Beda Tipis : Bagian 4

0
0
Deskripsi

---AYO TEKAN TOMBOL ❤️---

Setelah pentas seni berakhir semua panitia berkumpul di resto milik Kevin, mengadakan pesta kecil-kecilan atas keberhasilan acara. Lagi-lagi aku terjebak dalam lingkaran ini dan semua itu karena rayuan kak Rachel —lagi. Ada 15 panitia inti yang kini memenuhi resto Kevin di halaman tengah. Makan-makan di outdoor sembari memanggang daging adalah yang terbaik. Aroma daging terbakar seakan membuat perut menjerit dan air liur terasa asin.

"Bisa lebih cepat tidak?" Kak Ivan sejak tadi sudah tak sabar ingin mencicipi potongan daging yang dibakar oleh kak Kevin. Padahal baru semenit daging itu dipanggang tapi dia sudah meronta tak sabar.

"Kev, kau tidak bakat memanggang daging," ejek kak Ivan. Aku hanya melirik ke arahnya, sejak acara selesai sampai sekarang kak Ivan tak diam sedikitpun, dia terus mengomel lapar, haus, gerah dan lelah. Kini malah mengatai pria yang punya bisnis kuliner tidak bakat memanggang daging.

"Tch," decakku pelan karena tingkahnya yang konyol saat kelaparan.

"Kudengar kau mau membantuku mengisi kelas."

"Hah? Siapa? Aku?" Tanya kak Ivan sambil celingak-celinguk.

Ah, kalimat itu untukku.

"Eng!" Balasku singkat sambil mengangguk. Respon kak Ivan heboh, dia tak percaya aku mau menjadi pengajar piano meski itu hanya sementara. Bahkan dia meyakinkan pendengaran dengan bertanya padaku sambil tergagap.

"Wah, saking laparnya sampai bicaraku gagap," elaknya. "Kev, lebih cepat!"

"Tch!" Kak Kevin berdecak sebal. "Kenapa tidak kau panggang sendiri?" Imbuhnya.

"Terima kasih sudah membantuku," ucap kak Kevin sembari memberikan potongan daging yang baru matang. Tentu kak Ivan tak terima dia berusaha mencuri daging dari piringku namun dengan cepat kak Kevin menepis dengan penjepit daging.

"Hehe" tawaku lalu ku masukan potongan daging itu ke mulut. Masih panas sebenarnya tapi aku tak ingin kecolongan. Rasanya manis gurih dan tingkat kematangannya pas, padahal aku tidak bilang tingkat kematangan yang sesuai seleraku.

Mendengar kak Ivan berceloteh kesana kemari sambil menikmati daging panggang itu rasanya seperti makan di tengah pasar —berisik namun hal itu malah semakin membuat suasana lebih hidup. Itu hanya berlaku bagi mereka yang sefrekuensi. Aku? Tentu saja hanya sebagai pendengar yang baik dan tim penyumbang tawa.

Tuk. Tuk.

Bahuku dicolek dua kali, ketika kutoleh sosok Kevin sudah berdiri di belakangku.

"Bisa ikut aku sebentar?"

Diam di antara keramaian ini tidaklah nyaman tapi jika ikut kak Kevin itu lebih tak nyaman lagi. Tak kunjung kujawab karena aku bimbang tapi karena dia membawa embel-embel tentang kelas piano mau tak mau pantatku harus lepas dari kursi kayu. Langkahku tak selebar miliknya, satu langkah kak Kevin bisa jadi dua langkah untukku, aku terus mengekor padanya hingga sampai di ruangannya.

"Masuklah!" Dia masih memimpin jalan lalu menunjukkan sofa untukku.

"Bisa tidak kau mengisi 2 kelas dalam seminggu? Kebetulan 2 hari itu aku tak bisa hadir."

Pria ini tak pernah basa-basi padaku, itu tak masalah aku lebih suka yang to the point seperti ini lagi pula siapa yang suka berduaan dengannya.

"Ini data murid yang ikut kelasku."

"Ah iya," aku mengambil buku tipis berisi absensi para siswa. "Kak ini..." aku menggantungkan kalimatku begitu melihat kak Kevin bersandar di meja kerja sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Aku tak bisa bohong jika itu pose yang keren. Sudah kubilang kan, Kevin itu menyebalkan tapi menawan.

"Iya?" Dia ingin aku melanjutkan kalimatku.

"Ini hanya sementara, hanya saat kakak tak bisa hadir," jelasku.

"Ah iya. Lagi pula aku juga tak mau menyerahkan posisiku kok,"

Ah, akhirnya keluar juga omongan pedas itu. Untung aku terbiasa dan untung juga hari ini hari baikku jadi aku tak akan menimpali omongannya. Sekarang semuanya jelas, aku beranjak dan berniat kembali ke perkumpulan panitia.

"Shella."

Iih! Bulu kudukku meremang begitu mendengar suara kak Kevin yang memanggil namaku. Badanku berputar dengan kaku, menatapnya sambil mengatakan "iya?"

"Terima kasih."

"Ah bikin kaget saja," gumamku.

"Iya, sama-sama. Aku kembali dulu."

Begitu keluar dari ruangannya aku menggosok kedua lenganku, merinding mengingat nada bicara kak Kevin ketika mengucapkan terima kasih buru-buru aku berlari sebelum dia keluar dari ruangannya.

Suasana masih ramai, mereka menyuapi daging panggang sambil bercengkerama satu sama lain. Aku tersenyum, memeluk buku absensi lalu berbaur dengan mereka kembali melanjutkan memuaskan lidah dengan daging panggang.

"Sudah selesai urusannya?" Sepertinya kak Rachel tahu jika aku baru saja berbincang dengan kak Kevin. Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya.

"Semangat ya!" Kak Rachel mengangkat gelas berisi minuman soda, kedua matanya menunjuk pada gelasku yang juga terisi soda, kita dentingkan kedua gelas kaca itu lalu kita teguk bersama. Daging panggang dan cola kombinasi luar biasa menu makan malam hari ini.

Entah sudah berapa banyak daging yang masuk ke perutku yang pasti kini aku sudah tak sanggup, saat mataku mengedar ke sekitar panitia yang tadinya ada 15 kini tinggal 7. Rupanya sebagian sudah pulang atau mungkin melanjutkan pesta di tempat lain. Wajar jika semakin sepi, waktu menunjukkan pukul 8 malam, belum terlalu malam mungkin mereka lelah dan ingin segera pulang. Aku pun sama, mencari keberadaan kak Evan dan kak Rachel untuk berpamitan.

"Mau kemana?" Tanya kak Ivan menarik pergelangan tanganku.

"Mau pulang, sudah malam," jawabku sambil menunjukkan jam tangan yang melingkar di pergelangan kiri.

"Hey santai saja dulu. Ini juga belum habis," dia mencondongkan dagunya pada piring-piring yang masih belum kosong.

"Aku kenyang," kataku seraya menggelengkan kepala. Mata kak Ivan menyipit menyorot padaku, seakan apa yang kuucapkan adalah omong kosong. Tangannya masih tak melepaskanku setelah manatapku tajam kini malah bertingkah imut, merayu agar aku tak pulang. "Biar kakak yang akan mengantarmu pulang."

Tawaku lepas karena merasa geli dan mual mendengar ucapannya. Meski ini bukan kali pertama tapi kewarasanku tak pernah terbiasa dengan segala tingkah kak Ivan yang kadang out of the box. Pada akhirnya pantatku kembali ke kursi tepat di sebelahnya, menatap macam-macam makanan yang masih cukup untuk 7 orang. Kita membicarakan banyak hal seru dari pembentukan panitia pentas seni hingga tiba-tiba ganti genre horor.

"Jangan horor! Shella pulang sendiri loh," kak Rachel memperingatkan yang lain padahal aku juga terhanyut dalam kisah-kisah pendakian kak Evan dan kak Bagas ke beberapa gunung di Jawa.

"Hey ada aku kok. Lanjutkan Gas seru loh!"

Kak Ivan kalau sudah suka sama suatu cerita inginnya selalu dengar sampai telinganya bosan. Raut kak Rachel menekuk dia menarik tanganku seakan ingin memisahkan diriku dengan perkumpulan penyuka cerita horor.

"Aku seriusan ingin mengantar Shella pulang. Hari ini aku pulang ke rumah nenek yang kebetulan searah dengan Shella." Ganti kak Ivan yang menarik tangan kiriku, menahan agar aku tetap dalam lingkaran.

"Aku juga ikut Ivan kok. Berarti nanti kita bertiga pulang sama-sama."

Deg!

Demi apa kak Kevin ikut kak Ivan? Bukan hal aneh sih, aku saja yang terlalu berlebihan. Bukan. Aku lupa kalau mereka ini sudah bestie sejak SMP jadi tidur di rumah satu sama lain sudah biasa. Tapi kenapa harus sekarang?

Dari 7 orang kini tinggal 3 orang. Hobiku adalah terjebak dengan kak Ivan. Pria itu kini menunduk, sebagian kesadaran hilang dijajah alkohol, di antara tujuh orang dia sendiri menghabiskan sebotol soju sambil menjadi pendengar cerita. Tanganku mengusap wajah bingung harus berbuat apa pada pria yang kini menggumam tak jelas, kuajak pulang pun dia hanya merengek seperti bocah minta jajan.

"Kau sudah siap? Tidak ada yang tertinggal?" Tanya kak Kevin sambil merapikan jaket hitamnya, akupun mengangguk setelah memastikan tak ada barang pribadi di atas meja ataupun kursi.

"Oi! Bangun!" Meski diguncang pun kak Ivan hanya menunduk.

Dugh! Kepala kak Ivan menyundul dagu kak Kevin tak sengaja. Pria keturunan Tionghoa itu hanya meringis lalu menjitak kepala Ivan.

"Kenapa pulang sekarang?" Rengek kak Ivan sembari menatapku dengan wajah yang memerah. Aroma alkoholnya cukup kuat hingga membuat tubuhku mundur. "Adit tak akan mencarimu karena kalian sudah end."

Jleb!

Rasanya ingin kubungkam mulut keran bocor itu. Tatapan kak Kevin bergantian menatapku dan kak Ivan, meski rautnya terlihat penasaran namun mulutnya tertutup rapat. Pria itu tak akan tertarik pada kehidupan sosok debu sepertiku.

"Kau cari partner untuk datang ke acara pernikahan temanmu kan? Bagaimana jika a..." dia menunjuk dirinya sendiri. "Kevin?" Telunjuknya berpindah ke dada Kevin.

Telingaku terasa panas begitu tatapanku dan kak Kevin bertemu. Aku menaruh dendam pada kak Ivan, usahaku selama dua bulan menyembunyikan berakhirnya hubunganku terbongkar dalam sekejap meski aku yakin jika kak Kevin tak akan bertanya apapun tapi tetap saja rasanya harga diriku tercoreng. Putus cinta itu bagai aib.

"Hei bung kau juga baru saja putus kan?"

Eh? Kak Kevin putus?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Beda Tipis : Bagian 5
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan