Ex's Invitation — LIMA

33
5
Deskripsi

Hai, masih antusias kan? jangan lupa tinggalkan komentar dan love nyaa,,

Happy Reading,

Jindajoon💜

—Aqilla Pov'

 

Bola mataku membulat senang, ketika melihat layar ponselku menampilkan nama Papa disana. Segera ku menerima panggilan telepon itu, menempelkan benda pipih pada telinga yang kebetulan belum ku pasang anting-anting. Karena memang pagi ini aku sedang bersiap untuk pergi ke kantor.

"Papa,, Qilla kangeen!" Sambutku antusias setelah mengucapkan salam.

"Putri Papa yang cantik,, Papa juga kangen." Balas Papa diseberang sana tak kalah antusiasnya.

Sungguh aku sangat merindukan sosok gagah dan tampan nya Papa, mungkin sudah hampir 3 bulan aku tidak bertemu Papa setelah kepergian nya ke Makassar untuk bertugas.

"Kamu pasti lagi bersiap buat pergi ngantor ya?" Tanya Papa yang memang sudah tahu rutinitas ku.

"Hmmh.." Jawabku sambil menganggukkan kepala, walaupun sebenarnya itu sia-sia saja, karena Papa tidak dapat melihat.

Meski kami jarang berkomunikasi karena kesibukan Papa yang padat, tapi kami saling bertukar informasi dari hal sepele sampai hal penting di setiap ada kesempatan berkomunikasi.

"Papa punya kabar gembira.." Beritahu Papa yang berhasil membuat keningku berkerut.

"Kabar apa? Papa mau pulang?" Tebakku penuh harap.

Karena bagiku, tidak ada kabar paling membahagiakan selain kabar bahwa Papa akan pulang ke rumah.

"Memang se kangen itu sama Papa?" Goda Papa sambil terkekeh dengan khasnya. Bibirku mengerucut, merajuk mendengar godaannya.

"Banget! Qilla kangen banget sama Papa, 3 bulan lho kita gak ketemu." Sahutku dengan manja.

Memang seperti ini sikap ku, selalu manja pada Papa, baik secara langsung maupun via telepon seperti ini. Walaupun usiaku sudah menginjak diangka 27 Tahun, tapi aku masih seperti gadis kecil jika sudah dihadapan Papa, laki-laki yang menjadi cinta pertamaku.

"Mau dibawakan hadiah apa kalau Papa pulang?"

Aku menggeleng cepat. "Qilla gak mau hadiah apa-apa, dengan Papa pulang aja, udah menjadi hadiah terbaik buat Qilla."

"Anak kecil Papa sudah dewasa rupanya."

Senyumku mengembang hanya dengan pujian kecil yang Pap berikan.

"Jadi kabar baiknya, Papa beneran pulang kan?" Tanyaku memastikan.

"Iya,, Papa pulang sayang,, kalau gak ada tugas dadakan, seminggu lagi Papa pulang."

"Beneran?" Bola mataku berbinar senang, bahkan senyumku mengembang dengan lebar.

"Iyaa,, kamu beneran gak mau dibawain apa-apa?" Tanya Papa untuk kedua kalinya soal oleh-oleh apa yang aku inginkan.

Aku lagi-lagi menggeleng. "Enggak Papa,, Qilla lagi gak pengen apa-apa."

"Ya sudah kalau begitu,, Papa tutup ya telponnya, kamu juga harus berangkat kerja kan?"

"Hemmh,, Papa jaga kesehatan. Qilla sayang Papa." Sahut ku mengakhiri panggilan telepon.

Aku melanjutkan kembali aktivitas ku yang tertunda karena panggilan telepon dari Papa, sebenarnya aku sudah selesai bersiap sih, hanya tinggal memasang aksesoris anting saja, setelah itu selesai.

"Papa telepon,, katanya seminggu lagi bakal pulang." Beritahu ku pada Ibu tepat setelah aku duduk di meja makan.

Pagi ini ibu membuatkan sandwich sesuai permintaanku semalam sebelum pergi tidur.

"Papa mau pulang? Kamu minta Papa bawain bannang-bannang gak?"

Aku menggeleng santai sambil menggigit sandwich buatan Ibu. "Qilla gak minta." Kataku santai.

Tapi berbeda dengan Ibu, ibu menatapku dengan tatapan kecewa. "Ih,, Kamu kan tau, ibu suka bannang-bannang khas Makassar. Telpon lagi Papa, suruh bawa banang-banang sama Baruasa."

Aku tersenyum tanpa dosa melihat ibu yang kalang kabut begitu. Sebenarnya aku sangat tahu, kalau ibu sangat suka dengan Bannang-bannang, karena pasalnya setiap Papa pulang, beliau selalu membawa itu, rasanya manis dan enak jadi ibu ketagihan dengan Bannang-bannang khas Makassar.

"Gak perlu diingatkan Bu, Papa pasti gak akan lupa kok sama makanan kesukaan Ibu." Kataku sangat percaya diri.

Karena aku tahu, meskipun aku tidak meminta oleh-oleh sesuai yang Papa tanyakan, aku sangat yakin, Papa tidak akan pulang dengan tangan kosong, memang biasanya selalu seperti itu.

Apalagi Ibu sangat suka dengan Bannang-bannang, sangat dipastikan itu akan menjadi oleh-oleh wajib yang akan Papa bawa pulang.

 

                                    🌼🌼🌼

 

Meeting pagi ini sangat membosankan, aku paling tidak suka dengan agenda meeting tahunan di kantor setiap menuju akhir tahun seperti ini. Karena meeting tahunan selalu dihadiri oleh CEO nya langsung beserta penanggung jawab di masing-masing divisi, salah satunya ada Mba Sarah, orang yang selalu mengibarkan bendera perang.

Dia selalu menatap ku dengan tampang juteknya, serta paling sering menyerang ku setiap ada kesempatan ketika meeting sedang berlangsung. Seperti sekarang, dia selalu memojokkanku dengan pandangan membunuhnya.

"Sudah menjadi tanggung jawab Divisi Operasional, soal konsep promo akhir tahun!" Ucap Mba Sarah dengan angkuh nya.

Padahal divisinya pun ikut andil juga dalam membuat konsep, apalagi Divisi Marketing adalah jantung nya perusahaan, Divisi yang paling dibutuhkan dalam mencari keuntungan untuk perusahaan.

"Jangan lupakan, itu menjadi job desc kamu Aqilla!" Sahutnya lagi.

Aku hanya mengatur ritme nafasku agar bisa sabar menghadapi watak nyebelinnya Mba Sarah. Aku sangat sadar diri, posisiku berada dibawahnya walaupun tidak secara langsung.

Agenda meeting pagi ini selain membahas profitabilitas perusahaan, juga membahas persoalan konsep promosi akhir tahun, yang selalu ada setiap tahunnya, meskipun konsepnya selalu sama setiap tahunnya, tapi tetap saja harus didiskusikan. Salah satunya seperti pemilihan seorang Brand Ambassador untuk dijadikan Model Iklan yang akan di tayangkan di beberapa stasiun televisi.

Dan sudah dua tahun terakhir, perusahaan kami memilih artis terkenal di Korea yang menjadi model iklan nya, tentunya itu karena gagasan ku dan Melly yang kebetulan Melly berada di Divisi Marketing.

"Tenang Mba,, saya gak akan lupa dengan tanggung jawab saya." Sahutku yang mencoba bersikap tenang.

"Terimakasih sudah peduli dan mengingatkan saya." Tambahku lagi, sengaja menyindirnya dengan halus. Dan itu sukses membuat dia berdecih sebal.

Waktu berjalan seakan sangat lambat ketika hati merasa tidak nyaman, butuh waktu kurang lebih 3 jam untuk menyelesaikan agenda meeting tahunan hari ini. Beruntungnya meeting ini selesai tepat tiga puluh menit lagi menuju jam makan siang.

Aku meluruhkan bahuku ketika para atasan-atasanku di kantor sudah pamit undur diri untuk kembali ke ruangan nya masing-masing, termasuk nenek sihir itu.

"Kerja bagus hari ini Aqilla." Sahut Mas Rangga dengan bangga.

Ah, aku melupakan kehadiran Mas Rangga yang masih setia duduk di kursinya, tepat di sebelahku. Sampai sekarang pun aku masih lupa kalau  Mas Rangga masih seorang atasan ku, sungguh kurang ajar sekali diri ini.

Aku tersenyum singkat mendapat pujiannya. "Terimakasih atas pujiannya."

"Sepertinya, sekarang kamu sudah bisa mengatasi serangan dadakan dari Sarah." Tubuh Mas Rangga sudah sepenuhnya menghadap ke arahku, dengan sikunya yang ia taruh diatas meja untuk menumpu pelipisnya.

"Waktu yang membuat saya berani Mas." Jawabku seraya terkekeh pelan.

"Bagus deh, gak salah saya milih kamu jadi calon istri."

"Pliss deh Mas,, jangan asal jeplak gitu kalau ngomong. Mas sadar gak sih, kenapa sikap Mba Sarah selalu jutek ke saya itu karena apa?"

Dahinya berkerut seperti sedang berpikir. "Kenapa sih? Bukannya sudah bakatnya dia seperti itu?"

Aku memutar bola mata dengan malas, melihat ketidak pekaannya, atau mungkin kepura-puraan nya.

"Mas beneran gak tau, atau pura-pura ga tau sih?" Ucapku sudah masuk ke tahap jengkel.

"Emang Mas gak tau, kenapa sih?" Tanyanya dengan ekspresi bingung nya.

"Beneran gak tahu?" Tanyaku tidak percaya. "Mas gak sadar kalau selama ini, Mba Sarah benci saya itu karena Mas?"

"Masa sih? Kok bisa?" Tanya nya, masih menyangkal.

Aku meremas tanganku dengan kesal sekaligus gereget secara bersamaan dengan tingkat kepekaan nya Mas Rangga.

"Mba Sarah seperti itu tuh, karena dia gak suka kalau Mas terus deketin saya. Harusnya Mas peka dong."

Mas Rangga hanya terdiam setelah aku memberitahukan alasan dibalik sikap ketusnya Mba Sarah. Aku tidak tahu isi pikirannya apa, dari yang aku tangkap diwajahnya, dia sedang berpikir sekaligus menyangkal atas fakta yang baru saja di terima nya.

"Apa hak Sarah, gak suka kalau saya deketin kamu?"

Arghh,, sumpah aku kesel dengan jalan otaknya. Jabatan aja Direktur Operasional, tapi soal menangkap signal perhatian dari wanita saja tidak bisa. Cemen!

"Harus aku jelasin banget ya Mas?" Seruku sebal.

"Gak usah, gak perlu, gak ada manfaatnya juga bahas dia." Putus nya pada akhirnya.

Dia melirik arloji branded di tangannya, lalu kembali beralih menatap ku. "Bentar lagi makan siang, kita makan yuk. Kamu mau makan dimana?" Ajaknya merubah topik pembicaraan.

Padahal aku masih gereget dan kesal, tapi dia dengan mudahnya mengabaikan nya lalu merubah topik pembicaraan.

Aku menggeleng cepat. "Mas makan siang sama Mba Sarah saja. Saya sudah ada janji dengan Zanna dan Zulfa." Tolakku sedikit berbohong.

Kenyataannya aku sama sekali belum mengajak dua sejoli yang sangat usil itu untuk makan siang bersama, setidaknya aku harus memiliki alasan dulu untuk menolak ajakan dari Mas Rangga.

"Kenapa sih, setiap saya ajak makan siang, kamu selalu menolak?"

"Mas kan makan siangnya selalu bareng Mba Sarah, kalau saya tiba-tiba ikut, yang ada saya pulang-pulang hanya nama saja."

"Huss,, kamu kalo ngomong!" Mas Rangga melotot tapi tak lama ia terkekeh dengan lelucon ku itu.

"Memangnya Sarah kanibal suka makan orang?" Tanyanya masih dengan kekehan kecilnya.

"Udah ah, saya duluan ya Mas, mau liat sett pemotretan dulu." Izinku, segera mendorong kursi yang sedang ku duduki.

Tanpa menunggu respon nya lagi, aku bergegas pergi meninggalkan ruang meeting, sebelum Mas Rangga semakin memaksaku untuk ikut makan siang bersama dengannya juga Mbak Sarah.

 

                                     🌼🌼🌼

 

Setelah berhasil menghindar dari Mas Rangga, sesuai omonganku, aku menyempatkan sebentar ke ruang studio foto, sett tempat untuk pemotretan kali ini sudah siap karena memang jadwal pemotretan hari ini dilakukan setelah jam makan siang. Dikarenakan sang model yang tak lain adalah Ansel Diantoro harus menyelesaikan photoshoot terlebih dahulu pagi-pagi dengan salah satu brand yang lain. Jadi waktu pemotretan disini, terpaksa dimundurkan.

Karena semuanya sudah siap tinggal menjalankan pemotretan saja, aku beralih ke ruang wardrobe tempat Zanna melakukan aksinya. Tujuannya sih aku ingin mengajak nya makan siang, siapa tahu dia belum membuat janji dengan pacarnya.

Namun setelah sampai diruang wardrobe, aku sama sekali tidak menemukan Zanna disana.

"Fit,, liat Zanna?" Tanyaku pada Fitri yang sedang sibuk mencatat sampel produk yang akan di pakai untuk pemotretan hari ini.

"Tadi sih bilangnya mau siap-siap, mau makan siang sama pacarnya."

Aku mendesah kecewa mendengar info yang tidak ingin aku dengar, sungguh aku sangat sebal dengan pacarnya Zanna, kenapa sih hobi banget ngajak Zanna makan siang? Tapi selalu tidak pernah menjemput Zanna pulang, yang membuat aku selalu berakhir mengantarnya pulang.

Sungguh menyebalkan!

Setelah aku mengucapkan terima kasih pada Fitri dan pamit undur diri, harapan terakhir hanya pada Zulfa, semoga saja wanita centil itu tidak memiliki janji temu dengan siapapun, mengingat tentang status jomblo nya yang baru ia sematkan.

Sebelum turun menemui Zulfa, aku ke ruangan terlebih dahulu, selain menyimpan MacBook, aku harus mengambil tas, agar bisa langsung pergi makan siang.

Didalam lift yang sedang membawaku turun ke lobby kantor, aku menatap pantulan diriku dibalik cermin yang menempel di setiap sisi lift, tatapanku memandang kosong, yang kebetulan di dalam lift hanya ada aku seorang diri.

Handphone yang sedang aku genggam tiba-tiba bergetar membuat tatapan kosong ku kembali tersadar. Dengan cekatan, jempol ku membuka layar ponsel, mencari tahu siapa yang mengirimiku pesan.

Membuka aplikasi WhatsApp, dan menemukan nama Daniel ada paling teratas dikolom chatt WhatsAppku, ada dua pesan yang ia kirim secara bersamaan.
 

[Mau makan siang bareng?]

[Apa kali ini sudah bisa di katakan dekat?]

-Daniel-
 

Sebelah alisku terangkat ketika membaca isi pesannya, namun berhasil membuat aku terkekeh pelan. 

Ibu jariku bergerak lincah dilayar ponsel, dengan senyuman yang masih terlukis diwajahku.

[Kalo saya gak ada teman makan siang lagi, maka bisa dipertimbangkan]"

-Aqilla-
 

 

                                                                      [Baiklah..]

                                   [Sepertinya aku harus berdoa,                supaya teman-teman mu itu pada sibuk.]

                                                                           -Daniel-
 

 

Tawaku pecah seketika, setelah membaca pesannya, beruntungnya didalam lift tidak ada siapapun, jadi aku bisa leluasa tertawa sepuasnya.

Suara denting pintu lift terdengar di indera pendengaranku, tak lama pintu besi itu terbuka, senyum lebar yang menghiasi wajahku semula, tiba-tiba sirna digantikan dengan ekspresi keterkejutanku. Ketika manik mataku menemukan sosok yang baru saja mengirimkan pesan padaku. 

Laki-laki itu sedang berdiri didepan pintu lift yang membuat kami saling berhadap-hadapan. Dia pun sama terkejutnya denganku, namun tidak lama ia melambaikan tangan sambil memberikan senyuman lebarnya.

"Hai,, kenapa kaget gitu? Pasti lagi senyum-senyum baca chatt aku ya?" Godanya dengan sangat percaya diri sekali.

Aku mendengus sebal atas tuduhannya. "Ish,, apa sih, pede!" 

Setelah mengatakan itu, aku melewati nya begitu saja, tentunya dengan ekspresi wajahku yang kubuat jutek seperti biasa. 

Aku begitu karena aku tidak tahu harus bereaksi apa? Aku malu, karena ketangkap basah sedang tersenyum membaca pesannya. Apalagi jika teringat waktu semalam, hampir saja aku ketahuan salah tingkah.

Langkah kakiku sedikit kaku, mendapati Daniel yang berjalan mengekoriku dibelakang. Sangat tidak nyaman berjalan seperti ini.

Sesampainya di meja resepsionis, tempat Zulfa berada, aku tidak menemukan wanita itu di balik meja kerjanya. 

"Zulfa emang udah gak ada, pas aku dateng." Seru Daniel, seakan tahu apa yang sedang aku cari.

Dengan cepat, aku mencari kontak nya, lalu menghubunginya. Beruntungnya Zulfa adalah makhluk yang tidak pernah lepas dari handphonenya, membuat aku tidak terlalu lama menunggu dia mengangkat telepon dariku.

"Lo dimana?" Seruku buru-buru, saat panggilan ku sudah tersambung.

"Dijalan, mau nyari makan." 

"Kok gak ajak gue sih?" Ketusku sebal.

"Yee,, sori,, gue lagi ngedate sama gebetan gue." Jawabnya hampir berbisik ketika menyebutkan kata gebetan.

Aku melongo tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. "Udah ada yang baru lagi?"

"Iya dong,, Zulfa.." Katanya berbangga diri.

Seharusnya aku tidak perlu merasa syok dengan kata gebetan baru, setelah dia menyandang status jomblo nya. Tapi tetap saja, aku tidak habis pikir dengannya, kenapa bisa semudah itu berpaling setelah putus? Pasalnya baru saja beberapa hari lalu dia mengkonfirmasi bahwa dirinya putus dengan pacarnya. Tapi kenyataannya apa sekarang? Dia sudah jalan dengan yang baru lagi.

Luar biasa temanku yang satu itu.

Dan, sungguh menyebalkan! Kenapa harus jalan di waktu yang tidak tepat, sih?

"Jadi mau makan siang dimana kita?" Tanya Daniel, setelah panggilan telepon ku dengan Zulfa berakhir.

Dia menatapku dengan senyuman kemenangan, melihatnya seperti itu membuat ku mendesah pasrah. Karena aku sudah tidak punya alasan lagi untuk menolaknya.

Anggap saja hari ini dia sedang beruntung, dan hari ini bukan hari keberuntunganku!

 

                                     🌼🌼🌼

 

Makan siang kali ini, Daniel membawaku ke tempat pertama kali kami bertemu, karena memang kebetulan hanya restoran ini lah yang lebih dekat dari kantor tempatku bekerja, juga tempat ini terkenal karena enak makanannya. Jadi tidak heran kalau restoran ini selalu ramai oleh pengunjung.

Beruntungnya aku dan Daniel kebagian tempat duduk, andai saja kami datang terlambat 2 menit saja, mungkin kami tidak akan kebagian tempat. Karena meja yang aku dan Daniel tempati baru saja ditinggali oleh pengunjung, terbukti dari sang pelayan yang baru saja selesai mengelap meja yang kami tempati.

"Mau liat-liat dulu atau mau pesan sekarang?" Tanya pelayan wanita yang begitu gerak cepat sambil memberikan dua buku menu saat kami baru saja duduk.

"Liat-liat dulu deh Mba." Sahutku ramah, sambil memberikan seulas senyuman.

Pelayan restoran itu pun mengangguk, lalu pamit undur diri untuk melakukan tugasnya yang lain.

Aku terus membolak-balikkan buku menu makanan, dengan jari telunjuk yang ku ketuk-ketukan pada bibir, karena aku bingung harus makan apa siang ini? Tidak biasanya aku se-dilema ini jika urusan makanan.

"Mau makan apa?" Tanyanya setelah menutup daftar buku menu makanannya. Dan kuduga sih, dia sudah menemukan makanan apa yang akan dia makan.

Aku menggeleng samar, masih belum menemukan makanan yang cocok.

"Kamu mau makan apa?" Bukan nya menjawab, justru aku mengulang pertanyaannya yang sekarang aku tanyakan balik padanya.

Dia terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya. "Aku seperti biasa,, bebek bakar aja."

"Aah,, saya makan apa ya?" Tanyaku pada diri sendiri.

"Kamu selalu seperti ini, bingung milih menu?" Aku mendongak mendapatinya bertanya seperti itu.

Mataku berkedip berkali-kali, lalu menggeleng pelan. "Enggak juga sih." Sahutku jujur. "Tapi gak tau kenapa, sekarang kok tiba-tiba bingung." Tambahku lagi.

"Bukan karena aku yang nemenin kamu makan kan?"

"Kayaknya iya deh, tiba-tiba nafsu makanku hilang." Jawabku sedikit becanda.

"Kalo gitu gak usah makan, temenin aku makan aja." Katanya yang sukses membuat aku melotot tajam.

"Enak aja!" Teriakku pelan, sambil menggeplak tangannya dengan buku menu. Dia lagi-lagi selalu meringis kesakitan, padahal pukulan ku selalu pelan.

Aku mengangkat tangan ke udara, sambil memanggil pelayan disini. Mengabaikan rasa kesakitan yang dibuat-buat oleh Daniel. "Mbaa.!!"

"Mau pesan apa Mba?" Tanyanya setelah sampai.

"Saya pesan, rice bowl beef teriyaki, sama bebek bakar sambel--"

Aku menggantung kan kalimatku, sambil melirik kearah Daniel, meminta jawaban nya.

"Sambel rica-rica Mba, jangan pedes-pedes." Lanjutnya.

"Minumnya,, ice lemon tea, kamu apa?" Tanyaku lagi, menatapnya dalam.

“Teh botol aja pake es batu."

"Udah Mba itu aja." Kataku menutup pesanan.

"Baik,, saya ulangi pesanannya ya,, rice bowl beef teriyaki, bebek bakar plus nasi, minuman nya ice lemon tea dan teh botol plus batu es?"

Aku dan Daniel mengangguk kompak setelah pelayan wanita mengulang menu pesanan kami. Kemudian pelayan itu pun pergi dengan membawa kembali daftar buku menunya.

"Kenapa tempat ini selalu rame ya?" Tanyanya sambil melihat ke sekitar restoran ini. Aku pun balas mengikutinya.

"Salah satunya karena makanan nya enak." Jawabku sekenanya sesuai pendapatku sendiri.

Daniel mengangguk, lalu kembali melihat kearah ku. "Aku jadi inget pertama kali kita bertemu disini." Katanya flashback, senyumnya masih terukir dibibirnya.

"Iya! Setelah itu, saya dibuat pusing sama Zanna dan Zulfa dengan berbagai pertanyaan aneh." Kataku mengingat betapa kesalnya aku dengan kelakuan dua temanku waktu itu.

"Memangnya mereka nanya apa aja?" Tanyanya sangat penasaran.

"Gitulah,, kamu gak perlu tau!" Jawabku malas jika harus dijelaskan dengan detail nya. Karena kalau pun dijelaskan, itu hanya akan membuat nya semakin besar kepala.

Dia mengangguk-angguk santai, tanpa repot menuntut banyak atas jawabanku yang sama sekali tidak menjawab dengan benar mengenai pertanyaannya itu.

"Beneran lho,, aku sama sekali gak nyangka bakal ketemu kamu lagi disini, waktu itu."

"Saya juga gak menyangka kalau kamu akan mengingat wajah saya setelah pesta pernikahan Ansel." Sindirku sedikit sebal.

Bukannya merasa tersindir, justru ia semakin melebarkan senyumannya tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Bisa dibilang kamu pencuri perhatianku dimalam itu." Gombalnya yang sama sekali tidak membuat aku tersentuh.

"Jangan gombal, saya gak akan luluh cuma gara-gara gombalan receh kamu." Kataku mencebik sebal.

"Aku gak gombal, tapi memang kenyataannya begitu. Tiba-tiba aja wajah kamu tersimpan dengan sendirinya di memori otak aku." Ucapnya dengan serius, membuat aku hampir mempercayainya.

Aku menelan ludah dengan susah payah, mencoba mengendalikan diri agar tidak luluh lantah hanya karena omongan manis buatannya.

"Memangnya saya se-menyedihkan itu ya? Sampai bisa diingat sedetail itu?" Ucapku sambil meringis perih, memilih menanggapi dari sisi yang berbeda.

Jika memang aku se-menyedihkan itu dan semua tamu undangan sampai mengingat wajahku, berarti memang aku se-menyedihkan itu menurut pandangan orang lain.

Padahal pada malam itu, aku amat sangat baik-baik saja. Aku sama sekali tidak merasa sedih atau terluka sedikitpun. Dan semua itu gara-gara Bagas Saputra yang sudah membuat image ku menyedihkan!

"Enggak kok, justru menurut aku, kamu wanita yang kuat dan hebat!" Jawabnya lagi-lagi, dia memuji dengan kata-kata gombalnya.

Aku tertawa konyol mendengarnya berucap ngawur seperti itu. "Gak usah ngeledek!" Tegasku.

"Kamu tuh yaa, gak pernah sekalipun percaya sama omongan aku, heran aku jadinya."

"Tenang, bukan ke kamu aja, ke semua lelaki pun saya gak gampang percaya kok orangnya, kecuali Papa saya yaa!" Kataku memberitahu, agar dia tidak merasa sendiri.

"Oke. Tidak lama lagi, aku bakal jadi laki-laki kedua yang kamu percaya setelah Papa kamu!" Katanya penuh percaya diri.

Aku hanya menanggapi dengan senyuman menantang. Dalam waktu bersamaan, pelayan pun datang membawa makanan pesanan kami. Sontak membuat obrolan ketidakjelasan kami pun berhenti.

 

                                     🌼🌼🌼

 

Sesampainya di lobby kantor setelah pulang dari tempat makan siang, pupil mataku menangkap kehadiran Zulfa di balik meja kerjanya dengan tatapan sedikit menggoda.

Aku tahu kenapa dia seperti itu, yang tidak lain dan tidak bukan itu karena kehadiran Daniel yang berjalan di sampingku.

Senyum jail Zulfa semakin melebar ketika aku hampir dekat ke arahnya. Aku hanya memberikan tatapan seram padanya, tujuannya untuk memberikan kode agar dia tidak usah berkata apapun.

"Ciee,, yang abis lunch berdua! Ekhem!" Ejeknya dengan alis yang bergerak turun naik.

"Ciee,, yang udah dapet mangsa baru lagi." Sahutku yang tidak mau kalah.

Dan itu berhasil membuat nya memberengut sebal. "Kok mangsa sih! Dikira gue predator!" Sanggahnya tidak terima.

"Ya lagian,, baru juga tiga hari putus, udah dapet yang baru lagi. Itu hati apa halte? Cepet banget dapet penumpangnya." Sindirku lagi.

"Issh,, Aqilla kalo ngomong, pedes banget." Dia geleng-geleng kepala. "Dari pada lo, yang gak move-on move-on, nyia-nyiain laki-laki ganteng dan baik disamping elo." Tambahnya lagi dengan sindiran yang semakin keras dan jelas.

"Aqilla gak nyia-nyiain saya kok, justru Aqilla lagi memberikan kesempatan pada saya agar lebih berjuang lagi buat mendapatkan hatinya." Sahut Daniel dengan penuh percaya diri membuat aku langsung menatap aneh padanya. Rasa-rasanya aku ingin mual, alih-alih, tersentuh oleh ucapannya.

Sedangkan dia hanya menampilkan senyuman biasanya, membuat aku sulit untuk mengeluarkan kata-kata umpatan padanya.

Daripada melayani kedua orang aneh ini, lebih baik aku pergi saja. Tanpa izin atau kata apapun lagi, aku melangkah pergi begitu saja, meninggalkan mereka berdua, tentunya dengan langkah pelan.

Namun samar-samar aku masih bisa mendengar pembicaraan mereka, membuat aku semakin berdecak sebal.

"Mas Daniel,, yang sabar yaa! Aqilla memang gitu, malu-malu tapi mau!" Ledek Zulfa dengan bebasnya.

"Gak apa-apa,, menurut saya, itu daya tariknya." Sahut Daniel menimpali, dan tanpa sadar aku menarik sudut bibirku keatas.

Aku yang hendak menekan tombol lift, tiba-tiba terhenti dengan teriakan Daniel, yang memintaku untuk menunggunya.

Nafasnya masih tersengal setibanya dia masuk, aku menduga mungkin dia sedikit berlari sampai sini, terlihat dari deru nafasnya yang belum teratur.

"Kenapa harus buru-buru sih?" Serunya yang masih sibuk mengatur nafas.

"Kamu juga, kenapa harus ngeladenin ucapan ngawur Zulfa?"

"Kenapa sih? Memang nya salah ya?" Tanyanya dengan ekspresi polosnya seperti biasa.

"Salah lah, orang sejenis Zulfa harusnya gak usah di tanggepin."

"Jadi, aku cuma harus nanggepin kamu aja yaa?"

Dia hanya menampilkan cengiran nya, dengan lirikan menggodaku, ish sangat menyebalkan!

Baru saja pintu lift tertutup, tiba-tiba kembali terbuka, mungkin ada seseorang yang menekan tombol lift diluar sana.

Setelah pintu lift terbuka, dan pandangan ku melihat seseorang didepan sana, dengan otomatis membuat aku mengalihkan pandangan lalu bergerak mundur perlahan.

Kenapa sih harus bertemu dengan dua makhluk itu di ruang sempit ini!

Bola mataku menyempatkan melirik sebentar pada Mas Rangga juga Mba Sarah, kemudian memaksakan senyum sebentar sebagai bentuk sopan pada Mba Sarah, walaupun dia sama sekali tidak membalas senyumanku.

Ish,, dasar wanita pelit!!

"Hai,, Mas Daniel, gak nyangka bisa ketemu disini." Sapa Mas Rangga dengan sopannya.

Posisiku yang kebetulan berada di pojok, berdampingan dengan Daniel, membuat aku bisa melihat gerakan semua orang meski dalam posisi sedikit melihat pada lantai yang sedang aku pijak. Kulihat Daniel dibalik bulu mata lentik ku berkat kekuatan maskara, ia sedang membungkukkan setengah badannya, sebagai bentuk menerima sapaan dari Mas Rangga.

"Baru selesai makan siang?" Tanyanya lagi berbasa-basi.

"Iya nih, baru aja yah kita sampai." Ucap Daniel sambil melihatku, meminta tanggapan.

Sedikit terkejut atas ulahnya, membuat aku menjadi salah tingkah sendiri. Aku meringis bingung, ada keterkejutan juga dari wajah Mas Rangga setelah mendengar penuturan dari Daniel.

Dengan susah payah, aku mengangguk seraya tersenyum kikuk menanggapi jawaban Daniel.

"Kalian pergi makan berdua aja?" Wajah Mas Rangga masih belum bisa menerima kenyataan yang baru saja diterimanya.

"Sepertinya hubungan kalian sudah sejauh itu!"

Perkataan itu keluar dari mulut Nenek lampir yang sangat ringan sekali diucapkan. Sekalinya bicara, tidak nanggung-nanggung julitnya.

Berbeda dengan sikap riangnya Mba Sarah, justru Mas Rangga menatapku dengan tatapan penuh amarah, terlihat dari rahangnya sedikit mengeras.

Seketika aku merasa sedang menunggu untuk dijatuhi hukuman dipersidangan, karena telah melakukan sebuah kesalahan.

Beruntungnya momen menegangkan itu segera berakhir, ketika lift yang kami naiki bersama berhenti di lantai yang aku dan Daniel tuju, segera aku melangkah keluar seusai melakukan serangkaian formalitas untuk pamit pada dua atasanku.

Aku mendesah lega, setelah pintu lift menutup dan membawa kedua makhluk itu pada lantai yang mereka tuju. Untungnya aku memilih untuk langsung ke ruang studio, jadi tidak harus menanggung ketidak nyamanan terlalu lama.

"Kamu kenapa?" Tanyanya dengan raut wajah bingungnya.

Mungkin karena sikapku yang sangat terlihat berlebihan dalam mengungkapkan sebuah kelegaan, membuatnya sedikit bingung.

"Gak apa-apa,, merasa bebas aja setelah keluar lift." Sahutku sekenanya tapi sedikit jujur.

"Gara-gara mereka?"

Aku mengangguk, seraya melanjutkan langkahku menuju ke ruang wardrobe. "Mereka itu dua makhluk yang sangat aku hindari." Jawabku disela-sela perjalanan.

"Wabil khusus nenek lampir itu!" Tambahku lagi.

"Kok bisa?" Suaranya terdengar sangat antusias, sudah seperti sedang mendapat informasi lotre.

"Bisa lah, dia selalu mengibarkan bendera perang setiap kita bertemu. Saya juga heran, kesalahan apa yang sudah saya perbuat."

"Mungkin dia iri, dengan kecantikan yang kamu miliki. Makanya dia begitu."

Langkah kakiku berhenti secara mendadak, dengan wajah sedikit melongo menatapnya. Kemudian detik berikutnya aku tertawa atas pernyataan konyolnya itu, membuat dahinya saling berkerut.

"Sepertinya kamu salah makan deh!" Seruku sambil geleng-geleng kepala. Lalu melanjutkan kembali berjalan.

Dia masih mengikutiku, berjalan disamping dengan wajah yang masih setia melihat kearah ku. 
"Kan kita tadi makannya bareng, kamu juga liat aku makan bebek bakar. Salah nya dimana?" Dia menatapku serius.

Oh tuhan! Sungguh aku tidak tahu berapa persen tingkat kecerdasan intelektualnya. Kenapa dia tidak memahami candaanku? Terus kenapa juga harus seserius itu?

"Pikir aja sendiri!" Sahutku dengan tegas, tanpa repot memberikan penjelasan lebih.

Aku terus mengabaikan ocehannya, dengan terus berjalan, kali ini langkah kakiku semakin lebar, agar bisa segera terhindar darinya.

Teriakan Daniel, mampu membuat semua pasang mata di lantai ini menatap kami dengan tatapan aneh sekaligus bertanya-tanya. Dalam detik itu juga, aku merasa malu karena telah menjadi sorotan.

 

                                     🌼🌼🌼
 

- Daniel POV -

 

Selama kegiatan pemotretan berlangsung, aku sama sekali tidak melihat kehadiran Aqilla di ruang studio. Dia hanya datang pada saat bersamaku saja tadi selepas pulang dari makan siang, lalu dia pergi tanpa mengatakan apapun padaku, selebihnya dia tidak memunculkan batang hidungnya lagi di sini. Entah sekarang wanita itu ada dimana dan sedang apa, aku sama sekali tidak tahu. Karena aku juga tengah sibuk dengan pekerjaan ku.

Bola mataku terus bergerak memendar ke setiap penjuru ruangan, dengan harapan bisa menemukan sosok yang sedang aku cari disela-sela break foto. Namun tetap saja, pupil mataku belum menemukan tanda-tanda kehadirannya.

Meskipun setengah hari ini, bisa dibilang cukup puas bersama Aqilla karena makan siang tadi, akan tetapi tetap saja rasanya masih kurang tanpa kehadirannya sekarang. Mungkin karena kemarin-kemarin dia selalu menampakkan wajahnya walaupun tidak terlalu lama, tapi cukup sering bolak balik ke ruang studio dan itu mampu menaikkan mood booster ku.

Aku terperangah dengan pukulan tiba-tiba dibahu kananku, meskipun tidak terlalu keras dan kencang, tapi itu cukup membuat ku hampir menjatuhkan kamera yang sedang aku pegang.

"Pasti nyari Aqilla ya?" Tebaknya tiba-tiba setelah berhasil membuat aku cukup terkejut.

"Astaga Zan,, untung aja saya pegang kamera nya kenceng, coba kalo enggak, bisa jatoh." Sahutku seraya mengelus dadaku pelan, mencoba menenangkan diri dari keterkejutan.

"Hee! Sori,, gak sengaja!" Katanya sambil menampilkan cengiran riangnya.

"Aqilla lagi pergi sama Mas Rangga, ke gudang yang ada di Tangerang." Beritahunya tiba-tiba.

"Kan saya belom nanya." Kataku bingung.

Ya, walaupun pada kenyataannya aku sedang mencari Aqilla, tapi tidak ada salahnya aku berkata demikian. Mencari tahu, kenapa Zanna bisa memberitahu aku begitu saja.

"Walaupun mulut belum bertanya apapun, tapi gelagat mu udah menjelaskan semuanya."

"Memangnya sejelas itu ya, kalau saya sedang mencari Aqilla?" Bola mataku sedikit membulat tidak percaya.

Zanna hanya menganggukkan kepala dengan mantap. "Jelas banget!" Ucapnya begitu antusias.

Yang aku bisa lakukan, hanya menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak gatal, merasa sedikit malu karena telah ketahuan.

"Tapi,, cuma aku aja yang bisa nebak gelagat kamu." Tambahnya lagi seraya memberikan kekehannya diakhir kalimat.

"Jadi,, keliatan banget apa enggak nih?" Tanyaku sedikit bingung.

"Enggak,, tadi aku cuma becanda aja." Sahutnya, membuat aku mendesah lega.

"Kira-kira,, Aqilla pulangnya jam berapa ya dari gudang?" Tanyaku yang sudah mulai merasa cukup tenang.

Zanna menggendikan bahunya acuh. "Gak tau,, mungkin jam enam, atau mungkin juga lebih dari jam enam."

"Lama juga yaa.." Gumamku pelan tapi masih bisa didengar oleh Zanna.

"Kenapa, takut disalip sama Mas Rangga?" Tebaknya yang membuat keningku berkerut tidak mengerti.

Namun seketika ingatanku kembali mengingat perkataan Aqilla sewaktu keluar dari lift tadi. Dia mengatakan kalau dirinya sangat menghindari dua makhluk yang berada di dalam lift, itu berarti Aqilla sangat menghindari Mas Rangga?

Jangan bilang, kalau Mas Rangga juga memiliki rasa pada Aqilla? Maka dari itu, alasan Aqilla menghindarinya?

"Mas Rangga menyukai Aqilla?"  Tebakku sedikit tidak yakin.

Bukannya jawaban, justru Zanna hanya berseru heboh mendengar pertanyaan praduga ku barusan. Kepalanya menggeleng-geleng sambil memberikan suara decakan pelan.

Melihatnya hanya bereaksi seperti itu, membuat otakku traveling kemana-mana, memikirkan banyak hal akan ketidakmungkinan.

"Rupanya rumor itu sudah tersebar kemana-mana. Pantes aja kadar kemarahan Mba Sarah makin meninggi ke si Qilla." Katanya semakin membuat kepalaku pusing.

"Zan,, jawab, jangan bikin saya makin pusing." Kataku sedikit tidak sabaran. "Mas Rangga beneran naksir Aqilla apa enggak?" Tanyaku lagi dengan nada sedikit menuntut.

"Tenang,, Aqilla sama sekali gak tertarik kok sama Mas Rangga, kalaupun Qilla tertarik, mungkin udah dari tiga tahun yang lalu mereka berpacaran."

"Jadi beneran Mas Rangga menyukai Aqilla? Dan udah selama itu?" Tanyaku sedikit tertohok dengan informasi yang baru saja aku dapatkan.

Tiba-tiba, rasa optimis ku untuk mendapatkan Aqilla sedikit memudar setelah mengetahui perjuangan Mas Rangga dalam memenangkan hatinya Aqilla.

“Jangan berkecil hati, kamu udah selangkah lebih depan dibanding Mas Rangga. Buktinya kamu udah bisa ngajak dia makan siang bareng. Sedangkan Mas Rangga, selama tiga tahun, masih belum berhasil juga mengajak Aqilla makan siang bareng, cuma berdua doang.” Sahutnya menyemangati.

Mendengar itu, ada sedikit kelegaan dan kebanggaan tersendiri. Akan tetapi, tetap saja jika dibandingkan dengan Mas Rangga, aku sama sekali tidak ada apa-apanya. Pertemuan kami masih sebatas kecambah, mana bisa mengalahkan pertumbuhan Mas Rangga yang sudah membentuk tunas.

 

                                    🌼🌼🌼

 

Lagi-lagi aku melirik arloji dipergelangan tangan kiri, jarum panjang berada tepat di angka 5 sedangkan jarum pendeknya berada di angka 3, itu artinya sudah jam 5 lewat 15 menit.

Aku tengah bersiap merapikan peralatan tempurku, karena waktu pemotretan hari ini sudah selesai dari 15 menit yang lalu.

"Mas,, gak ikut pulang bareng?" Tanya Rizal menatapku dengan tas ransel yang sudah siap berada digendongnya.

Piyan pun lekas menatapku juga, namun ia masih sibuk mencari keberadaan kunci mobilnya di dalam tas.

Aku menggeleng santai. "Duluan aja, saya masih ada urusan." Kataku sambil memberikan seulas senyuman.

Kebetulan memang aku diminta oleh Anwar temanku yang bekerja disini dibagian divisi design grafis untuk membantunya. Katanya dia sedikit kesulitan dalam mencari ide serta meminta saran dan bantuan mengenai hasil editannya.

"Masih belum ketemu kuncinya?" Tanyaku pada Piyan.

"Udah Mas,, ternyata ada di kantong celana." Cengirnya sambil memperlihatkan kunci mobilnya.

Melihat kecerobohan serta kepikunan nya, membuat ku hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak heran, pasalnya bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali dia selalu lupa, entah pada kunci mobil atau apapun itu.

"Kita duluan ya Mas." Pamitnya kompak, aku hanya berkedip lalu mengangguk samar.

Sebelum naik ke lantai atas, untuk menemui Anwar di ruangannya. Aku menyempatkan dulu mampir ke ruang 'Cozy Room' hanya untuk sekedar bersantai sebentar saja.

Aku memilih duduk di Bean Bag, merebahkan punggungku sebentar sambil bermain ponsel, berharap ada sebuah notifikasi chatt dari Aqilla. Tapi sayangnya aku hanya mendesah kecewa, setelah membuka handphoneku.

Rupanya harapanku masih belum bisa terkabul dengan mudahnya, pada akhirnya aku hanya membuka aplikasi Instagram, melihat Instagram Story dari orang-orang yang aku follow dengan kegabutan.

Lima belas menit telah berlalu hanya dengan kegabutanku melihat Instagram, setelah dirasa cukup mencharge tubuhku dari rasa lelah, aku memutuskan untuk menemui Anwar.

"Daniel!! Gue kira Lo lupa sama janji Lo!" Teriak Anwar dengan hebohnya.

Aku hanya berdecak atas tuduhannya itu. "Laki-laki yang di pegang itu omongannya!" Ucapku sambil menjabat tangan ala laki-laki.

"Daniel is Daniel, selalu konsisten dengan prinsipnya." Sahutnya sambil mencebik.

Aku menarik kursi di samping meja kerjanya, untuk aku duduki. "Sebelah Divisi Operasional kan?" Tanyaku setelah duduk dengan sempurna.

"Iya. Kenapa sih? Ada yang Lo kenal?" Tanyanya dengan tampang yang menyelidik.

"Banyak,, gue kan kerja bareng mereka." Kilahku dengan hebat dan santai.

Padahal kenyataannya aku hanya memastikan kalau itu adalah divisi nya Aqilla.

Dan untungnya saja aku memiliki jawaban yang sangat aman. Jika tidak, mungkin aku sudah habis di bombardir dengan sederet pertanyaannya.

Dia hanya manggut-manggut kecewa. "Ada yang Lo taksir nggak? Divisi Operasional kan kebanyakan cewek semua, pada cantik-cantik lagi."

"Namanya juga cewek, pasti cantik lah." Responku sekenanya. Membuatnya mendelik kesal.

Kalau aku memberitahukan yang sebenarnya bahwa aku menyukai seorang manager di divisi operasional itu, mungkin dia akan semakin mengejekku.

"Pliss deh Niel,, umur Lo tuh sebentar lagi 30 taun, bisa gak sih sekali aja jangan berpikiran lempeng!" Protes nya sebal.

"Terus gue harus gimana?" Aku hanya terkekeh bingung.

"Ya setidaknya, manfaatkan momen ketika banyak wanita cantik."

"Gue bukan Lo, yang hobi lirik sana lirik sini tapi tetep aja jones!" Sindirku.

Dia mendesah panjang sekaligus sedih dengan sindiranku yang tepat sasaran. Melihat nya seperti itu membuat tawaku pecah tanpa terkendali, beruntungnya diruangan ini hanya ada kami berdua saja.

"Jangan lupakan, Lo juga sama, jomblo!"

Baiklah, sepertinya perang sindiran ini akan terus berlanjut sampai berseason-season jika aku tidak menghentikan nya dengan merubah topik pembicaraan.

"Jadi apa yang harus gue kerjakan disini?" Tanyaku mengubah topik pembicaraan.

"Ah iyaa,, gue lupa. Lo liat ini dulu sebagai contohnya." Dia memutar layar komputernya untuk dihadapkan padaku.

"Setelah itu, Lo bantuin gue ngedit. Pusing gue liat Corel draw terus seharian ini." Katanya dengan santainya.

"Ini sih bukan minta saran, tapi nyuruh gue ngedit dari awal!"

Tanpa ada rasa bersalah sedikitpun, dia hanya menampilkan cengiran kudanya yang membuat aku ingin memecutnya dengan keras.

 

                               🌼🌼🌼

 

Angin malam diatas roof top sangat menusuk pori-pori ku yang tertutup sweater hitam dengan bebasnya. Sungguh dingin namun menyejukkan pikiran dari lelahnya pekerjaan.

Setelah selesai membantu pekerjaan Anwar, alih-alih langsung pulang, aku memilih untuk pergi ke roof top di perusahaan tempat Aqilla bekerja, tujuannya sih untuk mencari udara segar saja. Dan kebetulan udara malam ini jauh lebih segar dan kencang.

Butuh dua jam untuk menyelesaikan pekerjaan Anwar, dan itu sangat melelahkan mata sekalius membosankan. Maka dari itu, aku memutuskan kesini terlebih dahulu, menolak ajakan Anwar untuk pulang.

Sebelum naik kesini, aku menyempatkan sebentar melihat divisi operasional lagi, karena pada saat aku ke ruangan Anwar, aku menengok juga. Dengan harapan yang sama, siapa tahu masih ada Aqilla disana, tapi memang sepertinya hari ini aku tidak diizinkan untuk bertemu lagi dengannya setelah makan siang.

Lampu-lampu kota Jakarta sangat indah di pandang, bila dilihat dari tempat yang tinggi seperti yang sedang aku lakukan sekarang.

Malam ini aku hanya termenung menikmati udara malam dengan ditemani sekaleng Coca-Cola. Untuk pertama kalinya aku tinggal lebih lama di perusahaan bukan tempat ku bekerja. Tidak biasanya aku malas pulang, entah dengan harapan apa, yang jelas aku hanya sekedar ingin saja menyendiri disini tanpa tujuan.

Aku melirik kembali arloji ku, rupanya sudah dua jam aku disini dengan pikiran yang kosong. Karena angin malam semakin kencang dan dingin, aku memutuskan untuk turun dan pulang.

Didalam lift, aku sempat ragu antara harus menekan tombol L atau tombol 6, namun karena masih penasaran, akhirnya aku memutuskan untuk menekan tombol 6. Lantai 6 adalah lantai divisi operasional dan desain grafis.

Sesampainya dilantai 6, semua ruangan sudah gelap, namun hanya ada satu ruangan yang masih terang, ruangan itu adalah Divisi Operasional.

Sedikit berharap, aku berjalan dengan jantung yang berdegup cukup kencang tanpa sebab, hanya karena sebuah harapan yang semu, aku sampai se nervous ini.

Kali ini aku tidak hanya melihat sampai di pintu saja, melainkan dengan berani dan tidak sopannya aku berjalan masuk keruangan orang lain tanpa izin.

Pupil mataku menangkap sosok orang yang kini sedang menenggelamkan sebelah wajahnya diatas meja dengan kedua lengannya yang dijadikan bantalan.

Aku sangat hapal tubuh itu, bahkan baju nya pun aku hapal, wanita yang sedang tertidur itu adalah Aqilla, seseorang yang telah membuat aku galau tanpa sebab seharian ini.

Aku menarik kursi yang berada disampingnya dengan gerakan yang super pelan, menatapnya sebentar yang kini sedang tertidur cukup pulas.

"Apa yang sedang dikerjakan nya, sampai tertidur seperti ini?" Tanyaku dalam hati.

"Apakah se melelahkan itu?" Tanyaku lagi.

Aku melipat lenganku diatas meja disamping nya yang sedang tertidur, menaruh pipiku sebelah sambil mengamatinya, yang terlihat begitu tenang dan damai. Kini, posisi wajah kami saling berhadapan, tertidur diatas meja dengan tangan yang menjadi bantalan. Jarak diantara kami cukup dekat, membuatku cukup menahan nafas.

Seketika aku dihadapi sebuah kebingungan, antara harus membangunkannya atau ikutan tertidur disampingnya seperti ini sampai pagi menjelang.

Namun sepertinya, pilihan kedua bukan pilihan yang bagus, karena jika aku memilihnya tertidur sampai pagi disini, itu hanya akan membuat heboh seluruh kantor, dan bisa-bisa aku akan dihukum mati oleh Aqilla.

Dengan berat hati, aku memilih membangunkannya, tanganku hampir bergetar saat menepuk-nepuk pelan bahunya.

"Aqilla,,, bangun,," Kataku dengan suara cukup pelan dan hati-hati.

Tanganku masih setia menepuk-nepuk bahunya. "Bangun yuk, jangan tidur disini, kita pulang." Ucapku lagi dengan nada yang masih pelan dan lembut.

Entah caraku membangunkan nya bisa berhasil atau justru membuat tidurnya semakin nyenyak, aku sama sekali belum tahu hasilnya, karena Aqilla masih setia memejamkan matanya.

"Aqilla,, hei,, bangun yuk."

Ucapanku kali ini, berhasil membuat nya bergerak dan perlahan matanya mengerjap-ngerjap, menyesuaikan dengan cahaya lampu ruangan.

Dia sedikit terkejut setelah separuh dirinya sadar ketika melihat ku disini.
"Kok, kamu ada disini?" Gumamnya pelan, sambil mengucek mata.

Aku memberikan senyuman manis melihat penampilannya yang cukup beda dari biasanya, kini rambutnya tidak lagi digerai, melainkan dikuncir dengan dicepol asal, menyisakan beberapa helai rambut menjuntai bebas di pelipisnya.

Meskipun penampilannya beda, tetap saja tidak mengurangi tingkat kecantikannya dimataku.

"Kita pulang, udah malem, gak baik tidur disini." Sahutku mengabaikan pertanyaannya.

Tidak ada bantahan darinya, dia hanya menurut dengan manisnya, mungkin itu karena nyawanya yang belum sepenuhnya terkumpul.

"Mobil kamu ditinggal aja disini, biar aku yang mengantar kamu pulang. Gak baik berkendara dalam keadaan mengantuk, apalagi baru bangun tidur." Ucapku ketika sudah berada didalam lift.

Awalnya dia ingin menolak tawaranku, terlihat dari ekspresi wajahnya. Namun setelah ia sadar atas kantuknya dan sadar akan bahayanya, dia pun menyetujui saranku.

Melihatnya yang menurut seperti ini, membuat senyum lebarku semakin lebar.

 

                                       🌼🌼🌼

 

- Aqilla POV -

 

Sayup-sayup aku mendengar suara yang aku kenali, suara itu sangat dekat ditelinga ku. Dengan mata yang sulit terbuka, dan rasa kantukku yang lebih dominan, aku menikmati suara yang menyuruh ku untuk bangun itu.

"Aqilla,, hei,, bangun yuk." Suara itu terdengar lagi, sangat lembut. Kali ini aku merasakan guncangan pelan di bahuku.

Aku mengenali suara itu, itu suara Daniel. Ya, aku hapal suaranya, berat namun lembut untuk didengar.

Dalam tidurku, aku bertanya-tanya, apakah sekarang aku sedang bermimpi? Memimpikan Daniel yang sedang membangunkan ku.

Ah, andai memang benar ini mimpi, sungguh mimpi yang indah, suaranya membuat ku semakin ingin terlelap dalam tidur.

Namun anehnya, tepukan dibahuku sangat terasa jelas, dan itu semakin membuat ku penasaran untuk segera memastikan nya.

Aku mencoba membuka mata secara perlahan, karena cahaya lampu disini belum bisa aku sesuaikan. Entah sudah berapa lama aku tertidur disini, namun yang pasti nyawaku belum sepenuhnya hadir.

Pemandangan pertama ketika aku membuka mata, aku melihat Daniel yang sedang menatapku juga. Tunggu dulu, sebenarnya aku sudah terbangun dari tidur atau aku sedang melanjutkan mimpiku?

Jika bukan mimpi, kenapa dia ada disini selarut ini?

"Kok, kamu ada disini?" Tanyaku dengan mulut bergumam.

Tanganku terus mengucek mata, mencoba untuk memastikan dengan jelas apa yang sedang aku lihat sekarang. Bahwa aku sedang tidak berhalusinasi ataupun bermimpi.

Aku masih terus mencoba menyadarkan diri, dan mengumpulkan serpihan serpihan nyawaku yang sedang berkelana akibat tertidur dadakan.

"Kita pulang, udah malem, gak baik tidur disini." Sahutnya terdengar sangat nyata di telingaku.

Jadi, ini beneran bukan mimpi? Daniel yang sekarang ada dihadapanku adalah Daniel yang nyata?

Aku mencubit lengannya, hanya untuk sekadar memastikan saja.

"Aww.." Dia mengaduh, dan itu cukup membuat aku percaya dengan apa yang aku lihat.

Melihatnya meringis seperti itu, aku hanya tersenyum simpul tanpa beban. Sesuai ajakannya, aku meraih tasku, lalu aku sampirkan dipundak.

Tidak ada obrolan lagi diantara kami sampai didepan pintu lift, karena aku masih diliputi rasa kantuk jadi itu membuat ku malas untuk berkata-kata.

"Hati-hati,," Katanya mengingatkan ku ketika aku berjalan sedikit sempoyongan memasuki lift.

Tangannya sudah siap siaga diantara kedua lenganku, untuk menjaga keseimbangan tubuhku. Dan untungnya tubuhku masih bisa aku kendalikan dengan baik.

"Mobil kamu ditinggal aja disini, biar aku yang mengantar kamu pulang. Gak baik berkendara dalam keadaan mengantuk, apalagi baru bangun tidur." Ucapnya setelah pintu lift menutup dan membawa kami turun ke lantai bawah.

Awalnya aku ingin menolak tawarannya itu, karena sebelumnya aku sudah lebih dulu ditawari untuk diantar pulang oleh Mas Rangga selepas dari gudang perusahaan kami. Tapi dengan keras kepala, aku menolak tawaran Mas Rangga, dengan alasan aku tidak mau meninggalkan mobilku di kantor, dan alhasil aku berakhir ketiduran di kantor.

Tapi anehnya, ketika Daniel menawarkan hal yang sama seperti yang sudah Mas Rangga lakukan, justru membuat ku tidak bisa untuk berkata tidak. Dengan nurutnya aku hanya mengangguk atas penawarannya.

Sebenarnya dibalik keputusanku menerima ajakan Daniel itu, itu karena Daniel memberikan alasan yang kuat, dan aku pun menyadarinya sendiri.

Aku benar-benar sangat mengantuk, membuat aku malas untuk menyetir mobil sendiri, dari pada aku membahayakan nyawaku sendiri, lebih baik aku menerima ajakan Daniel. Toh ajakannya juga memberikan manfaat untuk aku pribadi.

Bagiku hari ini sangat melelahkan, lelah fisik juga pikiran. Karena tidak biasanya aku sampai ketiduran di kantor ketika sedang lembur bekerja.

"Masih kuat jalan gak, sampe ke parkiran? Kalo gak kuat biar aku gendong." Ucapnya lagi ketika pintu lift kembali terbuka dilantai lobby.

"Gak usah nyari kesempatan dalam kesempitan!" Semburku dengan memberikan tatapan garang. Lalu berjalan lebih dahulu meninggalkan dia dibelakang.

Aku berjalan kearah tempat mobil terparkir, yang kuduga itu adalah mobilnya Daniel, karena hanya mobil itu saja satu-satunya yang terparkir diparkiran depan gedung kantor. Sedangkan mobilku sengaja aku parkirkan di basement kantor, karena memang biasanya selalu disana.

Sungguh aku sama sekali tidak menyangka akan berakhir didalam mobil Daniel lagi di malam hari, aku kira setelah kejadian ban mobilku bocor, aku tidak akan lagi diantar pulang olehnya malam-malam.

Keadaan jalanan di ibu kota pada saat malam hari, jauh lebih menenangkan, hanya ada beberapa mobil saja yang masih berlalu lalang.

"Kamu sering ketiduran seperti itu setiap lembur?"

Aku yang sedang fokus menatap jendela samping, harus mengalihkan pandanganku pada seseorang yang baru saja melayangkan pertanyaan pertama dalam perjalanan malam ini.

"Enggak kok, ini kali pertama saya ketiduran."

"Memang pulang jam berapa dari gudang?"

"Hah? Kok kamu tau kalo saya pergi ke gudang." Tanyaku bingung. Kok dia bisa tahu, seingatku, aku belum memberitahu nya sebelumnya.

"Zanna yang ngasih tau ke aku." Jawabnya membuat aku hanya ber-oh ria dan menganggukkan kepala.

"Kamu cuma pergi berdua aja sama Mas Rangga?!" Tanyanya lagi. Suaranya terdengar sedikit dingin.

Kali ini, kok aku merasa seperti sedang di sidang oleh pacar, tidak biasanya dia bertanya dengan ekspresi se-datar dan se-dingin ini. Juga, kenapa aku jadi merasa bersalah tanpa sebab?

"I-iya,, kenapa sih?" Tanyaku kelu dan sedikit berhati-hati.

Sumpah demi apapun, tiba-tiba nyali ku ciut dan takut tanpa alasan. Apa karena aku baru menyaksikan sisi lain dari Daniel? Karena yang aku tahu, dia selalu menebar kehangatan serta keceriaan di wajahnya.

"Gak kenapa-kenapa!" Sahutnya tanpa berekspresi, dan itu semakin membuat suasana semakin mencekam.

Apa karena aku yang masih belum pulih dari rasa kantuk? Jadi aku yang terlalu berlebihan menanggapinya?

"Kamu kenapa sih? Aneh banget, kaya bukan kamu!" Ucapku memberanikan diri.

Selain itu juga, aku ingin tahu penyebab nya dibalik sikapnya yang ketus seperti itu.

Dia hanya melirikku sekilas, tanpa senyuman, lalu kembali lagi fokus kedepan. "Aku gak kenapa-kenapa, masih sama seperti biasanya."

Aku memicing curiga, tidak percaya dengan jawabannya. "Ih, jangan buat saya bingung deh. Kamu kenapa?" Tanyaku lagi yang sudah mulai tersulut emosi seperti biasa.

"Tidur gih, bukannya kamu ngantuk kan?" Sahut nya mengubah pembicaraan.

"Yaudah deh kalo kamu gak mau ngasih tau saya. Saya tidur." Kataku dengan kesal seraya mengalihkan pandanganku ke jendela.

Tidak mendapatkan jawaban yang pasti itu sungguh sangat menjengkelkan, dan lebih menjengkelkan lagi ketika dipojokkan bersalah atas sesuatu yang tidak kita ketahui penyebabnya apa.

Sebenernya aku masih gereget dan kesal dengan sikap aneh Daniel malam ini, namun aku tidak punya hak apapun untuk memaksanya berbicara.

Tidak ada lagi obrolan setelah kejadian tadi selama perjalanan, aku masih setia membuang muka dari Daniel, begitu pun dengan laki-laki itu, dia masih setia dengan prinsip diamnya.

Sampai tak terasa, mobil Daniel berhenti tepat di depan rumahku. Sebelum melepaskan seat belt, aku menyempatkan melihat Daniel lebih dulu. Laki-laki itu masih diam, namun tangannya melepaskan seat belt yang melilit ditubuhnya.

Setelah melepaskan seat belt, segera ku membuka pintu mobil lalu turun tanpa berbicara sepatah katapun, sungguh aku benci dengan suasana canggung seperti ini.

Dia pun mengikutiku turun dari mobil, dan mengantarku sampai ke depan pintu rumah.

Kami sama-sama berdiri didepan pintu, tanpa ada yang berniat untuk membuka suara lebih dulu. Mataku masih terus menatapnya dengan tatapan bertanya-tanya.

"Masuk gih.." Sahutnya setelah cukup lama kami berdiri. Aku tidak memberikan respon apapun, masih sibuk mencari jawaban dibalik sikap anehnya malam ini.

"Aku pamit pulang." Katanya lagi, seraya berbalik badan memunggungiku.

Namun baru saja ia melangkah, dengan beraninya aku meraih tangannya, menggenggam telapak tangannya yang jauh lebih besar dengan tanganku.

Sontak hal itu membuatnya berhenti lalu kembali membalikkan tubuhnya menghadap kearahku lagi.

Aku menatapnya tepat di bola matanya, dia pun sama halnya. "Kamu kenapa?" Aku mengulang kembali pertanyaanku. Kali ini dengan nada suara sedikit lembut.

Karena bagaimanapun aku tidak ingin sikapnya membuat aku terus kepikiran, meskipun itu bisa dibilang bukan urusanku dibalik sikap anehnya, setidaknya aku harus tahu penyebabnya seperti ini tuh, karena apa?

"Kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita ke saya. Dan kalau misalkan saya punya salah ke kamu, kamu bisa terus terang ke saya. Saya tidak ingin--" Perkataanku terhenti ketika dia tiba-tiba saja memelukku.

Tubuhku menegang, seperti terkena sengatan listrik beribu-ribu Watt. Aku terpaku cukup lama, dengan pikiran yang entah ada dimana, mendapatkan pelukan tiba-tiba darinya seperti ini.

"Maaf,, karena aku cemburu tanpa hak kepada atasan kamu." Beritahunya yang masih setia memelukku.

Mataku mengerjap berkali-kali dengan pemberitahuannya yang membuat ku sulit mencernanya.

"Oke,, tapi tolong, bisa lepasin dulu, saya gak bisa nafas." Kilahku sedikit berbohong seraya bergerak agar bisa terlepas dari pelukannya.

Namun bukannya dilepaskan, justru semakin ia perkuat pelukannya. "Daniel,, lepasin gak?" Seruku sedikit menggeram.

"Biarkan seperti ini dulu, dua menit." Gumamnya pelan.

Mendengar nya berkata seperti itu, tidak membuat ku semakin pasrah, justru aku semakin meronta-ronta dengan kuat dalam pelukannya, bahkan aku sudah memukul punggungnya berkali-kali.

"Kalo kita digerebek satpam yang bertugas malam-malam, itu lebih rumit lagi. Lepasin ah!"

Beruntungnya ancaman ku kali ini berhasil, ia melepaskan ku dari pelukannya, dengan senyuman lebarnya. "Kamu ya,, memangnya kita ngapain sampe digrebek satpam segala?"

"Pake nanya, kamu meluk aku, lupa?" Aku menatapnya tajam. Sedangkan dia hanya cengengesan saja tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Kalo misalkan ketahuan pak satpam, terus di grebek, bagus dong."

Bola mataku melotot tidak percaya, dengan cepat aku menonjok dada bidangnya dengan keras, dan itu sangat sukses membuat nya mengaduh.

"Bagus apanya, yang ada malu iya!" Omelku masih dengan tatapan tajam.

"Ya kan, nanti kita bisa nikah!" Sahutnya lagi yang sukses membuat ku beristighfar.

"Amit-amit,, aku gak mau ya, nikah karena di gerebek." Dengusku sebal, sambil mengalihkan pandangan ke taman kecil yang ibu buat.

Seketika aku merasa telah menyesal mencegahnya pulang, padahal tujuanku bukan seperti ini, tapi kenapa jadi berkahir seperti ini!

Dia meraih kedua tanganku, lalu menggenggamnya dengan lembut. Ada gelenyar aneh didalam tubuhku atas perilakunya, dan itu sukses membuat tubuhku membeku untuk sesaat.

"Maaf,," Satu kata yang keluar dari mulutnya, telah berhasil membuat ku kembali menatap manik matanya.

"Maaf karena sudah cemburu sebelum nya, dan maaf karena sudah meluk kamu tanpa izin kamu. Juga, maaf karena sudah menggenggam tanganmu seperti ini." Ucapnya dengan serius dan tulus.

Matanya beralih sebentar pada genggaman tangan kami yang saling tertaut, lalu kembali lagi menatap wajahku dengan tatapan dalamnya.

Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa, karena sejujurnya ini kali pertama aku di perlakukan seperti ini oleh laki-laki setelah cukup lama aku putus.

Meskipun dulu aku pernah mengalami hal ini, tapi kali ini aku merasa sedikit beda. Ada rasa hangat dan ketulusan disorot matanya.

Aku menelan ludah dengan susah payah, menetralkan degupan jantung ku yang mulai bekerja dua kali lipat dari biasanya.

"Harus banget minta maaf?" Tanyaku sedikit menaburkan candaan.

Dan bodohnya aku, kenapa harus berkata seperti itu?

Dia mengangguk lembut, sambil melukiskan seulas senyum ketulusan. Tangannya beralih mengelus lembut lengan bahuku. "Masuk gih, udah malem. Kamu perlu istirahat." Serunya dengan lembut.

Detik itu juga, aku merasa lega karena dia tidak memperpanjang pembahasan yang menurutku sangat ambigu itu.

Aku mengangguk sedikit canggung, dengan bibir yang menahan senyuman.

"Jangan ngebut!" Kataku sebelum berbalik badan. Lalu segera melesat masuk setelah berhasil membuka pintu yang dikunci dengan kunci cadangan yang selalu aku bawa kemana-mana.

Setelah pintu menutup, tubuhku luruh kelantai saking lemasnya kaki ku menahan rasa nervous yang sangat membuncah.

Untuk pertama kalinya, aku merasa seperti remaja yang baru merasakan jatuh cinta!

Malu-malu!

 

                                      🌼🌼🌼

 

To be continued 😘

8000 kata nih, pleasee apresiasi author dengan like dan komen yaa, ditunggu banget.

Terimakasih semuanya,, aku sayang kalian 💞

Bye,, see u next chapter 🤗
 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
JungkookBts
Selanjutnya Ex's Invitation — ENAM
24
3
ketemu lagi sama Daniel dan Aqilla,, ditunggu komentar dan lovenyaaHappy Reading,Jindajoon💜
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan