Tanah Makamku Masih Basah, Mas!

3
1
Deskripsi

“Mas ayo dong! Aku pengen banget martabaknya!” rengek Sarah.

“Sarah, tunggu sebentar! Aku capek baru pulang lho ini!”

“Nggak bisa, Mas. Nanti keburu habis.”

“Ya, sudah pergi saja sendiri kalau tak sabar!”

“Ya sudah, aku pergi sendiri! Jangan nyesel kalau ada apa-apa ya!” dengkusnya meraih kunci motorku. 

TANAH MAKAMKU MASIH BASAH, MAS!


[ Mas masih lama? ]

[ Hari iniii aja, jangan ambil lembur, ya! Plisss .... 🥺 ]

[ Aku udah ngiler banget pengen makan martabak manis ]

"Sarah, Sarah, kapan kamu mandiri, sih? Heuh," gumamku mengeluh, memprotes pesan yang dikirimnya. Aku hanya bisa mengeluh pada diri sendiri. Tak berani membalas pesannya, dan mengekspresikan protes atas permintaannya. 

"Sudahlah. Tak usah dibalas, biar Sarah mikir sendiri."

Memang dia jarang manja begini, tapi mbok yo lihat-lihat. Bulan ramadhan begini, pekerjaan suaminya akan berlipat ganda dari biasa. Kadang malah, pengiriman over load dan baru selesai setelah lebaran, karena kami tidak sanggup menyelesaikan saking banyaknya.

Entahlah, mau marah pada emak-emak penikmat belanja online, tapi dari mereka kami masih tetap mendapatkan pekerjaan dan bisa makan. 

Aku menghela napas berat, begitu melihat ke layar ponsel yang sedari berdering, dan kuabaikan karena masih berada di atas motor untuk mengantarkan pesanan. Ya, pekerjaanku hanyalah seorang kurir. Pekerjaan utama yang kuandalkan untuk menghidupi istri dan calon anak kami dalam kandungannya.

Anak pertama kami, yang sudah kami tunggu kehadirannya bertahun –tahun. Itu pasti hal yang menjadi alasan Sarah untuk bermanja –manja ketika ngidam begini. Dia pikir aku akan terus luluh dan mengutamakannya dibanding pekerjaan. Padahal, dia harusnya mikir tanpa kerja, kami makan apa?

Tampak di layar ponsel, sebuah kontak dengan foto profil perempuan hamil bergerak-gerak. Hanya ada dua pilihan, mengangkat atau mengabaikannya? Kalau sampai merejectnya, sudah pasti pemilik kontak bernama "Istriku” itu akan ngambek. Dan urusan semakin panjang. Ah, malas sekali.


Setelah berjam-jam mengabaikan pesannya, wanita yang sudah kunikahi sejak lima tahun lalu itu akhirnya tak sabar, dan melakukan panggilan. Tapi, karena sibuk kuabaikan saja dan mematikan nada dering agar tak mengganggu. Bahkan kadang kali pula terpaksa kublokir nomor istriku yang tidak pengertian itu, agar pekerjaan bisa terus berjalan.


Bagaimana kalau dia marah? Aku akan minta maaf dan bilang baterai –nya low bat. Untung saja Sarah itu mudah sekali dirayu ketika marah. Itulah salah satu kelebihannya menjadi seorang istri. Lembut dan penyayang.


Andai punya dua ponsel, untuk bekerja dan untuk urusan pribadi. Sehingga panggilan dan pesan dari Sarah tidak menghambat pekerjaan kala melihat alamat dari aplikasi. Namun, gaji kami ini berapa sih? Kalau ada uang lebih, pasti kubelikan motor bekas saja agar Sarah tidak terus merengek padaku saat ingin pergi seperti sekarang.



___________________________
 

Sekitar jam empat sore, pekerjaanku sudah selesai. Dan seperti biasa pihak ekspedisi mengizinkan pulang. Meski tak lembur, tetap saja rasa lelah memenuhi sekujur tubuh. Langit mendung dan semilir angin pertanda akan hujan menemani perjalanan menuju rumah. Tak ada yang kuinginkan setelah sampai, selain merebahkan tubuh, agar rasa lelah ini segera sirna. Untungnya, ada hujan yang menetes mengenai tubuhku hingga aku tak perlu khawatir akan sakit setelahnya.

Namun, aku lupa, ada yang terus merengek dan menunggu. Setelah mengetuk pintu dan tak lama ada yang membuka, sesosok bayangan wanita dengan perut buncit sudah berdiri dengan senyum manis di wajahnya. Di luar dugaan, dia tak marah karena aku memblokir nomornya tadi.

“Mas udah pulang?” tanyanya basa –basi, padahal sudah jelas pertanyaan itu tak butuh jawaban.

Seperti hari lain saat aku pulang, Sarah mencium punggung tangan. Sementara aku masih di ambang pintu. Bedanya wanita itu sudah terlihat rapi. Aku bahkan bisa mencium aroma lotion yang ia kenakan setelah mandi.

“Assalamu alaikum,” ucapku. Mengabaikan pertanyaannya.

“Waalaikumsalam.” Sarah nyengir.

Wangi tubuhnya menyeruak merasuk dalam penciuman, kala langkahku terayun masuk dan melewatinya begitu saja. Namun, dengan cepat tangan lentik Sarah meraih lenganku hingga langkah itu tertahan.

“Mas, makasih, ya udah nurutin kemauanku pulang cepat.” Seulas senyum menghiasi wajah cantik itu. Yang kemudian membuatku sadar, bahwa sebelumnya, Sarah memintaku untuk menemaninya membeli martabak.

Aku pun menghela napas berat karenanya. Ingat saja sudah jadi beban, apa lagi harus benar –benar pergi sekarang, di saat seluruh badanku terasa remuk.

“O ya, aku udah siapin makan, Mas. Tapi baiknya Mas mandi dulu biar gak bau!” serunya senang. Lagi, Sarah masuk mendahuluiku ke arah dapur.  

“Sarah, ayolah! Mas capek! Kenapa tadi tidak pesan saja, jadi sekalian Mas belikan pas pulang?” protesku. Aku tak bisa memelankan suara karena merasa benar –benar lelah.

Langkah Sarah terhenti di bibir pintu dapur. Kesal, pasti. Karena semua tak berjalan sesuai kemauannya. Ia lalu membalik tubuh menatap ke arahku. “Ya beda lah, Mas. Kalau aku sendiri yang pesan, sama Mas jelas beda rasanya. Mas pasti pesannya sembarangan. Sedang aku maunya, menteganya agak dibanyakin terus jangan sampe cokelat terus ....”

“Sudah, sudah. Kalau mau nanti malam Mas antar. Sekarang aku mau berebah dulu. Capek banget tahu gak? Walau gak lembur, kerjaan hari ini sangat banyak. Mana medannya terjal karena alamat customer di pelosok.” Aku mencoba bernegosiasi dengan Sarah.

“Nggak, Mas! Aku maunya sekarang!” paksanya.

Ya Gusti, Sarah benar –benar tidak mau melihat situasi. “Kamu kenapa, sih? Apa bedanya nanti dan sekarang? suami kamu sudah kerja seharian lho, apa kamu nggak mau ngerti?” Harga diriku mulai terlukai dan tak mau kalah dengannya. Aku ini suami, tentu saja harus berada di atasnya istri.

“Bukan nggak mau ngerti, Mas. Mas yang harusnya ngerti. Kalau nanti malam, martabak Mas Harto pasti tutup. Yang lain nggak seenak di sana dan asal –asalan bikinnya! Ya sudah, kalau Mas nggak mau antar. Biar aku pergi sendiri sekarang!” Suara Sarah kini ikut meninggi. Dasar keras kepala.

“Huft!” Kuembus napas berat. Ego dan logikaku menyetujui itu.
Sepertinya ini keputusan terbaik. Sarah tak sabar dan ingin pergi sekarang juga. Jadi setidaknya aku bisa beristirahat.

