MEMBALAS SUAMI DAN MADUKU BAB 46-65

8
0
Terkunci
Deskripsi

46. SALAH MENGARTIKAN RASA

POV MIRANTI

Hampir tiga minggu telah berlalu. Keadaanku mulai membaik. Walau masih sering terasa nyeri pada perutku, tapi aku mematuhi aturan dokter dan rutin meminum obat, hingga membuatku cepat pulih. Rasanya sudah lama tidak merelaksasi diri. Kudatangi salon langganan untuk treatment wajah dan rambut. Sambil berusaha melupakan sejenak beban yang berada di pundak. Menikmati pijatan dari terapis membuat tubuh segar dan pikiranku menjadi tenang. Kembali menikmati indahnya...

1 halaman

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
150
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya MEMBALAS SUAMI DAN MADUKU BAB 66-9O
8
1
66. SALAH PAHAMFAJARLangkahku terhenti di sudut ruangan. Memegang dada untung menetralisir debaran jantung yang begitu kencang. Mengusap wajah perlahan lalu membuang nafas kasar. Memijit kepala yang mendadak terasa berat. Permintaan mamah yang tak mungkin terpenuhi membuatku ketakutan. Bagaimana kalau mamah tahu bahwa rahim miranti sudah di angkat. Sudah pasti akan membatalkan pernikahan dengan wanita yang sangat aku cintai.Aku bisa menerima kekurangan dari miranti. Bagaimana dengan mamah. Satu-satunya yang di harapkan bisa mencetak generasi penerus adalah diriku. Hal yang tidak mungkin kupenuhi. Bagaimana mau mencetak kalau mesin produksinya tidak ada. Upps, mesin produksi tetap ada, hanya mesin pencetaknya yang sudah di ambil oleh sang pencipta.Menjambak rambut dengan keras hingga membuat kepala terasa mau pecah. Aku pikir usahaku sudah finish. Setelah SIM alias surat ijin mamah sudah kukantongi, masih saja ada hal yang bisa mengganjal pernikahanku. Bahkan mungkin bisa batal. Aku tak mau itu terjadi. Tak ingin usaha dan perjuanganku menjadi sia-sia.Aku bisa saja mnedapatkan gadis yang lebih sempurna di luar sana. Namun bukan kesempurnaan yang kuharapkan. Rasa cinta dan kenyamanan saat bersamanya itulah satu hal yang aku butuhkan. “Astaga!” satu tepukan pada pundak membuatku terkejut. Buyar sudah semua lamunan. Membalikkan badan dan menatap ke arah pemilik jemari lembut yang menepuk pundakku.“Lo, mir. Gue pikir siapa. Bikin kaget aja.” Ucapku sambil mengusap dada.“Lo kenapa sih. Kelihatan gak nyaman dari tadi.” Tanya calon istriku penuh selidik.“Gak apa-apa.” Jawabku singkat sambil mengalihkan pandangan dari tatapan mata yang penuh selidik. Miranti bukan orang bodoh. Dia pasti tahu ada yang tidak beres dengan perubahanku. Aku harus menutup rapat semuanya. Bahkan dia sendiri juga tidak boleh tahu. Bukan hanya mamah yang akan menolak, bahkan miranti sendiri pasti akan membatalkan pernikahanku.Wahai hati, percayalah bahwa aku bukan memujanya atau kata orang bucin. Yang kulakukan adalah sebagai bentuk tanggungjawab karena aku yang menyetujui pengangkatan rahim miranti. Jarang seorang pria yang mau menikah dengan wanita yang tak punya rahim. Dan jangan pula ragukan cintaku. Aku sangat mencintainya dan ingin menjaganya seumur hidup. Semoga keinginanku menjadi kenyataan.Membalikkan badan dan menyandarkan kedua tanganku pada pembatas balkon. Kubiarkan angin menerpa wajah. Terasa menyegarkan. Menghirup perlahan untuk memenuhi rongga paru-paru dengan oksigen. Mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan yang akan di ajukan oleh miranti. Mudah-mudahan pertanyaannya tak akan menyesakkan dadaku.“Fajar. Boleh gue tanya?” tanya miranti dengan sangat hati-hati. Wanita yang kucintai sudah berada di sampingku.“Pertanyaan serius atau canda?”“Serius.” Jawab miranti singkat.“Silakan.” Jawanku tanpa menatap ke arahnya. Tetap berpura-pura menikmati angin yang sudah terasa tidak sejuk lagi. Tiba-tiba keringat membasahi wajah. Aku tau apa yang akan ditanyakan olehnya. Sayangnya sampai saat ini aku belum menemukan jawaban yang bisa membungkam pertanyaannya.“Gue kenal lo. Tak mungkin wajah lo berubah tegang saat pertanyaan mamah tadi.”“Biasa aja kali. Pertanyaan yang mana, lupa gue.”“Kalau lo mau cerita, bakal gue dengerin kok.”“Apa juga yang mau diceritain. Lo gak nanya apa-apa.” Jawabku pura-pura cuek.“Lo beneran gak mau cerita sama gue?” tiba-tiba miranti memegang daguku dan membawa wajahku menatap kearahnya.“Iih lepasin.” Kutepis lengan miranti perlahan. Males ah ngobrol sama lo. Gak penting.” Aku mencoba menghindar. Setidaknya untuk saat ini aku harus merahasiakannya. Lebih baik berpura-pura marah dan meninggalkannya.Baru saja hitungan kedua, miranti sudah menghadang jalanku.“Kita belum selesai bicara.”“Mau bicara apa lagi?”kuhentikan langkah dengan kesal dan membuang muka.“Oke. Kalau kau tak mau bicara, tidak apa-apa. Satu hal yang perlu kamu tahu. Aku menerima kekuranganmu. Walau apapun yang terjadi, takkan menyurutkan langkahku untuk membina rumah tangga bersamamu. Sekalipun hal terburuk yang terjadi dalam hidupmu.” Aku menatap wajah miranti dan mencoba mencerna kata-katanya. Kenapa sepertinya miranti mencurigai ada sesuatu dengan diriku. Bagaimana dia bisa berpikir seperti itu. Namun tak mungkin juga untuk membuka tabir rahasia tentang dirinya. Wanita manapun pasti akan sangat sedih seandainya kesempurnaan sebagai wanita telah hilang dari tubuhnya.“Maksud lo apa?” aku mencoba bertanya penuh selidik.Tatapan miranti yang semula begitu tajam kini menjadi sayu. Kalau tak salah mengartikan, dalam tatapannya menggambarkan belas kasihan kepadaku. Benarkah apa yang bisa kutangkap dari raut wajahnya. Kalau benar apa yang ada dalam pikirannya tentang diriku.“Fajar. Seharusnya kau mengerti apa maksudku.”“Tapi gue beneran gak ngerti, mir.”Miranti tersenyum. Lalu menggenggam jemariku erat. Dia menarik napas panjang lalu membulatkan mulut untuk membuangnya.“Percayalah padaku. Sekalipun kau tak mampu menunaikan kewajibanmu sebagai seorang suami .... aku akan menerimamu dengan lapang dada.”“Mir, yang jelas kalau ngomong. Gue gak ngerti.”Kembali kulihat miranti membuang napas dengan kasar.“Fajar. Tanpa harus kujelaskan, kau pasti sudah tahu.”“Apa lo takut gue gak bisa ngasih makan lo sama anak-anak? Lagi gak nyombong nih, duit gue banyak. Gue jamin keluarga kecil lo, eh kita nantinya gak bakal kelaperan!”“Bukan itu. Kalau masalah ekonomi aku percaya kau bisa membahagiakanku.”‘Lalu apa?” tanyaku makin penasaran dengan pikirannya tentang diriku.Aku mengguncang bahu miranti. Bukannya menjawab, dia justru menundukkan kepala. Tubuhnya berguncang menandakan kalau wanita di hadapanku ini menangis. Apalagi yang di tangisi.“Kenapa nangis sih? Iih beneran deh cewek itu bikin pusing. Gak ada angin gak ada hujan, dikit-dikit nangis. Pening kepala gue.” Kulepas pundak miranti dan memijit kepala yang tiba-tiba terasa berat.“Kenapa sih lo gak jujur saja. Apapun keadaan lo, gue bakal terima, kok. Asal  lo mau jujur.”“Apa yang ingin lo ketahui tentang gue? Ngomong aja. Ntar gue jawab.”“Apa lo ... “  miranti menghentikan ucapannya. Benar-benar membuatku penasaran. Seberat apa sih yang ingin dia ketahui tentang diriku. Hingga kulihat berkali-kali dia menarik napas hanya untuk membuangnya. Repot bener.tuh perempuan. Bikin kesel aja.“Lo terusin aja ngomong. Gak usah plintat plintut kaya kentut.” Ucapku dengan kesal. Daripada bertambah kesel dan membuang energi, lebih baik aku pergi saja.“Gue tinggal lo sendiri. Biar dibawa sama genderuwo.” Berbisik lirih di telinga sebelum meninggalkan wanita penakut ini. Aku yakin dia pasti akan mengejarku. Kita lihat saja nanti, dalam hitungan kedua, suara merdunya pasti akan memanggil namaku. Mengayunkan langkah sembari menghitung. Satu ... dua ... ti ....”“Walau lo impoten sekalipun, akan tetap menjadi lelaki yang terbaik di mataku.” Suara miranti seperti tercekat.Duaar. Aku merasa seperti petir menyambar di telingaku. Ucapan miranti bukan hanya membuatku terkejut. Namun kekesalan juga terselip dalam dada. Bisa-bisanya dia mengatakan satu hal yang sangat sensitif bagi seorang pria. Sangat membuatku gerah dan juga marah.Dadaku bukan hanya sesak, bahkan terasa membara. Detak jantung yang bertalu-talu membuat dadaku terasa bergetar. Pria mana yang takkan emosi kalau diragukan kemampuannya dalama memberikan kepuasan bathin oleh calon istrinya sendiri. Sulit diterima dengan akal sehat kalau dia berani berpikir seperti itu. Kesalahan fatal yang membuat emosiku meledak.Membalikkan badan, dan erkacak pinggang di depan miranti yang masih menundukkan kepala.“Lo ngomong apa barusan?! Apa karena gue bujang lapuk, lo pikir gue gak mampu memenuhi kebutuhan biologis lo?! Lo pikir gue gak normal, gitu?! Lo sudah menghina gue dan gue kecewa sama lo!” ku dorong tubuh miranti perlahan dengan  telunjukku. Setelah itu aku pergi meninggalkannya dengan guratan kecewa yang sulit untuk terobati. Langkahku terhenti oleh tangan yang melingkat di pinggangku.“Fajar, maafin gue.” Ucap miranti. Terdengar isak tangisnya.“Lepasin gue!” kutepis lengan miranti dengan kasar hingga terlepas.Membalikkan badan dan mengguncang bahu miranti.“Lo sangat lancang. Apa punya bukti kalau gue impoten?! lo sudah membuatku tersinggung! Bahkan kalo lo mau gue bisa bukti’in kalau gue normal! Ayo kita lakuin sekarang!” aku semakin keras mengguncang tubuh miranti. Kulihat miranti meringis menahan sakit. Mungkin karena terpancing emosi membuatku sangat kencang menekan pundaknya.Miranti hanya bisa menangis. Tak sepatahkatapun keluar dari mulutnya. “Kalau lo ragu, sekarang juga kita batalkan rencana pernikahan kita! Itu mau lo?!”Miranti menggelengkan kepala. Walau masih terus menundukkan kepala, aku tahu dia larut dalam tangisnya.“Jawab mir! Jangan diam saja!”Tiba-tiba miranti memelukku dengan sangat erat. Dadaku terasa sesak oleh dekapannya yang sangat erat. Aku membiarkan dirinya membenamkan kepala pada dadaku. Biasanya aku akan membalas pelukannya atau setidaknya membelai kepalanya dengan lembut saat wanita di hadapanku ini memelukku dengan menangis. Namun tidak kali ini. Hatiku masih diliputi oleh kekecewaan.“Aku ingin menikah denganmu. Baik dan buruk keadaanmu, akan terima dengan sepenuh hati. Aku sangat mencintaimu. Tolong maafkan aku.”Dari suaranya terdengar tulus. Perlahan bara dalam dada mulai menghangat. Emosi yang sempat memuncak mulai turun. Kesalahpahaman ini bermula dariku. Seandainya saja aku bisa menjelaskan masalah yang sebenarnya, tentu takkan terjadi seperti ini. Sayangnya aku belum punya keberanian untuk mengungkap kebenaran. Aku membalas pelukan dengar erat, lalu mengecup puncak kepalanya. “Apa kau janji akan menerima apapun keadaanku?” tanyaku kembali.“Iya.”‘Walau misalnya aku benar-benar impoten?” tanyaku kepadanya.Praang. Belum kudengar jawaban dari calon istriku, sudah dikejutkan oleh suara benda yang terjatuh di belakangku. Membalikkan badan dan tak percaya dengan penglihatanku. Mamah sudah berada di sana dan menatapku sembari menutup mulutnya. Tak jauh darinya terdapat gelas yang pecah berkeping-keping. Kepanikan melanda. Aku segera berlari menuju wanita yang sangat kucintai.‘Stop! Kenapa kau menyembunyikannya dari mamah?!”Kuhentikan langkah menuruti perintah mamah. Walau aku sendiri tak mengerti dengan pertanyaan dan juga penyebab dari tangisannya.“Fajar gak nyembunyi’in apapun dari mamah.” Jawabku masih tak mengerti.“Kenapa kau tak pernah bilang kalau kau impoten?!” tanya mamah dengan nada lebih tinggi.Astaghfirulloh, aku menepuk jidat. Satu masalah lagi. Kenapa mamah harus mendengar obrolanku dengan miranti sih. Dan bodohya aku yang tak menyadari kehadirannya. Ya tuhan, apa lagi yang harus kulakukan. Haruskah aku terjebak dalam kebohongan lagi. Apa aku harus terus terang tentang keadaan miranti yang sebenarnya. Rasanya tidak mungkin. Mamah pasti akan menolak calon menantu yang tanpa rahim.Kebohongan memang tak pernah baik. Untuk menutupinya harus dengan kebohongan lagi dan akan terjadi terus menerus sampai kebenaran itu terungkap. Benar-benar bingung dan tak mengerti apa yang harus kulakukan. 67. TERPAKSA MENUTUPI KEBENARANFAJARMamah terduduk lemas di lantai. Tanpa pikir panjang segera berlari ke arahnya.  Saat hendak menyentuhnya, beliau menyingkirkan tanganku.Aku terpaku menatap wajah wanita yang sangat kucintai bersimbah airmata. Bibirnya bergetar. Tatapan mata yang layu laksana tanpa asa. Kesedihan yang mendalam pasti tengah mendesak dadanya. Yang aku khawatirkan jantung mamah kambuh lagi. Tak ingin terjadi apa-apa dengan wanita yang melahirkanku. Haruskah aku berterus terang. Rasanya tidak mungkin. Miranti pasti akan menderita. Dia juga sudah penuh harap untuk menikah denganku. Mengungkap kebenaran bukan jalan yang terbaik untuk saat ini. Namun membiarkan kebohongan juga tidak bagus untuk kesehatan mamah. Benar-benar dilema. Ya tuhan, tolonglah hambaMU ini. Apa yang harus kulakukan.Bagai makan buah simalakama. Dua pilihan yang sangat sulit. Seandainya bisa, aku ingin menanggung sendiri beban kedua wanita yang sangat kusayangi. Tak rela melihat keduanya menderita.Mamah menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Aku merasakan tangan itu bergetar. Bibirnya seperti berat untuk mengucapkan sesuatu. Aku tak tega melihat penderitaannya.“Mah, dengerin dulu. Aku tidak ....”“Sst ...” mamah menempelkan telunjuknya pada bibirku. “Kamu gak usah ngomong apa-apa. Mamah sudah mengerti, kenapa kamu selalu menolak gadis yang mamah pilihkan untukmu.”“Mah, tapi fajar tidak ....”“Sudahlah sayang. Mamah sangat menyayangi dan mengerti keadaanmu..” Mamah mengecup keningku. Aku tak berkutik dan mengutuk diri sendiri. Kenapa aku jadi sepengecut ini. Tak berani mengungkap kebenaran hingga membuat wanita yang sangat kusayangi merasa sedih.Kulihat mamah berjalan kearah miranti. Tiba-tiba jantungku berdetak begitu cepat. Apa yang akan mamah katakan kepada calon istriku. Akankah beliau membatalkan rencana pernikahanku. Aduh, bagaimana ini. Aku harus menghentikan sebelum apa yang ada dalam pikiranku menjadi kenyataan. “Mah. Tunggu. Dengerin penjelasan fajar dulu.” Aku berusaha menghentikan aksi mamah.“Jangan menyelaku, sebelum aku mengijinkanmu berbicara, putraku!” ucap mamah tegas.Kali ini aku seperti melihat sosok mamah yang berbeda. Sifat mamah yang begitu lembut dan penyabar, saat ini begitu tegas. Tentu saja hal ini mengagetkanku. Tak pernah mamah bersikap seperti ini. Aku akan mencoba menurut dan melihat apa yang akan mamah lakukan.Mamah memegang pundak miranti yang terus menundukkan kepala. Sepertinya miranti ketakutan melihat sikap mamah yang tak seperti biasa.“Mir. Kau sudah tahu yang sebenarnya. Sekarang, keputusan ada padamu. Kalau kau mau meninggalkan fajar, tidak apa-apa. Tante takkan marah kepadamu. Kau masih muda. Kebutuhan biologismu harus terpenuhi. Dan kalau kamu menerima fajar dengan segala kekurangannya, jangan pernah sakiti hatinya. Lebih baik kau menyakitinya saat ini daripada ketika kalian sudah menikah, kau akan mencampakkan fajar dan mencari kebahagiaan dengan pria lain. Tante tak mau itu terjadi. Lebih baik kau bunuh tante daripada melihat anakku satu-satunya menderita!” mamah kembali menumpahkan tangisannya. Airmata mengalir bagai gerimis yang turun dengan deras membasahi bumi. Sungguh tak tega meihatnya.Lagi-lagi aku tak berdaya. Satu kebohongan harus kembali di tutup dengan kebohongan lain. Bukan salahku yang tak mau jujur. Namun keadaanlah yang memaksa untuk melakukan sebuah kebohongan. Entah dengan cara apa kebohonganku kelak terungkap. Aku hanya bisa pasrah dengan takdir yang harus kujalani. Semoga kelak saat harus terbongkar, keadaan akan baik-baik saja.‘Tante.” Miranti membawa tubuh mamah kedalam pelukan. Keduanya saling menumpahkan kesedihan. Dua wanita yang sangat kucintai harus menumpahkan airmata untuk kebohongan yang tdak berguna. Aku memang salah. Iya salah besar.Jujur aku bingung dengan semua ini. Mereka menangisi satu hal yang tidak perlu di tangisi. Kondisiku sehat dan tak ada masalah dengan reproduksiku. Masa sih cowok macho kayak gue impoten. Bisa-bisanya mereka berpikir seperti itu.“Tante. Aku akan menerima fajar apapun keadaannya. Aku akan membawanya untuk terapy. Siapa tahu bisa menyembuhkannya.” Miranti melonggarkan dekapannya. Kini mereka saling berhadapan.“Kau janji takkan meninggalkan putraku?”“Aku janji tante.”“Terimakasih miranti.”Keduanya kembali berpelukan. Haach seperti teletubies saja. Bentar-bentar berpelukan.“Fajar, kemari nak.” Mamah memanggilku. Pikiranku buyar karenanya. Sebagai anak penurut langsung memenuhi panggilannya.Mamah menyatukan tanganku dan miranti. Aku melihat kebahagiaan terpancar dari wajahnya. “Mamah merestui kalian. Dan secepatnya, kalian harus menikah.”“Sabar dong mah. Miranti’kan harus ngurus perceraiannya dulu.” Jawabku.“Pengadilan sudah mengabulkan gugatanku. Kini aku sudah resmi bercerai dari arya. Hanya tinggal menunggu masa iddah dan akta cerainya keluar.” Jawab miranti dengan senyum termanis yang pernah kulihat.“Kapan lo ngurusnya? Kenapa bukan gue yang jadi lawyernya?”“Semua ayah yang mengurus.”“Oh gitu.”‘Sudahlah. Yang penting semua berjalan dengan baik. Mulai sekarang kita harus mempersiapkan rencana perniakahan kalian dengan matang.” Ucap mamah dengan bahagia.“Baik tante. Tapi, masih ada lagi yang belum terselesaikan.”“Apa?” tanyaku“Lo tahu’kan gue janda anak empat. Kita harus menjelaskan kepada mereka tentang pernikahan kita.”“Oh gampang. Anak-anak lo kan deket sama gue. Lagian umar sama amir kan tahu sendiri gimana jahatnya bokap mereka.” Jawabku santai.‘Tapi bagaimana dengan kedua adiknya yang masih anak-anak. Mereka pasti sulit menerimamu.”‘Tenanglah. Aku akan membuat mereka mengerti. Biar itu jadi urusanku”“Baiklah.”Kami bertiga berpelukan erat. Rasanya begitu hangat dan bahagia. Aku merasa harapan untuk bahagia sudah terpampang di depan mata. Kini hanya tinggal menghitung hari, kebahagiaan itu akan kunikmati. Tak sabar menanti masa indah itu.***Aku tersenyum bahagia. Hari ini Restu dari orang tua miranti sudah kudapat. Mereka setuju kalau aku akan mempersunting putri satu-satunya yang sangat mereka sayangi. Aku bisa bernapas lega.Namun masih ada satu ganjalan lagi. Yaitu calon anak-anak tiriku. Aku sedang menunggu mereka pulang dari sekolah. Entah kenapa jantung berdebar tak seperti biasanya.Hubunganku dengan anak-anak miranti cukup dekat. Walau dulu hanya sebatas sahabat dari mamahnya. Walau aku ragu apakah mereka mau menerimaku sebagai papah barunya. Mungkin kali ini harus berusaha lebih keras lagi untuk mendapatkan hati mereka.Prinsipku adalah bukan hanya menikahi miranti saja. Aku juga harus menerima keadaan anak-anaknya. Bukan hanya ibunya saja yang di cintai. Namun aku harus berusaha mencintai keempat anaknya juga. Ayah miranti memberi ide untuk menemui keempat anak miranti secara terpisah. Karena usia mereka juga terpaut cukup jauh. Tentunya cara pendekatannya juga berbeda. Cara penyampaian juga harus di sesuaikan dengan usia. Ayah miranti menawarkan untuk membantu memberi penjelasan kepada cucunya. Namun aku menolaknya. Aku ingin berusaha dengan caraku sendiri. Kalau nanti tidak berhasil, baru akan meminta bantuan kepadanya.Bel berbunyi. Aku melihat jam tangan yang melingkar di lenganku. Sudah saatnya anak-anak pulang sekolah. Itu pasti mereka. Kenapa detak jantungku berdebar semakin kencang. Berkali-kali mengusap keringat pada wajah. “Fajar. Kau gelisah?” tanya miranti saat akan membuka pintu.“Ya, lumayan.”jawabku asal.“Tenanglah. kau tidak asing bagi putraku. Aku yakin mereka pasti mudah menerima kehadiranmu. Bukankah mereka juga menyayangimu?”“Iya. Tapi sebagai om, bukan papahnya.”“Fajar. Keberadaanmu jelas berbeda dengan arya.”“Maksudmu?”“Seorang ayah takkan pernah tergantikan oleh siapapun, walaupun dia seorang penjahat. Tetaplah menjadi dirimu sendiri seperti yang mereka kenal.” Jawab miranti berusaha memberikan solusi untukku.“Jadi, gue harus tetep jadi om nya? Atau gimana sih? Bingung gue.”“Jadi diri lo sendiri yang mereka kenal dulu. Waktu yang akan mengubah segalanya. Saat kau sudah berusaha menjadi ayah yang baik. Otomatis mereka akan menganggapmu seperti seorang ayah.”“Maksud lo, gue gak usah sok jadi pengganti papahnya gitu. Gue tetap jadi om duulu, gitu?”“Kurang lebih seperti itu.”“Tapi ....”“Sst, mereka aku mau buka pintu dulu. Nanti kita bicara lagi.”“Oke.”Miranti membuka pintu dan menyambut keempat putra yang memakai seragam berbeda sesuai tingkat kelasnya.. Mereka terlihat sangat bahagia. Satu persatu bergantian mengecup punggung tangan sang bunda tercinta. Aku terharu melihatnya. Mungkinkah suatu saat nanti mereka juga akan melakukannya terhadapku, sebagai papahnya.Kenapa Arya bisa lupa pada keluarga kecilnya. Apa tak ada rasa ingin kembali pada mereka. Harta dan wanita sudah membutakan mata hatinya. Pengorbanan seorang istri seolah tak berarti.“Apa kabar,Om?” tanya umar sambil mengecup punggung tangannku.“Alhamdulillah sehat, putra yang kuat dan hebat.” Aku berusaha memuji untuk meluluhkan hatinya.“Om bisa aja.” Jawab umar sambil meninju lenganku pelan. Dilanjut dengan amir dan kedua adiknya. Setelah sedikit berbasa-basi, mereka lalu menuju kamar untuk berganti pakaian bersama miranti. Aku, om dan tante sudah bersiap di meja makan menunggu miranti dan anak-anak untuk menyantap menu yang sangat menggugah selera. Miranti memang jago masak. Kalo jadi suaminya pasti aku bisa memperbaiki giziku. Supaya tubuh kerempengku bisa berotot seperti Arya. Iih males banget sih harus ngebandingin dengan dia.Miranti dan anak-anak sudah bergabung bersama kami. Aku memperhatikan gerak-gerik setiap anggota keluarga. Pertama tante yang mengambilkan makanan untuk om. Setelah itu miranti mengambilkan makanan lalu diberikan untukku. Agak terkejut sih. Kenapa bukan anak-anak yang di dahulukan. Mungkinkah aku sudah dianggap keluarga olehnya. Tak ada seorang anakpun yang memprotes.Aku merasakan kehangatan berada dalam keluarga ini. Saat anak-anak berebut makanan tidak membuatku risih. Justru membuatku bahagia. Karena aku anak tunggal membuatku tak pernah  merasakannya pada masa kecilku. Membuatku tak sabar untuk menjadi satu dengan keluarga ini.Hidangan sudah berpindah ke perut kami. Makanan yang terlihat begitu nikmat seolah hambar. Rasa gugup dan cemas membuat lidahku seperti mati rasa. Melihat keempat anak miranti bagai monster yang akan melahapku.Aku merasa seperti menghadapi musuh yang tak tetandingi dalam persidangan. Seandainya bisa memilih lebih baik melawan para bandar narkoba ataupun menjebloskan para koruptor ke penjara. Walau nyawa taruhannya, akan tetap melaksanakan tugasku dengan sempurna. Kini aku merasa seperti tengah duduk di kursi pesakitan. Cemas dan takut menghadapinya. Oh Tuhan, kuatkanlah hatiku.   68 MENUNGGU RESTU ANAK-ANAK MIRANTISelesai makan ayah miranti mengumpulkan anak, istri dan cucu-cucunya. Kami berkumpul di ruang keluarga. Aku menurut saja saat ayah miranti menawarkan bantuan.Awalnya aku menolak. Namun calon mertua meyakinkan bahwa beliau lebih mengenal sifat cucu-cucunya daripada aku. Betul juga. Sang kakek pasti lebih bisa memahami karakter para cucunya. Aku akan mencoba belajar menjadi calon menantu yang baik dan menuruti keinginannya.“Cucuku, kakek mengumpulkan kalian di sini, karena ada sesuatu yang mau kakek sampaikan kepada kalian.” ayah miranti membuka pembicaraan membuatku semakin tegang.“Kok tumben ngumpulin kita semua. Emang penting kek?” tanya Umar.“Sangat penting. Kakek tidak akan berbasa-basi. Kalian tahu’kan mamah sudah resmi bercerai dengan papah kalian?” tanya kakek.Ketiga putra miranti menundukkan kepala, kecuali umar. Wajah mereka terlihat sangat sedih. Namun tidak dengan umar. Dari wajahnya tak tergambar sedikitpun kesedihan. Roman mukanya datar. Diusianya yang sudah menginjak dewasa pasti lebih memahami kondisi kedua orantuanya.Perpisahan pasti tak pernah di inginkan oleh siapapun. Hanya menyisakan perih dan juga penderitaan. Namun akankah membiarkan bathin tersiksa tatkala penghianatan dan juga penganiayaan fisik mulai di dapatkan. Jawabannya, sudah pasti tidak. Hanya kebodohan yang hakiki jika masih mau menerima perlakuan dari pasangan seperti itu. Apalagi sudah mengancam nyawa. Hal itu tak bisa termaafkan.“Kami tahu kek. Lalu ....?” jawab umar menggantungkan pertanyaan.sang kakek.Pria paruhbaya itu menarik napas panjang. Seperti ada keraguan dalam hati. Beliau saja yang sudah sangat mengenal cucunya merasa ragu untuk menyampaikan. Apalagi diriku.Mungkin ayah miranti lebih berhati-hati. Salah penyampaian sedikit saja, sangat rawan hingga bisa terjadi kesalahpahaman.“Om fajar akan menikah dengan mamah kalian. Apa kalian setuju?” ucapan pria paruh baya itu begitu lancar dan tanpa jeda nafas. Justru aku yang kini menjadi gemetar dan gugup.“Wiiih, gak nyangka deh, Om bakalan jadi papah. Umar sangat setuju. Enak dong tiap hari bisa ketemu sama orang hebat seperti Om.” Jawab umar sambil meninju lenganku perlahan. Satu jawaban yang membuatku lega.“Terimakasih umar.” Jawabku sembari menggenggam tangannya.“Yusuf gak setuju!” jawab putra ketiga miranti.“Aku jga! Aku gak mau punya papah baru. Aku maunya papah arya.” Malik, si bungsu menangis dan memeluk neneknya.“Nak, coba pahami perasaan mamah. Papah arya sudah menyakiti mamah.” Ucap miranti sembari mendekap kedua putranya.“Mamah yang jahat sama papah!” Yusuf melepas pelukan sang bunda dengan kasar.“Adek!  jangan kurangajar sama mamah! Siapa yang ngajarin kamu kayak gitu?!” gertak umar kepada adiknya.“Diam umar. Ini urusan mamah sama adik-adik kamu!” miranti berusaha tegar. Aku tahu dia sangat rapuh. Namun demi memperjuangkan hubungan kami, dia berusaha menjadi seorang ibu yang tegar.“Sayang, kenapa kamu bilang begitu?” tanya miranti sambil membelai kepala yusuf.“Iya mamah jahat. Mamah’kan yang sudah masukin papah ke penjara. Kasihan papah di sana sendirian. Bobonya kedinginan. Apa mamah gak kasihan?” tanya si bungsu malik.“Iya. Belum lagi temen-temnku di sekolah yang mengejek aku punya papah di penjara. Aku malu mah. Malu!” teriak yusuf sambil menangis. Diusianya yang menginjak remaja pasti sangat tertekan dengan bullyan oleh teman-temannya.“Sayang, itu bukan karena mamah jahat. Tapi karena papah arya yang sudah berbuat kesalahan, hingga harus diberikan hukuman.” Miranti mencoba menjelaskan duduk persoalan kepada kedua putra yang menentangnya.“Pokoknya aku gak mau papah baru. Aku maunya papah arya. Mamah jahat!”“Aku juga!”Kedua anak Miranti mengambil langkah seribu. Mereka menaiki anak tangga satu persatu menuju kamar.“Nak, dengerin mamah nak.” Miranti menangis tersedu. Airmata mengalir bagai gerimis deras yang mengguyur bumi nan kering. Hatinya pasti sangat terluka.Aku menjadi serba salah. Kupikir sangat mudah dan sederhana meyakinkan anak-anak miranti yang sudah akrab denganku. Namun nyatanya tidak. Semua berbanding terbalik dengan keadaan semula. Aku menundukkan kepala. Tak tahu harus berbuat apa.“Miranti. Kau dan ibumu susul mereka. Berikan pengertian. Ayah yakin mereka pasti mengerti. Pelan-pelan saja. Hanya butuh kesabaran untuk melunakkan hati mereka.” Perintah “Iya ayah.”Miranti dan ibunya beranjak dari tempat semula. Keduanya berpegangan tangan untuk saling menguatkan. Lalu melangkah menuju kamar yusuf dan malik. Calon istriku terlihat sangat sedih. Bahkan dia seperti melupakan keberadaanku di sini. Sama sekali tak menoleh ke arahku. Mungkin kesedihan yang mendalam membuat pikirannya kacau hingga melupakanku sejenak. Entahlah. Pikiran positif sangat dibutuhkan untuk situasi saat ini. Mencoba menarik napas panjang dan membuangnya perlahan.“Mau kemana Amir? Gak sopan tahu kakek belum selesai nngomong udah ditinggalin.”Aku menengadahkan wajah saat mendengar ucapan umar. Kulihat amir meninggalkan kami tanpa berpamitan. Bahkan saat kakaknya mengingatkan tak digubris olehnya. Tetap saja dia melangkah pergi.“Amir! Tunggu!” umar mengejar adiknya yang terus melangkahkan kaki menjauh. Dia seperti berjalan tanpa arah. Tatapan matanya kosong. Mengikuti kemana langkah dua anak miranti. Aku benar-benar seperti pengecut. Semua ini terjadi karenaku. Namun tak bisa berbuat apa-apa. Seperti pecundang saja.Umar menghadang jalan adiknya. Entah mengapa aku merasa cemas. Sifat umar yang tidak sabaran bisa saja membahayakan amir. Lebih baik menghentikan langkah dan mengawasi dari kejauhan. Posisiku saat ini masih cukup aman. Mempertajam pendengaran untuk mengetahui apa yang terjadi.“Menyingkirlah, kak.”“Gak. Kamu kenapa? Jangan kaya cewek yang dikit-dikit ngambek.”“Aku gak ngambek, kak. Menyingkirlah dari hadapanku!” suara amir mulai meninggi.“Jangan membentakku! Aku tidak suka!”“Makanya menjauh dariku!”“Tidak. Aku tahu kau tak setuju’kan om fajar nikah sama mamah? Jelaskan alasannya!”“Itu biar jadi urusanku!”“Gak! Jadi urusan kakak juga! Apa kamu  tidak ingin mamah bahagia?”“Jangan hanya memikirkan kebahagiaan mamah saja, kak. Apa kak umar tidak pernah memikirkan keadaan papah? Bagaimana dia makan, tidur? Apa papah sehat atau sakit? Kakak gak pernah mikir kan karena kak umar tidak menyayangi papah hingga tidak mau menengok papah barang sedetik saja. Kakak sama seperti mamah yang hanya mementingkan diri sendiri!”‘Jaga ucapanmu amir. Kau salah besar menilaiku dan mamah. Papah masuk penjara karena kesalahannya sendiri! Bukankah kau melihat dengan mata kepalamu sendiri, amiir?!” umar terlihat sangat geram. Dia tak mengerti dengan jalan pikiran adiknya.“Aku tahu! Tapi apa tidak ada belas kasihan mamah sedikit saja kepada papah. Mamah’kan bisa maafin papah. Bukan malah rencana menikah dengan om fajar!”“Jangan bodoh, amir! Kau lihat sendiri’kan bagaimana papah menyiksa mamah?! Bagaimana jahatnya papah dan keluarga juga istri barunya itu?! Bisa mikir gak kamu. apa kamu mau kalau papah keluar dari penjara lalu mencari mamah dan membalas dendam padanya? Kamu ingin mamah mati di tangan papah?!”“Kak! Jangan ngomong gitu! Papah tidak mungkin melakukannya!”‘Tidak mungkin?! Sudah terjadi, Amir. Kau belum pikun dan menyaksikan dengan mata kepalamu sendiri!”“Tapi kak ....”“Sekarang tinggal pilih, papah lepas dari penjara dan mamah bisa mati, atau pilih mamah menikah lagi dengan om fajar dan dia yang akan menjaga mamah seumur hidupnya!”Amir bergeming. Menundukkan kepala dan menangkup wajah dengan kedua tangannya. Anak itu terlihat bingung. Apa yang harus kulakukan. Ternyata tak semudah itu menundukkan hati anak dari seorang janda yang akan kita nikahi. Satu saja susah apalagi ini sampai empat. Untung saja putra sulungnya menyetujui. Kalau sampai umar juga tidak setuju, sangat sulit meluluhkan hati si singa miranti itu.“Kau jangan lupa, kalau papah juga menghianati mamah dengan menikahi cewek sialan itu! Cepat kau tentukan pilihanmu. Kalau kau memilih yang pertama, kakak akan putuskan untuk keluar dari sekolah dan menjaga mamah setiap detik. Aku bersumpah, siapapun yang berani menyakiti mamah akan berhadapan denganku. Bahkan aku tak ragu membunuhnya termasuk papah!”“Kak, jangan bersumpah seperti itu. Nanti kalau kejadian bagaimana? Masa kakak mau bunuh papah?!”“Aku tidak peduli! Bagiku yang penting kebahagiaan mamah!”“Umar! Cabut sumpahmu! Jangan sampai kejadian beneran!” aku menghampiri umar dan berusaha mengingatkan. Tak ingin terjadi apapun dengan dia. Aku sangat menyayangi mereka.“Biar saja om. Biar amir senang. Bukankah dia yang menginginkan papah keluar dari penjara!”“Cukup! Sudahi pertengkaran kalian. kalau memang kalian tidak setuju Om menikah dengan mamah kalian. Om bersedia mundur. Om janji akan menjaga mamah kalian sampai dia menemukan pengganti papah kalian. Om berjanji.” Bibirku bergetar menahan tangis. Aku bahkan tak menyadari ucapan yang dengan mulus keluar begitu saja dari mulutku. Hanya bisa pasrah. Saat semua jalan sudah kutempuh. Namun sayangnya, tetap saja ada yang tidak menyetujui. “Om. Kenapa om bicara begitu? Tidak ada orang yang bisa menjaga mamah seperti om fajar. Bahkan om rela mati demi mamah. Cuma om orang yang tepat menjadi suami mamah.”  umar mengguncang pundakku.“Tidak umar. Om tidak ingin bahagia tanpa restu kalian. Om cukup bahagia hanya berteman saja dengan mamahmu.”“Fajar. Apa maksudmu? Kenapa kau bicara begitu?”Tanpa kusadari miranti sudah berada di sampingku. Mungkinkah dia mendengar semua ucapanku. Hati terasa pedih. Ribuan jarum seolah menghunjam tubuh. Sangat menyakitkan. Bahkan untuk menatap wajah miranti aku tak berani. Kelopak mata tak kuasa menopang airmata yang berdesakan. Perlahan cairan hangat mengalir di pipiku. Aku menangis. Iya, tak rela meninggalkan wanita yang sangat kucintai. Perjuanganku selama ini tak berarti. Aku lupa akan satu persoalan yang sulit kuhadapi, yaitu anak-anak miranti. Sejauh ini semua sudah kulakukan demi wanita yang sangat kucintai. Namun ternyata takdir masih mempermainkan hidupku. Saat kebahagiaan telah terpampang di depan mata, kembali mendung bergelayut menutpi asa. Oh Tuhan. Berikan hambaMu ini jalan. Aku ingin bukan hanya aku dan miranti saja yang bahagia. Tapi juga dengan keempat putranya.  69. KEPANIKAN FAJARFAJAR“Fajar, jawab pertanyaanku!”  miranti mengguncang pundakku dengan keras. “Apa kau hanya berpura-pura mencintaiku? jawab pertanyaanku, fajar. Jawab!”