Anjani tahu, Arjuna Fusena adalah paman tirinya. Namun gadis itu tetap mencintainya, meski jarak umur mereka terpaut begitu jauh.
Suatu hari Anjani pun memberanikan diri mengutarakan perasaannya pada sang paman. Sayang, rasa kecewa yang justru didapat oleh gadis itu.
Arjunanya, cinta pertamanya memilih pergi tanpa menjawab pernyataan cinta Anjani.
Enam tahun kemudian Arjuna kembali. Berusaha untuk memperbaiki keadaan, tetapi justru memperdalam luka hati Anjani.
Apakah Anjani akan tetap menyimpan rasa...
Bab 1
Seseorang Dari Masa Lalu
Anjani mendesah lirih, sembari menahan ngilu pada sebongkah merah di dalam sana. Melihat kembali sosok pria yang enam tahun lalu menggoreskan luka dihatinya bukanlah hal yang mudah bagi gadis berkulit putih itu. Akan tetapi, Anjani harus berusaha menekan rasa sakit di dadanya. Ia tidak boleh terlihat lemah, di hadapan sosok yang telah membuatnya trauma pada sosok bernama lelaki dan menarik diri dari pesona lelaki manapun.
Arjuna Fusena.
Namanya selalu Anjani sebut dalam setiap doanya. Selama enam tahun ini, ia tidak pernah alpa mendoakan pria yang lebih dewasa lima belas tahun darinya itu. Dalam doanya, ia meminta apabila mereka memang berjodoh, ia hanya ingin diberikan jalan agar mereka dipersatukan. Dan apabila mereka memang tidak berjodoh, ia hanya meminta agar dihapuskan perasaan cinta yang telah mengakar sejak ia berusia empat belas tahun di hatinya.
Karena, di umurnya yang kini menginjak angka dua puluh empat tahun, ia belum pernah sekalipun menjalin hubungan asmara dengan seorang lelaki. Anjani kerap menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja dan bekerja. Selebihnya ia hanya akan menghabiskan waktu dengan sepupu dan juga keluarganya.
“Jani, ayo duduk.”
Ajakan dari sang mama akhirnya membuyarkan apa yang sedang dilamunkannya saat ini. Anjani mengangguk, lantas bergerak mengikuti sang mama duduk di salah satu bangku tamu undangan.
Rupanya, acara kejutan yang dimaksud sang mama adalah acara peresmian klinik gigi milik Arjuna. Arjunanya, yang enam tahun lalu menghilang tanpa kabar, setelah mematahkan hatinya.
Anjani masih memaku pandangannya pada sosok di depan sana. Yang tengah memberikan sambutan pada tamu undangan dan informasi seputar kesehatan mulut. Suaranya yang berat, pembawaannya yang tenang juga senyumnya yang menawan, masih sama seperti enam tahun lalu. Anjani kembali mendesah lirih dan mengepalkan jemarinya, berharap mampu meredam gejolak hebat di dadanya.
Bohong, jika ia tidak bahagia dengan kembalinya Arjuna. Tetapi ia terlalu takut untuk mengakuinya. Sebab ia tahu, Arjuna akan selalu menganggap dirinya sebagai keponakan pria itu.
“Anjani, kok kamu diam saja? Kamu sepertinya nggak bahagia lihat Om Ar lagi,” ucap Sinta—ibunda Anjani yang lagi-lagi membuyarkan lamunan sang puteri.
Anjani menoleh perlahan dan mencoba untuk tersenyum. Bersamaan dengan itu, Arjuna di depan sana menutup sesi sambutannya.
“Terima kasih untuk semuanya yang telah menyempatkan hadir pada peresmian Juna Dental Clinic siang hari ini. Semoga dengan berdirinya klinik gigi ini, bisa membawa manfaat bagi kita semua. Terima kasih sekali lagi, dan selamat siang.”
Anjani seketika kembali memandang sosok di depan sana yang juga tengah memandangnya. Juna. Itu adalah nama panggilan yang ia berikan pada Arjuna, karna mirip dengan nama panggilannya. Sementara selama ini, baik keluarga dan juga teman-teman Arjuna, memanggil pria itu dengan panggilan Ar. Anjani tak menyangka jika Arjuna—Om Juna menggunakan nama panggilan yang ia berikan untuk nama klinik.
Jangan baper, Jani! Itu bukan berarti Om Juna memiliki perasaan yang sama denganmu. Ingat, dia juga sudah menikah. Tentu kamu juga masih ingat bagaimana dia mengabaikanmu enam tahun lalu. Suara hatinya mengingatkan.
Anjani melebarkan manik matanya begitu menyadari Arjuna berjalan ke arah tempatnya dan sang mama duduk. Seketika itu pula gadis berambut gelombang itu berdiri. Ia ingin segera kabur dari sana.