“Ya, sudah pergilah. Toh, cuma di depan gang kan?” sahutku. Kini suara ini memelan juga. Dia hanya perlu menyeberang jalan besar sekali. Sepertinya tidak terlalu sulit juga. “Kalau susah bawa motor nyeberang, parkir di toko Mang Joko saja. Terus nyeberangnya jalan kaki hati –hat ....”

Aku belum selesai bicara. Namun, Sarah berbalik dan berjalan ke arah kamar mengambil tasnya. Ia lalu meminta kunci motor padaku.

“Aku pergi, Mas. Kalau ada apa –apa jangan nyesel, ya!” dengkusnya berjalan ke luar.

“Astaga! Apa kamu perlu bicara seperti itu, Sarah. Kamu sendiri yang nggak sabar nunggu suamimu istirahat dulu dan sekarang malah ngomong yang nggak –nggak,” omelku.

Namun, wanita itu bertingkah seolah mengabaikan ucapan suaminya. Dan pergi begitu saja setelah menyalakan satu –satunya motor di rumah kami yang terparkir manis di teras. Aku cuma bisa geleng –geleng karenanya.

Tak ingin istirahatku terganggu, kututup pintu, lalu meletakkan ransel yang berisi kotak bekal kosong. Setiap hari Sarah dengan telaten menyiapkan bekal makan siangku.

“Hem, biar dia sajalah yang beresin nanti,” ucapku sambil menghela napas panjang, sembari merebahkan tubuh perlahan ke sofa. “Huh, nikmat mana lagi yang kau dustakan,” gumamku, kala punggung remuk menyentuh empuknya sofa.

_____________

“Mas, Mas, bangun Mas.” Sarah menggoyang tubuhku perlahan.

Saking lelahnya, suara riak hujan berbenturan dengan genteng, tak mampu membangunkanku dari tidur. Aku mengerjap, melihat ke arah jendela, rupanya hari sudah gelap.

“Kamu sudah pulang? Lelap sekali aku tidur, Sarah. Aku sangat lelah, maaf, ya,” ucapku padanya.

Namun, saat mata ini sudah membuka sempurna, aku terkejut. Gamis yang Sarah kenakan basah kuyup dan dipenuhi lumpur.

“Loh, kamu kenapa seperti ini? Jatuh, ya?” tanyaku khawatir. Apa lagi dia sedang mengandung anakku.

Sarah tersenyum miris. “Nggak papa, Mas. Tadi cuma kecipratan orang lewat. Oya, Mas. Cepat ke rumah Bapak. Tadi kayaknya ada yang kecelakaan dan meninggal.” Suaranya bergetar. Dia pasti takut juga terkejut sekaligus. 

“Kecelakaan? Meninggal? Siapa?”

“Sudah. Mas ke sana saja, lihat duluan. Aku mau membersihkan badan ini!” ucap Sarah bergerak ke arah kamar mandi di belakang.

Aku masih bingung. Dan merasa aneh sekaligus. Bukannya dia bilang akan beli martabak, kenapa tidak bawa martabak. Lalu pintu depan tadi kukunci, kenapa Sarah bisa masuk?

Kugelengkan kepala menepis pikiran tidak –tidak itu. Sekarang bukan saatnya berpikir yang aneh –aneh. Dia pasti akan menjelaskannya nanti.

Tanpa mau mikir panjang lagi, kuraih jaket yang sempat kulepas tadi dan pergi ke rumah mertua. Melihat siapa yang kecelakaan dan meninggal. Apa Bapak? Tidak mungkin. Beliau bahkan sudah berhenti naik motor karena katanya matanya gak lihat jalan. Apa Tomy adik iparku kebut –kebutan? Bisa jadi. Anak SMA itu lagi labil –labilnya. Aku dan Sarah saja angkat tangan.

Ya, hanya Tomy yang ada dalam pikiranku sekarang. Saat membuka pintu, motor yang tadi dipakai Sarah tidak ada. Loh, ditinggal di mana motornya.

Lagi –lagi, aku merasa bukan itu yang penting. Aku pun bergegas. Menerjang hujan dengan berlari. Toh, rumah mertua tidak terlalu jauh, hanya sekitar 800 meter dari rumah yang kami tempati. Ini tentang meninggalnya seseorang yang tak lain adalah keluarga Sarah yang juga adalah keluargaku.

Jujur, aku tak membedakan antara keluarganya dan keluargaku. Aku memperlakukan mereka sama.
Sampai di sana, benar saja sudah ada beberapa orang yang terlihat. Langkahku sempat terhenti saat melihat motorku terparkir di halaman rumah mertua dengan kondisi ringsak.

Apa yang terjadi? Apa Tomy tadi meminjam motor ke Sarah karena motornya kenapa –napa? Pantas saja motor itu tidak ada di rumah. Dengan kondisi rusak parah begitu, jelas saja yang mengalami kecelakaan tak akan bisa selamat.

Namun, apa pentingnya sedih karena motor itu? Aku bisa membelinya lagi nanti, walau mungkin dengan cara harus meminjam uang dulu atau menyicilnya. Hal yang menyedihkan adalah pengemudi motor meninggal. Tak ada yang bisa menggantikan posisinya apa lagi menghidupkannya kembali.

“Ya Allah, kepalanya sampai pecah.”

“Ya, gimana enggak, dia tabrakan sama truk dan terseret jauh di aspal.”

“Iya, mana jalanan licin. Gak bisa menghindar, ya. Qodarullah.”

“Hem, sepertinya tergelincir dan oleng. Truk gak bisa rem cepat.”

“Jadi dia jalan sendiri?”

Suara –suara sayup itu terdengar. Aku bisa membayangkan betapa mengerikan yang terjadi. Mata ini bahkan ikut memanas ketika bayangan demi bayangan saat nyawa Tomy terenggut. Pasti sangat menyakitkan.
Semakin dekat langkahku ke arah rumah, semakin bisa kulihat wajah –wajah sedih orang yang berada di sana. Semua orang tampak murung, terutama Bapak. Dia pasti sangat terpukul.

Aku pun lantas pertama kali mendekati pria itu dan ingin menguatkannya. Mengatakan bahwa semua yang bernyawa pasti akan mati, meski ini bukan hal mudah menerima hal itu, sebab Tomy adalah anak laki –laki yang di pundaknya telah diletakkan harapan besar keluarga.

Namun, lagi –lagi, begitu telah dekat dan terlihat orang yang berada dalam ruangan, aku dikejutkan dengan sosok Tomy yang berada di samping Bapak.
“To –tomy?”
Lalu siapa mayat yang terbujur kaku di tengaj ruangan itu? Ibu mertuaku? Benarkah? Tapi sejak kapan wanita tua itu bisa naik motor?

“Mas Affan yang sabar, ya,” ucap seorang pria yang baru datang dan langsung menepuk bahuku perlahan.

Aku? Kenapa aku? Bukan Bapak atau Tomy yang diminta bersabar lebih dulu.
“Kamu ini bagai mana, sih, Fan? Kenapa kamu biarkan dia naik motor sendiri?” Lirih, Bapak mertua mengucap menyalahkanku.

“Kalau Mas Affan sibuk, harusnya bisa manggil aku.” Tomy menimpali.

Hei, ada apa, sih ini? Kenapa jadi aku?

Kutolehkan kepala ke arah sekujur tubuh yang tertutupi itu dan memperhatikannya agak lama. Mataku melebar. Setelah dilihat –lihat, mayatnya besar. Seperti orang yang mengandung. Apa mungkin?
Tanpa komando, aku pun bergerak mendekati jenazah itu dan membuka penutup untuk melihat wajahnya.

“Sa –sarah?” gagapku terkejut.

Ya Tuhan, runtuh sudah duniaku. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

Next? 
di KBM App sudah ada bab 28 ya. Next di sini insyaAllah rutin 2 bab sehari ya. ❤

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tanah Makamku Masih Basah, Mas .... (3&4)
1
0
Seorang janda datang ke rumah duka, di mana jenazah Sarah akan diurus.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan