
Ketika mimpi besar perlahan terkubur oleh kerasnya kehidupan, Ardi, seorang siswa SMK Teknik Elektronika, harus menghadapi kenyataan pahit. Dalam keterbatasan dan hujan deras yang tak kunjung reda, ia menemukan harapan di tengah keputusasaan. Cerita ini mengisahkan perjuangan kecil yang penuh makna, tentang bagaimana langkah sederhana di bawah hujan bisa membawa seseorang mendekati impiannya.
Apakah Ardi mampu membuktikan bahwa mimpi tidak sepenuhnya sirna? Mari ikuti perjalanan inspiratifnya dalam “Langkah di Bawah Hujan.”
Langkah di Bawah Hujan
Hujan turun deras sore itu, membasahi jalanan kecil yang sudah penuh genangan. Ardi, siswa SMK Teknik Elektronika, memarkir motornya di tepi bengkel sekolah dengan hati yang terasa lelah. Ia memeriksa sakunya, sisa uang yang ia miliki cukup untuk membeli bensin, tetapi tidak cukup untuk makan malam nanti.
“Belum bayar SPP lagi, Ardi?” tegur Pak Rian, gurunya yang kebetulan berada di halaman sekolah.
Ardi hanya tersenyum tipis. Bukan cuma SPP, Pak. Listrik rumah aja nyala pakai doa, gumamnya dalam hati.
Dengan motor yang sering mogok dan jauh dari sempurna, Ardi pulang perlahan di tengah guyuran hujan yang semakin deras. Jalanan yang berliku-liku dan penuh genangan hanya menambah beban di kepalanya. Pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak berujung.
Apa gunanya aku sekolah tinggi-tinggi kalau ujungnya malah menyusahkan keluarga?
Ardi teringat senyum ibunya yang pagi tadi hanya memakan nasi putih dan garam, dengan wajah lelah yang sudah ia kenal sejak lama. Namun, lamunan itu buyar saat motornya berhenti tiba-tiba. Mesin mogok.
Ardi mengelap wajahnya yang sudah basah oleh hujan dan air mata yang mulai jatuh tanpa ia sadari. Tidak ada bengkel terdekat di sepanjang jalan itu. Hanya ia dan hujan yang bersemangat menari di atas jalanan basah.
Ardi pernah memiliki mimpi besar: menjadi teknisi yang bisa membantu memperbaiki barang elektronik milik banyak orang. Ayahnya yang dulu bekerja sebagai teknisi elektronik selalu menjadi inspirasi untuknya. Namun, sejak ayahnya kehilangan pekerjaan, segalanya berubah. Hidup menjadi lebih sulit, dan semangat itu mulai memudar.
“Mimpi? Hidup itu nggak semudah itu, Di,” kata ayahnya suatu malam ketika mereka duduk di ruang tamu yang remang-remang. Sejak malam itu, Ardi berusaha mengubur mimpinya jauh-jauh.
Mimpi yang dulu ia simpan kini hanya menjadi kenangan samar yang terus menghantui setiap langkahnya.
Setelah mendorong motornya hingga jarak yang cukup jauh, Ardi akhirnya tiba di rumahnya. Rumah yang sederhana dan sering kekurangan penerangan karena listrik sering dipadamkan. Ardi melihat ibunya yang sedang duduk di ruang tamu sambil melipat pakaian.
“Gaji ayah belum cukup buat bayar, Di,” ucap ibunya dengan suara lembut namun sarat kepasrahan.
Ardi menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Tenang, Bu. Aku bakal cari cara,” katanya, berusaha terdengar optimis meskipun hatinya penuh keraguan.
Di kamarnya yang gelap, Ardi membuka kotak perkakasnya. Ia melihat beberapa komponen elektronik bekas dari sekolah—benda-benda kecil yang sering ia anggap sebagai sampah. Namun, hari ini, ia melihatnya berbeda. Sebuah ide mulai muncul di kepalanya: ia akan mencoba memperbaiki senter milik tetangganya yang rusak dan menjualnya.
Klimaks dan Resolusi
Keesokan paginya, Ardi berangkat lebih pagi. Dengan senter yang ia perbaiki semalaman, ia mengetuk rumah Bu Nia, tetangganya yang sudah ia kenal sejak lama.
“Ini senter ibu, sudah bagus lagi,” ucapnya dengan nada malu-malu.
Bu Nia memeriksa senter tersebut dengan seksama, lalu tersenyum. “Kamu anak pintar, Di. Terima kasih. Ini buat kamu,” katanya sambil menyerahkan uang dengan senyum yang tulus.
Ardi menerima uang itu dengan tangan bergetar. Uang itu memang tidak banyak, tetapi cukup untuk membeli beras dan lilin untuk rumahnya. Ketika ia berjalan pulang, hatinya terasa ringan. Ada kebanggaan kecil yang ia rasakan—bahwa mimpi bukanlah sesuatu yang mustahil, jika ia berani mengambil langkah kecil.
Suatu sore, ketika ia duduk membaca catatan sekolah sambil mendengarkan suara hujan yang tak kunjung reda, Pak Rian tiba-tiba memanggilnya.
“Ardi, ada sesuatu yang bisa saya bicarakan sama kamu,” suara Pak Rian terdengar dari balik pintu rumahnya.
Ardi mengangguk sambil berusaha tenang. Ia tahu bahwa ada peluang di sini.
“Ardi, saya dengar kamu punya bakat besar di bidang ini. Minggu depan akan ada lomba reparasi elektronik. Kamu tertarik untuk mencoba?”
Jantung Ardi berdebar mendengar tawaran itu. “Tapi, Pak, saya nggak punya alat yang bagus…”
“Kamu punya semangat dan kemampuan. Itu lebih dari cukup,” kata Pak Rian sambil tersenyum.
Kata-kata itu seperti membangkitkan semangat Ardi yang sempat pudar. Dengan itu, ia tahu bahwa mimpi dan perjuangan bisa berawal dari ketekunan dan kesempatan yang datang dari keberanian.
Di tengah jalan pulang, ia merasakan hal yang berbeda. Hujan bukan lagi hal yang menghambat, tetapi menjadi penyemangat baginya. Langkah kecil Ardi kini terasa berarti, dan setiap tetes hujan adalah langkah baru untuk membangun impiannya.
Pesan Cerita
Hidup mungkin penuh keterbatasan, tetapi keberanian untuk memulai langkah kecil adalah kunci untuk mengubah segalanya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