“Lho, kamu mau ke mana, Jani? Acaranya masih belum selesai.” Sang mama memegangi pergelangan tangannya.
“Eee, Jani lupa, Ma, sore ini ada janji dengan Amel,” dusta Anjani menyebutkan salah satu pengajar di Love Daycare sembari matanya terus mengawasi pergerakan Arjuna. Beruntung, segerombolan para gadis mencegat perjalanan Arjuna untuk meminta foto bersama, sehingga ia mempunyai waktu cukup untuk kabur sebelum Arjuna tiba di hadapannya.
“Tapi, itu Om Ar lagi jalan ke sini, Nak.” Lagi-lagi sang mama berusaha untuk mengalanginya untuk kabur.
“Salam saja untuk Om Juna, Ma. Jani harus pergi sekarang.” Tanpa memedulikan omelan sang mama lagi, Anjani benar-benar meninggalkan tempat acara. Ia bahkan mengabaikan seruan Arjuna yang memanggil-manggil namanya hingga beberapa kali.
“Mbak.” Arjuna mencium khidmat punggung tangan kakak tirinya, begitu seruannya pada Anjani diabaikan. Gadis mungil yang kini telah beranjak dewasa. Salah satu dari sekian alasannya untuk pulang ke kota ini, benar-benar membencinya.
“Anjani bilang sedang ditunggu teman kerjanya, Ar,” kata Sinta memberitahu. “Sepertinya dia sedang ada masalah. Tapi Mbak nggak tahu masalah apa. Sejak sampai sini tadi, mukanya murung terus. Padahal dulu kalau ketemu kamu, mau dia sedang ada masalah apapun pasti kembali ceria.”
Arjuna terhenyak dan merasakan salivanya yang meluncur ke tenggorokan sepahit empedu. Jelas, Anjani murung karena harus melihatnya lagi. Ia yang meninggalkan gadis itu enam tahun lalu, tepat seminggu setelah Anjani menyatakan cinta padanya.
Maafkan saya, Jani.
…
Enam tahun lalu
Arjuna baru saja menyelesaikan jam praktiknya di sebuah rumah sakit swasta. Ia masih merapikan barang-barangnya, ketika salah satu perawat memberitahu Anjani datang dan ingin menemuinya.
Arjuna pun bergegas meninggalkan ruang praktiknya dan begitu ia membuka pintu, ia menemukan Anjani yang duduk di bangku tunggu masih dengan seragam sekolahnya.
“Om Juna.” Gadis itu berdiri begitu melihat sosoknya. Tersenyum riang seperti biasa.
“Jani kenapa ke sini?” Arjuna bertanya setelah memperempit jarak di antara keduanya. “Diantar siapa ke sininya?”
“Satu-satu dong, Om, tanyanya,” protes Anjani.
“Iya, maaf.” Tangan Arjuna secara refleks mengusap pipi kemerahan keponakan tirinya. “Kita ke kantin saja, yuk. Sambil minum,” ajak Arjuna akhirnya.
“Ayo, Om.” Anjani dengan cepat mengiyakan ajakan Arjuna. Paman dan keponakan tak sedarah itu akhirnya berjalan beriringan menuju kantin rumah sakit yang terletak di sisi utara gedung.
Mereka mengambil tempat di meja paling pojok, agar obrolan mereka tidak terganggu oleh lalu-lalang pengunjung kantin. Mereka lantas memesan minuman segar untuk membasahi tenggorokkan yang terasa kering karna siang ini matahari begitu terik.
“Om Juna bohong! Katanya mau datang ke sekolah kalau Jani lulusan. Tapi malah Jani yang menyusul ke sini.” Anjani cemberut, menagih janji sang paman yang tak ditepati.
Arjuna menghela napas sebelum menjawab. “Jani kan tahu saya sibuk. Tadi saja saya baru selesai menerima pasien dari pagi. Kebetulan rekan saya sedang cuti untuk dua hari ke depan.”
Anjani mengangguk paham dan urung melanjutkan kalimat protesnya lagi. Gadis itu kembali menyeruput jus mangganya lagi lalu mengitari pandangannya ke sekeliling kantin. Kantin masih sangat ramai, karena saat ini masih termasuk jam makan siang. Sejujurnya kedatangannya kali ini menemui sang paman karena ia ingin mengatakan sesuatu yang sudah ia pendam selama bertahun-tahun. Dan hari ini, bersamaan dengan hari kelulusan, juga umurnya yang sudah bisa dikategorikan masuk usia dewasa, maka ia berniat nmengutarakan perasaannya pada pria yang lebih dewasa lima belas tahun darinya itu.
“Kenapa, Jani? Ada yang ingin kamu sampaikan?” Suara Arjuna memecah lamunan Anjani. Gadis itu pun tersenyum lebar dan mengangguk malu-malu. “Ya sudah katakan sekarang.”
“Tapi jangan di sini, Om,” tolak Anjani. Ia khawatir jika ada seseorang bisa mendengar pembicarannya dengan sang paman.
Arjuna mengerutkan kening, dibuat penasaran oleh gadis di hadapannya. “Ada apa, Anjani? Kamu ingin meminta kado untuk hari kelulusan kamu?” tanya Arjuna yang mendapat gelengan dari lawan bicaranya. “Lalu apa?”
“Kita bicara di mobil saja ya, Om,” pinta Anjani terdengar ragu-ragu.
Keriput-keriput halus di kening Arjuna pun kian kentara. Ia benar-benar dibuat penasaran dengan sikap Anjani siang ini.
Mereka akhirnya berjalan menuju mobil Arjuna yang terparkir di lahan parkir khusus tenaga medis di rumah sakit tersebut. Arjuna sedikit merasa tidak nyaman begitu ia dan Anjani memasuki mobilnya. Tentu saja karena ia adalah pria normal dan karena Anjani bukan lagi gadis kecil yang dulu kerap mengompol di celana. Anjani telah beranjak dewasa dengan lekukan tubuh yang hampir sempurna.
Dia keponakanmu, Arjuna!
“Om, nanti kalau Anjani sudah libur sekolah, kita jalan-jalan ya, Om,” pinta Anjani mencari topik pembicaraan untuk mengulur waktu. Sementara ia menunggu kesiapan diri untuk menyatakan perasaannya.
“Memangnya ada film bagus di bioskop? Saya kurang update soalnya.” Arjuna berusaha untuk memfokuskan tatapannya pada pemandangan depan mobil, karena pemandangan di sampingnya benar-benar tidak aman bagi jantung dan ….
Anjani masih delapan belas tahun, Arjuna!
“Ada film horor hollywood terbaru, Om. Dari trailer-nya seru banget sepertinya. Ya, Om, nanti kita nonton bareng?” Kali ini Anjani menggunakan jurus mautnya. Memasang ekspresi memelas dan menggerak-gerakkan lengan sang paman. Kulit tangannya yang halus menyentuh lengan kokoh sang paman dan membuat sang paman semakin merasa tidak nyaman.
“Iya, nanti kita nonton.” Arjuna mau tidak mau menyanggupi, berharap puteri dari kakak tirinya itu segera menjauhkan jemari mungilnya dari lengannya. Dan benar saja, begitu ia menyanggupi, Anjani menjauhkan tangannya dari lengan miliknya karena gadis itu berseru dengan antusias dengan bertepuk tangan.
Perbincangan mereka beralih dari topik seputar sekolah Anjani, lalu beralih seputar lagu yang tengah booming saat ini. Arjuna lebih banyak menyimak dan berusaha menjadi pendengar yang baik bagi keponakannya. Pria berusia tiga puluh tiga tahun itu memang tidak begitu mengetahui dengan apa-apa yang sedang digemari oleh masyarakat sekarang. Entah itu lagu atau bahkan film yang tengah booming di pasaran.
“Jadi kita di sini cuma mau bahas ini aja?” tanya Arjuna yang sudah mulai bosan mendengarkan ocehan Anjani. Ia sudah ingin pulang untuk beristirahat, setelah seharian harus menangani lebih dari dua puluh pasien.
Anjani yang tengah menggebu-gebu bercerita ingin melihat langsung konser salah satu musisi luar negeri, seketika terdiam. Gadis itu kembali teringat tujuan awalnya mengajak sang paman berbicara di dalam mobil sekarang ini.
“I—itu ….” Anjani mengepalkan tangan berharap mendapat kekuatan dari sana. Maniknya bergerak gelisah, antara ragu dan khawatir jika sang paman justru akan menghindarinya setelah ini.
“Kenapa, Jani? Katakan sekarang apa yang ingin kamu sampaikan, saya benar-benar lelah dan ingin pulang.”
Anjani kembali memakukan tatapannya pada Arjuna. Arjunanya yang sejak empat tahun lalu ia cintai secara diam-diam. Dan hari ini ia ingin mengutarakan perasaannya, berharap Arjunanya bisa memahami apa yang tengah dirasakan hatinya kini.
Desakan dari perasaan cinta yang menggebu, Anjani perlahan memangkas jarak antara dirinya dan sang paman. Ia tiba-tiba saja mengecup bibir Arjuna. Awalnya ia hanya menempelkannya saja, namun ketika tidak mendapat penolakan dari sang pria, Anjani semakin memberanikan diri untuk memberikan kecupan-kecupan lembut pada bibir tipis milik Arjuna.
Arjuna yang sangat terkejut dengan tindakan Anjani sempat terhenyak beberapa saat. Nuraninya berperang antara menghentikan permainan Anjani atau turut dalam permainan. Akan tetapi, ia adalah pria normal yang tak bisa begitu saja mengabaikan pesona Anjani. Dengan gerakan lebih berpengalaman, ia justru menyambut ciuman Anjani. Keduanya hanyut dalam pusaran gairah yang selama ini coba mereka bendung karena terbentur norma-norma sosial. Hingga Arjuna yang menyadari jika tindakan mereka salah, akhirnya mengakhirinya lebih dulu.
Anjani menunduk malu begitu Arjuna mengakhiri pagutan bibir mereka. Ia tidak menyesal karena telah memberikan ciuman pertamanya untuk Arjunanya. Ia justru senang Arjuna justru menyambut ciumannya dan ia semakin yakin Arjuna memiliki perasaan yang sama dengannya.
Setelah didekap keheningan selama beberapa saat, Anjani akhirnya berbicara lebih dulu. Ia sudah menunggu momen ini selama bertahun-tahun lamanya dan tak akan menundanya lagi.
“Om Juna, sebenarnya Jani sudah lama jatuh cinta sama Om Juna,” lirih Anjani berkata malu-malu.
Akan tetapi, pernyataan cinta Anjani sama sekali tidak ditanggapi oleh Arjuna. Bahkan hingga satu minggu lamanya, Anjani justru mendapat kabar, jika Arjunanya memutuskan menikah lalu pindah ke luar kota. Meninggalkan Anjani dengan goresan luka dihatinya hingga membuat gadis itu takut untuk jatuh cinta lagi.
Bab 2
Terlalu Rumit
Lelah menangis semalaman, membuat Anjani terlambat bangun pagi. Ia mungkin masih akan bergelung di balik selimut hangatnya, jika saja suara sang mama yang menggedor pintu kamar tidak membuat telinganya sakit.
Anjani menyahuti panggilan sang mama dengan malas, tanpa membuka pintu kamar. Gadis itu lantas berdiri di depan cermin besar di sudut kamar. Memerhatikan maniknya yang sembab dan penampilannya yang mengenaskan. Anjani menertawakan dirinya, bersorak akann kebodohannya. Karena lagi-lagi, penyebab tangisnya masih sama seperti enam tahun lalu. Arjuna Fusena.
Anjani lantas menghela napas, kemudian melangkah pelan menuju kamar mandi. Ia harus segera bersiap untuk segera pergi bekerja. Meski ia adalah pemilik Love Daycare, tetapi ia tidak pernah absen berangkat berkerja untuk sekadar mengawasi kinerja timnya. Ia tidak ingin menjadi bos yang malas, tentu saja.
Anjani Wiryaatmaja adalah seorang gadis berusia 24 tahun lulusan D3 keperawatan. Ia sangat menyukai anak kecil. Sehingga tak heran, begitu menyelesaikan kuliahnya, alih-alih mengabdikan diri menjadi perawat di rumah sakit atau klinik, Anjani justru mendirikan usaha tempat penitipan anak atau daycare. Selain karena gadis itu melihat peluang usaha tersebut yang cukup menjanjikan di kawasan tempat tinggalnya. Karena mayoritas warganya adalah para pekerja kantoran.
Love Daycare digagas Anjani dua tahun lalu. Berdiri disebuah rumah dua lantai, yang hanya berjarak satu blok dari kediaman orang tuanya. Anjani dibantu timnya yang berjumlah dua belas orang dalam mengoperasikan Love Daycare. Yang terdiri dari tiga orang pengajar, lima orang pengasuh, dua admin, satu ART dan satu security. Anjani sendiri selain sebagai pemilik, ia juga merangkap sebagai pengajar.
Sepuluh menit kemudian, Anjani sudah keluar dari kamar dan menemui kedua orang tuanya yang telah menunggunya di meja makan. Gadis itu berusaha untuk bersikap baik-baik saja dan tersenyum menyapa orang tuanya. Seperti kebiasaannya, Anjani lantas mencium bergantian pipi kedua orang tuanya. Lalu ia mengambil tempat pada samping kiri Suseno—sang papa.
“Kamu baik-baik saja, Nak?” Sinta—sang ibu yang sejak kemarin siang begitu khawatir dengan perubahan sikap sang puteri bertanya.
Gerakan Anjani yang hendak menyendok nasi terhenti di udara. Gadis itu meletakkan kembali sendok nasi pada wadah nasi yang berbahan tempered glass, dan memandangi secara bergantian papa mamanya.
“Jani baik-baik saja, Ma. Jani hanya kecapaian,” jawab Anjani beralasan.
“Tapi sejak pulang dari acara peresmian klinik Arjuna, kamu mengurung diri di kamar. Kamu juga melewatkan makan malammu. Kamu kenapa sebenarnya, Nak?” desak Sinta khawatir, karena tak ingin kejadian enam tahun lalu, di mana sang puteri mengurung diri di kamar selama satu bulan terulang kembali. Hingga saat ini ia dan suami bahkan belum mengetahui apa penyebabnya, karena Anjani memilih bungkam. Dan kejadiannya pun sama, setelah Anjani bertemu dengan Arjuna. Ada apa sebenarnya?
Anjani jelas tidak akan menjawabnya. Ia menatap sang papa yang lebih mudah luluh dan berkata, “Jani sarapan dulu ya, Pa. Ngobrolnya nanti lagi kalau Jani sudah pulang kerja.”
“Ya, lebih baik kamu sarapan dulu, setelah itu berangkat kerja,” sahut Suseno. “Tapi kamu harus selalu ingat satu hal, Nak. Papa dan Mama akan selalu ada untukmu. Dan siap mendengarkan apapun yang ingin kamu bagi dengan kami.” Suseno menggenggam tangan sang puteri sembari tersenyum lembut.
Pria pendiam itu merasakan ada sesuatu antara Anjani juga Arjuna, entah apa. Kecurigaannya muncul enam tahun lalu, ketika mendapati wajah sembab sang puteri sepulang menemui Arjuna. Lalu anak semata wayangnya itu mengurung diri sebulan penuh di kamar dan selalu menghindar setiap kali orang-orang membicarakan tentang Arjuna. Akan tetapi ia memilih untuk tidak menanyakan lebih jauh, karena tak ingin menyaksikan puterinya semakin tertekan. Yang terpenting baginya adalah, Anjani tumbuh menjadi gadis ceria, pekerja keras dan mandiri. Sementara ini, ia akan mengamati lebih dulu sikap Anjani. Jika memang ada yang berubah dengan sikap sang puteri setelah bertemu kembali dengan Arjuna, maka ia sebagai orang tua pun akan bertindak.
Anjani tiba di Love Daycare lima belas menit kemudian, setelah hanya menghabiskan setengah isi piringnya. Usai memarkirkan Jazz miliknya, Anjani turun dan menyahuti satpam yang menyapanya dengan ramah.
Rutinitasnya setiap pagi, sebelum anak-anak diantarkan oleh para walinya, adalah memberikan briefing kepada timnya. Kali ini briefing diadakan di ruang kelas. Anjani seperti biasa mengevaluasi kinerja timnya pada hari kemarin. Jika semuanya berjalan baik, waktu briefing jauh lebih singkat. Namun jika mendapati masalah sekecil apapun itu, maka Anjani dan timnya berusaha untuk memperbaiki. Agar tidak mengecewakan para klien Love Daycare.
…
Arjuna berusaha melupakan tatapan kebencian Anjani hari kemarin. Ia sangat paham dengan apa yang Anjani rasakan. Maka dari itu, ia berada di sini untuk memperbaiki hubungannya dengan Anjani yang telah ia rusak enam tahun lalu.
Salahnya. Semua salahnya yang pergi begitu saja tanpa berusaha memberi jawaban atau pengertian pada Anjani. Jika tak seharusnya perasaan cinta diantara mereka ada. Arjuna pun memiliki perasaan yang sama dengan gadis yang tak lain adalah puteri dari kakak tirinya itu. Hanya saja selama enam tahun ini, ia berusaha mengubur perasaannya, meski hal itu percuma. Karena ia tetap mencintai Anjani. Namun logikanya memaksanya untuk mengingkari perasaannya. Status keluarga yang mengikat mereka, tak bisa ia lupakan begitu saja. Ia tak ingin mengikat Anjani yang seharusnya bisa mendapat pendamping hidup yang seumuran dengan gadis itu. Bukan lelaki tua seperti dirinya.
“Ar, Ibu perhatikan kamu sejak tadi melamun. Ada apa?” Dewi—ibunda Arjuna yang duduk dikursi roda menghampiri sang putera, yang sejak tadi ia perhatikan tengah melamun di kamar sembari menghadap jendela.
Arjuna berbalik dan tersenyum mendapati sang ibunda berada di hadapannya. Pria itu menumpukan lututnya pada lantai, agar bisa sejajar dengan sang ibu.
“Kamu belum jawab pertanyaan Ibu, Ar. Ada apa?” Dengan suaranya pelan, Dewi kembali bertanya.
“Tidak ada apa-apa, Bu. Saya hanya sedang memikirkan permintaan Anggita yang ingin menyusul kemari.”
“Ya malah bagus kalau Anggita menyusulmu ke sini. Rumah ini jadi tambah ramai. Ibu jadi banyak teman ngobrol.” Dewi sudah membayangkan kondisi rumahnya yang akan semakin ramai jika benar istri dari sang putera akan tinggal di sini.
“Iya, Bu. Nanti saya bicarakan lagi dengan Anggita ya, Bu. Baiknya bagaimana. Karena Anggita juga punya tanggung jawab dengan pekerjaannya di sana.” Arjuna berdiri lalu mendorong kursi roda sang ibu ke arah tempat tidur. Ia sendiri mengambil tempat di bibir ranjang. Persis menghadap sang ibu.
“Nanti biar Ibu yang bicara dengan Anggita ya, Ar. Anggita pasti senang kalau ibu yang meminta.”
Arjuna melihat senyum pengharapan di wajah sepuh sang ibu. Sudah bertahun-tahun sang ibu memintanya untuk kembali ke kota ini dan kembali tinggal bersama. Namun selama ini, ia belum berani untuk sekadar menatap Anjani dari kejauhan. Karena ia khawatir, ia tak akan bisa mengontrol perasaannya lagi, yang sudah coba ia pendam selama bertahun-tahun.
Hidupnya terbilang rumit sejak dulu. Silsilah keluarganya juga cukup rumit. Ayahnya menikah lagi dengan perempuan lain ketika ia masih berumur dua tahun. Lalu sang ibu yang berstatus janda dipersunting oleh Pak Bakri yang adalah ayah dari Sinta atau kakek dari Anjani. Dari pernikahan sang ibu dan Pak Bakri, lahirlah Wulan yang lebih muda empat tahun darinya. Ia dan Sinta sendiri terpaut umur lima belas tahun lamanya. Dan ia tak ingin semuanya bertambah rumit, jika ia benar-benar memiliki hubungan spesial dengan Anjani. Terlebih pula, ia tidak ingin membuat keluarga besar dari pihak ibu Anjani kecewa padanya. Bagaimana pun, ia telah berhutang budi pada Pak Bakri—kakek Anjani yang telah menyekolahkannya hingga ia memiliki gelar dokter gigi.
“Ar, kamu melamun lagi. Kamu tidak mau cerita ke Ibu, ada apa?” Dewi kembali mendesak sang putera dengan suaranya yang lemah.
Arjuna tersenyum kecil. “Tidak ada apa-apa, Ibu. Ibu tidak perlu cemas.”
“Benar tidak apa-apa?”
“Iya.” Arjuna mengangguk mantap. “Mungkin saya hanya gugup karena hari ini adalah hari pertama Juna Dental Clinic menerima pasien. Dan Ibu tahu, sudah ada sepuluh pasien yang membuat janji hari ini.”
“Kamu seperti baru pertama menangani pasien saja. Padahal sudah bertahun-tahun jadi dokter. Atau jangan-jangan kamu gugup karena pasien-pasienmu itu cantik-cantik?” kelakar Dewi.
Arjuna turut tertawa melihat sang ibu yang pagi ini jauh lebih bersemangat dari sebelumnya. Sewaktu ia tinggal di luar kota, ia kerap mendapat laporan dari Wulan jika ibu mereka kerap murung dan tidak berselera makan.
“Mana saya tahu, Bu, kalau pasien saya cantik-cantik. Kan saya belum lihat profil mereka, Bu.”
“Ibu kan cuma bercanda, Ar,” ucap Dewi masih dengan tersenyum. “Ibu tahu, kamu berbeda dengan ayahmu. Buktinya rumah tanggamu dan Anggita masih adem ayem sampai enam tahun ini.”
Arjuna tidak menjawab apa-apa. Pria itu memilih tersenyum lalu memeluk sang ibu. Ibunya benar, rumah tangganya dan Anggita memang baik-baik saja meski belum dikaruniani seorang anak. Namun tidak ada seorang pun yang tahu, jika faktanya, pernikahannya dengan Anggita hanya sebuah pernikahan kontrak.
Enam tahun lalu, seminggu setelah Anjani mengatakan mencintainya, Arjuna memutuskan untuk menikah. Dan ia menikahi Anggita dengan perjanjian hitam di atas putih. Kebetulan saat itu, Anggita membutuhkan sosok suami untuk calon bayinya karena ayah dari bayi yang dikandung Anggita tidak bersedia bertanggungjawab. Sayangnya, bayi Anggita meninggal seminggu setelah kelahiran, karena kelainan jantung.
Pernikahan kontrak yang ia jalani dengan Anggita tak lain karena ia ingin Anjani melupakannya. Dan Arjuna sendiri berharap ia mampu menghapus perasaan yang tak seharusnya ada pada gadis itu. Sayangnya, hingga enam tahun berlalu, perasaan yang ia miliki pada Anjani masih bertahan di dasar hatinya sana. Dan entah sampai kapan perasaan itu akan bertahan di sana.
Bab 3
Menghindar
Kepulangan Arjuna membuat hidup Anjani tidak tenang. Ia harus selalu waspada agar tidak bertatap muka dengan paman tirinya itu. Gadis bersurai kecokelatan itu merasa belum siap jika harus bertukar sapa dengan pria yang telah membuatnya trauma untuk jatuh cinta lagi. Selama enam tahun ini, entah sudah berapa pria yang telah dibuat patah hati oleh Anjani. Anjani sendiri bahkan tidak tahu, entah sampai kapan ia akan membenci sekaligus mencintai Arjuna.
Dan sudah dua kalinya, Anjani menolak ajakan sang mama untuk berkunjung ke rumah Nenek Dewi, di mana Arjuna tinggal di sana. Karena Nenek Dewi tak lain adalah ibu kandung Arjuna. Anjani selalu saja mempunyai segudang alasan untuk menolak ajakan Sinta—mamanya.
Tidak ada hari libur bagi Anjani. Meski hari ini adalah akhir pekan, ia tetap pergi ke daycare untuk bekerja. Meski tidak banyak anak yang dititipkan ketika akhir pekan, Anjani lebih suka berada di kantornya. Entah itu mengecek laporan bulanan. Menyusun jadwal kegiatan anak-anak, baik kegiatan belajar mengajar, permainan edukatif juga menyusun menu makanan anak-anak.
Anjani masih di ruangannya dan tengah berkutat dengan Macbook miliknya, ketika ponselnya berdering. Rupanya sang mama yang menghubungi. Dengan malas, Anjani pun akhirnya menjawab panggilan itu. Karena biasanya di akhir pekan seperti ini, sang mama sudah merancang sebuah acara untuk dirinya. Jika bukan diminta menemani ke arisan atau kondangan, sang mama akan mengajaknya ke rumah Nenek Dewi. Lagi.
Anjani: [Ya, Ma?]
Mama: [Jani pulang jam berapa, Nak?]
Anjani: [Jani pulang sebentar lagi, Ma. Kenapa?]
Memang benar ia sudah akan pulang sebentar lagi. Pekerjaannya sudah selesai dan begitu tiba di rumah, ia akan beristirahat sembari menonton film/series. Seperti perempuan muda pada umumnya, ia menyukai aktor-aktor tampan dengan pahatan sempurna di perut. Dan rela begadang untuk menamatkan film/series favoritnya. Namun selera Anjani seringkali menjadi bahan olok-olokkan kedua sahabatnya—Fitri dan Ami. Karena Anjani memang lebih menyukai aktor berusia dewasa dibanding yang seumuran dengan dirinya dan kedua sahabatnya. Sedangkan malam nanti, ia sudah membuat janji dengan kedua sahabatnya untuk menghabiskan malam Minggu di sebuah kafe.
Sambungan telepon pun berakhir setelah sang mama berpesan padanya untuk pulang tepat waktu karena hari ini adalah hari ulang tahun sang papa. Tanpa menaruh curiga pada sang mama, Anjani pun pulang ke rumah tepat waktu. Ia bahkan lupa jika hari ini adalah hari kelahiran sang ayah tercinta. Setelah memastikan mobilnya terparkir sempurna di halaman rumah, Anjani turun perlahan. Dengan santai ia langkahkan kaki menuju teras. Pintu rumah sudah terbuka lebar dan ia bisa menangkap gelak tawa kedua orang tuanya, dan entah siapa lagi.
Ketika akhirnya Anjani tiba di ujung ruang tamu yang berdampingan dengan ruang makan, langkahnya terhenti seketika. Begitu mendapati sosok yang sudah dua minggu ini selalu coba ia hindari, tengah duduk bersama orang tuanya, Nenek Dewi, Tante Sinta dan juga Malik. Malik sendiri adalah anak dari Tante Sinta.
Ruangan senyap selama beberapa detik lamanya karena kedatangan Anjani. Sebelum akhirnya Malik, anak laki-laki yang tengah beranjak dewasa menghampiri Anjani dan menuntun Anjani untuk bergabung di meja makan.
Anjani tak bisa mengelak. Otaknya mendadak tak bisa ia gunakan untuk berpikir. Ia yang masih setengah linglung, mengikuti Malik yang menuntunnya duduk di salah satu kursi yang berhadapan langsung dengan Arjuna. Anjani lantas tersenyum canggung pada semua orang yang berada di meja makan, terkecuali pada Arjuna.
“Maaf kalau Jani telat,” ucapnya kemudian. “Soalnya Mama nggak kasih kabar, kalau hari ini ada acara perayaan ulang tahun Papa.”
“Sengaja Mama nggak bilang. Kalau Mama bilang, pasti kamu ada aja alasannya untuk kabur lagi,” tukas sang mama yang dengan sigap menyendokkan nasi di piring Anjani.
“Jani memangnya nggak kangen sama Nenek ya? Kenapa nggak datang waktu acara makan-makan di rumah?” Kali ini Nenek Dewi yang bertanya. Wanita yang sehari-harinya duduk di kursi roda itu memandang sang cucu dengan penuh kerinduan.
“Maaf ya, Nek, kebetulan Jani ada acara,” dalih Anjani. Berusaha tetap mempertahankan senyum di wajahnya pada sang nenek.
“Tapi janji ya, lain kali Jani harus datang. Nggak boleh alasan apa pun lagi pokoknya.”
“Iya, Nek. Jani usahakan.”
“Bukan diusahakan, Anjani. Kamu harus datang,” tukas Nenek Dewi memaksa.
“Iya, Nek, iya. Jani janji akan datang,” jawab Anjani akhirnya mengiyakan.
Acara perayaan hari lahir Suseno—papa Anjani pun akhirnya dimulai. Suseno memimpin doa dengan khidmat meminta keselamatan, kesehatan, kelancaran rezeki dan doa terakhir membuat Arjuna seketika menatap Anjani. Doa Suseno yang meminta agar segera didatangkan jodoh untuk puteri satu-satunya.
Anjani sibuk mengirim pesan pada kedua sahabatnya selama sesi makan berlangsung. Ia meminta bantuan pada Fitri dan Ami untuk diselamatkan dari acara keluarga itu. Tentu saja lagi-lagi alasannya karena ia ingin menghindari Arjuna. Anjani bahkan berjanji akan metraktir kedua sahabatnya itu selama satu minggu penuh, asalkan ia bisa diselamatkan dari acara keluarga di mana ada Arjuna di sana.
Tepat ketika semuanya menghabiskan makanan pada piring masing-masing, penyelamat Anjani datang dengan segala kehebohannya. Fitri berakting menangis berpura baru saja diputuskan oleh kekasihnya. Sedangkan Ami memasang wajah sendu, turut berpura sedih demi kelancaran drama yang tengah dimainkan mereka.
“Loh, loh, Fitri kenapa menangis?” Sinta terkejut dengan kedatangan dua sahabat dari putrinya. Terlebih Fitri yang menangis cukup kencang.
“Fitri habis diputusin pacarnya, Tante.” Ami mewakili menjawab sembari berkedip pada Anjani.
Anjani yang mengerti dengan kode yang diberikan Ami pun mulai memerankan perannya. Gadis itu berdiri menghampiri kedua sahabatnya dan memasang wajah prihatin. “Kamu beneran putus, Fit?”
Fitri mengangguk dan segera memeluk Anjani. Tangisnya semakin kencang hingga memekakkan telinga Anjani. Jika bukan demi bisa kabur dari rumah, Anjani jelas akan mencubit pinggang Fitri.
“Kita ke kamar ya,” ajak Anjani pada kedua sahabatnya. Lalu ia memandang orang-orang di meja makan yang tengah memerhatikannya. “Semuanya, Jani pamit ke kamar dulu ya. Kasihan Fitri,” pamitnya kemudian.
“Ya sudah sana, temani Fitri dulu,” perintah Sinta yang tak tega melihat salah satu sahabat puterinya menangis sesenggukkan.
Sepeninggal Anjani dan kedua sahabatnya, suasana meja makan kembali riuh oleh celotehan Malik yang bercita-cita ingin menjadi pembalap Moto GP. Orang tua Anjani, Nenek Dewi dan Wulan dengan sabar mendengarkan celotehan Malik. Berbeda dengan Arjuna yang semakin gemas dengan sikap Anjani yang selalu menghindarinya. Ia bahkan tidak diberi kesempatan oleh gadis itu untuk sekadar bertanya kabar.
Semua salahmu, Arjuna. Salahmu!
Hati kecilnya memaki. Jika saja enam tahun lalu ia meluangkan waktunya sedikit saja untuk memberi pengertian pada Anjani, mungkin hubungan mereka tidak akan merenggang seperti ini. Tapi ia sendiri pun tak yakin, jika saat itu ia mampu untuk melepaskan Anjani. Karena semakin ia menyangkal perasaannya, semakin kuat pula perasaan cinta mengakar pada hatinya.
Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