“Aku mencintaimu lebih dari diriku sendiri. Percayalah.” Jawabku tanpa berani menatapnya.“Kau bohong. Kenapa kau bilang seperti itu tadi?”“Aku tidak boleh egois. Anak-anakmu tak menyetujui hubungan ini. Kita juga harus memikirkan mereka. Kalau pernikahan terjadi tanpa restu dari mereka, kita tidak akan bahagia. Begitu juga dengan anak-anakmu. Aku tak ingin itu terjadi.” Melayangkan pandangan ke arah miranti.“Aku sudah berhasil meyakinkan Malik dan juga Yusuf. Mereka mau menerimamu.”‘Tapi tidak dengan Amir. Dia tidak menginginkanku.”Miranti terkejut mendengar pernyataanku. “Amir?” dia bergumam. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya.Manik coklat nan indah itu menyusuri wajah pias putra keduanya.“Benar begitu, amir?”Amir semakin menundukkan kepala lebih dalam. Jemarinya saling bertautan. Anak itu memang pandai menyimpan perasaan. Aku tahu ada keraguan dalam hatinya untuk menjawab pertanyaan sang bunda.. Harus memaklumi. Semua anak pasti menginginkan keluarga kembali utuh. Mereka tak tahu bagaimana cara berpikir orang dewasa.Miranti mendekat ke arah amir. Dengan penuh kasih sayang dia mengecup puncak kepala  lalu memeluknya erat. Amir menumpahkan tangis pada bahu mamahnya.“Mah. Kenapa sih keluarga kita jadi seperti ini. Kenapa mamah harus bercerai dari papah. Amir ingin keluarga kita kembali seperti dulu, mah. Bersama papah.”“Amir, jaga perasaan mamah!” hardik umar kepada sang adik.“Sst diam umar. Biarkan amir mengungkapkan perasaannya.” Miranti memeluk putranya penuh kasih sayang. Benar-benar mencoba meluluhkan hati amir. Putra kedua miranti memang sangat melow. Sangat berbeda dengan kakaknya yang lebih garang dan langsung bebas berbicara tanpa menyimpan terlebih dahulu apa yang dirasakannya.“Kau ingin mamah menjawab pertanyaanmu?” tanya miranti dengan lembut. Wanitaku itu benar-benar seorang ibu sejati. Tak salah aku memilihnya sebagai calon pendamping.“Iya.” Amir menganggukkan kepala.Miranti melonggarkan pelukan. Lalu menangkup wajah sang putra tercinta.“Sulit bagi mamah untuk memenuhi permintaan kamu, sayang. Hubungan mamah dan papah sudah tidak baik. Bagi kami orang dewasa, jika hal itu terjadi, sangat buruk jika hubungan itu dilanjutkan. Mamah tidak sanggup menjalaninya. Papah kamu sudah berubah. Bukan papah arya yang dulu mamah sayangi, mamah hormati. Dia sudah menghianati mamah dengan menikahi wanita lain. Mamah tidak bisa terima itu.”“Apa ada jalan lain mah selain bercerai? supaya keluarga kita kembali utuh? Amir juga malu  punya papah di penjara. Teman-teman di sekolah semua mengejekku. Ditambah lagi amir mau punya papah baru. Mereka pasti tambah ngejekin aku mah. Amir malu.” Kembali amir menitikkan airmata.“Jadi itu masalahnya? Kau tak menyetujui perniakahan mamah dengan om fajar, ukan karena kau membencinya?”Amir menggelengkan kepala. “Aku tidak benci sama Om fajar. Dia sangat baik dan sering membantu kita. Aku hanya tidak rela kalau papah digantikan oleh orang lain.” “Amir. Om tidak akan menggantikan posisi papah kalian. Arya akan tetap menjadi papah kalian sampai kapanpun. Aku akan menjadi siapapun yang kalian inginkan. Om takkan memaksamu untuk memanggil dengan sebutan papah. Om bisa menjadi sahabat, teman curhat dan apapun yang kau inginkan.” Aku mengelus kepala amir. Anak itu terlihat mulai tenang. Wajar saja apa yang dilakukannya. Sebagai seorang anak pasti menginginkan keluarga yang utuh dan bahagia. “Benar Om?“Iya.”“Apa Om berjanji akan tetap menyayangi kami walau kelak akan lahir anaknya om dari mamah?” pertanyaan amir sangat memojokkanku. Bagaimana mungkin hal itu terjadi. Aku  harus tetap meyakinkannya dengan jawabanku. Anak di hadapanku ini hanya butuh kepastian untuk tetap mendapatkan lautan cinta dariku dan juga mamahnya.“Om janji. Om sudah menganggap kalian seperti anak sendiri. Takkan pernah berubah sampai kapanpun.” Jawabku dengan mantap. Semoga saja bisa membuat amir puas.“Baiklah, aku setuju om menikah dengan mamah.” Jawab amir dengan tersenyum.‘Terimakasih sayang.” Miranti kembali memeluk amir. Aku dan umar melakukan hal yang sama. Kami saling berpelukan. Rasanya lega ketika masalah satu persatu terselesaikan. Semoga setelah ini tak ada lagi halangan dan juga rintangan hingga hari yang dinantikan tiba. Sudah tak sabar menanti hari yang indah. Dimana aku akan menjadi seorang suami sekaligus ayah dari keempat putra. Mudah-mudahan aku mampu mengemban amanah dari sang pencipta.Miranti, aku percaya kamu adalah pilihan terbaikku. Takdir akan menggiring kita menuju jalan yang lurus. Hanya ada bahagia dan bahagia. Semoga saja.***Aku bisa tersenyum bahagia. Dalam waktu enampuluh hari kedepan, akan mempersunting wanita yang sangat kucintai. Tak bosan rasanya melihat wajah cantik si calon istri.Miranti kini sudah berubah. Dengan penuh kesabaran dia berusaha mengecilkan bobot tubuhnya. Tentunya dengan pengawasan dokter ahli. Aku tak ingin dia salah dalam menjalani diet.Bagiku tak masalah dengan bobotnya. Namun miranti sendiri yang bersikeras untuk mencapai bentuk tubuh yang proporsional. Dia rela melakukannya demi diriku. Bahkan pernah berkata walau seorang janda, miranti ingin membuatku bahagia seperti mendapat seorang gadis. Itu janjinya kepadaku.Bahkan kini miranti juga rajin datang ke salon dan spa untuk perawatan tubuh. Dan mungkin organ intimnya juga kali ya. Upps, kenapa pikiran gue jadi ngelantur kemana-mana sih. Aku menepuk jidat sambil tersenyum/ Kucium foto wanitaku itu yang begitu menggoda.Kini penampilannya lebih segar dan terawat. Kalau Arya bertemu lagi dengan Miranti, dia pasti takkan mengenalinya. Bahkan bisa-bisa dia menyesal telah menceraikan istrinya. Miranti kini tak bosan di pandang. Makin hari dia tak hanya terlihat cantik. Tapi juga cerdas. Tring. Satu pesan gambar masuk lewat aplikasi berwarna hijau. Dari calon istriku. Aku tersenyum. Tanpa menunggu lama segera membuka pesan bergambar. Kulihat sekilas miranti sedang mengetik sesuatu.Aku mengernyitkan dahi. Tempat ini terasa asing. Bukan tempat senam, salon ataupun di rumah seperti yang biasa dia kirimkan gambar kepadaku. Tempat ini seperti antrian di apotik atau di mana ya. Apa miranti sedang membeli obat. Apa dia sakit. Kenapa dia tak bilang padaku.Tring. Satu pesan singkat kembali kuterima. Dengan cepat aku membukanya.{Sayang, aku lagi kontrol ke dokter kandungan. Sudah hampir dua bulan lebih aku belum menstruasi. Jadi mau konsultasi sama dokter.}“Astaghfirulloh hal’adzim.” Aku menepok jidatku. “Miranti kan belum tahu kalau rahimnya sudah di angkat. Aduh bagaimana ini. Bisa kebongkar semuanya. Masalah baru pasti akan muncul lagi. Aku harus segera menghentikannya.”Aku berusaha menghubungi miranti lewat telpon selular. Tersambung. “Ayo cepat angkat, mir.” Aku berjalan mobar mandir dengan gelisah. Tak sabar untuk berbicara dengannya. Semoga aku tidak terlambat untuk menghentikannya.“Halo, sayang. Ada apa?”“Mir. Tolong dengarin gue. Lo jangan periksa dulu deh.”“Kenapa? Ini juga aku lakukan untuk kita. Aku harus mempersiapkan rahimku dengan baik, supaya benih yang kau tanam nanti akan berkembang dengan cepat.”“Mir, tolong percaya padaku. Tolong ....”“Kamu kenapa sih? kok kaya khawatir banget. Aku gak papa. Sudah biasa konsultasi kok. Kamu tenang aja.”“Setidaknya tunggu aku datang ya. Tolong, jangan masuk ruangan dulu.”“Gak bisa sayang. Aku tinggal menunggu dua antrian lagi.”‘Tolong dengarkan aku sekali ini saja. Dalam tiga puluh menit aku pasti sampai. Tolong, dengarkan aku.” Aku terus memohon kepadanya. Segalanya pasti berubah kalau miranti tahu dari dokter, bukan dari mulutku sendiri. Kenapa aku bisa seceroboh ini. Tak pernah memikirkan akan terjadi seperti ini sebelumnya. Bodoh dasar bodoh. Aku memukuli kepalaku sendiri.“Sudahlah. Kau kan sedang sibuk di jam segini. Aku sendiri saja. Sudah ya, sebentar lagi aku masuk.”“Mir. Tunggu gue datang ya. Pokoknya jangan tutup telponnya sampai gue dateng. Pliss, tolong.” Aku menyambar kunci mobil. Dengan cepat melesat menuju parkiran. Tak peduli dengan sumpah serapah orang yang terganggu oleh tindakanku. Yang terpenting aku harus segera sampai sebelum miranti benar-benar masuk dan bertemu dengan dokter. Bisa kacau semua kalau miranti mengetahui yang sebenarnya.Aku mengemudi dengan kecepatan maksimal. Kembali tak peduli dengan sumpah serapah pengemudi lain. Aku juga sengaja tak memutus pembicaraan lewat ponsel supaya miranti tak segera masuk ke ruang periksa.“Sayang, perawat sudah memanggilku. Aku mau masuk dulu ya. Daach i love you.” Ucap miranti mengakhiri percakapan kami.Klik. Sambungan telepon di tutup secara sepihak. Aku membelalakan mata. “Mir. Tunggu mir. Miranti!!!” aku sangat panik. Lalu membanting ponsel dengan kesal.Menghentikan mobil di pinggir jalan. Benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan selain memukul setir dengan keras. Aku terjebak ooleh kebohonganku sendiri.Sebentar lagi rahasia besar akan terbongkar. Ini puncak dari semuanya. Miranti pasti akan sangat marah padaku kalau mengetahuinya. Dia bisa membatalkan pernikahan kami. Aku tidak mau ya Alloh. Tolong berikan keajaiban. Aku sama sekali tidak bermaksud menyembunyikan kenyataan. Engkau maha tahu. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh arya saat itu. Menyelamatkan nyawanya. Hanya itu saja. Tak ada maksud lain.Apapun yang tejadi aku harus bisa menghadapi. Saat ini miranti pasti sudah tahu semuanya. Dia butuh orang lain untuk bersandar. Aku harus tetap kesana untuk menemaninya. Walau akan ada kemarahan dan badai besar dalam hubungan kami aku harus siap menghadapinya.Mamah. Bagaimana kalau beliau tahu. Masalah satu belum selesai akan datang lagi masalah baru. Ya Alloh, tolong kuatkan hambaMu. Aku sadar kalau sudah membohongi dua wanita yang sangat kucintai. Semua karena aku mencintai keduanya. Dusta benar-benar mengacaukan segalanya. Apa yang harus kulakukan ya Tuhan. Tolong beri hamba petunjuk.7O. RAHASIA TERKUAKMemasuki ruang praktik dokter kandungan yang cantik dan super ramah. Dengan di antar seorang suster menuju tempat duduk pasien. Dokter cantik tersenyum ramah dan mempersilakan duduk.Dr. Nayla maharani Sp.OG. Nama yang tertera pada papan nama yang berada di meja. Nama yang cantik, secantik orangnya. Aku sudah lama menjadi pasien dokter nayla. Orangnya yang super ramah dan sangat teliti membuatku cocok berkonsultasi dengan beliau.“Ada keluhan apa, ibu?” pertanyaan dr, nayla mengagetkanku.“Oh iya dok.” Jawabku gugup. “Begini, semenjak saya melahirkan melalui operasi caesar, saya tidak mengalami masa nifas atau menstruasi hingga saat ini. Itu kenapa ya dok?” tanyaku.“Oh, ibu baru melahirkan. Sebentar, saya cek riwayat kesehatan ibu dahulu.” Jawab dokter nayla sembari membuka buku catatan riwayat kesehatanku.“Apa tidak ada darah sama sekali yang keluar?” tanya dokter nayla sembari membuka lembar demi lembar riwayat kesehatanku..“Ada sih, tapi tidak banyak. Hanya flek saja.” Jawabku.“Kapan caesarnya?”“Kurang lebih sudah dua bulanan.”“Kenapa  baru datang sekarang?!” tanya bu dokter dengan menaikan nada suaranya.‘Mmm, saya baru sempat dok.”“Lain kali, kalau ada keluhan atau sesuatu yang terasa janggal pada tubuh, jangan menunda untuk memeriksakan diri. Jangan pernah menganggap sepele tentang keluhan pada tubuh walau hanya sedikit terasa sakit.”“Iya, dok. Maaf.” Jawabku singkat sembari memainkan jemariku tanda gugup. “Belum pernah kontrol sama sekali?”“Belum.” Aku menggelengkan kepala.“Kenapa belum? Seharusnya begitu obat habis, ibu harus langsung kontrol.”Aku tak menjawabnya lagi. Diam lebih baik. Aku akui memang salah. Kalau mejawab terus, bisa-bisa ibu dokter cantik kesal. Lagipula, aku tetap rutin meminum obatnya. Walau terkadang masih terasa nyeri. Sejauh ini baik-baik saja.Dokter nayla membuka catatan pada bagian terakhir. Kulihat ekspresinya sangat mengejutkan. Dia mengerutkan kening dan seperti membaca dengan teliti. Sesekali dia menatap ke arahku. Kemudian mengeja kembali dengan jemarinya. Apa ada sesuatu yang buruk. Aku harus bertanya daripada penasaran.“Dok. Apa ada sesuatu yang buruk dengan kesehatan saya?” tanyaku dengan ragu. Entah kenapa perasaan menjadi tidak enak. Tangan terasa dingin dan gemetar. Seolah tengah terjadi sesuatu pada tubuhku.“Apa anda yakin hanya operasi caesar pada saat itu?” tanya dokter penuh selidik.“Iya. Saya yakin.” Jawabku penuh keraguan. Saat itu aku dalam keadaan tidak sadar. Mungkinkah terjadi sesuatu yang tak pernah kuketahui.“Sama sekali tidak ada yang memberitahu kepada anda?!” seribu tanda tanya tergambar pada wajah dr. Nayla. Dia pasti mengetahui sesuatu yang tidak beres. Apa sebenarnya yang terjadi. Apa aku sakit kanker atau apa. Kenapa bu dokter seperti tak percaya kepadaku setelah membaca riwayat kesehatanku. Benar-benar membuatku bingung.“Sebenarnya ada apa ya dok. Sepertinya dokter menyembunyikan sesuatu. Bisa dokter katakan kepada saya apa yang tertera pada buku itu?” tanyaku dengan tidak sabar. Sungguh rasa penasaran dan ketakutan membuat kepalaku seperti mau pecah. Rasa berat yang menyerang kepala yang datang tiba-tiba membuatku seperti akan mati saja.“Baiklah. Saya akan mengatakannya sesuai dengan catatan medis anda yang ada di sini. Yang menyebabkan anda tidak menstruasi karena ....”dr, nayla menghentikan ucapannya. Seperti ada keraguan dalam penyampaiannya. Hal itu makin membuatku penasaran.“Katakan dokter. Apapaun yang terjadi saya siap mendengarnya. Tolong, cepat katakan.” “Rahim anda sudah di angkat.”“Apa?! Rahim saya di angkat?! Tidak. Tidak mungkin. Dokter pasti salah. Iya’kan?” bagai petir menyambar gendang telinga dan merusak syaraf di sekitarnya. Aku bahkan tidak yakin dengan pendengaranku kini. Telingaku pasti sudah salah mendengar.Mencoba memasukkan jari ke dalam telinga untuk memastikan tak ada kotoran yang menyumbat pendengaranku. Kuangkat jari, tak ada noda sedikitpun di dalamnya. Aku yakin selalu rutin membersihkannya.Akan kucoba lagi mungkin saja masih ada yang tertinggal di dalam. Tak ada. Bagaimana bisa telinga sebersih ini mendengar sesuatu yang salah. Tidak. Ini tidak mungkin terjadi. Pasti ada kesalahan di dalamnya.Aku menatap tak percaya kepada dr. Nayla. Dokter cantik itu menatap lekat ke arahku. Menangkap tanda kasihan pada mata sayunya. Aku tak ingin dikasihani. Mengedarkan pandangan. Tatapanku tertuju kepada alat untuk USG. Akanku coba memintanya untuk meneliti rahimku menggunakan alat tersebut untuk memastikan bahwa catatan yang ada pada buku itu salah. Iya. Aku akan coba meminta kepada dr. Nayla.“Dokter. Apa mungkin ada kesalahan pada catatan kesehatanku?!” mengajukan pertanyaan yang sudah terjawab. Aku tidak boleh kalah oleh keadaan. Masih ada kemungkinan kalau pihak rumah sakit ceroboh dan tertukar dengan pasien lain.“Apa ibu meragukan pekerjaan kami? Operasi yang ibu jalani termasuk operasi besar. Sangat kecil kemungkinan untuk terjadi kesalahan dalam pencatatan. Silakan ibu baca. Seluruh pencatatan kesehatan ibu lengkap.” Jawab dr. Nayla penuh penekanan.Sepertinya dokter cantik ramah itu mulai hilang kesabaran. Aku memakluminya. Namun seharusnya beliau juga memahamiku. Tidak mudah percaya begitu saja. Seandainya benar, kenapa orang-orang terdekat tak pernah memberitahukan kepadaku. Sama sekali tak ada pembicaraan sedikitpun tentang ini. Hanya kematian putriku saja yang diberitahukan kepadaku. Rasanya sulit untuk percaya. Bahkan bumi yang kupijak tak mampu menahan bobotku yang terasa lunglai.Aku menolak secara halus buku yang di sodorkan dr, nayla kepadaku. Walau pikiranku kacau, tapi aku tetap punya etika. Tak pantas untuk membacanya. Sangat terkesan meragukan para pekerja di rumah sakit ini. Aku tak ingin stempel menempel pada diriku sebagai pasien yang menyebalkan.Hanya ada satu cara untuk bisa membuatku percaya. Ini adalah jalan terakhir untuk mengetahui kondisi rahimku. Semoga saja apa yang diucapkan oleh dr. Nayla seratus persen tidak benar. Walau hanya enol sekian persen saja keyakinan, aku harus tetap berusaha hingga tak ada jalan lain.“Dok. Apa bisa perut saya di USG. Maaf. Saya hanya ingin memastikan saja.” Aku menundukkan kepala. Bibirku bergetar dan terasa hingga dada. Jangan tanya lagi lari kemana airmataku. Saking deras dan tak menghapus jejaknya, telapak tangan yang menyatu menjadi penadahnya.Sungguh aku sangat takut. Bagaimana dengan cintaku. Hari pernikahanku semakin dekat. Akankah rencana yang sudah tersusun dengan matang akan terganjal oleh kenyataan ini. Aku tak ingin berpisah dengan cinta pertama dan akan menjadi yang terakhir. Aku tak bisa hidup tanpanya.“Oke. Silakan ibu berbaring di sana. Suster, tolong bantu pasien.” Dr. Nayla melangkah menuju bangku dekat monitor. Seorang suster dengan sabar membimbingku menuju ranjang pasien. Ini bukan yang pertama. Namun perasaan tak menentu. Gugup, takut dan gemetar.Aku menatap ke layar. Jantung berpacu semakin kencang. Saat kulihat dokter mulai menempelkan alat di perutku, rasa takut kian menyergap. Memejamkan mata akibat rasa akut yang berlebihan. Tak ingin melihat kenyataan yang ada. Bagaimana kalau benar-benar rahimku sudah di angkat. Semua harapanku akan hancur.“Ibu, coba buka mata. Lihatlah, rahim ibu sudah tidak ada. Walau pahit, tapi ibu harus menerima kenyataan.”Aku mendengar suara sang dokter cantik yang terus memanggil namaku. Rasanya telingaku tak sanggup untuk mendegarkan ucapan dr. Nayla. Apalagi untuk melihat ke layar. Aku memang pengecut. Walau didirku yang meminta, tapi tak mau melihatnya. Tetap memejamkan mata. Tak kuhiraukan panggilan dokter yang sesekali menepuk pipi dan lenganku.“Bu. Ibu. Bangun.”Aku merasakan tepukan halus di pipi. Mungkin dr. Nayla mengira aku pinsan. Tidak. Aku masih sadar. Hanya enggan untuk membuka mata. Rasanya ingin mataku terus terpejam dan tak pernah lagi terbuka. Asa yang indah akan terpuruk dalam penderitaan. Lelaki mana yang mau menerima janda tak punya rahim sepertiku. Hanya pria bodoh yang mau menerimanya. Fajar. Walau kau setia, apa jadinya kalau kau tahu aku tak punya rahim. Sudah dipastikan kau akan mundur.“Sepertinya pasien pinsan, dok. Kakinya sangat dingin. Apa yang harus kita lakukan?” terdengar suara perawat yang mengkhawatirkanku.“Cepat hubungkan kei bagian IGD. Pasien butuh pertolongan. Segera hubungi keluarganya.”Hanya itu percakapan terakhir yang kudengar. Setelah itu merasakan tubuh melayang ringan. Apakah pendengaranku mulai berkurang. Tak ada satu suarapun yang berhasil kutangkap. Tubuhku juga tak mampu digerakkan. Apa aku sudah mati. Semua terasa gelap. ***Samar telinga mulai menangkap suara. Ada dimana aku. Mungkinkah sedang berada di nirwana. Benarkah aku sudah terlepas dari seluruh beban dunia. Lalu siapa yang mengurus keempat putraku. Siapa juga yang akan mengurus restoran ayah. Lalu fajar akan menikah dengan siapa.Tidak, aku tidak boleh menyerah. Masih banyak orang yang kucintai menanti. Lalu bagaimana dengan rahimku. Bagaimana dengan pernikahanku. Ya Alloh. Aku ingin bahagia. Berikanlah kebahagiaan dengan menjadi istri dari pria yag sangat kusayangi. Tolonglah hambaMU. Berikan jalan keluar yang terbaik,Mendengar isak tangis seseorang yang berada tak jauh dariku. Merasakan tanganku yang di genggam dengan erat. Mencoba untuk membuka mata. Kenapa masih terasa berat. Aku mencoba lagi berulangkali, tetap saja tak bisa. Penasaran dengan orang yang tengah menangisiku.Mencoba menggerakan tangan, tapi tak bisa. Mungkinkah karena digenggam dengan sangat erat. Tidak. Aku yakin bukan itu penyebabnya. Kesadaran yang masih belum pulih. Aku harus berusaha membuka mata. Tunggu. Aku sangat mengenal suara itu. Suara dari orang yang sangat kurindukan.“Miranti. Bangun sayang. Gue cinta sama lo. Kita akan menikah. Lo ingat’kan dengan perjuangan kita. Bangunlah. Lo hidup gue, nyawa gue. Tanpa lo, gue bisa mati.”Suara calon suamiku. Dia begitu khawatir. Itu karena dia belum tahu keadaan yang sebenarnya. Kalau dia tahu, pasti akan meninggalkanku seorang diri . Janjinya pasti berlalu seiring dengan langkahnya. Aku tak bisa menerimanya. Tidak bisa.“Mir. Bangun. Gue’kan sudah bilang, tunggu. Kenapa sih bandel banget. Akhirnya lo jadi tahu dari mulut orang lain. Ini yang gue takutin. Lo pasti tidak akan mampu menerima kenyataan.”Tunggu. Sepertinya aku menangkap sesuatu dari pembicaraannya. Apa mungkin fajar sudah mengetahuinya. Dan dia tak jujur padaku. Bagaimana bisa. Akan kucari jawabannya.Mencoba membuka mata. Entah mendapat kekuatan darimana, sedikit demi sedikit usahaku berhasil. Aku mengerjapkan mata saat sinar lampu menyilaukan mata. Ternyata aku sudah sadar. Mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dinding serba putih dengan kain penutup berwarna hijau. Aku berada di rumah sakit. Apa yang terjadi. Otakku mulai bekerja. Dalam sesaat aku bisa mengingat semuanya. Dan ucapan fajar tadi.Aku menatap kearah pria yang masih menelungkupkan wajah di atas ranjang sembari memeluk tanganku. Banyak pertanyaan yang akan kuajukan kepadanya. Semoga aku kuat dengan kenyataan yang harus kuhadapi.71. KEMARAHAN MIRANTI“Fajar,” Sapaku dengan menyentuh lembut kepalanya. Calon suamiku tersentak. Lalu menatapku dengan tidak percaya. “Kau sudah sadar? Maafkan, aku.” Pria yang kusayangi memelukku erat. Walau lirih isak tangisnya terdengar  di telingaku.“Fajar. Aku sudah tak punya rahim. Aku tidak sempurna lagi sebagai wanita.” memeluk erat tubuh lelakiku. Menumpahkan segala kesedihan. Aku sangat takut kehilangan dia. Pasti fajar akan meninggalkanku setelah ini. Tak mau melepasnya. Dia tak boleh pergi dariku.“Tenanglah. Semua akan baik-baik saja.” Jawaban fajar diluar dugaanku. Dia tidak marah ataupun terkejut. Seharusnya sebagai lelaki yang akan menikahiku, dia pasti sedih atau bahkan langsung pergi meninggalkanku. Namun sikapnya sangat tenang seperti tak terjadi apapun pada calon istrinya. Padahal hal ini sangat penting dalam penentuan langkah yang akan di lakukan. Bukankah wanita yang melahirkannya sangat mendambakan lahirnya seorang fajar junior. Kenapa dia terlihat santai dan tak peduli.. Apa karena dia terlalu mencintaiku.“Fajar,” aku melepas pelukan dan mencoba membaca ekspresi dari wajahnya. Tak ada gambaran kesedihan, amarah ataupun kesal. Satu hal yang tak mungkin terjadi sekalipun pria terbaik di dunia sekalipun. Mereka pasti akan tetap mendambakan kelahiran generasi penerus. Namun kenapa tak terjadi kepada calon suamiku.“Ada apa?” tanya fajar sembari membelai pipiku dengan punggung tangannya.“Kau tidak marah, sedih atau kesal?” Tanyaku beruntun.“Untuk apa? gak masalah dengan semua itu. Aku sudah tahu. Kamu tenang aja. Aku gak bakalan ninggalin kamu.” fajar menggenggam tanganku erat dan tersenyum.Sikapnya yang aneh tidak membuatku tenang. Rasanya sulit dipercaya ada pria seperti fajar. Pasti ada sesuatu yang di sembunyikan. Tunggu. Dia tadi bilang sudah tahu. Bagaimana mungkin. Apa tadi dokter sudah mengatakan kepadanya. Benar-benar membuatku penasaran.“Darimana kamu tahu?” tanyaku penuh selidik.“Aku ... aku ....”“Fajar. Jujurlah. Aku sangat mengenalmu. Kau pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku!”“Aku tidak menyembunyikan apapun.” Jawabnya gugup. Dia lalu membuang pandangan, Hal itu membuatku semakin yakin kalau dia menyembuyikan sesuatu dariku.Mencoba untuk bangkit walau tubuhku masih terasa lemas. Untung saja tak ada selang infus di tangan hingga tak membuatku kesulitan mengambil posisi duduk. Sakitku tidak parah hingga jarum infus tak harus menyakiti lenganku. “”Tolong, katakan padaku ada apa sebenarnya?!” tanyaku dengan nada mulai meninggi.‘”Sst. Jangan brisik. Ini IGD, banyak pasien di sini. Nanti mereka terganggu. Sudah. Aku mau ke ruang administrasi.” Fajar bangkit dari posisi semula. Aku tahu dia hanya menghindar dari pertanyaanku. Segera kutarik lengannya hingga dia hampir terjatuh.“Mir. Lo ngapain sih. Lepas!” fajar mengibaskan tangannya. Hanya dengan satu hentakkan tanganku terlepas.“Katakan dengan jujur apa yang terjadi dengan diriku saat itu?! Kau pasti tahu’kan kalau rahimku sudah di angkat?!” tanyaku dengan otak yang mulai mengepul. “Ya. Aku tahu. Bahkan akulah yang memaksa dan menyetujuinya. Walaupun yang menandatangani adalah ayahmu! Dan ....”Plaak. Aku melayangkan satu tamparan keras pada pipinya.“Kau jahat. Aku tak menyangka kau tega melakukannya! Apa hakmu?! Kau bukan suamiku. Beraninya mengambil keputusan tanpa persetujuan dariku?!”“Bagaimana mungkin aku minta persetujuanmu?! Saat itu kondisimu sangat kritis. Rahimmu rusak karena penganiayaan itu. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawamu ya dengan mengangkat rahimmu. Kalau aku tidak cepat mengambil keputusan, kau bisa mati!”“Aku lebih baik mati daripada harus kehilangan rahimku!” aku berteriak histeris.“Istighfar, Mir. Jangan ngomong sembarangan. Gimana kalau do’a mu di aminkan oleh malaikat?”“Aku tidak peduli!” aku makin histeris. memukuli lengan calon suamiku dengan amarah yang meledak. Tak menyangka kalau dia sangat jahat.“Maaf, tolong kecilkan suaranya. Jangan mengganggu pasien lain.” Perintah salah satu perawat.“Maaf, sus. Sekali lagi kami mohon maaf.” Jawab fajar.Aku tak peduli. Muak dengan kebohongannya, Bagiku dia tak lebih dari seorang penjahat yang merenggut salah satu organ yang sangat penting untuk seorang wanita. Dia tak lebih dari lelaki kejam. Malas untuk melihat wajahnya.Perlahan mencoba turun dari ranjang. Aku menyingkirkan tangan fajar yang mencoba membantu. Tak sudi dia menyentuhku.“Mir. Kamu mau kemana?”“Minggir!” kudorong tubuh fajar dengan kasar. Pria itu terhuyung tapi tak sampai terjatuh.“Kamu jahat! Aku benci kamu!” kembali mendorong tubuh lelaki di hadapanku. Segera mengambil langkah seribu. Tak kupedulikan fajar yang terus memanggil.. Juga pandangan orang yang tak suka melihatku. Hati ini sudah terlanjur sakit.***FAJARAku kehilangan jejak miranti. Kemana dia. Larinya cepat sekali seperti terbang. Menyapu pandangan ke seluruh area rumah sakit. Tak nampak batang hidung calon istriku. Bagaimana kalau dia nekat bunuh diri ataupun menyakiti dirinya sendiri. Dia sangat rapuh.Mengambil ponsel untuk menghubungi Miranti. Terdengar nada sambung tapi tak ada jawaban.. Mengulang hingga beberapa kali. Tetap saja tak ada jawaban. Apa yang harus kulakukan. Dia pasti salah paham dan sangat membenciku.Saat aku putus asa, mencoba menuju area parkir mobil. Kulihat mobil miranti masih bertengger di sana. Artinya calon istriku masih berada di sini. Aku akan mencoba menunggu  Sudah pasti Miranti akan datang untuk mengambil mobilnya.Saat aku lengah, kulihat mobil Miranti meluncur dengan cepat tepat di hadapanku. Astaga aku kecolongan. Ternyata dia sudah berada dalam mobil. Aku tak boleh membuang waktu. Segera berlari menuju mobil dan mengejarnya.***Wanita pujaanku itu memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Kendaraan yang padat merayap membuatku kesulitan untuk mengejarnya. Miranti mengendarai mobil tak terkendali. Seperti tak peduli dengan nyawanya sendiri. Setiap ada celah sedikit saja, pasti dia tancap gas dan menyalip. Benar-benar membuat cemas.Mencoba menghubungi lewat ponsel. Tetap saja tak tersambung. Achhh, sial. Aku memukul setir dengan kesal saat tiba-tiba lampu merah. Aku tak boleh kehilangan jejak. Namun menabrak lampu lalu lintas juga tak mungkin kulakukan. Bisa-bisa kena semprit.Mobil Miranti sudah tak terlihat. Sepertinya dia tak akan pulang ke rumah. Jalan ini bukan menuju rumahnya tapi menuju rumahku. Astaga. Apa miranti benarniat ke sana. Mau apa dia. Bukankah tadi kami bertemu. Seandainya ada sesuatu yang mau dibicarakan, kenapa tidak sedari tadi. Kenapa harus ke rumah kalau aku juga bersamanya.Tunggu. Aku yakin Miranti tak berniat bertemu denganku. Mamah. Iya. Dia pasti akan bertemu dengan mamah dan menceritakan keadaannya. Bisa kacau semuanya. Pernikahanku pasti dibatalkan. Aku harus memotong jalan. Walau tak terkejar, setidaknya aku bisa sampai di rumah lebih dahulu. Kupacu mobil dengan kecepatan tinggi.***Aku melewati jalan dan gang sempit. Semua kulakukan demi mengejar Miranti. Walau harus bergantian dengan pengendara lain, setidaknya jalan ini bisa memotong seperempat dari jarak tempuh. Lumayanlah. Semoga miranti belum sampai di rumah.Alhamdulillah. Aku sudah sampai di jalan besar. Jarak dari sini ke rumahku tak memakan waktu lama. Aku pastikan Miranti belum sampai.Tunggu. Aku menghentikan mobil secara mendadak. Aku melihat mobil Miranti  terparkir di pinggir jalan. Tanpa berpikir panjang segera keluar dari mobil dan menuju kesana.Kulihat lewat jendela, Miranti tak terlihat. Pintu mobil juga terkunci. Aku yakin dia tak jauh dari sini.Mencoba menyapu pandangan. Aku tersenyum saat melihat sosok yang kucari tengah duduk di bawah pohon rindang. Tempat ini sangat sepi. Bisa bahaya kalau dia berada di sini dalam waktu lama. Segera menyusul kesana.Sesenggukan terdengar suara tangisan. Bahunya terguncang. Artinya dia sedang menangis. Menghela nafas panjang. Aku sangat mengerti perasaannya. Tak mudah bagi seorang wanita dengan cobaan seberat ini. Namun tak ada yang bisa dilakukan, selain menerima sebagai takdir yang harus di jalani.Menyentuh bahunya dengan lembut. Tak kusangka mIranti terperanjat dan menepis tanganku kasar.“Siapa kau beraninya ....” Miranti menghentikan ucapan saat melihat aku yang menyentuh bahunya.“Untuk apa kau mengikutiku?!” sentaknya kepadaku. Rupanya bara api masih membara dalam dada.“Mir. Aku bisa jelaskan. Semua tak seperti yang kau bayangkan.”“Apapun alasanmu, kau sudah sangat lancang! Belum jadi suamiku saja, kau berani mengambil rahimku! Bagaimana kalau aku sudah jadi istrimu?! Mungkin kau akan mengambil nyawaku!” teriak Miranti histeris.“Mir! Jaga ucapanmu! Aku tak seburuk yang kau pikirkan!”“Aku tidak sedang berpikir. Dari kelancanganmu, semua bisa terbaca olehku!”“Sudah aku katakan. Semua demi menyelamatkan nyawamu. Aku tak mau terjadi apa-apa denganmu.”“Oh begitu. Lalu kau sok jadi pahlawan dengan bersiap menikahiku karena kau merasa bertanggung jawab, bukan karena mencintaiku! Kau pendusta Fajar!”“Aku benar-benar mencintaimu.”“Jangan bohong! Hanya laki-laki gila yang mau menikah dengan wanita yang tak punya rahim. Lalu apa yang kau harapkan. Atau memang sengaja menikahiku hanya untuk menyakiti. Setelah itu kau akan selingkuh dengan wanita lain, seperti arya!”“Jangan samakan aku dengan dia. Aku bisa menerimamu apa adanya.”“Kau yakin? Tapi aku tidak percaya.”“Percayalah. Kalau aku tak mencintaimu, untuk apa aku menolongmu. Lebih baik saat itu aku membiarkanmu mati di kubur hidup-hidup oleh Arya.”Miranti bergeming. Mungkin saja dia sedang berusaha mencerna kata-kataku. Sepertinya dia sudah mulai tenang. Wajahnya tak segalak tadi. Kucoba menyentuh bahunya lembut. Namun miranti masih menepis walau tak sekasar tadi.“Mir. Percayalah. Aku menerima keadaanmu. Bagiku anak tak penting. Yang penting kau selamat. Tetaplah menikah denganku. Aku akan membuatmu bahagia.”“Hanya aku? Bagaimana dengan dirimu sendiri?”“Aku pasti bahagia.”“Walau tanpa anak?”“Iya.”“Bohong. Pada kenyataannya tak semudah itu. Dalam pernikahan pastilah sepasang suami istri mendambakan hadirnya momongan. Kau belum pernah menjalaninya. Jadi mudah saja berucap seperti itu.”“Aku janji. Akan menepati semua kata-kataku.”“Bagaimana dengan tante farida? Bahkan aku sudah berjanji kepada beliau untuk memberinya seorang cucu. Kau jahat fajar. Bahkan kau membiarkan aku membohongi calon mertuaku.”“Mir. Aku mohon. Jangan katakan apapun. Biar ini jadi rahasia kita berdua saja ya. Aku mohon.”“Tidak! Aku tidak mau ada kebohongan lagi.”“Mir. Tolong mengertilah. Pernikahan kita bisa batal.”“Aku tak peduli. Bagiku pernikahan yang sudah diawali dengan dusta, takkan membuat bahagia. Aku akan menemui mamahmu dan mengatakan yang sebenarnya. Keputusan akhir ada pada mamahmu.”Miranti lalu berjalan meninggalkanku. Aku berusaha mengejarnya dan memegang pergelangan tangannya.“Mir, tolong jangan lakukan itu.”“Tolong jangan menghentikanku. Aku tahu apa yang harus kulakukan.” Miranti melepas pergelangan tangannya. Lalu pergi meninggalkanku.Aku tak bisa mencegahnya. Hanya bisa pasrah dan berusaha menjalani takdirku. Kalau memang Miranti jodohku, walau mamah sekalipun yang jadi penghalang pasti akan ada jalan. Semoga saja.72. KECEROBOHAN MIRANTI YANG TAK KUSUKAIMiranti tiba lebih dulu di kediamanku. Dia terlihat ragu untuk memencet bel. Berkali-kali tangannya terulur lalu di tariknya kembali. Sementara aku hanya bisa pasrah dengan keadaan. Selama ini kurasa sudah cukup berusaha melakukan yang terbaik. Namun seandainya takdir kembali tak berpihak kepadaku, aku ikhlas. Manusia hanya bisa berencana. Namun Tuhanlah sang penentu.Segera turun dari mobil dan menyusulnya.Kekasihku diam terpaku. Matanya tak berkedip menatap daun pintu yang tertutup rapat.Miranti pasti sedang berkecamuk dengan pikirannya. Bimbang dan ragu untuk melangkah atau tidak. Aku sangat memahaminya.Miranti tak menyadari kehadiranku. Dia masih terus memandang ke arah pintu.“Biar aku bantu memencet bel.” Saat mendengar suaraku, Miranti terperanjat. Dia sangat terkejut saat melihatku berada di balik punggungnya.“Fajar. Kau mengagetkanku.” Jawabnya gugup.