
Dimana lo taruh uangnya tolol?
Cepet kasih atau gue hancurin ini kamar!
Durhaka emang lo
Ck, selain dia, siapa yang berani mengirim pesan sekasar ini pada siputnya?
"Pak." Dan suara itu membuat Arven kembali mendongak. Entah sejak kapan Asmara berdiri di sana, sayang tangannya terlanjur terkepal.
Jangan lupa tap love dan komen ya kakak❤
- Cek PAKET BENEFITS” cuman Rp39.900, kalian sudah bisa baca sampai tamat dan lebih hemat dari beli satuan🥰🥰🥰 PAKET TERBATAS UNTUK 100 pendukung tercepat yaa.

Jangan lupa bacanya sambil dengar lagu Bazzi-Beautiful yaaa🎼🎼, karena lagunya sesuai sama isi hati Pak Arven
Hati-hati juga part ini bikin gigit bantal dikit😭🙏🏻
Baiklah mari kita saksikan kegombalan pak Arven di part ini
Chapter 10 > Satu Kasur

"Assalamualaikum, Pak Arven buka pintunya ini Mara."
Asmara buru-buru mendatangi apartemen Arven dan berharap pria itu tidak apa-apa. Dipencetnya bel berulang kali tetapi tak kunjung ada sahutan. Bukan dia meragukan kelihaian Arven dalam menjaga diri. Namun ia tahu betapa bahayanya ancaman Haris.
Napasnya memburu sehabis berlari kencang, nadinya berdenyut tak karuan. Khawatir bukan main mengingat hal ini menyangkut nyawa seseorang. Dan Asmara tidak akan tenang sebelum dia melihat Arven dalam keadaan baik-baik saja.
Sementara di dalam, suara bel menganggu Arven yang tengah berbaring di ranjang. Pria dengan kaos abu dan celana hitam selutut itu pun terpaksa bangun lalu menyibak selimut padahal kepalanya terasa sangat pening.
Kurang ajar!
Siapa yang berani bertamu malam-malam begini?
Sesaat membuka pintu, didapatinya Asmara berdiri dengan wajah lugu.
"Ma-malam... Tadi ada yang bertamu ke sini nggak, Pak?" Syukurlah dia baik-baik saja.
Sejenak kedua alisnya terangkat, Apakah gadis ini sengaja mencari masalah? Ia pun spontan menarik tangan Asmara hingga tubuh gadis itu mentok ke dadanya.
"Eh-eh." Alhasil Asmara tergelak.
"Lo datang tanpa izin berarti lo tamu pertama gue malam ini," lirih Arven bergegas mengunci pintu. Senyum jahilnya terbit. "Dan nggak bakal gue izinin lo pulang sebelum lo merawat gue."
Merawat? Maksudnya?
"Bapak sakit?" Mendongak, menempelkan punggung tangan ke dahi Arven. Benar saja suhu tubuhnya cukup tinggi. "Ya ampun bapak ternyata demam. Pasti gara-gara kerja terlalu keras. Bapak nggak ada cuti minggu ini?"
Anehnya, Asmara mendadak heboh membuat Arven diam-diam mengulum senyum.
Meninggalkannya yang kebingungan harus melakukan apa. Arven duduk di bibir kasur maka serta merta Asmara mengekori. Sungguh, niatnya bertamu hanya memastikan ancaman Haris sekedar candaan, tetapi kenapa ia malah diminta jadi dokter dadakan?
"Pak, Mara bukannya mau nginap, tapi Mara cuman mau memastikan pak Arven baik-baik aja."
"Gue bilang tadi apa. Lo harus merawat gue baru boleh pulang," putusnya seenak jidat. "Siapa suruh lo datang kemari siput, emang lo kira gue bakal diapain orang?"
Kicep, Asmara menggaruk pipinya dengan bibir terkatup rapat. Tidak mungkin kan dia mengatakan bahwa Haris yang mengancam?
"Plus karena lo datang tanpa diundang, lo mesti rawat sekalian temenin gue sampai tidur, awas lo berusaha kabur!"
"Tapi—"
"Nggak usah banyak alasan. Gue tau kenapa lo bertamu." Pria itu bersedekap dan tersenyum tipis. "Lo kangen sama gue kan siput, ngaku lo?"
"Dih, siapa juga yang kangen sama bapak."
"Bohong."
"Serius. Mara tuh sebenarnya... Aaa!"
Kemudian Arven tiba-tiba menarik tangannya hingga mereka sama-sama terbaring ke atas kasur. Bahkan pria itu memeluknya begitu erat hingga Asmara merasa sangat engap. Kaki Arven melingkar satu ke atas pinggangnya mengunci pergerakan.
"Pak Arven lepasin Mara!" Menekan kepalanya sampai tenggelam di caruk leher pria itu, Asmara meronta dan Arven justru tertawa kencang.
"Pak Arven."
"Pilih, bersedia merawat gue apa nggak. Kalo iya gue lepas, kalo nggak, gue pastikan lo mati karena kehabisan napas," ungkapnya memberi pilihan.
Asmara melotot horror. Siapa yang bersedia meninggal dalam keadaan konyol?
"Iya-iya, Mara bersedia kok, makanya lepasin Mara dulu biar Mara bisa rawat pak Arven."
Barulah Arven tersenyum puas. Dilepasnya rengkuhan erat dari tubuh Asmara. Asmara pun buru-buru bangun guna mengontrol napasnya.
"Duh, gara-gara pak Arven jantung Mara rasanya mau copot tau."
Arven pun tertawa puas.
"Kemana?" Ditahannya pergelangan Asmara saat gadis itu hendak beranjak.
"Bapak pengen dirawat nggak? Kalo pengen Mara ke dapur nih buatin teh hangat."
"Teh hangat doang gue bisa bikin sendiri kali."
"Terus bapak pengen dibikinin apa?"
"Gue lagi pengen bubur."
"Heum baiklah, Mara bikinkan bubur yaa. Pak Arven tinggal tunggu Mara sambil rebahan." Ia berdiri, tanpa diduga malah membenarkan letak bantal lalu menepuk-nepuknya. "Ayo rebah sini."
Sial, seharusnya dia marah, kesal atau apa kek, tapi kenapa Asmara selalu sabar atas kejahilan yang dia lakukan?
"Males, gue ikut lo ke dapur aja."
"Katanya demam?"
"Ck, Yang tamu emang gue apa elo hah?"
"Ish yaudah terserah pak Arven deh, daripada demamnya naik gara-gara emosian mulu," decak Asmara manyun. Dan untuk kesekian kalinya, "Eh-eh pak, bisa nggak jangan suka gendong Mara mendadak gini?"
Ya Arven kembali menggendongnya ala koala menuju dapur. Asmara mau tak mau melingkarkan tangannya ke leher Arven sebab takut jauh. Hangat, badan Arven benar-benar hangat membuat Asmara tak habis pikir kenapa Arven memaksa diri mengikutinya ke dapur. Tiba, Arven menurunkannya pelan-pelan di atas pantry lalu berbisik.
Buatin gue bubur yang paling enak.
"Heum. Siap, Bos." Mengacungkan jempol, namun tak disangka Arven malah menggigitnya.
"Ah sakit Pak Arven!"
Arven tertawa puas. Asmara menatap miris jempolnya yang terdapat bekas gigitan. "Makanya buru bikinkan. Semua bahannya ada di kabinet."
Untung Nadin sudah dia titipkan pada tetangga sebelah seandainya dia pulang larut malam. Asmara menghela napasnya, dia pun menyiapkan semua bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bubur. Sesekali bertanya pada Arven letak bumbu-bumbu dapur. Asmara tak menduga malamnya akan dihabiskan di apartemen pria ini.
Duduk di kursi makan, entah dorongan darimana sorot mata Arven enggan beralih pada Asmara. Melihat gadis bertubuh mungil itu sangatlah telaten memotong bahan menggunakan pisau dapur. Yang notabenenya benda itu sangat anti ia sentuh. Mengiris ayam, hingga memastikan takaran air yang pas di dalam panci.
Oh ya, dia baru ingat, ibu Asmara sudah meninggal dan mungkin hal tersebut yang membuatnya terbiasa melakukan aktivitas dapur.
Lima belas menit berlalu.
"Udah apa belum siput? Lama amat gue laper."
"Mara belum kasih garam di buburnya, bentar ya, Pak." Asmara pun bergegas memasukkan garam menggunakan takaran yang pas. Bertepatan itu Arven mendekat di sampingnya. "Coba pak Arven cicip dulu, keasinan atau enggak."
Maka Arven langsung mengambil sendok yang Asmara ulurkan.
"Enak," ujarnya menyecap. Asmara tersenyum lega.
"Ah enggak gue ralat, rasanya nggak enak sebelum lo suapin gue."
Ck, Pak Arven nih ngelunjak yaa.
"Iya-iya, pak Arven tunggu aja di meja pasti Mara suapin kok." Diambil alihnya lagi sendok di tangan pria itu, sedangkan Arven kembali ke meja makan.
Layaknya anak kecil yang dimasakan oleh ibunya Arven menunggu. Tak lama Asmara mendekat dengan semangkok bubur bertoping suwiran ayam, irisan telur rebus, kerupuk serta taburan bahan lain yang membuat aromanya sangatlah menggiurkan. Arven menelan saliva menatap semangkok bubur di hadapannya.
"Gue bakal bayar lo seandainya rasa nih bubur beneran enak."
"Nggak dibayar juga nggak papa. Mara ikhlas lho bikinnya buat pak Arven."
Gila! Emang boleh lo sebaik ini siput?
"Suapin gue Mara," pintanya. Asmara mengangguk dan duduk di sampingnya. Menyendok bubur tadi lalu menyuapinya.
"Gimana? Enak, kan?"
Mengunyah beberapa saat merasakan bubur itu, Arven menjawab. "Kaldunya kebanyakan gue jadi eneg."
"Serius? Perasaan tadi Mara campurin kaldunya dikit doang. Kurang pas kali yaa. Berarti Mara mesti belajar lagi."
Gue bohong doang kali anjir.
"Lo darimana sih?" tanya Arven kesal-kesal gemas atas tingkah gadis ini.
"Dari rumah kok, tadi habis nemenin Nadin makan malam Mara langsung kemari. Kena—"
"Sekarang cobain masakan lo sendiri."
Bibir Asmara lantas merapat dan ia menatap Arven ragu. "Enggak enak ya pak?"
"Buru coba!"
Baiklah, jika rasa bubur buatannya benar-benar kurang enak setidaknya ia sudah bertanggung jawab ikut menyantap.
Namun...
"Enak kok."
"Yang bilang nggak enak siapa?"
"Tapi tadi katanya—astaga!" Kaget bukan main kala Arven merebut mangkok lalu menyantap buburnya dengan lahap. Asmara mengelus dada. Sepertinya dia memang harus lebih bersabar menghadapi orang demam semacam Arven.
"Gue minta suapin Mara!"
***
"Jangan kemana-mana, badan gue panas bangett, temenin di sini sampai gue tidur," pinta Arven seraya berbaring.
Asmara yang baru selesai mencuci piring langsung memasuki kamar dan duduk di bibir kasur menghadap pria itu. Usai meletakkan teh hangatnya di nakas. "Tadi udah diminum kan obatnya?"
"Hooh."
Mengambil termometer di ketiak Arven, ia mengernyit risau. "Duh udah nyampe tiga puluh tujuh derajat, pak Arven nggak mau ke dokter aja?"
"Males." Jawabnya menggidikan bahu. "Toh, ada lo yang merawat gue."
"Gimana kalo demamnya nggak kunjung turun? Pak Arven nanti bisa kejang-kejang loh, pingsan, terus-"
"Terus apa?"
Asmara menggaruk pipinya spontan menyahut ragu. "Eumm meninggoy."
Arven lantas mendorong pelan jidat gadis itu menggunakan telunjuknya "Ck, mikir lo kejauhan nggak sih?"
Setelahnya gadis itu terkekeh pelan membuat Arven semakin sebal. Dia memalingkan wajah ke samping. Asmara paham, di saat demam begini pasti Arven merasa serba salah. Moodnya buruk, jadi mesti ada yang ia lakukan agar Arven bisa merasa lebih tenang.
Ditariknya selimut menutupi sebatas dada tubuh Arven tanpa ada penolakan. Selanjutnya ikut naik ke atas ranjang.
"Ngapain siput?" Arven sendiri bingung apa yang akan Asmara lakukan.
"Aku tau caranya biar demam kamu turun, jadi Mara izin ya naik ke atas kasur bapak," ungkapnya. Bersila di samping kepala Arven. "Boleh turunin bantalnya?"
Arven mengangguk. Ia bangun sebentar menurunkan bantalnya dan berbaring lagi. Asmara tersenyum.
"Maaf ya, sekarang Mara izin pegang kepala kamu boleh?"
"Ya."
Alhasil tanpa banyak tanya gadis itu langsung memberikan pijatan lembutnya, bikin Arven membelalak.
"Gimana? Enak, kan?"
"Lumayan." Tanpa bisa ditahan senyum Arven mengembang. "Lo belajar mijat darimana?"
"Nggak dari siapa-siapa. Cuman waktu ibu masih hidup Mara suka pijatin kepala beliau. Gara-gara itu Mara jadi tau cara mijat yang benar."
Arven pun mengangguk-ngangguk, ia mendelik ke atas berusaha menatap gadis itu. "Terus, kenapa lo mau mijatin gue?"
"Supaya pak Arven cepat sembuh dong, jadi Mara bisa pulang."
"Bukan karena duit? Lo sengaja ya supaya gue bayar lebih."
"Dih. Mana ada. Bagi Mara duit bukan segalanya tau!" pungkasnya dengan bibir mengerucut sementara tangannya sibuk memijat bagian pelipis. "Uang yang bapak kasih kemarin aja belum habis tuh."
Iya, belum habis karena Haris tidak tahu saja dimana dia menyembunyikan uangnya. Mungkin karena itu Haris kesal, jika tidak Asmara tidak akan berakhir di sini.
Arven mengangguk mengerti. "Nyokap lo memangnya kenapa bisa meninggal? Sakit?" Ia makin penasaran apa sebenarnya yang terjadi.
Asmara menggeleng. "Bukan. Tapi ibu terjebak dalam kebakaran rumah kami saat nolongin Mara sama Nadin."
"Terus bokap lo?"
"Ayah... " Ada jeda saat Asmara ingin menjawabnya. Lantas Arven menyela sebab rasa keponya telah mencapai ubun-ubun.
"Sakit, kan? Lo pernah bilang bokap lo sakit jadi nggak bisa kerja lagi buat nafkahin lo."
"Heum iyaa."
"Apaan jawabnya ragu gitu? Lo bohong ya?"
Sedikit.
"Enggak kok. Serius," Asmara pun menggeleng cepat sembari menampilkan dua jarinya membentuk tanda peace. Tersenyum manis.
"Oke, gue percaya." Dan demi memastikan Arven sengaja berbalik tiarap demi memandang gadis itu lekat-lekat, mereka bersitatap, Asmara sontak memalingkan wajah karena dia tidak tahan ditatap lama semacam itu, pipinya terasa menghangat.
"Gue haus pengen teh hangat lo tadi," ungkap Arven menegap duduk.
Tubuh pria itu memang kekar berotot namun ternyata saat sakit dia akan sangat manja. Asmara mengangguk dan menjangkaukan teh hangatnya di nakas.
"Nih." Mengulurkannya
"Lo duluan minum."
"Eh?" Mata berbulu lentik itu menatapnya dengan kedip lugu.
"Iya buru minum."
Enggan berdebat, Asmara pun menuruti permintaan Arven. Meneguk sekali teh hangat buatannya sembari membatin, pak Arven kira aku racunin dia kali ya? Ish, suudzon bangett.
"Thanks," Arven tersenyum kemudian mengambil alih teh dari tangannya.
Tanpa beban, pria itu menenggaknya bahkan langsung habis dalam beberapa kali tegukan. Tapi gelas itu... terdapat bekas bibirnya, jadi... secara tak langsung mereka udah ciuman dong?
"Pak," tegur Asmara.
"Apa?"
"Itu gelasnya bekas bibir Mara."
"Terus?"
"Bapak nggak jijik?"
"Kenapa jijik?" Arven tersenyum miring. Meletakkan gelas di belakang nakasnya lanjut mendekatkan kepala mereka kemudian berbisik. "Lo lupa gue udah pernah rasain seisi mulut lo?"
Telak!
Seketika rasa panas menjalari pipi Asmara.
Duh, pak Arven pasti sengaja mengingatkannya atas ciuman mereka malam itu!
"Udah ah, Mara mau ke toilet dulu."
Tawa geli sontak Arven luapkan melihat betapa bersemunya Asmara, gadis itu cepat-cepat turun dari ranjang dan melipir keluar kamar. Sial! Menggoda Asmara kenapa rasanya semakin menyenangkan.
Arven pun kembali membaringkan tubuhnya.
Saat tangannya jatuh ke samping, ia tanpa sengaja menyentuh sebuah benda pipih. Diambilnya benda itu ternyata ponsel jadul milik Asmara tertinggal. Ukurannya kecil, tetapi tidak mengurangi ketelitian Arven untuk melihat chat masuk yang terpampang di layar.
08586897xxxx
Dimana lo taruh uangnya tolol?
Cepet kasih atau gue hancurin ini kamar!
Durhaka emang lo
Ck, selain dia, siapa yang berani mengirim pesan sekasar ini pada siputnya?
"Pak." Dan suara itu membuat Arven kembali mendongak. Entah sejak kapan Asmara berdiri di sana, sayang tangannya terlanjur terkepal.
"Ouh, pak Arven yang mainkan hape Mara? Pantas Mara cari nggak ketemu-ketemu ternyata sama bapak yaaa. Mara mau pamit pulang nih takut kemaleman. Tapi di luar malah hujan," ujarnya naik ke atas ranjang dengan sedikit cemberut.
Berbeda dengan Arven yang menghembuskan napas berat sebelum menunjukkan layar ponsel gadis itu. Beribu pertanyaan menyerbu kepalanya.
"Siapa? Gue nggak akan izinin lo pulang sebelum lo kasih tau gue ini chat dari siapa Mara."
***
Bersambung ...
Kira-kira gini penampakan hape Mara, masih jadul ya ges ya😁

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
