab Abil singkat.
“Halah. Ngaku aja lo! Kalau seandainya gue ga dateng tadi udah pasti diembat tuh cewe gue.” Ucap ria itu sembari tersenyum miring. “Ngomong apa aja lo sama Elsa?”
“Dia minte nebeng”
Abil tau jika ketiga orang didepannya tidak akan melepaskannya dengan mudah. Tak ada bedanya antara dia berbohong atau mengatakan yang sebenarnya. Toh, masalah ini tetap akan berakhir dengan kekerasan.
Kedua pria yang sedang mengecek keadaan tadi, kini telah kembali bergabung dengan pria itu. Salah satunya membisikkan sesuatu dengan pacar Elsa. Entah apa yang mereka rencanakan. Sedikitpun Abil tak pernah menghiraukannya sama sekali. Dia hanya menatap ketiga pria di depannya, memperhatikan gerak-gerik merka dan selalu waspada.
“Omongan lo bisa dipercaya?”
“Gue ga punya bukti”
“Lo tau kan konsekuensinya cari masalah sama Prima?”
Abil mengedikkan bahu. Mereka berniat mengancamnya dengan nama Prime. Nama dari geng yang ada di sekolahnya. Seantero sekolah takut berhadapan dengan mereka. Geng itu beranggotakan ratusan orang. Kerjaannya selam ini cuma tawuran sama sekolah lain dan pembuat masalah. Maka dari itu, siswa yang menjadi anggota Prime sudah pasti dicap nakal dan menjadi langganan harian para guru BK. Siapapun yang mencari masalah dengan mereka akan berakhir dengan penuuh penyesalan.
Abil membalas tatapan pria di depannya tak kalah sengit. Kedua tangannya setia terselip dalam saku celana. Detak jantungnya normal, tak ada rasa gentar sedikitpun yang sampai membuat tubuhnya bergetar. Dia tidak pernah takut dalam mengahadapi masalah apapun. Apalagi cuma masalah seperti ini. Rasa takutnya sudah lama hilang sejak ayahnya mendidiknya dengan keras.
“Nantangin lo?” Ucap pria itu tak terima melihat respon Abil yang biasa saja setelah diancam dengan Prime.
Abil menyerigai. Ia memperhatikan keadaan sekitar. Ia harus tau persis bagaimana situasi tempatnya berkelahi. Belum selesai dirinya mengamati, salah satu dari mereka mulai menyerang terlebih dulu. Satu pukulan cepat yang mengarah ke wajahnya melayang begitu saja. Meski bisa ditahan, hal itu hanya dapat meredam setengah persen dari serangan lawan. Tubuhnya mundur beberapa langkah. Dia kembali menyeringai. Belum sempat kuda-kudanya kembali stabil, pacar Elsa itu maju melayangkan pukulannya. Kali ini dia tak sempat mengelak alhasil pukulan itu mengenai pelipisnya. Abil berusaha untuk mengendalikan diri, tapi tak bisa. Satu pukulan dari mereka lagi-lagi mengenai pelipisnya. Perih. Ia rasa pelipisnya terluka. Jika terus seperti ini, dirinya bisa babak belur.
“Lo bisa gelut ga sih? Letoy banget jadi cowo.” Ejek pria di samping pacar Elsa yang berhasil melukai pelipisnya.
Abil menatap pria itu bengis. Dia menyeringai. Kunci! Pria itu akan tumbang sebentar lagi. Dia mengehembuskan nafas panjang. Tenang! Jika tidak dia yang akan tumbang ditambah dirinya kalah jumlah dan itu sangat berpengaruh pada penentu dari pertarungannya. Percuma memiliki kekuatan yang setara dengan lima orang jika pikiran kacau.
Dia mengacak rambutnya hingga berantakan. Entah apa alasannya. Menurutnya berpenampilan urak-urakan seperti ini lebih mengesankan, apalagi keadaannya seperti sekarang. Dia sangat suka berpenampilan seperti ini. Mengerti jika dirinya tak akan bisa menang jika hanya mmengandalkan kekuatan, maka dari itu dia bertarung sambil menggunakan pikiran. Tas yang sedari tadi ia selempangkan dibahu dilempar ke pacar Elsa untuk mengalihkan perhatian sebentar. Sudut bibirnya terangkat ketika tasnya ditangkap dengan sempurna. Detik itu juga Abil berlari ke depan, melompat, lalu menerjang kepala pacar Elsa dengan kakinya. Pria itu tersungkur ke lantai, hidungnya mengeluarkan darah. Kedua temannya yang baru sadar dari keterkejutannya akibat serangan Abil yang sangat tak terduga dengan cekatan membantu bosnya berdiri.
“Kurang ajar lo ya.” Umpatnya sembari membantu pacar Elsa berdiri.
Lagi-lagi Abil mengedikkan bahu tak peduli. Dia tidak akan membiarkan lawannyamemiliki waktu untuk menyiapkan diri. Sebelum mereka berhasil membantu pacar Elsa berdiri. Dia kembali berlari ke depan lalu menendang pria setengah sadar itu hingga terpental beberap senti ke belakang.
“Bangsat!” Maki pria di sampingnya tidak terima diserang dalam keadaan belum siap.
“Kita belum siap, anjing!”
Kedua pria iutu hendak melayangkan pukulan ke arah Abil, tapi Abil lebih dulu mundur, bergerak seminimal mungkin untuk menghindari serangan lawan. Dia bisa merasakan hembusan angin dari pukulan mereka yang tepat melayang di depan hidungnya. Bisa dipastikan jika pukulan itu mengenai hidungnya, maka hidungnya juga akan mengucurkan darah. Abil membalas pukulan itu dua kali lipat, kuat dan sangat cepat. Akhirnya kedua pria itu mengerang kesakitan sembari memegangi kedua perutnya yang sakit. Sepertinya mereka kesulitan mengambil nafas. Dia yakin dalam beberapa menit kedepan kedua pria itu tidak bisa berdiri dan menyerangnya.
Kini, dia tersenyum miring melihat pacar Elsa yang masih teekulai lemas di lantai. Dia menghampiri pria itu lalu menginjak perutnya tanpa belas kasihan sedikitpun.
“Arrgghh...” Pria itu mengerang kesakitan.
Abil menyeringai bengis, dangat puas mendengarnya. Tapi sayang, seragamnya jadi terkena bercak darah karena kedua pria yang sebelumnya ia pukul muntah darah. Hal itu membuat penampilannya semakin urak-urakan.
“Lo salah milih lawan.” Ucapnya lalu pergi meninggalkan mereka bertiga.
***
Rumah
Sore, Abil baru sampai di rumah. Dia menutupi seragamnya yang penuh bercak darah dengan hoodie yang ia bawa. Ia biarkan rambutnya urak-urakan seperti waktu di sekolah. Halaman rumahnya saat ini dipenuhi dengan mobil hitam, mewah dan sangat elegan. Dia tau itu semua adalah rekan mitra perusahaan ayahnya. Dan dia tau jika masuk sekarang, dirinya akan mempermalukan ayahnya. Buat apa juga dia berpikir seperti itu. Toh, Jonathan tidak pernah memikirkan perasaannya. Dia masuk ke dalam rumah tanpa mengetuk pintu ataupun mengucapkan salam, melewati keramaian yang ada di ruang tamu kemudian melangkah ke lantai atas menuju kamarnya. Langkahnya berhenti di tengah-tengah tangga sembari memegang pagar pembatas saat mendengar percakaan mereka yang ada di bawah.
“Siapa dia, Pak?” Tanya salah satu mitra kerja Jonathan.
“Oh, itu ponakan saya. Dia udah dari kecil tinggal di sini karena ayah dan ibunya sudah lama meninggal.”
Semua yang ada di ruang tamu manggut-manggut mendengar penjelasan Jonathan kecuali satu orang. Wajah orang itu merah padam menahan amarah. Dia tau jika remaja yang baru saja masuk ke dalam rumah adalah Abil. Abil Alexander Levi, anak kandungnya Jonathan Alexander sendiri. Begitu teganya kah Jonathan tidak mengakui Abil sebagai anak kandungnya. Seberapa tinggi gengsinya hingga mengalahkan kasih sayangnya pada Abil.
Sementara itu, di lantai atas, Abil tersenyum miring. Hatinya sakit, tapi tidak sesakit dulu waktu pertama kali ayahnya tidak menganggap dirinya. Dia sudah terbiasa dengan ini. Bahkan dia sudah menganggap dirinya tak memiliki orang tua.
Abil kembali melangkah, masuk ke dalam kamarnya. Ia melepas seragamnya, menyisakan T-shirt hitam yang ia gunakan sebagai dalaman. kedua tangannya mengusap wajahnya pelan lalu berhenti di kepala. Kini, pria itu sedang duduk di tepi ranjang, menatap pelipisnya yang terluka dari pantulan cermin. Lukanya sudah mengering. Dia menatap sendu dirinya sendiri dari sana.
“Pernah ga, sih mereka mikirin perasaan gue? Gue cape bangsat. Gue juga pengen ngerasain kasih sayang orang tua.”
“Gue pengen dipeluk kalo lagi ada masalah. Kalau keberadaan gue ga dianggep kaya gini, terus buat apa gue ada di sini? Buat apa gue lahir?” Suaranya mulai serak. Air matanya perlahan meleleh membasahi pipinya. “Gue cuma pengen dierhatiin. Sesulit itukah buat ngabulinnya Tuhan? Gue cape.” Lirihnya parau.
Keadaannya benar-benar sangat berantakan, matanya memerah akibat menangis, ditambah dengan luka di pelipis dan rambutnya yang berantakan membuatnya terlihat sangat kacau. Memang benar badannya sangat kuat. Sama sekali tak ada kelemahan jika cuma dilihat dari sisi fisiknya. Tapi hatinya lemah, sangat lemah. Hatinya penuh dengan luka, sering merintih kesakitan dalam diam. Tak ada seorang pun yang tau tentang itu, bahkan orang terdekatnya sekalipun. Selama ini dia selalu memendamnya sendiri, menikmati sakitnya tanpa sandaran yang membuatnya tetap kokoh hingga terbiasa dengan kata sepi.
Suara notifikasi dari ponselnya berhasil menyita atensinya pada benda pipih itu. Terdapat pesan dari Steve di sana.
Steve
Lo aman kan?
Santai
Jangan nyiksa diri
Hmmm
Perlu gue temenin?
Urusan gue sma bokap lo udah kelar
Ga
langsung balik ke kantor
Oke
Abil membuang ponselnya asal ke kasur. Ia merebahkan tubuhnya sebentar. Otaknya tiba-tiba mengingat chat dari Steve yang mengkha-watirkannya tadi. Seutas senyumm simpul terbit di wajah lelahnya seketika itu.
“Bawahan gue aja perhatian sama gue.sedangkan ayah sama bunda?” Abil menjeda ucapannya sembari tersenyum pilu. “Ngaku gue anak kandungya aja malu.”
Abil menghela nafas berat, berusaha menetralisir rasa sakit yang me-nyeruak di dadanya. Detik kemudia dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sementara itu, Jonathan masih sibuk dengan tamunya yang hendak undur diri. Begitu pula Naura dan brams. Mereka berdua juga ikut mengantar sampai depan rumah.
“Saya tunggu proyek gabungannya pak. Apalagi kerja sama dengan Brams. Pantas perusahaannya berkembang pesat, ternyata IQ anaknya setingkat dewa.” Ucap salah satu rekan mitra Jonathan, memuji kepintaran Brams waktu membahas langkah dan program proyek gabungan tadi.
Mendapat pujian seperti itu, tentu Jonathan semakiin bangga memliki brams sebagai anaknya.
“Sedari kecil, Brams memang sudah dilatih buat nanganin masalah seperi ini, Dav. Demi jadi pewaris saya yang terbaik. Dengan adanya dia, kalau ada masalah mendadak yanng mengharuskan saya untuk meninggalkan perusahaan dalam waktu sebentar.” Ungkapya sembari merangkul pundak Brams. Dia tidak mengira jika pujian dari Dava, rekan mitranya itu ada niat terselubung di dalamnya.
Dava menyunggingkan senyum tipis. Senyum yang hanya bisa ia rasakan sendiri tanpa sepengatahuan orang lain. Baginya, hal itu adalah informasi penting yang sangat berharga untuk dirinya sendiri. Dengan itu, dia tau bahwa Brams adalah aset terpenting bagi jonathan. Seketika, beberapa rencana jahat terlintas di benaknya.
“Kalau gitu saya pamit undur diri.” Ucap Dava meminta diri.
“Iya. Terima kasih atas kehadirannya Dav. Proyek gabungan ini cuma kamu satu-satunya rekan yang sangat saya percayai.” Jonathan mengulurkan tangan. Dengan cepat Dava langsung menjabat tangan Jona-than. Setelah itu, dia pergi dari sana dengan menaiki mobil mewah ke-banggaannya.
Sejenak, ruangan yang dipenuhi deretan kursi itu sunyi. Tak ada yang bersuara, hingga kehadiran Abil memecah keheningan di sana. Baik Jonathan, Naura dan brams, atensi mereka semua tertuju pada Abil, memicingkan mata melihat penampilan pria yang tengah menuruni anak tangga itu. Auranya sangat berbeda dari waktu pulang tadi. Wajahnya terlihat lebih fresh, tidak lagi kusam juga tak ada darah kering di pelipisnya yang terluka. Luka itu sudah tak terlihat, memulihkan diri dibalik plester yang membalutnya. Dia mengenakan kaos putih polos, celana hitam selutut dan jam tangan dipergelangan kirinya. Tapi tetap, serapi apapun penampilannya sekarang, rambut hitam legamnya itu tak pernah bisa jauh dari kata berantakan.
Abil terus melangkahkan kaki menuruni satu persatu anak tangga, tak peduli dengan tatapan keluarganya. Kakinya terus bergerak ke depan sampai dia berdiri tepat di rongga mulut pintu rumah, barulah kakinya berhenti melangkah.
“Mau kemana kamu, Abil?” Itu suara Jonathan. Dia menatap tajam manik mata Abil.
“Main.” Jawabnya singkat.
“Sopan santun kamu sudah hilang, hah? Siapa yang ngajarin kamu pergi tanpa pamit seperti ini? Ayah ga pernah ngajarin kamu membangkang. Apakah ini yang kamu peroleh dari pergaulan bebas di sekolah?” Suara Jonatha mulai tak bersahabat. Nadanya meninggi tahap demi tahap. “JAWAB ABIL!!” Sekarang wajahnya merah padam, hilang kesabaran. Amarahnya terlepas begitu saja.
“Aku ga pernah macem-macem di sana.” Terang Abil menyanggah ucapan Jonathan tentang pergaulan bebas.
“Ayah tau kalau kamu sering masuk BK. Jadi jangan coba-coba nge-les. Hampir setiap minggu ayah dipanggil ke sekolah kamu.”
“Ga pernah dateng kan.” Finalnya berhasil membuat Jonathan bungkam.
Abil kembali tersenyum miring begitu ucapannya membuat Jonathan terdiam. Dia memutar kenop pintu hendak melangkah pergi keluar, tapi suara Naura mmbuatnya mengurungkan niat.
“Jangan lama-lama, nak. Inget pulang ke rumah.” Pesan Naura setelah melihat jam dinding yang menunjukkan pukul lima. Satu jam lagi langit kota tempatnya tinggal akan sempurna gelap.
Abil terkekeh. “Rumah? Ini yang bunda sebut rumah? Lebih tepatnya ini hanya gua yang dialih fungsikan menjadi tempat tinggal. Tak ada satupun kenangan yang indah di sini. Tempat yang seharusnya menjadi pusat dari ke-harmonisan keluarga tak lebih hanya sebatas gua tua. Sama seperti tong kosong. Nyaring bunyinya padahal di dalam sangatlah hampa. Menurut aku, tempat inisangat jauh dari kata rumah.”
Medengar perkataan Abil, Brams yang sedari diam di samping Jonathan, kini berdiri dari tempat duduknya tak terima. Dia menatap nyalang ke arah Abil.
“Mulut lo–”
“Bener kan, kak” Potong Abil sembari menyeringai menatap Brams. “Selamat! Lo udah ambil semuanya. Tempat ini bukan lagi rumah bagi gue. Bahkan gue ragu kalau kalian emang bener keluarga asli gue.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, Abil melangkah pergi tanpa me-medulikan kakaknya yang semakin marah. Kakinya melangkah cepat menuju ke garasi. Menyalakan mesin motornya dan dalam satu tarikan gas,unit R 15 V4 warna hitam itu keluar dari gerbang rumah, melesat di jalanan, memecah keramaian kota dipenghujung senja.
***
Jam 23.00 malam. Motor yang dikendarai Abil berhenti si sebuah parkiran bawah tanah. Di sebuah perusahaan ternama, namun keberadaanya hanya diketahui segelintir orang. Pria itu melepas helm yang ia kenakan kemudian mengacak rambutnya yang basah oleh keringat. Meskipun udara disepanjang perjalanan sangat dingin tapi udara dibalik helm yang ia pakai sangatlah pengap.
Dia berjalan keluar dari sana. Jarak 15 meter hingga dirinya tiba di permukaan. Selama waktu itu, dia melangkah sembari merapikan pe-nampilannya. Ia langsung disambut dengan dinginnya angin malam saat keluar dari permukaan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat situasi sekitar. Di depannya berdiri kokoh sebuah gedung besar yang menjulang tinggi ke atas langit. Nampak ada dua, tiga lampu ruangan yang masih menyala. Di samping gedung itu ada sebuah bangunan kecil sederhana. Tidak mewah, juga tidak buruk. Hanya ada dua lantai. Lantai pertama sebagai ruang santai dan tempat ngumpul, sedangkan lantai dua sebagai kamar. Intinya bangunan itu lebih dari cukup untuk bermalam sebentar.
Abil melangakah ke arah bangunan itu dengan tangan kiri yang ia masukkan ke dalam saku celananya. Tangan kanannya bergerka merogoh saku celana bagian kanan demi mengambil sebuah kunci. Itulah satu-satunya akses untuk masuk ke dalam bangunan itu. Abil mendoro ng pintu hendak masuk ke dalam, tapi ia batalkan saat telinganya mendengar derap langkah kaki seseorang. Saat menoleh kke belakang, dia mendapati Steve yang tengah berlari ke arahnya. Dia mengernyit kala mengetahui ekspresi panik di wajah Steve.
“Dari mana aja lo?” Tanya Steve menyelidik. Nafasnya sedikit ngos-ngosan akibat berlarian tadi. Terlihat jelas dari dadanya yang kembang kempis.
“Keliling.” Abil menjawab singkat. Tangannya masih setia ber-sembunyi dibalik celana.
“Gue telpon dari tadi ga diangkat. GPS ga aktif. Mau lo apa? Lo mau sekarat kaya dulu lagi?”
Tunggu sebentar! Abil baru sadar. Ternyata itu bukan ekspresi panik melainkan ekspreesi dengan sorot mata penuh kekhawatiran.
Steve menghembuskan nafas panjang melihat Abil yang hanya diam tanpa ada niatan untuk berbicara sedikitpun. “Bukan cuma gue, Bil. Mereka juga khawatir. Gue tau apa yang bakal lo lakuin kalau keadaannya kaya tadi. Jangan lupa kalau kita pernah sehidup semati. Kita ga mau kehilangan seorang pemimpin kaya lo.”
Lagi-lagi tak ada respon dari Abil. Pria itu cuma menatap Steve lalu menyuruhnya masuk ke dalam menggunakan isyarat kepala. Mau tak mau Steve mengikuti Abil dai belakang kemudian naik ke lantai atas menuju atap bangunan. Setibanya di sana, Abil memilih duduk di tepian atap, membiarkan kakinya bebas bergelantung di udara. Hembusan angin malam senantiasa menerpa permukaan kulitnya. Hal itu pun diikuti Steve yang menyusul dari belakang. Mereka menghabiskan waktu dengan taburan bintang di langit malam dari atap bangunan itu.
“Thanks, Steve.” Ucap Abil tiba-tiba tanpa menatap mata Steve.
“Thanks? Untuk apa?” Steve mengernyit heran. Tentu saja dirinya bingung mendengar ucapan Abil. Dia tidak melakukan apapun dari tadi tapi Abil mengucapkan terima kasih padanya.
“Yang tadi.” Jelasnya tanpa basa basi.
Sesaat, Steve masih mengernyit. Namun beberapa detik kemudian wajah kebingungannya berubah menjadi gelak tawa. Ayolah! Cuma karena sikapnya itu Abil sampai berterima kasih padanya.
“Kayak sama siapa aja lo” Ujar Steve dengan sisa tawa.
Abil mengedikkkan bahu sebagai respon. Dari dulu dia sama sekali tidak berminat untuk berbicara panjang lebar, lebih suka memakai isyarat tubuh jika menurutnya hal itu sudah bisa digunakan sebagai jawaban.
Beberapa menit telah berlalu hingga jarum jam yang ada di pergelangan tangan Abil menunjukkan pukul 12 malam. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Keduanya saling diam, menyisakan suara desiran angin yang sesekali berhembus kencang. Abil yang sedang menatap bulan hanya bergeming di samping Steve dengan segala masalah dalam pikirannya. Sementara Steve hanya bisa diam, berusaha mencari topik yang pas untuk dibicarakan.
“Udah malem Bil. Lo ga mau pulang ke rumah?” Itulah topik yang Steve rasa cocok dengan keadaan Abil sekarang. Pria itu terlihat sangat lelah dan membutuhkan rumah untuk istirahat. Tapi perspektifnya salah. Abil malah tersenyum kecut ketika mendengar kata rumah.
“Dari pada rumah, gue lebih memilih tidur di sini, Steve. Lo liat sendiri kan gimana keluarga gue.” Abil mengambil nafas dalam sejenak lalu menghembuskannya perlahan. “Rumah gue berantakan. Ga senyaman seperti kelihatannya. Jangankan lo. Gue aja enek ada di rumah sendiri.” Lanjutnya sedikit lesu.
“Tapi ga gini juga kan? Mau bagaimanapun itu tetep rumah lo, bahkan jika hancur sekalipun rumah itu akan selalu jadi tempat dimana lo tumbuh dari kecil.” Steve mencoba memberi arahan kepada Abil. Tapi nihil. Perkataan Abil yang selanjutnya mampu membuat Steve bungkam seribu kata. Tak pernah berubah, selalu saja begini. Skakmatch dari Abil tak pernah gagal membuatnya terdiam.
“Lo ga pernah ngerasain ada di posisi gue.” Final Abil lalu pergi ke kamar di lantai dua.
***
Pertemuan
Setiap individu manusia pasti memiliki suatu hal yang sangat istimewa dalam hidupnya. Sebagian ada yang dirahasiakan, sebagian yang lain tidak. Bahkan setiap satu tahun sekali beberapa hal yang istimewa itu akan selalu diperingati, dikenang dan dirayakan secara besar-besaran demi mengingatnya sepanjang masa.
Hari ini, tanggal 29 September, adalah ulang tahun Abil yang ke 16. Tentu saja hari itu sangat istimewa baginya. Namun perayaannya sedikit berbeda dari yang lain. Setiap satu tahun sekali dia akan mengurung diri di kamar, berharap ada seseorang yang membuka pintu dan memberinya kejutan walaupun hal itu sangatlah mustahil. Dia menetap di sana dari pagi hingga malam. Tidak makan juga tidak minum. Sesekali kedua matanya menatap nanar sebuah bingkai foto yang sudah lama ia letakkan di atas nakas. Terlihat jelas foto sepasang suami istri yang tengah menimang dua buah bayi kecil. Senyum keduanya merekah sempurna dengan kehadiran dua malaikat kecil dalam keluarga mereka. Abil meraih bingkai itu, menatapnya lebih lamat. Seketika, fikirannya kembali berputar, mengingat memori-memori tentang masa kecil bahagianya bersama Jonathan dan Naura.
“Sekarang hancur tinggal kenangan.” Gumamnya pelan sembari mengusap bingkai dalam genggamannya.
Setelah puas bernostalgia, Abil kembali meletakkan bingkai ke tempat semula. Dia melihat jam dinding yang ada di kamarnya. Pukul 18, sebentar lagi adzan maghrib berkumandang. Dia memutuskan untuk pergi ke lantai bawah. Perutnya sudah keroncongan minta di isi kemudian menunaikan kewajibannya setelah makan. Tapi setibanya di sana, ruangan bercat coklat yang dipadukan dengan warna cream itu lengang, tidak ada siapaun di bawah sana. Bahkan tak ada suara televisi atau dentingan sendok dan piring yang biasa terdengar samar di waktu ini.
Abil melangkah ke bawah, mengecek keadaan di dapur, berharap ada Bi Siti, pembantunya di rumah. Lagi-lagi satu ruangan di rumahnya itu lengang. Tak ada siapapun, bahkan di ruang keluarga sekalipun. Hanya dirinya seorang yang ada di rumah besar ini sekarang. Pada kemana? Batinnya bertanya pada diri sendiri. Apakah keluarganya sedang menyiapkan sesuatu? Atau ada suatu acara yang harus tanpa melilbatkakn dirinya? Sudahlah! Tidak ada gunanya berfikir yang aneh-aneh.
Akhirnya dia kembali melangkah ke dapur, membuka satu persatu deretan rak berwarna putih, bersih, dirawat sangat baik oleh sang pemiliknya. 2-3 rak yang ia buka kosong. Dia terus membuka hingga rak terakhir, namun nihil. Tak ada satupun makanan yang bisa ia makan. Selama ini, cuma berisikan piring, gelas, mangkuk, panci dan banyak lagi perabotan dapur lainnya yang terjejer rapi di setiap rak. Tapi tak terlihat satupun benda yang sedang ia cari sekarang. Masih tersisa satu rak lagi yang belum ia buka. Ia sudah pasrah di rak terakhir itu ada makanan atau tidak. Nafsu makannya mulai hilang sedikit demi sedikit. Pikirannya sekarang ingin cepat-cepat kembali ke kamar. Tapi apa boleh buat, pucuk dicinta ulampun tiba. Di rak terakhir itu ada satu pop mie rasa kari kesukaannya. Dengan cepat ia menyambar pop mie itu hendak menyeduhnya dengan air hangat. Setelah menuangkan semua bumbu yang ada, dia menarik salah satu kursi di meja makan dan duduk di atasnya sembari menunggu air mendidih. Selama waktu itu, dia menyisiri seluruh sudut ruangan dapur. Tak ada yang terlewatkan satu inci pun. Tatapannya berhenti pada rak terakhir yang baru saja dia buka. Dia baru sadar kalau rak itu masih terbuka sempurna. Ketika hendak menutupnya, dia melihat ada selembar kertas tepat di bawah pop mie yang dirinya ambil tadi. Mungkin sengaja diselipkan di sana agar mudah ditemukan.
Abil kembali ke tempat duduk, mencari posisi ternyaman untuk membaca surat itu. Dia sangat mengenali tulisan tangan di sana. Itu tulisan Bi Siti. Kenapa Bi Siti ga langsung temuin gue aja? Ngapain juga harus pake surat kek gini segala. Batinnya mencoba menerka apa yang ada dipikiran pembantunya itu.
Dia menarik nafas dalam lalu menghembuskannya pelan, kemudian membaca surat itu tanpa bersuara.
Den Abil, maaf cuma ini yang bisa bibi siapin. Niatnya mau bibi anterin matengnya langsung ke aden, tapi tuan sama nyonya keburu pergi. Mau ngerayain ulang tahunnya nak Brams katanya. Bibi dipaksa ikut soalnya den. Dimakan sampai habis ya den. Bibi tau, den Abil belum makan dari tadi pagi. Sholatnya jangan lupa.
Kali ini Abil tidak tersenyum. Dia meremas kertas itu hingga menjadi potongan bola kecil lantas membuangnya asal ke tempat sampah. Dia mengacak rambutnya frustasi, muak dengan sikap tidak adil keluarganya pada dirinya. Dia tidak tau lahir kembar bersama Brams akan mendapatkan keburuntungan atau sebaliknya seperti sekarang. Entah itu suatu kebetulan atau keberuntungan yang dimiliki Naura dan Jonathan sehingga memiliki dua bayi kecil sekaligus dalam rumah tangganya. Yang pasti Abil sangat lelah berada di posisi ini.
“Gue emang ga pernah penting di mata kalian.” Gumamnya pelan.
***
Steve
Bil, perusahaan diundang sama bokap
lo. Kali ini lo sendiri yang harus hadir.
Hampir seluruh perusahaan ada di sana,
bahkan pesaingnya sekalipun. Lo lebih
paham dari gue. Gue sama Kei jaga
sini. Outfitnya udah gue siapin.
Setelah mendapat pesan seperti itu, Abil langsung bergegas pergi ke tempat Steve berada, pusat dari perusahaan terbesar yang berada di bawah komando penuh miliknya. Selama ini dia memang terlihat pemalas, tukang tidur, selalu terlihat berantakan, namun di samping itu, ada tanggung jawab besar yang harus ia emban. Menjadi pemimpin sekaligus mengemban amanah untuk membawa perusahaannya kejayaan seperti saat ini bukanlah hal yang mudah. Ditambah dengan kondisinya di keluarga. Tapi tidak ada satu orang pun yang tau tentang statusnya keduanya itu, bahkan keluarganya sekalipun. Belasan tahun lalu, ada beberapa insiden yang menyebabkan dirinya memiliki tanggung jawab besar ini.
Abil paham betul apa maksud dari pesan Steve. Bertahun-tahun menjadi pemimpin membuatnya membuatnya mengerti perjalanan bisnis. Iklan produk, kerja sama dengan perusahaan lain, menawarkan yang terbaik, itu hanyalah tampilan luarnya saja. Dilain sisi mereka saling menghujat, melengserkan, hingga perebutan saham. Abil sudah pernah menghadapinya. Berkali-kali, tiada henti. Abil lalui semuanya dengan susah payah sehingga mencapai kesuksesan yang sempurna. Tentu saja, itu semua Abil lewati bersama rekan-rekannya. Oleh karena itu, Abil sangat khawatir dengan perusahaan ayahnya sekarang. Pasalanya, Jonathan tengah mengadakan pesta ulang tahun besar-besaran di sana. Sudah pasti banyak tamu undangan yang menghadiri pesta itu. Sementara tingkat keamanan di waktu tersebut menurun drastis. Apalagi Jonathan membuka party invitation secara umum. Bahkan pesaing perusahaannya sekalipun juga tak luput ikut andil dalam merayakan pesta itu. Hadis menjadi tamu undangan sebagai alasan, namun sejatinya ada niat terselubung dibaliknya. Sampai sini paham kan gimana keadaan perusahaan Jonathan? Kalau ada pesaing yang memanfaatkan kesibukan di pesta itu dan mengambil semua berkas-berkas penting yang ada di sana, maka tamatlah sudah karir ayahnya dalam dunia bisnis. Parahnya lagi jika ada yang menyerang.
“Lo cuma berdua?” Tanya Abil pada Steve.
Dia telah sampai beberapa menit lalu. Penampilannya pun sudah sempurna berkat campur tangan dari Steve. Tubuh yang dibalut tuxedo hitam dan kemeja putih sebagai dalaman. Sebenarnya dia sangat risih ber-penampilan seformal ini. Dia juga sudah protes pada Steve beberapa kali karena tidak setuju dengan pakaian yang disiapkan pria itu. Tapi mendengar penjelasan Steve, dengan berat hati dia harus menurut. Lo ga akan pernah mau keluarga lo tau tentnang identitas lo yang ini. Kira-kira seperti itu ucapan Steve waktu dirinya protes tadi.
“Iya, sama Kei doang.” Ucap Steve menjawab pertanyaan Abil.
Abil menatap perempuan di samping Steve sejenak, yang tak lain adalah Kei. Tatapannya seakan menyiratkan keraguan terhadap skill yang dimiliki perempuan itu. Bukannya Abil tak percaya. Dia sangat paham bagaimana sifat perempuan itu. Selalu bergurau tidak kenal sikon.
“Apa lo liat-liat? Gue ga akan main-main sekarang. Lo kira ber-candanya gue ga kenal waktu apa?” Elak Kei melindungi dirinya sembari melototi Abil tak terima ditatap seperti itu oleh pemimpinnya.
Abil hanya menaikkan sebelah alisnya dan mengedikkan bahu mendengar ucapan Kei. “Albert sama Leo juga di sini.” Putusnya sepihak tanpa meminta persetujuan Steve.
Steve hanya bisa mendengus pasrah menerima keputusan Abil. Pemimpinnya itu tidak akan membiarkan rekannya berada alam bahaya. Sekecil apapun tingkat kemungkinannya.
“Mending lo cepet berangkat ke sana. Di sini udah aman, Bil. Justru di sana yang sangat mengkhawatirkan.” Ucap Steve.
“Masih lama.”
‘Dari pada terlambat terus kecolongan?”
Abil berfikir sebentar. Dia bingung jika harus memilih salah satu dari dua hal yang menurutnya sangat penting. Steve adalah seorang teman sekaligus rekan yang sangat berharga baginya. Tentu saja keselmatan Steve begitu diutamakan . sedangkan Jonathan adalah sosok ayah yang mendidiknya dari kecil hingga besar. Ditengah kebingungannya dalam memilih, suara Steve kembali meyakinkan.
“Tempat ini tersembunyi. Kita aman, ditambah ada Albert sama Leo. Lo tau sendiri gimana kinerja mereka. Pesta di sana udah berlangsung lima menit. Jangan sampai terlambat.” Peringat Steve kepada Abil.
“Gue berangkat sekarang.” Putusnya kemudian.
***
Suasana di kantor Jonathan sangat ramai. Bukan karena dentuman musik, tapi karena bisingnya suara obrolan dari ratusan tamu undangan yang hadir di pesta ulang tahun Brams. Dan Abil sangat tidak suka berada di situasi ini. Dia benci berada di tengah-tengah keramaian.
Fokus ke tujuan utama. Dia ke sini bukan untuk bersenang-senang, tapi ada satu hal yang harus ia selesaikan. Jonathan, Naura dan Brams tidak ada yang tau kalau salah satu dari banyaknya tamu undangan di sana adalah anak bungsu dari keluarga Alexander. Ditambah Abil menggunakan topeng.
“Aman?” Tanya Abil melalui headset di telinganya.
“Di sini aman.”
“Aman.”
“Di sini juga aman.”
Jawab rekannya serempak saat mendengar Abil berbicara. Dia tidak sendirian ke sini. Dari perusahaannya itu, dia berangkat bersama 3 orang rekannya. Sebenarnya dia sendiri sudah cukup untuk sekedar mengawasi perusahaan Jonathan dari beberapa kemungkinan serangan lawan, tapi perannya di sini adalah sebagai tamu undangan. Ada aturan yang mengharuskan dirinya selalu berada di tempat pesta sampai selesai.
“Telusuri setiap sudutnya. Jangan sampai ada satupun yang ter-lewatkan. Jika ada yang janggal segera melapor.” Titah Abil mengintrupsi.
Dia menatap ke seluruh penjuru ruangan, melihat satu persatu hiasan yang ada di sana, sangat mewah. Banyaknya deretan lampu kuning yang mengelilingi sudut ruangan menciptakan kemegahan tersendiri yang teramat sangat.
Belum selesai dirinya memperhatikan, suara seseorang yang berasal dari altar membuat atensi semua tamu undangan tertuju ke depan. Begitu pula dirinya. Dengan berat hati dia terpaksa mendengarkan.
“Selamat malam para tamu undangan yanng terhormat. Selamat datang di pesta ulang tahun Brams yang ke tujuh belas. Selamat menikmati hiburan dan hidangan yang telah kami siapkan...”
Di depan sana, di altar perayaan, dengan penuh wibawa Jonathan menyambut para tamu undangan. Abil yang sedari awal tidak suka berada di pesta ini tidak bisa berbuat apa-apa selain duduk diam dan mendengarkan. Pura-pura tuli pun percuma. Suara Jonathan yang dilipat gandakan oleh sound terlalu nyaring untuk telinganya. Sekali lagi, dia mengedarkan pandangan pada satu persatu wajah tamu undangan. Dilihatnya wajah-wajah asing itu dengan seksama hanya sebatas gabut, sampai akhirnya seorang gadis remaja berhasil membuat tatapannya terpaku seketika. Dia terpesona. Manik matanya terus mengamatik gerak-gerik gadis itu. Sebentar, apa tadi? Terpesona? Sejak kapan dia mudah tertarik pada perempuan. Padahal dari kecil hingga sekarang tak pernah sekalipun ia terkagum pada perempuan. Tapi saat ini dirinya sama sekali tidak bisa berpaling dari gadis itu. Untuk berkedip pun dia enggan.
Gadis itu tengah mengobrol bersama tamu yang lain. Jika dilihat dari ekspresinya, sepertinya gadis itu menyukai topik pembicaraan di antara mereka. Dia masih tidak sadar bahwa Abil sedang memperhatikannya. Dia masih tertawa dengan begitu leluasa di sana.
“Ck, bahaya nih kalau diterusin.” Batin Abil sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Baru saja ia akan memalingkan wajah, secara tidak sengaja gadis itu melihat ke arahnya. Tatapan mereka bertemu sejenak, canggung untuk sesaat. Sedikitpun Abil tidak memiliki niatan untuk berpindah tatap.
Merasa dirinya telah lama diperhatikan, gadis itu memilih tersenyum kepada Abil lalu kembali ke aktivitas semula.
“imut!” Batin Abil ketika gadis itu tersenyum ke arahnya. Padahal itu cuma senyuman biasa pada umumnya yang sering diberikan pada pertemuan pertama, namun bagi Abil itu adalah senyuman termanis yang pernah ia lihat, terasa begitu hangat dan sangat menawan seperti malaikat. Oh Tuhan... Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama atau hanya takjub dan kagum pada kecantikannya?.
“Bil, ada pergerakan!”
Suara dari salah satu rekannya berhasil membuat lamunannya buyar seketika.
“I– iya kenapa?” Jawabnya sedikit terbata-bata. Matanya masih fokus pada gadis itu, enggan untuk berpaling dari sana.
“Ada orang Abil. Ada pergerakan musuh.”
“Ohh... musuh. Terus pantau aja.” Titahnya asal-asalan tanpa bertanya jumlah, di mana dan perlengkapan mereka.
Ketiga rekannya yang mendapat perintah seperti itu tentu merasa ragu. Ini sangat jauh dari gaya Abil ketika memimpin. Biasanya orang itu akan langsung mengeksekusi lawan tanpa banyak basa-basi.
“Bil, serius? Lo fokus kan?”
“Iya, pantau aja dulu. Ntar gue nyusul” Ucapnya sembari memperhatikan arah kepergian gadis itu. Tapi sayang, mau seperti apapun dirinya meninggikan leher, atensinya tidak bbisa mengikuti gadis itu yang telah menyatu dengan ratusan kerumunan tamu.
“Ck!” Decaknya kesal saat kehilangan gadis yang berhasil mem-buatnya kagum.
Di sisi lain, di tempat yang berbeda, ketiga rekan Abil sedang mengikuti beberapa orang berbaju hitam yang telah mereka kalim sebagai lawan. Mereka bertiga bergerak dalam diam, bersembunyi dibalik bayangan,memantau musuh dari kejauhan. Dari jam tangan yang mereka pakai, mereka bisa mengetahui spesifik keberadaan musuh. Itu sebuah prototype kecil yang menembakkan geombang sinyal ke segala arah. Jika membentur hawa panas manusia sedikit saja, maka akan tercetak satu titik kecil merah dilayarnya.
“Gawat Yan. Mereka berpencar.” Panik Ridho kala mengetahui empat titik merah dilayar jam tangannya terpancar menjadi dua kelompok. “Lo diem di sini, jadi navigator kita. Gue sama Ridwan maju ke depan, mantau mereka dari dekat.” Putusnya kemudian.
Rian hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia mengeluarkan sebuah laptop dari tas yang ia bawa lantas mengetik beberapa deret kode dengan sangat cepat. Dan dalam satu kali klik, seluruh denah kantor Jonathan terlihat sempurna dilayar monitor laptop miliknya.
“Lah, ngapain masih di sini? Kejar tuh musuhn geblek!” Ujar Rian begitu melihat kedua rekannya masih terdiam di tempat.
Bukannya lari untuk mengejar, mereka berdua malah saling tatap, masuk kedalam fase reload, berusaha mencerna ucapan Rian. Baru setelah beberapa detik berlalu, mereka berdua menepuk jidat secara bersamaan, ingat soa tugas utamanya. Dengan cekatan, mereka sudah berlari jauh meninggalkan Rian demi mengejar musuh di depan.
Dilayar monitor, dua titik biru yang berasal dari GPS di jam tangan milik Ridho dan Ridwan bergerak begitu cepat mendekati empat titik merah.
“Berapa orang?” Itu suara Abil. Dia dalam perjalanan menuju tempat musuh.
***
Anatasya Queeny Zhulian
Setelah insiden di pesta ulang tahun Brams, Abil terpaksa menetap di perusahaannya untuk sementara waktu. Masalah ditanya orang tua, dia ber-alasan sedang menginap di rumah teman. Semenjak malam itu, bertemu gadis yang membuatnya kagum, selama dua hari terakhir ia habiskan untuk encari informasi gadis itu. Untuk ukuran seorang peretas, jangka waktu dua hari untuk mencari inforamasi seeseoorang, itu sangat jauh dari kata ahli. Dia bisa saja menyuruh Rian untuk mencarikan, tapi dalam urusan ini dia tidak ingin ada campur tangan seseorang.
Sudah berjam-jam dia berada di depan layar monitor. Istirahat sebentar jika lelah, sholat jika tiba pada waktunya, setelah itu kembali fokus pada tujuannya. Tapi sampai detik ini usahanya tidak membuahkan hasil.
“Gimana bre, ada hasil?” Steve bertanya menghampiri Abil dengan membawa secangkir kopi hitam lalu meletakkannya di meja Abil.
“Setengah sendok?” Bukannya menjawab, Abil malah bertanya takaran gula yang dilarutkan bersama kopi di depannya.
“Iya, sesuai sama selera lo. Lo kira gue lupa sama yang lo suka?”
Abil hanya mengedikkan bahu sembari menyeruput kopi yang dibawakan Steve, kemudian fokus pada layar monitornya lagi.
“Emang seimut apa dia sampai buat lo kaya gini?” Tanya Steve lagi tepat di samping telinga Abil. Dia juga ikut meliat layar monitor, memeriksa satu persatu tab windows yang Abil tumpuk dari hasil pencariannya.
Steve tau persis type gadis yang Abil sukai. Pria itu tidak mudah tertarik pada wanita cantik apalagi yang glow up karena modal bedak tebal. Tapi jika bertemu dengan gadis yang sifatnya seperti anak kecil, dan berwajah baby face seimut bayi, maka dapat dipastikan dia tidak akan pernah melepas perhatiannya pada gadis itu. Oleh karenanya, Steve bertanya seimut apa gadis yang Abil temui di pesta malam itu bukan tentang kecantikannya.
“Liat aja nanti.” Balas Abil tanpa melihat Steve.
Jawaban itu membuat Steve memanyunkan bibir. Dia masih pena-saran dengan rupawan gadis itu. Tapi melihat keseriusan Abil yang tak dapat diganggu, dengan berat hati dia harus pergi menjauh.
“Nahh... dah ketemu!” Ucap Abil setengah berteriak akibat kelewat senang.
Steve yang mendengarnya sontak langsung berbalik arah, meng-hampiri Abil dengan cepat demi melihat gadis yang telah berhasil membuat bosnya tergila-gila. Ia menatap lekat layar monitor yang ada di depannya. Bukan, bukan layar monitor, tapi kepada foto seorang gadis yang termuat di sana. Melihatnya sesaat sudah membuatnya terkagum-kagum. Dia akui kalau gadis itu sangat sempurna. Dua mata indah yang menatap teduh, rambut hitam legam panjang yang dibiarkan teruarai bebas hingga ke punggung, bibir tipis berwarna merah tomat dan ada lesung pipi keyika dirinya tersenyum. Sunggguh perpaduan sempurna antara kecantikan dan keimutan. Batin Steve, takjub akan keindahan ciptaan Tuhan yang kini dilihatnya.
“Antasya Queeny Zhulian. Nama yang bagus.” Lirih Abil hampir tak terdengar. Tercetak jelas senyum yang merekah begitu lebar di wajahnya kala melihat senyuman gadis itu di dalam foto identitasnya.
“Bre! Gue embat boleh, ga?” Iseng Steve ingin menggoda Abil.
“Mati lo.” Ancam Abil tak main-main.
***
“ABIL!! TIDUR KAMU? MAJU KE DEPAN.” Teriak Bu Amin sangat marah. Matanya kian menatap nyalang pada siswa yang tengah tertidur pulas di pojok kelas. Guru matematika itu memang terkenal maniak seseantero sekolah. Selain pintar menghitung angka, dia juga pintar menghitung kesalahan murid di sekolah. Oleh karenanya, tak sedikit siswa-siswi yang segan kepadanya.
Abil yang samar-samar mendengar namanya dipanggil, terpaksa bangun dari tidurnya. Dia mengangkat kepala perlahan, melihat ke depan sembari mengucek matanya yang masih sulit terbuka karena telah lama terpejam. Dan betapa terkejutnya dia setelah matanya terbuka sempurna. Terlihat Bu Amin di depan sana telah memasang wajah penuh amarah. Seketika, kantuk yang semula menyelimuti dirinya langsung menghilang.
“Maju ke depan, Abil! Apakah perlul saya seret dari sana?” Titah Bu Amin diselingi dengan ancaman.
Mau tak mau, Abil maju ke depan walaupun malas berurusan dengan guru itu. Dia berdiri dari tempat duduknya sembari mendengus.
“Berdiri di sana dengan satu kaki!”
Abil menurut tanpa membantah. Dia mengangkat kaki kirinya, bersandar di tembok dengan bersedekap dada. Teman sekelas hanya memandanginya. Tak ada yang berani mengolok. Dia menatap Bela yang duduk di bagian tengah kelas, meminta penjelasan. Seolah berbicara. “Kenapa ga dibangunin?” Sementara itu, yang ditatap malah cengar-cengir dan menjulurkan lidah membuat dia jengkel melihatnya.
Baru satu menit Abil berdiri di depan, bel pulang sekolah sudah berbunyi. Hal itu membuat tatapan Bu Amin langsugn tertuju ke arahnya.
“Kembali ke tempat kamu! Lain kali jangan tidur di pelajaran saya lagi.” Peringat Bu Amin.
Dengan senang hati Abil melangkah pergi ke tempat duduknya.
“Baik, sampai di sini materi yang kita pelajari. Minggu depan saya akan mengulangi materi ini. Sekian, assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.”
Guru itu akhirnya melangkah pergi, melengang dari kelas sembari membawa buku-buku paket yang ia bawa sebagai sumber materi pelajaran. Kepergiannya disusul dengan para murid yang sudah tidak sabar ingin cepat-cepat tiba di rumah. Begitu pula Abil, dia sudah siap untuk pulang, menenteng tas yang hanya berisi satu buku tulis, namun langkahnya terhenti sampai di rongga pintu kelas karena dihadang oleh seorang gadis. Gadis itu tersenyum kepadanya seolah tak memiliki salah.
“Nebeng boleh, yah? Gue ga dijemput sekarang.” Ucapnya menun-jukkan muka memelas.
“Ga.” Jawab Abil singkat. Dia masih jengkel pada gadis itu karena tak membangunkannya waktu pelajaran Bu Amin tadi. Iya, siapa lagi kalau bukan Bela. Gadis itulah yang sekarang tengah memohon kepada Abil.
“Aaaa... Masa lo tega biarin gue nunggu lama di sini. Kalau gue diculik gimana? Gue kan cewe, lemah, jadi ga boleh sendirian. Boleh yah, please...” Rengeknya sembari mengayun-ayunkan tangan Abil.
Bukannya ga tega, Abil malah suka melihat Bela merengek seperti anak kecil.
“Ngga dibilangin.”
“Huwaaa...” Tangis Bela sekencang-kencangnya kala mendengar jawaban Abil. Tentu saja itu hanyalah tangis buatan. Tapi jika sampai ada yang mendengarnya pasti tak akan luput dari kesalah pahaman.
“Gue bawa motor, Bela.” Jelas Abil berharap Bela mengghentikan tangis buatannya.
“Ngga papa kok. Yang penting sampe rumah. Emang lo anggep gue cewe apaan sampe sakut panas gitu. Kalau masih ga mau, gue aduin ke papa nanti.”
“Hufft... Ya udah, iya.” Abil mengalah.
“Yeyyy!”
Mereka berdua berjalan bersama menuju parkiran. Suasana sekolah sudah sepi. Hanya tersisa beberapa murid yang masih nunggu dijemput dan mengikuti ekskul.
Cuaca siang itu sangat panas. Langit cerah tanpa ada satupun awan yang menghiasinya membuat tubuh cepat berkeringat. Abil memberikan helm full face-nya pada Bela, karena tak ada lagi helm yang ia bawa selain itu. Bela mengira Abil cuma minta tolong untuk membantu megangin helmnya sebentar. Dia menerima helm itu tanpa ada niatan memakainya sedikitpun. Baru setelah Abil duduk sempurna di atas motor, dia mengembalikan hel itu kepada sang empunya.
“Nih!” Ucapnya sembari menyodorkan helm yang sedang ia pegang.
“Lo yang pake.” Terang Abil.
“Ngga ah, pengap.”
“Pake!”
“Ribet, Bil. Lo aja yang pake.” Keluh Bela tetap tak mau memakai-nya.
“Gue tinggal.”
“Iya-iya, gue pake. Orang dibilang ribet juga.” Cibirnya diakhir kalimat dengan suara lirih. Namun sayang, suaranya masih dapat didengar oleh telinga Abil.
“Kenapa?”
“Eh, ng– ngga. Gapapa.” Jawab bela terbata-bata, tidak menyangka jika suaranya yang sudah diperkecil masih bisa didengar oleh Abil.
Tanpa basa-basi lagi, gadis itu sudah duduksempurna di jok belakang motor Abil. posisinya yang lebih tinggi membuat Bela harus berpegangan ke pundak Abil. Kedekatan mereka sudah banyak diketahui penghuni sekolah, bahkan guru sekalipun. Jika ditanya kenapa, mereka akan mejawab karena tumbuh bersama semenjak kecil.
Detik kemudian, motor yang mereka kendarai telah pergi me-ninggalkan parkiran sekolah, membelah keramaian jalanan kota yang mereka lewati.
***
Setelah beberapa menit menikmati udara dan pemandangan di sepanjang perjalanan, motor Abil telah berhenti di depan pagar rumah Bela.
“Makasih, Abil. Ga mau mampir dulu?” Tawar Bela sembari melepas helm yang ia pakai lalu mengembalikannya pada sang pemilik.
“Ngga deh. Nitip salam ke om sama tante.” Pesan Abil.
“Okey. Hati-hati di jalan, jangan kebut-kebutan! Langsung pulang ke rumah.” Ucapnya mengingatkan.
“Hmm.”
Pria itu kemudian memakai hel full face-nya, menncap gas, melaju dengan sangat cepat tanpa mengindahkan peringatan Bela.
“Ishhh, tu anak kalau dibilangin ga pernah ngedengerin. Keras kepala banget.” Geramnya melihat Abil yang sama sekali tak mendengarkan peringatannya.
Dia memilih masuk ke dalam rumah. Tak lupa untuk kembali mengunci pagar, bertemu dengan kedua orang tua lalu beristirahat di kamar.
***
“Ck!” Abil berdecak saat mengetahui bahan bakarnya kian menipis. Ia menatap malas satu kotak hitam tanda dari kalkulasi bahan bakarnya yang mulai berkedip-kedip.
Ia menghentikan laju mtotrnya, menepi di pinggir jalan lalu mengedarkn pandangan mencari warung-warung kecil yang menjual bensin eceran. Namun nihil, sejauh matanya memandang tak ada satupun warung yang menyediakan barang yang sedang ia butuhkan, bahkan pom mini sekalipun. Sungguh sial nasibnya sekarang. Jarak pom bensin dari tempatnya sekarang terlalu jauh. Belum sampai pada tujuan ia akan kehabisa bahan bakar terlebih dahulu. Tak menemukan cara lain, Abil akhirnya terus melanjutkan perjalanan, berharap di depan sana ada pom mini. Hingga beberapa meter ke depan, matanya menemukan sebuah gang kecil. Tak jauh di dalam sana ia melihat sebuah warung kecil yang menjual bensin. Tanpa berpikir dua kali dia langsung membanting setir, masuk ke dalam gang itu.
“Assalamu’alaikum, Bi. Bensinnya sebotol berapa?” Tanya Abil pada sang pemilik warung.
“Dua belas ribu nak.” Jawab seorang perempuan paruh baya dari dalam warung. “Kalau yang lebih besarlime belas ribu.” Sambungnya menjelaskan.
Abil manggut-manggut mengerti. “Kalau gitu saya ambil yang besar.” Ucapnya sembari menyerahkan uang lima belas ribu.
Dia pun mengisi tangki motornya dengan bensin yang ia beli. Setelah itu dia berniat untuk langsung pergi dari sana hendak pulang ke rumah. Tapi saat dirinya menghidupkan mesin, matanya tak sengaja menangkap siluet bayangan seseorang yang begitu familiar.
“Tapi siapa?” Fikirnya dalam benak.
Orang itu sedang diseret oleh beberapa pria seumuran dengannya, dipaksa masuk ke dalam rumah kosong. Mereka mengenakan seragam SMA. Entah SMA mana. Abil tidak pernah melihat seragam yang mereka pakai. Ketika dirinya masih bingung antara menollong atau membiarkan, secara tak sengaja, dalam waktu setengah detikwajah orang itu menghadap ke arahnya akibat meronta-ronta. Deitk itu juga, Abil langsung menancap gas motornya maksimal. Jantungnya berdetak lebih cepat. Instingnya berkata. Jika dia tidak menolong orang itu sekarang, dia kan menyesal seumur hidup.
“Wajah itu. Dia gadis yang ada di pesta. Gue harus menolongnya. Ga boleh terlambat sedetikpun.” Batinnya cemas.
Sementara itu, di dalam rumah kosong, gadis itu sudah disekap di dalam kamar yang ada di lantai dua. Tangannya diikat, begitu pula kakinya membuat tubuhnya tidak bisa bergerak dengan leluasa. Dia menangis tersedu-sedu, sesekali terisak dan berteriak minta dilepaskan. Matanya sembab akibat terlalu lama mengeluarkan air mata. Jangankan dilepas, para remaja itu malah semakin suka melihat wajah penuh isak tangis dari gadis yang mereka tawan.
“Kita apain nih, bos?” Tanya salah satu remaja yang berdiri di ambang pintu kamar.
“Diapain yah enaknya? Kalau menurut kamu maunya kita apain cantik, hmm?” Pria yang disebut bos itu mengangkat pelan dagu gadis di depannya seraya menyeringai penuh nafsu.
“LEPASIN GUE!! KALO NG– mmm” Suara gadis itu tercekat lantaran mulutnya didekap secara paksa.
“Wihhh... Masih punya tenaga lo bisa teriak gitu. Sampe sakit nih telinga gue.” Ujar sang bos sembari mengusap pelan bibir gadis itu meng-guanakan ibu jarinya.
“LEPASIN GUE DIBILANGIN!”
“Ssst! Sabar cantik. Kita mau main-main dulu sama kamu. Habis itu baru kita lepasin.”
“NGGA!!” Bentaknya tak mau. “PERGI! GUE BILANG PERGI!!” Gadis itu semakin meronta-ronta kala melihat empat pria yang lain mulai mendekatinya. Tapi percuma, tubuhnya terkunci sempurna di atas ranjang.
“Lepasin gue...” Lirihnya mengisak tangis. Dirinya sangat tidak berdaya.
Dia tetap meronta-ronta sekuat sisa tenaganya sebagai bentuk perlawanan sekaligus perlindungan terakhir agar mereka tidak bisa mendekat, namun aksinya tersebut malah membuat para pria itu merobek bajunya hingga sebagian tubuhnya terekspos, bahkan bh-nya hampir terlihat.
“LEPASS!!” Teriak gadis itu sangat kencang.
Bersamaan dengan teriakan itu, pintu kamar yang sebelumnya telah terkunci rapat, kini terlepas dari engselnya, berdebam jatuh ke lantai akibat didobrak seseorang. Semua yang ada di dalam sana terkejut dibuatnya. Apalagi para remaja SMA itu. Mereka tak mengira kalau rencanaya diketahui.
“Lanjutin aja! Gue yang nanganin pahlawan kesiangan ini.” Ucap sang bos.
Ke empat anak buahnya menurut, melanjutkan aktivitas mereka yang sempat tertunda tadi.
Sang bos berjalan mantap mendekati pria yang telah mengganggu rencananya. Kedua tangannya ia selipkan dalam saku celana. Matanya menatap pintu yang sudah lepas dari engselnya itu.
“Pahlawan dari ma–” Baru saja sang bos mengangkat wajah, pria di depannya sudah menyerang duluan, melompat lalu menerjang lehernya dengan tendangan, membuatnya terpental dan jatuh terlentang di lantai. Belum sempat dirinya bangun, musuhnya itu sudah mengirim serangan lagi, melayangkan pukulan ke perutnya dengan cepat dan kuat. Serangan yang pertama saja sudah membuat nafasnya tersengal, ditambah serangan yang kedua. Sekarang dia sudah tidak mampu berdiri lagi, malah mengerang kesakitan sembari memegangi perutnya yang terasa sangat nyeri.
“Bacot!” Umpat pria yang berhasil menumbangkan lawannya dalam sekejap.
Mengetahui bosnya telah tumbang, ke empat pria di kasur langsung menghentikan aktivitasnya, berjalan mendekati musuh untuk membalaskan dendam. Mereka saling tatap sebentar, bertukar pandang.
“Siapa nama lo?” Tanya salah satu dari mereka berempat yang paling tinggi.
Yang ditanya cuma menatapnya tajam.
“Mending lo pulang sekarang.”
“Dari pada babak belur sama kita. Lo kalah jumlah.” Sahut salah satunya lagi.
Pria itu malas membalas ocehan-ocehan mereka. Lebih baik dia menyelasaikan ini dengan cepat. Sebelum bertempur, ia sempatkan diri untuk melihat keadaan arena bertarungnya. Kamar ini akan menjadi panggungnya dalam beberapa saat. Detik kemudian dia sudah berlari, merangsek maju, masuk ke dalam barisan musuh. Dia melayangkan pukulan bertubi-tubi, mengincar bagian vital agar lawannya cepat tumbang. Sesekali dia berganti dari menyerang menjadi bertahan, menangkis semua serangan yang melayang kepadanya lalu balik menyerang lagi, berputar, bergilir menyerang lawan secara bergantian.
“Bangsat!” Umpat lawannya ketika salah satu dari pukulannya mengenai hidung di antara mereka.
Merasa kesulitan, mereka berempat akhirnya maju bersama. Ke-adaannya terpojok sekarang. Dia berlari keluar dari medan pertempuran, menuju ke tembok, melompat, menghentakkan kakinya ke sana untuk melakukan flip back dan menerjang lawan yang ada di bagian paling belakang. Dalam satu tarikan nafas, dia mengirim pukulan yang begitu kuat ke bagian leher lawannya hingga membuatnya pingsan.
“Satu.” Ucap pria itu samar menghitung musuhnya yang sudah berhasil ditumbangkan.
“Anjing!”
“Jangan sok jagoan lo jadi orang.” Maki lawan yang paling tinggi.
“Orang itu harus dimusnahkan dulu.” Batin sang pria. Dia berlari ke arah yang tinggi, menendang perutnya yang sangat kuat. Walau dapat ditangkis, tapi lawannya itu sudah terjatuh ke lantai. Tak mau memberikan waktu untuk musuhnya bersiap, dia lebih dulu menginjak perut lawannya. Seketika, erangan kesakitan terdengar di seluruh penjuru ruangan.
“Dua.” Ucap pria itu kembali menghitung.
Tersisa dua. Lawannya itu sudah panik ketakutan. Bosnya pingsan, dua rekannya juga pingsan. Mereka berdua saling tatap, seolah sedang berbicara lewat mata. Mereka menatap sosok di depannya yang tengah menyeringai bengis.
“Kita ingat penghinaan ini. Awas aja lo. Lo udah jadi musuh dari King.”
Setelah mengucapk itu, mereka pergi terbirit-birit sembari membopong bos dan rekannya yang pingsan.
“Gue Abil, anak SMA Asura.” Ucap Abil mengenalkan diri sebelum musuhnya benar-benar menghilang pergi.
Hufftt…
Dia menghembusknan nafas panjang guna menetralkan nafasnya yang ngos-ngosan. Setelah itu dia menoleh ke belakang, melihat seorang gadis yang sedang ingin di tolongnya.”
“Upss.”
Abil langsung kembali menghadap ke depan. Dia baru tau kalau baju gadis itu peunuh sobekan. Melihat itu, Abil melepas jaket yang ia pakai, menutupi tubuh gadis itu sembari terpejam.
“Maaf. Udah ketutup belum?” Tanya Abil memastikan, takut ada bagian tubuh yang belum tertutupi.
“U– udah.” Jawab gadis itu patah-patah karena sisa isakan tangisnya.
Demi apapun, mendengar suaranya saja sudah membuat Abil tergila-gila. Sangat imut menurutnya.
“Gue buka mata yah.”
“Eumm.”
Setelah mendapat izin, Abil langsung membuka matanya. Ia terkejut beberapa saat. Lebih tepatnya terkagum. Gadis itu lebih cantik versi reelnya dari pada di foto identitas. Bibir tipisnya berwarna merah, tatapan mata teduh dan rambutnya yang sangat panjang dan indah itu. Oke, berhenti! Dia harus menepis pikiran itu. Yang terpenting sekarang adalah membantu gadis didepannya.
Gadis itu memalingkan wajah dari Abil. Pipinya sedikit merah. Dia menggigit bibir bawahnya.
Shit! Dia ketahuan telah menatap lama wajah gadis itu. Dia tidak bisa mengontrol diri akibat terkagum.
“Maaf.” Ucapnya lalu melepas semua ikatan tali gadis itu.
Abil hendak membantunya untuk duduk, tapi melihat tatapannya yang seolah tak mau membuat Abil mengurungkan niatnya. Dia berfikir sejenak. Apanya yang salah? Ikatan udah dilepas. Mungkin tubuhnya lemas. Tapi kan memang itu masalahnya, jadi dia ingin membantunya duduk. Sebentar! Abil mengingat-ingat lagi dari awal. Dari kejadian diseret, diikat dan... jaket. Kenapa jaketnya ada di gads itu?.
“Ck, goblok!” Rutuk Abil pada diri sendiri sambil menepuk dahi. Dia langsung berbalik badan setelahnya, memunggungi sang gadis, memberi waktu padanya untuk memakai jaket dengan benar.
Dalam jangka waktu tersebut, Abil memilih untuk menelepon Steve. Dia meminta orang itu untuk membawakan mobil ke lokasinya dan kotak P3K.
“Udah. Balik badan aja.” Ujar sang gadis.
Sekarang, Abil bisa melihatnya. Tatapan mereka bertemu sejenak tapi sang gadis lebih dulu berpaling, menutupi kalau dirinya tengah menahan malu. Atmosfer di antara mereka tiba-tiba berubah canggung. Abil tak mempermasalahkan hal itu. Dia menatap gadis di depannya datar, tanpa ekspresi, walaupun sebenarnya dia masih terkagum melihat tubuh mungil seorang gadis yang dibalut dalam jaket miliknya.
“Ada yang sakit?” Tanya Abil dengan suara dingin.
“Ngga ada. Cuma luka lebam bekas ikatan.”
Abil melihat pergelangan tangan dan kaki gadis itu yang memar. Merasa belum puas, dia pun memperhatikan ke sekujur tubuh. Ternyata ada luka lain di lututnya. Abil memilih diam, membiarkan gadis itu berbohong. Dia menatap gadis itu malas kemudian pergi untuk menghirup udara segar.
“Eumm, anu.” Sang gadis menggantungkan ucapannya, membuat Abil yang sekarang berada di jendela mengernyit. “Itu. Makasih udah nolongin gue tadi. Gue ga tau gimana jadinya kalo ga ada kakak.”Tuturnya melanjutkan.
“Hmm.” Gumam Abil sebagai jawaban tanpa menatap lawan bicaranya.
Gadis itu tercengang mendapati respon Abil yang hanya bergumam. Dia menyesal telah berterimakasih kepadanya. Padahal dia sudah membuang gengsinya mati-matian. Sudahlah, mungkin dia kelelahan setelah berkelahi tadi. Pikirnya.
Selang beberapa menit, Steve datang sembari menenteng kotak P3K. Dia berlari kecil menghampiri Abil, menyerahkan benda medis di tangannya.
“Bawa motor gue. Langsung pulang!” Titah Abil tak mau diganggu gugat. Matanya menatap tajam.
Steve memutar bola mata malas dibuatnya. Jika sudah begini, dia tidak bisa menolak. Padahal ada banyak pertanyaan yang menumpuk di benaknya. Tetang Abil yang berada di rumah tak berpenghuni ini dan seorang gadis yang berada di samping bosnya. Tapi melihat tatapan tajam itu, Steve tak berani membantah.
“Okey-okey, gue pulang.” Steve mendekat ke telinga Abil. “Jangan kasar-kasar bos. Dia sangat menggemaskan ternyata.” Bisiknya lalu pergi meningglakan mereka berdua.
Abil tak menggubris ucapan Steve. Dia mengambil kotak P3K yang dibawa bawahannya barusan, membawanya ke hadapan gadis itu dan mengambil salep untuk mengobati luka lebam dan memar.
“Siniin!” Pinta Abil.
Gadis itu mengernyit tak paham. Apanya yang di siniin? Pria di depannya cuma ngomong-ngomong setengah-setengah tanpa menyebutkan objek tujuannya.
“Tangan lo.” Terang Abil kalamelihat kerutan di dahi gadis itu.
“Oh.” Sang gadis membulatkan mulutnya. “Mau diapain?”
“Obatin.”
“Ngga mau, sakit. Gue mau pulang aja.” Tolaknya lalu hendak ber-diri untuk pergi, tapi tidak bisa lantaran Abil menarik tangannya secara paksa. Pria itu langsung mengoleskan salep ke bagian tangannya yang memar.
“Aww, sakit. Gue mau pulang aja kak.” Rintihnya kesakitan.
Bukannya berhenti, Abil malah melanjutkan aktivitasnya tanpa rasa bersalah. Ada sedikit rasa suka saat gadis itu memanggilnya kakak.
“Kak... sakit.” Rintihnya lagi.
“Cerewet lo.”
Abil berhenti, tak tega melihatnya merintih kesakitan. Dia meletakkan salepnya kembali ke tempat asal lalu kembali menarik tangan gadis itu dari genggamannya. Kali ini bukan lagi mengoles salep, tapi meniup luka lebam gadis itu sembari mengurutnya pelan.
Seperti ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya. Gadis itu merona diperlakukan seperti ini. Dia menatap lekat mata pria yang sedang meniup lukanya dengan telaten. Jika dilihat dari dekat, pria ini sangatlah tampan, bahkan sangat sempurna di matanya. Tulang rahangnya yang terlihat kuat, hidung mancung, kedua matanya yang sipit serta bulu matanya yang panjang dan alis matanya yang tebal, ditambah dengan potongan rambut belah tengahnya yang begitu indah, apalagi dia berjakun. Tapi harus digaris bawahi, walaupun sipit tatapan matanya itu selalu datar, dingin bak sedingin es di Kutun Utara.
“Rumah lo di mana?” Tanya Abil sembari berdiri dari kasur lalu menatap gadis itu.
Hampir saja dirinya ketahuan telah lama menatap Abil. “Ga jauh dari sini. Di depan sana ada pertigaan, belok kananm emang kenapa kak?”
“Gue anter.”
“Ngga usah kak. Gue bisa jalan kok, nih.” Gadis itu turun dari kasur. Baru saja kakinya menapaki lantai, tubuhnya langsung oleng sekaligus merintih kesakitan. Jika saja Abil tidak menangkapnya, sudah dipastikan gadis itu terjerembap di lantai.
“Gue anter.” Final Abil.
Sang gadis tak henti-hentinya berkomat-kamit, merutuki kesalahan-nya sendiri disepanjang jalan menuju lantai bawah. Abil tidak memapahnya. Dia mengawasi gadis itu dari belakang, jaga-jaga takut terjatuh seperti tadi.
“Di belakang!” Titah Abil ketika sampai di mobil.
Gadis itu menurut, duduk di kursi penumpang bagian tengah. Beberapa detik kemudian Abil menyusul, masuk ke dalam mobil, duduk dibagian kursi kemudi. Setelah itu mobil yang mereka kendarai melesat, membelah ramainya jalan. Selama itu, sang gadis hanya memandangi jalanan. Kepalanya bersender di kaca mobil, mengembun setiap kali dirinya menghembuskan nafas.
Mobil mereka telah sampai di tujuan, berhenti di depan yang men-julang tinggi. Bahkan rumah dibailknya tak terlihat kecuali atap.
“Makasih kak udah repot-repot nganterin.” Ucap sang gadis setelah keluar dari mobil.
“Hmm.” Abil bergumam sebagai jawaban lalu hendak pergi dari sana. Tapi ia urungkan. Gadis itu membuatnya berhenti menginjak gas.
“Boleh minta no WA, kakak? Gue ga mau berutang budi.”
Abil diam sejenak, berfikir antara memberinya atau tidak. Detik kemudian, dia pun membacakan sederet nomor miiknya.
“Nama kakak siapa?” Tanya gadis itu sembari menatap Abil.
“Abil.”
Gadis itu kembali fokus pada hpnya, mengetik beberapa huruf sesuai nama yang telah Abil bilang.
“Nama lo?” Sekarang gantian Abil yang bertanya. Sebenarnya dia sudah tau sih, nama gadis itu. Tapi dia ingin tau dari orangnya secara langsung, bukan hasil dari mencuri informasi.
“Hah?” Gadis itu terkejut dengan pertanyaan Abil. Dia pikir Abil tidak akan peduli tentang namanya siapa. Ternyata dugaannya itu salah besar.
“Nama lo.” Ulang Abil.
“Tasya.”
“Lengkap?”
“Anatasya Queeny Zhulian.”
Abil manggut-manggut. Dia menaikkan kaca mobil. Dalam satu pijakan, dia sudah pergi meninggalkan Tasya tanpa pamit.
Ckling!
Suara notif milik ponsel Abil berbunyi. Dia mengambil benda pipih itu dari saku lalu melihat, menekan notif yang baru saja terkirim.
Queen
Itulah nama kontak yang Abil berikan untuk seorang Tasya. Lebih nyaman menurutnya. Dia sudah memiliki kontak gadis itu sejak meretas identitas beberapa hari lalu.
P
ngetes doang
save yah kak
Abil tersenyum membawa pesan Tasya. Hanya sebentar lalu menaruh hpnya ke dashboard mobil.
Dia kembali fokkus pada jalanan.
***
Makan Malam
Tasya tidak tau kalau pria yang menolongnya kemaren adalah pria yang sama yang berada di pesta ulang tahun Brams malam itu. Yang telah membuatnya kagum pada pertemuan pertama. Yang Tasya tau, dia adalah Abil. Seseorang yang telah menolongnya dari kejahatan. Dan sepertinya Tasya telah jatuh hati padanya.
Lihatlah! Sekarang dia tengah tersenyum melihat jaket Abil yang dipinjamkan padanya kemaren. Jaket itu telah ia cuci sekaligus menyemprot-nya dengan parfum lalu melipatnya dengan rapi. Ia hendak mengembalikan-nya pada sang pemilik. Oleh karena itu, semenjak beberapa menit lalu tak henti-hentinya ia mondar-mandir, bingung menimang-nimang apa yang akan dia jawab ketika Abil membalas chatnya nanti.
“Hufftt... Ribet amat sih! Tinggal chat doang juga. Lagian cuma balikin jaket, ga macem-macem.” Ucap Tasya berusaha memberanikan diri.
Dia mengambil handphone yang sedari tadi tergeletak di kasur, mebuka aplikasi WA lalu masuk ke dalam room chatnya bersama Abil. Sampai di sana, dia tidak langsung mengirim pesan, masih bingung mau bilang bagaimana. Dia memilih duduk di kasur sembari berfikir.
Kak Abil
Kak, gue mau balikin jaket. Tapi
gue ga tau alamat rumah kakak.
Boleh shareloc ngga?
Setelah berulang kali mengetik, menghapus, mengetik dan menghapus lagi, akhirnya itulah pesan yang Tasya kirim ke Abil. Dia masih menatap lamat layar handphonenya, berharap pesannya segera mendapat balasan. Namun sampai dua menit ke depan room chatnya bersama Abil tak berubah, hanya tercantum pesan terakhir miliknya.. padahal pesannya sudah tertera dua centang abu-abu, tapi Abil tak kunjung-kunjung membuka WA. Status kontak pria itu masih sama. (Terakhir dilihat jam 03:45).
“Masa sih belum bangun? Tapi ga mungkin. Sekarang udah sore. Apa jangan-jangan masih di sekolah yah. Atau lagi di jalan?” Tasya jadi bingung sendiri dibuatnya.
Sudahlah. Dia melempar hpnya asal ke kasur. Lebih baik menunggu pesannya dibalas sambil rebahan. Dia menghembuskan nafas berat. Setelah genap 5 menit menunggu, akhirnya ada notif dari Abil. Cepat-cepat Tasya mengambil hpnya dan mengecek notif itu.
Kak Abil
Gue ke sana
Tasya mengernyit. Kenapa malah Abil yang mau ke sini.. harusnya dia yang mengembalikan, mengantar jaket itu langsung ke rumah Abil. Bukannya malah Abil yang mengambilnya ke sini.
Kak Abil
Ngga kak. Gue yang mau balikin
langsung ke rumah kakak.
Jauh
gue ke sana
Tapi kan
Centang satu. Abil mematiakan internetnya. Itu artiya keputusannya sudah bulat, tak mau diganggu gugat. Dasar! Tasya sedikit kesal dibuatnya. Pria itu terlalu kelewat dingin. Harus dikasih pelajaran biar tunduk. Liat aja nanti. Gue bakal buat kakak luluh dan jatuh cinta sama gue. Batinnya bersumpah pada diri sendiri.
***
Abil memasuki pekarangan rumah mewah berlantai dua itu. Pagarnya terbuka lebar, tak terkunci seperti sebelumnya. Sekarang ia tau isi dibalik pagar yang menjulang tinggi itu. Ada taman kecil dibagian tengah pekarangan. Sekitarnya dikelilingi jalan setapak yang terbuat dari bebatuan. Kendaraan harus memutari taman itu, melalui jalan khusus yang terhubung hingga ke teras depan rumah. Ia melangkah hingga sampai teras, melewati taman kecil, megikuti jalan setapak bebatuan. Mototrnya ia biarkan terparkir di depan pagar sana. Ia masih punya sopan santun untuk tidak menaiki motornya dan masuk ke dalam pekarangan rumah, karena ini kali pertama-nya berkunjung ke rumah Tasya.
Abil hendak memencet bel yang ada di samping pintu, ingin memberi tau orang di dalam kalau dada tamu di luar. Namun ia batalkan saat pintu putih dipenuhi dengan ukiran yang begitu indah di depannya terbuka. Seorang wanita paruh baya menyembul keluar dari sana. Abil tersenyum kaku.
“Assalamu’alakum tante.” Ucap Abil memberi salam. Ia terus menarik ujung bibirnya, berusaha tersenyum agar terlihat ramah. Bagaimana-pun dia tengah berbicara dengan orang yang lebih tua. Secuek apapun dirinya, dia akan berusaha untuk bersikap ramah. Abil yakin itu pasti ibunya.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab wanita itu siingkat. Tatapannya datar tak berekspresi, membuat Abil sedikit gugup.
“Tasyanya ade, tante?”
“Ohh... Pacarnya Tasya ternyata. Ada tuh di dalem. Masuk dulu sini. Bentar yah, tante panggilin.” Seketika, ekspresi wanita itu berubah lebih cerah, tersenyum gembira melihat kehadiran Abil. Abil hendak protes saat dirinya diklaim sebagai pacar Tasya, tapi wanita itu lebih dulu pergi.
Abil menghela nafas berat. Dia ditinggal sendirian di ruang tamu yang begitu luas nan megah ini. Dia menetap ke sekitar, memperhatikan seluruh sudut ruangan. Semuanya terlihat sangat mewah. Lukisan abstrak, kaligrafi, gelas emas yang tertata rapi di meja, ada karpet merah di bawahnya. Dan banyak lagi barang mewah lainnya. Abil tak terlalu memperhatikan. Dia sudah terbiasa melihat barang-barang seperti itu.
Beberapa dtik kemudian, wanita itu kembali dari lantai atas bersama Tasya di belakangnya. Gadis itu bersembunyi dibalik punggung sang ibu, malu untuk bertemu dengan Abil secara langsung. Sang ibu yang baru sadar kalau Abil masih berdiri langsung menyuruhnya duduk.
“Aduhh kelupaan tante. Ayo duduk dulu.”
Abil tersenyum, menganggukan kepala lalu duduk. Disusul Tasya bersama ibunya. Abil menatap jaket yang ada dipangkuan Tasya kemudian beralih menatap mata gadis itu sejenak.
“Menggemaskan.” Batinnya.
Dia suka melihat gaya rambut Tasya yang diponi, ditambah wajah imutnya yang seperti bayi. Tapi yang paling Abil suka dari Tasya adalah tatapan teduhnya. Bak ada magnet besar yang selalu membuatnya ingin menatap mata gadis itu.
“Loh, Tasya. Disapa dong pacarnya. Malah pada diem-dieman gini.” Goda ibu Tasya benar-benar mengira kalau mereka berdua pacaran.
“Apaan sih, ma. Wong kak Abil ke sini cuma mau ngambil jaket.” Tasnya menyanggah. Dia menggelebungkan kedua pipinya kesal. Kepalanya sedikit ia tundukkan demi menyembunyikan semburat kecil merah di pipinya.
“Ohh... Jadi namanya Abil.” Ibu Tasya manggut-manggut. “Betul kalian ga pacaran?”
“Ngga, ma.” Jawab Tasya.
“Mama tanya ke Abil. Kamu diem!”
Tasya langsung kicep.
“Iya, tante.”
“Terus kenapa jaket kamu ada di Tasya?” Tanya ibu Tasya me-nyelidik.
Abil menatap Tasya yang ternyata juga sedang menatapnya. Gadis itu menggeleng kecil, memberi isyarat agar dia tak memberi tau penyebab sebenarnya. Namun sayang, Abil tidak suka berbohong.
“Kemaren Tasya disekap sama anak-anak SMA di rumah kosong, tan. Bajunya dirobek. Jadi saya pinjemin jaket.”
Mendengar itu, sontak Tasya mengusap wajahnya kasar. Tamat sudah! Ibunya pasti akan memarahinya habis-habisan. Dia tidak akan diberi ijin keluar sendirian lagi.
Sang ibu menatap tajam anak gadisnya itu. Pasalnya Tasya tidak menceritakan apapun padanya.
“Sebentar! Tasya ga diapa-apain, kan?”
“Ngga tante. Untung saya dateng tepat waktu.”
“Berarti kamu yang nyelametin.”
“Iya, tante.”
Sang itu kembali menatap Tasya meminta penjelasan. Dia mulai jengah. Anak gadisnya itu harus diberi pelajaran biar jera.
“Sudah mama bilang kan. Ga baik keluar sendirian. Kamu itu cewe. Sekuat apapun kamu kalau udah berurusan sama cowo tetep akan kalah. Apalagi dikeroyok. Untung ada Abil. Kalau ngga? Mama ga bisa bayangin gimana jadinya...”
Ibu Tasya terlalu fokus menceramahi anaknya hingga lupa kalau ada Abil di rumahnya. Pria itu tidak bisa pamit. Dia menatap jengah sepasang ibu dan anak itu, menghela nafas berat.
Abil terperangkap di sana.
***
“Tasya, ambilin nasi buat Abil!” Titah Lisa, ibu Tasya.
“Ngga mau. Tuh ambil sendiri.” Tolak Tasya sembari menyerahkan sebuah piring kosong kepada Abil. Kedua pipinya menggelembung lantaran masih kesal pada pria di sampingnya.
“Tasyaaa...!”
“Hufftt, iya-iya. Orang punya tangan sendiri juga.” Akhirnya dengan sangat terpaksa, Tasya mengisi piring Abil sampai penuh.
Lisa geleng-geleng kepala dibuatnya. Sedangkan Abil hanya ter-senyum. Tersenyum melihat tingkah Tasya yang sedang merajuk.
Setelah memarahi Tasya, Lisa memutuskan untuk mengajak Abil makan malam bersama. Sebagai ucapan terima kasih katanya karena sudah menolong Tasya. Abil tak enak hati jika sampai menolak. Jadi di sinilah dia berada sekarang, di ruang makan milik keluarga Tasya.
“Ayo Abil, dimakan. Jangan sungkan-sungkan. Anggap saja rumah sendiri.” Ucap Lisa mempersilahkan. Dia menarik salah satu kursi di depan Tasya kemudian duduk dan bergabung makan bersama.
Makan malam itu berlangsung sangat menyenangkan. Lisa yang selalu mencari topik agar suasana tidak mati. Sesekali dia bergurau, menggoda dan menceritakan masa kecil Tasya. Abil sangat nyaman berada di sana hingga dari arah belakang ruang makan tedengar suara seseorang.
“Kenapa ada orang asing di sini, sayang?” Tanya seorang pria paruh baya kepada Lisa.
“Dan kenapa dia duduk di temppat aku, ma?” Imbuh pria di samping-nya. Suara mereka sangat tidak bersahabat. Mereka berdua adalah ayah dan kakak Tasya. Lisa yang melihat itu langsung menghampiri mereka.
“Loh, katanya lembur.”
“Siapa dia sayang?” Tanya balik ayah Tasya, mengacuhkan per-tanyaan istrinya.
“Yaudah-yaudah, mama jelasin. Kalian duduk dulu tapi.”
Mereka menurut. Ayah dan kakak Tasya duduk di samping Lisa, mengapit dirinya. Mereka berdua bersedekap dada, menetap tajam ke arah Abil yang ada di seberang meja.
Lisa mengambil nafas panjang, mengembuskannya pelan. Dia siap menjelaskan. “Namanya Abil. Dia temen Tasya. Awalnya ke sini cuma mau ambil jaket, berhubung nyampe sini udah sore jadi sekalian mama ajakin makan malam bareng. Kemaren pas pulang dari sekolah, Tasya demam, pa. Krisna ga bisa jemput, papa juga sibuk, jadi dia yang anter Tasya pulang ke rumah sambil minjemin jaketnya.” Jelasnya panjang lebar.
David, ayah Tasya mangut-manggut. Begitu pula kakaknya, Krisna. Tatapan mereka berubah sedikit melembut. Sedangkan Abil, tatapan pria itu sama sekali tidak berubah, tetap datar. Tak ada rasa takut sedikitpun dalam dirinya ketika berhadapan langsung dengan David ataupun Krisna.
“Kalian satu sekolah?” David menyelidik. Kedua tangannya terpaut di atas meja.
“Ngga, om.” Jawab Abil singkat.
David mengernyit. Ada sesuatu yang janggal.
“Kamu sekolah dimana?”
“SMA Asura.”
“Wow! Cv lo ga biasa ternyata.” Krisna yang sedari tadi menyimak ikut angkat bicara. “Orang kaya pasti.”
SMA tempatnya bersekolah memang bergengsi. SMA unggulan nomor satu. Selain besar dan mewah, SMA Asura tak sedikit mencetak kader-kader syang begitu hebat, berprestasi, bahkan banyak murid-muridnya yang menjadi peserta dari event lomba nasional. Tidak hanya peserta tapi juga menjuarainya.
“Lantas bagaimana ceritanya kamu bisa mengantar Tasya pulang ke sini?” David menyeringai. Dia menmukan kejanggalan yang berbeda dari cerita Lisa.
Tasya yang takut akan kejadian yang sebenarnya terbongkar, mendahului Abil menjawab pertanyaan ayahnya. “Kita ga sengaja ketemu di ja–”
“Diam Tasya! Papa bertanya sama pria di samping kamu.” David tidak membentak, tapip volume suaranya lebih tinggi dari sebelumnya.
Tasya terdiam. Dia melirik pria di sampingnya, memohon meng-gunakan isyarat mata agar Abil tak memberi tau. Kali ini Abil luluh. Dia tidak tega melihat Tasya dimarahi.
“Takdir sudah ada yang menentukan om. Anda tau itu. Kita ga sengaja ketemu di jalan. Untuk spesifiknya mohon jangan bertanya lebih lanjut.” Abil tersenyum. Dengan beraninya dia berbicara seperti itu dihadapan seorang David.
David menatap tajam Abil, berharap bisa mengorek lebih dalam seutas informasi. Tapi melihat Abil yang masih bisa duduk santai di kursinya membuat dirinya menyerah.
“Baiklah, saya tidak akan membahas itu lagi. Kamu kelas berapa?”
“Sebelas.”
Hening sejenak. David menatap Lisa adn krisna bergantian, seolah sedang membahas sesuatu. Mereka berdua mengangguk kemudian. David kembali menatap Abil. Ekspresi wajahnya sulit diartikan. Suasana di meja makan itu tiba-tiba mendadak berubah tegang. Apalagi Tasya, gadis itu menatap bingung ke arah keluarganya.
David menghela nafas sebelum berbicara. “Kamu tau, Abil? Kamu adalah satu-satunya pria yang Tasya bawa masuk ke rumah ini. Sebenarnya dia tidak pernah mengundang teman untuk main ke rumah, bahkan cewe sekalipun. Jadi saya harap kamu adalah orang pertama dan terakhir yang Tasya bawa masuk ke sini. Inget itu!”
Abil yang mengetahui maksud dibalik ucapan David, mengulum senyum. “Dengan senang hati om.” Ucapnya.
David merasa Abil sudah mengerti maksud dari ucapannya barusan. Lagi-lagi dia menghembuskan nafas berat, berharap dia mengambil keputusan yang tepat. Sedangkan Tasya cuma plonga-plongo, tidak mengerti kemana arah pembicaraan mereka.
“Okeyy... Udah selesai kan sayang? Mari kita lanjut makan malam-nya.” Ucap Lisa mencoba mencairkan suasana. “Kamu juga Krisna. Cepat makan!”
“Iya-iya...” Dengan sedikit rasa malas, Krisna mengambil secentong nasi ke piringnya.
Perlahan, suasana di sana kembali hangat. Sikap David sudah tidak semenyeramkan tadi. Meja makan itu dipenuhi gelak tawa berkat guyonan-nya dan Krisna, kecuali Abil. Dia menatap gadis di sampingnya yang tengah tertawa. Seutas senyum tercetak di wajahnya ketika melihat Tasya bahagia lalu menikmati hidangan makan malamnya hingga selesai.
***
Sekarang, Abil telah berada di taman, menyusuri jalan setapak bebatuan menuju ke tempat motornya terparkir. Setelah pamit ke David, Lisa dan juga Krisna, Tasya memutuskan untuk mengantar Abil sampai depan. Mereka berdua berjalan beriringan, mengikuti arah bebatuan. Deretan lampu kuning menyala si sepanjang sisi jalan menambah keindahan taman. Tatapan Abil lurus ke depan, sedangkan Tasya hanya diam. Mungkin dia masih kesal atau lebih tepatnya atau lebih tepatnya malu untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu. Entahlah.
Tak terasa mereka berjalan terlalu cepat sehingga tiba di depan pagar terlalu singkat. Abil menghentikan langkah, matanya beralih menatap Tasya yang tengah menunduk. Gadis itu sama sekali tak berbicara padanya sepanang berjalan. Apakah dia masih kesal? Batin Abil.
Dia menarik kedua ujung bibirnya, menyunggingkan senyum simpul. Senyuman yang sangat hangat. Dia tidak pernah tersenyum seperti itu kepada siapapun. Hanya kepada Tasya. Abil melangkah mendekat lalu membungkukkan tubuhnya, endekatkan kepala ke telinga Tasya.
“Maaf Tasya. Gue ga suka berbohong.” Ucapnya kemudian me-langkah mundur, menegakkan tubuhnya seperti semula.
Sontak, tubuh Tasya menegang sebab jaraj Abil yang sangat dekat. Bahkan deeru nafasnya terasa hangat menerpa telinganya. Sebuah rona merah tercetak di pipi Tasya setelahnya. Beruntung gelapnya malam berhasil menutupi keadaannya yang tersipu.
“I– iya kak, gapapa.” Jawab Tasya sedikit kikuk. “Eumm ini jaketnya. Udah gue cuci.”
Abil mengambil benda itu dari tangan Tasya dan langsung memakainya. Saat itu juga semerbak bau wangi menyeruak masuk ke dalam indera penciuman Abil. Jaket itu sangat wangi berkat parfum yang Tasya berikan.
“Makasih.”
“Sama-sama kak. Hati-hati di jalan.”
Abil mengangguk. Detik kemudian dia telah melesat menjauh.
***
Teman Baru
Bel jam istirahat telah berbunyi beberapa menit lalu. Detik itu juga kantin mendadak ricuh sebab dipadati oleh ratusan siswa. Seluruh murid berlomba-lomba menuju ke salah satu surga sekolah itu. Hanya sedikit yang menetap di dalam kelas, dengan alasan malas, tidak suka keamaian, mengantuk atau mengerjakan tugas yang belum selesai. Begitu juga Abil. Dia tengah duduk di kursinya yang ada di pojok kelas. Selain dirinya juga ada beberapa siswa lain di sana, termasuk Bela. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan. Sepertinya sedang belajar. Abil tidak peduli. Dia mengambil hp di saku celana lalu login ke aplikasi ML. Tanpa ia sadari Bela sudah duduk di sampingnya,
“DOR!!” Teriak Bela tepat di telinga Abil.
Refleks, tubuh Abil tersentak kaget akan teriakan Bela. Dia me-megang telinga kirinya yang berdenying. Untung saja hpnya tidak jatuh. Abil memelotot, menatap Bela tajam membuat gadis itu cengingisan sembari memainkan jari telunjuknya. Abil semakin geram dibuatnya. Sudahlah. Untung sepupu sendiri. Tak menghiraukan Bela lagi. Detik berikutnya Abil kembali fokus pada game. Bela memperhatikan pria itu dari samping, ikut menatap layar hp Abil.
“Bil!” Panggil Bela.
Abil menaikkan sebelah alisnya sebagai jawaban.
“Lo ga bosen sendirian mulu?”
Pertanyaan itu membuat Abil menatap keheranan pada Bela sebentar lantas kembali pada game. Jarang-jarang Bela menanyakan hal seperti ini. Ngapain juga dia bertanya seperti itu. Sedangkkan Bela sendiri tau kalau Abil lebih suka sendiri.
“Ngga.” Jawab Abil singkat.
“Mau gue cariin temen ga?”
“Ngga.”
“Ishh...” Bela mengerucutkan bibirnya menyesal telah bertanya ke pria dingin di samppingnya. Dia mengedarkan pandangan, menyisir satu persatu murid yang tersisa di kelas. Senyumnya mengembang ketika melihat empat orang pria yang tengah berkumpul di pojok kelas. Dia menemukan ide yang menarik.
“Tio!” Panggil Bela ke salah satu pria di sana.
Merasa namanya dipanggil, pria berkulit sawo matang dengan tinggi 168 cm itu menoleh ke arah Bela. Dia menunjuk dirinya sendiri.
Bela mengangguk. “Iya. Diajak mabar nih sama Abil. Sekalian ajak semua tuh temen lo.” Ucapnya.
Tingkahnya itu langsung mendapat pelototan gratis dari Abil. Kali ini pria itu benar-benar marah.
“Lo–?”
“Hihihi. Sabar dong! Ga boleh marah. Biar lo punya temen Abil.’ Dengan senyuman termanisnya Bela memeluk lengan Abil, berharap amarah pria itu mereda. Alih-alih tenang, Abil malah semakin geram hingga suara gemeletuk giginya terdengar akibat menahan emosi.
“Aihh... Ga boleh marah, ya. Yayaya?” Bela berusaha membujuk sambil mengerjap-erjapkan kedua matanya, membuatnya terlihat sangat lucu. Mungkin sebagian keturunan Adam akan terpesona meihatnya tapi tidak dengan Abil. Bela terlalu sering bertingkah seperti itu padanya sampai-sampai membuat dirinya bosan.
Abil menarik lengannya dari pelukan Bela. Dia mendengus kasar kala Tio dan tiga temannya telah duduk di hadapan Abil. Mereka adalah Roy, Noval dan Andre.
“Kenapa Bel?” Roy membuka pembicaraan terlebih dulu.
“Kalian suka ngegame kan?” Bela balik bertanya.
Mereka mengangguk bersama secara serempak.
“Nah... Tadi Abil bilang ke gue kalau dia butuh temen buat mabar. Bosen katanya main solo mulu. Gimana, mau kan? Sekaliii aja.” Jelas Bela sedikit memohon.
Atensi mereka berempat beralih tertuju kepada Abil yang sedari tadi fokus ke hpnya.
“Tentu. Kalau dia ga keberatan.” Noval angkat bicara. Pria yang memiliki suara merdu itu menatap Abil sekilas.
“Pasti dongg. Iya kan, Bil?” Bela menyikut lengan Abil memberi kode agar dirinya juga ikut bicara.
“Ya.”
Abil benar-benar malas sekarang. Harusnya saat ini dia sedang menikmati waktu sendirinya tanpa ada orang lain, main game atau tiduran di pojok kelas. Tapi belah malah menghancurkan semuanya. Di tambah kehadiran empat orang yang kini ada di depannya. Bernar-benar sangat mmenganggu. Itu adalah kesan pertamanya sebelum mereka masuk ke dalam game play. Sekarang, Abil, Tio, Roy dan dua lainnya telah fokus pada permainan.
“Set up Lord!” Roy yang saat itu menjadi jungler memberi interuksi.
Timnya merespon dengan cepat. Abil yang ada di gold lane dengan cekatan meng-clear minion lalu ikut bergabung bersembunyi bersama yang lain disekitar lord. Andre sebagai roamer juga turut memberi arahan. “Bentar-bentar! Liat gue-liat gue.”
“Open map!” Perintah Tio, exp laner.
Andre maju keluar dari persembunyian, berkeliaran mencari posisi musuh. Begitu pula roamer lawan. Tepat saat lord muncul ke permukaan, detik itu juga war pecah.
In game play.
10 detik sebelum kemunculan lord. Atlas berkeliaran di sekitar tempat lord, bersiaga akan serangan musuh. Dia berhadapan dengan minotour. Semak-semak belukar di belakangnya pasti banyak musuh. Dia berfikir sejenak, menghitung kalkulasi ketepatan serangan dan kemenangan timnya. Karena dialah penentu kapan war dimulai sekaligus berperan penuh dalam pertempuran.
1 detik sebelum kemunculan lord. Tak ada waktu lagi. Hanya dengan bermodal insting, tepat saat petir menyambar, tanda akan lord telah muncul, Atlas berpindah tempat ke belakang minotour menggunakan flicker, mendekati semak-semak belukar yang ada di sana. Persis saat tubuhnya muncul dipermukaan, Atlas mengangkat tangannya ke udara, sebuah rantai besi keluar dari sana, mengikat apapun yang ada dalam jangkauan serangan. Dan menakjubkan. Instingnya sangat akurat. Lihatlah! 3 musuh yang bersembunyi di semak-semak terikat oleh rantainya, ditambah dengan minotour. Dalam sekejap, dia menarik rantai itu, mengangkat tubuh musuh ke udara lalu membantingnya ke belakang, membuat mereka berkumpul di satu titik. Detik itu juga serangan timnya menghujani mereka.
War dimulai.
“Kekuatan matahari!!” Lapu-lapu melompat maju, masuk ke dalam pertempuran, menghantam musuh dengan pedang besarnya. Dia mengayunkan pedangnya ke sana kemari, memfokuskan serangan ke Roger, sang jungler.
Pharsa juga ikut menyerang tak mau ketinggalan momen. Dia mengirim serangan terkuatnya, menghujani musuh dengan gumpalan api. Tersia Benedetta dan Wanwan yang masih bersembunyi. Mereka masih menunggu serangan balik dari musuh. Akibat serangan bertubi-tubi dari Lapu-lapu dan Pharsa, akhirnya Roger dan Vexana tereliminasi. Meskipun begitu jumlah musuh masih tersisa 4. Sebelum gugur, Vexana masih sempat mengeluarkan prajurit undeadnya.
Minotour yang sudah terbebas dari ikatan Atlas langsung menghantam tanah menggunakan palu godam, menciptakan getaran hebat, membuat Lapu-lapu dan Atlas terpental melambung ke atas. Melihat ada kesempatan, Gatot Kaca kembali masuk ke medan pertempuran. Dia melompat tinggi ke langit lalu menghantam musuh tak kenal ampun. Tak ada yang mengalah. Mereka saling jual beli serangan. Akibat serangan balik itu Atlas pun tereliminasi, Lapu-lapu sekarat dan hendak kabur, namun nahas. Nathan yang sedari tadi bersembunyi memilih keluar kemmudian menyerang Lapu-lapu hingga gugur. Melihat keadaan yang tak menguntungkan, Pharsa memilih mundur dengan wujud merpatinya. Terus menyerang pun percuma. Energinya sudah terkuras habis akibat serangan terkuatnya barusan.
Sekarang keadaan telah berbalik total berkat serangan balik Gatot Kaca dan nathan. 2 lawan 3. Merasa telah unggul, walaupun tanpa kehadiran roger, mereka berusaha mengeliminasi lord dengan cepat. Pharsa sudah memberi interuksi agar Benedetta dan Wanwan mundur. Tapi tak dihiraukan. Mereka malah hendak menyerang lawan. Dari persembunyian masing-masing, mereka saling tatap, menyeringai kemudian mengangguk paham. Seolah berkata. “Bantai!” Detik berikutnya mereka telah merangsek maju masuk ke barisan musuh.
“Sekarang waktunya pertunjukanku!” Wanwan menembakkan tiga anak panahnya yang berfungsi sebagai boomerang dan terus fokus menyerang tiga titik poin target yang ada di sekitar musuh hingga hancur. Alhasil Gatot kewalahan. Dia sekarat dan hampir tumbang.
Minotour dan nathan yang mendapat serangan balik itu terkejut lalu hendak menolong rekannya, melupakan lord sejenak. Nathan mengeluarkan hologram berbentuk tubuhnya sendiri, membuat serangannya meningkat berlipat ganda. Sedangkan Minotour lagi-lagi menghantam tanah dengan palu godamnya, tapi sudah terlambat. Wanwan telah berhasil menghancurkan 3 titik poin target di sekitar Gatot. Dia terbang tinggi di atas langit, menyerang Gatot bertubi-tubi.
“Hahaha. Tagkap aku kalau bisa.” Ucapnya kegirangan seolah sedang bermain kejar-kejaran.
Benedetta juga mulai keluar. Dengan langkah cepat seorang ahli samurai, dia menghilang dari semak-semak lalu muncul persis di tengah-tengah pertempuran. Terdapat ratusan tebasan pedang di sepanjang langkahnya selama menghilang. Serangan yang sangat mematikan. Hal itu berhasil membuat Gatot tumbang. Wanwan yang masih terbang berganti target menyerang Minotour yang sudah sekarat. Roamer lawan juga tumbang. Hanya tersisa Nathan di medan perang itu. Wanwan menyerang sekuat tenaga dengan sisa energinya. Benedetta juga membantu, menebas pedangnya berulang kali. Dan berhasil. Nathan juga tumbang.
Wanwan tersenyum penuh kemenangan kala melihat 3 musuh yang terkulai lemas, begitu pula Benedetta. Mereka berdua saling adu tos untuk mengapresiasi hasil kerja keras diri sendiri. Lord pun berhasil dieliminasi.
Setelah beberapa menit dari war, tim mereka memanggil lord untuk membantu menyelesaikan permainan. Pharsa juga muncul menyusul dengan cepat. Dengan bantuan lord, mereka menghancurkan base turret lawan dengan mudah.
Game play off.
“Nicee...!”
“sip.”
Tio, Roy, Andre dan Noval saling melontarkan kata pujian. Mereka berempat dengan kompak melakukan tos. Sedangkan Abil hanya bisa tersenyum melihat mereka. Dia sangat puas dengan permainan tadi. Ternyata mereka tidak seburuk yang Abil kira. Dia telah salah menganggap mereka penggannggu. Nyatanya dia sedikit merasa nyaman berada di antara mereka.
“Boleh nih kapan-kapan kita mabar lagi.” Celetuk Roy. Dia merasa cocok setim dengan Abil. Jika ditinjau dari history game play barusan, mereka memang sangat kompak dan sejalan.
“Gimana, Bil? Mau ga mabar lagi?” Sambung Tio bertanya pendapat Abil. Jujur saja, dia merasa puas dengan skill marksman Abil.
Abil terdiam sesaat sebelum menjawab, membuat atmosfer di sana menjadi tegang akibatnya. Bela yang juga ikut-ikutan menunggu mulai hilang kesabaran dan menempeleng Abil pelan.
“Lama amat sih, lo! Tinggal jawab iya atau ngga doang. Gitu aja pake acara matung-matung segala.” Kesal Bela.
Tio, Roy dan kawan-kawan terbelalak melihat itu sembari mem-bulatkan mulut. Seumur hidup sekolah di SMA Asura tidak ada yang berani mendekat ke Abil atau mengusik pria penuh misteri itu. Jikalau ada, orang itu pasti berakhir dengan tatapan tajam dan hidupnya tidak akan tenang. Tapi sekarang mereka melihat dengan beraninya Bela menempeleng seorang Abil. Sungguh pemandangan yang sangat langka.
Abil menatap tajam ke arah Bela. Emosinya sedikit menguap. Beruntung ada orang lain di sini. Kalau tidak, gadis itu sudah dipastikan telah bergidik ngeri sekarang.
“Iya.” Ucap Abil menjawab pertanyaan Tio.
Sontak mereka tersenyum girang. Akhirnya squad mereka lengkap lima orang.
“Oke, kalau gitu nanti malem kita mabar jam sepuluh. Bisa kan?” Roy memutuskan.
“Bisa.” Ketiga temannya menjawab kompak kecuali Abil yang hanya mengangguk mengiyakan.
“No WA lo ada di grup kan?” Tanya Roy yang tertuju pada Abil.
“Iya.”
Roy mengangguk-anggukkan kepala. Dia berdiri dari duduknya lalu mengulurkan tangan ke arah Abil. “Fix, kita temenan sekarang.” Ucapnya.
Tio, Noval dan Andre menatap Abil penuh harap. Tapi Tio berusaha untuk tidak menampakkannya. Dia menutupinya dengan bersedekap dada. Sedangkan Roy, pria itu mulai sedikit canggung karena Abil tak kunjung membalas jabatannya. Baru saja Roy hendak menarik kembali tangannya, namun dengan cepat Abil sudah membalas jabatannya.
“Kita temen.” Ujar Abil mantap. Wajahnya mengulas senyum. Senyum yang sangat samar. Bahkan Bela, Roy, Tio dan yang lainnya tidak tau kalau sekarang Abil tengah tersenyum.
Bela yang melihat itu juga turut senang. Akhirnya sepupunya memiliki teman di sekolah.
***
Pembalasan King
Tio, Roy, Noval dan andre sudah kembali ke tempat duduknya masing-masing ketika bel masuk kelas berbunyi beberapa menit lalu. Saat ini, para murid tengah berada di kelas masing-masing, tak ada yang berkeliaran diluar kecuali para pembolos. Terlebih anggota prime.
Setelah jam istirahat barusan, Bela hendak langsung kembali ke tempat duduknya, namun Abil malah menarik tangannya dengan kuat. Mau tidak mau di sinilah ia sekarang, duduk di samping Abil sembari mengelus pelan surai rambut pria itu. Beruntung waktu ini semua kelas sedang jamkos. Ucapkan terima kasih pada Pak Hendri karena seumua guru lagi pergi ke acara resepsi pernnikahannya. Jadilah suasana kelas sangat ricuh. Berisik seperti pasar. Apalagi di bagian pojok sana yang dihuni oleh Tio, Roy, Noval dan Andre. Lihatlah! Mereka sedang membuka komser dadakan lengkap dengan gitar yang Tio bawa.
“Feeling neng angenku mong kowe…
seng paleng ngerteni aku
iso nompo?” Potong Noval yang langsung disambung temannya.
Tio yang sedang bermain gitar pun ikut bernyanyi.
“KURANGE AKUU...”
“Sambung Roy!” Titah Noval.
“Uwooo…
aku sadar diri
aku sadar posisi
aku seng sepele
tak tangis dewe...”
Setelah itu, mereka berempat tertawa terbahak-bahak. Bela yang melihatnya dibuat geleng-geleng kepala. Gimana ceritanya coba tuh lagu bisa disambung jadi satu?.
“Bil! Lo mau ikutan ga?” Tanya Roy setengah berteriak dari tempat-nya.
“Ngga, dia lagi tidur.” Jawab Bela.
“Ohh... uwoke.”
Sebenarnya Abil belum terlelap. Dia masih sadar, tapi matanya setia terpejam. Entah mengapa dia tidak bisa tidur. Padahal mulutnya sudah berkali –kali menguap. Abil mengubah posisinya menghadap ke arah Bela, membuat elusan gadis itu berhenti sebentar.
“Udah yah. Tangan gue pegel.” Ujar Bela saat mengetahui kalau Abil tidak tidur.
Abil membuka matanya yang terasa berat lalu menatap Bela datar. “Lanjutin!” perintahnya tanpa menghiraukan keluhan Bela.. dia kembali memejamkan mata.
“Kayanya enak tuh. Bel, gue juga mau dong dielus.” Celetuk Noval memperhatikan Abil yang terlihat begitu enikmati elusan Bela.
Sontak gadis itu langsung memelotot. “Mimpi! Tuh sama Una, sana.”
Merasa namanya disebut, gadis bernama Una itu menoleh ke belakang. Noval langsung kicep saat gadis yang selama ini ia cintai sedang menatapnya heran.
“Yahh... langsung diem anaknya.” Ejek Andre.
“Heh! Lo lagi diliat Una tuh.” Tio ikut mengompori.
“Samperin do–”
Brakk
Ctiarr
“ASTAGHFIRULLAH!! Kaget mak.” Refleks Roy berteriak.
Dari arah luar sana terdengar suara gerbang didobrak, kaca jendela kelas banyak yang pecah sebab dilempari batu dari luar. Seketika, sekolah yang awalnya tentram mendadak berubah mencekam. Semua murid berteriak histeris, berlarian ke sana kemari tak tentu arah.
“Gawat! Sekolah diserang gaes. Aaa...” Teriak Tio pura-pura panik.
Roy yang melihat itu langsung menjitak dahinya. “Mending lo tenangin anak kelas tuh.”
“Ogah. Lo aja sana.”
Pletak.
Lagi-lagi Roy menjitak dahinya.
“Sakit geblek!” Maki Tio sembari mengusap dahinya.
“Makanya kondisiin tuh anak kelas. Lo bukannya serius disituasi gini malah main-main.”
“Iya-iya.”
Tio menurut. Dia maju ke depan lalu mengondisikan teman-teman kelasnya untuk tetap tenang di tempat duduk. Juga menyuruh mereka untuk melindungi kepala dengan tas masing-masing.
“Jangan sampai ada yang berdiri dari tempat duduk! Kalau nggga, kepala kalian yang bakal jadi korbannya.” Peringat Tio.
Dia mulai serius. Walaupun tak ada jawaban dari teman-teman kelasnya tapi mereka menurut, duduk di tempat masing-masing. Atmosfer di sana masih tegang akibat seluruh penghuni kelas masih dilanda panik tak berkesudahan. Ada yang menangis, merengek minta pulang. Wajah mereka pucat pasi, gemetaran karena takut. Begitu pula Bela yang ada disamping Abil. Gadis itu pun sama tak kalah panik.
“Bil...! gue takut.” Lirihnya.
“Ada prime kan.” Ucap Abil tenang. Dia kembali memejamkan matanya. Sedangkan Bela sudah sangat gemetaran. Tiba-tiba saja tangannya masuk, menyusup ke sela-sela jari Abil tanpa sadar.
Sementara itu, Prime sudah turun tangan ke lapangan sekolah. Seluruh anggotanya yang berjumlah ratusana menemui King. Detik itu juga lapangan sekolah tiba-tiba dipenuhi rasa tegang. Kedua geng yang telah menjadi musuh bebuyyutan semenjak lama itu saling berhadapan. Tangan mereka mengepal kuat, siap berperang apapun yang terjadi.
“Apa maksud lo bawa King ke sini? Kita ga pernah cari masalah ke kalian.” Ucap Kenzo, ketua Prime meminta penjelasan. Dia menatap tajam ke arah Nio, sang ketua King. Namun jauh dilubuk hatinya, dia ketangutan setengah mati berhadapan dengan Nio.
Prime pernah tawuran langsung melawan King, tapi berakhir dengan kekalahan telak. Seluruh anggota King menyerang Prime membabi buta, tak kenal ampun. Bahkan tak sedikit dari anggota Prime yang patah tulang setelah tawurang itu.
“Kalian ga buat masalah. Tapi salah satu anak sekolah kalian yang mencari masalah.” Terang Nio dengan senyum miringnya.
“Siapa? Sebutin aja langsung. Bawa tuh, anak. Dan jangan pernah dateng ke sini lagi.” Kenzo sedikit lega. Ternyata kedatangan King bukan untuk mereka. Sepertinya masalah ini akan cepat terselesaikan.
Nio terkekeh melihat respon Kenzo. Bukannya melindungi, dia malah menyerahkan anak sekolahnya dengan mudah. Nio mengambil speaker dari salah satu tangan bawahannya.
“Yang namanya Abil, keluar lo bangsat!” Teriak Nio membentak diakhir kalimatnya. Suaranya terdengar di seluruh seantero sekolah.
Semua murid tercengang. Bahkan Bela yang terkejut langsung me-lepas genggaman tangannya dari Abil. Ada apa dengan pria di sampingnya. Apa masalah yang ia buat sampai King secara langsung mendatangi sekolah demi mencari dirinya.
Seluruh murid di kelas XI E IPA, Bela, Tio dan yang lainnya menatap penuh pertanyaan ke arah Abil. Yang ditatap malah sibuk sendiri dengan hp-nya tanpa menghiraukan keadaan sekitar.
“Bil! Yang dimaksud King bukan lo, kan?” Tanya Bela madih tidak percaya. Pasalanya dari dulu Abil tidak suka mencari masalah. Dia pendiam dan bodo amat dengan situasi sekitar.
Abil melirik Bela sekilas. “Iya gue.” Ucapnya kelewat santai. Dia kembali menatap layar ponselnya lalu tersenyum hangat.
Ya Tuhan! Bela melongo melihat Abil tersenyum seperti itu. Seumur hidup hanya kali ini dia melihat Abil tersenyum sehangat barusan dan penyebabnya adalah hp. Dengan siapa ptia itu chatingan di sana?.
Bagaimana Abil tidak tersenyum kalau Tasya baru saja mengiriminya pap dengan background meja makan yang dipenuhi santapan lezat ala tante Lisa. Bukan. Bukan makanan yang membuat Abil tersenyum, tapi Tasya. Dalam foto yang dikirimnya barusan, gadis itu tengah tersenyum lebar menampilkan deretan gigi ginsulnya. Sungguh sangat lucu dan menawan. Abil senang jika dia bahagia. Sepulang sekolah nanti Abil diundang untuk makan malam bersama di rumahnya. Sebentar! Parah nih. Padahal seluruh sekolah sedang diselimuti rasa cemas nan ketegangan, sang sumber masalah malah enak-enakan chatingan. Kebangetan memang.
“Woy! Pengecut lo. Cepet keluar bangsat.” Teriak Nio sekali lagi. Terik matahari yang menyengat membuat kesabarannya kian menipis. “Gue hitung sampe tiga. Kalau ga keluar, gue bakal hancurin sekolah ini detik itu juga.” Ancamnya.
SMA Asura kembali ricuh. Mereka semua menghujat dan mencaci Abil karena tak kunjung keluar.
“Keluar lo, anjing!”
“Selesain urusan lo.”
“Pengecut!”
“Dari dulu diem, ternyata suka cari masalah.”
“Cepet keluar bangsat!”
Teman kelasnya sendiri menghujani dirinya dengan cemoohan. Seluruh atensi penuh kebencian tertuju padanya. Tak ada yang berbelas kasihan, membuat kelas yang tenang kembali ricuh. Bela yang tak memili masalah pun juga ikut gelisah.
“Bil...! Pergi aja yuk.” Ajak Bela.
“Bagus tuh. Pergi aja sana kalian berdua.”
“Jangan pernah balik lagi.”
“Kick aja sekalian dari sekolah.”
“Dasar pembawa si–”
Bruakk.
Tio menggebrak papan tulis dengan kepalanya. Kedua matanya memerah karena emosi. “BISA DIEM GA?”
Seketika kelas berubah hening. Tak ada yang berani membantah sang ketua kelas.
“Yang pengecut tuh kalian. Udah tau Abil dalam masalah masih aja ditambah koaran ga guna dari kalian.”
Lengang, tak ada yang bersuara. Sedangkan Abil hanya tersenyum dalam diam memperhatikan Tio yang tengah membelanya. Padahal mereka baru berteman.
“Satu...” Nio mulai menghitung
Suasana sekolah semakin mencekam.
“Dua...”
Abil masih diam di tempatnya.
“Gue yang keluar.” Ucap Tio lalu berlari keluar, disusul dengan Roy, Noval dan Andre.
“Ti...–”
“Temen gue ga ada di sekolah. Jadi gue yang mewakilinya.” Jelas Tio. Dia berjalan ke tengah-tengah lapangan bersama tiga temannya.
Nio menatap mereka berempat bergantian, memperhatikan mereka dari atas hingga bawah kemudian tersenyum meremehkan.
“Lo? Mau lawan gue? Mimpi!” Ucap Nio sombong. “Okeyy... Karena bintang utamanya ga mau keluar, maka kita hancurin Asura sekarang.”
“Heh, jangan songong lo! Suel ama gue dulu sini. Kalau menang gue kasih lolipop ntar.” Seloroh Roy dengan muka tengilnya.
Sementara itu, Kenzo dan anggota Prime lainnya hanya mem-perhatikan. Memang tangan mereka mengepal erat, tapi raut wajah mereka tak bisa membohongi perasaan yang sebenarnya. Mereka sangat ketakutan.
“Bacot! King, dengarkan perintah. Basmi hingga tak tersisa!”
Nio dan pasukannya telah maju, siap untuk bertempur memporak-porandakan Asura. Namun sebelum peperangan benar-benar pecah, seseorang keluar dari kelasnya dengan tubuh yang dibalut hoodie.
Prok prok prok.
Suara tepuk tangan orang iutu berhasil memecah keributan. Sekarang, semua atensi tertuju padanya. Dia menyeringai ke arah Nio. Kedua tangannya terselip di dalam saku hoodie. Sama sekali tak ada rasa takut yang tersirat di wajahnya.
“Nganterin nyawa, lo?” Tanya Abil. Tatapan tajamnya tak bisa lepas dari Nio. Dia berdiri di tengah lapangan, menjadi pembatas dari King dan Prime.
Nio menggeram marah melihat Abil yang masih tenang. “Yang bakal mati tuh lo, bangsat.” Umpatnya meluapkan emosi. Harusnya Abil gemetaran sekarang melihat ratusan anak buahnya.
Abil tersenyum devil. “Lo cowo kan? Kita duel di sini. One by one.” Tantangnya.
Tio terkejut mendengar ucapan Abil, apalagi Kenzo. Dia saja tidak berani berhadapan langsung dengan Nio. Abil malah mengajaknya berduel.
“Bil, lo yakin?” Tanya Tio khawatir yang dijawab anggukan oleh Abil.
“Oke, kita duel.” Jawab Nio sembari tersenyum licik. Terbesit rencana kotor dalam benaknya.
Setelah menerima tantangan itu, King dan Prime memilih mundur dari lapangan, memberi ruang pada Abil dan Nio. Duel itu menjadi tontonan umum bagi murid SMA Asura. Dari lantai pertama sampai tiga dipenuhi oleh sesak. Para murid rela berdesakan demi melihat pertarungan Abil dan Nio.
“Sok-sokan tuh anak. Udah pendiem malah ngajak duel Nio.” Bisik salah satu murid yang menonton di lantai atas.
“Ssst. Kita ga tau siapa Abil sebenernya. Bisa jadi diem di sekolah tapi aslinya monster.” Timpal yang lain menilai Abil.
“Peraturannya sederhana. Ga boleh ada yang berhenti sampai salah satu dari kita ga sadarkan diri.” Ucap Nio.
Abil menatapnya datar lalu mengangguk. “Dengan senang hati.”
Nio sudah memasang kuda-kuda. Dia siap bertempur. Sedangkan Abil masih sama. Dia berdiri di tempatnya tanpa memasang kuda-kuda, bahkan kedua tangannya masih terselip di saku hoodie. Terlalu santai memang. Matanya menatap tajam ke arah Nio. Tatapan yang sangat mengintimadasi hingga membuat siapapun yang melihatnya akan bergidik ngeri.
“Lo bakal kalah kali ini.” Ujar Nio lantas maju menyerang Abil.
Ia melayangkan serangannya bertubi-tubi, mengirim pukulan dan tendangan tiada henti, tapi Abil bisa menghindari semuanya. Dengan santai ia berpindah tempat, bergerak kebelakang menghindari serangan Nio membuat pria itu mengejarnya kemanapun dirinya melangkah.
“Lo cuma bisa menghindar, hah? Atau bisa bales serangan gue karena ketakutan.” Ledek Nio berniat mengompori Abil.
Abil hanya mengedikkan bahu, acuh. Dia lebih fokus pada serangan Nio. Sedangkan di belakang sana, Kenzo tersenyum tipis melihat Abil yang tak memberikan perlawanan. Sebentar lagi lo bakal hilang dari sekolah ini. Batinnya.
Nio yang mulai kelelahan karena tak ada satupun serangannya yang mendarat tepat sasaran menggeram marah. “Kelamaan bangsat! Sini serang gu–”
Bugh.
Ucapan Nio terpotong. Tangan Abil yang sedari tadi bertengger di saku hoodienya kini keluar, mengirim pukulan yang tepat mengenai perut lawannya membbuat Nio mundur beberapa langkah sambil meringis kesakitan. Mulutnya memuntahkan darah.
“Bacot!” Umpat Abil kesal mendengar ocehan tak berguna Nio.
Nio mengusap sudut bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah. Satu pukulan Abil barusan sangatlah kuat. Mungkin beratnya mencapai hingga 3 atau 4 kg.
Tio yang melihat serangan Abil mengenai lawan memekik ke-girangan. “Yes!” Ucapnya sembari menarik kepalan tangannya ke dalan. Begitu pula Roy, Andre dan Noval. Mereka bertos ria melihat keadaan Abil yang kini lebih unggul.
“Boleh ju–”
Bugh bugh.
Lagi-lagi Nio terkena pukulan di bagian perut dan kepala. Tubuhnya yang belum siap membuat dirinya oleng ke belakang. Anggota King yang melihat ketuanya telah melemah mulai cemas. Sedangkan Kenzo, pri itu terkejut bukan main melihat Abil yang bisa melawan Nio dengan mudah. Padahal sewaktu tawuran beberap bulan lalu dia harus bertaruh nyawa melawan ketua King itu. Tak sampai di sana, Abil berlari menghampiri Nio yang masih sempoyongan. Dia memegang erat kepala Nio lalu membanting-nya ke bawah, membuat tubuh pria itu melayang kemudia tergeletak di tanah. Kepalanya membentur keras ke bumi. Darah segar keluar sekaligus dari mulut dan hidungnya.
Abil tersenyum devil kala mendengar jeritan Nio. Kesadaran lawannya telah melemah. Oleh karena itu Abil menghentikan serangannya. Dia berdiri, mengedarkan pandangan, menatap tajam ke seluruh anggota King yang ada di sana. Semuanya tertunduk, tak ada yang melawan.
Setelah memastikan tak ada lagi perlawanan dari Nio, dia pun melangkah menjauh. Detik itu juga suara sorakan para murid terdengar begitu nyaring di seantero sekolah. Tak luput juga para teriakan kaum hawa. Abil baru sadar kalau duelnya barusan ditonton oleh satu sekolah.
“Abil kerenn!!” Teriak para kaum hawa kagum melihat Abil. Bahkan perempuan yang sebelumnya tidak pernah memeperhatikan Abil, kini mulai tertarik hanya dengan melihatnya bertarung.
“Hebat!”
Terdengar suitan disela-sela sorakan.
“Abil! Abil! Abil!”
Sekarang namanya disebut-sebut satu sekolah. Bukannya senang, dia malah geram. Tulang rahangnya mengerat. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian.
Di ujung lapangan sana terdapat Tio, Roy, Noval, Andre dan Bela. Entah sejak kapan gadis itu berada di sana. Mereka berllima tengah tersenyum, melambaikan tangan ke arah Abil. Jarak 3 meter sebelum dirinya tiba lalu berkumpul bersama mereka. Tiba-tiba raut wajah Bela, Tio dan yang lainnya berubah panik. Abil mengernyit heran.
“Abil, awas di belakang!” Teriak Bela memperingati.
Sadar ada suara derap langkah kaki dari belakang, dengan cepat Abil berbalik. Namun sudah terlambat.
Jleb.
Perut bagian sampingnya tertusuk. Detik itu juga terdengar suara pekikan dimana-mana. Darah segar merembes keluar akibat sebuah belati yang bersemayam di sana. Begitu pula mulutnya yang memuntahkan darah.
“Abil...” Lirih Bela parau. Air matanya meleleh saat melihat Abil bercucuran darah.
Nio yang merupakan dalang dibalik itu terkekeh puas lalu berubah menjadi tawa jahat. “Ini ganjaran karena lo udah ngehancurin rencana gue.” Ucapnya.
Tio marah besar. Dia tidak terima karena Nio curang dan meng-gunakan sajam. “Pengecut lo, Nio!” Umpatnya melepas amarah.
“Kenapa? Dia yang cari masalah duluan.” Bantah Nio. Dia kembali menatap Abil. “Makanya jangan dok jadi orang. Gara-gara nyelametin cewek itu, lo jadi berakhir gini. Asal lo tau, gue udah puas-puas megang dia.” Ucapnya berniat membuat Abil semakin terpuruk.
Tanpa Nio sadari, Abil tengah menyeringai menatap lukanya yang sama sekali tak terasa sakit baginya. Dia malah suka melihat banyaknya darah yang keluar dari lukanya. Sudah lama sekali saat terakhir kali dirinya mendapat luka tusuk seperti ini. Jadi membuatnya rindu akan rasanya seperti apa.
“Selamat tinggal untuk– Akhh...” Nio menjerit kesakitan saat perutnya tertusuk oleh sesuatu.
Dalam satu gerakan Abil mencabut belati di perutnya lalu menusuk perut Nio dengan cepat. Sekarang gantian Nio yang mengerang kesakitan sembari memegang perutnya yang mengeluarkan banyak darah. Abil menarik sebelah sudut bibirnya.
Abil menatap bengis kepada Nio. Kali ini, dia tidak akan memberi ampunan pada pria di depannya. Dia sangat marah mengingat ucapan Nio barusan. Bodo amat mau dibilang kejam atau tidak. Yang pernting amarahnya terlampiaskan. Untuk yang kedua kalinya, Abil mencabut belati di perut Nio lalu menusuk dada bagian kanannya. Seketika terdengar suara jeritan yang sangat memilukan, begitu menyayat hati bagi pendengarnya. Setelah itu tubuh Nio ambruk, terkapar lemas di tanah.
“Jangan pernah deketin cewe gue lagi!” Peringat Abil sebelum Nio benar-benar tak sadarkan diri.
Abil beralih menatap ke kerumunan anggota King. “Bawa pergi ketua kalian. Dan ingat! Jangan pernah datang ke sini lagi.” Terdengar suara grusah-grusuh sesaat. Detik kemudian, tiga anggota King menghampiri tubuh bosnya yang sudah lemas dengan perasaan was-was, kemudian membawanya pergi. Sedangkan yang lain sudah lebih dulu minggat dari lapangan Asura dengan membawa rasa trauma dari sosok Abil yang begitu kejam. Deru motor memenuhi lingkup sekolah.
Satu sekolah menatap Abil tak percaya, begitu pula Kenzo dan danggota Prime lainnya. Mereka tidak meyangka bahwa seseorang yang selama ini pendiam, tak banyak bicara ternyata menyimpan sosok yang begitu begitu menakutkan. Setelah kejadian ini bisa dipastikan, tidak akan ada lagi siswa yang mengusik ketenangan Abil dan mengacuhkan kehadirannya.
***
About He’s Heart
Setelah berduel dengan Nio, dia harus menutupi luka tusuknya agar darah tidak lagi merembes keluar lebih banyak. Oleh karena itu, di sinilah ia berada sekarang, di ruangan serba putih dengan bau obat-obatan yang sangat kental. Abil sudah menolak saat Bela menyeret dirinya ke ruang UKS barusan, tapi gadis itu mengancam akan memberi tau kedua orang tuanya jika dirinya membuat masalah lagi. Bukannya takut, dia hanya malas jika harus berurusan dengan Jonathan lagi.
“Buka baju lo!” Titah Bela sedikit memaksa.
Mendengar itu, Abil yang tengah duduk di brankar memelotot. Dia tidak akan mengekspos tubuhnya ke siapapun kecuali pada seseorang yang dia sayangi.
Bela yang sadar akan pelototan Abil juga ikut balas memelotot. “Apa? Ga mau? Gue siram alkohol tuh perut baru tau rasa.” Ucapnya sembari menyodorkan alkohol di tangannya.
Abil menggeleng pelan lalu merebut perban yang ada ditangan kiri Bela. Dari dulu, dia tidak pernah mau mengobati luka di tubuhnya. Separah apapun itu.
“Keluar!” Usir Abil dengan kasar.
“Ngga! Obatin dulu luka lo.” Tolak Bela tak menghiraukan tatapan tajam Abil yang sekarang tertuju padanya.
“Keluar!” Usir Abil lagi. Kali ini volume suaranya sedikit meninggi, namun tidak sampai ketahap membentak.
Akhirnya Bela menurut. Dia melempar asal alkohol di tangannya, melangkah keluar lantas membanting pintu ruangan secara kasar. Abil menghela nafas berat. Dia hanya tidak mau tubuhnya terlihat oleh sseseorang. Bahkan keluarganya sekalipun. Setelah yakin tak ada siapapun kecuali dirinya sendiri di sana. Abil melepas hoodie dan seragamnya yang penuh bercak darah, memamerkan dada bidang dan otot perutnya yang sixpack. Apa yang akan dia lakukan dengan luka itu? Haruskah diberi alkohhol atau langsung diperban saja? Abil menatap secara bergantian pada perban di lengannya, alkohol yang dilempar Bela ke lantai lalu luka tusuk di perutnya.
Abil kembali menghela nafas. Dia bingung sendiri dibuatnya. “Tinggal lilit doang kan, ya?” Batinnya asembari menatap perban.
Detik selanjutnya Abil mualli melilit, membalut lukanya dengan perban. Dia harus mengulangi itu berkali-kali hingga perban yang membungkus perutnya menebal berlapis-lapis. Noda merah tercetak cukup besar di sana akibat menyerap darah Abil yang belum kering. Dia kemudian mengambil plester yang ada di nakas lalu menempelkannya di perban agar tidak lepas. Setelah itu dia kembali memasang seragamnya, menyandang hoodie di tangan lalu keluar dari UKS. Abil menatap langit yang mulai petang. Dia harus cepat pergi dari sekolah karena ada seseorang yang sedang menunggu kehadirannya di luar sana.
“Pinterr! Kita bela-belain nunggu lo keluar dari UKS malah mau main pergi aja.” Ucap seseorang dari belakang saat Abil hendak mengeluarkan motornya dari parkiran.
Sontak, dia langsung berbalik melihat ke sumber suara. Tatapan matanya langsung datar saat mengetahui bahwa suara barusan berasal dari Roy. Bela, Tio dan yang lain juga datang bersamanya.
“Mau kemana lo?” Tanya Bela galak.
“Lo ga perlu tau.” Jawab Abil ketus sembari menaiki motornya. Dia tak mau berlama-lama di sana. Sebentar lagi langit sudah gelap. Adzan maghrib akan berkumandang. Dia harus cepat ke rumah Tasya sebelum itu terjadi.
Tio yang khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Abil akhirnya bersuara. “Bentar lagi malem Bil. Dan luka lo belum kering. Kalau trjadi apa-apa gimana? Mending lo pulang dulu sana ke rumah.” Ucapnya memberi saran.
Abil diam. Dia terlihat berfikir sejenak lalu menggeleng pelan. “Gue harus ke sana.”
“Sepenting itukah sampe lo ga perduli sama diri lo sendiri?” Kali ini Roy yang bersuara.
Andre yang sedari tadi menyimak ikue menimpali. “Bener kata Tio tadi. Mending lo pulang dulu, istirahat.”
Abil tetap menggeleng pelan.
Bela yang sudah sangat penasaran sejak tadi kembali bertanya. “Emang lo mau ke mana, sih?”
“Rumah temen.”
“Temen?” Bela terkekeh. “Kalau cuma temen, lo ga akan sampe berbuat kaya gini.”
Memang benar Tasya sangat penting baginya. Dia sangat berharga. Tapi Abil selalu menutupinya di depan gadis itu, takut dia risih padanya.
“Siapa dia?” Tanya Bela mendesak.
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Abil geram. Berada terus di sini hanya akan menyita waktunya lebih lama. “Udah gue bilang, lo ga perlu tau!” Jawab Abil setengah membentak. Peduli apa Bela yang berstatus sepupunya.
Bela tersentak, terkejut bukan main. Baru kali ini Abil membentak-nya. Namanya juga perempuan. Hatinya terlalu lembut. Lihat! Sekarang matanya muai berkaca-kaca.
“Oke-oke, kita ga akan ngelarang lagi. Sorry udah ngatur-ngatur. Harusnya gue sadar kalau kita baru kenal.” Ucap Roy menengahi. Dia tak tega melihat Bela yang tengah menahan air matanya agar tidak meleleh.
“Yang penting lo harus tau. Sekali jadi teman, maka selamanya akan menjadi teman. Kita semua peduli sama lo.”
Abil terdiam. Dia berusaha mencerna ucapan Roy dengan baik. Dia memperhatikan satu-persatu orang di depannya yang juga sedang menatap-nya lamat. Seolah sangat mengkhawatirkannya.
“Pake jaket gue! Lo ga mungkin pake hoodie yang banyak darah itu.” Roy menawarkan lantas menyodorkan jaket denimnya.
Abil menerima jaket itu, menatapnya sejenak lalu memakainya dengan cepat. Dia terllihat sangat keren sekarang. Tubunya yang dibalut jaket berwarna hitam membuatnya memancarkan aura seorang penguasa.
Dia menatap Bela sekilas yang tengah mengusap kedua matanya yang berair. Dia mengulurkan tangan, mengacak rambut Bela lembut. “Maaf.” Ucapnya lalu pergi dari sana, meninggalkan Bela, Tio dan temannya yang lain di parkiran sekolah.
***
Abil melepas helm full face yang melindungi kepalanya, meletakkan benda itu di tangki motor. Ia mengibaskan rambutnya yang basah akibat keringat lalu memarkir motornya di depan pagar. Pagar itu sudah terbuka lebar sejak dirinya baru tiba tadi. Mungkin sang pemilik rumah sengaja membukanya lebar-lebar karena tau kalau dirinya akan datang.
Pria bermata tajam itu melangkah masuk ke dalam pekarangan rumah, mengikuti jalan setapak bebatuan, melewati taman kecil yang terletak di tengah-tengah pekarangan. Saat hendak memncet bel yang ada di samping pintu, tiba-tiba pintu putih di depannya terbuka, kejadian yang sama persis sewaktu dirinya mampir pertama kali ke rumah ini untuk mengambil jaket beberapa hari lalu. Namun kali ini bukan tante Lisa yang menyembul keluar dari balik pintu, akan tetapi putri bungsunya, Tasya. Gadis itu menyengir menatap Abil yang baru datang.
“Udah sampe kak?” Tanya Tasya sedikit kikuk. Dari sekian banyak-nya pilihan topik pembicaraan, itulah pertanyaan yang keluar dari mulut Tasya
“Hmm.” Gumam Abil mengiyakan. Matanya menatap lamat manik mata teduh Tasya.
“Eumm... Mama udah nunggu di dalem. Ayo masuk.” Setelah mengucakan itu, Tasya masuk ke dalam rumah mendahului Abil memimpin jalan.
“MAMA! Kak Abil udah dateng nih.” Teriak Tasya memberi tau seisi rumah. Gadis itu berjalan menuju dapur, menghampiri ibunya yang sedang menata piring dan lauk untuk dibawa ke meja makan.
Sadar akan kehadiran Abil, Lisa pun menghentikan aktivitasnya dan menghampiri pria itu. “Loh, udah dateng?”
Abil tersenyum. “Iya tante.” Jawabnya sembari menyalami Lisa.
“Gimana kabarnya sayang?”
“Alhamdulillah baik, tante.”
“Ga ketemu dua hari udah makin ganteng aja yah.” Puji Lisa mem-buat Abil tersenyum tipis. “Liat tuh, Tasya! Dari kemaren kerjaannya murung mulu pengen ketemu kamu.”
Tasya yang sedang berada di meja makan karena menata piring pun bersuara saat mendengar ucapan ibunya. “NGGA! Mama ngarang.” Sanggahnya setengah berteriak. Mukanya tertekuk, kedua pipinya menggelembung karena kesal.
Abil yang melihat itu tanpa sadar terkekeh pelan. Dia tak tahan melihat ekspresi Tasya yang kesal. Ingin rasanya dia menggigit pipi gadis itu sekarang. Sedangkan Tasya dan Lisa, mereka berdua terperangah melihat sosok Abil. Kekehannya saja membuat candu, apalagi tawanya.
“Ya sudah. Ayo duduk dulu Abil. Bentar lagi papa Tasya sama Krisna nyusul.” Ucap Lisa lantas mengapit lengan kiri Abil, menggiringnnya ke meja makan. Abil harus mengunci mulutnya rapat-rapat agar tidak meringis saat tangan Lisa secara tak sengaja menyentuh lukanya. Apalagi saat dirinya hendak duduk. Seolah ada sesuatu yang sedang menekan lukanya dengan paksa. Padahal sewaktu tertusuk tadi rasanya tidak sesakit ini. Ia menyandarkan kepalanya di punggung kursi.
Tasya juga menyusul duduk di sampingnya. Mengerti jika Abil tidak banyak bicara, jadi gadis itu selalu mencari topik pembicaraan agar suasana di antara mereka tidak canggung. Sementara Lisa masih merapikan alat-alat dapur yang tadi ia pakai untuk memasak. Di depan mereka sekarang terdapat begitu banyak makanan lezat yang sangat menggugah selera dan sangat memanjakan lidah. Kari ayam, mi soto, telur dengan bumbu balado, ikan lele lengkap dengan sambal terasi dan daun kemangi.
“Gimana sekolahnya tadi kak?” Tanya Tasya penasaran. Dia ingin tau seperti apa keadaan Asura.
“Buruk.” Jawab Abil singkat. Matanya terpejam.
“Kenapa emangnya?”
“Ngga papa.”
“Kakak sariawan?”
“Ngga.”
Astaga! Tasya mengatupkan gigi gerahamnya erat, greget meng-hadapi sifat Abil yang terlalu cuek padanya. Bayangkan saja! Semua pertanyaan Tasya barusan hanya dijawab ngga melulu oleh Abil. Dia harus ekstra sabar menghadapi pria kutub utara di sampingnya itu.
“Eumm... Kakak udah punya pacar belum?”
Ups! Tasya keceplosan. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan lalu menunduk dalam. Padahal ia ingin memendam pertanyaan itu sedalam mungkin. Habis sudah... jika Abil sampmai menjawab iya, apakah hatinya akan kuat untuk menerimanya?.
Abil membuka mata, melrik Tasya yang tengah menunduk. Rambut panjang gadis itu terurai ke bawah, menutupi wajah sang pemilik membuat Abil tak bisa melihat ekpresi Tasya yang sekarang. Tapi tak apa lah. Berani juga dia bertanya seperti itu. Abil menyeringai, kemudia mendekatkan kepalanya ke telinga Tasya.
“Ngga pernah. Mau jadi yang pertama?” Bisik Abil lalu menjauhkan kepalanya, kembali ke posisi semula. Dia mengulum senyum melihat Tasya yang menegang.
Dan benar saja, gadis itu seperti patung sekarang. Kedua pipiny amemerah akibat rasa hangat yang menjalar dari leher hingga ke pucuk kepalanya. Ditambah jantungnya yang berdetak lebih cepat dua kali lipat. Tapi pada akhirnya dia juga mengulum senyum, senang mendengar ucapan Abil barusan.
“Loh, Tasya! Kenapa nunduk? Kamu sakit perut?” Lisa yang baru saja bergabung di meja makan langsung bertanya kala melihat Tasya yang tertunduk.
“Ngg– ngga papa, ma.” Jawab Tasya terbata-bata sembari meng-geleng pelan. Dia masih enggan untuk mengangkat kepalanya.
Sedangkan Abil tersenyum puas. Ucapannya berhasil mebuat Tasya salah tingkah. Lisa berpindah menatap Abil, berniat mencari penjelasan. Tapi pria itu terlihat biasa saja. Lisa lantas mendengus pasrah melihat Abil dan Tasya.
“Papa sama Krisna masih di jalan. Bentar lagi sampe. Kita tunggu beberapa menit lagi. Gapapa kan, Abil?” Tanya Lisa mencoba meng-hidupkan suasana.
“Iya tante.” Jawab Abil sembari tersenyum. “Mereka kemana emang tan, kok sampe pulang malem.”
“Ya kerja atuh. Papa Tasya itu punya perusahaan di kota. Kalau Krisna, dia cuma ngikut. Buat belajar ngurus perusahaan katanya. Karena dia yang akan jadi penerus papa Tasya nanti.” Jelas Lisa panjang lebar.
Abil cuma manggut-masnggut mendengarkan. Sebenarnya dia sudah mengetahui tentang seluruh bg keluarga Tasya. Om David adalah pemilik perusahaan terbesar nomer dua se Jakarta setelah Shadow company, perusahaan miliknya sendiri.
“Pantes rumahnya kaya istana.” Ujar Abil spontan, pura-pura takjub.
Lisa tertawa mendengar ucapan Abil. “Ngga juga. Pasti ada yang lebih besar dari ini. Iya kan, Abil.”
Abil tersenyum. “Benar tante.”
Tasya yang tengah memperhatikan pembicaraan Abil dan Lisa menggerutu tidak terima. “Giliran sama mama ngomongnya panjang kaya rel kereta. Kalau sama gue singkat kaya orang sariawan. Dasar es.” Cebik Tasya kesal dengan suara lirih hampi tak terdengar.
Abil tersenyum simpul saat telinganya samar-samar mendengar ucapan Tasya. “Kenapa?” Tanyanya seraya mendekatkan telinga ke wajah Tasya.
Sontak tasya langsung menahan nafas. Ia meneguk salivanya susah payah sembari menggigit bibir bawahnya. Jarak Abil terlalu dekat, bahkan bau wangi shampo dari rambut pria itu dapat tercium oleh hidungnya. Dia ingin berbicara menjawab pertanyaan Abil, tapi tiba-tiba saja hidungnya terasa kelu. Alhasil Tasya cuma menggelengkan kepala, membuat sebagian helaian rambutnya menerpa permukaan kulit wajah Abil.
“Ekhem!” Deham Lisa. Apakah kedua anak itu telah lupa kalau ada orang tua di depan mereka. “Masih ada mama di sini.” Ucapnya.
Abil langsung menarik tubuhnya kembali saat dirinya sadar kalau ada tante Lisa di seberang sana. “Maaf tante.”
Lisa mengangguk memaklumi.
“Wihh... Udah rame nih.” Ucap seseorang dari belakang ruang makan.
Seketika, semua atensi beralih tertuju padanya. Ternyata itu adalah David. Dia datang sembari membawa koper kecil hitam di tangannya. Disusul oleh Krisna yang mengekor dari belakang.
David berjalan mendekat, menarik salah satu kursi di samping Lisa, ikut bergabung ke meja makan. “Udah lama nunggunya?” Tanya David basa-basi.
“Pake nanya lagi. Udah seabad nih.” Seloroh Lisa menjawab pertanyaan suaminya.
David menyengir seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Krisna yang melihat Abil telah bergabung di meja makan lantas memukul punggung pria itu kuat, berniat ingin menyapa. “Gimana ka–”
“Akhh!!” Abil mengerang kesakitan karena pukulan Krisna yang begitu hingga berefek pada luka di perutnya. Matanya terpejam, gigi gerahamnya mengatup erat demi menahan sakit. Kedua tangannya pun memegang perutnya yang terasa nyeri.
Tasya, Lisa dan David spontan menatap panik ke arah Abil.
“Kenapa kak?” Tasya lebih dulu bertanya membuat yang lain memilih menunggu jawaban Abil.
Abil menggeleng. Dia tidak bisa bicara karena karena gigi gerahamnya tengah mengatup rapat untuk menetralisir rasa sakit.
“Kamu sakit Abil?” Tanya Lisa tak kalah khawatir.
Sama, mulut Abil tertutup rapat. Namun sebisa mungkin Abil berusaha menjawab pertanyaan Lisa. Tulang rahangnya mengeras. Dia benci terihat lemah seperti ini.
“Ng– ga tan.” Jawabnya diselingi ringisan. Rasanya dia ingin rebahan saja sekarang.
“Kakak berdarah!” Pekik Tasya panik. Raut wajahnya sangat khawatir saat matanya menagnkap cairan merah yang terserap dan merambat di celana Abil.
Ck! Kenapa harus ke celana sih.
Lisa, David yang mendengar ucapan Tasya langsung berdiri dari duduknya, menghampiri Abil dengan tergesa-gesa. Sedangkan Krisna, pria itu merasa bersalah telah memukul punggung Abil.
“Bil, sorry. Gue ga tau.” Ucap Krisna meminta maaf.
Mata Abil masih terpejam. Dia menganggukan kepalanya yang tersandar di punggung kursi.
“Kakak apaan sih? Dateng-dateng main pukul. Ga lucu tau ga.” Tasya yang kelewat emosi dan tidak terima Abil terluka memarahi Krisna habis-habisan. Tatapannya yang semula teduh kini berubah tajam.
“Kakak ga tau Tasya.”
“Makanya kalau ga tau jangan main mukul. Dasar brengsek!” Tasya mendorong tubuh Krisna kasar.
“Ehh... Udah-udah.” David mencoba melerai kaka beradik itu. “Tasya bawa Abil ke kamar kamu. Obati dia.” Titahnya kemudian
Tasya menurut. Dia memapah Abil menuju kamarnya yang ada di lantai atas. “Awas aja kalau kak Abil sampai kenapa-napa. Tasya akan benci kakak seumur hidup.” Ancamnya sebelum berlalu pergi.
Abil ingin menegur Tasya saat menguapkan itu. Tapi luka di perutnya terlalu sakit. Dia hanya bisa pasrah saat Tasya memapahnya. Setiba di kamar, Tasya langsung mendudukkan tubuh Abil di kasur. Pria itu meringis pelan saat perutnya tertekuk. Matanya lamat-lamat memperhatikan Tasya yang tengah mengambil sesuatu di laci meja belajarnya lalu kembali menghampiri Abil sembari menenteng kotak P3K.
“Buka jaketnya!” Perintah Tasya dengan kasar.
Abil mendengus. Dia melepas jaket di tubuhnya membuat Tasya menganga melihat seragam Abil yang penuh dengan darah.
“Seragamnya juga.” Ucapnya lagi berusaha terlihat santai, walaupun jantungnya sudah berdebar tak karuan.
“Abil tak langsung menurut. Dia menatap manik mata Tasya tajam.
“Kalau ga dilepas, gimana gue ngobatinnya?” Suara gadis itu mulai meninggi. Seperti sedang memarahi anak kecil yang terluka tapi takut diobati.
Lagi, Abil mendengus lantas melepas seragam sekolahnya, memperlihatkan dada bidang dan otot perutnya yang sixpack. Tasya meneguk ludahnya susah payah. Dia adalah gadis normal. Siapa yang tidak akan terepsona melihat pahatan tubuh Abil yang sempurna.
“Gu– gue lepas perbannya dulu ya kak.” Ucap Tasya meminta ijin. Tiba-tiba saja ia menjadi gagap mendadak.
“Hmm.” Gumam Abil mengiyakan. Dia memejamkan mata saat tangan Tasya menyentuh perban di perutnya. Tak bisa dipungkiri, jantungnya berdetak sangat cepat sekarang.
Setelah mendapat izin dari Abil, dengan telaten Tasya langsung melepas perban di perutnya. Selama melakukan itu, dia menggigit bibir bawahnya karena gugup, takut tangannya tak sengaja mengenai luka Abil. Jantungnya juga berdetak tak kalah cepat.
Abil tersenyum dalam diam melihat wajah Tasya yang sangat serius melepas perbannya. Hingga ke lapisan terakhir, Tasya berhenti sejenak, menyiapkan diri sebelum embuka keseluruhan perban dan meihat luka Abil. Jika darahnya saja banyak, pasti lukanya sangat besar. Dia kira luka dibalik perban itu hanya luka gires karena mencium aspal, ternyata dugaannya salah besar. Refleks kedua tangan Tasya menutup mulutnya yang ternganga karena terkejut kala perban yang membalut luka Abil telah sempurna terluka. Itu bukan luka biasa, tapi luka menganga bekas ditusuk sesuatu.
Entah mengapa hati Tasya terasa sakit melihat kondisi Abil yang terluka. Dia menatap pria itu sekilas lalu membuka kotak P3K yang tadi diambilnya. Di dalam sana ada kapas, perban, plester, alkohol dan alat-alat medis pertolongan pertama lainnya. Tasya mengambil kapas, kemudian membersihkan darah yang ada di sekitar luka Abil. Sesekali dia meniup luka pria itu agar terasa nyaman. Setelah bersih, dia kemudian mengambil alkohol, menuangkan cairan dingin itu ke kapas bersih dan menekan luka Abil dengannya. Abil meringis pelan saat rasa perih menyengat begitu mendominasi. Tulang rahangnya mengeras, matanya terpejam menikmati rasa sakit.
Mulanya, suasana di antara mereka hening, tak ada topik pem-bicaraan, hanya ada desiran angin yang sesekali masuk lewat jendela kamar. Tapi ada yang berhasil mengusik ketenangannya. Sebuah cairan bening menetes satu persatu tepat di perut Abil. Dia mengernyit lalu membuka mata perlahan. Waktu itu juga dia sangat terkejut mendapati Tasya yang tengah terisak.
“Hey... kenapa?” Tanya Abil lembut sembari menyelipkan rambut Tasya yang terurai bebas ke balik telinga gadis itu.
“Ka–kak yang kena–pa?” Gadis itu balik bertanya. Suaranya patah-patah karena terisak. “Kenapa lukanya sampe parah kaya gini? Untung ga kena bagian vital. Kalo kena gimana coba?” Tangis Tasya pecah. Kedua tangannya sibuk mengusap matanya yang basah, melupakan Abil yang butuh diobati sejenak.
“Heh. Lagian ga ada yang peduli.” Ucap Abil ketus.
“Siapa yang bilang? Kalaupun satu dunia ga peduli sama kakak, tapi gue selalu peduli dan merhatiin kakak.” Matanya yang sudah sembap kini menatap Abil. Tatapan yang sangat sulit diartikan.
Abil membalas tatapan Tasya lamat, mencari kebohongan di dalam mata gadis itu. Tapi nihil, bukan kebohongan yang ia temukan malah keseriusan yang teramat dalam.
“Bisa ngga jaga diri baik-baik? Gue sakit liat kakak kaya gini. Gue–” Tasya tampak berfikir. Dia masih ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya. “Gue sayang sama kakak.” Ungkapnya kemudian lantas menunduk dalam. Bahunya terlihat naik turun karena terisak.
Abil mematung mendengarprnyataan Tasya. Ternyata gadis itu juga mencintainya. Tanpa ditanya pun gadis itu telah menjawab pertanyaan Abil, mengungkapkan rasa sayangnya secara terang-terangan. Tanpa ragu lagi Abil mendekap tubuh Tasya erat, mencoba menyalurkan kehangatan dari tubuhnya. Pelukan itu bukan hanya untuk menenangkan Tasya, tapi juga untuk dirinya yang ingin mengungkapkan bahwa dirinya juga sangat menyayangi Tasya. Tidak masalah kan, Tuhan. Kalau sekarang Abil mengklaim Tasya sebagai miliknya?.
“Maaf udah buat khawatir.” Ucap Abil lembut sembari mengelus kepala Tasya. Bodo amat degan lukanya yang terasa sakit. Dia sangat nyaman berada di posisi ini. Tasya pun sama. Hatinya menghangat saat Abil memeluknya erat. Ada desiran aneh yang membuatnya nyaman. Dia menenggelamkan kepalanya di dada bidang Abil. Seutas senyuman manis tercetak di wajahnya.
Tanpa mereka sadari, seseorang tengah tersenyum memperhatikan mereka dari celah pintu yang sedikit terbuka.
***
Me Too
Seusai diobati Tasya, niatnya Abil mau langsung pulang ke apartemennya. Ingin beristirahat lebih leluasa di sana, namun saat kakinya melangkah keluar dari kamar Tasya, dia malah berpapasan dengan Lisa yang baru saja keluar dari kamarnya. Perempuan itu mengernyit melihat Abil yang telah rapi.
“Loh, mau kemana?” Tanyanya menyelidik.
“Pulang tan.”
“Ngga-ngga. Kata Tasya luka kamu parah, kenapa mau pulang? Istirahat aja dulu di sini, yah.” Ucap Lisa lantas menghampiri Abil, mengapit lengan pria itu dan membawanya kembali masuk ke dalam kamar Tasya.
“Tasya lagi buat bubur di dapur. Bentar lagi dia ke sini. Ya udah, tante ke bawah dulu mau ngumpul sama keluarga.” Jelasnya sembari mengusap pelan rambut Abil kemudian berlalu pergi ke ruang keluarga.
Abil mengangguk. Untuk sekarang dia hanya bisa menurut. Toh lukanya memang benar-benar terasa sangat sakit. Ia memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang lalu membaringkan tubuhnya di kasur Tasya. Lamat-lamay ingatannya kembali pada Tasya yang tengah mengobati lukanya beberapa menit lalu. Wajh gadis itu, suara patah-patahnya yang terisak, apalagi saat gadis itu mengungkapkan perasaannya. Sudut bibir Abil sedikit terangkat kala mengingat semua itu. Dia menyentuh lukanya pelan yang telah dibalut perban. Detik kemudian, kedua matanya terbuka saat seseorang membuka pintu kamar. Terlihat Tasya yang membawa semangkok bubur dan segelas coklat panas di atas nampan. Tasya meletakkannya ke atas nakas lalu mendekat ke tubuh Abil.
“Bangun dulu kak. Gue bawain bubur nih.” Ucap Tasya sembari menepuk-nepuk pundak Abil.
Abil pun mendudukkan tubuhnya dengan susah payah dibantu Tasya.
“Mau gue suapin ngga?” Tanya Tasya menawarkan diri.
Abil menoleh, menatap tajam mata gadis di depannya membuat gadis itu merasa was-was.
Karena tak kunjuung mendapat jawaban dari Abil, akhirnya Tasya memilih untuk pergi. “Ya udah, nanti kalau selesai langsung panggil gue. Gue ke bawah dulu.”
Tasya beranjak dari kasur hendak melangkah pergi, namun ia urungkan saat Abil tiba-tiba menggenggam erat tangannya.
“Suapin!” Pinta Abil membuat Tasya menyunggingkan senyum simpul kemudia mengambil semangkok bubur di nampan, membawanya e hadapan Abil.
Pria itu tersenyum samar memperhatikan Tasya yang tengah meniup sesendok bubur di tangannya. Rambut Tasya terjun ke bawah menutupi sebagian wajahnya. Tanpa sadar tangan Abil terulur ke depan, menyelipkan rambut Tasya yang lolos dari tempatnya kebalik telinga gadis itu. Refleks, Tasya mendongak membuat tatapan mereka bertemu sejenak. Mereka berua saling tatap dalam waktu yang lama, menikmati desiran aneh yang terasa hangat di masing-masing hati.
“Cantik!” Ujar Abil lirih. Tangannya masih setia bertengger di rambut Tasya.
Sontak, tubuh gadis itu tersentak, mematung mendengar udcapan Abil barusan. Kedua pipinya terasa hangat. Pasyi memerah. Ia menunduk dalam demi menyembunyikannya. Sedangkan Abil, pria itu tertawa puas melihat Tasya yang merona. Tangannya beralih mengacak rambut Tasya gemas.
“Jadi ngga nih, nyyuapinnya?” Tanyanya diselingi sisa tawa.
“Ja– jadi.” Jawab Tasya terbata-bata sembari menyodorkan sesuap bubur ke mulut Abil.
Dengan senang hati Abil menerima suapan Tasya dengan lahap. Rasa sedap seketika mendominasi di mulutnya, lezat. Tasya kembali menyodorkan sesendok bubur. Abil menerimanya dengan cepat. Tasya senang melihat Abil yang lahap memakan bubur buatannya. Setelah kandas tak tersisa, barulah tasya mengambil segelas coklat panas lalu menyerahkannya ke Abil.
“Pelan-pelan kak. Masih panas.” Peringat Tasya.
Abil yang ingin meminum coklat itu pun menghentikan niatnya. Ia mengembalikan gelas itu ke tangan Tasya. Tasya mengernyit. Mengapa Abil mengembalikannya? Apakah dia tidak suka coklat?.
“Tiupin!” Titah Abil kala melihat kerutan di dahi Tasya.
Ucapan Abil itu berhasil membuat Tasya menganga. Bukankah pria di depannya ini sangat dingin, benci terlihat lemah di depan orang lain. Kenapa sikapnya sekarang tiba-tiba manja.
“Dasar sok cool. Padahal aslinya kaya bayi.” Tasya mencibir dengan lirih.
Untung saja Abil tidak mmendengarnya. Jika tidak, uda habis tuh Tasya di tangan Abil malam ini. Meskipun begitu, Tasya tetap meniup coklat panas milik Abil hingga hangat.
“Nih, udah anget.” Tasya mengembalikan coklat yang sudah hangat kepada Abil.
Pria itu langsung meminumnya dalam sekali tenggak, bersih tak tersisa, lalu menyerahkan gelas kosong itu kepada Tasya. Tasya geleng-geleng kepala dibuatnya. Dia kemudian beranjak dari kasur, hendak pergi mencuci mangkok dan gelas di dapur. Tapi suara Abil yang selanjutnya membuat langkahnya terhenti.
“Mau ke mana?” Tanya Abil. Matanya menatap lekat kedua mata teduh Tasya.
“Mau nyuci ini.” Jawab Tasya sembari mengangkat nampan di tangannya.
Abil menggeleng pelan. “Di sini aja. Jangan kemana-mana.” Ujarnya. “Oh iya, boleh minta tolong tutupin pintunya ngga? Dingin nih.”
Tasya mengangguk. Dia meletakkan nampan kembali ke atas nakas lalu berjalan ke arah pintu, menutupnya dan kembali duduk di kasur.
“Gue pakein selimut yah kak.” Ucap Tasya meminta izin.
Abil menggeleng. “Pengap.”
“Ya udah, gue idupin AC-nya.” Tasya mengambil remote yang terletak di dinding.
“Lagi-lagi Abil menggeleng. “Dingin.”
Tasya mengepalkan tangan, geram karena jawaban Abil yang membingungkan. Dia menghembuskan nafas panjang demi menetralisir rasa kesal di dadanya.
“Kalau gitu pake selimut yah. AC-nya gue hidupin juga.” Ujar Tasya berusaha terlihat lembut.
“Ya udah, iya.” Akhirnya Abil menurut.
Tasya pun menarik ujung selimut di penghujung kasur hingga menutupi tubuh Abil. Namun ketika dirinya hendak menarik tubuh, Abil malah menarik tangannya sedikit menyentak membuat tubuhnya ikut terbaring di kasur. Sekarang, tak ada lagi jarak yang terbentang di antara mereka. Posisi mereka sangat dekat, bahkan deru nafas Abil terasa hangat menerpa permukaan kulit wajah Tasya. Mereka saling tatap dalam waktu lama, menikmati detak jantung yang berpacu lebih cepat dua kali lipat. Tasya meneguk salivanya susah payah saat tangan Abil bergerak lalu melingkar dan memeluk piggangnya erat. Ya ampun! Tasya sudah tidak tahan lagi. Ingin rasanya ia tenggelam di laut agar wajah kepiting rebusnya tak terlihat oleh Abil. Baru saja ia ingin menunduk, tapi tangan kiri Abil lebih dulu memakan dagunya, membuatnya terpaksa untuk tetap mendongak dan menatap mata Abil yang menggelap.
Abil tersenyum meihat ekspresi Tasya yang gugup. Apakah gadis itu pikir dia akan melakukan hal yang tidak-tidak kepadanya? Dasar gadis kecil pikiran kotor.
“Gini dulu sebentar yah. Boleh?” Ucap Abil lantas menekan kepala Tasya dalam dada bidangnya.
Abil merasakan kepala Tasya yang mengangguk di dadanya. Dia tersenyum. Tangan kirinya sibuk mengelus surai rambut Tasya lembut.
“Tasya!” Panggil Abil tiba-tiba.
Demi apapun Tasya sangat deg-degan sekarang. Siapa coba yang ngga tersipu mendengar suara soft spoken Abil.
“Hmm.” Tasya bergumam sebagai jawaban. Dia berusaha terihat normal.
“Kamu sayang aku kan?” Perntanyaan itu brehasil membuat Tasya mematung seketika.
Tasya tercengang. Mimpi apa pria di depannya ini hingga memakai kosa kata aku-kamu padanya. Atau apakah saat ini dirinyalah yang sedang berada di dunia mimpi. Entahlah. Jika memang benar ini adalah mimpi, maka dia tidak ingin bangun dari tidur untuk selama-lamanya.
Abil mengernyit saat iarasa tak ada jawaban dari Tasya. “Kamu sayang aku kan?” Tanyanya sembari mengangkat dagu Tasya agar gadis itu menatap matanya.
Tasya mengedikkan bahu acuh, malu untuk mengakuinya. Walaupun sebenarnya ia sangat ingin mengungkapkan perasaannya. Ia pun memiih untuk memalingkan wajah.
Abil menggeram melihat respon Tasya. Kerutan di dahinya semakin terlihat jelas. “Ngga mau tau. Kamu udah bilang sayang sama aku tadi. Kamu ga boleh narik ucapan itu.” Ucapnya dengan nada memaksa. Dia menarik kepaa Tasya kembai dalam dekapannya, memeluk tubuh mungil gadis itu lebih erat.
Tasya terkekeh melihat sikap Abil yang ini. Lucu menurutnya. Padahal beberapa menit lalu pria itu masih bersikap cool padanya.
“Tasya! Malah ketawa.” Abil sedikit membentak. Dia mulai kesal melihat Tasya yang tak kunjung menjawabnya. Gadis itu malah terkekeh dalam pelukannya. Dikira lucu apa?
“Kamu sayang aku kan?” Tanya Abil untuk ketiga kalinya.
Tasya tak kuat lagi. Jika diteruskan seperti ini, bisa-bisa dia kecanduan pelukan Abil nanti. “Iya, gue sayang sama kakak.” Ungkapnya dengan suara lirih, nyaris tak terdengar.
Abil menyunggingkan senyum mendengar penuturan Tasya. “Gimana?” Tanya Abil pura-pura tak mendengar.
“Ngga tau.” Elak Tasya sembari mengedikkan bahu.
“Taya...!”
Abil hendak mengangkat dagu Tasya. Namun sebelum hal itu terjadi, Tasya lebih duu memenuhi pertanyaannya.
“Gue sayang sama kakak.” Ungkap Tasya sekali lagi. Kali ini dengan suara lebih tegas.
“Pake aku-kamu!” Perintah Abil. Dia belum puas mendengar ucapan Tasya yang menggunakan kosa kata gue.
“Ck, udah ih! Malu.” Tolak Tasya. Dia berusa melepas pelukan Abil dengan paksa. Namun alih-alih melonggar, pelukan Abil malah semakin erat.
“Lepas kak!” Tasya mulai merengek. Tubuhnya meronta-ronta berusaha membebaskan diri dari Abil.
“Ngga! Ngomong dulu pake aku kamu.” Paksa Abil.
Terjadilan adegan pergulatan di antara mereka. Tasya yang memberontak tak mau menuruti Abil, sedangkan Abil berusah menghentikan aksi pemberontakan itu. Hingga salah satu tangan Tasya secara tak sengaja mengenai luka di perut Abil dan membuat pria itu meringis kesakitan.
“Shhh.”
Sontak, Tasya yang mendengar ringisan Abil langsung menghentikan aktivitasnya. Dia mengubah posisi menjadi duduk san mengecek keadaan Abil dengan khawatir.
“Maaf kak. Gue ga sengaja.” Ucap Tasya merasa bersalah. Dia menatap sendu ke arah Abil yang terpejam karena menahan sakit.
Emang sakit sih, tapi tak seberapa. Abil membuka matanya dan mendapati Tasya yang menatap teduh ke arahnya. Seolah muncul sebuah lampu kuning di kepalanya, seketika wajah Abil menerbitkan senyum licik. Dia kembali memasang ekspresi menahan sakit dengan mata terpejam.
“Sakit banget lagi.” Ucapnya dengan nada dibuat-buat seperti orang kesakitan. Salah satu matanya terbuka untuk mengintip reaksi Tasya. Dan memuaskan. Gadis itu semakin merasa bersalah karena telah membuat dirinya kesakitan. Bahkan matanya nampak berkaca-kaca sekarang.
“Maaf... Gue ga sengaja.” Ucapnya dengan terisak. Tangisnya hampir pecah.
Abil yang melihat itu pun tertawa puas dalam hati. Namun dilain sisi dia juga tidak tega melihat Tasya menangis.
“Udah gapapa kok. Nih, liat!” Abil memperlihatkan lukanya yang telah diperban. “Kan udah diobatin kamu tadi. Makanya ngomong dulu pake aku kamu.”
Tasya memperhatikan Abil yang terlihat baik-baik saja sembari mengusap ujung matanya yang sedikit berair. Sepertinya gadis itu benar-benar tidak bisa melihat Abil terluka. Setelah yakin kalau Abil tak lagi kesakitan, akhirnya Tasya menjawab dengan terpaksa.
“Iya-iya. Dasar mengammbil kesempatan dalam kesempitan.” Tasya mengakhiri kalimatnya dengan cibiran.
Abil yang masih dapat mendengar itu langsung bersuara. “Aku ga tuli.”
Upss... Tasya menyenggir tak bersalah.
“Cepetan Tasya.” Lagi-lagi Abil mendesak. Sangat tidak sabaran.
Tasya menggigit bibir bawahnya. Ayolah! Dia sangat malu untuk mengucapkan kalimat itu. Kosa kata aku-kamu terlalu sakaral bagi dirinya untuk diucapkan. Ia hanya menggunakannya pada keluarganya saja. Dan kini, Abil memintanya memakai kalimat itu dengan kata sayang. Ini benar-benar sangat memalukan.
“Aku– aku sayang sama kakak.” Setelah menghabiskan beberapa waktu mengumpulkan keberanian, akhirnya kalimat itu berhasil keluar dari mulut Tasya. Dia langsung menunduk demi menyembunyikan wajahnya yang sedang menahan malu. Bodo amat tentang gimana respon Abil setelahnya.
Kamar berisikan kasur king size itu lengang, hening sesaat. Terdengar suara desiran angin yang menyusup dari jendela kamar. Rambut Tasya bergoyang-goyang akibat diterpanya. Abil masih bergeming, menatap lamat gadis di depannya. Lalu seutas senyuman tercetak di wajah tampannya.
“Aku juga sayang sama kamu, Tasya.” Ucap Abil kemudian.
Tasya terhenyak seketika. Ia kira Abil menertawakannya, atau paling parah mengoloknya karena telah tidak tau dirinya dia menaruh rasa pada Abil. Namun ternyata dugaannya salah. Abil malah memberinya sesuatu yang tak pernah ia kira sebelumnya. Dia mendongak, menatap mata Abil tidak percaya, takut pria itu berbohong dan memainkan perasaannya.
Abil tertawa. Ia tau kemana jalan pikiran Tasya. Tangannya terulur ke depan, mengacak rambut gadis itu lembut.
“Tuh, kan! Dasar pembohong.” Tasta menepis kasar tangan Abil di kepalanya. Sudah ia kira kalau Abil tidak serius dengan ucapannya barusan.
“Aku ngga bohong Tasya.” Ucap Abil berusaha meyakinkan.
“Ngga! Kakak bohong. Kalo ga bohong kenapa ketawa tadi.” Tasya tetap tidak percaya. Bahkan kedua pipinya tengah menggelembung sekarang. Ia membuang muka, tak ingin menatap Abil lagi.
Hal itu malah membuat Abil semakin gemas. Ingin rasanya dia menggigit pipi gelembung Tasya yang sedang kesal.
“Aku serius Tasya. Aku sayang sama kamu.” Ucapnya lagi berusaha meyakinkan.
Masih sama, Tasya tetap menggeleng. Sepertinya gadis itu tidak akan mudah percaya padanya. Ini sedikit merepotkan. Abil menghela nafas. Ia menarik tubuh Tasya dalam dekapannya, hangat. Sangat nyaman. Ia bisa merasakan detak jantung Tasya yang berdebar sangat cepat.
“Ngga butuh alasan untuk menicintaimu Tasya. Kamu sendiri tau kan kalau datangnya cinta tak dapat kita duga?” Abil menghentikan kalimatnya.
Tasya mengangguk membuat Abil tersenyum sejenak.
“Ia datang dengan sendirinya tanpa permisi, tak mengenal usia, masa dan rupa. Sama seperti diriku yang pertama kali bertemu denganmu. Rasa itu kian tumbuh besar. Hingga detik ini dan hari nanti. Aku menyayangimu, Anatasya Queeny Zhulian.” Sambung Abil panjang lebar, mengungkap isi hatinya yang terdalam. Pelukannya semakin mengerat.
Tasya tersenyum dalam dekapan Abil. Sekarang dia percaya bahwa pria yang tengah memeluknya saat ini juga menyayanginya. Kedua tangannya terulur membalas pelukan Abil. Dia bahagia, sangat bahagia. Dia juga berdo’a dalam hati, semoga kebahagiaan ini tidak akan pernah berakhir.
***
Berangkat Sekolah
“Sarapan dulu!” Peringat Lisa kala melihat putrinya yang telah rapi mengenakan seragam sekolah, lengkap dengan tas di punggungnya. Gadis itu mengabaikan sarapan yang telah ia siapkan bersama David dan Krisna.
Tasya berlari kecil ke arah meja makan lalu meminum susu UH-nya hingga bersih dalam sekali tenggak. “Ga sempet ma. Tasya harus berangkat naik angkot sekarang. Salahin suami mama ga bisa anter anaknya ke sekolah.” Ucap Tasya tergesa-gesa.
Mendengar itu, David yang sedari sibuk dengan sarapannya langsung bersuara. “Mulutnya! Uang jajan papa potong.”
Alhasil, penuturan David tersebut membuat Tasya menggerutu kesal. “Korupsi!” Ucapnya tak terima.
Lisa yang sedang berada di dapur hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah suami dan anaknya.
“Apanya yang korupsi. Ini uang papa juga.” David mengangkat uang seratus ribu dari sakunya.
“Yayaya. Serah papa.” Tasya menyerah, malas meladeni ayahnya. Meskipun sangat disayangkan, kertas merah yang seharusnya menjadi uang jajan miliknya hangus begitu saja. Ia memanyunkan kedua bibirnya lalu menghela nafas jengah.
“Ya udah, Tasya pamit mau berangkat sekolah. Assalamu’alaikum.” Gadis itu hendak beranjak pergi dari sana. Namun suara Krisna yang berikutnya mampu membuat tubuhnya mematung di tempat.
“Mau kemana? Kamu berangkat bareng Abil.” Ujar Krisna memberi tau.
Membuat Tasya yang sudah berjalan beberapa meter dari meja makan menghentikan langkah. Tubuhnya bergeming sejenak lalu berbalik menghadap Krisna.
“Kakak serius?” Tanya Tasya antusias.
“Wajah kakak keliatan bohong?” Krisna menjawab pertanya Tasya dengan pertanyaan.
Tasya menyengir. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mendengar nama Abil, ingatannya tiba-tiba kembali berputar tentang peristiwa tadi malam. Dia jadi gugup untuk berdekatan dengan pria itu.
“Eumm, anu.” Tasya ingin mengucapkan sesuatu, tapi dia ragu untuk mengatakannya.
“Kenapa?” Tanya Krisna.
David pun terihat menunggu ucapan Tasya. Begitu pula Lisa yang baru saja bergabung di meja makan.
“Malu.” Ucap Tasya kemudian sambil menyengir.
David yang sudah terlanjur tegang menunggu kelanjutan ucapan Tasya langsung menyesal. “Papa kira kenapa.”
Sedangkan Krisna, pria itu malah menyeringai mendengar ucapan adiknya.
“Malu? Terus tidur sambil peluk-pelukan kaya tadi male ga malu.” Krisna bersedekap dada. Dia tersenyum puas melihat reaksi Tasya yang terkejut.
Tasya terhenyak di tempatnya. Bagaimana Krisna bisa tau? Perasaan sepanjang malam ga ada seorang pun yang membuka pintu kamarnya. Dia beralih menatap David dan Lisa yang terlihat biasa saja. Sepertinya kedua orang itu juga sudah mengetahui peristiwa di kamarnya tadi malam.
Flassh back on.
“Udah jam sepuluh kak. Aku tidur dulu yah di kamar tamu.” Ucap Tasya pada pria yang sedang memeluknya.
Posisi mereka sedang tiduran di ranjang sambil berpelukan. Karena tak kunjung mendapat jawaban, Tasya pun memilih mendongak untuk melihat wajah sang pria. Ternyata matanya udah terpejam. Biarlah! Mungkin dia kelelahan. Tasya mengamati wajah itu lebih lamat lalau menyunggingkan senyum. Gemesin juga kaya bayi kalo lagi tidur.
“Xixi. Ganteng banget calon pacar Tasya.” Ucapnya lantas me-nenggelamkan kepalanya di dada bidang sang pria. Tangannya menyusup melewati lengan dan ikut memeluk tubuh pria itu.
Abil yang merasa terusik karena pergerakan Tasya terbangun. Dia semakin mengeratkan pelkannya. “Jangan banyak gerak Tasya!” Ucap Abil dengan suara serak khas orang bangun tidur.
Suaranya itu mampu membuat Tasya menggigit bibir bawahnya, sangat memabukkan. Setelah itu, dia juga ikut terpejam, tidur dalam dekapan Abil.
Flash back off.
Tasya masih kikuk di tempatnya, tidak percaya kalau Krisna mengetahuinya.
“Kakak kok...”
“Bukan cuma kakak. Papa sama mama juga tau.” Ucap Krisna mendahului Tasya yang belum selesai bicara.
Sontak, Tasya langsung menganga. Habis sudah! Mau ditaruh dimana mukanya sekarang. Ia menunduk, tak berani mengangkat kepala lantaran malu. Bagaimana kalau ayahnya marah nanti.
Tasya semakin cemas kala dirinya mendengar suara deritan kursi. Ia takut ayahnya menghukum dirinya dengan kekerasan. Kini, berganti suara derap langkah kaki yang terdengar. Suara itu semakin mendekat hingga muncul dua kaki di hadapannya yang tengah menunduk. Gadis itu memejamkan mata. Dia pasrah ayahnya mau mengambil tindakan apa.
“Nih uang jajannya.” Ucap David. Pria itu menyodorkan selembar uang sepuluh ribu.
Dengan sedikit rasa was-was, Tasya memberanikan diri untuk membuka mata. Ia mendapati selembar kertas ungu di hadapannya. Ia mendongak, menatap sang ayah.
“Tetep papa potong. Lain kali kalau ngomong itu yang sopan.” Peringat David.
Tasya menyengir lalu mengambil uang yang ayahnya berikan, memasukkannya ke dalam saku seragam.
“Cepetan! Tuh, udah ditunggu Abil.” David menunjuk pria yang tengah beridiri di ruang tamu dengan dagunya.
Tasya menoleh, mengikuti arah tunjuk David. Dan benar saja, Abil telah berdiri sembari bersedekap dada di sana.
“Ya udah, Tasya berangkat. Assalamu’alaikum.” Ujar gadis itu berpamitan lantas berlari kecil menghampiri Abil.
David mengangguk. Wa’alaikumsalam.”
Lisa yang berada di samping Krisna juga angkat bicara. Berpesan pada putri bungsunya, berpesan pada putri bungsunya. “Hati-hati dijalan!” Ucapnya.
Kedua anak itu sudah berlalu pergi, meninggalkan kediaman Zhulian.
***
Setelah melakukan perjalanan yang sangat menyebalkan, akhirnya Abil dan Tasya telah sampai di tujuan. Spenthree, singkatan dari SMPN 3, sekolah Tasya. Abil menghentikan motornya persis di depan gerbang sekolah. 5 menit lagi gerbang itu akan tertutup rapat dan KBM akan segera dimulai. Oleh karenanya, suasana di sekitar mereka sangat sepi sekarang.
Abil tersenyum simpul melihat ekspresi Tasya saat ini. Gadis itu tengah cemberut, mencebik kesal sebab rambutnya yang sedikit berantakan akibat diterpa angin di sepanjang perjalanan. Dari tadi kedua tangannya sibuk merapikan mahkotanya itu agar kembali ke tatanan semula. Sesekali dia bercermin ke kaca spion untuk memastikan rambutnya telah tertata indah lalu menatap Abil kesal.
Flash back on.
“Tadi pesen mama hati-hati. Ga boleh ngebut-ngebut.” Ucap Tasya setengah berteriak melawan kencangnya arus angin yang membuat suaranya teredam.
“udah mepet, Tasya. Kalau telat gimana? Emang ga malu dikunciin gerbang sama satpam.” Timpal Abil tak kalah berteriak.
Tasya masih keberatan. “Tapi kan–”
“Cerewet!” Potong Abil. Pria itu kemudian menambah kecepatannya hingga menjadi 100 km/jam, mengabaikan ocehan Tasya di jok belakang.
Flash back off.
“Dasar!” Umpat Tasya. Dia masih kesal pada pria di depannya. Apalagi Abil malah tersenyum ke arahnya seolah tak memiliki rasa bersalah.
Abil terkekeh, gemas melihat raut kesal wajah Tasya. Tangannya terulur ke depan, mengusap lembut kepala gadis itu.
“Jangan cemberut gitu. Nanti cantiknya berkurang loh.” Goda Abil. Tangannya masih setia mengusap kepala Tasya. “Kalo sama aku harus senyum, biar cantik.” Ucapnya kemudian.
“Biarin! Aku sebel sama kakak.” Kedua pipi Tasya menggelembung. Alisnya bertaut, menatap tajam mata Abil.
“Aihhh. Harus senyum yah. Gimana kata temen-temen nanti kalo masuk kelas mukanya udah ditekuk gini.”
Tasya bergumam. Ciri khas wanita kalau lagi kesal atau marah. Matanya pun tak lagi menatap Abil.
Abil geleng-geleng kepala. Tangannya turun kebawah, berganti mengelus pipi Tasya. “Nanti pulangnya aku jemput.” Ujarnya berusaha membuat mood Tasya lebih baik. Dan berhasil. Tasya langsung menatap antusias ke arah Abil.
“Bener?” Tanya Tasya meminta kepastian. Dia mengambil tangan Abil di pipinya lalu menggenggamnya erat.
“Iya aku jemput.” Jawab Abil. “Pulang jam berapa nanti?”
“Setengah sebelas.”
“Yaudah, nanti aku udah ada di sini pas kamu keluar.”
Tasya mengangguk. Wajah cemberutnya telah sempurna hilang, digantikan dengan wajah berseri penuh senyuman. “Ga bohong kan, kak?” Tanya Tasya lagi memastikan untuk yang ke dua kalinya.
Abil mengangguk sembari tersenyum. “Iya, Tasya.”
Gadis itu menatap lamat mata Abil hingga dirinya tak menemukan apapun selain keseriusan di mata sipit itu.
“Kalo gitu aku masuk dulu. Jangan kebut-kebutan! Awas aja kalau masih ngelanggar.” Peringatnya diselingin ancaman.
“Siappp... Eh bentar!” Perintah Abil. Dia merogoh saku celananya lalu menyodorkan selembar uang 100 ribu.
Tasya menatap Abil bingung. “Buat apa?”
“Emang uang jajan yang dikasi om David cukup?” Abil balik bertanya. Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
Mendengar perkataan itu membuat Tasya menyengir lalu menggelang pelan.
“Ambil, lah!”
Tasya masih enggan untuk mengambilnya.
“Aku emang mau ngasi uang ini ke kamu. Jadi terima yah. Ini yang pertama. Kedepannya kalau butuh apa-apa langsung kabarin aku. Inget! Aku sayang sama kamu, Tasya. Aku akan lakuin semuanya demi orang yang aku sayang. Apapun itu.” Ucap Abil panjang lebar. Ia sangat serius dengan ucapannya barusan.
“Terus kakak gimana?”
“Aku ga pernah ngerasa keberatan. Malah seneng kalau kamu terima pemberianku.” Abil menyunggingkan senyum. “Nih, ambil!”
Mau tak mau, Tasya pun mengambil uang itu.
“Yaudah, masuk gih! Bentar lagi gerbangnya ditutup.” Ucap Abil yang langsung mendapat anggukan dari Tasya.
“Makasih kak. Aku juga sayang sama kaka.” Setelah mengucapkan itu, Tasya langsung pergi memasuki gerbang sekolah.
Abil tersenyum. Dia menatap kepergian Tasya, memperhatikan punggung gadis itu hingga menghilang dari pandangan.
***
Jonathan Company
Setelah mengantar Tasya, Abil berniat untuk pulang ke rumahnya. Berhari-hari telah berlalu ia tak pulang ke sana. Entah bagaimana keadaan rumah itu sekarang. Toh, keluarganya tak pernah sekalipun mencarinya. Dia sekarat pun mereka takkan peduli. Namun, sebenci apapun dirinya pada rumah, dia juga tetap ingin pulang. Capkan terimakasih pada Steve yang pernah menasehatinya dulu untuk pulang ke rumah.
“bagaimanapun, itu tetep rumah lo. Bahkan jika hancur sekalipun, rumah itu akan selalu menjadi tempat dimana lo tumbuh dari kecil.”
Perkataan itu selalu terngiang di kepalanya, tak peduli di manapun ia berada. Oleh karenanya, di sinilah ia berada sekarang, di teras rumah kediaman Alexander. Ia hendak masuk, mendorong gagang pintu, tapi suara berisik dari dalam rumah membuatnya melepas pegangannya pada gagang pintu. Dahinya mengernyit begitu mendengar percakapan di dalam sana lalu memilih fokus mendengarkan.
“Ini semua salah kamu!” Terdengar suara bentakan Jonathan. Tidak tau siapa yang telah membuat orang itu marah besar.
“Aku ga tau, mas. Dia datang ke sini langsung minta berkas-berkas penting perusahaan dengan mengatas namakan kamu.” Itu suara Laura. Dia sedang menangis sesenggukan.
Abil semakin mengernyit. Apa yang terjadi dengan perusahaan Jonathan. Mengapa kedua orangn tuanya bertengkar hebat sampai seperti ini. Dia kembali mendengarkan. Sekarang masih belum waktunya untuk muncul. Dia harus menunggu beberapa waktu lagi hingga seluruh masalahnya jelas.
“Halah! Kamunya aja yang bodoh, gampang ditipu.”
Laura menggeleng. Pundaknya naik turun, tersendat-sendat. “Kamu sendiri yang bilang kalau dia adalah satu-satunya orang yang kamu percaya.”
Jonathan bungkam. Perkataan Laura benar. Dia sendiri yang meng-klaim orang itu sebagai rekan kepercayaannya. Namun gengsinya terlalu besar. Dia tidak mau mengakui itu.
“Jadi kamu nyalahin aku?” Ucapnya berniat membalikkan masalah pada Laura.
Lagi-lagi Laura menggeleng. Bukan itu yang ia maksud.
“Lalu apa? Udah tau Dava orang lain tapi kamu nyerahin barang penting perusahaan gitu aja. Dari dulu kamu itu cuma pembawa sial di keluarga kita.” Dava terbawa emosi. Tak peduli kepada siapa dirinya berbicara sekarang.
Laura menatap Jonathan tak percaya. Tega sekali suaminya berkata begitu kasar padanya. “Iya, aku yang salah. Aku ga pernah becus jadi ibu rumah tangga. Puas?” Bantahnya melawan sikap Jonathan. Dadanya terasa begitu sesak.
Jonathan yang mendapat perlawanan pun merasa tersinggung. Matanya melotot, menatap Laura kalang kabut.
Pranggg.
Jonathan membanting vas bunga yang menjadi hiasan ruang tamu ke lantai, pecah berkeping-keping, serpihannya terpencar kemana-mana mem-buat tubuh Laura tersentak karena terkejut. Setelah itu, dia pergi meninggalkan Laura dengan langkah lebar, membiarkan wanita itu menangis sesenggukan di sana.
Kini Abil mengerti apa penyebab orang tuanya bertengkar. Perusahaan Jonathan sedang bermasalah dan pria itu melempar semua kesalahan pada Laura. Abil emndorong gagang pintu, melangkah masuk ke dalam, memperhatikan Laura yang sedang membersihkan puing-puing dari pecahan vas bunga sembari mengisak tangis. Dia berjalan menghampiri wanita itu.
“Minggir! Biar saya aja yang bersihin.” Ujar Abil. Dia mengamati tangan Laura yang sibuk memilih pecahan vas bunga.
Laura menoleh ke arah sumber suara. Dengan cepat, ia menghapus jejak air mata di pipinya saat mengetahui sang pemilik suara barusan. Dia berdiri, membuang pecahan yang telah ia pilih lalu menatap anak bungsunya, lamat.
“Baru dateng nak? Duduk dulu sini.” Ucap wanita itu sembari tersenyum, berusaha terlihat baik-aik saja. Ia mengapit lengan Abil, hendak menggiringnya ke sofa.
“Kemana aja akhir-akhir ini? Udah lima hari kamu ga pulang ke rumah.”
Abil menarik lengannya dari Laura. Dia malas membahas topik tersebut. “Saya mau beresin ini. Bunda bisa pergi?” Pintanya tanpa menatap lawan bicaranya.
Laura termenung ditempat seketika. Memang Abil memanggilnya bunda. Tapi sikap anak itu jauh dari kata seorang anak pada ibunya.
Melihat Laura yang masih diam di tempat, Abil kembali bersuara. “Bisa pergi bunda?” Dia mengulang ucapannya.
Laura tersadar lalu mengangguk pelan. “Yaudah, bunda ke dapur dulu.”
“Hmm.”
“Bunda buatin nasi goreng, yah. Kamu pasti belum makan.” Setelahnya, wanita itu langsung berlalu pergi ke dapur.
Sedangkan Abil, dia berjalan mengambil sapu dan sekop yang ada dipojok ruang tamu. Detik kemudian, ia telah sibuk membersihkan kekacauan.
***
“Steve, cari informasi tentang Dava! Salah satu rekan mitra ayah beberapa minggu lalu. Buat perusahaannya bangkrut. Jika perlu bakar hingga hangus.” Titah Abil melewati telfon.
Ia tengah berada di nalkon kamarnya, memperhatikan pekarangan rumah. Terlihat deretan bunga lili yang begitu indah mengitari tembok hingga pagar.
“Bentar-bentar! Lo baru nelfon udah main bakar-bakar aja. Jelasin masalahnya dulu napa.” Protes Steve tak terima. Bosnya itu sudah hilang tanpa kabar selama lima hari dan tak bisa dihubungi. Chatnya pun ga dibales. Tapi sekarang, sekali memberi kabar, bosnya langsung memberi tugas. Enak saja.
“5 menit. Ambil semua sahamnya.” Abil tak memedulikan ocehan Steve.
Steve menganga. Ia kira Abil aka memenuhi ucapannya. “Ogah! Jelasin dulu, baru gue penuhi.”
“Sepuluh detik, sebelas, dua belas.” Abil mulai menghitung.
Steve menggeram dibuatnya. “Bangke lo!”
Dengan terpaksa ia menuruti perintah Abil. Ia berjalan ke arah meja kerja, menghidupkan pc, meletakkan handphonenya di samping keyboard lantas fokus pada layar monitor. Tangannya begitu cekatan bermain di atas mouse dan keyboard. Iris matanya berpindah sangat cepat, ke kanan, ke kiri, ke atas dan ke bawah, mengamati tulisan, kode, gambar dan semua informasi yang ia dapatkan dalam sekejap.
“Satu menit!” Ucap Abil kembali menghitung lewat panggilan yang belum terputus.
Steve berdecak. “Ck. Cerewet lo!” Dia kembali fokus pada layar monitor, mengetik lalu mengkllik berulang kali. Hingga tepat saat Abil kembali besuara, dia menyunggingkan senyum kemudian menekan tombol enter.
“Satu menit tiga puluh detik!”
“Selesai.” Pekik Steve.
Hanya butuh waktu satu setengah menit baginya untuk meretas sistem perusahaan milik Dava sekaligus mengambil alih seluruh saham perusahaannya.
Abil terdiam, tak ada tanggapan. Hal itu membuat Steve yang tengah kegirangan karena merasakan kepuasan tersendiri atas kinerjanya sebagai hacker langsung mengerutkan kening.
“Heh! Tugas gue udah selesai.”
Hening, tak ada jawaban. Membuat Steve memilih menunggu dalam beberapa saat. Terdengar suara grusah-grusuh dari seberang sana. Steve mengernyit. "Bil?" P“nggi”nya.
“Hmm. Iya, gue tau.”
Udah gitu aja? Bilang terima kasih kek. Kerjaan gue kaya ga ada harganya kalo gini.
“Sekarang tugas lo mantau gerak-gerik mereka. Jangan sampai mereka tau kalau saham perusahaannya udah hilang. Kirim juga beberapa orang ke sana. Secepatnya!”
Setelah itu, Abil langsung memutus sambungan telfonnya secara sepihak. Tidak peduli bagaiman eksprsi Steve di sana. Bagaimanapun Jonathan adalah ayah kandungnya. Darah pria itu mengalir dalam tubuhnya. Dia tidak akan pernah membiarkan keluarganya terluka.
***
Ruangan dengan luas 30x20 meter itu dipenuhi ketegangan. Para staf, juga beberapa direktur perusahaan tengah sibuk mengutak-atik laptop di depannya, berusaha mempertahankan saham yang terus menurun satu persatu. Suara ketikan dari keyboard terdengar memenuhi ruangan. Jonathan yang duduk di bagian depan terlihat memijat kepalanya menatap proyeksi dari proyektor yang menampilkan sebuah panah merah yang terus berjalan turun hingga ke titik 40 persen. Sedangkan Brams yang ada di sampingnya juga sibuk mengutak-atik laptop.
“Tidak bisa pak. Ini percuma.” Salah satu staf mengangkat suara.
Jonathan menoleh sejenak, menatap sang pemilik suara.
“Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik, tapi angka itu tetap terus berkurang.” Timpal yang lain.
Jonathan kembali memperhatikan proyeksi. Panah merah itu sudah mencapai titik 20 persen. Dia mengeluh lalu mengacak rambutnya frustasi.
Brams yang melihat ayahnya seperti ini turut merasa iba. “Sabar yah! Mungkin ini adalah awal dari jalan menuju kesuksesan yang lebih besar. Hidup itu ibaratkan roda berputar. Kadang di bawah, kadang juga di atas. Jangan putus asa karena masalah seperti ini. Lihat dari sisi positifnya, jangan dari sisi negatifnya. Ambil pelajaran, bukan penyesalan ataupun dendam.” Ucapnya berusaha menguatkan.
Jonathan hanya terdiam menyimak penuturab putranya, berusaha mencerna dengan baik walau kepalanya sedang sangat pusing. Matanya menatap kosong ke luar kaca.
“Benar pak. Kita bisa mulai ulang dari awal. Memikirkan strategi-strategi baru yang lebih mapan dari sebelumnya.” Tukas salah satu direktur, setuju dengan Brams.
Jonathan mulai merenung, menimbang langkah mana yang akan dia ambil. Jujur, dia sangat putus asa sekarang. Namun, melihat para staf dan direktur yang masih setia bekerja padanya, seolah menemukan titik terang, akhirnya ia mengangguk mantap, membuat Brams dan semua orang yang ada di ruangan itu tersenyum.
“Baiklah. Saya akan memikirkan langkah awal untuk selanjutnya. Dan terima kasih kepada semuanya. Kalian boleh keluar sekarang. Rapat selesai.” Ujarnya mengakhiri pertemuan.
Detik selanjutnya, meeting room itu mulai lengang. Staf, direktur dan Brams keluar bergantian, menyisakan Jonathan sendirian di sana. Pria itu masih menatap proyeksi di depannya, melihat panah merah yang telah mencapai titik nol persen. Dia tersenyum getir lalu mendengus pelan. Setelah itu, ia juga ikut melangkah keluar meninggalkan ruangan. Tanpa ia sadari, seusai kepergiannya dari meeting room, proyeksi yang tengah menampilkan sahah perusahaan miliknya berubah. Panah merah yang awaknya ada di titik terendah bergerak cepat, melesat ke atas. Bahkan angka yang menunjukkan nomimal persen dari saham berganti dengan cepat lalu berhenti hingga titik 500 persen. Itu 4x lipat lebih tinggi dari saham yang sebelumnya.
Sedangkan di sisi lain, seseorang tengah menyeringai puas melihat layar monitor di hadapannya.
Transfer comleted.
***
Cemburu
Abil melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul 10.30. sebentar lagi Tasya keluar. Dia menatap gerbang di seberang jalan yang masih tertutup. Sudah 20 menit berlalu sejak dirinya tiba di sana. Tubuhnya ia sandarkan ke motor hitamnya sembari menunggu. Sepanjang jalan sekitar sekolah dipenuhi oleh orang tua yang juga menunggu buah hatinya pulang. Terdapat satu-dua remaja seumuran dengannya diantara mereka. Untung sekarang langit sedang mendung. Jika tidak, pasti tubuhnya sudah basah dengan keringat sekarang. Apalagi dia memakai hoodie.
Samar-samar, Abil mendengar suara berisik dari seberang jalan membuatnya mendongak lalu menatap ke arah pagar. Terlihat beberapa siswa-siswi yang telah keluar. Enam, sepuluh, lima belas, hingga berubah menjadi kerumunan. Ada yang berlarian, bercanda dengan teman, juga ada beberapa siswa yang keluar sembari menaiki motor. Sebagian penjemput sudah pergi dari area sekolah. Sementara Abil masih menunggu, menyisir satu persatu kepala siswa-siswi yang terlihat hingga berhenti kala matanya melihat seorang gadis berponi yang tengah tersenyum ke arahnya. Abil hendak menyusul agar ia bisa menggenggam tangannya untuk menyeberang jalan, tapi sang gadis lebih dulu berlari kecil ke arahnya, menyeberangi jalan bersama dua gadis lain di sampingnya. Entah siapa.
“Gimana sekolahnya? Ada yang menarik?” Tanya Abil saat Tasya telah tiba di hadapannya. Dia tak memedulikan dua gadis yang lain. Matanya hanya menatap lekat mata teduh Tasya.
Tasya terkejut. Ia langsung menunduk dalam. Mengapa Abil tiba-tiba menanyakan itu. Habis sudah pipinya memerah sekarang. “Eumm... Ga ada.”
Abil mengernyit. Tasya terlihat keberatan menjawab pertanyaannya. Sedangkan dua gadis di samping Tasya tengah menahan tawa. Abil beralih menatap mereka tajam, meminta jawaban. Alhasil, mereka berdua terdiam, saling sikut menyikut karena takut untuk menjawab.
“Kenapa?” Tanya Abil yang tertuju pada mereka.
Dua gadis itupun menghentikan aktivitasnya. Salah satu dari mereka membuka mulut hendak menjawab, namun dengan cepat Tasya menarik lengannya membuat tubuh gadis itu tersentak ke belakang.
“Apa sih?” Keluh gadis itu pada Tasya.
Tasya melotot, seolah memberi kode agar temannya tidak menjawab. “Jangan bilang!” Ucapnya dengan berbisik.
Abil semakin mengernyit. Sepertinya ada yang disembunyikan. “Tasya...! Kenapa?”
“Eh, ngga papa kok.” Jawab Tasya tergagap.
Mengerti kalau Tasya takkan memberi tau yang sebenarnya, Abil kembali menatap gadis di samping Tasya. Dia mengangkat salah satu alisnya meminta jawaban. Akhirnya gadis itu melepas cengkraman Tasya secara paksa lalu memberi tau Abil.
“Itu, tadi pas jam istirahat ada cowok yang nembak Tasya di kelas.”
Abil melirik ke arah Tasya. “Bener?” Tanyanya memastikan.
Tasya mengangguk pelan semari menunduk. “Iya.”
“Padahal Tasya udah nolak kak, tapi yang cowo malah main meluk. Maksa banget dia.” Sambung gadis satunya. “Untung ada kita. Kalo ngga, udah dicium tuh, Tasya.”
Tangan Abil mengepal kuat mendengar itu. Tulang rahangnya me-ngerat, entah mengapa. Tiba-tiba saja emosinya meluap. Kedua matanya menatap tajam ke arah Tasya.
“Pulang.” Ucapnya ketus sembari menarik lengan Tasya. Tidak kasar, tapi berhasil gadis itu ketakutan. Nada bicaranya tak lagi lembut seperti tadi.
Tasya tidak melawan. Dia menurut saat Abil menariknya untuk naik motor. Toh, pria itu mencengkramnya dengan lembut. Setelah memastikan Tasya duduk sempurna di jok belakang, Abil pun menyusul naik, memasang helm, menyalakan mesin motor lantas berlalu pergi dari sana.
Sementara itu, dua teman Tasya hanya bisa menatap nanar atas kepergiannya.
“Kak!” Panggil Tasya dari belakang.
Abil tak menjawab. Tasya melihat wajah Abil yang tengah serius memperhatikan jalanan dari kaca spion.
“Kak Abil!” Panggil Tasya sekali lagi sembari menepuk pundak Abil.
Kali ini, pria itu merespon. Ia sedikit menolehkan kepala, namun atensinya tetap lurus ke depan.
“Kakak marah?”
Kembali tak ada respon. Abil telah fokus pada jalanan seperti semula. Hal itu membuat Tasya mendengus lesu. Lebih bak dia dimarah sekarang dari pada didiemin seperti ini.
Setelah itu, tak ada lagi percakapan diantara mereka. Abil diam, Tasya juga memilih diam. Mereka berdua sibuk berkelahi melawan masing-masing pikiran yang tengah berkecamuk.
***
Tasya mendorong gagang pintu, melangkah masuk ke dalam, mengabaikan Lisa yang tengah bersantai di ruang tamu. Wanita itu melirik putrinya sekilas.
“Tasya...! Kenapa sayang?” Tanya Lisa saat mengetahui wajah Tasya tertekuk.
Tasya berhenti sejenak. “Tau tuh, kak Abil.” Gadis itu kemudian berlalu pergi menuju kamar dengan menghentakkan kaki ke lantai. Tak lagi peduli pada Lisa.
Detik selanjutnya, Abil menyusul masuk ke dalam dan bertemu dengan Lisa. Dia tersenyum kepada wanita itu. “Assalamu’alaikum, tante.” Dia mengucapkan salam.
“Wa’alaikumsalam. Tasya kenapa?” Tanya Lisa langsung ke inti masalah.
“Ngga papa tan. Cuma ada masalah dikit.”
Lisa menatap lamat mata Abil menyelidik. “Bener gapapa?”
“Iya, tan. Ini mau dilurusin.”
“Yaudah. Sana selesain dulu.”
Abil mengangguk. Ia langsung beranjak dari ruang tamu menuju kamar Tasya.
“Huh! Ngeselin banget tuh, anak. Awas aja nanti. Aku diemin balik baru tau rasa.” Ucap Tasya pada diri sendiri. Dia sangat kesal lantaran Abil mendiamkannya barusan. Lihat saja! Dia tengah mencak-mencak di kamar sembari mengepalkan tangan geram, lantas berjalan ke arah balkon. Ingin rasanya ia berteriak sekarang demi melampiaskan kekesalannya. Kedua tangannya bertumpu di atas pegangan pagar.
“DASAR ESS!!”
Ceklek.
Terdengar suara pintu terbuka membuat Tasya langsung meng-hentikan aktivitasnya. Dia membalik tubuh, melihat ke arah rongga pintu. Seseorang muncul dari sana dengan perawakan tinggi dan potongan rambut belah tengah. Refleks, Tasya langsung membekap mulutnya menggunakan kedua tangan. Namun sebisa mungkin Tasya bersikap normal. Dia memasang ekspresi datar dengan posisi memunggungi Abil. Jantungnya semakin berdetak cepat kala suara langkah kaki dari belakang terdengar semakin dekat.
“Jelasin!” Pinta Abil dengan nada dingin.
Tasya menggigit bibir bawahnya. Sebenarnya ia takut untuk berhadapan dengan Abil. Melihat wajahnya sewaktu di sekolah barusan sudah membuatnya gemetaran.
Kembali terdengar langkah kaki. Sepertinya Abil berjalan mendekat ke arahnya. Gimana coba kalau kak Abil tiba-tiba dorong tubuh aku sampe terjun ke bawah? Sudahlah! Tasya memilih memjamkan mata pasrah. Toh di bawah sana ada kolam. Suara derap langkah kaki itu menghilang membuat Tasya mengernyit. Dia ingin berbalik lalu membuka mata untuk melihat apa yang terjadi. Namun dilain sisi, pikirannya diselimuti rasa was-was, takut jika dirinya berbalik Abil telah berada tepat di depannya.
Huff... Baru saja tubuhnya bergerak hendak berputar, tiba-tiba sebuah tangan berurat telah melingkar sempurna di perutnya membuat tubuhnya menegang seketika. Detik kemudian, ia merasakan deru nafas seseorang menerpa hangat di permukaan kulit lehernya. Demi apapun, tubuhnya sangat lemas sekarang. Ditambah saat ia merasakan benda kenyal menyentuh lembut di sana. Ia langsung menggigit bibir bawahnya.
“Jelasin!” Pinta Abil sekali lagi. Wajahnya masih setia bersembunyi di ceruk leher Tasya.
“I– iya.”
***
Suasana kelas waktu itu sangat sepi. Tak ada siapapun kecuali serang gadis bername tag Tasya di sana. Tempat duduknya hampir berada di pojok kelas. Hanya berjarak satu meja lagi hingga dirinya menempati bagian keramat itu. Kedaua temannya memilih pergi ke kantin, meninggalkannya sedirian di kelas. Wajar sih, tempat itu akan menjadi tempat favorit bagi siswa-siswi sekolah saat jam istirahat.
Tasya tengah fokus pada hp-nya yang dimiringkan. Kedua ibu jarinya sibuk mengatur joystick dan menekan ikon attack serta skill dari game yang sedang ia mainkan. Entah apa penyebabnya. Wajahnya terlihat kesal. Selang beberapa detik, ia melempar hp-nya asal ke meja.
“Dasar mm bego! Mati mulu kerjaannya. Dibilang jangan ngefeed sama jaga jarak malah maju-maju terus.” Gerutu Tasya, kesal pada game play barusan.
Ia mendengus. Moodnya mendadak buruk. Ia ingin pergi ke kantin, menyusul temannya, berkumpul dengan mereka berharap moodnya bisa kembali membaik. Namun baru saja ia melangkah sampai di depan pintu, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam kelas, menghadang jalurnya menuju kantin.
“Boleh ngomong sebentar?” Ucap orang itu.
“Mau ngomong apa, Ri?” Tanya Tasya sekaligus menjawab per-tanyaan Ari, orang yang kini berada di depannya.
Ari tak menjawab. Dia melangkah masuk lalu menutup pintu kelas rapat-rapat, membuat Tasya mundur beberapa langkah. Feelingnya mengatakan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sedari tadi tangan kiri pria itu tersembunyi di belakang punggung, membuat Tasya semakin takut. Apalagi tak ada siapapun di sini kecuali mereka berdua.
“Kalo mau ngomong, ngomong aja!” Tasya mendesak. Dia tidak ingin Ari melangkah lebih dekat.
Melihat tatapan Tasya yang ketakutan, akhhirnya Ari berhenti melangkah. “Okey.” Dia mengambil nafas dalam. “Jadi gini Tasy. Dari hari pertama MOS dua tahun lalu, hati gue selalu merasa tenang tiap kali liat lo. Tiap lo tersenyum, ketawa dan semua hal yang berkaitan dengan lo mampu menyihir diri gue untuk ngga pernah berpaling dari lo. Tiap hari gue merhatiin o dalam diam, bahkan sampai sekarang, gue selalu ngejaga lo dari balik layar. Dua tahun lebih lamanya gue nyimpen perasaan ini, takut lo risih kalo seandainya gue ngungkapin yang sebenarnya. Dua tahun lebih gue nunggu waktu yang tepat buat ngungkapin perasaan ini. Dan sekarang, gue mau nyatain. Gue sayang sama lo, Tasya. Gue cinta sama lo.” Ari tak melanjutkan kalimatnya. Ia berlutut lalu mengeluarkan sepucuk bunga mawar dari tangan kiri yang sedari awal ada dibalik punggungnya. “Lo mau kan, jadi pacar gue.” Lanjutnya kemudian.
Tak bisa dipungkiri, Tasya memang terkejut. Ternyata selama ini ada seseorang yang menyimpan perasaan padanya. Dan jangan lupakan tentang kurun waktu dua tahun lebih itu. Tapi saat ini dia telah memiliki Abil. Dia sangat menyayangi pria itu. Begitu pula Abil yang sangat menyayangi dirinya. Meski belum berpacaran, tapi dia ingin menjaga perasaan untuk Abil.
Tasya menatap nanar sepucuk bunga mawar di genggaman tangan Ari. “Maaf Ari. Gue udah punya seseorang yang gue sayang.” Tasya berusaha menolak secara halus.
Setelah mengucapkan itu, Tasya langsung melangkah pergi. Dia membuka pintu kelas yang tadi sempat tertutup lalu kembali berjalan, tapi tubuhnya tiba-tiba ditarik paksa ke belakang kemudian dihempaskan ke samping membuat punggnungnya menubruk tembok. Tasya meringis kesakitan.
“Dua tahun, Tasya. Dua tahun. Bayangin lo ada di posisi gue. Gue nyimpen perasaan itu mati-matian. Dan ketika gue ngungkapin, lo malah nolak gue.” Suara Ari meninggi. Tak lagi selembut barusan.
Tasya menggeleng pelan. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya terlalu lemah sehingga tak kuat mendengarkan suara Ari yang tersulut emosi.
“Gue ngerti, Ri. Tapi gue udah bener-bener sayang sama seseorang.” Jelas Tasya sembari berusaha menahan air matanya agar tidak luruh.
“NGGA BISA! Lo cuma milik gue, Tasya.” Ari tetap memaksa kehendaknya. “Gue sayang banget sama lo.”
“Kalo emang sayang sama gue, harusnya lo seneng liat gue bahagia sama orang yang gue pilih.”
“Ngga gitu juga Tasy. Lo cuma milik gue. Milik gue.”
Dengan cepat, tangan kiri Ari merangkul pinggang Tasya. Sedangkan tangan kanannya menangkup pipi Tasya. Ari mendekatkan wajahnya ke bibir Tasya. Air mata Tasya mulai meleleh. Dia sudah berusasha mendorong tubuh Ari dengan sekuat tenaga, namun sia-sia. Tangisnya pecah sekarang. Dia tidak sudi diperlakukan seperti ini oleh seseorang yang sama sekali tidak ia cintai. Untunglah saat detik-detik terakhir, Aurel dan Tika datang lantas langsung menarik tubuhnya keluar dari genggaman Ari.
“Brengsek lo!”
“Dasar banci. Beraninya mainin cewe.” Maki kedua teman Tasya, tak terima dirinya dilecehkan.
***
“Gitu.” Ujar Tasya setelah bercerita panjang lebar tentang kejadian di sekolah kepada Abil. Posisi mereka masih sama. Dengan Abil yang memeluk Tasya dari belakang.
“Mulai sekarang jangan deket-deket dia lagi. Kalo bisa jangan deket-deket cowo. Siapapun itu. Aku ga suka.” Tegas Abil dengan nada tak suka.
Tasya terkikik geli melihat sikap Abil yang posesif. Gimana nanti kalau udah pacaran coba? Pasti posesif banget.
“Terus sama kakak? Kak Abil kan juga cowo.”
“Aku pengecualian.”
“Iyain. Emang kenapa kalau aku deket sama cowo lain? Kakak cemburu yah.” Tebak Tasya tepat sasaran membuat Abil bungkam seketika.
Abil melepas pelukannya lalu memutar tubuh Tasya menghadap ke arahnya membuat gadis itu menatap mata Abil.
“Now you’re mine, Anatasya Queeny Zhulian. Just be mine.” Ucap Abil lembut kemudian mendekap erat tubuh Tasya. Dia tidak main-main dengan ucapannya itu.
Tasya terdiam, menikmati bersandar di dada Abil yang terasa nyaman. Dia membiarkan Abil melanjutkan perkataannya.
“Iya aku cemburu. Aku cemburu karena aku sayang sama kamu. Maaf kalo kesannya keliatan posesif. Tapi aku ngga akan pernah biarin seseorang yang sangat aku sayangi disentuh orang lain.” Lanjut Abil. Dia merasakan kedua tangan Tasya mengusap punggungnya. Gadis itu tersenyum simpul.
“Udah gede tapi masih cemburuan. Dasar!” Ejek Tasya.
Abil yang tak terima pun langsung melepas pelukannya. “Kamu upnya aku Tasya. Aku ga nerima penolakan.” Tekan Abil pada kata punya aku.
“Iya-iya. Ngeyel banget. I’m yours.” Ucap Tasya sembari terkekeh. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada Abil.
Begitupula pria itu. Wajahnya menampilkan senyum. Tasya telah resmi menjadi miliknya, meski belum ke tahap berpacaran. Untuk saat ini dia akan menahan diri dulu, tidak ingin meminta lebih.
Abil mengecup lembut pucuk kepala Tasya.
***
Jadian
Selama Abil berada dalam masa pemulihan, pria itu memtuskan untuk izin tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Dalam kurun waktu tersebut, dia menghabiskan waktunya untuk menemani Tasya hingga dirinya benar-benar pulih. Hampir setiap hari dia mengunjungi rumah Tasya membuat ubungan diantara mereka semakin dekat. Sesekali ia pergi ke shadow company untuk sekedar mengurus masalah perusahaan yang harus ia tangani sendiri. Tentang perusahaan Jonathan, dia telah menangani perusahaan ayahnya hingga tuntas ke akar-akarnya. Bahkan dia telah menghancurkan perusahaan Dava dari dalam sampai tak tersisa.
Jam 20.00 WIB. Abil tengah berkumpul dengan keluarga Zhulian di ruang keluarga. Duduk lesehan di atas karpet berbulu berwarna hijau. Terdapat snack, coklat dan beberapa camilan lainnya di tengah-tengah mereka. Waktu itu cuaca sedang tidak bersahabat. Hujan lebat sekaligus angin yang bertiup dengan sangat kencang membuat para penghuni rumah mau tak mau harus memakai jaket tebal. Tapi tidak dengan Abil. Dia hanya mengenakan sweater pada malam itu. Di depannya ada David dan Lisa yang duduk berdampingan, Krisna yang duduk di samping mereka. Sedangkan Tasya duduk di sampingnya sembari menggenggam tangannya erat. Tentu saja Abil sudah menolak, tak enak sendiri kepada David dan Lisa. Tapi gadis itu selalu menolak sembari merengek kedinginan. Seperti sekarang contiohnya.
“Ke kamar yah?” ucap Abil lembut sembari menarik tangannya dari genggaman Tasya.
“Ngga mau. Pengin jajan.” Tolak Tasya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya yang terlihat lucu dimata Abil. “Tangannya ngga bole dilepas!” Gadis tu melotot. Kedua alisnya bertaut menjadi satu. Dengan cepat tangannya kembali menggenggam tangan Abil.
Abil mendengus pasrah. David dan Lisa yang melihat tingkah putinya pun geleng-geleng. Begitupula krisna.
“Tasya...! Kalo dingin ke kemar. Nanti sakit gimana?” Peringat Lisa.
“Iya tuh. Nanti kakak yang repot.” Krina menimpali.
Tasya yang masih ingin bersama Abil tetap menolak. “Ngga mau ma. Kak! Pengin jajan.”
“Tuh, ambil.” Ambil menunjuk camilan yang ada di tengah dengan dagunya.
Hal itu berhasil membuat Tasya mencebik kesal. “Ishhh. Suapin!”
“Punya tangan?”
“Suapin ga?” Ancam Tasya. Dia mengangkat kepalan tangan ke depan wajah Abil.
Akhirnya pria itu pun menurut. Dia mengambil satu buah jajan sponge rasa stroberi lalu menyuapkannya ke mulut Tasya. Gadis itu tersenyum sembari mengunyah jajan di mulutnya. Sedangkan Krisna yang saat itu berstatus jomblo dengan ekspresi lesu melihat kejadian di depannya.
“Mentang-mentang papa sama mama ngga ngelarang jadi bisa terang-terangan gini. Ga kasian apa sama kakak?” protes Krisna mempertahankan martabat ke jombloannya.
“Wlee! Siapa suruh jomblo. Sana cari pacar! Tapi inget yah. Kalo masih cantikan aku mending jangan dibawa ke sini. Takut insecure ntar cewenya.” Ucap Tasya menyombongkan diri.
Krisna langsung menghela nafas berat. Pasalnya, paras adiknya itu sangat sempurna dalam segala aspek. Cantik iya, imut juga iya. Pria sedingin Abil aja langsung luluh sendiri hanya dalam hitungan hari. Jika Tasya bilang pacarnya harus lebih cantik dari dia, maka gadis seperti apa yangharus ia cari. Anggota k-pop Korea? Atau harus setingkat douyin.
“Ck. Dasar adik laknat.” Batin Krisna tak terima. Dia melirik ke arah Abil, ingin memastikan ulang sebetapa tampan pria itu hingga bisa bersanding dengan Tasya. Sayangnya, perilakunya tersebut tertangkap oleh mata Tasya. Tasya yang paham akan jalan pikiran kakaknya pun langsung bersuara.
“Apa? Kak Abil itu udah sempurna. Cocok banget ama Tasya. Bahkan kak Abil lebih ganteng dari pada kakak.” Ungkap Tasya sesuai dengan fakta.
Hal itu berhasil membuat Krisna bungkam. Dia kalah telak. Ingin membantah? Namun nyatanya memang benar. Abil sangat tampan. Dia terpojok sekarang.
“Kakak sendiri. Ga boleh gitu.” Tegur Abil melihat sikap Tasya yang menurutnya sedikit keterlaluan.
“Xixi. Biarin kak. Biar panas.” Tasya menyengir, menampilkan gigi gingsulnya yang terkesan lucu seperti kucing.
“Emang kalian udah pacaran?” David yang sedari tadi sibuk dengan snack dan laptop di pangkuannya mulai ikut masuk ke topik pembicaraan lantas menatap Abil penuh menyelidik.
Tasya terdiam. Dia merasa kalau pertanyaan ayahnya barusan merupakan skak match untuk dirinya. Ditambah ucapan Krisna yang berikutnya.
“Belum pacaran kan, kalian.”
Kini keadaan telah berbalik. Dia yang terpojok sekarang.
“Loh, kalian masih belum jadian.” Lisa ikut-ikutan bertanya.
Melihat Tasya yang kesullitan untuk menjawab, Abil pun mengambil alih posisi menjadi juru bicara Tasya. “Belum tan. Tapi pacara ga pacaran, semua orang juga tau kalau Tasya milik saya. Benar kan, om David? Om sendiri yang bilang ke saya waktu itu.”
David tampak mengernyit. Pikirannya tiba-tiba berputar ke makan malam sekaligus pertemuan pertamanya dengan Abil. Setelah itu, dia memijit pangkal hidungnya yang sama sekali tidak terasa pusing. Dia hampir lupa dengan perkataannya di malam itu.
“Baiklah, kamu benar. Tapi tidak ada salahnya kan kalau kamu memperjelas hubungan diantara kalian. Malah lebih baik jika berterus terang.”
“Sebentar lagi. Kalau waktunya udah tepat.” Ucap Abil lantas melirik Tasya yang ada di sampingnya. Semenjak David membahas soal hubungan, gadis itu selalu menunduk. Entah mengapa.
“Kelamaan. Nanti diambil orang baru tau rasa.” Canda David berniat menakuti.
Bukannya takut, Abil malah tersenyum. “Emang bisa om?”
David terdiam. Benar juga. Dia tidak akan membiarkan Tasya dimiliki orang lain. Cukup Abil saja. Saat pertama kali bertemu dengan pria itu, feelingnya sudah bagus.
“Pandai berbicara.” Ujarnya yang tertuju pada Abil.
Detik kemudian, atensi mereka semua beralih kepada Tasya. Gadis itu tiba-tiba beranjak pergi dari ruang keluarga.
“Tasya ke kamar.” Setelah mengucapkan itu, Tasya berlalu pergi ke lantai atas. Mata Abil tak terlepas dari arah kepergiannya.
“Saya juga ke atas om.” Putus Abil. Setelah mendapat anggukan dari David, dia langsung beranjak pergi menyusul Tasya ke kamar.
Di dalam ruangan bercat cream itu, Abil melihat tasya yang tengah menatap pemandangan dari balkon. Dia tidak sadar akan kehadiran Abil. Tatapannya kosong menatap ke depan, seolah tak memiliki arah tujuan.
Abil bergerak perlahan, melangkah setenang mungkin lalu mendekap tubuh Tasya lembut dari belakang. Mungkin Tasya sudah mulai terbiasa dengan kebiasaannya yang ini.
“Mikirin apa, hmm?” Tanya Abil dengan suara serak.
Tasya menggeleng pelan. “Nggapapa kak.”
“Jangan bohong, Tasya. Dikap kamu itu menunjukkan tentang bagaimana keadaan kamu.” Ucap Abil mencoba berusaha membuat Tasya bercerita.
“Mmm...”
“Kenapa?”
“Maksud omongan kakak barusan itu apa?”
Abil mengeryit. “Yang mana?”
Tasya berdecak. Bagaimana mungkin dia akan mengatakan itu secara langsung. Tentu saja ia gengsi. “Yang itu.” Ujarny aberharap Abil peka.
“Aku ga pekaan orangnya. Jadi ngomong langsung aja.”
“Hufft... Kenapa kakak masih nunggu waktu yang tepat kalo udah dapet restu dari papa sama mama?”
“Nggapapa. Nunggu waktu yang bagus aja.” Jelas Abil yang terdengar ambigu di telinga Tasya.
“Apanya yang nunggu waktu bagus. Selama ini sikap manis dan perhatian kakak itu Cuma gantungin perasaan aku, tau ga? Sampai kapan kita bakal kaya gini terus. Sampai aku berhenti untuk berharap lagi?” Tasya melepas dekapan Abil secara paksa. Dia menatap tajam ke arah Abil. Matanya tak lagi teduh. Bahkan suaranya mulai meninggi.
“Atau jangan-jangan kakakudah punya pacar, jadi nunggu hubungan sama dia selesai setelah itu mulai hubungan baru dengan aku sebagai pelampiasan, iya?”
Abil sedikit terkejut. Tidak ia sangka Tasya akan salah paham lalu berakhir emosi seperti ini. Padahal waktu bagus yang ia maksud adalah waktu dari rencana yang telah ia siapkan untuk mengajak Tasya jadian. Tapi sepertinya hal itu tidak lagi berguna. Dia harus mengucapkannya sekarang.
“Bukan, Tasya. Aku ga pernah pacaran. Cuma kamu satu-satuya perempuan yang berhasil buat aku gini. Aku ga pernah deket sama cewe lain sebelumnya selain keluarga..”
“Terus apa lagi yang masih kakak tunggu.”
“Momennya. Aku udah nyiapin sesuatu yang spesial buat kamu. Sesuatu yang akan menjadi kenangan yang takkan pernah terlupakan. Tapi sepertinya harus kupercepat deh. Soalnya ratu kecilku sangat tidak sabaran.” Abil mengecup pucuk kepala Tasya sembari tersenyum membuat gadis itu sedikit salah tingkah.
“Nyiapin apa emang?”
“Ada dehh...”
“Ck. Sekarang aja napa.”
“Ga spesial dong, nanti.”
“Sekarang!” Paksa Tasya. Wajahnya yang sudah melembut kembali terlihat garang.
“Momennya ga pas.”
“Yaudah, pergi sana! Jangan ke sini lagi.” Tasya bersedekap dada lalu memalingkan wajah.
Menggemaskan menurut Abil. Di matanya gadis itu selalu lucu sih. Bahkan waktu marah tadi.
“Yakin mau sekarang?”
“Tasya mengangguk. “Hu’um.”
“Iya dehh. Kalau nanti ga spesial, dimaklumin yah.”
“okeyy...”
Cepat sekali ekspresi gadis itu. Sekarang saja dia tengah tersenyum sembari menunnggu apa yang akan dilakukan oleh Abil. Abil merogoh saku kanan celananya lalu mengeluarkan satu kotak cincin berwarna merah. Tasya terkejut bukan main melihatnya tapi tidak sampai menutup mulut. Dia berusaha bersikap biasa saja agar tak terkesan cengo di mata Abil. Dia mengambil nafas dalam demi menetralkan detak jantung yang berdebar tak karuan. Pria itu mulai membuka kotak cincin perlahan. Sedikit demi sedikit, mata Tasya melihat sebuah benda mengkilap berwarna kuning keemasan di dalam sana. Senyumnya tak luntur sedikitpun.
Abil mengambil benda itu lantas memasukkan kotak merah kembali ke dalam saku celana. “Sebenernya ini aku siapin buat nanti sih. Tapi gapapa deh. Kasian tuan putrinya dibikin nunggu mulu.”
Tanpa basa-basi lagi, Abil meraih tangan Tasya kemudian memaukkan cincin di tangannya ke jari manis gadis itu. Selama proses tersebut, Tasya hanya diam, membiarkan Abil melakukan apa yang ingin dia lakukan. Hatinya berdesir hangat sepanjang Abil memegang tangannya. Begitupula jantungnya yang berdegup kencang.
“Sekarang kita resimi pacaran.” Ucap Abil setelah cincin yang ia siapkan melingkar sempurna di jari Tasya.
“Aku belum bilang iya. Mana bisa udah resmi dibilang pacaran.” Prtoes Tasya. Namun wajahnya masih setia menyunggingkan senyum. “Dan lagi, kakak ga ngucapin apa-apa dari tadi.”
“Emang bisa nolak, sayang?” Goda Abil sembari tersenyum.
Mendengar kata sayang, tubuh Tasya langsung menegang. Wajahnya menghangat, kedua pipinya muncul sedikit rona merah. Matanya menatap cincin di jari manisnya yang terdapat tuisan, “Anatasya Queeny Zhulian.” Lagi-lagi senyumnya merekah. Benar apa kata Abil. Dia tidak aka pernah menolak pria di depannya. Sekalipun takkan pernah.
“Tapi kan, nda gini juga. Ishhh, gada romantis-romantisnya sama sekali.” Tasya mendengus setelahnya.
Abil terkekeh melihat itu. “Yaudah deh. Salahnya minta sekarang.”
“Mana aku tau kalau iini yang kakak siapin. Kenapa malah nyalahin aku.”
“Iya-iya.”
Masih dengan menggenggam tangan kiri Tasya, kini Abil menatap lekat manik mata gadis itu.
“Maaf, cuma ini yang bisa aku siapin. Aku ga bisa seromantis seperti yang lain. Caraku memang berbeda, tapi ini benar-benar sangat tulus. Mau kan jadi pacar aku, Anatasya Queeny Zhulian.” Abil menghentikan kalimatnya. Dia menunggu jawaban Tasya.
Tasya tak bisa menyembunyikan kebahagiannya lagi. Senyumnya merekah begitu lebar. Ia mengangguk kemudian. “Iya, aku mau.” Ucapnya menjawab pertanyaan Abil.
Hal itu berhasil membuat Abil tersenyum kegirangan. “So?” Abil mundur satu langkah ke belakang lalu merentangkan ke dua tangannya.
Tasya mengernyit, tak mengerti apa maksud Abil.
“Mau peluk ngga?” Tanya Abil saat melihat Tasya kebingungan.
Seketika itu, Tasya langsung menghamburkan tubuhnya dalam pelukan Abil. Kedua tangannya memeluk erat tubuh tegap pria itu. Hangat, sangat menenangkan. Seolah tengah dilindungi dengan kasih sayang.
Abil tersenyum. Dia mengelus lembut kepala Tasya. Bodo amat soal jantungnya yang berdebar cepat. Sekarang, dia hanya ingin menikmati hangatnya pelukan Tasya.
“Sebentar! Tadi kakak bilang ngga pernah deket sama cewe lain kecuali keluarga, bener?” Tasya mendongak demi menatap Abil yang tubuhnya lebih tinggi.
Abil mengangguk membuat Tasya mengerutkan kening.
“Kakak punya saudara perempuan?”
“Sepupu.” Jawab Abil singkat.
“Aku boleh kenalan ngga?”
“Mau ngapain?”
Eummm, ga ada. Cuma pengin kenalan aja.”
“Pengin kenal atau pengin mantau?” Selidik Abil. Dia menatap tengil ke arah Tasya.
“Ga tau ih, males.” Gadis itu mencebik kesal lantas melepas pelukan Abil kemudian memunggunginya.
Siapa coba yang tidak gemas ngeliat cewe yang lagi kesal. Bahkan Abil berani bertaruh, dari pada senyum, sikap, atau perhatian, mayoritas cowok lebih suka melihat ekspresi cewe yang lagi marah atau kesal.
Abil melangkah ke depan, menghampiri gadisnya lalu memeluknya dari belakang. “Iya besok aku kenalin. Sekalian sama temen-temen aku juga.” Tukasnya setengah berbisik.
“Janji?”
“Iya bawell.”
“Okeyy.”
Lihat! Tasya sudah kembali ceria sekarang. Padahal beberapa detik lalu dia masih merajuk. Apakah semua perempuan seperti itu? Pura-pura marah agar keinginannya dikabulkan seperti anak kecil.
Abil tersenyum melihat tingkah Tasya. Dia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher gadis itu. Hembusan angin yang membuat anak rambut Tasya bergoyang menjadi saksi bisu atas resminya hubungan diantara mereka. Tasya mengelus lembut tangan Abil yang ada di perutnya sembari tersenyum, menikmati kehangatan yang Abi berikan.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