“Bergeserlah. Akanku bantu kau memencet bel.”“Fajar. Tolong jangan halangi aku. Aku hanya ingin ....”“Tidak, Mir. Semua terserah padamu. Kalau memang kau tak menginginkanku, untuk apa kita pertahankan hubungan ini. Aku akan membantumu berbicara dengan mamah. Katakan apa yang ingin kau beritau kepada mamah.” Jawabku dengan senyum getir. Miranti diam terpaku. Mungkin saja dia heran kenapa aku tak berusaha mencegah seperti biasanya. Dia terus mengamatiku. Memang tak biasanya aku bersikap seperti ini. Aku yakin dalam pikirannya berkecamuk ribuan pertanyaan dengan adanya perubahanku ini.Rasanya batas kesabaran sudah berada pada titik terendah. Tak ada gunanya menggapai langit kalau tak ada angin yang membantu untuk mengangkat tubuh kita.Cita-cita yang terlalu tinggi tak berguna jika tanpa dukungan. Aku lelah berusaha sendiri. Kini hanya bisa pasrah kepada takdir yang akan menggiringku ke arah mana. Wanita yang aku perjuangkan dengan sepenuh hati bahkan tak pernah memberikan cintanya tulus terhadapku. Itu yang kurasakan selama ini.Lupakan. Aku harus segera memencet bel.“Fajar. Apa artinya kau pasrah dengan keadaan? Apa kau akan meninggalkan aku?” tanya miranti dengan suara bergetar.Aku takkan menoleh ke arah wanita yang selalu menorehkan luka pada hati. Namun aku masih terus percaya pada kekuatan cinta yang bisa merubah keadaan. Harapan tinggal harapan. Wanita yang sangat kucintai tak pernah menghargaiku. Tak pernah mau mendengarkan nasehat bahkan selalu menyalahkanku. Untuk apa bertahan dalam mahligai cinta yang goyah. Sulit rasanya untuk bertahan jika hanya satu yang merasakan dahsyatnya cinta. Takkan seimbang.“Fajar. Jawab aku.” Miranti menggoyangkan lenganku.“Bukankah kau tak peduli dengan pernikahan kita. Kau yang ingin menghancurkannya, bukan aku.” Jawabku datar tanpa menatap ke arahnya.“Fajar. Aku hanya ingin kita jujur kepada mamahmu. Itu saja. Supaya rumah tangga yang kita jalani nantinya akan bahagia karena mendapat restu sepenuhnya dari mamahmu.”“Apa kau pikir efeknya tidak akan berat untuk kesehatan mamah dan juga hubungan kita? Berpikirlah sebelum bertindak.”“Tapi aku takkan pernah bisa memenuhi janjiku kepada tante farida. Bagaimana aku harus berpura-pura seumur hidupku. Setiap detik hidupku takkan tenang menyimpan kebohongan sebesar ini. Mengertilah. Kita seperti menunggu bom waktu yang bisa meledak kapanpun.”“Aku tahu itu. Seharusnya hargai juga usaha kerasku yang sudah berusaha menutupinya dengan mengiyakan kalau aku ini impoten. Mamah takkan tahu kalau ternyata rahimmu sudah di angkat. Mamah akan tahu kalau kekuranganya ada padaku. Beliau takkan menuntut apapun darimu, Mir!” aku mengetuk pundak wanita yang kucintai dengan jariku. Tak menyangka ekspresi Miranti akan seperti ini. Matanya membulat dan mulutnya menganga lebar. Dia seperti melihat hantu. Padahal yang kukatakan biasa saja dan tidak menakutkan. Entahlah. Apa yang terjadi aku tidak tahu.“Mir. Kamu kenapa?!” mengguncang bahu Miranti yang termangu seperti orang kesurupan.“Itu ....” jemari lentiknya menunjuk ke arahku.“Aku kenapa?!” tanyaku kembali. Tak mengerti apa yang sedang terjadi dengannya.“Fajar.”Aku mendengar suara lembut yang sangat ku kenal. Kali ini ada yang berbeda. Ada getaran dalam nada bicaranya. Mencoba menoleh ke arah suara.‘Mamah?!” wanita yang sangat kukasihi berada di belakangku. Bodohnya aku yang tak menyadari kehadirannya. Mata mamah mengembun dan menatap sayu. Kudekati dan menyentuh bahunya. Sangat khawatir dengan keadaannya.“Mamah kenapa? Sakit?” tanyaku mengalihkan fokus mamah sambil meraba keningnya. Namun mamah menepis tanganku. Bibirnya bergetar hebat. Apa sesuatu terjadi dengannya.“Mah. Ada apa? Katakan pada fajar. Apa ada sesuatu yang terjadi?”“Batalkan pernikahanmu!” suara itu bak petir menggelegar di telinga. Tak ada angin dan hujan tiba-tiba mamah mengambil keputusan secara sepihak. Bahkan beliau langsung masuk ke dalam rumah tanpa memberikan kesempatan untuk bertanya. Aku mengejarnya dan menghadang jalannya.“Mah. Kenapa mamah ....”“Jangan mendebat! Mamah tak suka itu! Turuti kata-kataku, titik!” Mamah menyingkirkan tubuhku lalu melanjutkan langkah dengan tergesa.. Aku tak mau kalah dan terus mengejarnya.“Setidaknya katakan dulu alasannya.”“Mamah sudah mendengar semuanya! Kau sudah terlalu banyak berkorban untuk Miranti. Bahkan kau rela mengelabui mamah dengan berpura-pura impoten demi menyelamatkan harga diri wanita kesayanganmu itu. Mamah kecewa sama kamu. Jangan lagi habiskan sisa hidupmu dengan wanita yang tak bisa memberikanmu kebahagiaan!” ucap mamah dengan nada tinggi.Aku menoleh ke arah Miranti yang menangis. Inilah yang tak kusuka darinya. Semua tanpa perhitungan. Kalau sudah begini sangat sulit untuk melunakkan hati mamah.“Mah tapi ....”“Jangan bodoh kamu! tinggalkan wanita itu sekarang juga!” mamah menoyor keningku, lalu melangkah dengan tergesa menuju kamarnya. Beliau bahkan tak peduli dengan panggilanku.“Tante. Tunggu!” Miranti berusaha menyusul mamah. “Jangan ganggu mamah. Percuma!” kuraih lengan miranti untuk menahannya.“Fajar, tapi ini salahku. Bukan salahmu!”“Semua ini terjadi karenamu yang tak pernah bertindak pake otak!” emosiku mulai memuncak.“Aku hanya ingin meluruskan. Kenapa jadi kacau begini.” Miranti menangis di hadapanku. Rasanya sudah muak dengan semua yang terjadi. Percuma bertahan kalau hanya satu pihak saja.Tak kuhiraukan tangisan Miranti. Biasanya aku akan selalu menenangkan dan memeluknya. Kini rasa itu telah hilang seiring dengan kecerobohannya. Masalah demi masalah yang kuhadapi membuatku lelah. Meninggalkan miranti seorang diri itu lebih baik. Aku ingin mengistirahatkan otakku yang terasa membara.“Fajar. Mau kemana? Masalah kita belum selesai.” Miranti menahan langkahku.“Aku cape. Mau istirahat.” Menggeser tubuhnya dengan perlahan.“Lalu bagaimana dengan pernikahan kita?”“Seharusnya kau tanya pada dirmu sendiri sebelum bertindak sejauh ini.”“Aku hanya tidak ingin ada kebohongan.”“Aku tahu itu. Kau juga seorang ibu. Kalau hal ini terjadi kepada putramu, kau pasti akan melakukan hal yang sama seperti mamah. Pikir dong pake otak. Aku’kan sudah bilang, jangan katakan apapun kepada mamah tentang rahimmu. Tapi kau ngeyel. Aku juga manusia yang punya batas kesabaran. Kalau memang kau tak mau menikah denganku, ya sudah. Kita batalkan saja. Aku lelah dengan sikapmu!” kembali melangkahkan kaki untuk menjauh darinya..“Fajar, aku minta maaf. Aku juga ingin menikah denganmu.” Miranti mengejarku dan mensejajarkan langkahnya denganku.“Tapi sikapmu tak mencerminkan itu. Kau masih kekanak-kanakkan dalam menyelesaikan masalah. Bukannya selesai, tapi malah menciptakan masalah baru.” Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.“Karena itu aku membutuhkanmu. Aku minta maaf. Tolong jangan tinggalkan aku.” Astaga. Langkahku seketika terhenti. MIranti tiba-tiba bersujud di hadapanku. Dia hampir saja mencium kakiku kalau aku tak menghindar.“Apa yang kamu lakukan? Berdirilah!” memegang pundak Miranti dengan perasaan bersalah. Aku sangat mencintainya. Namun sifatnya yang keras, sering membuatku kesal.“Tidak. Aku akan tetap bersimpuh di kakimu sampai kau mau memaafkanku.”“Mir. Bangun. Gak enak kalau di lihat orang.”Miranti bergeming. Hanya armata yang melukiskan betapa sedih hatinya. Aku bisa memahaminya. Mungkin kalau diriku ada pada posisinya aku juga melakukan hal yang sama. Apa tadi sikapku terlalu keras kepadanya. Jujur saja, aku belum pernah marah dan sekesal ini pada Miranti. Walau selalu saja ada masalah yang tercipta aku tetap bisa membantu menyelesaikannya. Tapi kali ini masalahnya berbeda dan membuatku stres memikirkan jalan keluarnya. Sangat sulit untuk meyakinkan mamah. Harapan penerus satu-satunya adalah dariku. Mana mungkin mamah mengijinkan putra semata wayangnya menikahi wanita tanpa rahim.Kupandangi wanita perebut hatiku. Bahunya masih berguncang. Menandakan airmata masih menemani kepiluannya. Rasanya tak tega membiarkan dia larut dalam tangis kesedihan. Mensejajarkan diri dengan kekasihku lalu memeluknya erat.“Aku memaafkanmu. Aku sangat mencintaimu, Mir.” Membisikkan kalimat yang jujur dari dalam hati. Ya, aku memang sangat mencintainya dan tak ingin sungguh-sungguh berpisah dengannya.“Terimakasih fajar. Aku juga sangat mencintaimu.” Miranti memelukku dengan erat. Dia menumpahkan tangisan di bahuku.“Fajar, aku janji akan mematuhi semua perintahmu. Tolong bantu aku menghadapi tante farida.” Miranti melonggarkan pelukan. Lalu menatap wajahku dengan sayu.“Iya sayang. Kita akan hadapi bersama. Kau jangan takut ada aku yang selalu menemanimu.” Membelai wajahnya lalu mengecup kening dengan lembut. Kembali Miranti dan membenamkan wajahnya ke dadaku.Aku berjanji akan selalu menghadapi masalah sesulit apapun bersamanya. Dan selalu setia menemani seumur hidupku. Itulah janjiku kepada diriku sendiri. Kalau aku tak bisa melaksanakannya aku akan menghukum diriku sendiri. 73. RESTU MAMAHMembuka pintu kamar mamah yang tidak terkunci. Aku memberi kode kepada Miranti untuk tetap di sini. Dia mengerti dan menganggukkan kepala. Kuelus bahunya dengan lembut dan memberi untaian senyum manis. Setelah itu aku menutup pintu tapi tidak rapat. Sengaja melakukan supaya Miranti bisa mendengar percakapan kami.Sangat tidak baik kalau aku mengajak Miranti menemui sekarang. Keadaan yang kurang kondusif memaksaku untuk membiarkan Miranti di luar sendirian. Namun aku sudah meyakinkan dia kalau yang kulakukan ini demi kebaikan bersama. Menatap wajah sendu yang sedang duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk. Aku merasa menyesal telah melukai hatinya yang suci. Bukan kebahagiaan yang kuberikan, tapi masalah yang tak kunjung usai. Wanita yang melahirkanku itu berhak untuk bahagia. Namun apa yang telah kulakukan untuknya. Hanya kesedihan dan luka yang selalu kutorehkan.Segera menghampiri mamah dan bersujud di kakinya.Mamah terkejut dan memundurkan kakinya.“Mau apa kau fajar? Walau kau cuci kaki mamah dan sekalipun kau meminum airnya, mamah tidak akan pernah menyetujui pernikahanmu dengan Miranti!” mamah berucap dengan suara bergetar. Beliau memundurkan kakinya dan berusaha melepas tanganku yang memegangi kakinya.“Tolong maafkan fajar. Apapun akan aku lakukan, yang penting mamah mau memaafkanku.” Ucapku sambil terus memegangi kakinya.“Batalkan pernikahamu dengan Miranti, baru mamah akan memaafkanmu!”“Berikan syarat selain itu, mah.”“Tidak ada! Hanya itu!”“Fajar. Lihat mamah!” mamah mengangkat wajahku hingga tatapan kami bersirobok. Wajah wanita yang sangat kucintai bersimbah airmata.“Coba kamu pikir. Apa kamu tidak ingin punya anak? Apa seumur hidup kau takkan menyesal karena menikahi wanita yang tak bisa memberimu keturunan? Apa tidak ada wanita lain selain dia! Berpikirlah untuk masa depanmu. Jangan buta karena cinta!”“Fajar tahu, mah. Tapi aku sangat mencintai Miranti. Aku tak peduli dengan semua itu!”“Artinya kau juga tak peduli dengan mamah!”“Bukan begitu, mah ....”‘Sekarang tinggal pilih, mamah atau Miranti. ““Aku gak bisa, mah. Kalian berdua sangat aku cintai.”“Kalau begitu pergi dari sini! Kau bukan anakku lagi!” seru mamah sambil mendorong tubuhku hingga aku terjatuh di lantai.“Fajar.” Miranti masuk ke dalam kamar dan memelukku.“Enyahlah kalian berdua dari hadapanku!”‘Tante, tolong maafkan fajar. Biar saya saja yang mengalah, Tante.” Miranti bersujud di kaki mamah dengan berlinang airmata.“Dengar Miranti. Racun apa yang sudah kau tabur kepada putraku. Dulu dia sangat penurut. Tak pernah sedikitpun membantah perintahku. Sekarang, kau lihat sendiri’kan. Dia berani menolak permintaanku!”“Maafkan saya, tante. Fajar tidak seperti itu. Dia masih sangat mencintai, tante. Tolong restui kami. Saya janji akan membuat hidup fajar bahagia.”“Bahagia katamu?! Suami mana yang bisa bahagia tanpa anak di sisinya?! Apa kau masih bisa memberinya keturunan? Jawab Miranti?!” Mamah mengguncang pundak miranti dengan keras. Beliau tak peduli dengan tangisan miranti. Aku kasihan melihatnya.“Jawab pertanyaanku?! Jangan hanya menggelengkan kepala.” mamah makin kesal melihat calon menantunya yang hanya bisa menggelengkan kepala. Tak ada satu katapun jawaban yang keluar dari mulutnya..“Apa kalau Miranti bisa memberi mamah cucu akan menjamin restu mamah kepada kami?” tanyaku serius kepada mamah.“Iya. Tentu!” jawab mamah sambil mengangkat wajahnya dengan angkuh.“Mamah takkan mengingkari janji?!”“Kapan mamah mengingkari janji?!”“Aku pastikan, Miranti masih bisa punya anak.” Jawabku mantap. “Fajar. Apa maksudmu? Sudah jelas aku tak punya rahim. Kenapa kau masih berkata seperti itu? Apa kau amu menghinaku?”‘Tidak. Rahimmu memang sudah di angkat. Tapi tidak dengan ovariummu. Kau masih punya sel telur yang bisa dibuahi.”“Kebohongan apa lagi ini, Nak. Kau ini ....”“Aku tidak bohong, Mah. Dokter sendiri yang mengatakan kepadaku.”‘Tapi bagaimana caranya?” “Kita butuh ibu pengganti untuk mengandung anak kita.”“Apa kau akan memberikan mamah cucu dari wanita lain? Apa kau akan berzina, anakku?”‘Tidak, mah. Kami akan menjalani program bayi tabung. Karena Miranti tak punya rahim, kita butuh seorang wanita yang mau mengandung anak kami.”“Jangan gila kamu! Mana ada wanita yang mau!”“Kami akan mencoba mencari wanita yang sedang membutuhkan uang. Kami akan menawarkan ganti rugi berapapun yang dimintanya.”“Apa kau yakin bisa berhasil?”“Insya alloh. Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Kami hanya memerlukan do’a dari mamah.”Kulihat mamah mulai tenang. Dia menghela nafas panjang. Semoga saja aku bisa meyakinkan mamah. Walau aku sendiri belum yakin akan berhasil. Bahkan merencanakan saja belum. Minimal aku sudah membuat mamah yakin untuk kembali memberikan restu kepada kami.“Mamah tanya sekali lagi, apa kau yakin akan bahagia dengan keputusanmu?”‘Fajar yakin, Miranti bisa membuatku bahagia.”“Dan kau Miranti, apa kau bisa berjanji untuk membahagiakan anakku?”“Insya Alloh, saya akan berusaha semampu saya untuk membuatnya bahagia.”“Baiklah. Mamah akan merestui kalian. ““Terimakasih mamah.” Aku menghambur ke pelukan wanita yang sangat kucintai. “Aku berjanji akan selalu tersenyum dan membuat mamah bahagia.”“Iya, sayang.”Mamah merentangkan tangan. Bibirnya menyunggingkan senyum persahabatan. Miranti lalu memeluk calon mertuanya. Kami bertiga saling menumpahkan tangis kebahagiaan. Semoga saja sudah tidak ada halangan lagi menuju hari bahagia. *******Cuaca tengah hari begitu panas. Terik matahari memancarkan sinar yang menyilaukan mata. Aku dan Miranti berada di alam bebas dengan pemandangan yang begitu indah. Karena keinginan Miranti untuk sesi foto pre wedding kami berada di alam bebas. Aku malas sebenarnya berpanas-panasan. Bisa-bisa kulitku yang sudah coklat berubah menjadi lebih gelap.Miranti terlihat sangat bahagia. Dengan penuh semangat mengikuti yang di instruksikan oleh kru. Berbagai gaya dan pose yang membuatku gerah. Berbeda denganku yang sangat tidak menikmati. Aku bukan orang yang suka dengan sesuatu hal yang ribet dan membuang banyak waktu. Bagiku waktu sangat berharga. Sayang kalau hanya dibuang-buang seperti ini. Demi Miranti aku rela melakukan apapun untuknya. Termasuk kegiatan yang membosankan ini. Huch. Aku membuang napas dengan kasar.Aku tidak berkonsentrasi dengan apa yang di instruksikan oleh Tim pengambil gambar. Aku hanya mengikuti apa yang Miranti katakan dengan sangat malas.Ups, tanpa kuduga Miranti mendaratkan bibirnya pada pipiku. Lumayan cukup lama. Aku gak suka dengan caranya seperti ini. Malu lah dengan keluarga besar papah dan mamah. Bagaimana kalau mereka menegurku. ‘Iih jangan gini. Belum muhrim tahu. Haram. Gatel amat sih lu jadi janda.” Ucapku sambil menoyor kening Miranti.Miranti cemberut dan memukuli lenganku. “Iih, ini’kan bukan keinginan gue. Tuh mereka yang nyuruh.” Jawab Miranti sambil menunjuk ke arah para kru yang sedang tertawa.“Asal lo semua. Bikin gambar yang bener dong.”Saat aku sedang kesal, tiba-tiba ponselku berdering. Panggilan dari anak buahku yang mengurusi persidangan Arya. Segera menjauh dari kerumunan.“Bagaimana, ada kabar baik?” tanyaku kepadanya.“Kabar buruk, pak. Arya bebas.”“Hach?! Yang benar saja! Bagaimana bisa?!” aku tak mengira akan mendapat kabar seburuk ini di saat perniakahnku sudah di depan mata. Pria itu pasti akan mengganggu pernikahanku dengan mantan istrinya.“Ada seseorang yang bermain. Tentunya bukan orang sembarangan yang bisa membungkam dengan uang yang cukup besar.”“Cari siapa orangnya. Dan pastikan dia takkan menggangu pernikahanku. Aku tunggu di kantor sekarang juga!”Klik. Mematikan ponsel secara sepihak. Aku melihat Miranti yang sedang tertawa gembira. Kali ini aku harus menjaga keselamatannya ekstra ketat. Arya pasti akan membalas dendam kepada Miranti dan juga anak-anaknya. Apa yang harus kulakukan.Haruskah jujur atau menyembunyikan dulu sementara dari Miranti. Tidak. Kalau aku membohonginya lagi, dia pasti takkan percaya lagi kepadaku. Walau dia tahu aku melakukan yang terbaik untuknya. Kalau berterus terang, juga tidak mungkin. Bisa-bisa Miranti khawatir dan mencemaskan anak-anaknya.Arya memang seorang ayah. Tapi dia tak peduli dengan semua itu. Kalau ada kesempatan pasti akan membalas kepada umar dan amir dengan lebih kejam.Lebih baik aku tak membicarakan dulu dengan Miranti. Aku tak ingin menodai kebahagiaan dengan berita ini. Sudah cukup lama aku tak melihat tawanya selepas ini.“Mir. Ada sesuatu yang urgent di kantor. Aku harus kesana sekarang juga.” Ucapku saat menghampiri calon istriku.“Ada apa sayang? Kok muka kamu pucat? Kamu sakit?” Miranti membelai pipiku lalu menyentuh keningku dengan lembut.Aku gak apa-apa. Ayo, aku antar kamu pulang.” Kugandeng lengannya untuk membawanya pergi. Namun Miranti menolak.“Gak usah. Aku bisa pulang sendiri. Kamu ke kantor saja. Kehadiranmu pasti sudah sangat di nantikan di sana.” Jawab Miranti.“Kali ini turuti perintahku. Jangan membantah.” Aku menarik lengan miranti dan memaksanya untuk ikut denganku. Mungkin dia tidak menyukaiku yang tiba-tiba berubah tanpa penjelasan apapun. Aku tak peduli. Semua untuk kebaikannya. Bisa saja Arya sedang mengintai keberadaan kami. Pria itu pasti sudah mengendus rencana pernikahanku. Pasti dia akan merencanakan sesuatu untuk menggagalkannya. Aku harus ekstra waspada dan mengantisipasi semua itu. 74. ARYA KEMBALITak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirku. Kecemasan akan keselamatan Miranti dan anak-anaknya benar-benar membuyarkan konsentrasi. Beberapa kali hampir saja mobil yang kukendarai menabrak pengendara yang ada di depan. Bahkan tetap melaju saat lampu merah menyala.Miranti tak berani bertanya apapun. Dia sangat mengerti kalau aku sedang ada masalah paling tidak suka di ganggu kalau bukan aku sendiri yang mengajaknya bicara.Menghela nafas panjang lalu membuangnya kasar.Bebasnya Arya menjadi ancaman yang paling menakutkan bagiku. Dia pasti bisa membalas dendam kepada Miranti melalui anaknya yang masih kecil. Mereka sangat menyayangi papahnya. Bahkan tetap saja mamahnya yang di salahkan saat mengetahui papahnya di penjara. Aku memakluminya, karena mereka masih anak-anak dan polos.Mobil yang kukendarai memasuki kediaman Miranti. Baru dua minggu calon istriku memutuskan untuk kembali ke rumah yang pernah di tinggali bersama Arya. Awalnya aku tidak setuju. Namun Miranti bersikeras untuk kembali dengan alasan sayang rumah tak terawat. Walau sudah kukatakan bahwa aku khawatir dengan keamanannya, tetap saja dia berpegang pada pendiriannya. Dia mengatakan tak ada musuh yang membahayakan. Hanya ada satu musuh yaitu Arya dan mantan suaminya itu berada dalam penjara. Dan kini, terbantahkan oleh kenyataan yang ada. Arya bebas.Huch. Membuang nafas dengan kasar.“Ayo, turun.” Perintahku kepada Miranti yang masih saja bergeming di dalam mobil. Sepertinya ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Menatap wajahnya yang masih menundukkan kepala.“Mir, ayo turun. Apa kamu pengin yang kaya di sinetron aku bukain pintu mobil, gitu?” tanyaku sedikit becanda untuk mencairkan suasana.“Huch.” Miranti terlihat kesal. Dia turun dari mobil tanpa peduli dengan canda’anku. Aku tahu dia pasti sangat kesal dengan apa yang kulakukan. Terserah apa yang mau dipikirkan. Yang terpenting, yang kulakukan ini untuk kebaikannya.Miranti berjalan cepat menuju pintu rumah. Aku mengejarnya dengan menelpon anak buahku.“Cepat bawa anak buahmu untuk menjaga rumah Miranti sekarang juga! Aku tidak mau tahu, dalam waktu sepuluh menit kalian harus sudah sampai!”Klik, mematikan ponsel. Aku benar-benar khawatir dengan keselamatan calon istriku dan anak-anaknya.“Fajar. Ada masalah apa sebenarnya?!” aku dikagetkan oleh suara Miranti.‘’Gak ada apa-apa. Biasalah masalah di kantor.” Jawabku berusaha mengelak. Tak ingin Miranti tahu hal yang sebenarnya.“Apa kantormu ada di rumahku?! Lalu kenapa kau mengirim anak buahmu ke sini, bukan ke kantormu?!” Pertanyaan yang membuatku terpojok. Aku takkan bisa mengelak lagi. “Aku sangat mengenalmu. Kalau hanya masalah kantor, takkan sepanik ini. Apa berhubungan denganku?”“Ya gak lah.” Jawabku gugup sembari membuang pandangan dan menggaruk kepala yang tak gatal.“Aku tahu kau sedang berbohong padaku. Terserah, kalau kau tetap tak mau mengatakannya. Belajarlah dari apa yang kau tutupi dariku. Padahal sangat penting bagiku. Itu bisa mengacaukan rencana pernikahan kita. Tapi terserah kamu. Aku takkan memaksa untuk mengatakannya kepadaku.” Jawab Miranti.Miranti berlalu meninggalkanku. Apa aku harus mengatakannya. Kalau jujur, kecemasan pasti akan menghantui setiap langkahnya.Miranti membuka pintu, lalu masuk ke dalam rumah tanpa menyuruhku masuk. Apa dia benar-benar marah. Bagaimana ini, haruskah aku jujur. Bagaimana kalau dia panik.“Tunggu, Mir.” Aku menahannya saat hendak menutup pintu.“Pulanglah. Aku tak butuh anak buahmu. Ada dua putraku yang sudah dewasa dan bisa menjagaku.” Ucap Miranti. Ekspresinya sangat datar.“Arya bebas!” “Apa?!” Bola mata calon istriku membulat. Mulutnya menganga lebar. Dia terlihat sangat syok dengan kabar mengejutkan ini. Tubuhnya gemetar dan goyah. Untung saja dengan sigap aku menopang tubuhnya yang lemas.“Coba’an apa lagi ini. Bagaimana bisa dia bebas secepat itu?! Kesalahannya sudah jelas fatal! Dia sudah mencoba membunuhku. Aku tak bisa terima.”“Tenang, Sabar ya.” Miranti menangis dalam rengkuhanku. “Bagaimana aku bisa tenang. Nyawa kedua anakku terancam. Kau tidak tahu siapa Arya. Dia bisa membalas putraku. Kalau hanya aku saja yang menjadi sasarannya, aku bisa terima. Tapi kedua anakku terlibat di dalamnya. Dia pasti akan membalas dendam dan tak peduli dengan anaknya sendiri!” Miranti berteriak histeris dalam pelukanku.“Kau tak perlu cemas. Kita hadapi sama-sama.”“Fajar jangan pernah tinggalin aku.”“Aku janji akan selalu ada untukmu. Percayalah.” Aku kembali mendekap Miranti dengan erat untuk menenangkannya.Prok prok prok. “Hebat, sungguh hebat.”Suara tepukan membahana dari arah belakang. Suara itu, aku sangat mengenalnya. Suara dari orang yang paling aku benci. Secepat itukah dia sudah berada di rumah ini. Rasanya tak mungkin. Mungkin aku saja yang berhalusinasi. Memejamkan mata untuk mengurangi rasa cemas.Aku merasa tubuh Miranti sangat berat. Seperti kaku ataupun mati rasa. Bahunya terasa dingin. Apa yang terjadi dengannya. Benar-benar membuatku penasaran.Melonggarkan pelukan dan terkejut saat melihat wajah Miranti yang berubah pucat seperti mayat. Matanya terbelalak sembari menunjuk ke arah belakangku. Tanpa menunggu lama, segera memutar tubuh dan sangat terkejut melihat seorang pria yang ada di hadapanku.“Arya?!” mataku terbelalak. Tak mengira dia akan datang secepat ini.“Kenapa matamu seperti mau keluar? Ini aku, Arya. Bukan hantu.” Jawabnya terlihat santai tapi membuat amarahku meledak. Memory otakku memutar kembali peristiwa yang menyebabkan Miranti hampir saja kehilangan nyawa. Gigiku gemerutuk menahan amarah yang membuncah dalam dada.“Mau apa kau ke sini?!” aku melindungi Miranti dengan menyembunyikan tubuhnya di belakangku.“Ini rumahku! Aku yang membelinya. Jadi kau tak pantas bertanya seperti itu!” balas Arya dengan sengit.“Tidak! Rumah ini dan rumah yang kau belikan untuk pelakor itu sudah menjadi milikku!” jawab Miranti dengan tegas. Tiba-tiba dia berdiri di sampingku dengan menunjuk mantan suaminya. Aku tak menyangka dia akan seberani itu. Menghadapi orang licik seperti dia harus dengan strategi. Arya akan senang kalau melihat lawan ketakutan.“Wow, kau itu mimpi di siang bolong, sayangku. Ha ... ha ....”“Jangan pernah menyebutku dengan kata itu! Aku jijik mendengarnya!”“Miranti tidak mimpi! Tapi dua rumah yang miranti sebutkan sudah menjadi miliknya sekarang!”“Diam kamu pencuri istri orang!”“Jaga ucaanmu Arya! Aku tak pernah mencuri siapapun! Justru kau yang dulu mencuri Miranti dariku. Kini aku mendapatkannya setelah berpisah darimu!”“Halah. Bilang saja kalau kalian memang bermain api sejak dulu di belakangku!”“Kau salah, Arya. Sejak kau menikahi Miranti, sejak saat itu pula aku berusaha meredam cintaku yang sudah kau curi!”“Aah sudahlah. Malas membahas hal itu lagi. Kau boleh ambil bekasanku itu. Lagi pula rasanya sudah gak enak. Aku gak doyan lagi!” jawab Arya sangat memuakkan.Plaak. Satu tamparan keras dari miranti mendarat dengan mulus di pipi Arya. Mantan sahabat kecilku itu meringis kesakitan.“Kau berani menamparku?!”“Arya! Aku bersumpah, Tuhan akan membalas perbuatanmu! Kau akan lebih merasakan sakit melebihi dari apa yang kurasakan sekarang!” ucap Miranti dengan berapi-api.“Aku tak peduli dengan sumpahmu! Dan kau fajar, kau boleh mengambil dia tapi tidak dengan rumah ini! Rumah ini dan milik stefani selamanya milikku. Miranti dan anak-anaknya tak punya hak sama sekali!”‘Tapi pada kenyataannya rumah ini sudah jatuh ke tangan Miranti! Kau membeli rumah untuk istri mudamu dengan uang perusahaan milik Miranti. Jadi sudah jelas rumah itu milik perusahaan! Kecuali kau bisa membelinya kembali. Darimana kau punya uang sebanyak itu?!” aku menaikan sudut bibirku untuk mengejeknya.“Jangan sombong kamu fajar! Aku dengan mudah membelinya kembali!”“Aku tidak sombong! Tapi buktikan kata-katamu!” “Kalian menantangku?! Baiklah. Lihat saja nanti. Bukan hanya rumah ini yang akan jadi milikku, tapi aku bersumpah akan mengagalkan pernikahan kalian dan kalian semua akan menderita! Terutama kau Miranti!” Arya menunjuk ke arah Miranti.“Aku tidak takut dengan ancamanmu! Kalau kau berani macam-macam dengan anakku. Aku sendiri yang akan membunuhmu, Arya! Cepat pergi dari sini!” Miranti mengambil vas bunga di meja dan melemparkan ke arah mantan suaminya. Untung saja dia cepat menghindar. Kalau tidak mungkin Arya sudah terluka.Aku memegangi tubuh Miranti untuk mencegahnya berbuat lebih brutal lagi.‘Jangan lakukan lagi. Kau bisa mendapat masalah besar!” bisikku di telinganya. Miranti menangis dan memelukku erat.“Pergi kau Arya! Atau kau lebih memilih anak buahku meremukkan tulang belulangmu!” ancamku kepadanya ketika melihat anak buahku sudah datang dan menyebar di berbagai sudut.“Kalian tunggu pembalasanku yang tak pernah kalian bayangkan sebelumnya!” Ancam Arya seraya pergi dengan memukul pintu sangat keras.Aku menenangkan Miranti yang masih terus menangis.  Dia terlihat sangat syok dengan kehadiran Arya.  Tak mungkin aku meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Lebih baik aku meminta bantuan ayah dan ibu Miranti untuk menjemput anak-anak di sekolah. Tak mungkin membiarkan Miranti pergi dengan keadaan seperti ini.Arya. Aku akan mengurusmu nanti. Kau sekarang bisa menghirup udara bebas. Tapi kasusmu tidak hanya satu. Aku akan melaporkanmu dengan kasus penggelapan uang perusahaan milik ayah Miranti. Namun sebelumnya akan kucari dulu siapa penjamin kebebasannya dan keluarganya. Pasti bukan orang sembarangan yang dapat membalikkan fakta kasus sebesar ini. Aku harus berhati-hati menghadapi orang tersebut nantinya.75. IJAB KABUL“Fajar! Jelaskan padaku kenapa Arya bisa bebas?! Apa anak buahmu tidak becus mengurus kasusnya?!” cecar calon mertua kepadaku saat tiba di rumah Miranti. Amarah tergambar jelas pada wajahnya. Beliau terlihat sangat gusar.“Sabar, Om. Tenang dulu.” “Bagaimana aku bisa tenang kalau lelaki itu bebas! Keselamatan anak dan cucuku terancam! Ngerti gak sih kamu?!” pria paruh baya ini mengguncang bahuku dengan kuat membuatku merasakan sakit.“Lebih baik, kita bicara di depan saja.” Pintaku kepadanya. Tak ingin anak-anak Miranti yang baru saja tiba bersama kakek dan neneknya mendengar percakapan kami. Kulihat Miranti sudah menghapus airmata dan berusaha tersenyum di depan yusuf dan malik. Berusaha tegar di depan mereka.“Baiklah. Mir, bawa anak-anakmu masuk. Ingat, jangan biarkan mereka keluar rumah sendiri! Kau mengerti?!” “Iya. Ayah.” Jawab Miranti. Dia lalu mengajak kedua putranya masuk ke kamar.Sementara aku dan ayah Miranti menuju bangku yang ada di sudut taman. Sengaja memilih tempat yang dirasa cukup aman.“Katakan padaku. Siapa penjaminnya!” cecar Om Dirwan setelah kami mengambil posisi duduk.“Menurut informasi dari anak buahku, Tuan Handoyo. Pemilik hotel Lavina, yang menjamin kebebasan Arya dan keluarganya.” Terangku kepada beliau.“Handoyo?! Jadi dia sudah kembali ke indonesia?!” Pria di hadapanku ini sangat geram. Kilat amarah terpancar dari sorot matanya. Tangannya mengepal. Dadanya naik turun seperti menahan amarah..Dengan gerakan yang begitu cepat, beliau meninju tembok yang ada di samping. Aku bahkan tak sempat untuk mencegahnya.“Om. Apa yang Om lakukan?! Jangan menyakiti diri sendiri!” aku memegangi lengan calon mertuaku yang berdarah dan hendak mengulang kebodohannya kembali. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan beliau.“Lepaskan aku! Akan kuhabisi dia dengan tanganku!” ayah miranti menepis tanganku. Kemudian berlalu. Namun aku harus mencegah untuk menjaga sesuatu hal buruk terjadi. Emosinya sedang tidak stabil. Keputusan yang di ambil bisa menghancurkan diri dan orang di sekitarnya.‘Tunggu, Om!” aku menghalangi langkahnya. “Apa Om mengenalnya?!”“Dia musuh terbesarku! Ibu kandung Miranti menjadi korban perkosaan lalu di bunuh olehnya. Namun dia lolos begitu saja! Hasil autopsi mengungkap tak ada kekerasan. Kau tahu apa hasilnya? Istriku mati bunuh diri!” ayah Miranti mengepalkan tangan.“Kok bisa begitu?!”“Aku sudah bilang, uang bisa membeli segalanya. Dulu aku menjebloskan anaknya ke penjara karena kasus pemerkosaan. Lalu bocah belasan tahun itu mati bunuh diri. Dia menuduhku sebagai penyebab kematiannya. Lalu mengancam dengan nyawa di bayar nyawa. Tak puas dengan membunuh istriku, dia kembali mengancam, suatu saat nanti akan kembali ke indonesia untuk menghancurkan hidup keturunanku. Sekarang dia sudah kembali dari singapura. Ternyata pria licik itu membuktikan ucapannya!” lelaki di hadapanku sangat marah. Sangat sulit mengendalikannya. Tapi aku harus tetap mencoba semampuku.“Apa dia orang yang sangat berpengaruh?”“Sangat. Kekayaanku saja tak sebanding dengannya. Kita harus hati-hati. Dengan uang yang dia miliki, bisa melakukan apapun.”“Benar sekali, Om. Aku harus menjaga Miranti dengan ketat. Tapi bagaimana caranya? Tidak mungkin aku berada di sini selama dua puluh empat jam. Kami belum resmi menikah.”“Itu jadi urusan Om. Selama aku masih hidup takkan ada yang bisa menyakiti keturunanku. Dan kau fajar, waspadalah. Bisa jadi mereka akan mengganggu acara pernikahan kalian.”Aku mengangguk-anggukan kepala. Benar juga apa yang dikatakan oleh ayah Miranti. Bahkan mereka bisa melakukan yang lebih dari hanya sekedar mengganggu.Tiba-tiba saja ada ide yang mendadak melintas di otakku.“Om. Bagaimana kalau pernikahanku dengan Miranti dimajukan? Aku ingin maksimal seminggu dari sekarang. Apa Om setuju?”“Boleh juga. Tapi bagaimana rencana yang sudah kalian susun dengan matang? Gedung, catering dan semuanya sudah sembilan puluh persen beres.”“Gampang, Om. Yang penting ijab kabul dulu. Acara resepsi bisa tetap berjalan sesuai rencana.”“Baiklah. Urus saja sesuai keinginanmu. Setelah itu, kita fokus untuk menyusun kekuatan melawan si pembunuh itu.”“Siap, Om!”  Kami saling berpelukan erat. Kini kami punya tujuan yang sama dan akan menyelaraskan langkah demi keselamatan Miranti dan anak-anaknya. Musuh yang kami hadapi bukan sembarangan. Pengusaha kelas kakap dengan harta yang tak terhitung. Harus sangat berhati-hati dalam menyusun langkah yang akan di ambil.*****Hari ini aku akan melepas masa lajangku bersama wanita yang sangat kucintai. Tak ada persiapan khusus. Hanya ada keluarga terdekat yang hadir. Sengaja tanpa mengundang tamu undangan supaya tak terendus oleh Arya dan komplotannya.Awalnya Miranti kurang setuju dengan akad nikah yang mendadak maju dari rencana semula. Namun aku berhasil meyakinkan bahwa semua yang kulakukan demi dirinya dan keluarga kecilnya. Setelah mendapat persetujuan dari anak-anak Miranti menyetujuinya.Sangat berbahaya kalau Miranti tanpa pengamanan. Apalagi Umar yang sudah tahu ayahnya bebas. Dia tidak takut, bahkan menantang sang ayah. Kalau tidak di cegah, Umar pasti sudah mencari keberadaan sang ayah. Untung saja kami bisa meredam gejolak amarahnya.Acara yang sangat sederhana. Tanpa ada dokrasi pengantin atau hiasan apapun. Semua terkesan biasa saja. Aku juga hanya memakai jas kerja seperti biasa. Supaya tak terndus oleh musuh. Mungkin saja tanpa kuketahui ada yang mengintai keseharianku. Hatiku sangat gelisah dan memainkan jemari. Sebentar lagi akan mempersunting wanita yang sangat kucintai. Tak memandang statusnya. Bagiku dia adalah wanita terbaik yang pantas mendampingi sisa usia. Bersamanya aku merasa bahagia.Beginikah rasanya orang mau menikah. Deg-degan, was-was dan entah perasaan apalagi yang bercampur menjadi satu. Mencoba memegangi dada, detak jantung terasa begitu cepat.Menatap ke lantai atas. Kulihat Miranti keluar kamar ditemani oleh ibunya. Dia terlihat sangat cantik. Walau hanya riasan tipis pada wajahnya tetap saja terlihat sangat cantik Kebaya putih yang membungkus kulit memperlihatkan tubuhnya yang kian ramping.Beberapa bulan ini Miranti berusaha menurunkan berat badannya. Dengan mengatur pola makan dan juga olahraga teratur, Dia berhasil menurunkan hingga bobot tubuhnya proposional. Aku seperti melihat Mirantiku dua puluh tahun yang lalu.Biarlah aku dengan hayalanku. Miranti kini tetap mawar jelekku. Wanita yang tak pernah bisa membuatku berpaling darinya.Menjemput pengantin cantikku lalu mengecup punggung jemarinya dengan lembut. Menatap wajah yang terlihat berseri-seri dan bercahaya. Dia terlihat sangat bahagia dengan pernikahan ini. Membuat tak ada keraguan dalam diri untuk segera mengikat janji.“Kau cantik sekali, Mir. Aku akan menjadi lelaki yang paling bahagia di dunia ini karena berhasil memenangkan hatimu.” Menyentuh pipinya yang merah merona.Tak ada untaian kata dari bibir manis wanita yang sebentar lagi akan menjadi halal untukku. Dia hanya menundukkan kepala dan malu. Aach jadi merasa kalau dia masih seorang gadis yang baru akan di persunting oleh seorang pria.“Kau sudah siap?”“Iya.”“Ayo, aku sudah tak sabar untuk menghalalkanmu.”Menggandeng tangan Miranti dengan mesra. Tak ingin dia terjatuh ataupun terluka. Mulai saat ini, aku takkan membiarkan airmata kesedihan mengalir deras di pipi. Kalau itu terjadi, aku akan menyalahkan diri sendiri.Aku mulai menjabat tangan ayah Miranti dan bersiap mengikrarkan tali suci pernikahan. Detak jantungku semakin terasa kencang. Menghela nafas panjang dan membuangnya kasar.“Saya nikahkan  ananda Fajar Prakoso bin Abdullah dengan Asmara Miranti Binti Dirwan kusumo dengan mas kawin seratus gram perhiasan emas dan seperangkat alat sholat di bayar tunai.”“Saya terima nikahnya Asmara Miranti binti Dirwan kusumo dengan mas kawin tersebut di bayar tunai.”“Bagaimana para saksi? Sah?”“Sah.” “Alhamdulillah.”Aku bernafas lega dan sujud syukur. Tanpa terasa airmata mengalir di pipiku. Aku berlari ke arah mamah dan memeluk wanita yang sangat kusayangi.“Mah. Fajar sudah punya istri sekarang. Aku sangat bahagia.” Aku tak malu menangis dalam pelukan hangatnya.“Mamah juga bahagia, nak.”Aku merasakan tangan lembut menyentuh jemariku, lalu merasakan hangatnya kecupan. Menatap ke arah wanita yang mengecup punggung jemariku.“Mir, maaf. Aku sampai melupakanmu.” mengecup kening Miranti lembut. Kami saling berpelukan dengan bahagia.Ups, aku lupa kalau pengantinku sudah punya anak. Tangan-tangan mereka kompak memeluk kami. Kebahagiaan benar-benar tengah kami rasakan.Dalam bahagia yang tengah kami rasakan, tiba-tiba terdengar seperti ada kegaduhan di luar. Prok, prok, prok. Tak berapa lama, terdengar suara tepuk tangan yang menggema. Serempak kami menoleh ke arah suara untuk melihat siapa yang datang. Kami sangat terkejut saat melihat tamu yang tak di undang berani datang ke acara pernikahanku.“Arya!”aku berusaha melindungi Miranti yang ketakutan dan menyuruh Amir untuk membawa masuk kedua adiknya juga mamahnya. Sayangnya istriku itu tidak mau. Dia tetap ingin berada di sini.“Handoyo! Beraninya kau mengganggu keluargaku. Aku bunuh kau!” Teriak ayah mertuaku dengan amarah level tertinggi. “Jangan gegabah, Om! Agus! Jaga ayah mertuaku agar tak menyerangnya!” perintahku kepada anak buah. Dengan sigap, tiga orang penjaga mengunci tubuh ayah mertua yang terus meronta dan memaki pria bermata sipit seumuran dengannya.Aku sendiri sangat syok dengan keadaan ini. Semua tamu wanita dan anak-anak sangat ketakutan. Termasuk mamah dan juga ibu mertuaku. Dengan bantuan anak buah mereka membantu mengamankan wanita dan anak-anak di tempat yang aman.Sayangnya Miranti bersikeras untuk tidak mau pergi. Biarlah yang jelas aku akan menjaganya semaksimal mungkin.76. BERPINDAHNYA ASSET MILIK MIRANTI KE TANGAN ARYABugg. Satu tendangan Umar mendarat di tubuh Arya hingga pria itu terjungkal dan mengerang kesakitan.“Umar! Cukup! Jangan lakukan lagi, nak!” aku mencoba mengingatkan putra Miranti yang sangat pemberani. Di usianya yang masih remaja, sangat mudah tersulut emosi.“Hentikan Anak muda! Atau kau siap untuk masuk penjara!” pria bernama Handoyo mengancam umar.“Aku tak takut dengan ancamanmu! Kalau kau membela papah, aku juga tak segan melakukan hal yang sama terhadapmu!” anak itu tak takut dengan ancaman siapapun. Bahkan dengan beraninya dia mengancam orang seperti Handoyo.Tapi kenapa justru aku yang merasa takut. Pria seperti Handoyo bukan untuk bermain-main dengan umar. Apalagi kalau dia tahu bahwa umar adalah cucu dari Om Dirwan. Sudah pasti pria itu akan meloloskan ancamannya.“Ow. Jadi kau anaknya Arya?! Kau cucu dari si keparat itu?! Boleh juga. Nyalimu sama seperti kakekmu yang pecundang itu!”“Jangan menghina kakek atau akan ku sumpal mulutmu!” teriak umar dengan gagah berani.“Mundur umar! Dia musuh kakek. Biar kakek yang akan menghabisinya!” teriak kakek sembari berusaha untuk melepaskan diri. Untung saja anak buahku mengunci tubuhnya dengan erat, hingga tubuh Om Dirwan tak mampu bergerak.“Majulah kau anak muda! Satu kali tendanganmu akan kau bayar mahal seumur hidupmu!”Umar tak mengindahkan perintah kakeknya. Dia tetap saja tak mau mundur. Perlahan, melangkah ke arah Handoyo dengan tangan mengepal. Tak mungkin aku membiarkannya begitu saja. Yang aku herankan, Arya seperti sengaja mengumpankan anaknya kepada orang yang sudah membebaskan dirinya. Orangtua macam apa dia yang lebih mementingkan diri sendiri daripada anaknya. Dengan terpaksa aku berlari dan menghadang jalan umar.“Hentikan umar! Pria itu sangat berbahaya! Orang seperti dia tak pernah bermain-main dalam ucapannya!”“Minggir, Om! Umar takkan melepaskan siapapun orang yang membantu papah! Akan umar habisi dia supaya tahu dengan siapa dia berhadapan!”“Kendalikan dirimu, Nak. Demi mamah!”Terdengar suara Miranti melemah. Ada getaran dalam setiap tangisannya. Aku tak tega melihat wanita yang kini sudah resmi menjadi istriku itu menangis ketakutan. Ya Alloh. Baru saja kebahagiaan ini kami reguk. Belum juga ada ritul malam penganin, keadaan sudah sekacau ini.“Umar, tolong berhenti. Apa kamu ingin melihat mamah menderita kalau sampai terjadi apa-apa denganmu?”‘Majulah kau bocah ingusan! Lawan aku!” pria tua itu sengaja memancing kemarahan Umar. Dia pasti punya rencana baru dalam membalas dendam. Cucu dari mertuaku menjadi targetnya sekat=rang. Aku harus berhati-hati dalam menyikapinya.“Umar dengarkan Om! Kau boleh lakukan apapun pada papahmu, karena dia yang sudah jelas menyakiti mamahmu. Pria itu biar menjadi urusan kakekmu! Turutilah kata-kata, Om!” aku terus berusaha meredam kemarahan anak sulung Miranti. Emosinya yang meledak harus segera di padamkan.Umar menurunkan tangannya yang mengepal. Sorot matanya menatap tajam ke arah Handoyo tanpa rasa takut. Dadanya yang semula naik turun dengan sangat cepat, kini berangsur melemah. Kini tatapan matanya berpindah kepada papahnya. Saat menatap papahnya, kilat amarah terlihat kembali dalam sorot mata elangnya.“Papah! Umar peringatkan sekali lagi. Kalo papah berani mengganggu mamah lagi, aku takkan menganggapmu sebagai papahku. Dan pembalasanku lebih kejam dari yang kau kira!” umar menunjuk ke arah papahnya.Wajah Arya tegang dan memucat. Dia sangat kenal betul karakter anak sulungnya yang tak pernah bermain-main dengan ancamannya. Berkali-kali menelan ludah untuk mengurangi rasa takutnya.“Aku salut pada keberanian cucumu, Dirwan. Tapi percayalah, keberaniannya takkan lama. Dalam batas waktu dekat, cucu kesayanganmu ini aku pastikan masuk ke dalam penjara! Dia juga akan mati bunuh diri seperti putraku! Apa kau masih ingat Dirwan?!” Rahang Handoyo mengeras. Giginya gemerutuk menahan amarah. “Sebelum itu terjadi, aku akan enghabisimu terlebih dahulu, Handoyo!” ayah mertuaku berhasil melepaskan diri. Dengan gagah berani dia menghampiri musuh terbesarnya dan langsung meninju wajahnya.“Cukup Om! Tahan diri!” aku mencoba memegangi tubuh Om Dirwan sekuat tenagaku. “Biar aku bunuh pria tak tahu diri ini!”Bugg. Tanpa bisa di cegah Umar melayangkan tinju kepada Handoyo.“Beraninya kau bocah! Kau akan menyesal telah memukulku!” seru handoyo sembari memegangi rahangnya.“Aku takkan menyesal. Bahkan dengan senang hati akan kembali meninjumu!”‘”Tolong hentikan! Aku tidak kuat lagi!” terdengar suara istriku. Dia terduduk lemas di lantai. Dengan sigap aku berlari untuk menopang tubuhnya.“Mir. Aku sudah bilang, kau masuklah. Ini urusan laki-laki.” Aku menghapus keringat dingin yang membasahi wajah istriku. Tangannya terasa dingin.“Aku gak kuat, fajar. Tolong perintahkan mereka untuk pergi dari sini.” Pintanya kepadaku.‘Baiklah. Aku akan segera mengusir mereka.” Janjiku pada wanita halalku.“Cukup Umar! Kau sudah keterlaluan!” Arya bak seorang pahlawan melindungi Handoyo. Dasar pecundang. Maunya menjadi perisai dari mafia seperti dia.“Aku kemari hanya untuk memberitahukan kepada kalian, bahwa rumah ini dan rumah stefani sudah menjadi milikku. Semua sudah berpindah atas namaku!” ucap Arya dengan lantang. Miranti yang semula terbaring lemah dipangkuanku, mendadak seperti punya kekuatan baru. Energinya seolah kembali normal. Terkejut. Pasti itulah yang dia rasakan, sama sepertiku. Istriku bangkit dengan penuh semangat. Bahkan saat aku berusaha membantunya untuk berdiri, lenganku di tepisnya. Sorot matanya nyalang menatap mantan suaminya.‘Tidak mungkin! Kau pembohong! Kedua rumah ini milikku! Apa kau lupa kalau kau membelinya dengan uang perusahaan. Kau belum pikun’kan Arya?!” Miranti dengan tegas berbicara di depan mantan suaminya. Bagaimana mungkin dengan cepat seluruh asset berpindah tangan. Ini pasti hanya akal-akalan dia saja.“Apa kau bisa buktikan surat-suratnya?!” tanyaku kepada Arya.‘Tentu.” Arya mengambil map dalam tas dan memberikannya kepadaku. Dengan segera meneliti surat jual beli dua rumah milik Miranti. Semuanya di tandatangani oleh Miranti sendiri. Surat ini resmi dan sah. Itu artinya secara kepemilikan benar-benar sudah berpindah tangan. Aku menyugar rambutku. Suasana hening dan terasa tegang.“Bagaimana Fajar?” tanya ayah mertuaku.“Apa isi surat itu?” Miranti merebutnya dari tanganku dan meneliti satu persatu.Aku menangkup wajahku dan menghadap ke atas. Ya Tuhan, ujian apalagi yang engkau berikan kepada keluarga hamba.“Tidak mungkin.”Tubuh Miranti limbung dan lemas. Untung saja aku berhasil menangkap tubuhnya.“Fajar, ini tidak mungkin. Arya pasti bohong. Ini semua palsu’kan? coba kamu cek lagi.”Om Dirwan merebut kertas yang ada di tangan Miranti. Dengan teliti dan di baca berulangkali. Rahangnya mengeras. Sorot matanya sangat tajam menatap ke arah Arya.“Dasar penipu kamu! aku bisa melaporkanmu ke kantor polisi karena peniupuan ini!” Om Dirwan meluapkan emosi dengan melempar kertas ke wajah Arya. Aku tahu Om Dirwan tahu surat ini asli. Dia hanya tak mengerti bagaimana caranya ini bisa terjadi. Sama seperti diriku.“Silakan, laporkan saja. Saya tidak takut. Justru saya akan melaporkan kembali anda, mantan mertua ha ... ha ... ha ....”“Pergi kamu Arya! Jangan pernah menginjakkan kaki di rumahku lagi! Pergi!” Miranti mendorong tubuh Arya. Namun dia menepis tangan istriku dan mendorongnya.“Jangan sentuh istriku!” aku berusaha melindungi miranti.“Istrimu? Oh ya aku lupa itu. Kupikir, kau pengacara terkenal dan juga pengusaha kaya raya. Tapi ternyata, kau numpang hidup di rumah yang sudah kubeli dengan susah payah. Dasar benalu!”“Tutup mulutmu Arya! Aku tinggal di sini hanya untuk melindungi istriku dan juga anak-anaknya dari kejahatanmu! aku bahkan bisa membelikan istana yang lebih bagus dari pada rumah ini. Mengerti?!”“Lalu kenapa kau tak melakukannya? Malah numpang hidup pada jandaku.”Benar-benar ingin kusumpal mulut kotornya itu. Tanganku mengepal dan ingin segera meninjunya. “Cukup, Fajar. Jangan kotori tanganmu dengan menyentuh lelaki menjijikkan seperti dia!”Sayangnya istriku menahannya. Kalau tidak sudah ku sumpal mulutnya dengan pukulanku.“Sekarang, pergilah Arya! Aku tak percaya dengan bualanmu. Surat itu palsu. Aku takkan termakan omonganmu!” ucap Miranti dengan penuh percaya diri.“Kau tanya saja sama suami barumu itu. Dia pasti tahu bedanya surat yang asli atau bukan.” “Fajar. Surat itu palsu’kan?”Aku menghelanafas panjang. Bagaimana aku menjelaskan pada istriku kalau surat itu asli dan di bubuhi tanda tangannya.“Fajar, jawab.” Miranti mengoyang-goyangkan lenganku.“Itu asli. Tandatanganmu ada di atas materai.” Jawabku dengan berat. Tak perlu menjawab lagi dengan kebohongan. Efeknya akan sangat tidak baik untuk istriku.‘Tidak mungkin. Itu tidak mungkin.”“Sabar sayang.” Aku memeluk tubuh istriku yang lunglai.“Tapi bagaimana mungkin. Aku tak pernah merasa menjualnya atau menandatangani apapun. Arya pasti sudah berbuat licik.” Tangisan istriku membuat hatiku luka. Tak ada yang bisa kulakukan saat ini, selain mencoba menenangkan hatinya.“Kau ingin tahu siapa orang yang ada di balik semua ini? Dia adalah orang yang sudah meminta tandatanganmu tanpa pernah kau meragukannya. Kau pasti sangat mengenalnya. Masuklah!” perintah Arya kepada orang misterius yang sedari tadi berdiri di depan pintu dengan penutup kepala.Tanpa menunggu lama, seorang wanita yang menutupi seluruh wajahnya dengan syal berwarna biru. Hanya kedua matanya saja yang terlihat. Wanita itu menundukkan kepala, tak berani menatap mata istriku. Entah siapa aku tidak tahu.“Nindi?! Benar itu dirimu?!” Mata Miranti membulat. Mulutnya juga menganga lebar. Miranti sudah bisa menebak siapa pemilik wajah yang tertutup dengan sempurna. Sungguh tak menyangka kalau memang benar dia adanya. Tanpa menunggu jawaban, Miranti maju beberapa langkah dan berusaha menarik syal hingga wajah itu terlihat dengan sempurna. Ternyata benar, dia adalah asisten pribadinya. Orang yang sudah sangat dipercaya penuh oleh Miranti. Teganya dia menghianati istriku yang sangat baik terhadap keluarganya. Bahkan saat suaminya sakit parah dan butuh biaya besar, Mirantilah yang menopang seluruh biaya pengobatan. Tega sekali wanita itu berhianat.“Tega sekali kamu, Nindi. Apa salahku padamu?!” Suara Miranti bergetar hebat. Dia mengguncang tubuh Nindy lalu menampar wanita itu dengan keras hingga terlukis cap merah pada pipi Nindy.“Maafkan aku, Mbak. Aku membutuhkan biaya yang besar untuk menutup hutangku. Awalnya pak Handoyo memberikanku uang dengan cuma-cuma. Namun di kemudian hari, beliau memintaku untuk membayar cepat dengan bunga dua kali lipat. Bahkan dia menunjukkan surat-surat yang tanpa kusadari telah kutandatangani. Dia memaksaku untuk melakukannya. Kalau tidak, aku bisa masuk penjara. Maafkan aku, mbak.” Nindi bersimpuh di kaki Miranti. Namun istriku memundurkan kakinya.“Kau sudah menghancurkan kehidupanku! Aku takkan pernah memaafkan dirimu!” Miranti mendorong tubuh nindy hingga wanita itu jatuh tersungkur di lantai. Airmata yang mengalir seolah mewakili rasa sesal dalam dada. “Aku terpaksa mba.”“Pergi dari hadapanku! Aku tak mau melihat wajahmu lagi!” Miranti kembali mendorong tubuh nindy hingga terjatuh.Salah satu anak buah Handoyo menyeret tubuh Nindy seperti binatang lalu membawanya keluar. Benar-benar manusia yang tak punya perasaan. Setelah sudah tidak dibutuhkan, orang seperti Handoyo pasti akan membuangnya begitu saja. Dasar manusia licik dan tak beradab. 77. MENGALAH UNTUK MENANGAku benar-benar muak melihat adegan drama yang membuat istriku terluka. Aku harus seGera mengusir Arya beserta komplotannya.“Pergi kalian! atau aku panggil polisi untuk menendang kalian semua dari sini!” ancamku dengan amarah yang membuncah. Aku takkan membiarkan orang yang sudah membuat istriku terluka melenggang begitu saja.“Dan kau Arya. Aku takkan tinggal diam karena penipuan yang kalian lakukan. Tunggu saatnya, aku akan membuatmu membusuk di dalam penjara. Pergi kalian dari hadapanku!” aku menunjuk pintu keluar. Gigiku gemerutuk menahan amarah. Dasar manusia-manusia laknat. Umpatku dalam hati.“Kau yang harus pergi dari rumahku, Fajar! Aku akan memberi waktu kepada kalian selama satu jam untuk mengemasi barang-barang kalian! ingat. Hanya satu jam. Tak lebih!” perintah Arya dengan seenaknya. Jelas saja membuatku gerah.“Tidak! Sampai matipun, aku takkan pergi dari rumah ini! Aku akan memperjuangkan apa yang menjadi hak anak-anakku!” jawab Miranti dengan berani. Kini dia tak lagi memandang Arya sebagai ayah dari anak-anaknya. Kini Arya hanya sebagai musuh yang harus dilawan. Istriku kini terlihat lebih berani.“Silakan. Dan aku akan meminta aparat untuk membantu menyeretmu keluar dari rumah ini, Miranti!” balas Arya tak mau kalah.“Aku tak takut dengan ancamanmu!”Plaak, Miranti menampar Arya dengan sangat keras. Matanya nanar menatap pria yang sudah membuat hidupnya hancur.Arya menyentuh pipinya sembari menggeram. Kini sorot matanya menatap istriku dengan tajam. Aku takut Arya akan membalas tamparan Miranti. Dengan sigap, aku memasang badan untuk melindungi istriku.“Minggir, Fajar. Aku tidak takut menghadapi lelaki seperti dia!” Miranti berusaha menggeser tubuhku. Namun aku bergeming. Miranti kesal karena tak berhasil menggeser tubuhku. Aku mencoba menenangkan dengan menggenggam erat jemarinya.“Baiklah. Aku akan menerima tantanganmu.” Jawab Arya dengan senyum licik. Dia bertepuk tangan beberapa kali. Lalu muncullah petugas kepolisian dalam jumlah yang cukup banyak. Kurangajar sekali Arya. Ternyata dia benar-benar ingin membalas dendam dengan mempermalukan keluarga istriku. Aku tak bisa tinggal diam.Di bagian belakang, muncullah seorang wanita yang kehadirannya pasti membuat Miranti kesal. Stefani. Wanita perebut Arya itu juga berada di sini. Mereka benar-benar sudah mempersiapkan dengan matang untuk mengacaukan hari pernikahanku. Aku takkan tinggal diam. Melirik wajah istriku yang terlihat sangat marah dengan kedatangan wanita menjijikkan itu. Aku tak ingin Miranti menumpahkan kekesalan kepadanya. Satu pukulan saja, pasti bisa membuat wanita itu membalas dendam dengan melaporkan Miranti ke kantor polisi. Hal ini tak boleh terjadi.Benar saja, Kaki istriku sudah maju beberapa langkah. Segera kutarik lengannya dan membawanya menjauh.‘Lepasin tanganku!”Miranti mengibaskan tangannya dengan kesal. “Kenapa kau mencegahku untuk menghajar wanita sialan itu?!” Miranti menunjuk kepada stefani. “Dengarkan aku, Mir. Kita berada di posisi yang kalah dan kita ....”“Tidak! Kau yang harus mendengarkan aku. Arya itu sudah menipu kita. Kita tidak kalah. Kau jangan takut. Pihak aparat sekalipun takkan bisa membantu Arya, karena kita berada di pihak yang benar, Fajar. Aku tahu cara menghadapi orang seperti mereka!” jawab Miranti masih memegang teguh pendiriannya walau sudah jelas salah. Sangat sulit memberi penjelasan kepadanya kalau sudah emosi seperti ini.“Kau salah istriku! Orang yang kau hadapi bukan Arya yang dulu. Dia berada di bawah kendali orang berduit yang bisa melakukan apapun. Kita berada di posisi yang lemah. Surat yang mereka tunjukkan itu asli. Jangan lupa, kau telah membubuhi tandatanganmu di sana. Percayalah, aku akan membantumu mengembalikan semuanya dengan segera. Mereka memang bergerak cepat. Tapi pasti ada celah yang bisa membuat mafia seperti Handoyo merasakan dinginnya lantai penjara. Lebih baik, kita ikuti kemauan mereka. Kita pergi dari sini, sekarang.” Aku menyentuh bahunya dengan lembut untuk menenangkan amarahnya yang tersulut.Ternyata, Miranti tak mendengarkan ucapanku. Dia menepis tanganku dengan kasar.“Aku tak bisa menunggu besok, lusa atau kapanpun waktu yang kau janjikan. Semua akan kulakukan hari ini. Rumah ini akan kembali menjadi milikku. Sekarang, lihat saja apa yang akan aku lakukan kepada Arya dan wanita gila itu. Dan aku tak butuh bantuanmu fajar. Aku hanya perlu anak-anakku untuk membantuku.”Jawab Miranti dengan penuh percaya diri. Aku menepuk kening dan menyugar rambutku. Benarbenar keras kepala dan sulit di ingatkan. “Mir, kau pikirkan nasib anak-anakmu. Bagaimana kalau mereka memukuli Arya lalu pihak Arya tak terima dan melaporkan mereka kepada polisi? Apa kau mau menghancurkan masa depan anakmu sendiri? Arya itu bukan ayah yang baik. Dia takkan segan untuk memenjarakan anaknya sendiri. Berpikirlah sebelum bertindak. Ingat. Masa depan anak-anakmu, ada di tanganmu! Ada di tanganmu!!”Aku mencoba terus mengingatkan istriku. Dia sangat ceroboh dan selalu tak berpikir panjang dalam menghadapi sesuatu. Hanya emosi yang dikedepankan tanpa memikirkan hal buruk yang akan terjadi kemudian.Miranti terdiam. Aku melihat matanya mulai berkaca-kaca. Tak berapa lama airmata itu luruh dan mengalir deras. Aku segera mendekap tubuh istriku dan membiarkannya menumpahkan tangisan pada dadaku.“Kenapa nasibku seperti ini. Kenapa aku harus bertemu dengan orang seperti Arya. Aku menyesal.” Miranti memukuli dadaku.“Sudahlah sayang. Penyesalan takkan mengembalikan keadaan menjadi lebih baik. Justru akan menjadi diri kita lemah.” Melonggarkan pelukan. Kutatap wajahnya dan menghapus airmata di pipi dengan usapan lembut.“Sekarang, kita harus pergi dari rumah ini. Berpura-puralah tak marah. Tujuan utama mereka adalah mengacaukan hari pernikahan kita dan melihatmu menderita. Mereka akan senang jika melihat guratan kesedihan pada wajahmu. Dengan kau memperlihatkan sikap yang biasa, Arya dan selingkuhannya pasti kecewa karena tujuannya tidak tercapai. Tunjukkan bahwa kau bahagia bersamaku dan anak-anak. Kau mengerti’kan apa maksudku?” aku membelai pipi istriku dengan lembut.Senyum melintas walau hanya sekilas dari bibir istriku. Itu artinya dia mengerti dengan apa yang harus dilakukan.“Aku mengerti.”“Bagus. Ayo kita mulai sandiwaranya.”“Fajar. Terimakasih. Kau selalu ada pada saat aku membutuhkn dirimu. Aku tak tahu apa yang terjadi hari ini kalau kau tak ada bersamaku. Mungkin aku sudah membunuh Arya dan juga selingkuhannya itu bersama anak-anakku.”“Apa kau lupa aku sekarang sudah menjadi suamimu? Mulai hari ini dan seumur hidup, aku akan selalu mendampingimu dalam suka maupun duka.”“Janji?”“Yess. Janji.”Sejenak kami berpelukan kembali. Setelah itu, dengan bergandengan tangan mesra, kami melangkah dengan penuh percaya diri. Apa yang Arya harapkan takkan pernah terjadi. Kami akan mengalah sementara waktu. Namun kekalahan ini takkan berlangsung lama. Arya dan orang-orang yang mendukungnya, harus mendapat peembalasan yang setimpal karena sudah menganggu ketenangan istriku. Aku tak peduli lagi dengan persahabatan kami. Itu dulu. Sekarang, dia menjadi musush terbesar yang ingin aku hancurkan.“Bagaimana? Apa yang tadi kalian bicarakan? Apa kalian ketakutan melihat kedatangan polisi. Aku sudah mengantisipasi karena yakin kalian pasti akan melawan. Aku sih, tak ingin mengotori tanganku ini dengan menarik lengan kalian nantinya. Ah, tak sabar rasanya melihat kau di usir paksa dari istana ini. Kau pasti menyesal karena sudah berani melawanku.” Arya memeluk stefani dan mengecup keningnya. Benar-benar membuatku muak.Aku melihat ekspresi wajah Miranti. Dia tak memalingkan wajah. Artinya  memang sudah tak terpengaruh lagi oleh perasaan sayang terhadap Arya. Miranti tak cemburu saat melihat kemesraan mantan suaminya itu. Hal itu membuatku bisa bernafas lega. Pertanda tak ada lagi perasaan khusus Miranti kepada Arya.“Kau salah Arya. Suamiku ternyata sudah mempersiapkan istana megah yang sepuluh kali lipat lebih besar dari rumah ini. Ya, aku menyesal. Tapi karena pernah menjadi istrimu yang hanya bisa memberikan rumah sempit seperti ini. Aku memang sudah berniat menjual rumah ini untuk menghapus kenangan bersamamu. Jadi, aku tak menginginkan rumah ini lagi. Kau ambil saja sesuka hatimu. Istana dari suamiku, sudah menantiku. Ya ‘kan sayang?”Bagus. Istriku sangat pintar dalam memainkan perannya. Kulihat ekspresi wajah Arya yang penuh amarah. Dia pasti sangat terkejut dengan sikap istriku tak seperti yang diharapkan olehnya.Arya dan istri barunya saling pandang. Dari tatapan keduanya mengisyaratkan berjuta tanya yang tak bisa terpecahkan. Ini baru langkah awal. Tunggu saja pembalasan kami Arya wiguna.“Tunggu. Hey, kau wanita penggoda. Sayang sekali kau salah menentukan target.. Seharusnya, suami baruku ini yang kau rebut dariku. Kau tahu berapa jumlah harta yang dimilikinya? Matamu pasti akan terbelalak jika melihat betapa indah dan megahnya istana yang telah dipersiapkan untukku. Belum lagi rencana bulan madu kami akan berkeliling eropa. Tidak seperti lelakimu itu. Sudah miskin, tapi masih sok jadi orang kaya.”“Diam kamu! kami sekarang sudah kembali kaya raya. Pak Handoyo sudah membantu kami untuk merebut semuanya darimu!”“Kau membanggakan orang seperti dia?! Apa mata kalian buta tak melihat bagaimana Nindy yang sudah tak dibutuhkan lagi, di buang begitu saja bagai sampah. Belajarlah dari kejadian itu. Orang seperti Handoyo takkan lama memelihara manusia seperti kalian. Saat balas dendamnya sudah tercapai, kalian akan ditendang setelah tak dibutuhkan lagi. Pegang kata-kataku ini!”“Hei, tutup mulutmu anak musuhku. Atau kau mau aku menutup matamu untuk selamanya!” suara Handoyo menggelegar. Terlihat jelas kilat amarah di wajahnya.“Sebelum itu terjadi, aku dulu yang akan membunuhmu!” sahut ayah mertuaku. Situasi sudah membahayakan saat dua manusia paruhbaya ini mulai terpancing emosi. Semuanya bisa kacau dan masalah semakin meruncing.“Tahan, om. Jangan melakukan tindakan apapun!” aku berusaha mencegahnya. “Yang kukatakan benar’kan, pak Handoyo?” lagi-lagi istriku berusaha memancing emosi pria itu.“Diam, Mir.” Aku membungkam mulut istriku. Sebelum situasi tambah memanas, aku harus mengambil langkah tepat.Aku berkoordinasi dengan anak buahku serta umar untuk segera membantu mengemasi barang-barang yang diperlukan saja dan secepat mungkin meninggalkan rumah ini. Orang pertama yang harus kubawa pergi adalah Miranti dan ayah mertuaku. Kalau keduanya masih berada di tempat pasti akan terjadi hal-hal yang tak di inginkan.Aku akan membawa Miranti dan anak-anak ke rumah pribadiku yang sudah kupersiapkan cukup lama untuk calon istriku. Walau mamah menginginkan kami untuk tinggal bersamanya. Mirantipun sudah menyetujui. Namun karena keadaan masih belum kondusif, terpaksa aku menunda keinginan mamah. Semua kulakukan karena aku sangat menyayanginya. Tak ingin masalah kami berimbas pada kesehatan mamah. 78. RUMAH IMPIANMobil yang kukendarai memasuki rumah mewah yang sudah dipersiapkan jauh sebelumnya untuk istriku. Tak mengira jika jodoh yang dipilihkan oleh sang pencipta adalah wanita yang dua puluh tahun lalu mengikat hatiku dengan cintanya.Seluruh konsep sama persis dengan yang Miranti inginkan dahulu. Cat warna putih dipadu dengan kuning emas adalah impiannya jika kelak kami punya hunian pribadi. Rumah tiga lantai bergaya mediterania dengan satu satu kubah besar menjulang tinggi juga sangat di idamkan oleh wanita yang telah resmi aku persunting. Semoga saja dia takkan kecewa dengan kadi istimewa yang kuberikan untuknya.“Ayo, sayang, kita turun.” Mengajak istriku dengan sukacita. Bayangan akan kebahagiaan istri saat mendapat kejutan yang akan kupersembahkan untuknya, membuatku sangat bahagia.Ekor mataku menangkap ekspresi datar dari wanita yang duduk di samping. Tak ada respon apapun yang keluar dari bibir mungilnya. Miranti terus mengamati dengan detil bangunan mewah yang berada di depan mata. “Fajar, ini rumah siapa? bagus banget.” Tanya Miranti sembari menyapu pandangan di setiap sudut bangunan yang terlihat.“Ya rumah manusia’lah, masa rumah hantu.” Jawabku becanda sembari mengacak rambutnya.“Iih aku tanya serius.” Miranti menepis tanganku dengan wajah di tekuk.“Aku juga serius. Udah, ayo kita masuk.” Ucapku santai sembari turun dari mobil. Cukup lama aku menunggu, tapi wanitaku itu tak jua menampakkan batang hidungnya. Ada apa lagi dengannya. Apa dia tidak tahu kalau badanku sudah pegal-pegal dan ingin segera beristirahat. Rasanya tak sabar lagi untuk merebahkan tubuh yang lelah.Ups, tunggu. Ini kan hari pernikahanku. Artinya malam ini akan ada ritual malam pengantin. Ah, bodohnya aku kenapa bisa sampai lupa kalau mulai malam ini takkan tidur sendiri lagi. Membayangkan saja terasa ada yang berdesir dalam darah. Meraba dada sebelah kiri. Detak jantung juga meningkat.“Aduh, kok gue jadi deg-degan gini ya. Iih, gimana ya rasanya malam pertama. Pastinya ... waw banget deh. Tapi kok gini banget ya rasanya. Jadi panas sih.” Aku mengibaskan tangan di depan wajah. Seolah wajahku penuh dengan peluh. Membayangkan malam pertama saja sudah begitu bahagia. Apalagi menjalaninya. “Waw, jadi kayak orang setres nih gue.” tersenyum sendiri membayangkan betapa indahnya sesuatu yang belum pernah kulakukan.Aku memang banyak mengenal wanita cantik di luar sana. Bahkan dengan uang yang kumiliki, sangat mudah untuk’membeli’ wanita sekalipun yang masih virgin. Namun aku bukan tipe pria seperti itu. Mamah dan almarhum papah sudah menanamkan keimanan dalam setiap nafasku. Aku sangat berterimakasih kepada mereka9. Berkat pola asuh mereka, aku bisa tumbuh menjadi pria sejati. Bukan pria hidung belang.Kalau ada yang berpikir aku ini ‘melambai’ kalian salah besar. Aku tetap pria tulen yang berhasrat kepada lain jenis. Tunggu, kenapa Miranti masih belum turun juga. Aku menoleh kearah mobil. Benar saja dia  masih duduk santai. Segera kuhampiri dia.“Mir, kenapa gak turun? Mau dibukain pintu kayak di sinetron?” aku melihat wajahnya yang cemas dan gelisah.“Ini rumah siapa? tolong jelaskan. Aku gak mau nginep di rumah orang yang tidak aku kenal. Lebih baik kita nginep di rumah mamah kamu aja.” Wajah istriku terlihat cemas. Dia pasti merasa tidak nyaman. Maklumlah, di hari pernikahan kami masalah besar justru datang menghampiri.“Udah deh, turun dulu. Nanti aku jelasin ya.” Kubuka pintu mobil dan menarik paksa lengan Miranti. Walau dia terus menolak, aku berhasil membawanya masuk ke dalam rumah setelah bibi membuka pintu. Wanita paruhbaya yang aku titipi rumah ini segera mengangkat koper dan berlalu dari hadapan kami.Kulihat wajah Miranti masih gelisah. Tatapannya menyapu seluruh ruangan. Interior juga di design sesuai harapannya.. Berbagai pajangan kristal dan perabotan juga sesuai dengan selera istriku. Semua keinginannya masih melekat erat dalam memory otakku.Memegang pundak istriku dengan mesra.“Mir. Rumah ini kado pernikahan dariku. Aku sudah mempersiapkan khusus untukmu dan anak-anakmu. Anak-anak kita.”“Maksudmu ... rumah mewah ini milikmu?” tanyanya seolah tak percaya.“Iya. Apa kau tidak percaya? Apa aku terlihat sedang berbohong?”“Bukan begitu. Tapi ... ini terlalu berlebihan. Aku tak layak untuk menerimanya.”“Bukankah tadi kau sendiri yang berbicara kepada musuhmu, kalau aku sudah mempersiapkan rumah mewah untukmu? Aku pikir kau sudah tahu.” Jawabku santai.“Aku ... cuma becanda aja tadi. Eh tidak, maksudku aku hanya sedikit menyombongkan diri aja di depan stefani supaya ....”“Sst, cukup. Aku sudah berjanji kepadamu akan selalu membuatmu bahagia. Rumah ini akan menjadi milikmu dan juga anak-anakmu.”“Fajar, kurasa ini terlalu berlebihan. Kau begitu sempurna memperlakukanku. Apa kau kelak takkan menyesal sudah menikahiku?” tanyanya dengan tatapan serius.“Kenapa harus menyesal?”“Aku hanya seorang janda empat anak dengan masalah yang sangat komplek. Sepanjang hidup kau akan terus menghadapi masalah karena hidup denganku. Selama Arya masih dendam, dia takkan pernah tinggal diam melihat kebahagiaan kita. Berpikirlah kembali. Kau juga bisa mendapatkan wanita yang lebih segalanya dariku di luar sana. Tapi kenapa kau memilihku yang tidak sempurna ini. Kau bahkan tahu aku takkan bisa memberimu keturunan. Aku wanita yang tidak sempurna. Bersamaku hidupmu hanya akan menghadapi masalah yang rumit. Apa tak pernah kau berfikir tentang itu fajar?”“Cukup, Mir. Kau adalah pilihanku. Apapun yang terjadi sudah menjadi resiko yang harus kuhadapi.”“Aku takut suatu saat nanti kau akan menyesal dan pergi meninggalkanku seperti Arya. Aku sadar diri ini tak sempurna. Apa yang harus dilakukan supaya kau tak meninggalkanku? Aku takut kehilanganmu.””Hapus semua fikiran burukmu tentang diriku. Lelaki yang berdiri di hadapanmu tak menginginkan wanita lain. Hanya dirimu yang kuinginkan. Percayalah. Aku akan setia kepadamu, hingga nafas terakhir.” berusaha meyakinkan istri yang sedang resah. Berbagai masalah yang dihadapi membuat dia lemah dan tidak percaya diri. Miranti menghambur dalam pelukan. Menumpahkan segala keresahan hati. Membiarkan airmata yang mengalir deras dan membasahi dadaku.