Putih (Cerita Pendek dibalik J'Floor)

0
0
Terkunci
Deskripsi

Jauh sebelum J'Floor (Jaws All On The Floor) dibuat; meski nama itu sebenarnya istilah ungkapan dari sebuah reaksi terhadap apa yang sedang dirasakan penikmat makanan di kedai ini—ada sebuah cerita fiksi di baliknya, sebuah cerita yang secara perlahan berhasil telah merubah banyak situasi dan keadaan khalayak umum terutama masyarakat yang kurang mampu.[]

 

 

Minggu di malam hari di sebuah rumah dengan tiga lantai yang diselimuti semilir angin yang dingin, ada dua anak kecil yang sedang bermain di dapur:...

Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
110
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Sebelumnya Sycamore (Cerita Pendek)
0
0
Sycamore (Cerita Pendek) Waktu berjalan tanpa henti dan silih hari telah berganti, sebuah hari yang bukan termasuk golongan tiga hari menyebalkan yang dimulai dengan Senin, bukan juga termasuk hari Jumat dan seterusnya yang semestinya pikiran terbebas dari segi rutinitas apapun. Hari Kamis seolah hari penengah, diantara keributan dua golongan ‘hari’ itu. Minggu ini di hari Kamis yang kosong untuk pertama kalinya setelah sekian lama, di waktu pagi yang baik, dan juga bisa berbalik ketika sudah memasuki waktu malam.Tidak ada rencana yang terlintas di kepalaku sebelumnya, mau kuhabiskan dengan apa di hari pertama tanpa pekerjaan ini — beberapa menit setelah menyiapkan sarapan sambil baca buku novel yang Aku mulai dari awal karena lupa kapan terakhir kali Aku baca, meski tanda di buku masih ada di halaman terakhir kali Aku baca. Aku berpikir untuk berjalan berkeliling kota; melihat tempat-tempat yang biasa Aku lewati selama setahun setiap berangkat atau sepulang kerja. Cuaca yang masih belum berubah selama enam bulan terakhir, meskipun terkadang Aku terbangun di tengah malam karena suara hujan yang tidak begitu deras.Berjalan bisa membuat pikiranku sedikit lebih teratur, inilah efek yang Aku rasakan setelah beberapa bulan, namun belum sampai satu atau dua kilometer tapi Aku merasa telah membuat keputusan yang salah soal keluar rumah. Karena pekerjaan yang terlalu padat Aku jadi sering melepas waktu dengan istirahat daripada berolahraga — beberapa bulan rutinitas bekerja yang semakin ketat, kemudian di suatu pagi hari niat itu hilang seperti sehelai tisu yang tertiup angin.Pukul 08:57 keesokan harinya Aku masih melamun di sofa menatap jendela belakang TV Samsung berukuran 50 inci hampir selama satu jam setengah, entah apa yang Aku pikirkan tapi Aku mulai mencari TV seri yang seru sebagai pilihan kedua selain berjalan kaki untuk memulai hari. Juga sambil mengumpulkan niat. Sisi bagus yang baru-baru ini Aku sadari adalah tempat tinggalku dekat dengan minimarket dan pasar yang mungkin hanya memakan waktu 5–7 menit memakai sepeda motor, dan sekitar 15 menit atau lebih jika berjalan kaki. Rumah kontrakan bagian lantai dua yang sudah Aku sewa selama hampir lima tahun yang terletak di pinggir jalan dekat perbelanjaan, Aku tidak tahu pasti apa ini bisa dibilang rumah kontrakan secara umum, karena pemilik tempat ini, Pak Repu, memiliki bisnis dan satu-satunya sumber penghasilan menjual lukisan jadi yang ada di lantai satu.Dari selama yang ia ingat, ia memulai menjual lukisan itu dua tahun sebelum lulus SMA dengan harga yang lumayan tinggi untuk pelukis baru, ia pernah menyebut nama-nama orang jaman dahulu seperti pahlawan negara, ilmuwan, bahkan penemu sebagai bahan objek di kertas lukisannya itu — kesempatan ini dimulai ketika pamannya, Triyowanto, yang juga pelukis dengan genre yang berbeda; kebetulan berkunjung di kota kesayangannya, dan banyak membahas tentang dunia lukisan bagaimana ide datang, bagaimana dan apa yang perlu dilakukan ketika ide itu pergi. Bahkan orang tuanya merasa diabaikan ketika pamannya pulang sewaktu hari mau gelap sambil membawa dua lukisan milik pak Repu untuk dijual di tempatnya. Dan dua lukisan itu terjual sekaligus di hari ketiga.Pak Repu pernah berpesan dari bagaimana titik cerita dalam hidupnya yang membuat ia yakin dengan pilihan karirnya. Di suatu sore, kami berdiri menatap lautan sambil memakan es krim di dermaga, yang kami beli setelah berjalan kaki bersama. ‘Semasa SD semua alat lukis milikku pernah dirusak dan dibuang oleh ayahku sendiri,’ ucapnya, lalu ia menoleh ke arahku sambil menggelengkan kepalanya. ‘Jangan tanya kenapa.’Cerita itu cukup menghantuiku untuk beberapa lama, seperti pesan, pesan yang pak Repu sengaja tinggalkan di atas angan-angan yang tidak akan pernah bisa Aku raih sampai tiba hari ke enam, di tengah malam, hari-hari yang sebagian besar Aku habiskan untuk menonton serial Sherlock Holmes meskipun sebagian besar yang lain Aku habiskan melamun setelah menonton di setiap episode serial itu. Mungkin butuh satu malam lagi untuk menyelesaikan dua episode terakhir.Aku terbangun setelah alarm yang Aku set seminggu sebelumnya, setelah tidur kurang dari lima jam, hari ini, seperti yang Aku janjikan untuk diriku sendiri di hari-hari sebelumnya dengan sedikit rasa mengantuk — mengenakan sepatu lalu Aku memulai berjalan kaki melewati blok demi blok sambil mendengarkan playlist Spotify yang sudah lama Aku buat terutama karena tujuanku membuat playlist ya kalau ngga buat ngelamun ya buat olahraga, seperti dulu.Setelah berjalan kaki melewati ujung blok yang menuju jalan raya yang masih terlihat sepi, mungkin terlalu pagi untuk melihat jalanan yang macet, juga terlalu pagi untukku kembali ke kontrakan dan kembali ke kamar menunggu malam dan melanjutkan sisa episode semalam; Aku melanjutkan dengan joging dan berjalan kaki berselingan sampai ke tempat yang Aku kira Aku pernah ke sini sebelumnya, tempat yang tidak terlalu ramai karena mungkin ini jalan baru yang akan menjadi perempatan jalan raya dan cukup luas untuk bisa dibilang ramai orang.Jalan yang luasnya mungkin bisa menampung tiga truk sekaligus dengan panjang jalan sekitar lebih dari seratus meter ini tidak mengarah ke jalan manapun saat Aku langsung melihat ke ujung jalan yang ditumbuhi rumput dan tanaman liar setinggi dada. Jalanan ini kotor tidak terawat, ranting pohon dan daun-daun berwarna kuning tua berserakan di jalan yang sebagian besar menyatu dengan aspal yang terlihat di bagian sisi kiri dan kanan yang digenangi air hujan tengah malam tadi sehingga aspal di bagian tengah jalan terlihat bergelombang seperti polisi tidur; tapi itu tidak terlalu terlihat untuk pengendara mobil atau sepeda motor, mungkin hanya pejalan kaki yang bisa menyadari hal-hal seperti ini, namun setidaknya menurutku justru ini adalah daya tarik tempat ini.Semua pohon di sekitar jalan ini hampir gundul, ranting yang tersisa hanya beberapa jengkal jari dan batang pohon yang kering (padahal semalam turun hujan meskipun tidak lama). Kecuali dua pohon sycamore yang bertepatan di awal persimpangan jalanan ini dan beberapa meter ke depan di dekat orang yang menjual makanan dengan gerobak dorongnya bermotif dan berwarna merah dan hitam yang terkait dengan sepeda motornya — Aku berjalan sambil melihat kanan kiri jalan berusaha menggali memori tempat ini yang sebenarnya Aku kenali atau tidak, ingatan tidak kunjung terlintas di kepalaku sampai langkahku terhenti tepat di depan kedai kebab dekat pohon besar dengan antrian enam orang, karena bau kebab ini membuatku ingat Aku belum makan apapun sebelum keluar dari kamar dan berjalan selama 79 menit saat melihat stopwatch di handphone, dan Aku rasa Aku butuh istirahat sebentar sebelum melanjutkan lalu kembali ke kontrakan.Setelah 15 menit berlalu, tiga orang yang mengantri sudah mengisi spot yang mereka tinggalkan sebelumnya, orang pertama saat Aku masuk antrian mungkin sudah sampai rumah dengan anjing jenis pomerania itu dengan perut kenyang — sempat mengira Aku adalah pembeli terakhir kebab ini tanpa tahu kenapa, mungkin karena stok habis dan antrian belum bertambah; setelah tersisa dua antrian, tiba-tiba ada satu perempuan dan diikuti dua laki-laki yang masuk antrian.Setelah memilih menu, Aku terus meraba saku celana hingga melepas jaketku untuk memastikan saku itu tidak bolong, namun tetap, dompet ataupun uang tidak ada di saku manapun. Rasa panik seperti membakar dari kaki lalu merambat hingga ke kepala, bukan karena Aku tidak bisa membayar makanan ini, Aku jauh lebih khawatir kalau dompet dan kartu-kartu identitasku benar hilang lalu ditemukan seseorang dan tidak pernah kembali.Penjual kebab sempat berhenti menggerakkan spatula khasnya yang bergambar SpongeBob di pegangannya yang terbuat dari kayu, dan menyadari gerak-gerikku seperti pembeli yang hanya berniat untuk nge-prank atau niat sekedar membuat kesal penjual seperti video-video yang sering ramai di media sosial.Kemudian Aku melihat selembar uang 20 ribu muncul perlahan dari samping lengan kiriku, lalu Aku melihat tangan kecil kulit putih seukuran ketika sewaktu Aku masih SD menyodorkan uang itu kepadaku, ‘Ini pakai aja.’ ucap perempuan yang ada di belakangku. Aku diam. Masih berpikir. Itu bukan yang Aku khawatirkan.‘Kalo nggak mau yaudah,’ ucap perempuan itu, dengan nada seperti kesal sambil memasukkan kembali uangnya ke dompet.‘Eh, eh, eh iya. Iya mana, mana?’ balasku sambil menoleh ke belakang dan melihat perempuan itu. Entah kenapa Aku merespon seperti orang yang sudah kenal dekat dari lama, Aku tahu Aku langsung menyadari hal ini juga.Aku menerima uang pinjaman itu dan tidak sengaja melihat ekspresi dari wajah perempuan itu ketika mengulurkan tangannya; Aku memberikan uang itu kepada penjual setelah beberapa saat jeda, supaya kelihatan cool, dan berpura-pura kejadian barusan tidak dilihat oleh penjual itu.Setelah menerima kebab itu Aku memberikan uang dan berkata, ’Kembaliannya buat abang aja.’ sambil senyum dan berjalan keluar antrian yang ternyata terisi enam orang lagi, termasuk perempuan itu.Lagi-lagi biar kelihatan cool dong. Udah gila apa.Aku berada di tengah jalan, kembali dengan kekhawatiran soal dompet, Aku berniat langsung kembali ke kontrakan, namun ada suatu perasaan yang menghalangiku, Aku baru sadar Aku bahkan belum berterima kasih ke perempuan dengan gaya rambut low ponytail dan ber-hoodie bahan tipis berwarna merah muda itu.Dengan kantong kresek berisi kebab hangat yang dilapisi bahan kertas yang masih Aku tenteng bersama jaket parasut navy di kedua tanganku; kemudian Aku mengenakan kembali jaket dan berdiri menunggu tepat ketika langkahku terhenti di sini.Beberapa menit berlalu, perempuan itu pun keluar dari barisan antrian dan langsung berjalan ke arah ujung jalan tepat saat Aku melihatnya seperti berjalan sedikit terburu-buru, Aku melangkah sedikit lebih cepat tanpa membuat suara seperti berlari lalu menyapanya, ‘Hai, makasih ya tadi…’‘Oh… hai, Aku kira kamu udah langsung pulang ngelihat tadi kamu kayak panik gitu,’ ucap perempuan itu.‘Yah, dompetku…’ belum selesai, ia langsung melanjutkan memotong kalimat keduaku.‘Dompet kamu beneran hilang? Apa mungkin ketinggalan di rumah? Aku juga kadang ngira hilang, padahal ketinggalan di atas meja, persis kayak pagi ini.’Perlahan ia menghentikan langkahnya sambil melihat dan mencari spot untuk duduk di pinggir trotoar, entah kenapa Aku pun melakukan hal yang sama tanpa memikirkan apapun kecuali dompet.Sejak ia menyebutkan ‘mungkin ketinggalan’ Aku berpikir untuk pulang dan mencarinya kemudian kembali ke tempat ini sambil membawa uang yang Aku pinjam. Pilihan yang sulit bagiku meninggalkan orang asing yang baru saja menolongku, karena Aku sudah berjanji ke diri sendiri untuk tidak akan mengulangi hal yang sama sejak kejadian lima tahun yang lalu.Bermula dari sepulang mengerjakan tugas di rumah teman kami yang jaraknya sekitar 20 menit dari rumah — karena Aku dan Roti tinggal berdekatan. Kami kemana-mana selalu berboncengan, kami dekat tapi juga bukan sahabat, meskipun nama panggilan itu Aku yang buat. Ya… sengaja waktu memanggil dia dengan nama itu, karena ia selalu membawa bekal makan roti ke sekolah — selama dua tahun terakhir sebelum kelulusan Aku tidak pernah melihat dia makan nasi, Aku pernah bertanya dan jawabannya selalu, ‘Orang cuma ada roti.’ entah soal itu ia serius atau tidak, tapi seketika hal ini membuatku merasa kasihan, di sisi lain Aku tidak mau membuat ia merasa dikasihani, karena ia memang tidak suka dikasihani. Roti bisa tahu bagaimana orang mengasihaninya atau tidak hanya dengan melihat dari ekspresi mereka, dikasihani hanya membuat ia merasa disepelekan, setidaknya itu yang pernah diceritakan kepadaku, jadi dua hari sebelum nama itu terkenal di lingkungan sekolah, Aku yang memulai memanggil dengan nama itu, Roti.Hanya beberapa menit di perjalanan pulang, motor milik Roti tiba-tiba mati, alias bensinnya habis — kami mulai menuntun di pinggiran jalan di tengah ramainya jalanan dengan macam-macam jenis kendaraan di bawah terik matahari jam 2 siang menuju SPBU yang berjarak sekitar 10 menit untuk bermotor, namun berjalan dan menuntun motor itu hal yang lain. Pepohonan di tepi-tepi jalan terlihat seperti baru-baru ini ditebang. Jadi memang hari itu dibuat untuk hari keberuntungan kami.Kalau diingat-ingat, kami beruntung (meskipun waktu itu Aku merasa sebaliknya) karena salah satu pengendara di jalan yang panjang itu mengambil jalur kiri lalu berhenti beberapa meter di depan kami setelah lebih dari enam menit kami berjalan. Kemudian ia bertanya dengan suara sedikit lebih keras karena bising kendaraan, ‘Motornya kenapa, Dek?’ tanya orang itu sambil membenarkan posisi masker yang sedikit turun ke ujung hidungnya.Roti dengan cepat dan juga suara keras sambil menunjuk lalu menepuk-nepuk jok motor dengan pelan, berkata. ‘Tangki bensin kosong, Pak.’‘Bensinnya habis?’ tanya laki-laki berjaket kulit dengan warna hitam itu.Kami berdua mengangguk secara bersamaan. Kemudian ia turun dari kendaraan dan berjalan mendekat.‘Yaudah masnya ikut Aku aja,’ orang itu melihat ke arahku, kemudian. ‘Biar mas-nya yang naik nanti saya stut.’Seiring Aku berjalan ke arah motornya dan membelakangi laki-laki itu, Aku mengerutkan wajah dengan sedikit perasaan khawatir yang membuatku mulai deg-degan, Aku menoleh ke belakang lalu bertanya ke Roti dengan menggerakkan mulut tanpa suara. ‘Stut apa?’Roti menaikkan dua pundaknya secara bersamaan lalu menuntun motornya sampai ke depan laki-laki yang memakai helm hitam itu dan menaiki motornya, Aku dengan rasa khawatir pun menaiki motor laki-laki itu. Setelah beberapa menit berlalu, SPBU terlihat dari jauh dan akhirnya Aku dekat dengan perasaan lega dari sepanjang jalan yang Aku habiskan dengan rasa khawatir gimana kalau Aku dibawa kabur lalu diculik oleh orang ini.Setelah sampai di depan SPBU, orang ini tidak berhenti juga tidak kabur seperti yang Aku kira, ia malah membantu mendorong jalan masuk SPBU yang sedikit menanjak sampai ke barisan antrian. Kemudian ia bertanya, ‘Kalian ada uang buat isi bensin?’Roti memasukkan tangannya ke saku celananya lalu mengeluarkan jarinya yang mencubit uang 20 ribu yang ada di saku, ‘Ada kok. Makasih, Pak.’Aku juga meraba saku celana jeans-ku lalu teringat semua uangku habis untuk membayar print tugas kelompok dan camilan. Aku hanya diam dan melihat Roti maju melanjutkan antriannya. Aku dan laki-laki ini entah alasan apa masih menunggu bersama di depan jalan keluar SPBU, kami tidak berbicara selain pertanyaan singkat sewaktu perjalanan tadi. Kepalanya menoleh ke kiri mendekatkan ke arahku. ‘Belum bisa naik motor ya, Mas?’ tanya laki-laki itu.‘B-bisa, Pak.’ balasku dengan sedikit tergagap, heran, kenapa ia bertanya soal itu, dan dari mana ia tahu kalau Aku memang tidak bisa naik motor. Ia tidak merespon jawabanku kemudian kami diam dan melanjutkan perjalanan sampai SPBU.Lalu Aku terpikir sesuatu untuk beralasan — menoleh ke belakang dan setengah berlari berpura-pura seolah Roti memanggilku karena memerlukan sesuatu, supaya pikirku rencana orang ini gagal — kemudian orang itu tidak lama pergi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya setelah menoleh melihat ke arah kami.‘Kenapa ke sini? Takut banget ditinggalin lagi.’ kata Roti.‘Ya justru itu… lo bisa-bisanya lupa bawa penumpang habis ngisi bensin. Tapi lagi pula kenapa Aku nunggu bareng orang itu sih, emangnya ada perlu apa lagi?’ balasku. ‘Aku ke sini aja pura-pura lo panggil, terus ninggalin tuh orang gitu aja.’‘Ya mungkin orang itu ga enak mau ngusir lo. Dilihat dari cara dia ngomong sih kayaknya dia introvert.’ kata Roti, kemudian dengan suara halus ia berkata. ‘Udah bilang makasih belum?’‘Kampret. Lo kira gue anak kecil.’Kemudian kini giliran motor Roti untuk diisi. Sambil melamun dan melihat udara di sekitar lubang tangki motor yang terlihat seperti bergelombang karena pembiasan, Aku terpikirkan oleh ucapan Roti tadi.Bukannya ngucapin terima kasih malah mikir yang aneh-aneh ke orang yang udah nolongin.Entah karena apa, kejadian dan kekhawatiranku soal hal ini terus berputar di kepalaku selama beberapa bulan. Ingatan itu selalu yang pertama hadir di setiap mataku terbuka dan waktu malam sebelum terlelap (beruntung nggak sampai ke bawa ke mimpi). Ingatan itu menampilkan seseorang yang hanya terlihat bagian kedua matanya karena ia memakai masker, rambutnya pun kami tidak pernah tahu, kami tidak pernah bertemu lagi; merek atau plat nomor motornya tidak pernah terlihat di setiap perjalanan yang Aku lewati. Aneh. Kenapa perasaan yang awalnya Aku kira sepele malah jadi bikin pusing. ‘Halo? Kok diam?’ tanya perempuan itu, memecahkan lamunanku.‘I-iya bener kata kamu, dompetku ketinggalan di rumah,’ dengan sedikit perasaan ragu-ragu, entah kenapa kalimat itu keluar begitu saja sambil tersenyum tipis, namun ingatan dan instingku masih terlihat seperti berenang-renang di kolam kecil dengan air yang berwarna abu-abu, dan berakhir dengan satu kata, sudahlah.‘Kamu nggak mau coba cari langsung?’ tanya perempuan itu, lagi.Kemudian Aku menghela napas, pelan.‘Oh, jadi kamu cuma nebak, tapi Aku lihat, ekspresimu belum banyak berubah sejak tadi.’ lanjut perempuan itu.Aku cuma menggelengkan kepala sambil sedikit memanyunkan bawah bibir lalu mengangkat lengan kiriku untuk mengusap keringat yang membasahi belakang daun telinga. Aku mencoba mengganti topik obrolan.‘Oh iya, kalau nggak salah Aku ngeh tadi kamu lagi dengerin Neck Deep di headset yang kamu kalungin.’Perempuan itu melihatku sebentar seperti menyadari alasan topik obrolan yang Aku coba ganti, kemudian ia menjawab. ‘Emang suaranya keras banget ya?’‘Enggak,’ Aku menggelengkan kepala sambil membuka kantong plastik kebab. ‘Telingaku memang rada beda kalau udah denger musik. Kamu suka album mereka yang mana? Kamu bukan penggemar dadakan, kan? Yang karena akhir-akhir ini band itu ramai, semua orang pada dengerin Wish You Were Here atau December.’‘Enak aja,’ balas perempuan itu dengan mulut yang masih penuh sambil mengunyah sebelum menelan kebab yang ia beli. ‘Aku udah nge-fans di hari mereka baru bikin band.’‘Enggak sih, itu berlebihan,’ balasku. ‘Kalau kamu bibi salah satu dari mereka make sense.’Ia mengerutkan wajahnya dengan mulut yang masih penuh setelah gigitan kebab kedua, kemudian ia tertawa. Aku melihatnya pun ikut tersenyum. Perempuan dengan satu lesung pipit di pipi bagian kiri, Aku menyadari ada bekas luka kecil dengan bentuk yang aneh di bawah dagu bagian kanan dekat telinga yang sempat terbuka ketika rambut samar coklat dan hitamnya terurai.‘Kamu emang suka genre pop punk? Atau ada yang lain?’ Aku lanjut bertanya tanpa sempat menunggu jawaban lanjutan perempuan itu setelah tertawa, ‘Kamu laper banget ya kelihatannya.’Perempuan itu menunjukkan jari telunjuknya, mengangguk dan bilang ‘Hm…mmm.’ yang Aku dengar seperti berkata, ‘Betul!’‘Yaudah, gimana kalau habisin dulu kebabnya terus minum terus kamu lanjut jawabin semua pertanyaanku tadi?’Perempuan itu mengangguk lagi sambil menggerakkan ujung ibu jari dan ujung telunjuknya bersamaan yang membentuk bulat yang berarti. ‘Oke.’Kemudian Aku melanjutkan memakan kebabku yang masih terlihat setengah gigitan di ujungnya dan tanpa sadar rasa panik dan khawatirku memudar dan perlahan menghilang. Kami menikmati kebab yang mulai dingin di sini, di trotoar jalan tak bernama (belum lebih tepatnya) yang banyak daun kuning saling berjatuhan melengkapi angin dingin yang sesekali meniup daun pepohonan di terik matahari pagi. Perlahan satu per satu orang di sekitar kami mulai pergi kembali melanjutkan aktivitasnya, hanya bisa dihitung jari orang yang masih duduk di sisi jalan dan trotoar termasuk dua orang laki-laki tadi yang sempat ikut antri di belakang perempuan ini, mungkin mereka seumuran, dari tempat kami duduk tidak begitu jauh untuk bisa melihat mata mereka — Aku sesekali melihat mereka yang ternyata selama ini seperti menguntit atau mengganggu perempuan ini, Aku bisa tahu dengan bagaimana cara mereka melihat kami, terutama cara melihat perempuan yang ada di sampingku. Kemampuan ini berkat berteman dengan Roti.Kemudian tiba-tiba terdengar suaranya setelah berdeham dan melanjutkan jawabannya selagi Aku mengamati sekitar jalanan ini dan masih memakan kebab yang hanya tersisa sepanjang jari telunjuk.‘Bukan. Aku bukan penggemar dadakan,’ balas perempuan itu, sambil menghadapkan badannya dengan ekspresi excited. ‘Kalau diinget-inget udah sekitar tiga tahun di pertengahan tahun ini nanti. The Peace and The Panic atau biasa disingkat TPATP adalah album terbaik setelah sekian lama, sejak terakhir kali dengerin Dig Out Your Soul lima bulan yang lalu.’‘Bentar… Dig Out Your Soul…’ jawabku sambil menatap ke arah bawah dan mengetuk-ngetuk lututku dengan jari telunjuk. Aku bisa tahu perempuan ini diam sambil tersenyum girang seperti secara tidak langsung berkata ‘Ayo kamu pasti tahu!’ saat menunggu jawabanku.‘Ooo…asis kan?’ lanjutku, menunjuknya dengan jari.Ia mengangguk dan menunjukku kembali. ‘Aku hampir suka semua genre, tapi, jangan tanya lagu-lagu koplo atau sejenisnya,’ kata perempuan itu. ‘Biasanya akhir-akhir ini Aku dengerin hip-hop atau metal hardcore gitu.’Mendengar jawabannya, pupilku terasa seperti membesar, dan Aku mengeluarkan ekspresi kaget. Kemudian ia berkata.‘Kenapa? Aneh banget ya seorang cewe bisa suka genre-genre kayak gitu?’‘Bukan!’ balasku. ‘Aku kaget, Aku juga hampir suka semua genre, apalagi hip-hop, metal hardcore atau pop punk dan kawan-kawannya. Aku juga sedikit terganggu kalau denger lagu kayak dangdut gitu, mungkin karena kebanyakan orang yang muterin lagu dengan genre itu sering pake speaker yang volume-nya gede banget. Sampai menembus qalbu.’‘Sssttt, jangan keras-keras,’ ucap perempuan itu sambil melirikkan matanya ke kanan dan ke kiri, bergurau. ‘Siapa tahu di sini ada yang suka koplo terus denger kamu tadi ngomong apa.’Aku menoleh kanan dan kiri, memutar kepalaku dan melihat sekitar, menyadari dua orang laki-laki tadi telah pergi, tapi Aku masih belum menanyakan soal itu. ‘Mana? Ngga ada siapa-siapa tuh.’Lalu ia tertawa kecil, dan melanjutkan jawabannya. ‘Aku nggak terlalu laper tapi juga nggak kenyang, mungkin Aku tipe orang yang suka makan makanan yang masih hangat, lebih nikmat aja menurutku.’Aku tiba-tiba bingung mendengar jawaban perempuan itu, kemudian Aku bertanya.‘Jangan bilang Aku tadi tanya… “Itu”.’ balasku.‘Tanya apa?’ balas perempuan itu.‘Itu, “Kamu laper banget ya kelihatannya?”’Perempuan itu mengangguk, ‘Iya.’ Aku menghela napas dan menutup mata secara perlahan, berkata dalam hati. Ya jangan ke orang asing juga dong, jangan ke perempuan ini juga dong. Lalu kembali membuka mata.Aku memiliki kebiasaan mempertanyakan seseorang ketika melihat cara mereka makan bagaimana. Selalu, selalu pertanyaan dengan kalimat yang sama, khususnya ke teman dekat seperti Roti ataupun sahabat. Entah dari kapan, tetapi Aku menyadari kebiasaan ini ketika kelas 9 SMP — di tahun yang sama saat selesai acara wisuda sekolah, salah satu sahabatku bertanya. ‘Lo nyadar nggak lo cuma nanyain tentang kebiasaan lo itu cuma buat orang-orang yang terdeket?’Perempuan itu lagi-lagi berhasil memecahkan lamunanku, ‘Kok diam?’ ia memandangiku yang sedang menatap aspal yang terlihat di antara kedua kakiku yang sedang selonjoran, kemudian ia melanjutkan. ‘Kamu suka banget ngelamun ya?’ Perempuan itu mengucapkannya seperti ia tahu ia tidak perlu mengingatkanku soal dompet meskipun padahal yang membuatku melamun barusan bukan soal itu.‘Enggak, Aku lagi dengerin kamu.’ jawabku, mencoba mengelak.‘Coba tadi Aku bahas album apa lagi?’‘Don’t Believe the Truth, kan?’ balasku.Ia menggelengkan kepala. ‘Hmm, ngasal.’Aku sama sekali tidak ada petunjuk soal perempuan ini dari awal yang genre lagunya aja berbeda dari perempuan pada umumnya, setidaknya dari semua perempuan yang Aku kenal, hanya perempuan ini yang menyukai genre musik yang mirip denganku, dan hanya dengan perempuan yang Aku temui di antrian kebab ini yang dari sejauh yang Aku kenal membuat obrolan dua orang menjadi menarik, yang mana Aku tidak ingat kapan terakhir kali mengobrol dengan teman seperti ini. Sebelumnya dengan orang asing pun Aku tidak pernah mengalami seperti ini. Rasa excitement yang semakin tinggi dan perasaan jaim yang hilang begitu saja mendengar obrolan kami yang berlangsung entah sudah berapa lama.‘Definitely Maybe yang rilis di tahun 2000, kan?’ lanjutku.‘Ketahuan banget kalau jawab ngasal, lagian album itu rilis di tahun 1997.’ ucap perempuan itu dengan nada kesal tapi dengan ekspresi tersenyum tipis.‘Voulez-Vous.’‘Kamu?’Aku melepaskan sampah plastik kebab dari tangan yang Aku lipat-lipat, dengan mulut sedikit terbuka, ‘Kamu kok bisa tahu lagu-lagu kayak gini? Bisa mirip banget genre-nya, bukan, bahkan sama. Kamu bukan cenayang, kan?Perempuan ini menggeleng-gelengkan kepalanya, tertawa sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.Tidak begitu lama sehingga dari pembahasan musik beralih ke buku lalu film dan aktor-aktor favorit lalu hobi-hobi ekstrim, seterusnya dan seterusnya, untuk sesaat bahkan sampai membuatku lupa bagaimana kami bertemu. Di antara kecocokan topik obrolan yang kebetulan kami alami, akhirnya ada satu hal yang kami saling berlawanan yaitu: Aku tidak suka motor Honda CB atau semua kendaraan yang memakai knalpot cuma buat pamer, dengan cara geber-geber dijalanan, namun perempuan ini sebaliknya.‘Padahal keren bisa jadi anak CB dan yang paling penting solidaritasnya tinggi,’ ucap perempuan itu. ‘Terutama kalau sepeda motor tiba-tiba mogok di jalan, mereka bisa bantu nge-stut, emang sih kebanyakan orang suka pakai knalpot yang bikin berisik. Biasanya kebanyakan cowok suka yang kayak gini, kok kamu nggak?’Sejak bertahun-tahun lamanya tidak mendengar kata stut ingatan kembali muncul dengan apa yang terjadi waktu itu — Aku sempat hampir menanyakan apa arti kata itu, lagi-lagi, apapun yang tidak perlu dan penting untuk diingat Aku terbiasa melupakannya.‘Enggak mungkin harus jadi anak CB dulu biar bisa nolong orang, kan?’ balasku.‘Tapi… bukan itu maksudku.Kemudian sebagian daun tertiup angin perlahan dan terdengar suara gesekan seperti orang yang berjalan dengan satu tongkat untuk menggantikan peran kakinya yang sedang sakit mengenakan sepatu kantoran yang menyeret kakinya di setiap langkahnya; sebagian daun kecil yang lain beterbangan seiring angin yang perlahan semakin kencang berhembus ke arah utara, ke arah satu-satunya jalan keluar dan masuk di jalan pertigaan dekat bundaran ini, dan sempat terdengar suara patahan ranting yang memekikkan telinga, Aku mengintip di balik jaket melihat satu ranting yang bergelantung, tidak cukup kuat menahan untuk tetap bergelantung di pohon itu dan tidak cukup beban yang berat untuk jatuh ke jalanan; yang pasti hanya menunggu waktu sampai ranting itu jatuh dengan sendirinya.Kami diam sejenak menunggu angin yang membawa awan menutupi sebagian cahaya matahari sambil menutupi wajah dengan jaket yang kami kenakan — beberapa menit sebelum angin itu berhenti, Aku mendengar suara musik yang keluar dari tas kecil milik perempuan itu meskipun suara angin yang menembus dedaunan tidak kalah berisik — mungkin panggilan dari orang lain atau hanya alarm — Aku tahu ia juga sadar ada yang terdengar berasal dari handphone-nya, jadi Aku diam berpura-pura sibuk dengan menutupi wajahku dari pasir-pasir kering jalanan yang bertaburan terbawa angin.Hanya selang beberapa menit berlalu sejak angin yang membawa pernak-perniknya pergi, perempuan itu berdiri dan menepuk-nepuk pakaiannya, ia berkata, ‘Aku harus pergi ke suatu tempat.’ hanya seperti itu. Aku bingung mau menjawab apa.Kemudian ia berjalan, berjalan, dan berjalan sambil memegang dan melihat handphone-nya, hingga langkahnya yang semakin pendek namun cepat, Aku masih bisa mendengarnya.Ketika ia berdiri sebelum berjalan, ia berbalik, Aku melihat titik hitam dengan bekas luka gores seperti menajam ke atas yang sama seperti di tangan kiriku saat sisa-sisa angin tadi secara perlahan menguraikan rambutnya; yang pada waktu itu Aku tidak sadar saat mengangkat sendok masak dengan tangan kananku dan sewaktu Aku menyadari setelah memindahkan sesuatu ke meja makan, Aku panik melihat minyak panas yang menetes ke lantai dan dengan refleks melangkah mundur sambil meloncat, dan tangan kananku yang membawa sendok masak yang masih panas secara tidak sengaja menggores lenganku.Bekas goresan di bagian leher belakang sejajar dengan pundak kiri perempuan itu seperti menunjuk titik hitam kecil yang ada di atasnya.Ia tidak menjawab ketika Aku bertanya, ‘Kenapa terburu-buru?’ Lalu Aku bertanya lagi dengan suara sedikit lebih keras, ‘Kita bakal bertemu dua hari lagi? seiring perempuan itu berjalan semakin cepat ia membalikkan tubuhnya dan menggelengkan kepalanya. ‘Bagaimana kalau minggu depan?’ Kemudian perempuan itu menganggukkan kepalanya dan melingkarkan jari telunjuk dan ibu jarinya. Kemudian aku bertanya dengan suara sedikit lebih keras ‘Aku lupa namamu!’ Aku hanya menangkap gerak bibirnya yang tidak bisa Aku tebak juga suaranya terlalu kecil untuk ditangkap di telinga di keadaan di mana hari mulai ramai kendaraan.Handphone-ku tiba-tiba bergetar, dan melihat siapa yang menelponku lalu kembali melihat ke arah perempuan itu pergi, ia telah menghilang begitu saja.Aku duduk terdiam berusaha memproses apa yang harus Aku pikirkan saat ini, karena saat ini di kepalaku terlalu banyak persoalan untuk dipikirkan — jadi Aku memutuskan untuk membeli kebab di kedai yang sama dengan sisa uang yang masih ada, namun saat berjalan dan masuk ke barisan antrian, penjual itu melihatku sambil menaikkan kedua alisnya berkata, ‘Habis, Mas.’Cakep, kini Aku tahu harus memikirkan apa di sepanjang perjalananku, setelah ingat kalau uang sisa kembalian tadi sudah Aku kasih ke penjual kebab itu.Satu hari kemudian dan dua hari berikutnya hingga hari ke tujuh, hari yang paling Aku tunggu untuk menemui perempuan tak bernama itu. Kali ini, hal pertama yang harus Aku tanyakan ketika bertemu dengannya adalah nama. Rutinitas masih berjalan seperti yang Aku rencanakan selama ini, hanya saja ada hal lain yang tidak Aku sangka membuatku lebih bersemangat.Ketika sampai di lokasi yang sama seperti minggu lalu, hal pertama yang Aku cari adalah seorang perempuan dengan hoodie berwarna merah muda seperti yang ia kenakan minggu lalu. Waktu terasa berlalu cepat sehingga Aku merasa lapar, dan selagi menunggu perempuan itu datang, Aku membeli kebab di kedai yang sama dan berharap ia mengagetkanku dari belakang.Namun itu tidak pernah terjadi.Pagi demi pagi, kemudian hingga minggu ke-21 berlalu, minggu ke-42, dan berlanjut minggu ke-63 dan sampai entah minggu yang kesekian tidak lagi Aku hitung berapa lama Aku menunggu kedatangan perempuan misterius itu di tempat yang kini menjadi jalan raya resmi sejak sekitar minggu ke-30 setelah kami bertemu untuk pertama kalinya. Pohon yang sama yang dekat dengan tempat saat kami berdua membicarakan banyak hal itu semakin lebat, terlihat jauh lebih sehat daripada sebelumnya, sama seperti pepohonan yang lain di pinggir jalan, tetapi setiap kali Aku berjalan melewati pohon ini Aku melamun dan mulai memerhatikan pohon ini sesekali.Ada perasaan yang aneh, tidak seperti hal yang sebelumnya pernah terjadi, hanya saja sesuatu telah terjadi di kurun waktu yang bertahun-tahun lamanya, seperti deja vu.Aku menghabiskan waktu dengan aktivitas yang masih sama: selain bekerja sebagai freelance di Studio Cult yang berjarak 19 km dari kontrakan: berolahraga, membaca novel-novel ber-genre misteri, kadang Aku rela menghabiskan waktu satu sampai dua jam hanya untuk berkeliling ke tempat-tempat dengan banyak makanan yang belum pernah Aku coba sebelumnya — di sela-sela waktu pikiranku yang tidak bisa menghindar dari gambaran perempuan dengan wajahnya yang mulai blur seiring waktu berlalu.Kepalaku dipenuhi pertanyaan seperti: Bagaimana kami bisa bertemu? Apa ini hanya bagian rencana alam semesta yang kebetulan lewat di kehidupanku seperti yang dibicarakan orang-orang di sosial media? Bagaimana kami bisa membicarakan hal-hal intens seperti dua orang yang kenal bertahun-tahun lamanya? Padahal kamipun bahkan belum mengetahui nama masing-masing.Apakah Aku dan perempuan itu akan bertemu lagi di suatu waktu dan di sebuah tempat? Satu bulan dalam tiga tahun terakhir, aktivitas olahraga semakin berkurang, bukan karena pekerjaan hanya saja… berkurang. Aku mulai menyadari karena beberapa bulan sebelumnya Aku hampir setiap hari mengisi waktu pagi dengan ini, dari tiga hari dalam seminggu, kemudian dua hari, sampai Aku mulai mencari pengalihan lain sebagai alasan. Aku diterima sebagai salah satu seorang sinematografer, lebih tepatnya salah satu orang dari perusahaan lain yang juga berteman dengan pemilik Studio Cult meminta agar Aku membantu crew-nya yang juga sinematografer dan kebetulan orang yang biasa menemaninya sedang pergi ke luar Pulau Jawa karena keperluan keluarga selama beberapa minggu ke depan.Seperti seseorang yang sedang melamun di waktu pagi sampai siang hari mencoba memerhatikan dan melihat seperti apa wujud angin sebenarnya, dua tahun berlalu begitu saja.Ingatan tentang seorang perempuan yang Aku temui di depan kedai kebab yang berada di dekat pohon besar itu telah menghilang secara perlahan sejak Aku memulai hubungan yang baru dengan perempuan yang Aku temui di café yang juga kebetulan kami ternyata bekerja di tempat yang sama, Aku pernah bertanya, ‘Kok Aku nggak pernah ngelihat kamu di kantor?’ lalu ia membalas. ‘Kata orang-orang kamu memang suka melamun, jadi wajar kamu nggak merhatiin karyawan yang sudah enam bulan bekerja di sini.’Namun begitu, hubungan kami tidak berakhir dengan pernikahan seperti yang diharapkan. Dua bulan sebelum berangkat ke luar pulau untuk mengerjakan proyek film baru, ia selalu menemukan cara untuk mempermasalahkan banyak hal, bahkan hal sepele sekalipun. Seperti kisah percintaan di beberapa film atau pengalaman orang-orang yang terdengar klise, kemudian dengan emosi yang masih menyelimutinya ia berteriak dan meminta agar hubungan ini selesai dan berakhir sampai di sini, Aku hanya menghela napas dan berusaha mengatur pernapasanku yang kembali normal secara perlahan, kemudian Aku menatap matanya lalu berkata. ‘Iya, Aku tahu ini akan terjadi.’Aku tidak lagi menahan keinginannya untuk pergi untuk kesekian kalinya, karena Aku mulai memahami bagaimana perasaan teman-temanku atau orang lain yang pernah mengalami suatu hal yang serupa. Suatu hal tentang hubungan mereka yang berakhir karena salah satu dari mereka yang selalu menerima semua kasih sayang dengan cuma-cuma. Suatu sore Aku pulang lebih awal dan berencana memberi sedikit kejutan: membelikan makanan, terutama menu-menu ramen yang sering ia kirim lewat direct message dari postingan reels Instagram, “Menu karaage curry ramen, ngga apa-apa kalau bukan yang ada ‘curry’nya.” ucap dia sambil nge-tag Aku di kolom komentar reels Instagram pertama kali yang ia temui.           Ketika tiba, Aku mengira semua orang sedang pergi tapi rasanya aneh kalau sebuah rumah ditinggalkan tanpa menutup rapat pintu, tidak ada jawaban setelah menelepon dan mengetuk pintu rumahnya. Kemudian Aku masuk sambil sedikit mengeraskan suara berkata, ‘Sayang, Aku masuk ya.’ Aku berjalan melewati ruang tamu setelah menunggu dan tidak ada jawaban, kemudian berdiri di depan kamarnya yang terbuka lebar dan terlihat berantakan tidak rapi, seperti ia baru saja mengalami mimpi buruk: selimut menjalar dan guling tergeletak di lantai, ini pertama kalinya Aku melihat kamarnya berantakan.Seperti hujan di langit yang cerah, insting berkata sesuatu dan merasa ada sedikit perbedaan yang terlihat dari kamar ini. Mungkin ini hanya insting pertama kalinya Aku melihat kamarnya seperti ini: banyak barang namun terasa kosong. Lalu Aku merapikan sebagian tempat tidurnya dan duduk — Aku mendengar suara guyuran air dari kamar mandi yang berada tepat di samping kamarnya — Aku hanya diam sambil menunggu, melihat dan memerhatikan langit-langit lalu beberapa poster album dan artis kesukaannya di dinding, dengan asumsi ibunya yang sedang keluar: mungkin berbelanja, karena hanya ibunya yang bisa mengendarai sepeda motor yang biasanya diparkir di teras rumah dan motor itu tidak terlihat diparkir di sekitar.Hingga kemudian Aku melihat ujung kertas putih di bawah lemari setinggi pinggul tepat di sebelah kiri, dengan posisi kanan dan atas (posisi kepala) tempat tidur menempel di tembok, dengan perlahan Aku berusaha untuk tetap tidak membuat suara apapun sebelum memberinya kejutan dan mengambil kertas itu — sebelum membalik kertas itu Aku melihat ada bekas lem dan kertas yang masih menempel yang entah disengaja atau tidak kertas itu disobek — lalu Aku melihat sebuah foto seorang laki-laki dengan gaya pose seperti tahun ’90-an yang mengenakan seragam putih SMA dengan logo seragam yang sama seperti seragam sekolah perempuan yang Aku kencani saat itu. Entah mengapa dengan tanpa sadar Aku langsung berdiri, kemudian Aku menunduk dan meraba ke bawah lemari itu dengan jariku mencari kertas yang tersobek.Aku menemukan secarik kertas putih panjang dan bekas sobekan di seluruh sisi dan seperti yang Aku duga, hanya bagian ujung kiri kertas ini tipis, lalu Aku membalik kertas itu dan membaca tulisan tangan di kertas dan membaca tulisan tangan di kertas itu. “Aku sebenernya masih mau sama kamu.” Kemudian Aku diam beberapa saat bersamaan dengan guyuran air yang baru saja berhenti, saat melangkahkan kakiku keluar untuk menaruh ramen yang masih hangat yang Aku bawa ke meja makan yang ditutupi dengan tudung saji, Aku melihat sebuah dompet tebal berwarna navy berada di jaket cardigan miliknya yang bergantung di tirai kamarnya, Aku yakin itu bukan milik siapapun di rumah yang hanya ditinggali tiga orang ini; cukup aneh jika adik perempuannya yang berumur 11 tahun memiliki dompet dengan gaya ala orang kaya yang tinggal di perumahan besar — dan mungkin sudah lebih dari dua tahun ayahnya belum pulang: bekerja di laut terkadang bisa membuat lupa bahwa mereka yang bekerja jauh dari rumah juga punya keluarga.Aku melangkah tanpa membuat suara sedikitpun, tanpa sepengetahuannya juga Aku keluar dari rumah. Entah yang Aku lakukan benar atau salah, Aku berharap ia mempertanyakan soal ‘Kenapa ramen yang pernah ia kirim ke Aku ada di meja makannya?’ atau ‘Kenapa sebagian tempat tidurnya rapi dan pintu kamarnya hampir tertutup?’ namun hal itu tidak pernah terjadi .  Aku hanya menyimpan cerita kejadian itu sendiri.Memiliki waktu luang lebih banyak dari biasanya membuatku datang ke bandara dua jam lebih awal dan sambil menunggu rombongan lain yang akan menyusul — Aku akan naik pesawat dan Aku tidak mau mereka tahu kalau ini adalah pertama kalinya, jadi Aku harus memerhatikan: bagaimana alur orang-orang mengantri untuk memesan tiket dan menunggu di ruang tunggu sebelum boarding, bagaimana seorang laki-laki dengan atau tidak dengan keluarga bersikap di sebuah bandara, dan lain banyak hal.Aku tidak mau terlihat seperti orang lokal bego (padahal memang) yang menuju ke suatu daerah di kota yang sama sambil memegang kertas map kota sendiri di depan para turis.Tepat 21 menit sebelum take off, rombongan yang berisi enam orang crew dan dua senior: manajer dan produser akhirnya datang dengan sedikit berlari sambil membawa koper dan barang bawaan lainnya di tas punggung mereka. Kami langsung berjalan dengan sedikit terburu-buru menuju pesawat setelah mendengar pemberitahuan lewat speaker, Aku membantu membawakan salah satu tas punggung dari mereka, mengingat Aku hanya membawa tas backpack yang isinya juga tidak terlalu berat.Salah satu crew berkata dari belakang, “Biar Aku tebak, kamu baru pertama kali naik pesawat kan?” Aku masih berjalan, mungkin ia tidak sedang berbicara denganku dan berpura-pura tidak mendengar ucapan yang barusan Aku dengar, hening hanya berlangsung selama tiga detik, kemudian, “Sata.” Suara itu membuatku kaget dan menoleh ke arah belakang. “Bener kan? Kamu dengar kan apa yang Aku bilang tadi?” ucap salah satu crew seniorku. “Selama naik pesawat pasti ada salah satu orang yang baru pertama kali naik pesawat yang Aku lihat di bandara bagaimana cara membawa kopernya seperti membawa tas sekolah yang terlalu berat untuk punggung dan menggendongnya kayak kamu sekarang — biasanya orang itu gugup atau takut ketinggian.”Mungkin terdengar konyol, sejak kejadian ini Aku seperti memiliki dendam kesumat setiap melihat wajahnya.Setelah masuk pesawat dan berjalan paling depan sambil melihat kanan kiri mencari nomor kursi, orang yang sama dari belakangku, “Masih jauh, Ta, masih jauh, 10 kilometer lagi.” sambil tertawa-tawa dan akhirnya kami bisa istirahat dengan tenang setelah kegiatan joging kecil menuju pesawat. Manajer sekaligus leader kami sengaja memesan nomor kursi di bagian tengah akhir sampai belakang ekor kiri pesawat, karena jarang ada anak kecil yang mau duduk di sana, kalaupun ada bayi yang menangis dari kursi bagian tengah suaranya tidak terlalu memekikkan telinga meskipun sudah memakai ear cover. Aku mengurungkan niat untuk duduk di samping jendela supaya bisa melihat pemandangan dari atas dengan ketinggian beribu-ribu kaki — karena Aku yakin begitu pesawat ini lepas landas, tidak lama setelahnya Aku akan tertidur, atau Aku paksa supaya tidur agar tidak mabuk seperti kebiasaan car sick yang Aku alami setiap kali naik mobil atau bus, atau kendaraan besar lainnya.Namun, dengan alasan entah apa yang bisa membuatku tetap terjaga selama kurang lebih empat jam, Aku sering menoleh dan melihat pemandangan meskipun yang Aku lihat hanya segumpal awan yang hampir menutupi semua pandangan dari kaca jendela pesawat itu, dan melakukan kegiatan lain seperti: dengerin lagu, nonton film yang selalu Aku jeda ketika sampai 15 menit tidak lebih, ‘Hanya Aku dan orang yang sama dengan selera anehku yang tahu bagaimana rasanya menikmati sesuatu yang bukan sesuai selera.’ dan membaca brosur promosi yang diselipkan di bagian tengah kursi oleh pegawai maskapai sebelum penumpang masuk.Di beberapa menit empat jam terakhir itu, Aku secara tidak sadar memerhatikan seorang perempuan dengan rambut hitam yang dijulur ke punggung, menutupi sebagian wajahnya, beruntungnya Aku masih bisa melihat pipinya dari sudut kiri ini; mungkin ini memang terdengar creepy seperti yang orang tahu di banyak berita yang beredar: ada seorang laki-laki ditangkap petugas karena menguntit seorang perempuan, tapi di kasus ini bukan. Setidaknya bukan Aku.Hanya seperti lima menit baru saja berlalu, tetapi ada suara pemberitahuan dari pramugari bahwa 30 menit lagi akan sampai dan mendarat, dan para penumpang dimohon untuk bersiap dan memeriksa barang bawaan — yang menandakan bahwa lima menit yang baru saja terlewat artinya 30 menit.Kemudian 30 menit berlalu, dan 15 menit hilang bersamaan dengan satu kedipan mata, dan Aku mulai berpikir dengan ingatan tentang: perempuan di kedai, dan diikuti dua orang laki-laki yang saat itu Aku mengira mereka adalah temannya yang lagi iseng yang berada di dekat pohon besar yang terakhir kali Aku ke sana dan melihat pohon itu tumbuh sehat dan hanya dilihat dari batang pohon ini terlihat sangat kuat, bahkan Hulk pun bisa tertatih-tatih saat mencoba mencabutnya.Entah ada apa dengan perempuan itu, Aku mulai memerhatikan setelah kedua dan sekian banyak hitungan, oke mungkin itu berlebihan, katakanlah tiga, mentok. Ia bolak-balik dari kamar mandi, padahal “waktu untuk gugup” sudah lewat lebih dari tiga jam — meskipun sayangnya saat Aku melihat ia berjalan kembali dari toilet pribadinya itu, tanpa sempat tahu wajahnya ketika ia hendak menempati seat-nya. Perempuan itu mengenakan pakaian formal berwarna hitam, seperti layaknya atasan dari sebuah perusahaan yang akan meeting di luar kota, duduk di ujung bagian depan di baris sisi kanan, kursi yang ada di samping jendelanya ditempati oleh seorang perempuan yang berjilbab biru navy, Aku hanya bisa melihat kepalanya sesekali dari sini ketika perempuan di sampingnya membenarkan posisi duduknya.Tidak terlalu memerhatikan apakah mereka ada relasi satu sama lain, ketika pesawat mulai menurunkan kecepatan dan roda pesawat menyentuh landing ground kemudian pramugari mengarahkan dan mempersilakan para penumpang untuk turun pesawat dengan tenang. Beberapa langkah setelah turun pesawat Aku berpikir dan harus melakukan sesuatu kalau ini memang benar seperti yang Aku kira.Aku mungkin tidak berpikir matang, terutama di situasi mendadak seperti ini, namun yang pasti Aku tidak mau kehilangan kesempatan. Aku hanya punya satu menit untuk ini sebelum perempuan itu masuk bandara dan menghilang karena ia melangkah seperti sedang terburu-buru atau ia tahu ia sedang diikuti.Aku menitipkan koperku ke salah satu crew dan memberi tahu bahwa, “Ada perlu dengan seseorang yang ada di depan,” sambil menunjuk perempuan itu. Aku berjalan dan menjaga jarak sekitar 10 meter di belakangnya, setelah setengah berteriak memanggil perempuan itu dengan, “Cewek kebab” dan “Neck Deep” ia sama sekali tidak merespon, namun Aku memiliki alasan yang membuatku tetap optimis seperti: ‘Dia nggak dengar karena suaraku terlalu kecil sehingga nggak sampai ke telinganya, pun terhalang dengan suara gemuruh langkah orang-orang yang baru turun dari pesawat.’ Tidak butuh waktu yang lama berpikir untuk yang ketiga kalinya Aku mencoba memanggil perempuan itu dengan, “Voulez-vous” kemudian perempuan itu memperlambat langkahnya lalu berhenti, Aku melihat kepalanya menunduk, mungkin mencoba mendengar suara panggilan itu dengan lebih jelas, ketika jeda waktu ia menghentikan langkahnya yang dilewati satu per satu oleh penumpang lainnya, ia melanjutkan langkahnya dengan sedikit lebih cepat, dan Aku bisa melihat ada tanda goresan di bagian belakang lehernya.Untuk beberapa detik, Aku merasakan seperti hilangnya sebuah harapan hanya seperti bagian ending film The Others. Namun, kita terkadang sesekali dikejutkan oleh apa yang terjadi di detik berikutnya dalam hidup ketika dalam situasi tertentu. Ketika hampir sampai di depan pintu bandara, perempuan itu membuka pintu dan menahannya untuk ibu-ibu yang memakai batik dengan jilbab bergo berwarna navy, di tengah itu terjadi Aku bisa melihat perempuan itu memakai kacamata hitam dan wajah bagian kirinya dari belakang, ketika ia melepas pegangan pintu dan masuk ke bandara, angin berhembus kencang dari arah kiri dan membuat orang-orang yang berada di luar menutup wajahnya dengan tangan atau syal yang mereka bawa sambil berjalan; tidak denganku.Aku menutup wajahku dengan tangan dan melengkungkan jariku ke bagian alis mata sambil melihat ke depan kemudian setelah Aku melepas tanganku dari wajah lalu terdiam, Aku menghentikan langkahku.Aku melihat perempuan itu dari belakang dan menyadari bahwa ia memiliki tahi lalat kecil di bagian leher belakang dengan luka gores di bawahnya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan