Abang meninggalkan kerjaannya demi lapin.
Jadi, setelah kejadian Jeonghan dan Seungcheol yang (hampir) putus tunangan dan setelah kejadian di apartemen Ian yang membuat keduanya menyatu atau lebih tepatnya Seungcheol yang dijebak, dan hari-hari yang mereka lalui dengan banyak adegan bergumul tidak senonoh. Kini Jeonghan sedang mengandung lima belas minggu, dua minggu lalu Jeonghan udah periksa ke dokter dengan ibunya. Dan hebatnya selama semester awal ini Jeonghan ngga rewel sama sekali, dia bisa tidur nyenyak. Ia bisa tidur tanpa dipeluk setiap malem dan dicium keningnya setiap bangun tidur. Biasanya Jeonghan rewel sekali kalau belum dicium setiap mau tidur. Jam tidur Jeonghan malah tepat waktu, jam sepuluh malam sudah mengantuk. Sedangkan Seungcheol seperti baru memulai kehidupannya yang tersisa, alias biasanya ia baru selesai mandi, makan dan nonton tv atau main game atau malah melanjutkan pekerjaan yang belum selesai.
Tapi ada satu hal yang masih membuat Jeonghan rewel, ia selalu mengungkit masalah yang sudah-sudah. Sebagai contohnya ketika Seungcheol meminta Jeonghan membawa barang yang masih tertinggal di apartemen Ian, ia akan menjawab ‘Ah nanti kalau abang marah, tiba-tiba aku di usir lagi’ Dan tema pengusiran itu menjadi objek pembicaraan mereka setiap Seungcheol meminta Jeonghan untuk pindah seluruhnya, Jeonghan dendam karena ia diusir seenak jidat sang tunangan. Maka ia membalas dendam dengan selalu membahas tentang hal diusir itu, padahal kan Seungcheol tidak mungkin mengusir papih dari calon anaknya.
Ya begitulah hasil dari bertunangan dengan anak kecil yang ego dan gengsinya setinggi gunung everest. Soal pernikahan, belum tahu. Mereka belum mikirin.
“Sayang, saya berangkat kerja dulu ya.” Pagi-pagi seperti biasa, Jeonghan masih bergelung di atas tempat tidur dan Seungcheol sudah rapih siap untuk berangkat kerja.
“Sarapan?” Tanya Jeonghan, yang matanya baru setengah terbuka, suara khas serak bangun tidur terdengar.
“Roti bakarnya udah ada di meja, sama susunya tinggal angetin lagi.” Seungcheol lagi berdiri di depan cermin, membetulkan dasi berwarna hitam yang ia pakai.
“Abaaangg, ciuumm.” Tangan Jeonghan mengucak kedua matanya, agar terbuka menghilangkan kantuk.
“Sebentar.”
“Abaaannggg.” Rengeknya, dan Seungcheol mendekati Jeonghan lalu menunduk untuk mengecup keningnya.
“Ini? Ngga?” Tunjuknya pada bibir.
“Ngga, bau. Belum sikat gigi.” Seungcheol malah mencium pipi Jeonghan yang terlihat ada garis-garis akibat bantal entah akibat pria itu tertidur di pelukan Seungcheol semalam.
“Biasanya juga kalau ngewe pagi-pagi tuh ngga pernah protes kalau belum sikat gigi!” Jeonghan berujar, dan menarik selimut hingga menutup lehernya dan merubah posisi untuk memunggungi Seungcheol. Membuat sang pria tertawa.
“Hahahaha, pagi cantiknya abang.” Seungcheol sedikit memajukan tubuhnya dan mencium bibir Jeonghan yang cemberut, lalu mengusap rambut yang berantakan itu.
“Berangkat ya sayangku.”Jeonghan merasakan perutnya yang di usap oleh Seungcheol, kantuknya belum juga hilang jadi setelah mendengar suara pintu garasi yang terkunci otomatis, maka matanya pun menutup lagi. Ia baru bisa bangun pukul dua belas siang. Memangnya apalagi yang dilakukan si pengangguran ini kalau bukan tidur seharian? Apalagi, akhir-akhir ini hujan sedang sering-seringnya turun. Sangat mendukung Jeonghan untuk tidur lebih lama dan menunggu Seungcheol pulang dari kerja. Jeonghan belum memulai kerja di tempat mamih, katanya dia belum dibutuhkan jadi tunggu aja sampe mamih panggil dia.
Beda Jeonghan, beda pula Seungcheol. Pria yang telah resmi memiliki dua line bisnis itu sedang sibuk-sibuknya mempromosikan bisnis travel yang baru berjalan selama beberapa bulan ini. Setiap kali ia visit toko musik, maka ia akan menyimpan pamflet travel dengan berbagai bonus dan diskon yang menggiurkan. Ia pun tidak lupa mempromosikannya kepada rekanan bisnis yang sudah ia jalin sebelumnya, semua ia lakukan agar bisnis travelnya bisa berjalan lebih jauh. Semuanya harus dimulai dari langkah kecil, sebelum bisa melangkah menuju yang lebih besar.
Siang itu, Seungcheol sedang melakukan kunjungan pada salah satu toko cabang yang letaknya paling jauh dari pusat, memakan sekitar lima jam dalam sekali perjalanan dan sudah pasti ia akan pulang terlambat. Walaupun cabang toko ini adalah yang paling jauh tetapi omsetnya paling tinggi karena hanya satu-satunya toko alat musik di kota itu, dekat pula dengan sekolahan dan kampus-kampus.
“Pak, ada undangan makan siang dari Pak Daehan.”
“Hari apa?”
“Hari ini, karena kebetulan bapak datang kunjungan.”
“Dari mana om Daehan tau kalau saya ada kunjungan toko hari ini?”
“Kayanya Pak Daehan hapal jadwal bapak kunjungan, jadi mau diterima atau tidak?” Sekretaris Seungcheol yang duduk di kursi depan, mencuri-curi pandang pada kaca tengah mobil. Membaca jawaban apa yang kira-kira akan dikeluarkan oleh sang atasan, karena Pak Daehan ini sangat memaksa sekali agar Seungcheol bisa menikah dengan putri keduanya. Pak Daehan ini pemilik perusahaan perkebunan dan pabrik lobak terbesar di kota itu, dengan omset milyaran setiap tahunnya. Bagaimana tidak? Lobak adalah salah satu bahan wajib dalam pembuatan kimchi, sudah pasti pasarnya sangat besar sekali.
“Terima saja, tapi setelah saya selesai kunjungan.” Jawab Seungcheol, dan bagaimanapun Om Daehan ini adalah salah satu teman baik mendiang ayahnya. Walaupun Seungcheol resah memikirkan apa pria tua itu masih akan sangat berjuang agar Seungcheol menyukai putrinya.
Hari-hari Seungcheol berjalan seperti biasanya, ia memeriksa pembukuan toko, memeriksa stok toko dan memastikan tidak ada kerusakan atau kerugian baik berupa keuangan ataupun barang. Ia juga mendengarkan keluhan dari para pegawai tentang apa yang mereka lalui sehari-hari. Seungcheol duduk di salah satu kursi, kakinya saling bertumpang tindih satu sama lain. Di pahanya ada sebuah buku catatan kecil. Di kirinya ada sekretarisnya dan di kanannya ada manajer toko. “Ada kendala dalam beberapa bulan ini?” Tanya Seungcheol, ia menatap enam orang pegawai yang duduk di hadapannya.
“Tidak ada pak, ini Pak Daehan sudah memesan barang berupa gitar akustik sebanyak lima buah dan piano satu buah yang harus dikirim bulan depan.” Ujar salah satu pegawai yang memegang bagian keuangan.
“Sediakan yang dia minta, pastikan pengiriman barangnya jangan sampai terlambat. Sudah masuk uang muka?” Tanya Seungcheol, ia menengok pada manajer toko.
“Sudah pak, ada empat puluh persen yang sudah masuk. Sisanya akan dilunasi saat pengiriman barang.”
Seungcheol mengangguk. “Pastikan pembayaran nya tidak terlambat atau terlalu mundur, kalaupun dia meminta untuk pembayaran cicilan, berikan saja dua atau tiga kali cicilan.”
Semua orang yang berada di hadapannya mengangguk. “Ada lagi?”
“Tidak ada pak, sejauh ini aman-aman saja.”
“Selama seminggu ini sudah ada berapa kali penjualan?” Tanya Seungcheol.
“Seluruhnya?”
“Iya, nominal penjualan dalam seminggu ini.”
“Ada sekitar sembilan juta yang sudah masuk.”
“Berarti dalam tiga minggu ini sudah ada sembilan juta.” Gumam Seungcheol, ia menuliskan angka di bukunya. “Sudah termasuk uang muka dari pak Daehan?”
“Belum pak.”
“Kenapa ngga dimasukin?”
“Karena uang mukanya baru berupa giro yang belum bisa dicairkan.”
“Kapan bisa dicairkannya?”
“Tanggal lima belas nanti.”
“Nominalnya?”
“Enam juta.”
“Saya kalkulasikan ada lima belas juta. Tolong cek pemasukan uang dari cabang.” Ujar Seungcheol pada sekertarisnya.
“Cocok pak, sesuai dengan rekening koran. Dikurangi oleh giro pak Daehan yang belum cair.” Seungcheol mengangguk. “Saya harap, sampai akhir bulan ini kalian bisa mencapai target sedikitnya dua puluh juga ya.” Seungcheol tersenyum lebar, ia tertawa kecil mendengar helaan nafas para karyawannya. “Ya sudah, silahkan kembali bekerja lagi. Oh di mobil saya ada oleh-oleh, nanti minta tolong ambilkan sama supir ya.”
“Iya pak! Terima kasih!”
Seungcheol kembali masuk ke dalam ruangan manajer, ponselnya sejak tadi bergetar. Sudah pukul dua belas siang dan tentu saja kalau jam segini satu-satunya pesan yang akan masuk ponsel pribadinya adalah Jeonghan. Pria itu memberitahukan bahwa sudah selesai mandi, lalu makan siang berupa ayam goreng dan akan pergi bertemu Joshua, berjanji akan pulang sebelum dirinya pulang.
Baru akan membalas, ponselnya berdering. Menunjukan nama Daehan disana.
“Selamat siang om Daehan.” Sapa Seungcheol, dan obrolan selanjutnya tentu saja tentang janji makan siang mereka yang akan diadakan dalam satu jam lagi. Seungcheol setuju saja, tetapi ia sudah bilang tidak bisa berlama-lama karena harus kembali ke kantor pusat. Permintaan itu disetujui, entah apa yang membuat pria berumur lima puluh tahun itu sangat-sangat ingin bertemu dengannya. Dan tidak mau memberitahukan kecuali mereka bertemu di meja makan restoran, jadi Seungcheol menurut saja. Menjaga hubungan keduanya agar selalu baik dan tidak ada masalah sedikitpun.
Seungcheol sudah berada di restoran keluarga milik Pak Daehan, ia duduk di ruangan yang sudah dipesan, makanan di hadapannya sudah tersaji. Sambil menunggu, ia membalas pesan Jeonghan dan mengucapkan hati-hati karena pria itu pergi menggunakan motor.
“Seungcheol!”
Yang dipanggil langsung menyimpan ponselnya di atas meja, kemudian ia berdiri dan bersalaman dengan pria paruh baya yang seumuran ayahnya kalau saja masih hidup.
“Om.” Sapanya balik, tubuhnya lalu dipeluk dan pundaknya di tepuk-tepuk.
“Ayo duduk, udah lama banget ngga ketemu ya. Sekarang udah makin besar aja ini.” Pria bernama Daehan duduk di seberang Seungcheol. “Ayo makan aja, belum makan kan kamu?” lanjut sang pria. Tentu sebagai rasa hormat, Seungcheol tidak menyentuh makanan sebelum yang tertua mempersilahkannya. Dan ketika dipersilahkan, secara perlahan Seungcheol memindahkan menu makan siang menuju atas piringnya.
“Seungcheol, kamu waktu kecil suka di ajak ayahmu main golf, inget ngga?”
“Inget om.”
“Sekarang masih main golf?”
“Sekarang masih, tapi ngga sering.”
“Oh iya, pasti kamu sibuk ngurusin kantor ya?”
“Iya om, lumayan sibuk sekarang.”
“Om buka tempat golf baru di kota, kayanya ngga terlalu jauh dari tempat kamu. Ngga terlalu pinggiran kota sih, ya mungkin sekitar dua puluh menit, kamu mau gabung sama clubnya? Ah, ngga usah bayar. Nanti kamu om kasih black member sekalian.”
Kening Seungcheol langsung mengkerut mendengarnya, sumpit yang ia pegang kini terdiam di atas meja. “Kapan om buka tempat golf?”
“Baru sekitar dua bulan lah, belum terlalu besar sih. Tapi ya lumayan sudah ada beberapa yang tahu, kamu main golf lah sama om. Masih inget kamu tuh jago main golfnya.”
“Ah, iya nanti aku mampir ke tempat golf nya om.”
“Iya, nanti om kasih tahu staff sana kalau ada kamu kasih masuk gratis aja.”
Seungcheol mengangguk, ia sedang menduga-duga. Apa kiranya yang harus ia berikan sebagai timbal balik kartu akses hitam di klub golf yang sudah ia dengar beberapa minggu terakhir ini.
“Oh, om inget waktu datang ke acara pembukaan event travel kamu. Ada anaknya.. Keluarga Yoon?”
Nahkan, “Ian?”
“Bukan, adiknya. Aduh om lupa, siapa ya namanya? Kayanya om inget dia anaknya keluarga Yoon terus ngobrol sama mamihmu. Siapa ya, Yeohan? Atau siapa ya?”
“Jeonghan?”
“Nah iya Jeonghan.”
“Kenapa om?”
“Kamu dekat kan sama keluarga Yoon? Soalnya kamu satu kampus sama Ian itu.”
“Iya.. lumayan sih om, kenapa?” Di Situ, perasaan Seungcheol tidak karuan.
“Ini, om mau nitip undangan ini untuk Jeonghan. Kamu tau ngga anaknya udah punya pacar atau udah ada rencana nikah gitu?”
“Belum tau sih om.”
“Om mau ngundang dia ke tempat golf, tanggal dua puluh om kesana sama anak om yang kedua itu. Rencananya mau om kenalin dia ke Ahri.”
“Oh.” Seungcheol tersenyum kecil, ia kembali menyuap makanannya.
“Bisa ngga om titipin undangannya buat Jeonghan lewat kamu?”
“Bisa, nanti aku titipkan ke kakaknya. Setau aku sih adiknya lagi sibuk.” jawab Seungcheol, ia meminum teh hijau dinginnya.
“Ya udah bagus, nanti tanggal dua puluh kamu dateng ya sama dia? Biar dia ngga canggung ketemu Ahri, kan kamu udah kenal sama Ahri. Nanti kamu temenin Jeonghan sama Ahri buat kenalan.”
“Boleh.” Seungcheol mengangguk, ia disodorkan sepucuk amplop berwarna biru muda dengan lambang keluarga Daehan disana. Seungcheol menerimanya, makan siang itu berlanjut sampai Seungcheol akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan obrolan basa-basi itu.
“Pak, kita ke kantor atau langsung pulang ke rumah?”
“Rumah aja, besok kamu jemput saya pagi ya. Mobil saya di kantor.”
“Baik pak.”
Sepanjang perjalanan pulang, Seungcheol memutar-mutar amplop biru di tangannya. Ia sedang berjudi, haruskah ia berikan surat ini pada Jeonghan? Atau haruskah ia merobeknya dan membuangnya? Haruskan ia berikan saja pada Ian agar pria itu saja yang datang untuk undangan? Tapi yang pasti, surat itu ia buka dan ia baca. Lalu ia tertawa kecil sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Hahahaha undangan macam apa ini?” Gumamnya, disana tertulis dengan sangat jelas bahwa Daehan ingin berbesan dengan Yoon dan meminta agar putra putri mereka saling bertemu untuk berkenalan. Membaca kalimat itu, Seungcheol tertawa terbahak-bahak. Hingga sekretaris dan supirnya saling bertatapan bingung.
“Kontolnya aja ngga bangun kalau liat perempuan seksi, mana bisa dia hamilin cewe? Bisanya dibikin hamil” Seungcheol tertawa kecil dan melempar surat itu ke kursi samping, membuat sekertaris dan supirnya menengok satu sama lain dengan pandangan takut-takut. Seungcheol mengambil ponselnya untuk memberitahukan Jeonghan bahwa ia sudah diperjalanan pulang.
Hari-hari bermain golf Seungcheol dimulai, ia ingat bahwa dirinya sangat senang ketika dibawa menuju lapangan golf oleh ayahnya. Ia juga ingat semua teman-teman ayahnya yang selalu bermain bersama, Seungcheol berhenti bermain golf ketika ia harus fokus untuk mengurusi perusahaan keluarga. Dan itu tepat saat ayahnya meninggal, baru kali ini lagi dirinya menyentuh lapangan berumput itu.
Awalnya ia hanya menghabiskan satu jam setiap harinya di sela-sela bekerja, ia juga mulai berkenalan dengan beberapa orang yang berasal dari pengusaha-pengusaha di negerinya. Tempat golf itu seperti perkumpulan orang-orang kaya, dan Seungcheol merasa beruntung sekali bisa masuk dalam lingkarannya dan memperkenalkan bisnis keluarga Choi yang lainnya
Seungcheol itu gampang sekali mengambil hati orang-orang yang lebih tua darinya, ia bahkan mengajarkan cara bermain golf kepada para seniornya hingga obrolan mereka semakin panjang dan mulai tertarik dengan bisnis travel yang Seungcheol tawarkan melalui mulut ke mulut. Dalam satu minggu, ia bisa pergi ke lapangan golf sebanyak empat hingga lima kali. Hingga barang pertama yang ia masukan kedalam mobil, bukan lagi tas kerjanya tetapi tas golf dan sepatu golf yang tidak bisa ia tinggalkan begitu saja. Sesekali ia juga bertemu dengan Ian dan Yunho di lapangan itu.
Tentang surat undangan, Seungcheol akhirnya meremas surat, merobek dan membuangnya. Tidak pernah sampai pada tangan Jeonghan, tetapi sampai pada telinga Ian dan membuat keduanya tertawa-tawa.
“Harusnya berita lo tunangan sama Jeonghan di publish ngga sih?”
“Apa ngga sekalian aja berita adek gue hamil tuh di publish juga? Ngga deh, ga usah, biarin aja.”
“Sepakat.”
“Kaka ipar sama adik ipar, dua-duanya aneh.”
“Hahahaha, kapan Jaejoong lahiran?”
“Bulan depan.”
“Disini?”
“Ngga, minta di amrik dia.”
“Ooohh.”
“Mau?” Ian menyodorkan sepuntung rokok pada Seungcheol dan Yunho. Kedua pria itu tentu saja menengok dan menelan ludahnya masing-masing lalu melemparkan muka mereka. Tidak ingin tergoda pada batang rokok yang sudah berapa tahun ini tidak mereka sentuh, membuat Ian tertawa kecil dan menyalakan rokoknya serta menghembuskan asapnya lurus. Ia tidak masalah akan merokok, selama sampai rumah ia sudah berganti pakaian dan mandi yang bersih. Sehingga tidak meninggalkan residu-residu rokok di tubuhnya.
“Abaaanngg! Main golf terus!” Baru saja Seungcheol menyimpan tas golfnya, telinganya sudah mendengar suara nyaring sang tunangan.
“Hahaha, tadi ngga golf. Habis ketemu Ian sama Yunho.” Seungcheol langsung memeluk tubuh Jeonghan, mengecup pipinya dengan gemas.
“Ko ngga bilang ketemu kak Ian?”
“Mendadak tadi ketemunya lapin.”
“Oh gituu, abang aku laper.”
“Tadi ngga makan di tempat Joshua?”
“Nggaaa, mau makan masakan abang aja. Masih mual ngga?”
“Ngga, mau makan apa lapin?” Tubuh Jeonghan yang tadi berada di pelukannya kini sudah ia angkat dan gendong di depan.
“Pengen nasi goreng, yang gampangg.”
“Udah laper banget belum? Kalau belum, saya mandi dulu. Boleh?” Jeonghan kini sudah terduduk di pangkuannya Seungcheol.
“Belum sih, ya udah abang mandi dulu kalau gitu.” Jawab Jeonghan, ia melihat wajah Seungcheol yang sedikit memanyunkan bibirnya. Membuatnya tertawa dan ia berikan ciuman pada bibir tebal itu.
“Udaaahh, sana mandi.”
“Satu lagi.” Pinta Seungcheol, membuat Jeonghan menghela nafas dan mengecup bibir sang tunangan. Lalu tubuhnya dibaringkan di atas sofa dan Seungcheol langsung mencium bibir Jeonghan kembali, membuat pria kecil dibawahnya tertawa-tawa kecil. Ciuman itu turun menuju perut Jeonghan yang masih terlihat rata, bahkan terlihat seperti tidak sedang hamil.
“Dedeek, tadi papah lapin ngebut ngga bawa motornya?” Tanya Seungcheol pada perut Jeonghan. “Kalau papah lapin bawa motornya ngebut, sama dedek di cubit aja ya?” Ciuman kembali mendarat di perut Jeonghan, hingga berkali-kali.
“Abaang, cepet mandi. Aku laper.”
“Iya lapin sayang.” Seungcheol mengecup kening Jeonghan sebelum pergi menuju kamarnya dan membersihkan diri.
Soal Jeonghan yang masih diperbolehkan mengendarai motor, itu karena kesepakatan keduanya. Sebelumnya Jeonghan marah, karena Seungcheol bisa pergi kemana saja. Tetapi ia merasa terjebak di rumah, tidak dibolehkan pergi kemana-mana kalau tidak bersama Seungcheol. Dan tentu saja Jeonghan kabur karena ngambek, ia mau diperbolehkan mengendarai motor dan akhirnya Seungcheol setuju. Tetapi motor yang boleh dikendarainya bukan motor besar miliknya yang memiliki suara kencang itu, tetapi motor matic yang Seungcheol beli. Tentu awalnya Jeonghan menolak, tapi pada akhirnya ia pakai motor itu untuk sesekali pergi ke tempat Joshua. Walaupun dengan beberapa mobil yang membuntutinya dari belakang dan pada akhirnya ia lebih memilih memesan taksi, karena malu membawa motor matic. Bukan gayanya membawa motor kecil, Jeonghan harus membawa motor kebanggaannya.
Makan malam keduanya seperti biasa, mendengar celetuk lapin tentang sehari-harinya. Pria kecil itu berdiri disamping Seungcheol yang tengah mencuci piring, lalu mengikutinya menuju ruang cuci pakaian dan menemani Seungcheol menjemur baju, lalu mengunci pintu dan pada akhirnya mereka berdua berada di atas kasur untuk menutup hari. Pekerjaan Jeonghan hanya mengikuti kemanapun Seungcheol bergerak dan bercerita tentang harinya, sedangkan Seungcheol mendengarkan dan sambil membereskan rumah.
Siang itu, Seungcheol baru menyelesaikan dua meeting yang jaraknya saling berdekatan. Ia bersandar pada kursinya dan menghisap inhaler yang selalu berada di kantong celananya, semenjak ia mengalami morning sickness kemanapun ia pergi, maka akan ada inhaler beraroma mint disana. Mulai dari sekretaris, sopir hingga setiap ruangan di kantornya akan selalu tersedia inhaler. Seungcheol tidak bisa hidup tanpa inhaler, atau dia akan mual-mual dan berujung muntah. Tentu saja ia tidak mau menjadi omongan para pegawainya serta bahan gosip para ibu-ibu di kantornya, bagaimanapun tidak banyak yang tahu kalau Seungcheol ini sudah memiliki pasangan.
“Hoshi, mau ikut ngopi ngga?” Seungcheol menelpon salah satu staff terdekatnya.
“Boleh pak, ngopi tempat biasa kan?”
“Iya, sebentar lagi saya turun. Kamu tunggu di lobi.”
“Okee siaaap paakk.” teleponnya ditutup, kursi yang didudukinya ia putar-putar sembari melihat langit-langit ruangannya. Hari-hari yang ia lewati sangat melelahkan, satu-satunya alasan Seungcheol masih mau bekerja seperti ini, tentu saja keluarganya. Inhalernya kini sudah ia jejalkan kedalam hidung dan Seungcheol segera keluar dari ruangannya, rasa pusingnya hanya bisa disembuhkan oleh kopi.
“Saya ngopi dulu, kalau ada tamu suruh pulang saja. Lagi ngga mau terima tamu saya.” Ujar Seungcheol pada sekretarisnya yang tempo dulu pernah membuat Jeonghan cemburu.
“Baik pak.” Jawab sang wanita.
Seungcheol langsung masuk ke dalam lift dan turun menuju lobi. Ia melihat Hoshi yang sudah menunggunya, keduanya berjalan menuju kedai kopi langganan terdekat dari kantor. Sepanjang perjalanan Seungcheol masih saja menghirup inhaler.
“Pak, itu beneran inhaler? Bukan sabu?” Tanya Hoshi, iseng.
“Sabu.” Jawab Seungcheol, iseng juga. Membuat Hoshi tertawa kecil. “Bohong kan pak?” Tanya sang pria bermata sipit. “Pak? Bohong kan pak? Itu inhaler kan pak? Bukan sabu-sabu?” Malah Hoshi yang panik kali ini, takut-takut bos nya itu menjadi pecandu narkoba, lalu ditangkap polisi dan menjadi buronan, lalu kantor mereka digerebek dan bangkut. Akhirnya para pegawai akan menjadi pengangguran, dan Hoshi tentu saja tidak mau. Ia melangkah disamping Seungcheol sambil melihat sang bos terus saja menghirup inhaler di hidungnya.
Keduanya kembali ke kantor dengan kopi di tangan masing-masing, mereka memilih untuk berhenti sesaat di taman yang berada di samping kantor. Sekedar mengobrol, menanyai tentang rencana Hoshi yang akan menikahi JIhoon kekasihnya dan berujung Hoshi malah curhat karena mereka bertengkar. Hoshi sedang berjongkok di depan sofa tempat biasa mereka duduk, ada kucing berwarna hitam yang tertidur disana. Kucing penghuni taman kantor dan sering diberi makan oleh pada pegawai disini.
Seungcheol mendengarkan cerita Hoshi sambil membalas pesan sang tunangan yang memintanya agar mengabari kalau sudah berada di ruangan.
“Saya ke atas ya.” ujar Seungcheol, ia memasukan ponselnya kembali kedalam saku dan sedikit berlari menuju lift, meninggalkan Hoshi yang berdiri dengan bingung karena tiba-tiba saja atasannya pergi meninggalkan dirinya.
“Emang kalau ada butuhnya nyariin, kalau udah ada ayangnya, gue ditinggal.” gumam Hoshi
Seungcheol segera masuk ke dalam ruangannya, penasaran tentang isi pesan lapin yang sepertinya sangat rahasia, sambil menenggak kopi hitam panasnya ia membaca pesan sang tunangan yang membuat tubuhnya terasa panas dan dingin tidak karuan. Ia yakin jantungnya berdetak sangat kencang bukan karena efek kopi, kepalanya terasa berputar bukan karena stress pekerjaan. Tetapi karena pesan godaan yang Jeonghan kirimkan di tengah siang bolong seperti ini. Kedua kaki Seungcheol yang awalnya berdempetan kini pahanya terbuka lebar, memberikan ruang bagi benda diantara kedua pahanya yang terasa semakin lama semakin tidak nyaman. Seungcheol membalasnya, ia tersenyum kecil melihat foto-foto sang tunangan dengan berbagai posisi kamera, dari atas yang terlihat seperti baru bangun tidur dengan wajah polos yang sepertinya masih mengantuk, lalu foto dari samping yang terlihat sangat menggoda dengan ekspresi wajah yang dibuat seksi. Jeonghan tengah menggoda Seungcheol, dan mampu membuatnya menahan teriakan dalam mulutnya, teriakan gemas yang membuat seluruh tubuhnya seperti tremor. Dua foto saja mampu membuat Seungcheol tremor, ini ditambah lagi bonus foto Jeonghan yang seperti menggigit jarinya, membayangkan bagaimana kalau jarinya lah yang berada disana dan ia gerakan hingga dalam, hingga membuat Jeonghan tersedak. Seungcheol tentu saja menggoda balik pesan-pesan nakal yang Jeonghan kirimkan, ia mengetik sambil tersenyum-senyum kecil, kedua kakinya dibawah meja sana tidak mau diam dan malah terhentak-hentak kecil.
Isi kepalanya ribut sekali, masih ada meeting siang itu walaupun tawaran sang tunangan sempat membuatnya gundah.
“Goddammit.” Gumamnya dengan nafas yang memberat. Ponselnya ia simpan dan telepon kantornya ia angkat. Sekretarisnya dihubungi, padahal Seungcheol bisa saja menghampiri tetapi ia tidak yakin bisa mengobrol lama dengan saling berhadapan, apalagi dirinya sudah keras dibawah sana. Seungcheol menyerah, foto Jeonghan yang menggunakan rok dan crop top mampu membuat kewarasannya terjun menuju jurang. Tawaran sang pria untuknya tidak bisa ia biarkan begitu saja, apalagi keduanya yang rajin sekali berhubungan seksual akhir-akhir ini harus puas dengan saling mengoral satu sama lain karena takut menyakiti bayi dalam kandungan Jeonghan. Tetapi lima belas minggu adalah waktu yang cukup aman dan Seungcheol sepertinya tidak perlu menahan diri lagi.
“Meeting hari ini tolong kamu siapin online, saya ada urusan lain. Link meeting-nya kamu kirim ke saya satu jam lagi.” Telepon itu langsung ditutup, Seungcheol menggendong tasnya, mengambil kunci mobilnya, dengan sembarang memasukan barang-barangnya dan ia berjalan keluar ruangannya.
“Pak, kalau ada tamu saya bilang bapak kemana?”
“Ada urusan.” Jawabnya singkat, dan Seungcheol langsung masuk ke dalam lift memencet tombol lantai parkir dan seperti orang yang tengah dikejar-kejar masalah, ia langsung berlari menuju mobilnya. Berkendara dalam keadaan dipenuhi nafsu, membuat setengah otak Seungcheol tidak berfungsi, ia menginjak pedal gas sangat dalam hingga mobilnya menderu kencang membelah jalanan siang yang cukup padat. Tidak peduli dengan klakson yang berbunyi di belakang sana setiap dirinya lewat, yang ia pedulikan adalah tubuh tunangan cantiknya yang sedang menunggu di rumah.
Mobil diparkirkan sembarang di depan rumah, tidak peduli kalau miring. Kakinya langsung berlari dan membuka pintu rumahnya, Seungcheol berhenti untuk melepas sepatu dan ia menjatuhkan tas kerjanya di lantai. Ia disambut dengan Jeonghan yang tengah memegang raket tenis dan di televisi mereka tengah memperlihatkan bagaimana cara memukul bola tenis dengan benar.
“Oh! Coach nya udah dateng.” Jeonghan berhenti, kedua kakinya yang tadi terbuka kini tertutup. Raket tenisnya berada di pundak.
“Pretty, pretty lapin.” Seungcheol berjalan ke arah Jeonghan, mungkin hanya tinggal beberapa meter saja untuk ia dekap tubuh cantik itu, tetapi ia terhenti dengan raket tenis yang menghalangi jarak keduanya.
“Coach, belajar apa kita hari ini?” tanya Jeonghan, ia tidak membiarkan Seungcheol mendekat. Jarak mereka hanya terbatas oleh raket tenis yang ia gunakan untuk menahan Seungcheol agar tidak berjalan lebih dekat ke arahnya.
Seungcheol menelan ludahnya, matanya menjalar dari atas dan turun menuju paha Jeonghan yang terekspos, rok hitam cantik yang membingkai pinggul ramping itu dan crop top yang memperlihatkan perut ramping. Membuat Seungcheol terus-terusan menelan air liurnya, kalau tidak ia telan sudah pasti akan mengalir dari ujung bibirnya. Jas yang ia pakai dilepaskan, kemeja putih yang digunakan lengannya ia lipat sampai siku.
“Basic tennis.” Seungcheol mendorong raket tenis Jeonghan ke pinggir, dan dirinya sudah berdiri di belakang tubuh Jeonghan. “Gini cara pegang raket yang bener.” Seungcheol menyentuh lengan Jeonghan, kedua tangannya memperagakan bagaimana cara mengayunkan raket. Sesekali bibirnya mengecup pundak Jeonghan yang terlihat, Seungcheol sedikit mendesah saat Jeonghan sedikit menunduk dan penisnya ditekan oleh pantat Jeonghan. “Oops, sorry.” Gumam Jeonghan, ia bisa merasakan bagaimana penis sang tunangan yang keras di pantatnya.
“Lapin, bisa ngga kita langsung ke intinya? Saya ada meeting online, sayangku.” Bisik Seungcheol, kini tubuh Jeonghan berada di pelukannya, satu tangannya berada di pipi sang pria dan menahannya agar wajah itu tidak menghindar, sehingga pipinya bisa ia kecup dan cium sesuka hati. Satu tangannya mengusap perut Jeonghan yang terasa padat dan keras, akibat hormon kehamilan yang terbentuk.
“Loh, dikirain abang mau meeting sambil pangku aku?” Jeonghan berucap, ia tersenyum dan mengecup bibir sang pria.
“Saya ngga segila itu.” Seungcheol menghela nafasnya, tangannya yang tadi berada di perut kini berada dipinggul Jeonghan, menahan agar pinggulnya tidak terus bergerak dan menggesek kepada kemaluannya.
“Oh gitu, ya udah aku belajar tenis lagi aja deeh. Biarin abang meeting.”
“Sayangg.” Seungcheol mengecup leher Jeonghan, tangannya sudah menggerayangi tubuh Jeonghan, menuju perut, dadanya ia remas cukup kuat hingga kepala Jeonghan kini bersandar di pundaknya, dan berhenti di leher sang pria, sedikit menekan tangannya pada leher cantik itu membuat Jeonghan mendesah tertahan.
“Mmh, abang siapin dulu meetingnya.” Bisik Jeonghan, ia mengecup pipi Seungcheol.
Seungcheol menghela nafasnya dan Jeonghan terkekeh mendengarnya, ia bisa merasakan penis Seungcheol yang menekan pantatnya.
“Tapi jangan berisik ya?”
“Tergantung, kalau abang nyodoknya kenceng ya aku desah.” Jeonghan melepaskan pelukan Seungcheol pada tubuhnya, ia melingkarkan kedua lengannya pada leher Seungcheol, mengecup bibir tebalnya.
“Sayaanggg.” Seungcheol hampir saja berlutut di hadapan sang pria, ia ingin sekali berlutut dan mengecupi kakinya dari bawah hingga bagian terdalam. Baru saja Seungcheol mau membuka mulutnya, ponselnya sudah berdering. Membuatnya menghela nafas lebih panjang. “Halo. iya sebentar, saya baru sampe.” Jawabnya singkat, lalu mematikan telponnya dan dengan berat hati ia mengambil tas yang tadi ia tinggalkan di lorong pintu untuk ia bawa menuju ruang kerjanya yang berada di bagian belakang, dimana Jeonghan mengambil fotonya tadi.
“Lapin, tunggu dulu sepuluh menit. Saya mau meeting.” Seungcheol berujar dengan pundak yang lesu, dan Jeonghan rasanya ingin tertawa kencang sekali melihatnya. Rumah itu sepi, hanya terdengar suara tv dan suara yang berasal dari ruang kerja Seungcheol. Sepertinya sudah dimulai meetingnya, gelas berisi jus jeruk di simpan di atas meja kakinya yang tadi berselonjor di sofa kini sudah turun menginjak lantai, ia berjalan menuju belakang dan mengetuk pintu berwarna putih, membukanya sedikit dan melihat Seungcheol yang duduk di kursi gaming yang dibeli seharga jutaan itu. Duduknya tidak tegap seperti biasanya, tangannya menopang kepalanya, pria itu memakai headphone dan kacamata anti radiasi yang akhir-akhir ini dipakai olehnya, matanya tertuju pada layar laptop.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