“Menangislah sayang. Dada ini milikmu. Bahkan jantung  yang ada dalamnya juga milikmu. Nafas dan seluruh hidupku hanya milikmu.”“Berjanjilah takkan meninggalkanku. Aku tak bisa hidup tanpa dirimu.” Pinta istriku diantara isak tangisnya. Dia melonggarkan pelukan dan menatapku dengan sorot mata yang lemah. Derai airmata masih membasahi wajahnya.Menangkup wajah yang bersimbah airmata dan membalas tatapan mata dengan lembut.“Apa ucapanku tadi masih kurang?”“Aku ingin kamu berjanji. Wanita butuh pernyataan untuk sebuah kepastian.”“Baiklah. Aku berjanji akan selalu menemanimu hingga maut memisahkan kita. Cintaku hanya untukmu dan dalam dada ini sudah terpatri namamu.. Hanya Asmara miranti yang tertulis dalam dadaku.”“Aku mencintaimu.” Miranti kembali menghambur dalam pelukanku. Kami kembali berpelukan erat. Memeluknya membuat hatiku begitu tenang dan damai. Melonggarkan pelukan. Kemudian mengangkat dagu istri tercintaku. Sejenak kami saling berpandangan dalam balutan asmara. Aku merasakan geletar aneh dalam dada saat melihat wajah jelita istriku. Menelusuri wajah cantiknya dengan jemari dan terhenti tepat di bibir yang merah merona. Darah terasa semakin berpacu. Ingin segera menguasainya. Sejak awal mengenal dan berpacaran tak pernah sekalipun aku menyentuhnya.Perlahan aku menundukkan wajah semakin dekat. Namun kecewa yang kurasa saat Miranti memilih untuk menghindar.“Kenapa?” tanyaku dengan kecewa. Seharusnya dia sudah mengerti dengan pertanyaan  singkatku.“Aku ... aku ....”“Sudahlah. Aku takkan memaksamu. Istirahatlah di kamar utama yang sudah dipersiapkan untuk kamar pengantin. Tanya sama bibi. Biar aku akan tidur di kamar tamu.”Dengan membawa rasa kecewa aku meninggalkan wanita yang telah resmi kupersunting. Aku memintanya karena sudah menjadi hakku. Hubungan kami juga sudah sah. Tak berdosa jika aku menginginkan kehangatan darinya. Namun kenapa wanita yang sudah kuperjuangkan setengah mati menolak saat aku menginginkannya. Benar-benar membuatku kesal.“Fajar, tunggu.” Miranti menghadang langkahku. Dengan terpaksa berhenti. Aku memalingkan wajah. Walau kesal tetap saja tak tega meluapkan kekesalan kepadanya.“Aku tak bermaksud menolakmu. Aku hanya butuh waktu.” Ucapnya membela diri.“Terserah kamu.” aku menggeser tubuhnya perlahan. Lantas melanjutkan langkah sembari melepas jas yang kupakai dan membuangnya asal. Hanya itu cara menumpahkan kekesalanku.Saat hendak membuka pintu kamar, aku merasakan pelukan hangat dari lengan yang melingkar pada dadaku disertai usapan lembut. Sialnya hal itu justru makin membuat hasratku yang telah hilang muncul kembali. Apa dia tidak tahu apa kalau aku masih bujang ting-ting. Dengan sentuhan selembut ini bisa bikin lampu petromak ini menyala. Sial.“Tolong lepas.” Pintaku dengan suara parau. Gelora yang merasuk ke dalam jiwa yang tak tersalurkan, membuat dadaku semakin sesak.“Maafkan aku. Aku istrimu. Dimanapun kau berada, disitulah tempatku. Kalau kamar ini tempatmu beristirahat, aku akan menemanimu, suamiku. Termasuk kalau kau ....”Ucapan istriku terjeda. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dan sulit tuk diungkapkan.Aku membalikkan badan. Kini kami saling berhadapan. Nyaris tak ada jeda, hingga aku bisa merasakan hembusan hangat nafas istriku.“Teruskan.” Pintaku dengan lembut.Walau bisa menebak sesuatu yang sulit diungkap olehnya, aku tetap ingin mendengar langsung dari bibirnya.Miranti menundukkan kepala. Ah seperti anak perawan saja dia malu-malu meong. Wajahnya merona. Apa mungkin dia merasa malu. Bukankah statusnya sebagai seorang janda pasti sudah terbiasa berhadapan dengan seorang suami. Entahlah, aku tak mengerti perasaan seorang wanita. Sangat sulit di tebak.“Fajar. Aku ... aku ....”“Aku apa? Ayo terusin.”Miranti memalingkan wajah lalu menjauh dariku. Sekilas aku melihat pipinya yang merah jambu dan menggemaskan. Membuatku tak sabar lagi untuk mencapai puncak asmara. Tanpa meminta ijin segera menggendong tubuh istriku menuju kamar pengantin yang sudah kupersiapkan.Untung saja ayah Miranti berinisiatif membawa anak-anak tinggal bersama mereka sementara  waktu hingga keadaan kondusif. Mungkin saja karena mereka ingin memberikan kesempatan kami untuk berdua. Duh, emang orangtua itu tahu apa yang di inginkan oleh anknya. Ya jelaslah, orang mereka juga pernah muda.Tak ada kata yang terucap dari bibir istriku. Dia terus menundukkan kepala. Walau tangannya melingkar di leherku, tetap saja tak mau menatap mataku.Degup jantung kami sama-sama kencang. Apa yang dirasakan istriku sama denganku. Tatapan mataku tak lepas dari wajahnya yang cantik. Bibirnya yang merah membuatku makin bergairah. Ah, benar-benar tak sabar untuk menaklukannya.62. MALAM PERTAMAMembuka kamar pengantin yang penuh dengan bunga mawar. Semerbak harum menguar membuat pikiranku semakin kotor. Ups, salah. Semakin fresh maksudnya. Uh dasar nih kepala. Pikirannya kesitu melulu.Membaringkan tubuh istriku di ranjang mewah berukuran king size dengan sprei berwarna putih. Duh sial. Ngledek gue nih yang mendekorasi kamar. Udah tahu bini gue janda ngapain coba pake sprei warna putih. Sudah jelas tak mungkin ada noda darah setelah ritual malam pertama nanti. Bikin stress aja nih.Kami sama-sama mematung. Aku sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan. Sebagai seorang bujang ting-ting tentunya tak punya pengalaman khusus. Berbeda dengan istriku. Sebagai mantan janda, pastinya sudah lebih berpengalaman dong. Namun entah kenapa dia juga bersikap sama sepertiku.Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang. Malu ataukah ada sesuatu yang dipikirkan tentang diriku Jangan-jangan dia meragukan kejantananku. Aduhh, jadi tambah deg-degan nih. Mengelus dada berkali-kali untuk mengurai debaran dari dalam dada.“Fajar.”“Mir.”Tanpa sengaja kami saling memanggil nama satu sama lain berbarengan.“Kamu dulu.” “Kamu aja dulu.” Ucap Miranti sembari menundukkan kepala malu-malu meong.“Apanya?” aku sengaja meledeknya dengan mendekat ke arah wajah.Wajah istriku merah merona. Dia seperti anak perawan yang baru jadi pengantin saja.“Apanya yang aku dulu?” kembali mengulang pertanyaanku sembari menyentuh pipinya yang lembut.“Ya ... gak tahu.” Jawabnya gugup sembari memainkan jemarinya.“Aku dulu yang buka baju maksudnya?” tanyaku lebih berani meledeknya.Perlahan melepas kancing kemeja satu persatu lalu melempar ke lantai. Kegugupan di wajah istriku tergambar dengan jelas. Hal itu membuatnya makin terlihat cantik dan menggemaskan.Menyentuh jemarinya. Terasa begitu begitu dingin. Kok bisa sih. Bukannya kalau yang udah pengalaman sama lelaki gak akan seperti ini. Apalagi tangannya juga gemetar.“Mir, lo kenapa? Udah siap?” “Fajar. Aku ... aku ....”“Udah siap belum?” tanyaku kembali.“Si-siap apa?” jawabnya makin gugup.“Siap ....” aku mengelus pundaknya lembut hingga merasakan tubuh istriku gemetar.“Fajar, aku ... aku ....”“Siapin mandi sayang. Uuh dasar janda pikiran lo jorok terus.” Aku mencubit hidung istriku dengan lembut.Seketika wajah Miranti berubah. Yang tadi begitu tegang, kini memudar. Senyum manis menghiasi bibirnya.“Iih kirain mau ngapain.” Miranti memukuli lenganku berkali-kali.Kami berdua tertawa bahagia. Aku segera masuk ke kamar mandi untuk menghilangkan gairah yang sudah berada di puncak kepala. Harus memahami kalau istriku belum siap. Dan sebagai suami yang baik, aku takkan pernah memaksanya.***Mencukur jenggot tipis yang mulai menghiasi wajah. Sesekali melirik ke arah jam dinding. Udah hampir setengah jam Miranti berada dalam kamar mandi. Ngapain aja sih dia. Mandi kembang kali ya biar aku tambah kepelet sama dia. Uh dasar cewe. Dandan lama, mandi lama, makan lama. Cuma ngabisin duit yang gak lama. Itulah sifat asli para wanita.“Mir, Lo mandi apa tidur sih, lama bingit?!” “Iya bentar!”“Bentar melulu jawabannya. Apa aja yang di bersihin sih. Heran gue!” “Mau tau aja!” jawab istriku dari dalam kamar mandi.“Idih pake nanya lagi. Ya mau lah. Bersihin sampai tuntas. Biar service memuaskan.” Jawabku asal.“Dasar otak ngeres!”“Udah ngerti otak gue ngeres. Disapu kek apa gimana!” jawabku asal. Lebih tepatnya mulai kesal. Gimana gak kesal. Malam pengantin malah ditinggal lama di kamar mandi. Gak tahu apa kalo gue kangen.Pintu kamar mandi terbuka. Melirik sesaat dari kaca rias. Waw, apa gue gak salah lihat.Apa mataku sudah mulai rabun. Coba aku lihat kembali.Benar-benar pemandangan yang sangat indah. Dadaku bergetar. Jantungpun memacu dengan  sangat cepat.“Aw!” sial, daguku sedikit tergores oleh pisau cukur.Sejenak aku tertegun. Mataku membulat dan menelan ludah. Ada sebuah dorongan yang sangat  kuat. Geletar aneh sangat terasa dalam dada saat melihat istriku keluar dari kamar mandi hanya mengenakan pakaian dalam warna merah menyala yang sangat transparan. Pakaian apa sih namanya gue gak ngerti. Dia terlihat begitu sexi dan  menggoda iman. Duh, sampai ngiler nih. Aku tak berani membalikkan badan. Hanya berani menatap lewat cermin. Semakin memandangnya, terasa jantungku makin berdegup kencang.Alamak, tangannya memelukku dari belakang. Dan aduh, apa itu yang nempel di punggung, bikin badan lemes deh. Kok jadi gemeteran gini. Aduh gue bujang apa perawan sih. Kok malah jadi gue yang gemetaran.“Mir. Em ... aku ...aku ....”Miranti membalikkan tubuhku. Aku seperti anakkecil yang mengikuti apa maunya. Mungkin lebih tepatnya aku terhipnotis oleh pemandangan indah yang ada di depan mata. Sebelum mata nakalku ketahuan sedang menjelajahi dengan liar, lebih baik membuang muka untuk mengurangi debaran pada jantungku.“Kau kenapa? Tak suka melihatku seperti ini?” tanya istriku dengan membawa mataku menatap kearahnya. Sial. Dia pasti mentertawakanku yang tidak berpengalaman ini.“Gak-eh suka. Apa gak takut masuk angin? Ntar minta kerokan. Males gue.” Aku mencoba  bercanda untuk mengurai kegugupan. “Lagian apa enaknya coba pakai baju apaan sih namanya. Malu tahu kalau di lihat orang”Miranti tersenyum. “Ini namanya lingerie. Baju dinas para istri khusus untuk memanjakan mata suami sendiri. Bukan suami orang.” Jawab Miranti dengan tersenyum.“Ada-ada aja lo.” Jawabku sembari menyentil hidungnya lembut.“Saat ini baju inilah yang terbaik yang kupunya untuk membuatmu bahagia.”“Hach? Serius?! Jadi kamu udah siap untuk?” “Aku sudah siap. Walau sebenarnya aku malu.”“Kenapa? “Karena ... Kau mendapatkan diriku sebagai seorang janda, bukan gadis lagi.” Jawab istriku sembari menyembunyikan wajahnya. Aku sangat memahami apa yang ada dalam pikirannya.Meraih jemarinya dan membawanya ke dadaku. “Aku tak peduli dengan itu semua. Bagiku kamulah yang terbaik. Aku janji akan memperlakukanmu dengan baik.”Menyentuh dagu istriku dengan lembut dan membawa wajah cantik itu menatap pria ganteng yang sudah siap untuk bertempur. Walau si ‘tentara’ ini belum pernah bertempur apalagi memenangkan sebuah pertempuran, tapi dengan penuh keyakinan pasti bisa.“Mir.” Bisikku lembut di telinganya.“Hmm.”“Ajari gue ya. Takut salah.”“Dasar gila lo. Emang gue cewek apa-an.” Miranti menoyor keningku, lalu melangkah pergi. Aduh, masa gitu aja marah sih. Sensi amat jadi cewek.Segera menyusul dan menggendong tubuhnya. Tahukan setelah itu apa yang terjadi. Sesuatu yang sangat kuinginkan.Malam berlalu begitu indah. Cahaya rembulan tak mampu menembus remangnya malam. Segala rasa cinta dan kerinduan tercurah begitu dahsyat. Hanya ada bahagia dan bahagia.Kini kami sudah benar-benar bersatu sebagai suami istri. Rasa dahaga hilang sudah. Kini aku sudah bukan bujang ting-ting lagi. Selamat tinggal jomblo. Kini aku sudah bahagia. ***Bangun pagi tubuhku terasa begitu segar. Walau cukup lelah dengan aktifitas baru di tiap malam, tetap memunculkan semangat baru untuk menjalani hari-hariku. Tiga hari sudah aku menjalani kehidupan sebagai suami. Apa yang kurasakan. Bahagia dan bahagia selalu mewarnai setiap hariku. Walau kami belum sempat berbulan madu, tiga hari bersamanya tanpa ada gangguan sudah cukup membuatku bahagia. Seandainya aku tahu kalau menikah seindah ini, sudah dari dulu aku menikah.Ponsel berbunyi. Orang kepercayaanku yang menghubungi. Itu artinya ada sesuatu yang sangat penting. Beberapa hari yang lalu, aku sudah meminta untuk sejenak membebaskan diri dari segala pekerjaan. Terkecuali ada hal yang sangat penting. Lebih baik segera mengangkatnya. Mengusap gambar telpon berwarna hijau pada layar.“Aku’kan sudah bilang jangan dulu ....”“Maaf, Bos. Ini sangat penting. Suami Nindy meninggal. Kami sedang mengurus pemakamannya.” Jawaban dari seberang membuatku terkejut. Aku menjatuhkan diri di lantai. Tubuh terasa lemas seolah tulang belulang lepas dari raga. Bagaimana ini. Satu-satunya orang yang akan kami gunakan untuk menekan Nindy adalah suaminya. Lalu apa yang harus aku lakukan. Dengan kejadian ini, Nindy pasti akan semakin tergantung kepada Handoyo. Sangat sulit memperdaya dia kalau Handoyo masih ada di belakangnya. Oh Tuhan. Apa yang harus kulakukan untuk mengembalikan seluruh asset Miranti. 79. OTAK DI BALIK KEMATIAN SUAMI NINDY“Halo, Boss. Halo ....”Membiarkan panggilan tetap berlangsung tanpa merespon apapun. Aku tak boleh seperti ini. Pasti Tuhan akan memberikan jalan. Yang penting ada di pihak yang benar, aku takkan mundur.“Halo ... halo ....”“I-iya. Aku masih ada di sini. Tapi, bagaimana ini bisa terjadi? Apa dia sakit, atau ...?”tanyaku masih dengan tangan gemetar. Tak menyangka kuasa Tuhan yang begitu cepat membalaskan sakit hati istriku. Memang harus berhati-hati jika menyakiti seseorang.. Do’a orang yang tersakiti sangat mudah di kabulkan. Benar-benar membuat merinding.“Sepertinya dia keracunan. Lebih tepatnya diracuni.”“Yang benar? Bagaimana bisa kalian menyimpulkan seperti itu? Ingat. Jangan berbicara tanpa bukti!” “Dari hasil pemeriksaan di rumah sakit, terdapat racun pada darahnya. Kalau menurut saya, sepertinya salah target. Seharusnya ibu Nindy yang jadi target mereka.”“Cepat selidiki dan laporkan kejadian ini kepada pihak kepolisian. Aku yakin sekali ini ada hubungannya dengan Handoyo dan komplotannya. Mereka pasti punya tujuan untuk melenyapkan Nindy. Handoyo tahu betul Nindy sangat membahayakan dirinya. Cepat lakukan pengamanan untuk Nindy dan kedua anaknya. Jangan biarkan seorangpun mendekati mereka. Terutama Nindy. Dia satu-satunya kunci untuk menjebloskan Handoyo ke penjara. Lakukan tugasmu dengan baik Aku  segera kesana.”“Baik, Bos. Kami siap melaksanakan tugas.” Mematikan ponsel dan segera mengganti pakaian. Masih belum bisa berpikir, akan memberitahu Miranti atau tidak. Entah apa yang akan terjadi seandinya istriku tahu dan memaksa ikut lalu membuat kekacauan di sana. Aku sangat paham dengan karakternya yang sangat sulit  untuk mengontrol emosi.“Fajar, Kamu mau kemana?” Miranti menghadang langkahku. Bagaimana ini. Apa aku harus berbohong. Tidak. Kami sudah saling berjanji untuk tidak ada lagi kebohongan sekecil apapun. Namun tak mungkin juga untuk berterus terang. Bisa ribet urusannya nanti.“Fajar. Kenapa tak menjawab pertanyaanku?” Miranti terus mendesakku dengan pertanyaan yang sulit kujawab.“Mir, ada ... sedikit pekerjaan.” Jawabku gugup sembari mengusap wajah dengan gelisah. Semoga saja dengan jawaban ini membuat istriku percaya.Namun sayangnya, istriku bukan wanita bodoh. Dari tatapan matanya tersirat keraguan. Aku yakin dia tak percaya dengan jawabanku. Apalagi dengan sikap gugupku. Dia sudah sangat hafal dengan ciri khas jika aku berbohong.“Aku tahu kau sedang membohongiku. Tapi sudahlah. Kau pergilah jika memang ada sesuatu yang tak perlu aku tahu. Setidaknya sarapan dulu. Aku sudah memasak makanan kesukaanmu.” Jawab Miranti. Tanpa bertanya lagi, dia berlalu meninggalkanku. Aku tahu dia pasti marah. Aku harus jujur kepadanya supaya takkan hilang kepercayaan dia kepadaku. ‘Tunggu Mir.” menghadang langkahnya. Namun istri tercintaku membuang muka. Walau tak ada kata tuntutan kepadaku untuk berbicara jujur, tapi dari sikapnya menggambarkan tak suka dengan kebohonganku. Aku tak mau kembali merusak kepercayaannya dengan kebohongan lagi.“Suami Nindy meninggal.” “Apa?!” Miranti benar-benar terkejut. Matanya membulat. Dia pasti sama terkejutnya denganku.“Kau tidak bohong?!”‘Tidak. Diduga, suaminya meninggal karena diabunuh. Sekarang anak buahku sedang mengurusnya.”“Fajar, aku takut. Bagaimana kalau mereka mengincar anak-anakku? Aku takut sekali.”“Tenanglah. Anak-anakmu sudah aman dan berada di tangan yang tepat. Handoyo takkan bertindak bodoh. Aku akan ke rumah Nindy sekarang. Hati-hati di rumah ya.” Mengecup lembut kening istriku.“Aku ikut.”“Lebih baik jangan. Aku tak mau membuat keributan di sana.”“Fajar. Nindy itu sudah seperti saudaraku. Tak mungkin aku tidak kesana. Dia pasti membutuhkan diriku. Mana mungkin aku akan membuat keributan.”“Janji?”“Ya. Aku tetap manusia yang punya hati nurani. Walau Nindy sudah menusukku dari belakang, tetap saja dia sangat berjasa untukku.”“Kau tidak dendam?” “Untuk apa? Aku sudah mengikhlaskan semua. Aku tak ingin melihat kebelakang. Aku hanya ingin menatap masa depan bersamamu.”“Aku bangga padamu.” Kupeluk erat tubuhnya. Kami saling berdekapan erat. Ada rasa lega dalam dada ini saat melihat perubahan pada diri istriku. Dia terlihat lebih tenang dan bisa mengendalikan diri. Semoga ini adalah langkah awal satu perubahan yang akan mempengaruhi setiap langkah dan keputusan yang diambilnya.Memang benar kata orang, kalau kita ingin istri bahagia, jangan pernah membatnya susah dan membebaninya dengan  berat. Bahagiakan istri maka dia akan bahagia dan membuat rumah laksana surga. Rumahtangga pasti akan selalu bahagia.***Aku sangat salut kepada istriku. Dia benar-benar bisa menjaga diri. Sikapnya yang terlihat begitu tulus saat mendampingi orang yang sudah menusuknya dari belakang.Dari awal kami datang, tak ada amarah tergambar dari wajahnya. Bahkan saat Nindy menangis dan bersimpuh di kaki Istriku, dia memeluk mantan asistennya erat. Aku bangga  padanya. Benar-benar sikap yang sangat terpuji.Tanpa menunggu lama, anak buahku bergerak cepat dengan melaporkan kejadian. Saat kami tiba dari pemakaman, polisi sudah ada di rumah Nindy. Tujuan mereka ingin mengetahui kronologinya.Menurutku waktunya kurang tepat. Kondisi nindy masih sangat terguncang. Namun pihak kepolisian tak bisa  menundanya. Miranti selalu berada di sisi Nondy. Saat wanita itu tak mampu berkata, Miranti akan memberi semangat hingga sedikit demi sedikit, ada titik terang.Menurut keterangannya ada seorang kurir yang mengirimkan nasi gudeg kesukaan Nindy. Malang tak dapat di tolak, suami nindylah yang memakannya. Tak langsung bereaksi. Baru dalam beberapa menit tubuh sang suami mulai kejang. Mulutnya mengeluarkan busa.Untung saja rumah Nindy dipasang CCTV. Walau pelaku terlihat sangat rapi dalam bekerja, tetap saja meninggalkan jejak. Sang kurir memang memakai helm dan masker, tapi mereka lupa menutup nomor plat kendaraan. Sepandainya tupai melompat, pasti akan terjatuh juga. Tuan Handoyo yang terhormat, tamatlah riwayatmu. Siapa lagi kalau bukan kau otak di balik semua ini. Nikmatilah alam bebasmu yang hanya tinggal menghitung hari. Sebentar lagi, kebebasanmu akan terenggut paksa seperti kau yang telah merenggut paksa rumah serta usaha istri dan mertuaku. Namun ada kabar yang lebih menggembirakan lagi selain itu. Nindy siap menjadi saksi baik dalam kasus kematian suaminya dan juga pengambilalihan asset milik keluarga Miranti ke tangan Handoyo.Ketulusan istriku berbuah manis. Nindy merasa bersalah. Apalagi dia tak mampu membiayai rumah sakit. Seluruh tabungan yang dimiliki sudah ludes untuk biaya pengobatan suaminya yang terbaring sakit.Miranti berjanji akan melunasi seluruh biaya rumah sakit dan seluruh hutang Nindy. Dia juga berjanji akan membiayai sekolah kedua putranya yang masih duduk di sekolah dasar dan menengah pertama sampai ke universitas. Nindy semakin merasa bersalah dan terus menangisi kebodohannya. ***Polisi bergerak dengan sangat cepat. Mereka meringkus handoyo di rumahnya. Dia sempat melakukan perlawanan. Namun akhirnya menyerah dan segera digelandang menuju kantor polisi.Saat di BAP, dia bungkam dan tetap menunggu pengacaranya. Pada saat itulah, aku sengaja berpura-pura mengaku sebagai pengacaranya supaya dapat berbicara dengannya.Berhasil. Aku kini sudah duduk bersamanya.Telihat wajahnya yang penuh amarah. Dia murka dan mencekik leherku hingga nyaris kehabisan nafas. Untung saja anggota kepolisian menolongku. Kalau tidak, mungkin aku kini hanya tinggal nama.Memegangi leher yang terasa sakit. Tak peduli dengan Handoyo yang terus memakiku.“Dengar bocah ingusan! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa! aku pastikan kau akan menyesal!” Handoyo menunjukku dengan tidak sopan.“Jangan menunjukku! Kau orangtua yang tak patut dihargai! Kau yang akan menyesal karena sudah mengganggu keluarga istri dan mertuaku! Aku pastikan kau akan menjilat ludah yang sudah kau buang! Kau akan mengemis di kakiku! Cam’kan itu!”“Cuih! Dengar anak muda. Hukum manapun takkan bisa menyentuhku! Kita lihat saja, sebentar lagi pengacara terhebat akan membebaskanku! Kau akan lihat sendiri bagaimana uangku bisa membeli segalanya! Kau hanya anak kemarin sore yang bahkan belum bisa bersihin bekas kencingmu sendiri, takkan mungkin mampu melawanku!”“Jangan takabur! Tak semua burung yang terluka bisa terbang dengan sempurna tanpa terjatuh. Diatas bumi masih ada langit. Hanya Tuhan yang bisa menentukan nasib seseorang. Apa kau lupa ada seekor gajah yang tak mampu melawan seekor semut yang masuk ke telinga gajah. Ingatlah, aku yang akan menjadi semut itu. Meski dia sangat kecil, tapi tahu langkah tepat untuk menumbangkan lawan yang besar!”“Kau hanya sumbar! Aku yakin kau tak mampu memenjarakanku!”“Kali ini kau akan tumbang, Handoyo! Kasus pembunuhan berencana bukan main-main. Hukum tidak bisa kau permainkan dengan uangmu. Bertaubatlah segera, sebelum kau mati karena serangan jantung saat kau tak bisa tidur dengan nyenyak di dalam penjara. Saat kau setress menghadapi semua tekanan di dalam sana! Selamat menikmati!”Aku segera meninggalkannya. Tak peduli dengan sumpah serapah yang ditujukan kepadaku.Di tengah jalan, aku bertemu dengan pengacara yang tak asing lagi. Dia terbiasa ‘bermain kotor’ dengan kasus yang sedang di tanganinya. Sejenak kami saling menghentikan langkah dan bertatapan beberapa saat. Wajah bengisnya menyiratkan sebuah rencana licik. Dia tahu akulah yang melaporkan kliennya. Wajahnya menyiratkan seorang penjilat. Dia sangat berbahaya bahkan lebih berbahaya dari setan yang tak terlihat. Aku harus berhati-hati.Segera melanjutkan langkah tanpa berbasa-basi.Saat aku hendak keluar dari parkiran mobil, selintas aku seperti melihat Arya bersama istri barunya. Ah tidak mungkin. Aku pasti salah lihat. Untuk apa dia datang kemari. Mungkinkah dia akan menemui Handoyo dan merencanakan sesuatu. Aku akan mencoba mencari tahu.“Berhenti, pak. Kita putar balik.” Perintahku kepada sopir.“Waduh, susah pak. Lihat saja kendaraan di belakang kita cukup padat yang akan keluar.” Jawab sopir.Aku melihat ke arah belakang. Benar saja, dengan tidak sabar mereka membunyikan klakson mobil. Apa yang harus kulakukan. Tak mungkin juga memaksa sopir untuk berhenti di tengah jalan. Bisa runyam urusannya.Sudahlah. Kalau memang yang kulihat tadi memang Arya, wajar saja. Toh dia itu jongosnya Handoyo sekarang. Lagi pula apa yang bisa dia lakukan. Dia tak mungkin bisa membantu mengeluarkan Handoyo. Biarkan saja. Lebih baik aku pulang dan menghubungi ayah mertua untuk berdiskusi langkah selanjutnya. 8O. RENCANA BUSUK ARYAAku datang bersama istriku stefani. Benar-benar tak menyangka, orang sekuat pak Handoyo bisa dengan mudah di tangkap polisi. Dia pasti akan memarahiku habis-habisan karena tidak becus bekerja.Jantungku berdebar-debar. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Kalau Handoyo benar-benar diinyatakan bersalah, aku juga bisa kena. Karena akulah yang mencari orang untuk berpura-pura sebagai kurir. Aku pikir dia pintar, tapi ternyata nol besar.Sebenarnya aku ingin lari dan tak mau datang kesini. Tapi bisa-bisa orangtua itu akan menyuruh orang untuk menghabisi nyawaku kalau aku tak memenuhi panggilannya. Uh, serba salah. Pokoknya apapun yang terjadi,  tak mau merasakan dinginnya lantai penjara lagi.Aku sudah bediri tak jauh darinya. Kaki gemetar. Untung saja tadi tak memperbolehkan stefani masuk. Kalau tidak, pria gendut itu pasti akan meminta istriku untuk menemaninya.Sebenarnya aku sangat menyesal menerima bantuannya yang pake pamrih. Dengan terpaksa aku harus berbagi tubuh istriku dengan pria gila itu. Kalau aku tidak mau, kami bisa terlantar. Aku masih tetap bisa ‘memakai’ istriku kalau bandot tua itu tak sedang ‘memakai’nya.Awalnya stefani menolak dan marah. Namun kini, dia justru keenakan karena seluruh fasilitas yang diberikan oleh si bandot tua itu. Kini Stefani seperti nyonya besar yang memakai baju branded dan juga perhiasan yang memenuhi tubuhnya. Ambisisnya untuk menjadi orang kaya tercapai sudah. Kini aku  dicampakkan olehnya.Kami memang tinggal di appartemen yang super mewah. Walau tinggal di tempat yang  sangat nyaman, tapi tahukah kalian bagaimana tersiksanya ketika harus berbagi tubuh istriku dengan si bandot tua itu. Aku tersiksa dengan keadaani. Namun tak bisa berbuat apa-apa. Aku terjebak dengan lubang yang telah kubuat  sendiri. Tak pernah berpikir panjang saat akan menerima “pinangan’ dari bandot itu untuk bekerjasama.  Kalau tahu akan seperti ini aku pasti menolaknya.Sayangnya saat itu keadaan terjepit. Kalau tak menerima bantuannya, aku dan  keluargaku pasti membusuk dalam penjara.Kini  hanya bisa meratapi nasib. Semua  gara-gara Miranti dan fajar. Kalau mereka tidak melapor, aku pasti takkan di penjara dan takkan sesulit ini.Bugg. Satu pukulan keras memdarat di wajahku. “Dasar go***ok! Mengurus hal sekecil itu saja tidak becus!”Aku sudah menyangka. Setiap kali dia marah makian kotor pasti keluar dari mulut busuknya itu seperti kebiasaannya. Belum sempat aku menjawab, pria gila itu sudah mencekik leherku.“A-ampun boss. To-long ... lep-paskan ....”“Ingat, kalau  sampai aku dinyatakan bersalah, kau akan kulenyapkan!” “Tolong lepaskan!” aku mendengar suara stefani. Kenapa dia masuk. Bukankah aku tadi sudah melarangnya.“Kau membela suamimu?! Dasar wanita murahan kau itu ....”“Ini kantor polisi. Kalau terjadi apa-apa, Boss juga yang akan disalahkan. Lebih baik kita duduk dan mencari solusinya ya.”Aku melihat stefani mengelus dada bandot tua itu. Menjijikkan sekali. Punya istri tapi tubuhnya bisa dinikmati lelaki lain. Benar-benar neraka yang sedang kujalani.“Wanita ini benar. Kendalikan emosi. Kita bicarakan baik-baik semuanya.” Pengacara itu  juga ikut bersuara.Setelah keadaan kondusif, si bandot tua itu menatap ke arahku dengan penuh kebencian. Sebenarnya lelah juga menjadi jongosnya, tapi mau bagaimana lagi. Semua sulit untuk kuhindari.“Arya!” sentaknya membuatku kesal. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa.“Iya, boss.” Jawabku sembari menundukkan kepala. Makhluk astral itu tak suka di tatap matanya yang jelek itu.“Buat rencana matang untuk membalas menantu dari musuhku itu. Dia sudah berani menantangku!”“Rencana apa bos?”“Jangan balik bertanya b**oh!”“I-iya Boss. Tapi, sampai saat ini saya belum kepikiran ke sana.”“Kau punya otak’kan?! gunakan untuk berpikir! Jangan bisanya hanya numpang hidup saja padaku!”Ucapannya benar-benar membuatku emosi. Bandot tua membuatku muak. Yang lebih membuatku kesal, terkadang jika dia marah, sesuatu yang sudah menjadi kotoranpun juga diungkitnya. Dasar manusia menyebalkan.“Arya!!” Dia mengguncang pundakku dengan keras.‘i-iya, Boss. Nanti akan saya pikirkan.” Jawabku dengan gugup.“Aku butuh otakmu bekerja saat ini. Bukan nanti!”“I-iya. T-tapi ....”“Aku beri waktu lima menit untukmu! Kalau kau tidak bisa berpikir bagaimana cara membalas dendam kepada suami dari mantan istrimu, kau akan tahu akibatnya!”“Li-lima menit, Boss. Mana mungkin saya bisa .... ““Kalau kau tak bisa, saat ini juga aku akan mengakui perbuatanku dan menyeret namamu juga istrimu. Kalian berdua akan menemaniku di dalam penjara! Tapi kalau kau bisa berpikir, setidaknya kau aman untuk sementara waktu. Aku takkan menyeret namamu!”“Mmm ... mmm ....”“Kau tentukan  pilihanmu sekarang atau ....”“Aku punya ide.” Semua mata menatap ke arah suara. Suara itu milik stefani. Bukankah aku sudah melarangnya kemari apalagi berbicara. Benar-benar membuatku kesal. Dia sangat berbeda dengan Miranti. Mantan istriku itu sangat patuh kepadaku walau aku sering memarahinya.  Jujur saja, aku sangat menyesal sudah melepas wanita sebaik dia. Apalagi setelah melepasnya keadaanku menjadi seperti ini. Bukannya membaik malah hancur. Aku bahkan kini tak punya harga diri. Tak seperti Arya dulu yang seorang pembisnis sukses. Di mata orang-orang yang ada di sekitarku, aku bukan apa-apa.“Ide apa sayang?” Cuih. Aku jijik sekali saat melihat bandot tua itu menyentuh dada istriku. Benar-benar tak menghargaiku lagi mereka berdua.“Bagaimana kalau kita culik wanita sialan itu.”“No. Itu tindakan bodoh.  Sama saja ujungnya kita yang dipenjara.” Bandot tua itu tidak setuju.“Aku belum selesai bicara.” Rengek istriku manja. Entahlah. Apa masih pantas jika aku menyebut dia sebagai istriku.“Oke, lanjutkan.”“Dia bukan hanya akan diculik, tapi kita akan bayar orang untuk menodainya beramai-ramai. Wanita itu pasti akan merasa hina dan rendah serendah-serendahnya. Bahkan suami barunya pasti akan jijik dan menceraikan dia. Bagaimana, ideku bagus bukan?!”“Ha ha ha, bagus sekali. Sekali tepuk dua musuhku akan merasakan sakit yang luar biasa. Suami barunya akan syok. Dan Dirwan pasti akan mati karena jantungnya berhenti berdetak ha ha ha. Ide yang sangat brilliant. Kau akan aku beri perhiasan dan mobil mewah sebagai hadiah, cantik.”Aku sangat terkejut dan tak menyangka dengan ide gila yang ada di otak istriku. Bagaimana bisa seorang wanita mempunyai ide menjijikkan seperti itu. Kalaupun karena dia dendam, tak seharusnya juga dia membalas dengan perbuatan sekeji itu. Aku memang membenci Miranti dan juga suaminya, tapi tidak dengan menghukumnya sejahat ini. Bagaimanapun juga dia ibu dari keempat anakku. Mereka pasti akan mengutuk diriku yang telah mencelakakan ibunya. Aku tak sanggup jika harus dimusuhi oleh mereka.Dulu mungkin aku tak masalah jika stefani merencanakan ini semua. Saat itu hatiku sedang diwarnai dengan gejolak amarah. Namun kini, rasanya tak tega untuk melakukannya. Bagaimanapun juga Miranti pernah menjadi orang yang sangat berarti bagiku. Tak kusangka istri mudaku itu otaknya kriminal walau masih berusia muda.Gelak tawa masih terus terdengar dari mulut busuk keduanya. Tapi tidak denganku. Saat ini justru yang kuinginkan adalah membalas si bandot tua itu dan juga stefani.“Arya! Kau punya tugas untuk melaksanakan ide dari stefani. Cepat cari beberapa orang yang terpercaya!”‘Tidak! Aku tidak setuju!” jawabku dengan tegas. Sorot mataku menatap stefani dengan tajam.“Kenapa?! Apa kau masih mencintainya?!” tanya stefani dengan menaikan dagunya. Sombong sekali. Beraninya dia berkata kepadaku dengan nada tinggi.“Itu bukan urusanmu!”‘Baiklah. Aku tak peduli lagi dengan lelaki kere sepertimu!”“Jaga ucapanmu stefani!” Rasanya tanganku sudah gatal untuk memberi pelajaran kepadanya. Tanganku sudah terangkat dan siap mengayunkan ke wajahnya. Kalau saja tidak dicegah oleh si bandot tua, pasti aku sudah melayangkan tanganku ke arah wanita tak tahu diri itu.Tanganku di cekal dengan kuat oleh pria menjijikkan itu. Cengkeramannya begitu kuat. Bukan aku tak mau melawannya. Kalaupun kulakukan, sama saja  menyetorkan nyawa.“Jangan berani menyentuhnya atau kau akan mati! Pergilah dari hadapanku dan susun semua dengan sempurna! Aku tak mau dengar ada kegagalan! Dan kalau sampai itu terjadi, nyawamu yang jadi taruhannya! Pergi!!” teriak si bandot tua sembari mendorong rubuhku. Untung saja aku berpegangan pada dinding. Kalau tidak kepalaku bisa gegar otak terkena tembok.Tanpa berpamitan segera pergi. Tak peduli dengan stefani yang masih sibuk dengan bandot tua la*nat.Aku menghentikan langkah dan mencari tempat untuk menenangkan pikiran. Mengambil tempat duduk yang berada di sudut taman. Merenungi nasib yang tiada pasti.Berada di bawah ketiak manusia yang tak punya hati, membuat hidupku dalam tekanan. Aku harus membalas budi karena dia sudah mengeluarkanku dan stefani dari penjara. Tidak masalah sebenarnya karena itu sudah menjadi kewajibanku. Akan tetapi, Handoyo adalah musuh bebuyutan mantan mertuaku. Tujuan utamanya adalah menyakiti Miranti dan juga ayahnya. Hal yang tak mungkin bisa kulakukan karena akan berdampak langsung terhadap putra-putraku.Umar, amir, yusuf dan malik sedang apa kalian sekarang. Papah rindu sekali. Semoga hidup kalian akan selalu bahagia bersama orang yang mencintai kalian. Bukan orang seperti papah yang tak punya tujuan hidup yang jelas. Papah menyesal sudah  meninggalkan kalian.Tanpa terasa kelopak mata basah. Hati terasa teriris kala mengingat betapa bodohnya aku yang terlalu egois dan lebih memilih kebahagiaan semu.Aku benar-benar dilema. Kalau aku menuruti perintah si bandot tua, artinya aku menghianati anak-anakku dan juga wanita sebaik Miranti. Kalau tidak nyawaku jadi taruhannya. Tak mungkin aku melarikan diri. Dengan mudahnya si bandot menemukan diriku, sekalipun dia    ada dalam penjara.“Stefani. Semua gara-gara dia. Awas kalau kau pulang nanti. Aku akan membuat perhitungan denganmu!” mengepalkan tangan dengan amarah yang membuncah. Dia sudah tidak bisa lagi menjadi pendampingku. Bahkan terlontar dari mulut busuknya kalau aku pria kere.Benar apa kata umar dan amir. Stefani bukan wanita baik-baik. Menyesal aku tak mendengarkan peringatan dari kedua anakku. Namun nasi sudah berubah menjadi bubur. Waktu tak bisa di putar kembali. Kini aku harus rela menjalani sisa hidupku dengan di bawah tekanan. Entah sampai kapan aku bisa lepas darinya.81. KABAR BAIKFAJARSedikit bisa bernafas lega. Satu masalah sudah terselesaikan. Aku yakin sekali Arya pasti juga terlibat. Sebentar lagi dia pasti menyusul bos barunya ke penjara. Dengan begitu kehidupan Miranti dan keluarga mertuaku akan aman. Kami bisa menata kembali masa depan yang telah di porakporandakan oleh manusia serakah seperti Arya dan Handoyo.Mobil memasuki pelataran rumah ayah mertuaku. Aku tersenyum melihat Miranti, Ayah dan ibu  sedang bermain bersama keempat anak-anak di taman. Mereka terlihat begitu bahagia. Si bungsu terlihat begitu manja kepada mamahnya. Tak ketinggalan pula si kembar dan adiknya yang terlihat iri saat melihat adik yang paling kecil tidur di pangkuan mamahnya. Mereka berebut untuk bisa merapat di pangkuan ibunda tercinta.Bukan Miranti namanya kalau tak bisa mengatasi. Dengan cekatan dia melebarkan tangan dan memeluk para putra. Sungguh  pemandangan yang membuatku trenyuh. Tak pernahkah Arya berpikir tentang hal ini. Dia terlalu egois, hingga tak mungkin memikirkan kebahagiaan putra-putranya.“Ayah! Kemari!” aku tersentak mendengar yusuf memanggilku dengan sebutan Ayah. Tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Untuk meyakinkan diri, aku bahkan menengok ke belakang. Aku pikir mungkin dia memanggil orang yang ada di belakang. Tak ada siapapun kecuali diriku. Pikiran terlalu kocak atau bodoh. Entahlah. Aku masih belum mengerti dengan semua ini.“Kemari, Ayah!” kini giliran Malik yang memanggilku. “Aku?!” aku menunjuk diri sendiri sebagai tanda tak percaya.‘Iya, siapa lagi kalau bukan kau ayah fajar.” Jawaban Amir membuatku bahagia. Artinya aku tak salah dengan pendengaran dan penglihatanku. Mereka benar-benar menyebutku ayah. Kelopak mataku terasa basah. Benarkah aku menangis/ tidak. Aku tak boleh cengeng. Malu kalau sampai mereka tahu aku menangis. Lebih baik aku hapus saja airmata ini.Belum sempat aku mengusap airmata, seseorang telah memegang lenganku.“Tidak usah kau hapus. Menangislah jika itu membuatmu lega.” AKu menatap wajah istriku dengan mata berkaca-kaca. Tanpa bisa berkata-kata aku memeluknya dengan erat. Tangis ini adalah tangis kebahagiaan karena mereka akhirnya bisa menerima kehadiranku sebagai ayahnya.“Mir, aku bahagia sekali. Akhirnya mereka bisa menerima kehadiranku.” Aku melonggarkan pelukan.“Tak ada alasan kami untuk tak menerima Om fajar sebagai ayah kami. Ayah sudah melakukan sesuatu kebaikan yang takkan bisa kami membalasnya Terlalu banyak hingga kami takkan sanggup untuk menghitungnya. Kami mencintaimu, ayah baru.” Dadaku terasa sesak mendengar perkataan amir. Aku memeluknya erat. “ Terimakasih, amir.” “Kami yang harus berterimakasih. Karena  Ayah mau menjadi pendamping mamah dan selalu melindungi mamah. Terimakasih ayah.” Jawab Amir sembari membalas erat pelukanku.Tak sengaja aku menatap ke arah Umar. Namun dia membuang muka. Sepertinya dia sendiri yang masih belum bisa menerima kehadiranku. Mendekat ke arah putra sulung istriku. Aku tahu ini tak mudah baginya. Dia sudah dewasa dan pasti punya pemikiran yang berbeda.“Umar. Apa kamu ....” “Aku sudah menerima Om sebagai suami mamah. Tapi bukan sebagai pengganti papah. Aku ingin Om mengerti tentang hal ini. Tolong jangan pernah sakiti mamah. Atau Om akan berhadapan denganku.” Umar berlalu meninggalkan kami.Aku menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Aku bisa memahaminya. Dia menyaksikan sendiri bagaimana Arya dan keluarganya menyiksa mamahnya. Sudah pasti ini menjadi pukulan berat dan bisa mendatangkan trauma baginya. Aku harus lebih sabar menghadapinya.“Fajar. Maafkan umar. Dia hanya butuh waktu saja. Lambat laun, dia juga pasti bisa menerima kehadiranmu sebagai papahnya.” Miranti menyentuh lenganku dan mencoba menghiburku.“Aku mengerti. Tidak apa-apa.”  membalas dengan mengusap lembut lengannya.‘Oh ya. Aku mau mengobrol sebentar dengan ayahmu.”“Iya.”“Kau mau berbicara denganku?”“Iya Om.”‘Ayo kita masuk saja.”Kami beriringan masuk ke dalam ruang kerja ayah mertuaku. Yang akan aku obrolkan sangat rahasia. “Ada hal penting apa?” tanya Om Dirwan dengan tidak sabar saat kami baru saja duduk di sofa.“Handoyo sudah di tangkap. Namun dia memakai jasa Fredy silalahi. Om pasti mengenalnya’kan? hampir sembilan puluh kasus besar berhasil dia menangkan walau dengan jalan kotor. Aku takut Handoyo bisa bebas.”“Fajar. Kau bukan pengacar kemarin sore. Tak usah kau ketakutan seperti itu. Sudah jelas dia bersalah. Yang penting kumpulkan semua bukti yang mengarah kepadanya. Kau tenang saja. Nanti aku dan Surya yang akan mengurusnya. Aku pastikan dia akan membusuk dalam penjara.”“Jujur saja yang aku khawatirkan adalah keselamatn Miranti dan anak-anaknya. Apalagi tadi aku lihat Arya datang ke kantor polisi. Mereka pasti punya rencana jahat.”“Kamu tak perlu risaukan itu. Nanti aku yang ururs semuanya. Apalagi Arya. Gampang membuang tikus kecil yang tak berguna seperti dia. Sudahlah, kau’kan pengantin baru. Tak perlu memikirkan hal yang membuat pusing. Nikmati saja bulan madumu.”‘Boro-boro mikirin bulan madu, Om. Masalah ini saja sudah membuat pusing.”“Tak usah di bikin pusing. Tunggu sebentar. Aku ada kejutan untukmu.”Ayah mertuaku melangkah menuju laci meja kerjanya. Lalu mengambil amplop berwarna coklat dan menyerahkannya kepadaku.“Ini untukmu.”“Apa ini, Om?” tanyaku sambil melihat amplop tebal yang ada di tangan.‘Istriku sudah mengurus keperluan untuk bulan madu kalian ke turkey selama dua minggu. Kalian bisa bersenang-senang disana. Tiket dan segala yang di perlukan sudah ada di situ.”“Bulan madu?! Bagaimana mungkin kami berbulan madu dengan meninggalkan masalah yang belum terselesaikan? Miranti juga pasti menolak.”“Kalian perlu refreshing. Kau sudah banyak membantu keluarga kami. Sudah saatnya kau bersenang-senang dan melupakan semua urusan di sini. Biar nanti Om yang urus semua.”‘Tapi Om bagaimana dengan urusan Handoyo juga asset Miranti yang jatuh ke tangannya. Semua belum terselesaikan.”“Kau percaya padaku?”“Iya.”Ya sudah. Pergilah. Aku janji saat kau tiba di sini, semua maslah sudah terselesaikan.”“Baik, Om. Terimakasih.” memeluk ayah mertuaku erat. Memang benar. Aku sudah sangat lelah dengan masalah yang datang bertubi-tubi. Aku juga ingin melalui hari-hari tanpa masalah walau hanya sejenak.Aku sangat berterimakasih kepada ayah dan ibu mertuaku. Mereka benar-benar memikirkan kebahagiaan menantu dan juga putrinya. Dan berjanji akan menjaga putrinya sepanjang hidup.***Aku dan istri sudah tiba kembali di indonesia. Dua minggu berbulan madu masih terasa kurang bagiku. Hari-hari berlalu begitu cepat. Ingin rasanya lebih lama lagi di sana. Namun istriku menolaknya dengan alasan sudah kangen dengan anak-anaknya. Aku memahaminya.Oh indahnya berbulan madu. Tak pernah sedetikupun kami berpisah kecuali kalau ke kamar mandi. Tangan kami selalu bertautan kemanapun kami pergi. Saling memadu kasih di peraduan yang sangat istimewa selalu mewarnai hari-hari kami. Indah sungguh indah.Andai saja istriku masih punya rahim, aku pasti berharap segera berkembang benihku dalam rahimnya. Sesak dada ini kala mengingatnya. Kami tiba di rumah. Alangkah terkejutnya dengan kondisi saat ini. Siapa yang menghias sedemikian rupa. Dan siapa pula yang mau mengadakan acara di rumahku tanpa seijinku. Berani sekali dia. “Fajar. Siapa yang mau hajatan? “ tanya Miranti masih tak percaya.“Ya mana aku tahu. Kita’kan sama-sama baru pulang.”“Kamu gak bohong’kan kalau rumah ini rumahmu? Bukan milik orang lain?”“Sumpah, Mir. Ngapain juga gue bohongin Lo. Gak ada gunanya. Gue bukan Arya! Ngerti lo!” jawabku dengan kesal sembari turun dari taxi.“Ya tapi siapa yang mau ngadain acara di rumah ini? Lo jangan bo’ong lagi deh. Jujur aja ini rumah siapa?” Miranti mencoba menghentikanku dengan menarik lenganku.“Iih, lo jangan ngeselin deh. Kalo gak percaya, ya udah. Gak usah pake nuduh gue bo’ong segala!” jawabku dengan kesal.Lelaki mana coba yang tidak kesal saat di tuduh membohongi istrinya soal rumah.. “Ya terus gimana ini, aku bingung.”“Sudahlah, ayo kita masuk. Security juga pada kemana lagi. Gak ada apa orang yang bisa ditanyain. Pada makan gaji buta aja.” gerutuku sambil masuk ke dalam rumah. Heran gak ada siapapun di dalam.“Bibi. Kemari cepat!”Aku berteriak dengan kesal.“Jangan teriak-teriak. berisik!” “Teriak aja gak ada yang dateng. Gimana kalau ngomongnya pelan kayak elo! Huch kesel gue!” Sumpah. Rasanya kesal dan ingin meluapkan amarah. Tapi kepada siapa. Asisten rumah tangga dan semua pekerja di rumah tak nampak batang hidungnya satupun. Apa aja sih kerja mereka. Percuma bayar mahal kalau tak becus dalam bekerja. Huch. Menyebalkan.  82. KENA JEBAKAN“Kejutan.”Tiba-tiba aku dikejutkan oleh mamah, ibu, ayah mertua dan juga anak-anak Miranti. Mereka muncul dari arah dapur.“Apa-apaan sih. Gak lucu tahu’gak” sungutku.“Hey anak nakal. Jangan begitu. Yang sopan sama orangtua!” mamah menjewer kuping hingga aku mengaduh kesakitan.“Lepasin. Mamah nih bikin malu aja.” Aku tak berani melepas tangan Mamah. Seperti inilah kebiasaannya.  Mungkin dalam pikirannya aku ini masih bocah ingusan yang suka pipis di celana. Huch. Menyebalkan.“Aku sekarang’kan sudah jadi ayah. Malu sama mereka.” Bisikku di telinga mamah.Wanita yang melahirkanku tersenyum mengejek, lalu mengacak rambutku. Untungnya tanpa harus memintanya lagi, tangannya kini berpindah ke pundak dan mengelus dengan lembut.“Mamah bahagia kalian pulang tepat waktu.” Mengecup keninng dengan lembut. Terlukis wajah kebahagiaan dari wajah wanita yang sangat kusayangi.“Semoga kejutan dari kami, akan membuatmu bahagia, sayang.’“Kejutan apa?” aku mengerutkan kening tanda tak mengerti.“Apa kau masih tidak mengerti dengan di hiasnya rumahmu sedemikian rupa?!”“Nah ini yang jadi masalah. Miranti tadi nuduh aku berbohong kalau rumah ini bukan milikku gara-gara ini.” Aku menunjuk halaman rumah yang sudah terpasang kursi dan juga dekorasi pengantin. Semua sudah tertata rapi dan sempurna. Bukannya jawaban yang kudapatkan, malah mereka menertawakanku.Kini, ibu mertua mendekati ke arahku. “Kami sudah mempersiapkan pesta pernikahan kalian walaupun sederhana. Sengaja kami tidak memberitahu. Walaupun kami semua deg-degan saat kau menginginkan untuk  menambah waktu bulan madu kalian. Untungnya cucuku bisa membujuk Mamahnya untuk pulang tepat waktu.”Hmm. Aku mengerti sekarang. Makanya istriku bersikeras untuk pulang. Ternyata anak-anak  yang jadi alasannya. Atau jangan-jangan, Miranti juga sudah tahu rencana ini.Menoleh ke arah istri yang tersenyum simpul. Aku yakin ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.“Mir. apa kamu sudah tahu?” tanyaku kepadanya.“Iya.” Jawabnya dengan tersenyum.“Iih, kenapa tadi lo nuduh gue bo’ong?! lo ngerjain gue ya?”Aku mendekat ke arah istriku. Namun dia segera menghindar dan bersembunyi di balik punggung mamah. Benar-benar membuatku kesal dan segera ingin menghukumnya. Beraninya dia ngerjain suami.       “Sudah, cukup! Sekarang kalian istirahatlah. Acara di mulai selepas isya. “ Mamah menghentikanku. Aku mengalah. Awas ya nanti kalau ketemu di kamar. Aku beri hukuman yang special untukmu istri tersayangku.*** MIRANTIAku masih duduk di depan cermin walau sudah selesai berdandan. Gaun berwarna off white yang melekat di tubuh juga mahkota yang bertahta di kepala membuatku bak putri istana. Malam ini adalah malam special yang akan menjadi sejarah kehidupnku bersama suami yang sangat kucintai.Seharusnya aku bahagia. Namun entah kenapa, aku merasa gelisah. Seolah akan ada sesuatu yang terjadi. Entah apa, aku tak tahu. Belum pernah merasa cemas seperti ini sebelumnya. Jantungku juga berdegup sangat kencang. Mencoba meraba-raba apa yang akan terjadi. Sayangnya tidak bisa. Bahkan otakku terasa tumpul. Tak mampu berfikir apapun. Semua orang yang aku sayangi, ada di rumah dengan pengamanan yang begitu ketat. Rasanya tak mungkin terjadi apapun dengan mereka. Bahkan aku memastikan sendiri sekitar tigapuluh menit yang lalu, semuanya baik-baik saja. Kenapa masih merasa tak tenang. Drtt, drrt. Meja rias terasa bergetar. Melirik ke arah ponsel yang berkedip.Muncul nomor tak di kenal pada layar. Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang. Sepertoi ada sesuatu ancaman. Terasa ragu untuk mengangkatnya. Sejenak aku hanya bergeming sembari memperhatikan ponsel yang masih berada di meja. Nomor tak lagi muncul di layar. Artinya si penelpon sudah mematikannya. Aku bernafas lega. Namun entah mengapa dadaku terus bergemuruh. Terasa ada sesuatu yang mendorongku untuk mengambil ponsel dan menanti telpon kembali.Apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku. Kenapa dalam dada seperti terselip rasa penyesalan karena tak segera menerima panggilan dari nomor misterius itu.Penasaran dan segera mengambil ponsel. Sedetik kemudian, aku mengutak-atik ponsel untuk memastikan nomor tersebut. Ada lebih dari sepuluh kali anggilan. Rasanya aku mengenal nomor ini. Tapi milik siapa. Kenapa otakku terasa buntu untuk mengingat.Kling. Aku dikejutkan oleh bunyi pesan. Hampir saja ponsel terlempar saking kagetnya.Segera kubaca pesan masuk. Tunggu, nomor ini sama dengan panggilan yang tadi. Tak ingin mati penasaran, segera membukan pesan.{Datang ke gedung kosong yang ada dekat pantai. Jangan bawa siapapun kalau anakmu mau selamat}Deg, jantung terasa berhenti berdetak. Tulang belulang terasa lepas dari raga. Tubuh lemas seketika. Dadaku naik turun menahan sesak nafas. Tanganku gemetar. Apa ini benar adanya ataukah ada orang yang hanya ingin mengerjaiku.Tidak. Firasatku mengatakan kalau ini nyata. Anakku sedang dalam bahaya. Firasat seorang ibu takkan pernah salah. Lalu apa yang harus kulakukan.Mencoba membalas walau dengan tangan gemetar. Dan belum selesai aku mengetik, kembali satu pesan bergambar masuk. Tanpa menunggu lama segera membukanya. Aku menutup mulutku yang menganga lebar. Benar-benar tak percaya saat melihat putraku sedang bersama Arya. Apa yang akan dilakukan olehnya. Benarkah dia tega melukai anaknya sendiri demi membalas dendam kepadaku. Benar-benar lelaki pengecut.Saat aku kembali mengetik pesan, panggilan video dari nomor tersebut masuk. Aku segera menerimanya.Terlihat Arya sedang bersama yusuf. Walau terlihat baik-baik saja, tapi hatiku tetap tidak tenang. “Arya kau ....”“Sst, jangan berisik!”Seketika kamera mengarah kepada si pemegang ponsel. Alangkah terkejutnya saat melihat siapa yang menelponku.“Handoyo?!” aku menutup mulut yang menganga lebar. Tak percaya dengan pandanganku. Bagaimana mungkin dia berkeliaran di luar. Bukankah seharusnya ada dalam penjara.“Iya, ini aku, putri Dirwan! Kau pasti terkejut’kan melihatku? Ha ... ha ... tak usah terkejut. Aku sudah bilang pada suamimu, uangku bisa membeli hukum dimanapun!”“Apa yang kau inginkan dariku?! Tapi tolong jangan sakiti anakku!” “Ha ... ha .... aku suka dengan caramu yang to the point. Sama persis seperti ayahmu yang menyebalkan. Oke, aku tak mau membuang waktu. Suamimu, pernah menantangku. Dia bahkan sumbar akan membuatku membusuk dalam penjara! Kini aku akan membuktikan kepadanya kalau aku lebih hebat darinya! Cepat datang kesini dalam waktu limabelas menit kalau ingin anakmu selamat!”“Oke. Tolong, jangan sakiti anakku. Dan berikan ponselmu pada Arya! Aku ingin berbicara padanya!”“Tidak! Datang sekarang atau anakmu mati! Ingat jangan bawa apapun dan siappun! Termasuk pensel!”Klik. Panggilan dimatikan secara sepihak.Menjatuhkan diri ke lantai dan menumpahkan kesedihan. Aku tak tahu harus berbuat apa.untuk menyelamatkan putraku. Hati terasa teriris. Pria itu pasti bisa melakukan apapun kalau aku tak segera menurutinya. Tapi bagaimana aku meminta ijin. Tak mungkin tidak ada pertanyaan dari mereka dengan alasan kepergianku. Ya Alloh, berikan petunjuk kepada hamba.“Sayang, kamu kenapa?” tanpa kusadari fajar sudah ada di belakangku. Dia pasti sangat khawatir melihatku. Tangannya memelukku erat.Segera menghapus airmata. Tak ingin suamiku melihat kesedihan dimataku. Aku harus bersikap biasa supaya tak ada kecurigaan. Menepis lengan Fajar yang berusaha membantuku untuk berdiri. Aku tak ingin dia tahu kecemasanku. Berusaha berdiri walau kaki terasa goyah.“Aku tidak apa-apa.” Jawabku sembari memaksakan diri untuk tersenyum.“Jangan bohong. Aku tahu kau sedang memikirkan sesuatu. Aku sangat mengenal dirimu.”“Aku tidak apa-apa. Percayalah.” Mencoba mengelus pipi suamiku walau jemariku masih bergetar.“Tak mungkin tak ada sesuatu sampai kau duduk di lantai. Dan tanganmu juga gemetar. Ada apa, katakan padaku.”“Benar aku tidak apa-apa. Aku hanya ... masih kecapean. Kita’kan baru pulang tadi. Dan aku merasa tubuhku letih dan lemas.”“Apa perlu panggil dokter? Atau kita batalkan saja acaranya. Aku tak ingin terjadi apa-apa denganmu.”Suamiku terlihat begitu khawatir. Ini tak boleh terjadi. Bisa-bisa dia akan memperketat penjagaanku. Hal ini akan merugikan diriku yang takkan bisa menyelamatkan yusuf.‘Tidak mungkin. Semua tamu sudah hadir. Kau keluarlah dulu. Nanti aku menyusul.” Pintaku kepadanya. Aku tak punya waktu banyak dan harus segera sampai kesana.“Tidak. Aku takkan keluar tanpamu. Aku akan katakan kalau kau tidak sehat. Mereka tetap bisa menikmati hidangan yang ada.”‘Fajar, tolong mengertilah. Keluarlah dulu, nanti aku menyusul. Tolong. Aku mohon.”Aku terus memohon kepadanya. Ingin sekali bercerita apa yang sedang terjadi. Mengingat ancaman dari pria tambun itu membuat nyaliku menciut. “Kau yakin?” tanya suamiku kembali. Dia bahkan melihat ajahku dengan seksama. Lebih tepatnya meneliti adakah kebohongan yang terlukis dari mataku.Aku membuang muka untuk menyembunyikan kenyataan.“Iya. Cepatlah.”Hening. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut suamiku. Jantungku kian gemetar. Fajar bukan orang yang bodoh. Dia pasti akan terus mencecar dengan pertanyaan yang akan membuatku terpojok.Melirik ke arah jarum jam yang terpasang pada dinding. Sudah lima menit berlalu dari waktu yang di tentukan. Waktu yang tersisa hanya tinggal sepuluh menit. Rasanya mustahil untuk sampai kesana dalam waktu sependek itu. Walau gedung itu tak terlalu jauh, tetap saja tak mungkin secepat kilat untuk mencapai ke sana.“Mir. Kamu yakin baik-baik saja?” tanya suamiku kemudian.“Iya. Aku baik-baik saja. Cepat pergilah! Aku tak punya waktu lagi.” “Tak punya waktu?! Untuk apa?! Katakan ada apa sebenarnya?!”Suamiku mulai curiga. Apa yang bisa kulakukan untuk membuatnya pergi. Kalau sampai lima neit lagi dia masih di sini, bisa bahaya. Nyawa anakku menjadi taruhannya.Aku harus segera mengusirnya keluar dari kamar. Aku tak peduli dia akan marah. Keselamatan yusuf lebih penting dari segalanya.Disaat yang sangat genting, mamah mertua datang dan memberitahu bahwa ada salah satu klient bisnisnya yang istimewa datang. Mamah meninta fajar untuk segera menemuinya.“Miranti, aku akan keluar sebentar. Ingat, jangan kemana-mana sebelum aku datang. Kau mengerti?!”Aku menganggukkan kepala. Alhamdulillah, pertolongan Alloh datang.  Setelah suamiku keluar aku harus segera meninggalkan rumah. Sayangnya, fajar mengunci pintu dari luar.Melihat ke arah jendela. Ya. Aku bisa keluar lewat sana.Gaun ini menyulitkan pergerakanku. Tapi tak ada waktu untuk mengganti pakaian. Tak masalah. Aku akan tetap bisa sampai kesana walau dengan pakaian yang seribet ini.Maafkan aku suamiku yang tak jujur untuk kali ini. Maafkan aku juga karena akan membuat orang-orang yang sudah mempersiapkan acara ini akan menanggung malu karena ketidak hadiranku. Aku bahkan tak sempat meminta maaf kepada mereka.Aku tak mengerti nasibku setelah ini. Apakah bisa selamat atau tidak. Aku rela jika harus mengorbankan nyawa demi anakku. Setidaknya orang-orang akan mengingatku sebagai seorang ibu yang rela mati demi anaknya. Aku siap untuk itu. 83. masuk kandang macanARYAPlaak. Satu tamparan keras mendarat di pipi saat aku memohon untuk membatalkan rencana jahat Handoyo. Aku bahkan sudah berusaha merendahkan diri dengan mencium kaki Handoyo dan juga istriku. Kalau saja bukan karena keselamatan putraku dan mantan istri yang pernah kusakiti, aku tak sudi untuk mencium kaki manusia tak berperasaan dan juga istri yang tak punya harga diri. Menyesal aku sudah meninggalkan istri sebaik Miranti.“Asal kau tahu, Arya. Aku juga sudah muak denganmu! Kau sudah tidak aku butuhkan lagi! Kini balas dendamku akan terbalaskan. Saat anak dari musuh terbesar sudah berada di genggaman, kau akan kuhabisi setelah mereka! Tapi terlebih dahulu, kau harus menyaksikan penderitaan anak dan mantan istrimu! Mereka semua akan aku habisi di depan matamu! Ha ... ha ....” Handoyo menendang tubuhku. Rasa sakit di sekujur tubuh berusaha kutahan, aku harus tetap memohon kepada iblis yang ada di hadapan. Tak peduli dengan hukuman yang akan diberikan kepadaku. Walau harus mati di tangannya, aku rela. Demi menebus dosa-dosaku kepada Miranti dan anak-anak. Stefani. Wanita itu tertawa gembira melihatku dianiaya oleh pria biadab itu. Ingin sekali menampar dan menghajarnya. Semoga saja Tuhan memberikan waktu sebelum ajalku tiba untuk bisa membalas sakit hati kepada Stefani dan juga Handoyo.“Dasar pria bodoh! Sudah miskin masih saja belagu! Aku benar-benar malu pernah punya suami seperti dirimu!” “Tutup mulutmu Stefani! Aku juga menyesal sudah menikah dengan gadis tak bermoral sepertimu! Miranti seribu persen lebih baik darimu. Aku sangat menyesal telah meninggalkan dia dan anak-anakku! Dan ingat, sampai saat ini kau masih jadi istriku. Walau aku juga jijik kepadamu karena kau bekas bandot tua itu!” emosiku mulai meledak. Aku bahkan tak peduli lagi dengan si bandot tua yang masih berada di hadapan. Apapun yang akan di lakukannya setelah ini, tak kupikirkan lagi. “Jaga mulutmu, Arya! Beraninya kau menghinaku dan juga stefani! Apa kau mau aku habisi’hah?”“Aku benci kamu, Arya. Aku benci! Sayang, bawa dia menjauh dari kehidupanku selamanya!”“Tenang saja. Aku pasti lakukan itu. Tapi tidak sekarang. Bersabarlah, sayang. Kau akan menyaksikan dulu bagaimana lelaki yang menghinamu ini akan merasakan akibatnya. Dia akan tersiksa menyaksikan anak-anaknya akan menangis menyaksikan wanita yang melahirkan mereka ternoda. Aku sudah merencanakan semua dengan sempurna. Kau tinggal tunggu saja. Permainan menyenangkan akan terjadi!”Darahku mendidih mendengarnya. Ingin rasanya menyumpal mulut busuknya. Bukan aku tak berani untuk melawannya. Anak buahnya ada di mana-mana. Dengan mudah mereka akan menghabisiku. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk membalasnya. Putraku yang di sandera ada di sini. Kalau aku mati, siapa yang akan menjaganya. Mungkin nanti, aku bisa meminta bantuan kepada para putraku untuk menghancurkan musuh kakeknya.“Kenapa tidak sekarang saja kau bunuh dia, sayang?! Mataku lebih baik terpejam daripada masih melihat dia ada di hadapanku!” ucapan stefani benar-benar membuatku kesal. Lagi-lagi emosi yang meledak di dada membuatku ingin menyerangnya. Tanganku mengepal menahan amarah.Menghela nafas panjang untuk mengurangi amarah dalam dada. Aku harus bisa menahan emosi demi keselamatan anak-anakku.“Sabarlah! Penjaga! Bawa dia masuk! Satukan dengan anaknya! Dan ingat jangan sampai dia kabur atau kalian akan mati!”Dua orang berbadan tinggi besar menyeret tubuhku d an membawa masuk ke dalam ruangan yang sangat pengap. Tak ada cahaya karena pintu tertutup dengan rapat. Gedung ini sudah lama kosong. Bangunan yang terbengkalai tanpa terawat. Dalam keadaan gelap, aku mencari-cari yusuf. Dia pasti sangat ketakutan ditinggal sendirian dalam ruangan ini.Tak ada sedikitpun cahaya yang masuk. Seluruh jendela dan pintu tertutup dengan rapat. Ponselku juga di sita oleh bandot tua. Entah dia gunakan untuk apa.“Yusuf. Ini papah, Nak. Kamu di mana?!” seruku supaya putraku mendengar.“Papah, Arya! Aku di sini. Aku takut, pah!” Suaranya yang disertai tangisan dari arah kanan. Aku berjalan sangat berhati-hati. Barang-barang di sini sudah sangat lapuk dan mudah rusak. Setahuku, di sini banyak barang pecah belah. Kalau tak hati-hati, bisa-bisa memecahkan salah satu diantaranya dan membahayakan putraku.“Ulurkan tanganmu, Nak. Bicaralah, supaya papah tahu jarak antara kita masih jauh atau tidak.” Menyibak satu persatu halangan yang ada di depan mata. “Papah, Yusuf takut.” Dia terus menangis ketakutan.“Jangan takut, sayang. Papah segera datang.”Suara puraku sudah dekat. Tanganku terus menyingkirkan apapun yang menghalangi langkah. Tanpa sengaja aku hampir saja menepis lengan mungil putraku. Untung saja dia bersuara. Kalau tidak, mungkin tanpa sengaja aku sudah melukainya.“Papah!”‘Yusuf, anakku!”Kami berpelukan erat. Yusuf menumpahkan tangis di dada. Kudekap erat tubuh mungilnya dan mengecup keningnya berkali-kali.. Entah kapan terakhir aku memeluknya. Bahkan saat kami masih tinggal satu rumah saja, aku jarang melakukannya. Sifat egois yang muncul semenjak hadirnya stefani, menimbulkan jarak antara aku dan putra-putraku.Baru kini setelah semua terjadi, aku sangat menyesalinya. Tak bisa memeluk anak-anak walau dengan jarak yang mudah di tempuh,  membuat hati terluka bak di iris oleh ribuan pisau. Aku harus berusaha membuat Yusuf tenang. Setelah itu, aku akan mencoba mencari jalan keluar.Tubuh Yusuf terasa berat. Ternyata dia tertidur. Kutatap wajah polosnya dengan hati tersayat. Kasihan, gara-gara kesalahanku dia harus terlibat dalam urusan balas dendam si handoyo. Aku bahkan tak tahu kalau ternyata anak buah Handoyo sudah memperdaya putraku dengan berpura-pura akan mempertemukan denganku.Memang benar, kami bertemu. Tapi sayangnya dengan suasana yang tak kondusif seperti ini.Membaringkan tubuh putraku dengan alas kardus seadanya. Setidaknya dia bisa beristirahat sejenak. Dengan begitu, aku akan memikirkan cara untuk bisa keluar dari sini membawa Yusuf. Akan kuantarkan dia pada mamahnya dan memperingatkan akan bahaya yang mengancam dirinya. Mungkin dengan begitu, aku bisa sedikit mengurangi dosaku kepada mantan istriku. ***MIRANTIAku turun dari ojek dan melepas alas kaki. Awalnya tukang ojek melarangku turun karena tempat ini begitu sepi, bahkan di gedung tua itu dikabarkan angker. Aku tak peduli dengan apa yang dikatakan olehnya. Keselamatn putraku lebih dari segalanya. Baju pengantinpun masih melekat di tubuh. Tak sempat untuk mengganti pakaian. Dengan susah payah aku bisa keluar dari rumah lewat pintu belakang.Awalnya orang juga aneh melihatku keluar menggunakan baju pengantin. Bahkan tukang ojek yang berada di pangkalan juga ada yang lari mengira aku kuntilanak. Setelah aku berusaha meyakinkan, salah satu dari mereka mau mengantarku.Meraba kepala. Tak terdapat mahkota di sana. Entah di m ana. Aku tak sengaja menjatuhkannya. Biarlah. Toh aku tak membutuhkannya lagi.Meninggalkan alas kaki di sembarang tempat. Tak tepat untuk menggunakan sepatu dengan hak tinggi. Hanya akan mempersulit gerakku.Berjalan mengendap-endap bak seorang pencuri. Saat ini aku tak berada jauh dari gedung tua di mana tempat anakku di sekap. Arya, aku yakin dia ikut terlibat dalam penculikan ini. Tega sekali kau menggunakan putra kandungmu sendiri sebagai umpan. Awas saja kalau sampai terjadi sesuatu dengannya, akan kubalas kau dengan tanganku sendiri. Upps. Aku merasakan ada yang membekap mulutku. Berusaha melepaskan diri. Namun tenaganya lebih kuat dariku. Bukannya berhasil, tapi pria tinggi besar itu  menggendong tubuhku masuk ke gedung tua. Awalnya tempat ini begitu gelap. Secara tiba-tiba lampu menyala walau tak begitu terang. Mataku membulat saat melihat orang yang berdiri di hadapan.“Handoyo?! Stefani?!” aku benar-benar terkejut melihat pria yang seharusnya ada di dalam penjara. Melarikan dirikah atau memang uangnya yang berbicara. Dan istri Arya, kenapa dia bersikap menjijikkan seperti itu. Dengan bergelayut manja dan saling mengecup pipi. Iih, menjijikkan sekali. Lalu kemana Arya. Apa sebenarnya yang terjadi. Mataku mengerjap kala stefani menjentikkan jemari di depan mataku.“Iya ini aku. Kamu kenapa melihat kami seperti melihat hantu? Kau pasti iri’kan melihatku yang bisa dapat pria kaya seperti sayangku ini. Hmm.” Stefani mengecup pipi si tua itu. Entah kenapa aku merasa mual melihatnya. Kok ada wanita yang dengan mudah lari dari satu pelukan lelaki ke lelaki lain dengan begitu cepat.“Kau pasti penasaran’kan dengan hubunganku dengan Arya?! Sekarang ini dia ....”“Aku tak tertarik dengan cerita dari wanita liar sepertimu! Sekaang katakan di mana kalian menyembunyikan putraku?!” aku memotong ucapan gadis binal itu. Sama sekali tak penting mendengar ceritanya.“Kau juga akan tahu nanti. Dan rencana dahsyatku untukmu, Asmara miranti!”“Cukup Stefani! Jangan katakn apapun padanya! Biar ini menjadi kejutan untuknya. Rencana itu akan kita mulai setelah kedatangan suami, ayah dan juga anak-anaknya. Akan aku lumpuhkan mereka dan menyaksikan sendiri suatu kejadian yang tak bisa dilupakan seumur hidup mereka! Itupun kalau mereka masih bisa keluar dalam keadaan hidup!” seru Handoyo kepadaku. Terlihat kilatan api dari bola matanya.“Jangan libatkan mereka dalam hal ini! Hadapi saja aku! Aku pastikan mereka tak tahu kalau aku datang kesini, sesuai keinginanmu! Jadi cepat serahkan yusuf padaku!”“Putri Dirwan, ternyata kau itu tak sepintar suami dan ayahmu! Aku sengaja menyuruhmu untuk meninggalkan ponselmu supaya mereka bisa melacak keberadaanmu. Aku pastikan tak lama lagi, mereka akan sampai di sini! Semua sudah aku persiapkan dan sesuai dengan rencanaku!”Aku terkejut mendengar ucapannya. Kenapa aku tak bisa membaca rencananya. Mungkin karena kepanikan, membuatku tak berpikir jauh.“Bawa dia pergi! Satukan dengan anaknya!”“Tidak! Lepaskan aku!”Aku berusaha membebaskan diri. Namun tubuhku yang kecil, tak mampu melawan kekuatan dua orang pria berperawakan besar. Kini aku sudah berada di dalam ruangan yang gelap dan pengap. Uhuk, uhuk. Tempat ini penuh dengan debu. Aku sangat alergi dengan debu. Bisa-bisa aku mati karena sesak nafas kalau terlalu lama di sini.“Siapa itu?!”Deg, jantungku terasa berhenti berdetak. Aku sangat mengenal suara itu. Arya. Ya, dia ternyata ada di sini.Tanganku mengepal menahan amarah. Meraba-raba untuk mengambil sesuatu yang ada untuk melumpuhkan pria biadab itu. Tak peduli apapun yang terjadi setelah ini. Kalaupun  harus membunuh Arya, akan aku lakukan. Bagiku keselamatan Yusuf di atas segalanya.“Siapa di situ?!”Kembali mendengar suara Arya. Tetap tak bersuara sampai menunggu waktu yang tepat. Bismillah, Ya Alloh berilah aku kekuatan untuk melawan pria yang tega menculik anaknya sendiri. Semoga akulah yang jadi pemenangnya dan berhasil menyelamatkan putraku. 84. BANTUAN ARYA“Aw.” Aku mengaduh saat tanpa sengaja menendang sesuatu yang membuat lutut sakit. Pada saat masih kesakitan sembari memegangi lutut, tiba-tiba ada yang menarik kayu di tangan dengan keras hingga membuatku kembali mengaduh.“Aw. Sakit.”“Miranti?! Benar itu dirimu?!”Aku menegakkan kepala. Arya sudah mengetahui keberadaanku. Gigi gemerutuk menahan amarah melihat pria yang tak pantas menyandang sebutan ayah. Tak mungkin hanya berdiam diri. Arya harus merasakan akibat dari perbuatannya. Mundur beberapa langkah sembari tangan menggapai apapun yang bisa kujadikan alat untuk melindungi diri.Krompyang. Suara benda yang berjatuhan saat tanganku berusaha menggapai sesuatu yang ada di sana. Sialnya aku tak tahu kalau di belakang terdapat banyak tumpukan benda. Tempat yang begitu gelap, benar-benar membuatku kesulitan.“Miranti! Kau tidak apa-apa’kan? hati-hati. Pegang tanganku!” Kurangajar sekali dia beraninya menyuruhku untuk memegang tangannya. Gayanya yang sok perhatian sangat tidak kusuka. Apa dia lupa kalau aku sudah bukan istrinya lagi.Aku harus berhati-hati. Manusia licik ini tak boleh tahu keberadaanku sebelum menemukan benda untuk menyerangnya.“Papah di mana?! Aku takut!” Itu suara Yusuf. Dia juga berada di sini. Aku harus bergerak cepat untuk menyelamatkannya.‘Iya, sayang. Tunggu, jangan kemana-mana. Papah kesitu sekarang!” terdengar teriakan Arya yang berada tak jauh dariku. Tak boleh kalah cepat olehnya.Ada sedikit celah cahaya yang memperlihatkan Arya berada hanya beberapa langkah di depan. Segera berlari dan menarik pakaiannya dengan keras. Namun kekuatanku tak ada artinya. Dia tidak terjatuh.“Dasar biadab kamu! ayah macam apa yang tega menculik dan berani mengorbankan putranya demi keegoisanmu!” aku memukuli punggungnya dengan keras. Arya membalikkan badan dan memegangi tanganku. Satu tangannya lagi membekap mulutku.“Diam Miranti. Jangan keras-keras bicaramu. nanti Yusuf dengar.” Ucap Arya setengah berbisik. Aku tak peduli dan terus memberontak.“Papah, aku takut!” kembali terdengar suara yusuf yang menangis ketakutan. Dengan sekuat tenaga aku berusaha melepaskan diri. Namun tenaga Arya terlalu kuat untuk dikalahkan.“Kau sudah salah sangka. Aku tidak menculik Yusuf. Bukan aku yang membawanya ke sini. Melainkan anak buah Handoyo. Percayalah padaku.”Kugigit tangannya hingga terlepas dari mulutku.“Aku tidak percaya kepada lelaki sinting sepertimu! Awas ya, aku akan melaporkanmu ke polisi dan kau akan membusuk di dalam penjara!” teriakku kepadanya.“Mamah! Mamah di mana?! Yusuf takut ....”“Mir. Percayalah padaku. Aku sudah menyadari kesalahanku. Tak ada niat sedikitpun untuk menyakitimu dan juga anak-anak kita.”“Aku tidak percaya! Lepaskan aku!” teriakku kembali dengan sekuat tenaga mencoba melepaskan diri dari genggaman tangan Arya.“Kau tenang dulu, baru aku akan melepaskanmu. Setelah itu aku akan memberitahumu tentang rencana jahat stefani dan juga Handoyo kepadamu. Aku janji akan membantumu dan Yusuf untuk keluar dari sini, meskipun nyawaku taruhannya.”Aku terdiam. Entah mengapa aku seperti melihat ketulusan dalam ucapannya. Tapi benarkah seorang Arya dengan secepat itu berubah. Rasanya tidak mungkin. Setidaknya aku coba mendengarkan dulu apa yang akan disampaikan olehnya.“Oke. Aku akan mendengarkanmu. Tapi sebelumnya, kita harus temui dulu Yusuf untuk menenangkannya.” Arya segera melepas tanganku saat tak ada perlawanan.“Iya. Ayo pegang tanganku.” Arya mengulurkan tangan. Terselinap sedikit keraguan dalam hati. Dia bukan suamiku. Bagaimana kalau fajar melihatnya, dia pasti akan menuduhku telah berselingkuh. Aku tak ingin ada kesalahpahaman antara kami.“Percayalah. Aku tak punya maksud jahat. Demi anak kita, peganglah tanganku, supaya kau tak terjatuh.”“Baiklah.” Mencoba menepis keraguan dan meraih tangan Arya. Ini pertamakalinya aku menyentuh tangannya semenjak bercerai. Ada rasa canggung, dan ... ah sudahlah. Aku tak boleh berpikiran macam-macam. Pada saat kami hendak melangkah, Terdengar pintu di buka dan lampu menyala. Suara tepukan tangan dan juga tawa yang memekakkan telinga dari arah pintu. Aku dan Arya menoleh ke arah suara. Handoyo dan stefani sedang berjalan menuju arah kami. Benar-benar menjijikkan melihat keduanya.‘Ha ... ha... benar-benar pandai menggunakan kesempatan dalam kesempitan ya kalian? ternyata kalian begitu rendah berusaha untuk melepas rindu padahal kalian sudah bercerai.” ejek Stefani membuatku murka. “Temani Yusuf. Tenangkan dia. Aku akan menghadapi wanita sinting ini!” menunjuk wanita berwajah  iblis yang ada di hadapanku.‘Tutup mulutmu! Aku bukan wanita rendah sepertimu yang hanya demi harta mau menjadi piala bergilir. Kau murahan, rendah dan hina di mataku!”“Kurangajar sekali kau!” Stefani mengangkat tangannya hendak memukulku. Namun aku berhasil menangkap tangannya dan memelintirnya hingga dia mengaduh kesakitan. “Aku bukan Miranti yang dulu, yang dengan mudah kau kalahkan! Demi anakku aku akan melakukan apapun termasuk dengan membunuhmu sekalipun!”“Lepaskan dia!” Handoyo menjambak rambutku dengan keras hingga membuat kulit kepalaku seperti mau lepas. Sakit sekali. Namun aku tetap tak mau melepas stefani. “Selama kau menjambak rambutku, selama itu pula aku akan memelintir tangannya. Aku tak peduli walau tulangnya patah sekalipun!” walau terasa sangat sakit, aku tak gentar dengan ancamannya. Demi nama baik Ayah, aku harus terlihat kuat di matanya.“Aach ...!” terdengar jerit Handoyo seiring dengan lepasnya rambutku dari genggamannya. “Aw!” belum sempat menyadari dengan apa yang terjadi, kembali terdengar jeritan Stefani. Kedua manusia itu jatuh tersungkur dengan memegangi kepala bagian belakang.“Cepat bawa Yusuf pergi sebelum mereka datang!”Menoleh ke arah Arya yang tengah memegang balok kayu. Rupanya dia yang sudah memukul para penjahat itu. Apa mataku tak salah melihat. Benarkah Arya melakukannya untukku dan juga Yusuf. Apa memang dia benar-benar sudah berubah. Tapi rasanya tidak mungkin.“Cepat Mir! Bawa Yusuf!” teriakan Arya membuyarkan lamunanku.‘I-iya. Kau sendiri?”“Aku akan tetap di sini menjaga mereka supaya tidak keluar!”“Lebih baik kita keluar saja bersama-sama!”“Cepat turuti perintahku sebelum anak buah Handoyo datang! Kau tak usah pedulikanku! Yang penting nyawamu dan Yusuf! Cepat pergi!”“Baiklah!”Aku bergegas menggandeng lengan Yusuf untuk membawanya pergi. Namun baru beberapa langkah aku keluar, anak buah Handoyo menghadangku dan kembali membawa masuk. Walau aku berusaha berontak, tapi tetap saja dua orang berbadan tinggi besar itu lebih kuat. Tak tega melihat Yusuf yang menangis ketakutan. Aku harus melindunginya.“Lepaskan anakku! Aku janji akan memenuhi perintah kalian!”“Penjaga! Bawa mereka masuk!”Terdngar teriakan Handoyo. Rupanya pria itu masih sadar. Tanpa menunggu lama, mereka membawaku dan Yusuf masuk ke dalam.Aku melihat Arya sedang di hajar oleh Handoyo. Dia memukuli Arya dengan balok yang tadi di gunakan Arya untuk memukulnya. “Papah!”“Hentikan!” aku tak kuat melihat mantan suamiku menjadi bulan-bulanan pria tak berperasaan itu. Apalagi Yusuf yang menjerit dan menangis ketakutan.  Ya Tuhan, bagaimana aku bisa menghentikan semua ini. Aku takut kejadian ini akan meninggalkan trauma yang mendalam pada putraku yang menyaksikan kekerasan ini.“Cukup Sayang! Jangan buru-buru kau menghabisinya! Aku punya rencana lagi yang lebih bagus!” ucapan stefani begitu membuatku geram.Seketika itu Handoyo menghentikannya. Dia menoleh ke arah Stefani. “Apa rencanamu?!”“Biarkan mereka di sini. Nanti begitu anak dan suaminya datang, kita akan menjadi kompor dengan mengatakan kalau Arya sedang berselingkuh dengan mantan istrinya itu. Dengan begitu, nanti bukan hanya Arya yang di hajar, tetapi wanita busuk itu juga babak belur dihajar oleh suaminya sendiri. Bagaimana? Rencanaku lebih bagus’kan?” Stefani bertepuk tangan sembari membusungkan dada. Dia terlihat sangat senang dengan rencana kejinya.“Aku lebih suka dengan rencana awal kita!” ucap Handoroyo dengan penuh penekanan.‘Tapi sayang ....”“Diamlah! Sekarang kita pergi!” Handoyo dan yang lainnya bergegas meninggalkan kami dengan menutup pintu rapat. Untungnya mereka lupa tidak mematikan lampu hingga aku bisa bergerak dengan leluasa.Setelah berhasil menenangkan Yusuf, aku bergerak ke arah Arya yang masih tertelungkup. Tubuhnya penuh luka. Benar-benar manusia kejam.“Arya, kau terluka. Mari aku bantu mengobatimu.” Aku duduk dan mencoba membantunya membalikkan badan. Arya merintih kesakitan. Aku sendiri tidak tahu dengan apa akan mengobatinya. Setidaknya aku bisa membersihkan lukanya terlebih dahulu.Menyapu ruaangan untuk mencari kain yang tak terpakai. Namun tak ada sehelai kainpun di sini. Sesaat aku terdiam dan mencoba berpikir.Gaun. Ya, gaun yang aku pakai sangat lebar. Aku bisa merobeknya untuk membersihkan luka Arya. Segera merobek di beberapa bagian. Lalu membersihkan luka Arya.“Mir. Lebih baik kamu pergi. Sebelum semuanya terlambat.’‘Tidak. kita akan pergi bersama. Suami dan anak-anakku pasti akan datang ke sini untuk menolong kita.”“Tapi kapan. Jangan sampai terlambat. Mereka punya encana yang sangat jahat untukmu.”“Rencana?”“Iya. Mereka akan menodaimu beramai-ramai di hadapan putra dan suamimu.”Aku tersentak. Tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Arya.“Kau tidak bohong?”‘Tidak! aku serius.”Tiba-tiba tubuhku gemetar dan terasa lemas. Tak mampu membayangkan musibah yang akan menimpaku. Sama sekali tidak menyangka kalau mereka punya rencana sekeji ini. Kenapa aku masih saja bodoh dan tak bisa membaca rencana buruk mereka. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan kehormatanku. Bagaimana caranya aku bisa keluar dari sini. Tolong aku Ya Alloh. Aku tak mau ini terjadi. Tanpa terasa airmata jatuh menetes di pipi.“Mir. Tenanglah. Aku akan membantumu keluar darisini.”“Kenapa mereka begitu jahat. Apa salahku.” “Handoyo dendam kepada suamimu karena telah menjebloskan dia ke dalam penjara. Karena itulah, dia ingin menghancurkan suamimu dengan menodai dirimu di malam resepsi pernikahanmu. Handoyo memang sangat keji. Aku juga menyesal telah bekerjasama dengannya. Aku mohon maafkan aku Mir. Karena kebodohanku kau jadi kena imbasnya.”Aku tak tahu harus berbuat apa. Hanya bisa menangis menyesali kebodohanku yang mudah terpancing oleh jebakan para penjahat itu. Bagaimana kalau aku terlambat diselamatkan.Aku merinding membayangkan kejadian buruk yang akan menimpaku. Memeluk kedua lutut dengan erat dan menumpahkan tangis. Aku sangat takut. Sangat takut.  85. BANTUAN DATANG“Jadi ini wanita yang akan membuat kami senang, Tuan?”‘Iya. Kalian aku bayar mahal untuk bersenang-senang. Bagaimana, aku orang yang sangat baik’kan?”“Sangat baik ha ... ha ....”“Dia bahkan masih menggunakan gaun pengantin yang sangat sexy. Bagian dadanya yang sedikit menyembul sangat menggiurkan. Membuatku segera ingin menyentuhnya. Ha ... ha ....”“Suaminya pasti akan menangis darah setelah melihat malam pertama istrinya bukan bersamanya, melainkan dengan kami bersepuluh. Ha ... ha ....”“Itu yang kuinginkan. Kalau kalian bisa melakukan tugas dengan baik dan memastikan suami dari wanita itu akan menangis darah, aku akan memberikan bonus untuk kalian ha ... ha ....”Aku berusaha menutup kedua telinga. Namun tetap saja percakapan mereka yang sangat mengerikan terdengar oleh kupingku hingga membuat tubuh menggigil. Walau Arya beusaha melindungi aku dan Yusuf dengan berdiri di hadapan, tetap saja aku merasa sangat ketakutan. Apalagi Yusuf, dia menangis histeris.“Sekarang. Laksanakan tugas kalian!” suara Handoyo menggelegar laksana petir yang menyambar. Tubuh terasa lemas dan tak bisa berbuat apapun. Jangankan melarikan diri, melangkah satu tapak saja, rasanya sulit kulakukan. Tubuh menggigil dan seperti terpaku.“Baik, Tuan. Kalau begini, kami bisa beradu mulut untuk menentukan siapa yang akan duluan. Rasanya tak rela kalau tubuh mulus itu harus terjamah oleh yang lain.”“Kalian lakukan bersama-sama saja! Tidak perlu mengantri! Dan itu akan menjadi pemandangan indah yang akan membuatku senang!” Stefani terlihat begitu gembira. ‘”Stefani! Tolong hentikan semua rencanamu! Terbuat dari apa hatimu, hingga tak ada belas kasih terhadap sesama perempuan! Bagaimana kalau ini terjadi kepadamu? Berfikirlah!” seru Arya yang mencoba membelaku. Dia bahkan rela mencela istrinya sendiri. Stefani memang keterlaluan. “Tidak bisa, Arya! Hal ini aku lakukan juga untuk membalas dendam kepadamu dan juga Umar! Aku ingin dia menyaksikan sendiri penderitaan wanita yang melahirkannya. Dia pasti merasakan sakit seperti diriku yang ditolak olehnya berkali-kali!”“Apa?! Kau pernah mencintai anakku?! Gila kamu!”“Ya. Dan wanita yang kau bela itu sudah menghinaku karena hal itu. Karena itulah aku dendam kepadanya dengan merebutmu darinya. Aku pikir kau kaya raya, tapi ternyata kau jatuh miskin dan kini seperti sampah bagiku!”Plaak. Tangan Arya mengayun dengan sempurna ke pipi Stefani. Wanita licik itu memegangi pipinya dan menatap dengan amarah yang membara. “Beraninya kau menamparku, Arya!”“Kau pantas mendapatkannya wanita murahan!”“Kau menyebutku apa?! Ulangi sekali lagi!”“Wanita murahan! Kau pantas menyandang gelar itu karena kau memang semenjijikkan itu!”“Cukup! Selesaikan masalah kalian nanti! Waktu kita tidak banyak! Aku tak mau kalau sampai rencana ini gagal gara-gara kalian! dan kau Arya! Menyingkirlah kalau kau mau selamat!”“Aku tidak akan pergi, Handoyo! Dan kalian semua jangan berani menyakiti Miranti dan juga anakku!”“Kau cari mati, Arya!” seru Handoyo.“Aku hanya ingin menyelamatkan kehormatan wanita yang tidak berdosa dari orang-orang jahat seperti kalian!”Ya Alloh, lindungi hamba dari orang-orang jahat itu. Tolong berilah hamba petunjuk. Apa yang harus dilakukan.Mereka maju bersama-sama menuju arahku. Aku menggeser tubuh dengan memeluk Yusuf yang masih menangis ketakutan sama seperti diriku. Jarak kini semakin dekat.Arya melebarkan tangannya dan berjalan mundur mengikuti arah langkah para penjahat itu yang sedang berjalan ke arahku. Dia berusaha melindungi. Jumlah mereka sepuluh kali lipat dari Arya. Jangankan jumlah sebanyak ini. Satu orang saja belum tentu Arya bisa melawan badan mereka yang kekar.Ya Tuhan, apa memang ini sudah takdir dariMU. Aku tak ingin ini terjadi. Tolong selamatkan hamba.“Berhenti kalian semua atau ....”“Atau apa?! Salah satu dari mereka mengangkat tubuh Arya bahkan hanya dengan satu tangan. Lalu melempar ke lantai hingga terdengar teriakan Arya yang sangat nyaring. Bahkan sepertinya dia kesulitan untuk bangkit.Kembali mereka mendekat ke arahku. Tatapan mereka sangat mengerikan. Aku benar-benar sangat ketakutan. Tolong beri hamba kekuatan.Mereka berjongkok dan melingkar disertai dengan tawa yang membahana. Aku menangis ketakutan. Bahkan salah satu dari mereka beraninya mengelus pundakku.“Tolong jangan lakukan apapun. Aku mohon.” pintaku sambil menggeleng kepala cepat. Aku berusaha memohon kemuarahan hatinya. Walau aku tahu tak mungkin mereka memenuhi keinginanku.“Melepaskanmu? Ha ... ha... tak mungkin sayang.” Ucap pria dengan tato di lengan sembari mencolek daguku. Lalu menepis lengannya dengan kasar.“Menjauh dariku, tolong!” aku menggerakkan tangan untuk mengusir mereka. Namun bukannya pergi, justru mereka menangkap tanganku dan mengecupnya. Aku benar-benar jijik saat mereka menggerayangi tanganku. Beruaha berontak sekuat tenaga tapi percuma. Kekuatan ku tak ada artinya.Bugg. “Lepaskan Miranti!” Arya memukuli para penjahat dengan sebilah kayu. Dengan tenaga yang tersisa Arya terus berusaha melawan para penjahat.“Pergilah Mir! Bawa Yusuf bersamamu! Cepat!”“Iya!” aku harus bisa menggunakan waktu sebaik mungkin. Segera menggandeng tangan Yusuf dan membawanya pergi bersamaku. Saat ini para penjahat sedang sibuk dengan Arya. Tunggu, bagaimana nasib Arya. Rasanya tak tega untuk membiarkannya menjadi bulan-bulanan. Menghentikan langkah dan menoleh ke arah Arya.“Arya, bagaimana dengan dirimu?!” aku kasihan dengannya. Dia dipukuli habis-habisan oleh kesepuluh orang tadi.“Cepat pergilah! Jangan pedulikan aku!” Arya masih sempat menyahut walau dia terus dihajar hingga babak belur. Aku sangat kasihan, tapi tak punya pilihan untuk pergi meninggalkannya. Setelah aku bebas aku akan mencari bantuan untuk menyelamatkan Arya.“Mau kemana kamu?!” Stefani menghadang langkahku. Aku tak punya waktu untuk berdebat. Menatap wajahnya yang penuh amarah. Segera kutonjok mata dan menendang bagian perutnya. Wanita itu mengaduh kesakitan dan memegangi mata dan perutnya. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Segera berlari dengan menggandeng Yuusf.“Aw.” Aku merasakan seseorang yang menarik gaunku dari belakang hingga robek di bagian punggung. Bahkan aku merasakan tangan yang begitu kasar mengelus punggungku. Aku berusaha berontak tapi sia-sia. bahkan ada yang menarik Yusuf hingga terlepas dari  genggamanku.Plaak. Satu tamparan mendarat di pipiku. Terasa begitu sakit. Manusia kejam. Bahkan mereka berani menamparku.“Itu karena kau berusaha melawan!” cepat paksa dia dan jangan membuang waktu lagi!” ternyata Handoyo yang menamparku.Seseorang menyeret tubuhku dan menghempaskannya di lantai. Aku berteriak meminta tolong. Walau  tak yakin akan ada orang yang menolong tetap saja berteriak hingga tenggorokan terasa sakit.. “Diamlah. Nikmati saja sentuhan kami ha ... ha ....”Aku menatap wajah beringas mereka satu persatu. Merinding dan sangat takut. Ini nyata, bukan mimpi. Sebentar lagi tubuhku akan terkotori oleh manusia-manusia terkutuk. Aku tidak mau ini terjadi dan tetap akan melakukan perlawanan bahkan sampai aku mati. Tetap berseru meminta tolong hingga mereka kesal dengan teriakkanku. Sreett. Seseorang berhasil merobek gaun yang menutupi bagian dada hingga mata liar mereka menelusuri dengan ekspresi yang membuatku mual. Sangat menjijikkan.Berusaha menutupi bagian dada dengan tanganku. Tawa mereka yang menggema benar-benar membuat ketakutan.“Jangan lakukan!”“Mamaahh....”Terdengar suara Arya dan juga Yusuf. Mereka pasti sangat mencemaskanku. Menepis tangan-tangan jahil yang berusaha memegang dadaku. Berkali-kali kulakukan. Aku tak rela jika mereka menyentuhku.“Aww.” Aku memekik saat salah satu orang memegangi tanganku. Dan kini aku tak bisa melindungi diri. Ya Tuhan, tolonglah hambaMU. Aku tak sudi terjamah oleh mereka.Saat salah satu dari mereka hendak menyentuh dadaku, tiba-tiba saja terdengar teriakan Handoyo. Semua mata menatap ke arah suara.“Ba***gan kalian!”“Umar!” aku tersenyum melihat siapa yang datang. Pertama orang yang dilumpuhkan adalah Handoyo. Alhamdulillah Ya Alloh, pertolonganMU datang tepat pada waktunya.Umar segera menghajar para penjahat dengan membabi buta. Menendang, memukul dan seua jurus taekwondo yang dia pelajari kini di keluarkan olehnya.“Umar! Aku akan membantumu!”Fajar. Dia juga datang bersama putraku.“Selamatkan mamah dan Yusuf saja Om! Biar mereka aku yang hadapi!”“Oke!”Fajar menyapu pandangan mencari keberadaan. Suaraku seperti tercekat, hingga tak mampu berteriak. Bahkan sekedar untuk melambaikan tangan saja tidak mampu. Sesaat kemudian dia menatap ke arahku yang tak berdaya. Tanpa menunggu waktu lama, dia segera menghampiriku dan memelukku dengan erat. Akupun menangis di pelukannya.“Mir. Maafkan aku. Aku tidak bisa melindungimu.”Aku tak mampu menjawab. Hanya airmata yang menjadi jawaban atas kejadian yang menimpaku. Aku bahkan masih merasakan tangan-tangan menjijikkan itu menjelajahi punggung dan juga tanganku. Untung saja pertolongan datang hingga tubuhku bisa terselamatkan oleh manusia-manusia bejat itu.Fajar melonggarkan pelukan dan menghapus airmataku.“Dimana Yusuf?”Aku tersentak saat Fajar menanyakan putraku. Ya, dia tadi dibawa oleh seseorang. Ya Tuhan di bawa kemana dia. Apa yang mereka lakukan kepada putraku. Semoga tidak terjadi apa-apa dengannya.86. UMAR SALAH PAHAM“Yusuf? Dia tadi bersama Arya.” Jawabku sembari menyapu pandangan di seluruh ruangan. Namun tak nampak keduanya. Kemana para penjahat itu membawa mereka.“Arya! Teganya dia menculik darah dagingnya sendiri! Awas akan aku habisi kau!” Fajar mengepalkan tangannya. Matanya memerah dan memancarkan amarah yang membara. Dia pasti mengira Arya yang sudah menculik yusuf. Aku tak boleh membiarkan kesalahpahaman ini.“Fajar. Arya tidak bersalah. Dia tidak menculik Yusuf. Justru dia malah membantuku.”“Diam Mir! Jangan membela manatn suamimu itu! Sudah jelas dia yang bersalah dengan mengumpankan darah dagingnya sendiri tanpa memikirkan dampaknya!”“Fajar aku tidak bohong. Arya memang ....”“Cukup Mir! Ayo aku akan membawamu kepada ayahmu. Setelah itu aku akan mencari Yusuf. Kau pulanglah bersama ayahmu!”‘Tidak, fajar aku....”“Aaarrgghh ....” terdengar teriakan Umar yang sangat keras. Salah satu penjahat memukulnya dengan kayu. Dia terjatuh dan memegangi kepala bagian belakang.“Umar!” aku memekik. Spontan berlari menuju ke arah putraku yang jatuh tersungkur dan mengerang kesakitan. Namun Fajar mencekal lenganku.“Kau tetap di sini. Aku akan membantu Umar.”‘Tapi fajar ...”“Pakailah ini untuk menutupi tubuhmu. Cepat kau hubungi ayahmu dan amir untuk menjemputmu di sini!” Fajar memberikan jas yang di pakai juga ponselnya kepadaku. Berusaha untuk menyentuh layar dan mencari nomor telepon ayah. Entah kenapa tanganku seperti tak bisa bergerak leluasa. Tanganku gemetar hingga tak mampu bekerja dengan baik. Belum lagi aku melihat perkelahian Umar dan fajar yang menghajar para penjahat itu.Aku benar-benar takut kalau fajar dan Umar akan mengalami kekalahan. Jumlah mereka lebih banyak dengan postur tubuh di atas rata-rata. Mustahil mereka bisa terkalahkan oleh dua orang.Umar berhasil merebut sebilah kayu yang berukuran cukup besar. Dengan membabi buta dia memukuli lawan dengan kayu. Fajar juga melakukan hal yang sama. Dia tak sekuat Umar. Tubuhnya yang kecil tak mungkin kuat melawan orang yang hampir dua kali dari bobot tubuhnya.“Aaaggrhh ...” Fajar terkena pukulan di bagian perut. Diapun terjungkal sembari memegangi perutnya. Aku memekik dan ketakutan. Apalagi saat melihat lawan yang akan menginjak kaki suamiku. Untung saja Umar berhasil memukul orang tersebut dan menendangnya hingga terjatuh.Ya Tuhan. Seorang lawan berhasil melumpuhkan Umar dengan mengunci tubuhnya. Bagaimana ini. Mereka pasti akan menganiaya putraku.Untung saja anak buah suamiku datang di waktu yang tepat. Mereka segera membereskan para penjahat.Aku melihat Handoyo berusaha melarikan diri di susul oleh Stefani. Tanganku mengepal menahan amarah mengingat nama Stefani. Ya. Dia bagianku. Akan kukejar walau sampai ujung dunia sekalipun.“Berhenti Stefani!” aku berusaha menghentikan dia yang akan menuruni anak tangga. Bukannya berhenti dia terus meneruskan langkahnya. Aku melihat ada sebuah batu yang tidak terlalu besar. Segera mengambil dan melempar ke arah stefani dan mengenai betis. Usahakupun berhasil. Dia mengaduh dan menghentikan langkah.“Jangan jadi pengecut. Lawanlah aku!” aku menghampirinya dan menjambak rambutnya.“Aw. Lepaskan aku! Kalau tidak aku akan ....”“Apa? Kau akan meminta perlidungan Handoyo?! Dia juga tidak bisa melindungi dirinya sendiri sekarang!” Aku menarik rambutnya dengan keras hingga dia menjerit kesakitan. Aku tidak peduli. Menampar wajahnya berkali-kali, meludahi dan juga menendang perutnya. Aku seperti kerasukan setan. Entahlah. Rasanya ingin sekali membunuh wanita yang sudah merencanakan perbuatan keji kepadaku.“Ampuni aku. Tolong ...” Stefani menggapai tanganku saat aku mencekiknya.“Ampun katamu?! Tolong?! Kenapa tadi kau membiarkan saat aku ketakutan dan meminta tolong kepadamu?! Kemana perasaanmu sebagai sesama perempuan. Apa kau terlahir dari batu hingga tak bisa punya naluri sebagai wanita! Ibumu pasti takkan rela telah mengandung dan melahirkan makhluk terkutuk sepertimu! Ingatlah semua yang kau perbuat akan kembali kepada dirimu sendiri! Dasar manusia laknat kubunuh kau dengan tanganku!”Aku makin mengencangkan cekikan di leher stefani hingga matanya melotot dan nyaris kehabisan nafas. Tak peduli sekalipun harus menghabiskan sisa hidupku di dalam penjara. Yang penting aku puas bisa membalaskan dendam.“Dengarkan dulu penjelasan papah Umar. Aarghh ....”Tiba-tiba aku mendengar suara Arya yang menjerit kesakitan. Dia juga menyebut nama Umar. Ya Tuhan, apa Umar sdang memukuli papahnya. Dia pasti sudah salah paham dan mengira papahnya yang bersalah seperti fajar. Aku tak boleh membiarkan ini terjadi. Kasihan Arya. Dia sudah bertaubat. “Aw.” Stefani memukul perutku. Sial. Dia berhasil melepaskan diri. Fokusku menjadi terpecah hingga dengan mudah stefani melarikan diri.Biarkan saja. Nanti aku akan kembali mencarinya. Yang penting saat ini adalah meluruskan kesalahpahaman antara Arya dan Umar. Astaga. Aku melihat Umar sedang memukuli papahnya. Bahkan kini Umar mengangkat tubuh Arya dan siap untuk membantingnya. Aku harus mencegahnya.“Umar! Jangan, nak!” aku menyentuh bahu putraku untuk menenangkannya. Sorot matanya bak bola api menatapku. Sangat mengerikan. Belum pernah aku menyaksikan kemarahan putraku seperti ini.“Kenapa mamah mencegahku?! Laki-laki pengecut ini, sudah menculik adek dan punya rencana keji untuk Mamah. Seharusnya mamah membiarkan aku menghabisi laki-laki ini!” teriak Umar dengan nyaring. Matanya membulat dan terlihat sangat mengerikan.“Dia papahmu, nak! Dan papah Arya juga tidak bersalah. Dia tidak menculik adikmu. Bahkan papah Arya berusaha melindungi mamah dan adikmu, Nak. Jadi tolong, lepaskan dia!”“Jangan lepaskan dia Umar! Miranti. Kau sudah dibutakan oleh cintamu kepada Arya, hingga kau melupakan apa yang sudah dilakukan olehnya! Buka matamu lebar-lebar! Atau kalian bermain api di belakangku?! Kau sudah berselingkuh dengan Arya! Iya’kan?!” Fajar mengguncang bahuku dengan kasar. Sorot matanya menyiratkan amarah yang luar biasa.“Kau salah, Fajar! Aku tidak berselingkuh dengannya! Tapi memang dia tidak bersalah. Kau tanyakan saja pada Yusuf. Dia masih anak-anak, pasti tidak akan bohong!”“Aach aku tidak percaya! Kau pasti berselingkuh dengannya!... Umar! Cepat banting papahmu ke tanah. Supaya dia merasakan sakit. Dan rasa sakit itu tak seberapa dibandingkan dengan sakitnya aku yang telah dihianati!”“Aku dan Arya tidak menghianatimu, Fajar. Percayalah!”“Aku tidak percaya! Umar. Cepat banting papahmu, tendang dia hingga remuk tulang belulangnya!”“Hentikan omong kosongmu! Jangan menyuruh Umar menjadi anak durhaka, Fajar! Kau tak berhak melakukan itu!” “Kenapa kau begitu membelanya?! Apa karena kalian sudah menghabiskan waktu bersama hingga melupakanku? Apa kau sudah tidur dengannya dan membuatmu lupa kalau kau adalah istriku?!”Plaak. Satu tamparan mendarat di pipi suamiku. Tuduhannya yang tak beralasan benar-benar membuatku kesal.“Jaga bicaramu! aku bukan wanita seperti yang kau kira!”“Sudahlah, Mir. Biarkan saja Umar menghukumku ... aku ... memang pantas ... mendapatkan hukuman ini ... karena ... dosa-dosaku kepadamu ... dan juga ...kepada ... anak-anak kita ....”  Ucap arya dengan terbata. Tubuhnya yang terluka parah sangat membuatku sedih.“Tidak. Umar. Tolong, dengarkan mamah. Papah Arya tidak menculik adikmu. Dia bahkan sudah membantu mamah dan adikmu untuk keluar dari sini. Dia bahkan rela mengorbankan dirinya demi mamah dan Yusuf. Papahmu sudah bertobat. Percayalah. Kali ini saja, Mamah mohon, percayalah. Papah Arya sudah bertobat. Bukan hukuman yang harus kau berikan, tapi pelukan dari seorang putra kepada papah yang sudah menyadari kesalahannya. Tanpa papah Arya, mungkin mamah dan adikmu tidak terselamatkan. Tolong, percayalah.” Aku mencoba meluluhkan hati putraku yang keras. Aku yakin jauh dari lubuk hatinya, dia pasti sangat menyayangi papahnya. Walau keduanya tak pernah akur, tapi aku yakin ada cinta yang bersemayam dalam dada.“Umar, jangan dengarkan ....”‘Diam kau Fajar! Jangan meracuni pikiran anakku!” aku menunjuk fajar. Aku tahu apa yang kulakukan ini salah. Sebagai seorang istri aku tidak boleh kasar kepadanya. Nanti akan menjelaskan kepada suamiku. Aku yakin fajar orang yang baik dan pasti akan memaafkan. Hanya saja, saat ini dadanya sedang terisi oleh bara api cemburu, hingga tak bisa melihat kenyataan yang benar.Umar menatap wajah papahnya dengan sendu. Alhamdulillah, semoga ini akan menjadi langkah awal hubungan anak dan papahnya membaik.Perlahan, Umar menurunkan tubuh papahnya. Lalu mendekapnya erat. Keduanya saling bertangisan.Papah, maafkan Umar. Umar berdosa sudah memukuli, papah. Maafkan Umar, Pah.’“Kamu tidak salah nak. Papah yang salah. Maafin papah juga ya ...” Arya menangis tersedu. Dia lalu mengecup puncak kepala Umar.“Umar. Jadilah pelindung untuk mamah dan juga adik-adikmu. Papah tidak bisa menjaga kalian lagi. Dan tolong sampaikan permintaan maaf papah kepada amir dan Malik. Mungkin waktu papah tidak lama lagi.”“Pah, jangan bicara begitu. Sekarang kita ke rumah sakit ya. Luka di tubuh papah pasti akan di obati dan sembuh.”“Umar benar. Kau pasti akan sembuh. Ayo, kita ke rumah sakit sekarang.” Aku menoleh mencari-cari keberadaan Fajar. Dia sedang memeluk Yusuf yang masih terlihat syok. ‘Fajar, apa kau bisa membantu Umar untuk mengangkat tubuh Arya. Kami akan membawanya ke rumah sakit.”Wajah suamiku masih diliputi oleh amarah. Aku memahaminya. Kesalahpahaman ini tidak mungkin bisa menguap dengan cepat. Aku harus bersabar. Walau masih kesal, Fajar tetaplah orang baik. Dia melepaskan pelukan Yusuf lalu berjalan ke arahku. Tiba-tiba tangan Arya menyambar lengan suamiku. “Fajar, aku minta maaf atas dosa-dosa yang telah kulakukan. Baik dulu ataupun yang sekarang. Dan, aku titip anak-anakku kepadamu. Tolong, jaga mereka dengan baik. Percayalah, aku dan Miranti tak ada hubungan apapun. Dia sangat mencintai dan menghormatimu. Aku hanya ingin membantunya saja.”Fajar memaksakan diri untuk tersenyum. Sulit memang berusaha tersenyum ditengah kegundahan hati. Namun akhirnya keduanya berpelukan. Aku terharu melihat dua sahabat di masa lalu dan menjadi musuh di masa sekarang telah saling memaafkan. Lega rasanya saat melihat keduanya kembali akur.  87. KEMATIAN ARYA DAN YUSUF “Pergi kalian atau aku habisi anak ini!” terdengar suara Handoyo dengan nada mengancam dibarengi oleh suara tangisan Yusuf. Serentak kami menoleh dan terkejut melihat Handoyo yang sedang menyandera Yusuf dengan belati di leher. Ayah juga berdiri dengan nafas naik turun tak jauh dari Handoyo. Sepertinya, Ayah baru saja mengejar musuh bebuyutannya itu. Saat posisi terdesak, Handoyo menyandera putraku.“Lepaskan putraku, handoyo! Aku berniat untuk mendekat, tapi Fajar memegangi lenganku.“Jangan gegabah, Mir. Kau bisa membahayakan nyawa Yusuf!” Fajar memegangi tubuhku dengan erat. Aku berusaha melepaskan diri, tapi sayangnya tenagaku kalah kuat dari suamiku.“Lepaskan cucuku Handoyo! Atau kau akan ....”“Akan apa?! Kau akan membunuhku?! Kau bisa lakukan itu setelah kematian cucumu ini!” Handoyo menekan leher Yusuf dengan keras hingga putraku itu menangis kesakitan. Aku tak tahan melihatt putraku yang menjerit histeris. Dia menggapai tanganku tapi aku tak bisa menolongnya. Hanya bisa menangis melihat keadaannya.“Lepaskan adikku, kau akan kuampuni! kalau tidak, kau akan merasakan sakitnya jalan menuju kematian hingga kau sendiri yang akan memohon kepadaku untuk membunuhmu!” seru Umar dengan menunjuk musuh kakeknya. Aku melihat bara api yang berkobar pada matanya. Kali ini putra sulungku lebih bisa menahan diri. Biasanya tanpa banyak kata, dia langsung menyerang musuh. Namun kini, dia begitu hati-hati walau kemarahan sudah mencapai puncak kepala.“Diam kau bocah! Kau hanya anak bau kencur, beraninya mengancamku! Aku pastikan kau yang akan kuhabisi setelah anak ini!” “Jangan menguji kesabaranku! cepat lepaskan adikku atau kau akan menyesal!”Handoyo bahkan tidak takut saat Umar sedikit demi sedikit melangkah mendekat. Dia terlihat sudah sangat siap menghadapi siapapun, termasuk Umar. Aku sangat khawatir kalau Handoyo punya rencana yang buruk terhadap kedua putraku. Ketenangan yang dia perlihatkan, menandakan dirinya punya persiapan untuk mengelabui musuh.“Umar, berhenti Nak. Jangan membahayakn adikmu.” Kulihat Arya bangkit perlahan sembari memegangi dadanya. Tubuhnya yang penuh luka dan lebam berusaha untuk berdiri dengan sempurna. Umar berusaha membantunya.“Handoyo! Aku menyesal ... sudah bekerjasama dengan orang licik ... sepertimu. Uhuk uhuk...kau kejam. Manusia jahat yang menjijikkan ....” Arya berkata dengan nafas terputus.“Itu kebodohanmu! Sudah jelas di dunia ini tidak ada yang gratis! Kau hanya aku jadikan kacung dan kuperalat untuk memuluskan balas dendamku kepada mantan mertuamu! Aku pernah bersumpah akan membuat dia dan anak keturunannya sengsara! Aku berusaha menghancurkan mental dan juga harga diri anak sematawayangnya. Tapi kau sok jadi pahlawan dengan berusaha menolongnya! Kau harus membayar mahal semua ini dengan kematianmu! Kau bagian terakhir yang akan aku habisi setelah semua musuhku binasa!”‘Tutup Mulutmu, Handoyo. Aku tak akan membiarkan kau menyentuh anak cucuku!”“Ha ... ha ... ha ... mimpi kau Dirwan. Hanya tinggal selangkah lagi, aku akan menghabisi anak ini! Tunggu! Aku akan memberi kesempatan untuk kalian. Pergilah darisini dan kalian aku bebaskan sementara waktu. Anakmu aku pastikan aman bersamamu. Jika tidak ....”“Jangan mengancamku! Aku tidak takut dengan ancamanmu, Handoyo!” ayah terlihat begitu marah.Sayangnya mereka tetap saja tidak bergerak untuk melepaskan Yusuf. Umar, Arya dan ayah hanya berani adu mulut saja. Tak ada realisasinya untuk menyelamatkan putraku.Sebagai seorang ibu, harus melakukan sesuatu untuk Yusuf. Akulah yang akan menyelamatkannya.Menggigit tangan suamiku hingga dia mengaduh kesakitan dan melepaskan diriku. Tanpa membuang waktu aku segera berlari menuju arah Yusuf. Aku tak peduli dengan teriakan orang-orang yang melarangku. Mereka tidak pernah mengerti bagaimana rasanya seorang ibu yang melihat nyawa anaknya berada di ujung tanduk tanpa bisa melakukan apapun.“Mir! Kembalilah! Jangan gegabah!”“Mamah, mundurlah!”Teriakkan itu tetap tak kupedulikan. Tetap saja aku bertekad untuk menyelamatkan putraku.“Berhenti atau aku lempar anak ini!”“Lepaskan anakku sekarang juga!” aku berdiri di hadapannya dan beusaha menggapai tangan Yusuf yang masih histeris. Handoyo mundur hingga sampai di bibir balkon dengan membawa putraku.Bangunan yang masih setengah jadi ini sangat mengerikan. Jalanan terlihat sangat jelas karena tak ada pagar pembatas. Benar-benar sangat berbahaya. Aku harus berhati-hati.“Aku tidak main-main. Sekali lagi aku peringatkan kepadamu, mundur atau aku lempar anak ini ke bawah!”“Jangan mengancamku! Aku tak takut padamu! Lepaskan anakku!”“Pada hitungan ketiga kau tak juga mundur, aku benar-benar akan melempar anakmu!”“Lepaskan aku!” aku berontak saat fajar kembali mengunci pergerakan. Aku berusaha berontak, tapi nihil. Kali ini bukan hanya fajar, amir juga ikut memegangiku.“Dasar anak sama ayah sama saja keras kepala! Kau lihat saja aku tidak pernah bermain-main dengan ancamanku. Sekali tepuk semua musuhku akan terkalahkan. Dirwan, anakmu dan juga menantumu yang sok pintar itu akan menangis darah melihat anak ini meregang nyawa. Haacchh ....” Handoyo berteriak sangat keras. Seiring dengan teriakannya dia benar-benar melakukan ancamannya yang membuat jantungku seperti terlepas. Dia benar-benar melempar tubuh Yusuf. Semua orang berteriak dan tak menyangka akan kejadian ini.Tubuhku terasa lemas saat melihat tubuh Yusuf melayang di udara. Pada saat genting, seseorang berhasil menangkap tubuh Yusuf. Keduanya kini bergelantungan. Satu tangannya memeluk Yusuf dan satu tangan lagi berpegangan pada bibir balkon.Ternyata pria itu adalah Arya. Nalurinya sebagai seorang ayah melebihi diriku yang hanya mengandalkan emosi semata.“Yusuf!!!” aku berteriak sangat kencang dan berlari ke arah putraku. Aku mencoba untuk melakukan pertolongan dengan menarik lengan Yusuf. Lagi-lagi, suamiku menghalanginya. Benar-benar fajar membuat kesal. Tak tahukah dia bagaimana rasanya seorang ibu yang melihat nyawa anaknya berada di ujung tanduk. Bahkan aku rela menukar nyawaku dengan nyawanya. “Fajar, lepaskan aku.” Terus meronta dan mencoba membebaskan diri.“Diam Mir! Gara-gara kamu semua jadi kacau! Sadarlah. Yusuf seperti ini gara-gara kamu! jadi sekarang diam di tempat. Biar kami para lelaki yang akan menyelamatkan Yusuf. Kau mengerti?!” fajar membentakku. Belum pernah dia melakukan hal ini sebelumnya. Aku memang salah. Tapi tidakkah aku juga berhak untuk melakukan tugasku menyelamatkan putraku. “Jawab pertanyaanku, Mir. Kau bisa diam tidak?! jawab iya baru aku akan melepasmu!”“I-iya.” Terpaksa aku mengiyakan. Yang penting anakku selamat.Fajar melepasku. Dia lalu ikut membantu Umar yang sedang berusaha menarik lengan Yusuf dan juga papahnya.“Ha ... ha ... pemandangan yang sangat menyenangkan!” dasar manusia tak punya hati. Handoyo masih bisa tertawa.“Kakek! Jangan biarkan penjahat itu pergi! Aku akan mengurusnya setelah ini!” suara putraku menggelegar. Kemarahannya memuncak.Aku melihat Handoyo ketakutan. Sepertinya dia tahu bahaya yang akan mengancam nyawanya. Dia mundur perlahan hendak berlari. Namun gerakannya kalah cepat dari ayah yang mengunci pergerakannya.Fokusku kembali kepada penyelamatan Yusuf dan Arya. Fajar dan Amir mencoba memintal tali seadanya. Sementara Umar masih berusaha untuk menarik lengan papahnya. Lutut terasa sangat lemas. Dalam tangis tak bertepi aku mendekat ke arah mereka. Walau tak bisa melakukan apapun, tapi senantiasa melangitkan do’a. Semoga saja do’aku bisa terdengar oleh sang pemilik langit.Umar mengulurkan kedua tangannya dan mencoba menarik lengan yusuf. Keadaan begitu sulit karena Yusuf yang ketakutan dan tak bisa mengangkat tubuhnya sendiri. Sedangkan Arya tak mungkin mengulurkan tangannya yang sedang memegang tubuh putranya. “Umar. Papah sudah tidak kuat lagi. Selamatkan Yusuf saja. Biarkan papah pergi.” Tangan Arya terlihat gemetar. “Jangan menyerah, pah. Aku akan menyelamatkan kalian berdua. Dek, cepat pegang tangan kakak. Ayo, jangan takut!”“Arya. Ayo berusahalah. Raih tangan Umar. Kalian pasti selamat.” Aku berusaha mengobarkan semangat.“Aku sudah tidak sanggup lagi.” Tangan Arya yang gemetar terlihat makin lemah. Bahkan pegangannya pada bibir balkon mengendur.“Om, Fajar. Cepat bawa talinya. Kita harus mengikat tubuh Papah!” seru Umar.“Iya, sebentar. Ini sudah selesai.”Tali sudah selesai dipintal. Terdapat sebuah lingkaran pada ujung tali.“Cepat. Ikat pada tubuh papah.” Perintah amir.Umar mengambil tali dan berusaha memasukkan tali ke tubuh papahnya. “Mampus kamu, Arya!”Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita di iringi dengan lemparan batu yang berukuran cukup besar mengenai jemari Arya yang berpegangan pada bibir balkon. Seketika itu, terdengar teriakan Arya dan tangannya terlepas.“Achh ....” teriakan yang sangat menyayat hati terdengar dari Yusuf dan Arya. “Papah! Yusuf!” Dadaku terasa sesak. Tubuh terasa lemas seketika. Di depan mataku aku menyaksikan sendiri keduanya meregang nyawa. Aku menangis meraung-raung. Tak menyangka kematian putraku setragis ini. Tidak, aku tidak rela.“Yusuf! Jangan pergi, Nak. Tunggu ibu!” aku hendak melompat untuk menyusul putraku. Namun lagi-lagi fajar menahan dengan memeluk tubuhku.“Jangan lakukan itu, Mir.”“Lepaskan aku, fajar. Aku harus menyusul Yusuf. Biarkan aku mati bersamanya. Lepaskan aku!” aku terus berontak dalam balutan tangis dan memukuli dada suamiku.Fajar tak bereaksi. Dia pasrah saat aku memukulinyadan mempererat dekapannya. Fajar juga menangis. Perasaannya pasti sama denganku.“Lepaskan, aku fajar!”“Jangan bodoh, Mir! Jangan turuti setan yang sedang berbisik di telingamu!” terdengar suara ayah mencoba membujukku. Lalu. aku menghambur kepelukannya.‘Ayah tidak tahu bagaimana perasaanku! Aku tidak mau hidup lagi. Aku mau menyusul yusuf, ayah.”“Mah. Sabarlah. Mamah masih punya kita. Apa mamah juga akan meninggalkan kita? Lalu apa kita juga harus menyusul Yusuf juga sama seperti mamah?” Amir menyadarkanku. Bahwa masih ada putra yang lain yang membutuhkanku. Aku memeluknya erat. Kami saling bertangisan. “Ayo, kita turun sekarang. Kita urus jasad Yusuf dan Arya.” Fajar menuntut tubuhku yang masih terasa lemas. Kami memutuskan untuk turun dan mengurus jasad keduanya.Umar. Dia tak beranjak dari tempanya semula. Airmata masih terlihat jelas di kelopak matanya. Tatapannya lurus menatap jasad dua orang yang sangat dicintainya.  Aku tahu, dia sangat kehilangan keduanya. Kusentuhbahunya lembut. “Ayo, nak. Kita turun.”Umar menepis tanganku. Dia bangkit dan mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras.“Handoyo! Kau harus membayar setimpal perbuatanmu!” dia meneriakan nama Handoyo. Wajah putraku sangat mengerikan.“Tenang, Umar. Jangan gegabah. Biarkan polisi yang mengurusnya. Sekarang lebih baik, kita mengurus jasad arya dan adikmu.” Suamiku mencoba meyakinkan umar.Dalam kesedihan yang mendalam aku berjalan terseok-seok. Rasanya tak mampu lagi untuk menanggung beban penderitaan seberat ini. Ya Tuhan. Apa salahku. Kenapa Engkau menguji diriku sesulit ini. Aku hanya bisa meratapi apa yang sudah terjadi. Walau aku tahu ini sudah menjadi suratan takdir. Tapi rasanya hati ini belum ikhlas melepas kepergian putraku.88. KEMATIAN HANDOYOSeorang wanita yang sangat kubenci menghadang langkah. Dia bertepuk tangan dengan suka cita di hadapan.“Kasihan sekali, kamu Miranti. Kau harus kehilangan dua orang yang sangat kau sayangi.” Stefani. Wanita itu benar-benar membuatku kesal. Plaak. Satu tamparan mengenai rahangnya. Plaak, satu tamparan lagi kembali kuhadiahkan kepada stefani. Menjambak rambutnya dengan keras hingga kepalanya terangkat dan meludahi wajahnya.“Lakukan apa yang membuatmu senang. Setidaknya, akulah pemenangnya. Akulah yang melempar batu hingga mengenai tangan Arya dan membuatnya terjatuh. Aku juga yang sudah merencanakan untuk menodaimu beramai-ramai. Itulah sederet dosa yang sangat membuatku bahagia. Walaupun kau berhasil lolos dari berandalan itu, aku tetap puas karena kematian Arya dan anakmu!”“Jadi kau yang melakukannya?!”“Iya! Ha ... ha ... ha ....”Bugg. Kutonjok mulutnya yang sedang menganga lebar hingga bibirnya mengeluarkan darah. Aku tak peduli dengan teriakannya. Dia harus membayar perbuatannya.Mendorong tubuh lalu menyeret rambutnya menuju tangga. Dia harus merasaka kematian yang sama seperti putraku.“Lepaskan, aku! Tolong!” Aku tak peduli dengan teriakannya. Rasa sakit yang dirasakan olehnya tak sebanding dengan sakit karena kehilangan putraku. Nyawa harus dibayar dengan nyawa.“Aww. Tiba-tiba ada yang menendang tanganku hingga stefani terlepas. Handoyo, lelaki itu ternyata yang sudah membebaskan stefani.“Cepat pergilah, stefani! Biar wanita ini aku yang mengurusnya!”Stefani segera mengambil langkah seribu. Tak bisa mengejarnya karena dihalangi oleh pria jahat itu.Aku mundur beberapa langkah. Manusia jahat yang ada di hadapan pasti akan melakukan apa yang kulakukan kepada stefani.“Mau kemana kau anak musuhku?! Terimalah ini sebagai balasanku.” Aku menutupi wajah saat melihat pria bengis itu mengangkat tangan hendak memukulku. Kaki terasa berat untuk melangkah. Hanya bisa pasrah menghadapi pembalasan darinya.“Acchh ....” Terdengar teriakan yang membahana. Membuka mata dan melihat pemandangan di depan mata. Putraku Umar sedang memelitir tangan si penjahat dengan keras hingga mengeluarkan bunyi kreek. Teriakannya tanpa henti. Sepertinya dia merasa begitu kesakitan. Entah bagaimana keadaan tulangnya sekarang.“Berteriaklah sepuasmu! Tangan kananmu ini, yang sudah membunuh papah dan juga adikku. Tangan ini tak berhak lagi untuk menyakiti keluargaku. Aku pastikan dalam hitungan detik, tangan kananmu takkan bisa digerakkan lagi!” kembali umar memutar dan menarik tangan itu sekencang-kencangnya. Aku bergidik ngeri.“Umar, apa yang kau lakukan, Nak? Jangan diteruskan. Biar polisi saja yang menghukumnya.” Aku mencoba menenangkan kemarahan putraku.“Tidak, Mah! Hutang nyawa harus dibayar nyawa! Aku takkan membiarkan pembunuh ini lolos dari tanganku. Dia tidak mengindahkan ancamanku! Artinya, dia siap untuk menderita menjelang kematiannya! Aku bersumpah akan mematahkan seluruh tulang belulang sebelum kematiannya! Cara yang sama akan aku lakukan di akhir kematiannya!”“Umar, jangan Umar. Mamah mohon.”Aku mencari-cari keberadaan suamiku dan yang lainnya. Tak nampak disekitar sini. Sepertinya mereka sedang mengurus jenazah Yusuf dan Arya.Apa yang harus kulakukan. Salah satu sisi, aku ingin mengurus jenazah putraku dengan kedua tanganku. Di sisi lain, putra sulungku sedang menghadapi kemarahan yang luar biasa. Dia bisa melakukan apapun yang tanpa memikirkan efek jangka panjang. Sifatnya sama denganku yang tak bisa mengendalikan emosi.“Acchh ....” kembali terdengar teriakan Handoyo yang sangat menyayat hati. Umar menendang kaki kanan hingga terjatuh dan memelintir kaki itu hingga kembali mengeluarkan bunyi kreek. Lengkingan keras kembali keluar dari mulut Handoyo. Bukannya kasihan, Umar justru menghadiahi tendangan yang merontokkan beberapa giginya. Astaghfirulloh hal’adzim, aku tak menyangka umar sanggup melakukan ini semua.“Lebih baik kau bunuh saja aku sekarang. Aacchh ... sakiiit ....”“Ini belum seberapa. Jadi jangan harap sekarang aku akan membunuhmu!” teriak Umar. Dia lalu menarik rambut dan tangan kiri Handoyo lalu menaiki anak tangga. Lengkingan yang begitu nyaring kembali terdengar. Dengan tanpa ampun putraku menyeret pria jahat itu hingga tubuhnya terluka dan berdarah. Aku benar-benar tidak kuat melihat apa yang terjadi. Tubuh terasa lemas menyaksikan darah yang tercecer di sepanjang anak tangga.“Apa yang terjadi?!” suami muncul dengan tiba-tiba. Dari wajahnya menggambarkan kecemasan.“Fajar, tolong bantu aku untuk menghentikan Umar. Dia sedang menyiksa Handoyo di atas. Aku tak ingin anakku berhadapan dengan hukum. Tolong, cepatlah. Tubuhku lemas sekali.”‘Baiklah.”Fajar memapah tubuhku dan menapaki anak tangga satu persatu. Saat berada di ujung tangga, aku melihat Umar sedang menghajar Handoyo habis-habisan. Bahkan sudah tak terdengar lagi teriakannya. Hanya rintihan lirih yang keluar dari mulut musuh bebuyutan ayah.“Umar, hentikan, Nak! Nanti dia bisa mati!” teriakku.“Mamahmu benar, Umar. Kalau sampai dia mati. Kau bisa dipenjara!” teriak suamiku.“Aku tidak peduli! Dengan kematiannya, papah dan adek bisa tenang!”‘Umar, mengertilah. Mamah sudah kehilangan adikmu. Mamah tidak mau kehilanganmu, Nak.” Aku menangis dan memohon kepada putraku untuk menghentikan aksinya. Namun dia tidak mendengarkan permintaanku. Sorot matnya bak api yang siap melalap tubuh siapapun yang berdiri di hadapannya.“Apa kau tahu konsekuensi dari apa yang kau lakukan?! Sekali lagi Om katakan. Kau bisa dipenjara! Kebebasanmu terenggut karena kau terbelenggu di balik jeruju besi! Siapa yang akan membantu Om untuk menjaga mamah dan adik-adikmu?! Bukankah kau sendiri yang berjanji akan menjaga mamahmu bahkan tak percaya kepadaku?!”“Aku siap dengan konsekuensi apapun! Dan setelah ini, tak ada lagi orang yang bisa menyakiti mamah. Kau harus bisa menjaga mamah sendiri!”“Umar tolonglah ....”“Diamlah! Jangan bicara lagi! Aku takkan berhenti sampai melihat mayat dari pria jahat ini!”Umar lalu mengangkat tubuh Handoyo dengan kedua tangannya. Matanya menatap lurus ke arah bawah, di mana terdapat jasad adik dan Arya. Polisi juga sudah datang. Bagaimana ini, apapun caranya aku harus menghentikan umar. Aku tak mau terjadi apapun dengannya.“Umar. Jangan lakukan. Atau kau ingin melihat mamah mati di hadapanmu?” aku masih terus berusaha untuk menghentikannya hingga detik terakhir. Umar menoleh kearahku dan tersenyum tipis.“Aku takkan membiarkan hal itu terjadi.”sesaat kemudian, Umar benar-benar melempar tubuh Handoyo. Aku menjerit melihat tubuh pria itu melayang-layang di udara. Benar-benar syok. “Astaghfirulloh hal’adzim, Umar!” fajar juga terlihat syok sama sepertiku.“Adek, papah! Aku sudah membalaskan dendam kalian! aku tak menyesal sudah melakukan ini!” Umar berteriak dengan kencang. Suara buum yang begitu keras membuatku merinding dan sangat ngeri.Apa yang akan terjadi dengan putraku setelah ini. Aku tak mau dia dipenjara. “Umar! Apa yang kau lakukan, Nak?” ayah tiba di atas bersama anggota kepolisian. Lalu memeluk cucu pertamanya sembari meneteskan airmata.“Kakek. Aku puas. Sekarang adik dan papah bisa tersenyum karena aku sudah membalaskan kematiannya sama persis dengan yang sudah dilakukan oleh penjahat itu!”“Seharusnya kakek yang melakukan itu!”“Anda kami tangkap untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah saudara lakukan.” Ucap salah satu anggota kepolisian.“Tidak! jangan tangkap anakku! Dia tidak bersalah!” aku berlari dan berdiri di hadapan puraku untuk melindunginya. Apapun yang terjadi takkan kubiarkan polisis membawa putraku.“Tolong, jangan menghalangi kami.”“Tidak! dia tidak bersalah pak. Dia masih anak-anak. Handoyo yang bersalah karena sudah membunuh putraku dan papahnya. Putraku hanya membalasnya.” aku memeluk putraku erat. Tak mau dipisahkan dengan putra sulungku ini.“Seharusnya ibu bisa menasehati anak ibu. Apa yang sudah dilakukan itu melanggar hukum.”“Mah. Umar siap untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah Umar lakukan. Papah sudah mengajarkan kepada Umar jangan pernah menjadi pengecut. Apa yang kita lakukan harus kita pertanggungjawabkan. Umar akan selalu ingat nasihat itu.”‘Tapi, Nak ....”“Hapus airmata, mamah.” Umar menghapus airmataku dengan jemarinya. Kini dia menoleh kearah suamiku. “Om, fajar. Sekarang aku sudah bisa menerimamu sebagai suami mamah. Aku yakin kau bisa menjaga mamah dengan baik. Titip mamah, ya. Jangan sakiti mamah. Kalau sampai ini terjadi, apa yang dialami Handoyo tidak seberapa dibanding apa yang akan kulakukan padamu.”Fajar memeluk Umar erat semabri menitikkan airmata. “Umar anakku. Seharusnya aku yang menghabisi Handoyo. Bukan kamu. Aku memang bodoh.”‘Tidak, Om. Ini masih tanggungjawabku. ““Om akan melakukan yang terbaik untukmu. Aku yakin, hakim akan bertindak adil seadil-adilnya. Om sendiri yang akan membelamu!”“Terimakasih, Om.”“Saudara, Umar. Mari ikut kami sekarang juga.”“Baik, pak. Saya siap.” Umar mengulurkan tangannya siap untuk di borgol. Aku menangis histeris saat polisi memborgol tangan putraku dan membawanya pergi. Tak rela harus berpisah dengan cara seperti ini.Mencoba untuk mengejarnya hingga Umar masuk ke dalam mobil polisi. Tubuhku terkulai lemas saat melihat mobil yang membawa putraku hilang dari pandangan.Tiba-tiba saja dada terasa sesak. Bumi tempat berpijak seperti berputar. Dalam hitungan detik semua menjadi gelap. Tak lagi mampu melihat dan mendengar apapun. ***Satu bab lagi menuju ending. Yang ingin tahu balasan apa yang akan menimpa Stefani. Ada di bab terakhir. 89. KEMATIAN TRAGIS STEFANIMIRANTIPalu hakim sudah di ketuk. Hukuman untuk putra sulungku sudah ditentukan. Meremas dada yang terasa sesak. Tubuh terasa lemas. Sepuluh tahun bukan waktu yang pendek. Umar akan menghabiskan masa mudanya di dalam penjara.Aku sangat menyesal. Semua terjadi karena aku yang tak bisa mengendalikan emosi. Kalau saja saat itu aku menuruti apa kata suamiku untuk tidak bertindak gegabah, mungkin saat ini aku masih bisa memeluk putraku setiap detik. Fajar beserta tim sudah mengusahakan secara maksimal. Namun kasus yang menimpa putraku tidak ringan. Keluarga Handoyo juga menuntut keadilan. Seandainya saja waktu bisa di putar, aku ingin melihat Handoyo yang duduk di kursi pesakitan. Rasanya bagai mimpi ketika melihat anakkulah yang duduk di sana. Dada terasa bagai di himpit batu besar. Sesak dan sakit tak terkira.“Yang sabar, Mir.” Fajar memelukku erat. Kutumpahkan segala kesedihan pada dadanya. Walau hanya isak tangis yang terdengar. Tapi jauh dari lubuk hatiku, rasanya ingin berteriak dan menuntut keadilan untuk putraku.“Jangan sedih, Mah.” Aku tersentak mendengar suara yang memanggilku. Menatap waah tenang yang berdiri di hadapanku. “Umar.” Segera memeluknya erat dan tak ingin melepasnya.“Maaafkan mamah, sayang. Semua ini karena kebodohan mamah, Nak.”‘Tidak, Mah. Semua Umar lakukan karena Umar sendiri yang menginginkannya. Dan kini, umar menyadari bahwa yang kulakukan adalah sebuah kesalahn. Seandainya saat itu umar bisa mengontrol emosi, kejadiannya tentu takkan seperti ini. Namun nasi sudah menjadi bubur. Sekarang aku harus mempertanggungjawabkan perbuatanku.”“Mamah gak rela, Nak. Ini tak adil untukmu. Kau masih di bawah umur. Seharusnya hukumannya tidak selama ini.”“Usia umar sudah delapan belas tahun. Dan aku melakukannya dengan sadar. Om fajar juga sudah melakukan yang terbaik untukku. Tapi sekali lagi, anak mamah yang bodoh ini memang salah.”“Nak, kenapa kau selalu membantah mamah. Mamah khawatir akan ada orang yang melukaimu di dalam penjara.”“Insya alloh tidak akan terjadi. Alhamdulillah, Umar bertemu dengan orang-orang yang baik. Justru yang umar khawatirkan adalah sifat mamah yang terlalu mudah terpancing emosi. Jangan sampai ada yang menjadi korban lagi dari sifat mamah yang sama seperti diriku. Mamah mengerti’kan maksudumar?”“Iya, Nak. Mamah mengerti.”“Umar harus pergi. Om, fajar. Tolong jaga mamah dan adik-adikku. Jangan sakiti hati mamah. Om masih ingat dengan apa yang pernah aku katakan bukan? Aku tak segan untuk ....”“Iya, Umar. Om mengerti. Om janji akan menjaga mamah dan juga kedua adikmu.”“Umar putraku, ibu ikut, Nak ... Umaaar!!!” aku berteriak saat para petugas membawa putraku pergi meninggalkanku menuju mobil tahanan. Rintihan hati seorang ibu yang begitu pilu melihat anaknya menjadi korban ketidakadilan. Rasanya tak sanggup untuk berpisah selama sepuluh tahun.“Sabar, Mir.” Fajar memelukku erat. Aku tak bisa menahan kesedihan. Airmata terus beruarai sampai mobil tahanan hilang dari pandangan.“Fajar, ayo kita ikuti mobil yang membawa Umar.”“Baiklah.” Sebagai seorang ibu hatiku benar-benar hancur. Rasanya ingin mati saja hingga tak menyaksikan penderitaan anakku.“Mir. Apa yang diucapkan oleh Umar tadi benar. Semua yang terjadi itu karena keegoisan kamu. Kebodohan kamu yang sangat mudah terpancing emosi. Coba ingat apa yang sudah terjadi. Kau hampir saja di kubur hidup-hidup oleh Arya dulu. Itu juga karena kebodohanmu. Kau memang pemberani. Tapi yang kau lakukan itu tanpa perhitungan hingga berakibat fatal. Seharusnya kalau ada apa-apa bilang padaku. Aku suamimu pasti akan mebantumu.” Ucap suamiku saat kami berada di dalam mobil.“Iya. Aku sadar. Sifatku yang terlalu egois dan selalu membenarkan apa yang ada di dalam pikiranku, sudah membuatku kehilangan orang-orang yang kusayangi. Seandainya saja aku tak datang sendiri ke tempat itu juga menuruti kata-katamu agar tak mendekati Handoyo, mungkin semua ini takkan terjadi. Kedua putraku pasti masih bisa kupeluk. Seandainya waktu bisa di putar kembali, aku pasti akan memperbaiki semuanya.Aku menyesal, sangat menyesal.” Makin larut dalam tangis. Benar-benar rasa penyesalan begitu dalam. “Sudahlah, tak perlu di sesali. Yang penting sekarang, kita menata kembali hidup yang akan kita jalani. Lupakan semua yang pernah terjadi. Jadikan ini menjadi suatu pembelajaran hidup agar lebih berhati-hati dalam menyikapi apapun yang terjadi. Kontrol emosi dengan baik dan jangan pernah bertindak sendiri kalau ada sesuatu yang terjadi, tanpa membicarakannya dulu denganku. Kau mengerti, sayang? Sekarang hapus airmatamu.” fajar tersenyum dan mengusap air mata di pipiku dengan lembut.“Fajar, terimakasih, ya. Kamu selalu ada saat aku membutuhkanmu. Pertolonganmu selalu datang tepat waktu. Aku tak tahu apa jadinya kalau kau datang terlambat. Aku pasti sudah ....” tak kuasa untuk meneruskan ucapanku. Menyilangkan kedua tangan dan meremas bahu. Membayangkan seandainya kejadian naas itu menimpa diriku, pasti takkan mampu melangkah dengan tegak. Lebih baik memilih mengakhiri hidup daripada harus menanggung beban seumur hidup.Fajar menepikan mobilnya dengan tiba-tiba. Aku melihat ke sekeliling. Sepertinya belum sampai di lapas. Entahlah aku juga tak mengerti kenapa fajar menghentikan mobil di sini.“Fajar, kenapa berhenti?” aku menyapu pandangan keluar. Tak ada gedung apapun di sini. Hanya beberapa pohon yang tinggi menjulang.Fajar mengejutkanku saat dengan tiba-tiba dia memelukku erat dan mengecup puncak kepalaku cukup lama. Kecupan itu terasa begitu dalam dan meresap hingga kesanubari.“Mir. Aku akan selalu mendukungmu apapun yang terjadi. Bersamamu adalah kebahagiaanku. Jiwa ini akan terasa mati tanpa kehadiranmu. Mulai sekarang, jangan rahasiakan apapun yang terjadi. Kunci dari awetnya rumah tangga adalah kejujuran. Saat tak ada lagi hal itu rumahtangga kita akan mudah goyah. Saling curiga pasti akan mewarnai kehidupan kita. Sakinah takkan pernah tercipta. Hanya neraka yang akan kita rasakan.”“Iya. Aku mengerti. Dan, aku ingin kau berjanji, apapun yang terjadi, takkan pernah meninggalkanku. Tolong, berjanjilah.”Fajar melepas pelukannya. Menyentuh dagu dan membawa netraku menatap ke arahnya.“Aku janji, takkan pernah meninggalkanmu sendiri. Selama jantung ini masih berdetak, selama nyawa masih bersemayam dalam raga, aku akan selalu bersamamu. Hingga nafas terakhir hanya kaulah yang akan mendampingiku.”“Terimakasih, sayang.” Jawabku dengan senyum kebahagiaan.Fajar mengunci bibirku dengan lembut membuatku makin larut dalam balutan asmara. Kehangatan menjalar keseluruh aliran darah. Setelah sekian lama kami berada dalam masalah, tak pernah tercipta kehangatn seperti ini.Malam ini kami berjanji akan mengikat tali suci sehidup semati dalam panasnya permainan ranjang. Cinta yang akan berbicara dan menyatukan hati kami dengan begitu indah. ***STEFANIAku benar-benar bahagia. Akulah yang sudah jadi pemenangnya. Semua musuhku sudah menderita. Arya sudah mati, Dan dendamku pada Umar yang sudah pernah menolak cintaku juga terbalaskan. Satu dayung, dua pulau terlapaui. Miranti, si wanita menjijikkan itu pasti sangat sedih karena harus kehilangan anak-anak yang di sayanginya. Dan kau Arya, aku sudak muak dengan sikapmu. Aku tak menyangka sangat mudah melenyapkanmu tanpa jejak. Hanya dengan batu kecil itu aku bisa membunuhmu. Aneh tapi nyata.Kini aku menjadi orang kaya. Si gendut pria menjijikkan itu untung saja sudah memberiku harta yang cukup banyak. Rumah mewah, mobil dan rekeningku yang gendut juga sudah dia berikan kepadaku. Walau aku sebenarnya jijik saat si Handoyo menyentuh tubuhku. Tapi tak apalah, toh sekarang dia sudah mati. Anggap saja hartanya yang kumiliki kini menjadi kompensasi dari pelayananku. Terserah orang mau bilang aku wanita murahan. Sst. Kalian salah. Aku tidak murahan. Karena lelaki yang menginginkan tubuhku harus bisa memberiku banyak harta, seperti si gendut tua yang sudah jadi mayat itu.Aku menatap wajahku yang makin cantik dari spion mobil mewah yang sedang kukendarai ini. Kini hidupku bagai di surga. Kerjaanku sama seperti para sosialita. Shopping dan shopping tiada henti. Aku bahagia, aku bahagia.“Astaga.” Aku menghentikan mobil secara mendadak saat sebuah mobil berhenti persis di depanku. Siapa mereka berani-beraninya menghentikanku. Awas aku akan turun dan meneriaki dia dengan kasar. Siapa suruh berurusan denganku. Si nyonya kaya dengan harta yang takkan habis tujuh turunan.Belum sempat aku turun dari mobil, dua orang pria berbadan tinggi tegap keluar dari mobil dan menggedor kaca mobilku. Heran, mereka yang salah kenapa justru dia yang marah-marah. Awas saja akan aku marahi dia habis-habisan. Dia pikir aku takut apa. Aku juga bisa bayar orang untuk memecahkan kepala mereka.Membuka kaca mobil dan hendak memarahinya. Namun salah satu dari mereka menarik kontak mobil dan memaksaku keluar. Aku berontak dan berusaha melepaskan diri.Mereka membawaku ke dalam mobil. Seseorang menutup mata dan juga mulutku. Tangan juga di ikat dengan kuat. Entah apa yang diinginkan oleh mereka. Apa mereka menginginkan uangku. Tidak aku takkan pernah memberikan sepeser uangpun kepadanya.Mobil berhenti. Walau terus memberontak, tetap saja tak mampu mengalahkan tenaganya. Aku dipaksa keluar dari mobil. Seseorang mendorong tubuhku hingga aku jatuh tersungkur. Ikatan pada mata dan juga mulut di buka. Menyapu pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Bukannya ini gedung yang sama saat Miranti di sekap. Lalu kenapa mereka membawaku kemari. Siapa mereka sebenarnya dan apa maunya. Saat melihat orang pertama yang ada di hadapan membuatku sangat terkejut. Jantungku berdegup kencang.“Kau?! jadi kau yang menculikku?! Lepaskan aku!!” tanyaku kepadanya. Nyaliku menciut saat melihat beberapa orang pria yang menatap mataku dengan menjijikkan.“Kau tak lupa dengan perjanjian yang kau buat’kan? dan kau belum membayar sisanya. Sekarang aku minta sisa pembayarannya. Baru kau kulepaskan!” jawab kepala preman itu. Sial, kenapa malah aku yang kena getahnya. “Enak saja! Kau juga tidak melaksanakan tugasmu dengan benar! Kalian tidak jadi mem****osa wanita itu. Jadi kalian takkan mendapatkan sisa pembayarannya!” jawabku degan lantang. Menengakkan kepala supaya tak terlihat takut.“Tapi kami sudah bekerja profesional. Aku tidak mau tahu, cepat bayar sisanya atau aku akan ....”“Akan apa?! Apa yang berani kau lakukan kepadaku?! Aku ini wanita kayaraya dan dengan mudah menyingkirkan orang-orang seperti kalian! mengerti?! Kau minta saja pada Handoyo di neraka sana!” jawabku dengan congkak.“Jangan bermain-mian denganku! Atau kau akan merasakan akibatnya! Cepat berikan sisa uangnya!”“Kalau aku tidak mau?! Kau mau apa?!” tanyaku dengan galak.“Kau menantangku?! Kau pikir aku main-main?! Baiklah ....” Mata pria itu menjelajahi tubuhku. Sangat menjijikkan. Cuiih, aku meludahinya. Sialnya aku memakai dress dengan dada dan paha yang terbuka. Mata mereka seperti kucing kelaparan. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan. Aku sangat takut.“Kami akan bersenang-senang denganmu. Kau akan mengganti wanita itu untuk memuaskan hasrta kami. Akulah orang pertama yang akan menyentuhmu. Selanjutnya kau akan di gilir oleh ke empat belas temanku. Bersiaplah menghadapi kemarahanku! Lepas ikatan pada tubuhnya!” “Tidak! jangan lakukan! Aku berjanji akan memberikan uang yang banyak kepadamu. Tapi tolong, lepaskan aku!” aku beringsut ketakutan. Tak menyangka mereka berani melawan orang kaya seperti diriku. Aku pikir dengan menakut-nakutinya, dia akan melepaskanku. Tapi ternyata perkiraanku salah. Mereka justru balik mengancamku.“Aku sudah tak butuh uang dari wanita sombong sepertimu! Kini terimalah akibat dari kesombonganmu!”Saat ikatan pada tubuhku sudah terlepas, ini saatnya aku berlari. Tak ada jalan lain. Pintu keluar sudah tertutup rapat. Berlari ke arah kanan dan kiri, ada yang menghadangku. Tawa mereka yang membahana benar-benar membuatku bagai dalam neraka. Apa yang harus kulakukan. Kenapa justru rencana jahat kepada Miranti jadi berbalik kepadaku. “Aww! Lepaskan!!” aku menjerit ketakutan saat seorang menarik pakaianku dan merobeknya. Berusaha meronta saat tangan liar itu mulai menjelajahi tubuhku. Aku tak berdaya saat pria itu memaksaku. Tenaganya begitu kuat hingga aku tak mampu menandinginya. Sakit sangat sakit yang kurasakan. Dengan beringasnya lelaki itu merusak kehormatanku.Mereka begitu kejam. Dan menggilirku secara bergantian. Ya Tuhan, aku tidak tahan. Walau raga ini terasa hampir mati, mereka tetap saja melakukan aksi bejatnya. Ya Tuhan, tolong ambil saja nyawaku. Aku tak tahan lagi.Semua menjadi gelap. Tawa mereka bahkan tak terdengar lagi. Mungkin aku sudah berada di alam lain. ****9O. HIDUP DAMAIMIRANTI“Sayang, kenapa berhenti?” aku bertanya kepada suamiku saat menghentikan mobil secara mendadak.‘Itu di depan banyak kerumunan orang. Mobil tidak bisa lewat. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi. Itu ada mobil polisi.” Jawab suamiku sembari menunjuk mobil polisi yang terparkir tak jauh dari hadapan..“Iya.” Aku melihat ke arah depan. Ternyata fajar menghentikan mobil tak jauh dari gedung tua yang menyebabkan trauma pada diriku. Dimana aku hampir saja kehilangan kehormatan dan juga kehilangan orang-orang yang aku sayangi. Semua ini gara-gara Handoyo dan Stefani. Kemana aku harus mencari perempuan hina itu untuk membalas dendam kepadanya.“Maaf numpang tanya, pak. Ada apa ya, kok kelihatannya ramai sekali. Apa ada kecelakaan?” tanya fajar kepada  salah satu orang yang berlalu lalang.“Ada korban pembunuhan. Korbannya perempuan. Katanya korban pemerkosaan lalu di bunuh dan mayatnya di lempar dari atas gedung. Kasihan sekali. Katanya pelakunya lebih dari satu.”“Oh gitu. Terimakasih, pak.” Jawab suamiku.“Aku mau lihat. Kau mau ikut tidak?”“Gak usah lihat. Aku takut.”“Gak usah takut. Kan banyak orang. Ayo ikut sebentar saja.”Fajar memaksaku. Mau tidak mau aku ikut dengannya. Sepanjang perjalanan, tak pernah sedetikpun fajar membiarkanku seorang diri. Tangannya selalu berada di pundakku. Aku sangat bahagia karena dia begitu menyayangi diriku.“Astaghfirulloh hal’adzim. Stefani?!”Aku tersentak saat mendengar suamiku menyebut nama stefani. Karena penasaran, aku memberanikan diri untuk melihat mayat wanita yang katanya tanpa busana.Ternyata tubuhnya sudah tertutup daun. Dan dari sisi yang masih terlihat, tubuh itu lebam dan penuh sayatan. Aku sangat terkejut saat melihat wajah dengan bekas sayatan pisau dan juga lebam di beberapa bagian. Mulutnya menganga lebar dan matanya melotot. Aku menutup mulutku dan sangat ngeri melihat mayat wanita itu. Ya, dia adalah stefani. Aku sangat mengenali wajahnya walau penuh luka.Tak kuat untuk melihatnya lebih lama. Segera menarik suamiku dan masuk ke dalam mobil.“Aku tidak menyangka, stefani meninggal dengan cara mengenaskan.” Ucapku masih dengan tak percaya.“Iya, kematiannya sangat tragis. Katanya pelakunya lebih dari sepuluh orang, Dan mereka melemparnya dari atas gedung. Kejam sekali pelakunya.”“Iya, kejam sekali.”“Ini menjadi sebuah pelajaran untuk kita. Selalu berbuat baiklah, Jangan pernah merencanakan perbuatan yang keji, karena itu bisa berbalik kepada diri sendiri. Stefani menjadi contohnya. Sebuah keburukan akan kembali kepada pelakunya. Begitu juga sebaliknya.”Satu sisi aku lega karena tak perlu mengotori tangan untuk membalas dendam., Tuhan sudah membalaskannya. Hal ini menjadi pelajaran yang sangat beharga untukku. Perbuatan baik ataupun buruk bisa di bayar lunas oleh sang pencipta. Semoga kedepannya kehidupan rumah tangga bersama suami terbaikku akan tetap langgeng dan tanpa masalah. Satu persatu musuh sudah tiada. Aku dan fajar siap menyongsong hari bahagia.Kami berpegangan tangan dan menatap langit. Hanya satu yang ingin kami ucapkan, Terima kasih kepada Alloh Swt yang sudah memberikan kekuatan dan kesabaran kepada kami untuk melewati masa-masa sulit. Kami berjanji akan semakin mendekatkan diri kepada sang pencipta agar mendapat keberkahan hidup.**** TAMATNote : Silakan untuk memberi masukan atau apapun yang bisa diambil dari kisah ini.Insya alloh kalau masih banyak yang berkenan untuk membaca, saya akan mempersiapkan sekuelnya. Ceritanya nanti akan lebih menitikberatkan kepada cerita Miranti dan fajar dalam berjuang untuk mendapatkan buah hati. Juga cinta segitiga antara Umar dan amir.Terimaksih yang tak terhingga kepada para pembaca yang sudah meluangkan waktu dan coin untuk bisa mengikuti kisah ini. Sekali lagi terimakasih.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan