Bagian 2 Bacain Buku: #SatuMendua

1
1
Terkunci
Deskripsi

Audio Book Joker—Ada Lelucon Di Setiap Duka (2007), halaman 14-21.

1 file audio

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
50
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya #YallaVibi Waahid (1) [GRATIS]
4
0
keBAB 1 : BABU IDOL Jakarta 2008”Anda gak salah lamar?”Sialan. Dari seribu satu buku panduan interviu yang pernah kubaca, pertanyaan ini tidak pernah aku temukan. Saat aku masih sibuk berpikir mencari jawaban cerdas, si pewawancara kadung mengajukan pertanyaan lain, “Anda ini kan lulusan hukum, mengawali karier sebagai penyiar, lalu saat ini berprofesi sebagai editor dan seorang penulis?” Dari nada intonasinya, aku tidak bisa menentukan apakah ia sedang sinis atau benar-benar ingin tahu atas segala keputusan hidupku yang banyak mau itu. Iya, aku paham; mencantumkan pengalaman kerja dalam CV yang tidak relevan dengan bidang lowongan yang dilamar adalah kesalahan fatal. Kecuali bila kita tidak punya latar belakang sama sekali yang bisa dijadikan referensi, kan? Jadi semacam nggak nyambung, tapi bisa banyak gaya! Aku pikir gitu, sih. Ternyata berujung tatapan nista penuh curiga.Aduh. Ehem.“Saya selalu tertantang untuk belajar dan mengerjakan hal-hal baru. Sampai saat ini berbagai pekerjaan bisa saya selesaikan semaksimal mungkin secara beriringan,” bualku panjang lebar. Semoga terdengar benar. Belum tahu saja dia, aku juga pernah jadi web administrator, desainer sarung dadakan dan tim pencari fakta perselingkuhan teman-teman.“Apa yang bisa kamu berikan untuk perusahaan kami?”“Apa pun yang Anda harapkan dari seorang karyawan andal, saya pasti bisa mewujudkannya. BLAH stadium satu.”Anda pernah menjadi creative director, apa posisi sebagai barista ini tidak meresahkan Anda?””Meresahkan dalam arti turun derajat?” Aku mencoba tersenyum bijak, “Turun derajat adalah tidak bekerja sama sekali.” BLAH stadium dua. Andai mereka tahu fakta bahwa saat aku jadi direktur kreatif di radio anak muda itu gajinya cuma ¼ barista di perusahaan yang sedang kulamar ini.”Terus terang Anda adalah kandidat teraneh, mengingat saat ini Anda masih berumur 27 tahun dan terkesan menyia-nyiakan karier. Kenapa Anda memilih pekerjaan ini?” Ah, pertanyaan si pewawancara berputar-putar, membuat benak mengingat harapan liar. Tapi sebelum kamu ikut berburuk sangka penuh prahara berakhir dusta, aku perlu membuat pengakuan penting: sumpah, jadi pekerja migran bukan cita-citaku. Dan tampaknya semua yang telah menjadi PMI pun dalam masa kecilnya selalu menuliskan cita-cita 'normal' di buku kenangan seperti presiden, astronot atau bahkan dokter kelamin.Tapi kalau ditanya tentang keinginan untuk tinggal—bukan sekadar plesiran di luar negeri sih, itu ambisiku sejak balita. Namun, ada ‘keganjilan’ dalam ambisi tersebut─luar negerinya bukan negara 'favorit' teman-teman sekolah semacam Amerika atau Eropa, tapi negara-negara di Timur Tengah atau Afrika.Negara pertama yang mampu menghipnosis alam bawah sadar sejak zaman masih ngompol di kasur adalah Turki. Kalau tanya kenapa, aku masih bingung untuk menjelaskannya. Yang jelas kalau menonton atau membaca buku berlatarbelakang Turki−semacam cerita permadani terbang, kisah seribu satu malam, sampai komik Tintin−selalu berhasil bikin angan merem melek ingin segera berjelajah.Impian itu perlahan terpenuhi. Tahun 2001, aku bergumul di Istanbul, biarpun hanya berlibur beberapa hari, keinginan tinggal semakin meledak-ledak.Detik demi jam, hari demi tahun, panggilan jiwa dan rasa penasaran semakin membuncah. Aku mulai giat mencari lowongan kerja di Turki, Uni Emirat Arab, sampai Kingdom of Saudi Arabia. Hotel, kafe, sampai panti pijat pun aku kirimkan CV; padahal tidak punya pengalaman sama sekali.Lalu sebuah hotel berbintang tujuh di Dubai memanggilku untuk interviu! Sayang, panggilannya tiba saat aku baru bekerja persis hari pertama di kantor yang baru! Sungguh dilema tiada dua! Tapi tentu atas nama komitmen, aku putuskan konsentrasi ke pekerjaan itu sambil selalu berdoa agar kesempatan bisa datang lebih dari satu bahkan lima kali.Sampai datanglah sore hore di bulan Mei, sebuah koran menayangkan iklan lowongan kerja di sebuah kedai kopi internasional bertempat di Kingdom of Saudi Arabia. Tanpa pikir panjang, keesokan harinya aku menghadiri walk in interview di sebuah hotel berbintang lima.Interviu demi interviu aku lewati, termasuk tatapan heran sang pewawancara setiap memeriksa CV.  Tatapan yang paling berhak juara atas Nista Award kudapatkan malam ini. Eh, ngomong-ngomong tadi apa pertanyan terakhirnya ya? Oh iya...”Justru karena masih muda, saya ingin banyak bertualang. Karier bukanlah kepuasan hidup saya. Lagi pula, saya punya banyak ide segar untuk perusahaan Anda−khususnya coffeeshop ini. Pengalaman gado-gado saya−khususnya sebagai creative director tak akan terbuang sia-sia.” Aku memantapkan nada dan membinar-binarkan tatapan mata agar segala kebualan ini terdengar prestisius!***“Kamu lolos, enggak?” Belasan pasang mata menatapku penuh bimbang. Mereka adalah teman-teman baruku, sesama kandidat calon Pekerja Migran. Ada yang menggigit bibir. Ada yang meremas-remas sisir. Aku menghela napas. Menggeleng. Menutup mata. Mati. Hush!“Masa enggak lolos, sih?!” teriakku sambil merentangkan tangan tanda kemenangan. Sontak ruangan dipenuhi gegap-gempita sorak-sorai penuh warna tipe suara. Aku memang kandidat terakhir di rangkaian interviu final ini. Setiap interviu bagai penyaringan babak penyisihan. Ribuan, ratusan, hingga sisa belasan. Sudah terlatih cemas, tapi tetap tegang. Kalo gagal di tahap ini tampak akan teramat sakit hati. Seperti pasangan pengantin yang mengundurkan diri satu jam sebelum akad nikah. Seperti diare di WC yang tak ada air. Seperti hampir orgasme lalu mendengar kentut pasangan. Karena itulah, kelolosan ini bagai memenangkan kontes idola. “Jadi pertanyaan penting berikutnya adalah: kapan kita berangkatnya, nih?”........Siapa yang sangka kalo pertanyaan ini akan terus bergema sampai berbulan-bulan setelahnya.***”Besok bisa datang ke klinik pukul dua siang untuk medical check up?” Tanya seorang pegawai agen penyalur tenaga kerja yang bertugas memfasilitasi para kandidat Pekerja Migran via telepon.”Hah, bukannya kemaren-kemaren kami sudah medical check up, Mbak?” tanyaku keheranan.“Sudah expired. Kan setiap tiga bulan laporan kesehatan harus diperbarui.Aduh. Diambil darah sepuluh kali pun aku tidak berkeberatan. Foto bugil demi catatan medis juga ayo saja. Tapi lain perkara kalau disuruh buang air besar paksa. Seringkali gagal. Seringkali terpikir olehku untuk membayar seorang joki.  Lalu pertanyaan itu kembali menggerayangi serat optik menuju satelit; ”Jadi kita kapan perginya, Mbak?” Sudah mau setahun loh, kita belum diberangkatkan juga?” ”Ada masalah dengen prosedural visa di Kedutaan Arab. Kita tunggu kabar selanjutnya, ya!”.... Bagai tanjakan curam, drama birokrasi itu sungguh melelahkan, kerap membuat kami kembali dan kembali menunggu lama. ***Kesabaran berbuah kabar bahagia. Setelah teman lamaran, kucing tetangga lahiran, cabut gigi geraham, teleponku bergemetaran di pertengahan Mei 2009.Anda berangkat ke Dammam besok lusa siang yaa!Haa?! Ke mana? Lusa besok?! Hah, ini kok semacam ngajak pergi ke Dufan saja, sih− mendadaknya terlalu brutal. Dan lebih parah lagi, Bukannya saya dijadwalkan bekerja di kota Jeddah?“Untuk penempatan ini, anda akan ditempatkan di Dammam untuk sementara.”“Siapa saja yang akan ditempatkan di sana?” Aku komat-kamit berharap ada nama-nama kandidat yang kuingat disebutkan.”Sampai saat ini, masih hanya Anda saja.”HANYA-AKU-SAJA?!Pergi ke Pulau Seribu atau Maluku, aku masih berani petantang-petenteng sendirian. Tapi ke kota Dammam? Tempat apa itu? Di mana itu? Siapa aku? Mendadak lupa diri.Di antara rasa panik sok asyik. aku buru-buru googling−mengintip keadaan kota Dammam. Seketika layar dipenuhi deretan foto pohon palem, pantai, gadis-gadis pirang singset dan pria-pria tampan tersenyum dikulum sambil menyiram tanaman. Wah, tampaknya kota Dammam adalah jelmaan Los Angeles versi Arab Saudi! Aku pun pawai keliling rumah mengabarkan kabar gembira−yang ternyata disambut duka kakak dan orang tuaku. “Kamu sudah benar-benar yakin?” Ayah menelaah batinku, dibingkai pandangan sedih ibu dan kakak.Sejujurnya aku tidak yakin. Tapi setelah melewati berbagi proses wawancara dan birokrasi berkepanjangan itu, rasanya mundur pada detik terakhir ini akan membuatku tidak akan pernah yakin pada diri sendiri selamanya. ”Menjadi seorang turis dan seorang pekerja di negara asing akan beda sensasinya. Mentalmu sudah siap?” Aku mengangguk. Kasus penganiayan pekerja kerap kudengar di Arab Saudi. Semoga di tempat kerja berskala internasional itu aku tidak akan pernah mengalaminya. Amin.Yah. Aku cuma bisa berharap. Tuhan telah siap dengan cerita lengkap.***keBAB 2: IN-DU-NI-SI?Dammam 2009”Selamat datang di King Fahd International Airport, Dammam-Kingdom of Saudi Arabia. Waktu setempat menunjukkan pukul sembilan malam. Suhu di luar empat puluh delapan derajat celcius,” pengumuman dari pramugari membuyarkan kantukku.Aku lantas memundurkan batang penunjuk jam tangan empat jam lebih awal. Hati berkobar girang, badan meriang, terserang panik menggelitik. Siapa yang akan menjemputku? Bagaimana jika aku terlantar? Bagaimana bila si penjemput adalah penjambret yang menyamar? Ke mana aku harus lari? Berapa jarak tempuh Dammam dan Riyadh untuk mendatangi KBRI? Bagaimana jika koperku hilang? Berapa harga celana dalam dan sepasang kaus kaki? Pertanyaan liar berkecamuk acak selama mengantre di meja imigrasi. Puluhan orang berbaris rapi−sebagian lain duduk di lantai karena kelelahan. Tampaknya, mereka pekerja migran sepertiku. Beda sih, raut wajah yang mau umroh dan merantau bekerja, terlebih di bandara yang tampak antah berantah ini.“Hai, Mas, dari kota mana?” tanyaku pada mas-mas yang antre di sebelah. Aku malah disambut tatapan dingin, “Mafi kabayan?” tanyanya.“Heuh? Apa kabayan?”Ia mengernyit, lalu tidak mengacuhkanku, kembali mengobrol dengan teman-temannya menggunakan bahasa daerah−entah dari mana. Agak kesal, sih, tidak dipedulikan, tapi aku sok cuek saja, menikmati  pemindaian kornea mata dan cap jempol... telunjuk... wah semua jari!“Indunisi?!” Tiba-tiba petugas Imigrasi histeris melihat pasporku. “IndonesiA,” aku sengaja menebalkan huruf A untuk merevisi kekhilafannya.“Indunisi…”” Ia tampak tak peduli, ””Saya kira kamu Filipini,”” sambungnya cengar-cengir bagai peminum bir. Indunisi, Filipini... ah, tampaknya semua penyebutan negara berakhiran huruf i? Aku maklumin, deh, kalau begitu!Ia lalu mengembalikan pasporku yang langsung kusimpan baik-baik dalam tas pinggang sambil mengambil selembar kertas berisi nama dan nomor telepon orang yang akan menjemputku. Mr Husein. +96654549987Segera setelah mengambil koper, aku bergegas keluar ruangan yang dihujani tatapan puluhan mata penuh harap. Seorang pria Arab mengacungkan selembar kertas bertuliskan ‘Sky Rabbit’. Ah, dialah pilihanku!“Mr. Husein?”” tanyaku sambil mengulurkan tangan.“Oh, bu.. kan. Sa...ya Ahmed!” jawabnya dalam bahasa Inggris yang terpatah-patah.Otomatis tanganku kembali tersandar di betis. ”An..da...”,” Ahmed melihat kertas di telapak tangannya, “”... Mr. Velayan, kan?”“Maksud anda, Valiant? Ya, betul! Itu saya!” Aku kembali memberikan jabatan persahabatan instan sambil memastikan bahwa namaku yang tertera di kertas yang ia pegang.Kali ini giliran Ahmed yang curiga. ”Mari ikuti saya.” Matanya memindai saya dari atas-bawah-atas lagi.Hey, seharusnya aku yang curiga, kali? Seburuk-buruknya niat kita berdua, siapa yang paling berpeluang jahat? Aku cuma pendatang ingusan yang baru menginjakkan kaki di tanah asing beberapa jam saja.Tapi aku terlalu capai untuk berburuk sangka. Pasrah saja, lah. ***Mobil melaju kencang menembus lengangnya jalanan kota Dammam. Barisan lampu penerang jalan mulai semarak, seiring dengan kelopak mataku yang melebar bersiap-siap menikmati pemandangan kota. Kemudian serta merta gelap. Loh, mana gedung-gedung gemerlapan? Atau warung kebab, mungkin? Aku melirik Ahmed. Edan! Dia menyetir sambil baca koran! Ahmed balas menatap. Mobil semakin cepat bergerak. Jantung berhenti berdetak.“Kita sudah sampai,”” ujarnya sambil melambatkan laju mobil.Aku menatap sekeliling, sebuah motel bernama... ah, sial. Aku tak bisa membacanya. Arab gundul! Eh, maksudku itu tulisannya, bukan ngata-ngatain Ahmed, loh! ”Besok saya jemput Anda pukul sepuluh,” Ahmed membantu menurunkan koper. Kami disambut seorang bellboy bertampang Sunda. ““Hey, apa kabar?”” tanyaku menjulurkan tangan, senangnya bisa ketemu sesama WNI!Sang bellboy menggelengkan kepala perlahan. “Saya orang Nepal.”Duh, ternyata aku cupu. Pelajaran pertama; tidak semua penampakan Asia Tenggara yang kau lihat di Arab adalah seorang Indunisi. EH, Indonesia.  Sial. Aku terlalu cepat beradaptasi. ***keBAB 3: HARI PEMBANTAIAN”Tekan lutut Anda melawan lantai, regangkan dan kencangkan otot bokong...”Kepalaku pusing tak keruan. Kurang tidur. Kurang minum. Setiap pori-pori kulit terasa kayak tertutupi jerawat. Kuraba-raba meja sebelah kasur mencari ponsel. Eh, dapatnya remot. Segera kualihkan saluran TV yang asyik dengan pengencangan bokong. Layar pun terhiasi wanita cantik berwajah timur tengah melenggak lenggok di antara jendela, melantunkan nada-nada indah. Di sebelah kiri bawah layar tertulis 'Nancy Ajram'. Akan kuingat namanya. Dialah artis Arab pertama favoritku. Cengkokan suara merdunya sedikit meringankan sakit kepalaku.Akhirnya kudapatkan ponsel yang ternyata terselip di bawah bantal. Kupelototi layarnya, dan tampak angka-angka mengejutkan jiwa. APA?! Sudah pukul sepuluh?!!Tanpa pikir panjang, aku segera tunggang langgang telanjang. Toilet segera kuterjang. Kalut semakin membuat sakit perut. Waduh, jangan-jangan si Ahmed sudah menunggu di lobi? Atau dia sudah pergi karena kelamaan menunggu? Aku nanti naik apa? Terus ke mana?! AAAHHHH!!Demi onta yang teraniaya! Air semprotan toiletnya panas sekali! Dan ini adalah setelan suhu terdingin! Trauma dubur membuatku mundur dari dunia pertoiletan. Akhirnya aku hanya membasuh muka dan ketiak secepat kilat, memakai pakaian, jam tangan dan.... EH!Persis saat jemari menyentuh jam tangan, tiba-tiba teringat rangkaian kenyataan yang menampar kebodohan. Aku kan belum menyesuaikan jam di ponsel dengan waktu setempat—yang masih harus diubah secara manual? Yang aku sesuaikan zona waktu cuma jam tangan! Berarti... ya, sekarang masih pukul setengah tujuh saja. Antara bersyukur dan takabur, akhirnya aku memilih kembali tidur.***Menjelajah Dammam di siang hari membuatku mengerti, mengapa semalam jalanan begitu gelap, karena sejauh mata memandang, hanya ada hamparan padang pasir. Pagar-pagar tinggi menjulang menutupi rumah megah mirip istana boneka. Kota ini bagai kota mati. Tidak ada satu pun manusia yang terlihat berjalan di trotoar, apalagi nongkrong di bangku taman, anjing pun nihil.“Suhu panas seperti ini tidak ada yang mau keluar. Mereka memilih beraktivitas di malam hari,” kata Ahmed memecah kebingunganku—dia pasti sudah hafal dengan kelinglungan pendatang akan fenomena ini. Syukurlah, kali ini dia tidak menyetir sambil baca koran. Ah ya, ngomong-ngomong tentang suhu panas, aku tiba-tiba teringat sesuatu.“Kalau buang air besar bagusnya jam berapa ya? Tadi pagi saja airnya sudah panas banget. Duburku sampai luka.”Ahmed menatapku dengan pandangan jijik. “Simpan saja dulu airnya di ember. Tunggu sampai dingin,” jawabnya dengan tatapan mengisyaratkan '‘gitu aja kok gak tau!'’ “Oh iya!” Aku tertawa bodoh. Maklum, masih jetlag.   Pemandangan padang pasir berubah jadi pantai biru berkilau. Pohon kurma berderet di sepanjang pesisir pantai. Oh, inilah lokasi foto yang kulihat di internet sebelum terbang kemarin itu! Oke, kenyataan menamparku; Dammam ternyata tidak tampak sepenuhnya seperti Los Angeles—yang mana LA pun baru kulihat di serial TV. Lagakku sudah kayak traveler kawakan saja!   Mobil berbelok ke jalur yang semakin mendekati pantai. Sayang, aku tidak membawa celana renang. Ahmed memarkirkan mobil di depan sebuah bangunan bertingkat dua berjendela lebar. Di lantai satu, ada dinding kaca bertuliskan Sky Rabbit coffeeshop, calon tempatku bekerja sebagai PSK; Peracik Susu Kopi alias barista! Kalau baca-baca tugas barista itu, semacam bartender khusus kopi, ya? Barangkali. Aku belum tahu pasti.  Seiring dengan pekikan burung-burung di langit, hatiku bergemericik riang. Aku akan bekerja di tepi pantai! Berhubung lahir dan bertumbuh kembang di area pegunungan, ini adalah idaman sepanjang zaman!“Kamu lihat di gedung itu ada pintu hijau, masuk ke sana dan naiklah ke lantai dua,” Telunjuk Ahmed menunjuk-nunjuk arah yang harus aku datangi.  Angin panas sekonyong-konyong menguliti tubuh begitu aku keluar mobil. Aku berjalan menuju pintu hijau yang ditunjuk Ahmed. Sesekali debu pasir yang terhirup menyakiti rongga hidung. Tiba-tiba saja aku ingin balik ke mobil. Kembali ke bandara. Lalu pulang. Kembali lagi ke sini saat musim dingin. Hey, konsentrasilah! Ini saat-saat kronis demi penampilan perdana sebagai barista! Semakin tinggi tangga yang kuinjak, semakin sering tangan merapikan segala sesuatu; dari rambut sampai ikat pinggang. “Kamu tinggi sekali! Apakah Anda benar-benar dari Indunisi?” Teriakan itu terdengar bahkan kala kepalaku saja belum nongol dari balik pintu. “Hai, apa kabar? Saya Valiant Budi, iya dari Indonesia.” Aku mengeluarkan senyum selebar mungkin dengan bahasa tubuh yang semoga luwes tapi gagah.“Wow, kita di sini terbiasa melihat orang Indonesia setinggi ini,” ujar seorang lelaki yang  menyambutku di balik pintu, sambil merendahkan telapak tangannya ke arah lantai sambil tertawa terbahak-bahak.Senyumku mendadak terhambat saat melihat ayunan tangannya semakin mendekati lantai. Kau pikir kita bangsa liliput? Dia gagal memberikan kesan pertama baik kepadaku.”Saya Furqon, a learning specialist. Senang bertemu denganmu Vilain... atau Vilian?! Ayunan tangannya kini berubah arah menuju perutku. Ah, rupanya si sang ‘spesialis pembelajaran’ ini belum belajar banyak tentang Indonesia. Mungkin dia bakal muntah dahak kalo bertatap muka dengan Suparmono asal Lampung yang tingginya memecahkan rekor MURI; 2,42 meter saja. “Panggil Vibi saja,” pintaku. Vibi maksudnya VB yang berarti Valiant Budi. Mudah, kan? Capek juga kalau setiap kenalan mesti mengajarkan cara menyebutkan 'valiant' yang sesuai dengan kearifan lokal.“Pertama-tama, saya ingin mengucapkan selamat datang di kota Al Khobar, Vibi!”Hah? Al Khobar? “Saya pikir ini kota Dammam?” Tanyaku bingung.” Apa jangan-jangan semalam si Ahmed membawaku ke kota yang salah? “Jadi begini, area ini terbagi dalam tiga kota yang saling menopang; Dammam, Al Khobar dan Dhahran−juga dikenal sebagai ‘The Triplet Cities’. Jarak antar kota sangat berdekatan sehingga dapat ditempuh hitungan menit. Nah, saat ini Anda berada di kota Alkhobar, daerah pantai Corniche.”Aku melirik jendela, mencuri pandang ke arah pantai nan biru. Ada yang berenang gak ya dalam suhu sepanas ini?“Dulu  Al Khobar ini merupakan pelabuhan kecil di Teluk Persia. Juga dikenal sebagai desa nelayan. Sekitar tahun 1930-an, minyak ditemukan di sini. Karena itu, di kota ini kita punya Saudi Aramco; perusahaan minyak terbesar di dunia,” Furqon seketika menjadi guru sejarah.  Seraya mengangguk-angguk, aku diajak ke sebuah ruangan rapat berukuran besar. Sebuah proyektor menyorot layar bertuliskan Customer Care. “Sebelum memulai kelas singkat ini, saya ingin mengucapkan selamat atas terpilihnya Anda sebagai customer care di retail Who Care ini,” ujar Furqon begitu aku duduk manis di ruangan itu.Eh? “Saya bukannya bakal bekerja jadi barista?” Suasana mendadak tidak enak. Kejutan apa lagi ini? Furqon tertawa terbahak-bahak, “Ooh, Anda jadi barista ya? Ah, ya tidak apa-apa. Prinsipnya sama kan melayani pelanggan. Sebelumnya kita akan berbagi cerita tentang sejarah berdirinya perusahaan besar ini.”Bosan. Semua hal tentang perusahaan ini telah aku baca secara menggila di internet pada masa-masa interviu. Tapi aku tetap menunjukkan mimik antusiasku; mengangguk saat diperlukan, menggeleng saat tidak diperhatikan, menggaruk saat kutu geregetan.“Jadi, Vibi, ada berapa produk yang digawangi payung perusahaan ini─selain Sky Rabbit tentunya?”Tanpa ragu kusebutkan hampir semua anak perusahaan, tanpa jeda dan kedip; karena tinggal baca layar.  Furqon segera mematikan lampu layar sambil tersenyum. Ah, untung masih ingat beberapa produk lainnya.  “Sekian kelas perkenalannya, sekarang Ahmed akan membawamu ke klinik untuk medical check up, setelah itu kau kembali ke sini untuk mengambil iqama-mu. Iqama adalah kartu identitas  pendudukmu.”“Medical check up? Lagi?! ***”Banyak pekerja yang baru datang langsung dideportasi karena hasil medical check up yang buruk. Mungkin mereka mabuk-mabukan ketika di pesawat.” Ahmed memberikan petuah sambil melajukan mobil di balik kemudi dan lagi lagi—sambil baca koran! ”Saya harap kamu lolos, karena bila mereka menemukanmu ada sedikit penyakit saja, mereka akan langsung...” Ahmed mengibaskan tangan ke arah lehernya; menirukan orang yang sedang dipenggal. “Terlebih bila kamu bekerja di bagian makanan dan minuman. Mereka akan lebih ketat. Bila mereka mendapatkanmu berkuku panjang atau rambut gondrong saja kau akan dikenakan denda lima ratus riyal!”Aku terdiam saja, sibuk berdoa. Ada yang lebih aku khawatirkan. Semoga di klinik telah disiapkan seember air yang sudah dingin. Saat ini semprotan panas dubur jauh lebih horor ketimbang ancaman deportasi.***Saat kaki melangkah masuk klinik, aku disambut para suster bercadar dan berjas putih. Aku digiring ke ruang periksa. Hidung, telinga, mulut dicolok-colok. Tangan dipijit-pijit. Dada ditelanjangi lalu dipotret. Tibalah saat mendebarkan, sang suster memberikan tube kecil, memintaku menuju kamar mandi di ujung ruangan. Sedihnya lagi, antrean untuk pup paksa itu sudah cukup panjang. ”Hai, kumusta ka!” Seorang pria klimis berkulit gelap mempersilakanku duduk di sebelahnya.“Hai, terima kasih. Saya dari Indonesia.” Kami lantas bersalaman.“Indonesia?! Wah, negeri yang sangat indah! Kamu pasti baru datang ya?” Akhirnya ada yang menyebutkan Indonesia secara baik dan benar!“Mendarat di sini belum sampai dua puluh empat jam! Bagaimana Anda bisa tahu?” Tanyaku balik.“Terlihat dari wajahnya, masih segar dan penuh harapan!” ujarnya sambil tertawa renyah. “Kamu beruntung sekali sebagai seseorang dari Asia Tenggara dalam hal medical check up ini!” Nada suaranya merendah.“Kenapa?”  “Saya asli Kenya. Prosedur cek medis untuk berkebangsaan dari Afrika lebih ribet─karena perlu perlakuan khusus.”“Perlakuan khusus seperti apa?” Aku mulai memiringkan tubuh ke arahnya.Kamu tak perlu cek HIV.””“Waktu di Indonesia, saya tes HIV sampai berkali-kali,” kilahku. “Nah, di sini, kamu tidak perlu. Hanya bangsa tertentu saja; Kenya salah satunya.”Salah satu pintu toilet terbuka. Pria Kenya itu segera berdiri.“Setiap warga negara mendapat perlakuan yang berbeda di sini. Saya harap kamu siap fisik dan mental!” Ia mengedipkan mata sebelum berlalu.“Euh… semoga berhasil!”” Obrolan terhenti, padahal aku masih ingin tahu banyak. ***Setelah drama penyanderaan toilet selesai, aku kembali ke kantor di pantai Corniche untuk mengambil iqama. Furqon memberiku kabar buruk yang memusnahkan idaman sepanjang zaman itu.“Mulai besok, Anda akan bekerja di Al Rashid Mall. Kita punya dua toko di sana, Anda kerja di cabang yang paling besar. Silakan datang pukul delapan pagi.”Hah?“Letaknya dekat, kok, dengan akomodasi. Tinggal jalan kaki, lima menit pun  sampai.”Selamat tinggal, pantai!”Dan ini uang sakunya,” Furqon memberi beberapa lembar uang riyal, ”Bisa Anda pergunakan untuk biaya transportasi, karena Ahmed tidak akan mengantarmu lagi.”Hoh?!“Terima kasih untuk pertemuan hari ini. Saya senang bertemu dengan Anda. Semoga kerasan tinggal di Arab Saudi,” Furqon mempersilakanku untuk hengkang.  Heuh?!Secepat inikah mereka membuangku ke jalanan? ***Pukul setengah tujuh malam. Langit masih terang. Magrib belum datang. Mobil berlalu- lalang kencang di Corniche Road. Saking kencangnya, aku tak dapat memastikan mana taksi mana polisi. Mana pasir mana upil. Aku merasa sesak. Tiba-tiba saja aku merindu Ahmed. Tidak apa-apa, deh, menyetir sambil baca koran─atau main monopoli sekalipun. Yang penting aku diantar pulang.Akhirnya aku melambai-lambaikan tangan ke mobil apa pun yang lewat. Tiba-tiba mobil sedan keluaran Jerman berhenti mendadak. Kaca terbuka dan tampaklah gumpalan bulu dada. “Filipini? Ayo ikut saya!”” ujar si pemilik bulu dada itu. Heuh. Indonesia woy! “Taksi?!” Aku berusaha mencari tanda tulisan taksi di sekujur badan mobil itu. Si Bulu Dada mengangguk cepat dengan tatapan liar. Mencurigakan. Tindak-tanduknya terlalu... mmh... meragukan sebagai sopir taksi.  Tiba-tiba terdengar klakson di belakang mobil yang sedang aku pelototi. Kali ini benar-benar terpampang lampu penanda taksi di atasnya. Aku pun segera beralih meninggalkan Si Bulu Dada. Tanpa ba-bi-bu babi bau, aku langsung masuk dan duduk manis di kursi depan. Mau diantar ke mana? tanya sang sopir taksi dengan logat India superkental.Bawa saya ke.... WADUH!! KE MANA YA?! Tiba-tiba saja aku superlinglung. Aku lupa ini bukan Jakarta. Setolol-tololnya pas baru tinggal di Jakarta, aku masih bisa asal menyebutkan wilayah saat ditanya sopir taksi mau ke mana. Paling banter juga diputar-putar ‘sedikit’ dengan tagihan argo yang bikin dompet menjerit.Tapi ini Arab Saudi, Habibi! Yang konon katanya sopir-sopir taksinya jahil hobi menjawil dan kalau iseng bisa membuang kita di belantara padang pasir. Aku berusaha mengingat tempat tujuanku.  Sebuah hotel bernama.... NAH ITU DIA─Lupa bentuknya dan tidak tahu bacanya!Si Sopir India masih sabar menunggu jawabanku. Intuisi menyuruhku mengambil ponsel. Padahal entah menelepon siapa. Eh, tunggu!Setelah mengutak-atik beberapa detik, aku memamerkan sebuah foto yang tersimpan di HP itu ke pak sopir. Untung saja tadi pagi sebelum dijemput Ahmed, aku sempat foto-foto sok ganteng di depan hotel. Biasa, buat aku simpan di media sosial sebagai foto profil, sekalian pamer tempat tinggal baru dengan pose sok gak tahu difoto, dilengkapi status sok mengeluh seperti “'duh, panasnya Saudi gak tahan, deh.'”Si Sopir India menelaah foto sembari komat kamit diiringi mata mengernyit, dia kemudian teriak, Ini kamu?! LOH, baca tulisannya, Dudul!!“Ouuh, Al Mawasem Hotel?!"YA! Betul! Al Mawasem!! teriakku laksana berhasil memecahkan misteri. Taksi segera melaju ke tempat tertuju. Sepanjang perjalanan, aku curi-curi lirik ke segala arah; memperhatikan arab-arab gundul berlalu lalang. Ada yang gepeng, gendut, hitam, putih, polkadot, loreng. Iya, huruf Arab gundul!Aku benar-benar merasa seperti alien di perkampungan arabik─dikelilingi bangunan mediterania dan huruf-huruf eksotik.Sebenarnya huruf-huruf Arab ini sudah tak asing lagi bagiku. Tapi berhubung arabnya gundul alias tanpa tanda vokal, jadinya sering membuat bulu alis keriting saking bingungnya.Kalau dipelototin sampai juling, membaca arab gundul ini ibarat membaca bahasa singkatan, semacam “?!TNP K KY NLJ TK. HS NKM MW MK NKM SBA.” Oh ya, hampir lupa, cara membacanya tentu saja dari kanan ke kiri. Untung saja arab gundul ini tidak ada huruf  B3sAr huruf Kheechiiil ala ala gaya anak muda yang bisa bikin aku mengajukan resign dari dunia pergaulan.”Kamu harus hati-hati, Filipini.” Si Sopir India tiba-tiba menepuk pahaku. “Lelaki putih manis seperti kamu sangat digemari di sini.”Auw, PUTIH MANIS?! Wow, makasih. Tapi apa maksudnya sangat digemari? Aku sontak merasa seperti ayam goreng tepung mendengarnya. “Ngomong-ngomong saya dari Indonesia.”“Wow, a-pha kha-bar?!” Si Sopir India mencoba menyapa dalam bahasa Indonesia.“Bha-ik!” Aku mencoba menyamakan nada dan intonasinya.  “Sudah berapa lama tinggal di sini?”Aku melihat jam,” “21 jam, 45 menit, 23 detik!””“Wow, benar-benar baru! Saya tahu kalau kamu baru, tapi tidak menyangka sebaru ini! Saya di sini sudah dua puluh tahun.Aku memandang wajahnya dengan saksama. Jika sudah selama itu, berarti dia di sini sejak berumur... “Saya datang sejak umur 17 tahun.”“Wah, betah banget, ya?””“”Tidak,” jawabnya datar....“Oh iya, bisa antar beli sim card? Di sini yang bagus apa ya?”“Tergantung. Suka yang gratis bonus SMS tengah malam atau menelepon setengah harga pagi-pagi atau bebas internet setelah SMS semalaman atau...”Duh, ternyata urusan sim card ribetnya sama saja ya, banyak pilihan yang justru bikin tidak ingin memilih.     “Ada yang pasang tarif nelepon internasional paling murah?Si Sopir India menyebutkan salah satu merek lalu membelokkan mobil ke jalur lambat, menuju toko selular. Aku lalu mendapat nomor baru aneh. Maklum, belum terbiasa dengan kode negara +966.Sang Sopir kemudian mengantarku ke Al Mawasem lewat jalan tikus—yang ternyata sangat dekat dari Corniche. “Dua puluh riyal,” tuturnya saat aku tanya tarif antar. “Wah, untuk rute sedekat ini mahal juga ya?”“Sebetulnya tarif satu kali jalan dari Corniche ke sini hanya 10 riyal. Tapi tadi kan beli kartu dulu, jadi dua kali jalan.””“Cuma belok dikit saja dianggap dua kali jalan?”Ia mengangguk.Jadi hitungannya bukan per kilo, tapi per tempat tujuan? Ah, mungkin sopirnya saja yang sesat. Dan aku malas berdebat. Yang penting sampai selamat.Pukul 7 lewat 10.  Adzan Magrib berkumandang. Apa adzan Isya, ya? Eh, tapi langit belum gelap. Ah, tampaknya aku masih superlinglung. Tapi aku sudah berhasil melewati hari pertamaku di Dammam. Eh, Al Khobar!***“AAAAAAAAAHHHH!”Sebuah lengkingan memaksa mimpi terampas paksa. Aku terjaga penuh emosi jiwa.Terdengar umpatan-umpatan dalam bahasa asing di sebelah kamar. Pintu dibanting. Suara air memenuhi ember. Oh, pasti ia mengalami tragedi air panas alias siksa dubur!Kulihat jarum jam baru bertengger di angka tiga. Tapi secercah sinar yang mencuri masuk lewat celah gorden tersingkap benar-benar terang! Wah, jangan-jangan jamku mati? Kuperiksa semua benda yang mengandung penunjuk waktu. Ah, benar, kok masih tengah malam. Musim panas sepertinya memang pawai matahari; siangnya lebih lama.  Tapi bukan berarti tidur harus sebentar, kan? Zzzzzzzzzzzzzz.“AAAAAAAAHHHH!” Penghuni sebelah kembali berteriak.Jadi curiga, sepertinya ini lebih dari sekadar dubur terluka.***Al Khobar 2009 Bangunan Al Rashid Mall lebih mirip penjara ketimbang tempat belanja; berbentuk kotak melebar ke samping. Display produk hanya ada di dalam gedung. Itu pun dengan model-model tanpa wajah─tertutupi karton hitam atau dibiarkan putih polos tanpa mata hidung mulut. Kasihan. Bahkan pocong saja ada mukanya.Pagi-pagi mall sudah dipenuhi rombongan manusia serba hitam. Yang terlihat hanya sepasang mata. Bahkan beberapanya pakai kaca mata hitam.Aku celingak-celinguk mencari keberadaan Sky Rabbit coffeeshop. Aku tanya satpam, katanya lewat gerbang lima. Tapi, kok, di mana-mana toko kosmetik?Aku akhirnya  bertanya kembali pada salah satu penjual untuk memastikan.”Kalo cabang Sky Rabbit yang besar masuk dari gate lima,” jawabnya sambil menunjuk arah yang entah ke mana. “Loh, ini gate lima kan?” Aku menunjuk gerbang terdekat.“Tujuh,” jawabnya sambil kembali menyusun lipstik di etalase.Ah, jelas-jelas tadi aku melihat angka lima di pintu gerbang! Aku berlari menuju gerbang dengan harapan penuh kemenangan. Tuh kan benar! Gate VSekonyong-konyong sebuah kenyataan menampar harapan sekaligus menghapus kemenangan. Perhatikan baik-baik. Gate V. Di samping kanan ada angka tujuh. Ya. Angka tujuh pada huruf arabik berbentuk ‘V’ yang diterjemahkan otakku sebagai lima di dalam ruang huruf romawi. Sudah. Noyor kepala sendirinya nanti saja! Aku berlari ke gerbang lima yang tandanya berbentuk menyerupai angka nol itu. Gerombolan anak muda mulai memadati gerbang. Pakaian para prianya beragam dan berwarna. Ada yang pakai gamis, ada yang pake kaus modis. Ada yang klimis, ada yang berkumis.Aah, aku mencium aroma kopi! Pasti Sky Rabbit ada di sekitar sini─yang ternyata bersebelahan dengan belasan coffeeshop lainnya! Wow, tampaknya area tempatku bekerja memang khusus perkongkowan. Seorang pria kebulean berkaus kerah putih tampak gelisah menatap jam tangan di belakang bar.“Hai! Saya Valiant dari Indonesia, panggil saja Vibi! Maaf terlambat, tadi sedikit tersesat!”“Okay, saya Yusuf; store manager. Simpan barang-barangmu di back room. Ganti kaus dan pakai topi. Cepat.”Secepat itu? Gak ada acara perkenalan apa dulu gitu? Atau ngopi-ngopi ganteng sambil makan kue tart?!Aku buru-buru menuju belakang bar yang ia tunjuk. Ternyata di balik bar ada ruangan kafe lagi yang tak kalah luas, dipenuhi gerombolan manusia serba hitam mengerumuni meja kasir.“Hey, siapa yang akan melayani kami? Sura! Yalla! Kami butuh kopi, cepat! ujar mereka saat aku melintas kilat. Aku memandangi suasana ruang belakang yang sempit dipenuhi tumpukan cucian gelas, piring dan entah benda apa lagi. Sementara rak-rak yang jaraknya hanya semeter berseberangan dengan bak pencucian, dijejali bermacam bahan baku, dus-dus baru dan usang. Aku mendadak sesak. Mana kausnya? Mana topinya? Si Store Manager itu kok mendiamkanku di ruangan sempit ini?“Hei, halo, new partner!” Dalam kebingungan menatap barang-barang, pundakku ditepuk seseorang beralis tebal dan berhidung mancung. Ia tersenyum lebar. Sungguh melegakan. “Saya Daud, tapi panggil saja Carlos.”Eh, jauh banget. Carlos-nya dapat dari mana, tuh?“Simpan dompetmu di laci ini.” Ia menunjuk salah satu laci hitam di sebelah komputer kemudian menyerahkan kaus hitam berkerah, celemek dan topi hitam. “Vibi! Cepat kemari! Ambil baki hitam di bawah wastafel dan lap biru, bersihkan kafe! Teriak si… eh… siapa tadi nama si Store Manager itu? Duh, terlalu banyak nama mirip yang harus kuhapal di sini. Barangkali ini perasaan orang asing saat harus menghapal nama-nama khas Indonesia dari Asep sampai Agus kali ya?“Cepat kau datangi Yusuf! Saat seperti ini, dia akan menggila!” ujar Carlos sambil menyodorkan baki hitam yang lebih cocok disebut baskom beserta lap biru yang lebih cocok dibilang hijau. Entah apa maksudnya ‘saat seperti ini’ itu’. Aku lantas melaju menuju ruang kafe depan. Dan... eh, buset! Belum pernah aku menyaksikan pengunjung coffee shop begitu brutal. Mereka memadati bar dengan antrean menyamping. Beberapa di antara mereka memukul-mukul meja seraya meminta dilayani dengan cepat. “Sura, sura! Yalla yalla!” Lalu mana meja yang mesti kubersihkan? Semua tampak kotor bergelimpangan piring dan gelas kotor. “Kau mulai dari meja terluar, lalu ke dalam, kemudian bersihkan pula ruangan di family section.“Ruangan yang mana itu?” tanyaku linglung.Yusuf menunjuk ruang kafe di balik ruangan yang aku lintasi tadi. Coffee shop ini terdiri dari dua ruangan kafe; single section─di mana kita berada sekarang─ dan family section di belakang,” Ia kemudian kembali melayani pelanggan yang semakin membludak.Aku mulai membersihkan tumpukan piring dan mengelap meja yang dipenuhi abu rokok. Padahal asbak bersih tersedia di atas meja. Pada buta atau menyebalkan, sih?“Hey, Ahmad! Ahmad!” teriak seorang bapak-bapak di meja seberang. Ia menjentikkan jari-jemarinya ke udara. Aku melihat ke belakang untuk memastikan apakah ia sedang memanggil burung. “Iya kamu! Baru ya? Bersihkan meja ini!” Ia menghardikku, menunjuk meja kotor di depannya. Baru saja aku mengangkat bakiku, terdengar pekikan Yusuf. Bukan berarti aku sudah hapal suaranya, tapi siapa lagi yang akan memanggilku seperti itu?“Ambil kain pel! Bersihkan lantai yang ketumpahan kopi ini! CEPAT!”Ya ampun. Aku harus ngepel juga?! Ini jadi barista apa babu? Ah, tak masalah. Tapi ternyata ada yang resah.“Hey, bersihkan dulu meja ini!!” Bapak yang memanggilku Ahmad tadi menunjuk meja dengan kasar. Aku pun berbalik badan.““Vibi! CEPAT! Yalla!!””Ya ampun, mana yang harus kudahulukan?! Ngomong-ngomong ini tidak ada rekan kerja lain ya?  Di toko sebesar dan sepenuh ini cuma ada tiga orang?“Yalla, Vibi!!!!”SABAR, TUAN!Dalam peluh membanjiri tubuh, aku bolak balik dari meja ke meja, ruang ke ruang, lantai ke lantai, bentakan ke bentakan. Aku tak menyangka kafein bisa membuat orang sebegitu agresifnya.  “Vibi! Cuci piring, cangkir, dan semua yang ada di wastafel!”Aku juga yang harus mengerjakannya?! Sungguh, bukannya tidak mau! Tapi bolehkah aku sedikit dibantu? Atau setidaknya bolehkah aku duduk sebentar saja? Atau... AKU INGIN TIDUR DI HOTEL SAJA!!Dan ini mungkin wastafel terburuk yang pernah aku lihat. Sepenuh-penuhnya tamu saat lebaran, tidak pernah melihat tumpukan piring bagai menara pisa. Asli miring. Terlalu miring malah! Hey, beberapa piring mulai bergeser perlahan. Aku segera mengambil tumpukan teratas. PRANG!Terlambat. Dua piring pecah. Untung suaranya kalah gaduh dengan orang-orang kesetanan minta kopi di luar. Secepat kilat, kubersihkan pecahan piring dan membuangnya ke tempat sampah. Saat pecahan terakhir terhempas masuk tempat sampah, seseorang masuk ruangan.”Itu dia orangnya!!”Tiba-tiba saja si Bapak yang memanggilku Ahmad tadi menunjuk-nunjukku dengan muka gusar. Kenapa lagi? Ada bulu ketek di meja?“Dia telah mencuri ponselku!!” bentaknya menggelegar dalam dua bahasa.   Suaranya bagai topan badai menghantam bumi damai. Aku sampai memastikan kalau yang dia tunjuk memang aku. Bukan tumpukan piring.“Apa benar, Vibi?!” Yusuf menghujamku dengan tatapan silet melukai batin. Alih-alih melindungi, sang Store Manager ini ikut mendorongku ke ujung tebing perfitnahan. Aku tentu saja menggeleng penuh amarah. “Kalau memang saya harus mencuri, ponsel bukan pilihan saya. Dan bila niat saya bekerja di sini adalah untuk mencuri, tentu gak akan saya lakukan di hari pertama.” Aku berusaha membela diri, terbata-bata menahan geram.“Banyak omong, geledah saja dia!” pinta si Bapak Pemfitnah. Yusuf pun segera memeriksa saku celana kiriku. ”Apakah ini ponsel Anda?!” Ia mengacungkan PDA yang dirampas dari saku kiriku.Si Bapak menggeleng sambil tetap menatapku bagai maling yang akan menemui ajal.Yusuf merogoh semua saku celanaku, lalu mendapatkan ponsel yang lain lagi. ”Aha, apakah ini milik Anda?”Si Bapak kembali menggeleng ─kali ini dengan tatapan heran seakan tak percaya aku punya benda-benda itu.“Tapi tolong dicek, apakah ponsel-ponsel itu memang miliknya?”  tanyanya sambil merampas salah satu ponsel.Panas hatiku semakin membara. Kok, tampaknya si Bapak Pemfitnah sangat bernafsu ingin membuktikan aku salah, ya? “Cek saja daftar kontak dan pesan-pesannya. Saya hapal isi pesan terakhir dan saya bisa menyebutkan setidaknya tiga puluh nama yang terdaftar dalam kontak ponsel saya.”Si Bapak Pemfitnah dan Yusuf benar-benar memeriksa keabsahan pemilik ponsel─yang tentu saja memang milikku. “Hei, kau kan tadi membawa tas? Ini tasmu, kan?” Yusuf meraih tas selempang yang tergantung di salah satu tiang rak.Jantungku tersentak. Bagaimana jika ada yang menaruh ponsel di tasku itu sebagai alat fitnah? Bukankah negeri ini memberikan hukuman potong tangan bagi pencuri? Yusuf menjelajahi isi tasku, setiap inci ia pastikan tidak ada benda mencurigakan. Kemudian ia menggeleng pertanda hasil nihil. Alhamdulillah. Ia lalu memanggil Daud yang ingin dipanggil Carlos itu, “Kau periksa seluruh isi ruangan, jika kau menemukan ponsel si bapak ini, segera laporkan. Dan kau Vibi, simpan seluruh ponselmu di loker!”Yusuf lalu mengajak si Bapak Pemfitnah keluar. Dia masih menatapku penuh curiga─ tatapan yang tampaknya tak akan dapat terlupakan seumur hidupku. Seumur-umur mendapat fitnah, inilah yang paling parah. Semaling-malingnya aku, benda yang pernah kucuri adalah  uang ayah dan rokok kakak.  Itu pun aku  ganti─bila tidak pura-pura lupa.Carlos menepuk bahuku. ”Tenang saja, saya percaya kamu bukan pencuri. Seandainya iya pun, aku tak peduli. Yuk, istirahat! Saatnya shalat, kita semua harus keluar. Kau kunci ruangan di family section. Tanyakan bila mereka ingin tinggal atau pergi!”“”Oh, aku pikir saat waktu shalat, mereka semua tidak boleh tinggal?””“Memang, tapi tergantung muttawa atau polisi syariah-nya. Peraturan di mal lebih longgar, meskipun kadang bila mereka interogasi mendadak semua orang harus keluar. Tapi bagi pegawai, begitu adzan terdengar sudah dilarang bekerja. Kalau melanggar, kita akan dapat surat peringatan. Toko bisa langsung ditutup. Dan kau bisa masuk penjara.”Wow, terdengar berlebihan, ya? Tapi jiwaku masih tersedak peristiwa difitnah sebagai maling tadi. “Masjid di mana, ya?”“Dekat, tinggal lurus dari pintu family section, mentok kemudian belok kanan.”Carlos mengantarku ke depan mesjid di dalam mal itu. “Kalau sudah beres, kau cepat kembali ke toko ya!” ujarnya sambil berbalik hilang, entah kemana. “Oh, maaf, kirain kamu juga shalat! Makasih udah nganter, ya!” ujarku melanjutkan langkah. “Aku sholat di tempat lain! Dagh!” lambai Carlos menyeringai, lalu menghilang di pengkolan. Aku membasuh wajah berharap bisa menghilangkan amarah dan nafsu dendam. Makian fitnah bapak tadi masih terngiang-ngiang. Jelas bukan kenangan indah di hari pertama bekerjaku ini.*** Selepas keluar masjid, kuperhatikan ada keganjilan di area mall: ternyata seluruh toko kecuali kafe dan restoran telah tutup dari pukul sebelas siang. Mereka buka lagi pukul empat sore. Dan uniknya, jam operasional ini berlaku buat semua layanan publik, termasuk bank dan rumah sakit. Ah, untungnya toilet umum buka 24 jam ya. Saat kembali menuju Sky Rabbit, beberapa pelanggan di sebuah meja menatapku dengan pandangan aneh. Salah satunya si Bapak Fitnah. Kutendang tong sampah yang persis berada di depan mejanya sampai mengenai wajahnya hingga dahi sobek. Darah muncrat ke segala arah. Tenang, itu hanya hayalan.“Vibi!”” teriak Yusuf dari balik bar. ”Kamu dari mana?”“Masjid.”“Jadi kamu ini muslim yang shalat?”Loh, pertanyaan semacam itu seumur-umur  baru kudengar sekarang.  “Kamu boleh shalat di masjid, tapi jangan terlalu lama seperti ini.”“Loh, dari selesai shalat berjamaah, saya langsung lari ke sini.”“Sudah, ambil baki dan bersihkan seluruh meja!”Aku semakin yakin, Yusuf bukanlah orang yang akan kupercaya. Aku segera membersihkan meja-meja yang sudah tak beraturan dengan berbagai benda dan sampah di atasnya. Gila, deh, entah bagaimana cara mereka meminum kopi; gelas bertelungkupan, piring terbalik, krim kue menceceri meja, kopi menggenangi sofa. Semakin sore pelanggan semakin menggila. Staminaku agak melemah. Hati cenat-cenut. Kaki minta diurut. Alasanku memilih pekerjaan ini karena aku pikir bisa santai─seperti yang aku lihat saat di Indonesia. Siapa yang menyangka ramainya akan rusuh bagai konser metal begini? Dan siapa yang mengira manajer tokonya bagai duri dalam kebab begitu?Piring gelas menggunung di atas baki hampir menutup sebagian wajahku. “Selamat datang di Saudi, Vibi!” teriak Yusuf dari balik bar. Heuh, jadi sebelum membabu seperti ini belum layak diselamatdatangi? Yusuf entah memberi semangat atau meledek, tapi yang pasti aku berharap ia tersambar geledek.***Sekitar pukul tiga sore, tiga orang karyawan berdatangan;  seorang Arab, dan dua orang Asia Tenggara─sepertiku. Hatiku sempat melonjak girang melihat wajah sebangsa setanah air. Tapi aku tak akan tertipu lagi. Mereka langsung berjibaku membantu kami melayani pelanggan. Salah seorang dari mereka meracik adonan bahan baku minuman dan whipped cream. “Hai, Vibi! Selamat datang di Sky Rabbit! Nama saya Anton!” salah satu dari mereka mengulurkan tangan kepadaku.“ANTON?! “Hai, apa kabar? Akhirnya bertemu sesama WNI juga!” jawabku dalam bahasa Indonesia sambil menyambut genggamannya ekstra hangat,“Oh, saya dari Filipina!” jawabnya tertawa renyah, ”Antonio.”... Keledai bodoh. Catat pelajaran berharga ini: tidak semua wajah dan NAMA berbau Indonesia itu pasti WNI.“Oh, maaf, saya masih baru dan linglung. Plus jetlag.” Alasan busuk.”Saya ngerti, kok. Hari ini sudah belajar apa saja?”“Mmmh... Apa mengepel, menyapu, dan mencuci piring termasuk kategori belajar?” tanyaku sambil nyengir.“Hah, Yusuf tidak mengajarimu sama sekali di bar? Kau tidak mencoba membuat kopi atau lainnya?”Yusuf mengajariku bagaimana memupuk dendam secepat kilat. Tapi ah, belum saatnya curhat. Aku menggeleng.”Oh, pasti dari pagi pengunjung sudah penuh ya? Nanti kalo kita satu shift, saya janji bakal ngajarin kamu banyak hal. Atau ada yang ingin kamu tanyakan sekarang?”Banyak! Tapi yang sangat darurat adalah, “Kalo mau minum, di mana ya?”“Apa? Yusuf atau Carlos gak ngasih minum sama sekali? Kamu berhak dapat dua minuman setiap hari! Kamu mau apa?  Ice blended? Caramel Macchiato?”“Oooh, air putih saja.”“Bahkan air putih pun kau tidak tahu?!””Tadi saking hausnya saya sempet minum air mineral bekas pelanggan, sih,” jawabku tertawa getir. “Kau minum air punya pelanggan? Itu tidak diizinkan, Vibi!” suara Yusuf menyambar pembicaraan kami. “Hey, ini hari pertamanya, berikan sedikit kelonggaran!” Anton membelaku. Saat itu aku yakin telah menemukan orang pertama yang bisa kupercaya. Antonio adalah store supervisor─di bawah pengawasan Yusuf. Dan ternyata, dari keterangan Anton, Yusuf adalah asisten store manager karena di atas Yusuf ada store manager, namanya Alfredo. Dia masih cuti mudik ke Manila. Dua minggu lagi akan kembali ke Arab Saudi. Ooh, semakin banyak nama yang harus kuhapal; nama-nama nabi dan nama-nama aktor latin.***   keBAB 4: SERBUAN PASIRHari pembantaian telah usai. Antonio berpesan agar aku lebih siap menghadapi pelanggan keesokan hari yang kabarnya akan jauh lebih mengganas. Ternyata libur akhir pekan di Arab Saudi dimulai hari Rabu sore dan berakhir Jumat malam. Pantas saja, ramainya tak terkira.  Aku tertatih-tatih di sebuah jalan kecil menuju rumah sementaraku itu—hotel Al Mawasem. yang untungnya hanya berjarak enam ratus meter. Akibat kaki pegal dan badan gatal, perjalanan singkat itu terasa bagai enam kilometer. Orang-orang yang melihat pasti menyangka aku baru dirajam orang sekampung.Sebuah pintu kaca rumah yang kulewati memantulkan bayangan asing. Aku terkesiap lihat diri sendiri; kok jelek amat?! Bentuk sepatu tak keruan. Rambut lepek penuh hinaan. Wajah kuyu kehitaman. Ketiak? Tak perlu dideskripsikan!Angin sore panas sesekali membawa butiran pasir menghunjam tubuh dan mengelabui pandanganku. Sebuah mobil sedan sekonyong-konyong menghentikan lajunya tepat disampingku. Aku mengira dia akan belok menuju rumahnya. Aku pun berhenti melangkah. Tiba-tiba saja roda mobil berputar cepat di tempat, menindas pasir hingga berhamburan kasar ke arahku. Seketika aku sesak napas, mata kelilipan debu, kulit terasa tergores-gores.  Terdengar tawa membahana dari dalam mobil sambil meneriakkan kata-kata dalam bahasa Arab. Dari intonasinya, bisa kupastikan bukan kata-kata cinta. Apalagi doa. Puas menertawakanku, ia kembali melaju.Pasir itu kini terasa menelisik tenggorok hingga aku terbatuk-batuk. Tangan kiri sibuk memijit leher, tangan kanan mengucek mata. Rasanya aku butuh tangan ketiga untuk menggaruk punggung. Ada bulir-bulir pasir menelusup ke dalam kaosku.Tiba-tiba ada tepukan halus di pundak kiriku. “Assalamualaikum, Habibi!”Terkesiap, aku melirik dengan sebelah mata masih kelilipan, tanganku mengepal. Dalam situasi kesal seperti ini, aku bisa menghantam siapa saja, melahap apa saja. Maklum, lapar berat. “Jangan khawatir, saya ingin menolongmu!” Ia memberiku lap basah dan jus dalam gelas plastik. “Lain kali jangan berjalan terlalu di tengah. Banyak pengendara gila di sini.”Lambat laut penglihatanku kembali jernih. Kini aku bisa melihat jelas si pemilik suara berhati emas ini. Pemuda tegap itu sekilas mirip Kanye West. “Kamu tinggal di mana?”“Di Al Mawasem. Tuh, di depan.” Aku menunjuk neon sign terdekat dari arah kami berdiri. “Terima kasih atas bantuan ini, saya hutang budi padamu!” Kataku sambil menyedot jus mangga yang rasanya begitu menentramkan jiwa.“Ah, tidak perlu repot. Berbuat baik bukan untuk dijadikan piutang.” Ia tersenyum ramah sambil memamerkan deretan gigi putih rapinya. “Kamu mau beristirahat di tempat kerja saya? Ada makanan kalau kamu lapar?” Ia menunjuk hotel tepat di sebelah kami. Oh, rupanya ia tetanggaku.Aku menggeleng. Mungkin kalo tawarannya boleh menumpang mandi di jacuzi, aku akan mengiyakan. Aku pamit seraya mengucapkan terima kasih sekali lagi. Kekesalan perlahan memudar. Terkadang bertemu orang baik itu perlu dijahati dulu, ya?***Setelah terbasuh air panas dan bersentuhan dengan bantal, semua anggota tubuh semakin terasa pegal. Bahkan untuk mengunyah roti pun aku tanpa daya. Tiba-tiba merindu nasi. Telor ceplok goreng.  Sambal bawang. Sayang, mengingat tadi di jalur pulang tidak tampak satu pun kios masakan padang. Atau kios kebab─secara ini Arab. Pasti di Al Rashid Mall ada lah ya? Besok sepulang kerja aku akan survei. Itu pun kalo masih ada tenaga.Sebuah SMS bertengger di layar ponsel; dari Ibu: Gimana hari pertama kerja? Orangnya baik-baik gak? Setelah berpikir sesaat, aku menjawab: Menakjubkan, orang-orangnya unik. Ya, kapan lagi dapat pengalaman menakjubkan dituduh maling dan diserbu pasir? Ah, semoga besok lebih baik. Baik harinya, baik orang-orangnya.Baik, aku tidur! ***Pukul 05.07, kepalaku bergetar hebat akibat vibrasi ponsel yang menjalar di atas kasur. Ternyata ada telepon dari Yusuf, “Hey, Man. Hari ini datanglah lebih awal. Kau turunkan kursi di atas meja, atur, bersihkan. Ambil asbak di lemari bar sebelah pintu, taruh di meja yang berada di luar. Sudah jelas?”Tentu tidak! Bahkan di saat baru bangun seperti ini, menyebutkan nama lengkapku saja sudah prestasi hebat. Aku minta Yusuf mengulangi racauan amanatnya sekali lagi. Gak bisa kirim SMS saja ya?Mendengar bacotan suara Yusuf membuatku merindu terbangun oleh kokokan ayam.   ***Tepat pukul tujuh pagi, aku sudah bergentayangan di Sky Rabbit. Kontras dengan pemandangan kemarin, mal sangat hening dan bening. Terlihat hanya ada seorang sekuriti dan tiga ekor nyamuk. Kursi-kursi tersimpan di atas meja, seakan memohonku untuk segera menurunkannya. Berbeda dengan family section, bagian single di Sky Rabbit ini tak berpintu. Semua properti semacam merchandise pun raib dari rak pajang. Berarti Antonio dan geng shift malam menyembunyikan di dalam ruang family section. Ribet juga ya mereka saat closing time? Eh, bentar... ini berarti nanti aku pun harus menyusun semua mug, tumbler, dan berbagai kemasan biji kopi itu kembali ke rak pajang, dong? Ya sudah. Berarti sama-sama ribet. Heuh.Saat asbak terakhir terpampang di atas meja, masih belum ada tanda-tanda peradaban. Setengah jam, satu jam, sampai pukul sepuluh, perasaan mulai tidak enak. Kenapa coffeeshop sebelah pun belum ada yang buka? Aku menelepon Yusuf. Tiga kali menunggu. Lima kali masuk kotak pesan. Ia mematikan ponselnya. Cuih.Aku menelepon Antonio. “Ya, Vibi? ... Kamu di toko? Sepagi ini?! Yusuf gak ngasih tahu kalo hari Jumat itu kita buka pukul 1 siang?!”CROT! Seandainya saat itu aku punya bisul, pasti sudah pecah semua. ”DIA TIDAK BILANG!” Aku tak bisa menahan kemarahan. Sayang salah korban. “Baiklah, aku mau kembali saja ke hotel,” buru-buru kurendahkan nada suara. “Boleh saja, tapi apa nggak tanggung? Pukul sebelas kamu harus standby lagi buat menyiapkan segala merchandise dan tetek bengeknya. Saran saya, sih, lebih baik tunggu Yusuf datang sampai ia membuka kunci pintu family section.”Terselip perasaan ingin meledak, menghancurkan meja kursi sampai luluh-lantak. Tapi atas nama kecerdasan emosi, kuputuskan saja rebahan di sofa. Tidur sesaat menunggu kedatangan si Bos sesat. Pukul sebelas lewat dua puluh menit, toko-toko sebelah mulai berbenah. Aku semakin tidak betah. Kembali kupijit nomor Yusuf. Aha! Terdengar nada sambungan. “Vibi, saya sedikit terlambat. Bertahanlah di sana!”“Saya sudah bertahan dari pukul tujuh, kok,” aku tak bisa menahan diri untuk tidak ketus.“Loh, siapa suruh datang sepagi itu? Jumat itu kita buka habis shalat Jum’at.”“Ya, saya berharap Anda memberitahu saya sejak awal,” aku mencoba berbicara setenang mungkin.“Ya kamu harusnya lebih banyak bertanya!”“Anda sebaiknya memberikan saya lebih banyak informasi.” Emosiku mulai tak terbendung.Terdengar ocehan Yusuf yang tidak dapat kumengerti. Cara bicaranya seperti kumur-kumur air comberan.“Saya pamit shalat Jumat,” ujarku siap-siap mematikan ponsel.“Berapa lama waktu yang dibutuhkan shalat Jumat? Kau harus standby! Tunggu saya datang!”Hah? Terasa ganjil bila tinggal di negara ini tak tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk shalat Jumat. Bahkan temanku yang seorang atheis saja tahu jumlah rakaatnya. Aroma busuk mulai tercium. Dan itu bukan datang dari ketiakku.12.15.12.45.Belum ada yang datang juga? Bahkan kalau tadi shalat Jumat plus shalat sunat dan mengaji pun masih keburu, loh!Terdengar langkah kaki berlari, Yusuf segera membuka pintu. ”Ayo kita bereskan, cepat!”Sudah dia yang terlambat, aku tak boleh sholat, dia yang ingin serba cepat. Hebat! Dua orang pelanggan bersorban mulai memesan. Ya, pesta pembantaian resmi dibuka, dimulai dari menggeser rak dorong berisi barang pecah belah. Sejenak kulirik harga dan kukalikan jumlahnya, bersiap-siap kalau tiba-tiba rak terguling dan aku harus mengganti semuanya. Na 'udzubillah!Lalu kususun kemasan biji kopi sekenanya di atas rak bertingkat. Aku yakin ada rumus untuk menyusun merchandise ini. Tapi lupakanlah, secara minim informasi dan ingin serbacepat, kuatur saja sekenanya.“Ahmad!”Panggilan yang begitu menggemparkan jiwa! Pasti itu suara yang telah menuduhku maling itu! Kulirik si pemanggil dengan tatapan buldozer. Eh, ternyata bukan! Mengapa mereka memanggilku Ahmed? Atau Ahmad? Mamad? Sepertinya ini julukan mas, kang, atau bang di sini.Lalu datanglah rekan barista bertampang Jeremy Thomas dengan mimik seperti menahan birahi. Ia segera mengisi laci kasir dengan uang, mulai melayani pelanggan, kemudian membuatku heran, Vibi, buatkan dua grande cappucino for to go!”Aku segera berlari ke meja bar, memperhatikan mesin kopi yang tampak bagai ruang kendali pesawat─penuh panel dengan beberapa tongkat pendek menjulur keluar.“Ayo, cepat! Mereka menunggu!”“Gimana caranya?” Tanyaku bingung.Si Jeremy melotot dengan pandangan penuh hujatan. “Hei, saya belum pernah diajarkan cara pakainya,” Aku jawab pandangan hujatnya itu.Sambil mendengus, ia segera menarik salah satu tongkat yang ujungnya mempunyai semacam mangkuk kecil, mengisinya dengan bubuk kopi melalui alat peggiling. Kemudian ia memasukkan kembali tongkat itu ke slotnya, memijit salah satu tombol yang membuat mesin berbunyi bagai robot memutar badan. Lalu keluarlah cairan hitam pekat dari saringan mangkuk kecil itu; membanjiri gelas kecil di bawahnya. Oh, ini pasti espresso.Ia lalu menuangkan susu di atas pitcher, menenggelamkan sebuah pipa logam pipih yang nangkring di pinggir mesin. Si Jeremy memutar knop dan terdengarlah bunyi mendesis. Ooo, alat pemanas susu! Ia menaik-turunkan pitcher sedemikian rupa sehingga bunyi desisnya semakin eksis. Ia lalu mengaduk susu, menuangkannya bersama secangkir espresso ke dalam mug. “Cappucino saghir, jayes! Tall cappucino, ready!” Dia memergokiku sedang mengamatinya. “Mau coba?”“Tentu!” Aku segera mengambil tongkat bermangkuk itu. Si Jeremy ngibrit ke kasir. Loh, gak diawasi, nih? Ajaib sekali orang-orang ini. Ibarat belajar menyelam, langsung dicemplungkan ke laut. Ibarat belajar terjun payung, langsung didorong paksa terjun ke udara bebas. Semoga aku tidak tewas.Aku tiru semua gerakan Si Jeremy satu per satu. Sampai pada langkah espresso tidak ada masalah. Lali kuisi pitcher dengan susu, kuputar knop. Ah, semua tampak mudah! Ternyata susu membeludak! BAH! Karena panik, segera kuturunkan pitcher, keadaan semakin parah! Batang pipih yang masih mengeluarkan uap panas itu memuncratkan sisa-sisa susu yang tertinggal ke segala arah!  Si Jeremy berlari memutar knop, aku otomatis meraih lap biru untuk membersihkan mesin. “Hei, itu lap kotor! Pake lap putih khusus ini! Elif air ab tizak!” Tatapan horny ala si Jeremy berubah horor. Ngomong-ngomong dia ujungnya ngomong apa, sih?“Vibi!” Sekonyong-konyong Carlos mengajakku ber-high five dari balik pintu family section. Dengan topi miring kanan dan gaya berjalan bagai melambung, terlihat sekali ia sedang bergaya ala rapper. “What’s up, yo!” Aku pun menyambutnya dengan gaya hip hop minta distop. “Kamu tampak berantakan!” Carlos memakai celemek dan mulai mengerjakan pesanan-pesanan kopi yang mulai berderet menumpuk di atas mesin espresso. Setiap ada pesanan baru, si Jeremy menandai sebuah kertas kecil dan menempelkannya pada cangkir atau gelas kertas─sesuai pesanan.Aku ingin mengadu, tapi itu bukan gayaku. Hobiku balas dendam. Nantikan!“Kamu bisa bahasa Arab?” tanya Carlos.“Paling Assalamu’alaikum dan Alhamdulillah,” jawabku seraya tertawa kecil. Sebelum merantau ke Arab Saudi, aku sedikit-sedikit mempelajari bahasa resmi di lebih dua puluh negara ini. Yang paling kuhapal, tentu saja beberapa kata cikal bakal bahasa Inggris semacam magazine, candy, coffee. Juga bahasa Indonesia seperti kuliyah, malum, mungkin... dan alamakjaaan. Eh, sepertinya yang terakhir itu ngawur ya. “Bahasa Arab gak seribet Inggris, tenses-nya 'cuma' ada 2; masa lampau dan masa kini,” ucap Carlos sambil menyimpan barang-barangnya di lemari.Ya, sih, tapi yang bikin puyeng selain ada spesifikasi gender seperti ustad dan ustadzah, juga ada spesial pronoun; yaitu dual (selain singural dan plural); untuk menunjukkan sesuatu yang jumlahnya dua buah. TOK! Tidak lebih tidak kurang. Bunyinya mirip-mirip lagi. Kepeleset dikit bisa kena cubit. Contohnya:Mereka (laki): humMereka (perempuan): hunnaMereka berdua (dua-duanya laki atau dua-duanya perempuan) : humaaKalo mereka berdua, satu laki satu wanita bukan muhrim : haram. Hehe, tentu ini bohong.“Wah, tampaknya kamu sudah tau dasar-dasar bahasa Arab?” Carlos berbinar-binar mendengar aku berceracau kacau. “Kebetulan cuma itu saja yang saya baca di internet,” jawabku jujur. Tiba-tiba saja lantai berdebam, kaca ruangan bergetar hebat. Waduh kenapa, nih? Apa aku salah ngomong?! Kok tiba-tiba terasa gempa?!*** keBAB 5: BAKU HANTAMEntah karung beras atau bantal gajah─benda-benda berbalut kain putih itu jumpalitan-guling-gulingan di lantai mal! Dan… dan… ternyata benda itu berkaki-bertangan- juga berkepala! Oh, mereka manusia! Maaf aku sudah body shaming! Badanku mirip-mirip badan mereka juga, kok!Mereka yang bergulingan kemudian bangkit, lalu mendorong kawanan lain hingga kembali jatuh berdebam. Cara mereka berkelahi agak aneh. Saling dorong dan tendang, beberapa di antaranya memakai ikat hitam sorbannya sebagai alat pecut. Apa jadinya bila mereka terpental sampai ke toko ini? Dipastikan akan ada banyak merchandise pecah! Eh, tapi bukan aku juga yang akan ganti kan ya? Gak apa-apa, deh. Ayo ayo, berantem sampai sini, dong! Aku jadi menyemangati mereka saling baku hantam. Mmh, atau mungkin tepatnya saling mental berdentam. Sayang, tak lama ketika adrenalin semakin mengalir deras, segerombolan sekuriti memisahkan mereka. Wajah-wajah yang sebelumnya bermimik sok gahar tampak memudar kala dikepung pasukan lelaki kekar. “Kabayan? Kabayan!” Seseorang mencolak-colek punggungku. Aku otomatis menoleh dan tersenyum. “Kabayan? Nyi iteung?!” tanyaku semringah mendengarkan seseorang menyebutkan karakter khas nusantara di negeri asing. “Mafi kabayan?” Si pencolek kebingungan.Deja vu. aku pernah mendengar rentetan kata ini di… di mana ya?Tapi yang pasti aku semakin yakin, kabayan yang dimaksud mereka bukan tokoh rekaan dari budaya Sunda itu. “Ooh, maaf. Saya kira kamu Filipina! Wajahmu Filipina sekali.” Si pemuda yang mencolek itu meminta maaf sambil menangkupkan kedua belah tangannya.Wajahmu juga Indonesia sekali, ah. “Gak apa-apa. Ngomong-ngomong kabayan itu apa?”“Kabayan itu sebutan kami untuk sesama warga Filipina.”Oalah, jadi kabayan itu panggilan untuk teman sebangsa setanah air, ya. Tiba-tiba aku merasa sepi. Huh. Aku pun menceritakan keberadaan karakter Kabayan agar ia memahami kenapa tadi aku menyapa balik dengan ‘Nyi Iteung’. Mata si Pencolek melirik kiri kanan. Ah, dia tidak tertarik ceritaku. Aku berhenti berkicau.“Memang banyak kesamaan bahasa Tagalog dan Indonesia dalam nada, tapi beda arti,” ucapnya. Oh, ternyata dia menyimak! “Apa saja contohnya?” Aku menyiapkan indra pendengaran sebaik mungkin. “Nanti kau akan temukan sendiri. Sampai nanti,” ujarnya melengos. Loh? Kirain mau ngobrol panjang! Banyak orang aneh ya di toko ini?   Aku kembali pada kerjaanku yang kalang kabut itu. Aku berasa seperti seterikaan mabuk. Bolak-balik ke sana kemari tak tentu arah─tergantung siapa yang marah. Sepertinya orang-orang di sini bersumbu pendek, ya? Apa karena tampangnya saja yang selalu tampak jutek? Atau karena nadanya yang menggelegar?“Hey, kau, kemarilah ke sini!!” Tuh, kan. Sepasang suami istri sebaya memelototiku sambil menunjuk sebuah meja yang kotor. Tangan sebelahnya menjentik-jentikkan jari di atas kepala; gerakan yang  seolah-olah sedang memanggil burung itu. Apa dia pikir aku perkutut?Yang lebih mengherankan, persis di sebelah mereka ada meja yang baru saja kubersihkan sampai bersinar penuh kemilau. Kenapa gak duduk di situ dulu, sih? Bentuk dan kursinya sama saja.  “Saya akan segera kembali,” jawabku sambil melirik ke baskom penuh cucian yang sedang kuangkat; dengan maksud memberi kode: ‘Woi, gak lihat saya lagi sibuk berat?!’“Bersihkan sekarang!!”Bangkai, kodeku gagal.Aku menaruh baskom di kursi sebelahnya, membersihkan meja dengan gestur ‘Apa kata lo aja, dah.’“Kami ini dari Riyadh!” ujar si suami sambil berkacak pinggang.“Lalu?” tanyaku bingung. Memangnya kenapa kalau dari Riyadh? Apakah aku harus menggosok badannya juga? Ia lalu  berceracau dalam bahasa Arab sepanjang aku membersihkan meja. Setelah selesai aku melengos sambil melambai-lambaikan tangan pertanda ‘maaf ya nggak ngerti’.Sampai aku tiba di ruang belakang pun, kicauannya masih terdengar nyaring. “Kenapa dia?” tanya Yusuf. Aku mengangkat bahuku, “Saya gak ngerti omongannya.”“Dan kau meninggalkan mereka?!” hardik Yusuf sambil berlalu menuju meja yang tadi kutinggalkan.  Aku menunduk. Bukan malu. Bukan sedih. Sedikit pedih. Hati berkecamuk ingin mengamuk. Tapi segera kuterjang perasaan lemah ini. Jika sampai kupelihara amarah ini, sama saja dengan mereka tadi yang membesar-besarkan masalah.”What's up, my brother?” Antonio memergokiku sedang menutup erat mata sambil mengepalkan tangan, sedang menahan lelah dan berusaha mengusir marah.“Hey, Antonio, apa kabar?” Melihat ia datang, amarah sedikit mereda. Kulemaskan kepalan jemariku.“Tenang saja, seperti saya bilang kemarin, besok kita akan lebih santai! Pelanggan cenderung sepi. Dan saya bisa mengajarkanmu banyak hal,” rupanya ia memahami apa yang sedang kurasakan.”Oh gitu. Tapi kalau sempat, mungkin kamu bisa mengajari saya sambil jalan. Ajarkan saya teori apa saja, saya bisa mendengarkan sambil cuci piring.”“Baiklah, saya coba sambil bikin laporan ya!” Antonio mengangguk-angguk. Aku mulai memisahkan tumpukan piring dan cangkir agar lebih enak dicuci, sementara Antonio mengutak-atik komputer.“Jadi kita punya beberapa bagian di kafe ini yang harus kau hapal. Ini untuk memudahkanmu dalam pembagian pekerjaan,” Antonio memulai sesi pengajarannya.“Baiklah. Apa saja, tuh?” tanyaku sambil mulai membasuh cangkir satu per satu.“Yang terpenting kafe─seperti yang kamu lihat ada dua bagian; family dan single section. Di sinilah kita harus memusatkan perhatian karena tujuan utama kita adalah memuaskan pelanggan─yang tentunya tersebar di bagian ini.”“Jadi kalo kamu dan pelanggan tiba-tiba kompak sekarat, tentu saya harus menyelamatkan pelanggan terlebih dahulu, kan?” tanyaku─tentu bercanda.”Belum ada kasus seperti itu. Semoga gak kejadian, ya,” Antonio tertawa hingga kepalanya mendongak. “Ada retail, tempat merchandise,  lalu ada bar, tempat kita bekerja menyiapkan segala pemesanan pelanggan. Di dalam area bar juga ada tempat kasir, expediter untuk pastry. Juga ada cold beverage untuk membuat minuman dingin, dan back up─tempat kita berada sekarang.“Jadi dapur berkomputer ini back room atau back up?” Antonio kembali tertawa, padahal aku benar-benar bertanya.“Vibi! Obrolan kami terganggu panggilan nyaring dari ruangan sebelah. “Sebentar, ada panggilan neraka,” ujarku sambil mengeringkan tangan. Antonio berhenti tertawa, padahal aku bercanda.Benar saja, semakin malam semakin sesak. Untungnya aku diperbolehkan Yusuf pulang satu jam lebih awal─itu pun atas anjuran Antonio. Aku berlari ke food court yang terletak hanya sepuluh meter dari kafe. Ramainya gak kalah gila, dipenuhi para manusia berkacamata hitam, padahal dalam ruangan, sudah malam pula. Mungkin lagi pada sakit mata.Aku memindai gerai makanan satu per satu, rata-rata menyajikan menu khas Iran, Syria dan Lebanon. Semuanya menguarkan aroma daging yang membuat nafsuku terpancing.Aku ambil semua daftar menu untuk kupelajari. Rata-rata semua menawarkan kebab dengan berbagai nama berbeda─salah satunya shawarma. Ada beberapa menu dengan foto makanan yang sama tertulis berbeda; tabula, tabouleh, taboula. Mungkin ini tergantung aksen masing-masing kali, ya? Seperti orang Mesir yang membunyikan Z pada huruf T seperti ‘zengkyu’ (thank you)  atau ‘one to zree’ (three).Ah, daripada sok tahu, aku tanya-tanya sama abang dari Restoran Lebanon yang bertampang sangat India itu. “Halo! Bedanya kebab dan shawarma apa ya?”Dia geleng-geleng. “Eh, jadi gak ada bedanya?” Aku ikut geleng-geleng.Geleng-gelengnya semakin kencang. Dia pun menghilang. Tergantikan orang Arab yang tampak kebulean, kornea matanya hijau. Mungkin ini yang punyanya, orang Lebanon.”Maaf, dia karyawan baru, masih belum bisa bahasa Inggris. Jadi kebab ini isi kambing. Shawarma isi sapi atau ayam.”Oh, jadi selama ini di Indonesia kalau ada kebab rasa ayam itu sedikit sesat dong, ya?“Tapi kami juga jual shawarma isi kambing, kok,” tambahnya dengan senyum jahil.LOH?!! “Sebenernya begini,” ia memasang wajah serius, “kebab itu sebutan daging yang dibakar memakai tusukan besi ini,” tangannya menunjuk segumpal daging yang berputar perlahan. “Salah satu variasi kebab adalah memakai roti pita dengan sayuran dan saus; diberi nama shawarma.”Aku pun mengambil sebuah roti pita yang tertumpuk di atas piring. Bentuknya bundar dan tipis. Kubagi menjadi dua bagian. Ternyata dalamnya berongga, mirip saku Dora Emon.  “Eh, maaf, saya akan beli roti ini, kok!” Aku merasa bersalah karena seenaknya saja mengambil dan membelah roti yang belum jadi hak milik.”Tak apa, itu gratis bagi konsumen kami!”Wow, hebat! Eh, dia bilang ‘bagi konsumen kami’. Ini adalah petunjuk halus bahwa aku memang harus beli sesuatu. Ha!Aku menanyakan semua jenis menu yang tersaji dalam etalase. Korban pertama adalah saus hummus yang tampak seperti bumbu sate berwarna cokelat muda kekuningan. “Bahan utama hummus adalah kacang buncis, bawang putih, jus lemon, minyak zaitun, garam, ketumbar, dan saos tahini.” Wah, dia tampak sabar sekali menjawab setiap pertanyaanku. Aku lalu menunjuk sayuran hijau yang dipotong kecil-kecil. ”Kalau ini taboula─potongan daun peterseli dicampur potongan tomat, jus jeruk, bawang ijo, minyak zaitun dan garam.”Glek. Mendengar penjelasan bahan-bahannya itu membuatku makin lapar.“Kami punya paket shawarma combo, lengkap dengan hummus dan taboula ini. Mau coba?”Aku langsung mengangguk. “Total harga 17 riyal. Dan itu termasuk minuman ringan dan dua buah roti pita hangat.” Mantap! Aku memilih duduk di kursi terdekat. Baru saja pantat mendarat, terdengar teriakan gawat. “Apakah kamu datang bersama keluargamu? Ini family section! Kamu harusnya duduk sebelah sana,” ujar salah seorang Bapak di sebelah meja tanpa menunjuk lebih lanjut di mana 'yang ‘sebelah sana'’ itu. Ah, lupa. Rupanya untuk food court pun ada pemisahan ya? Aku berjalan ke area yang terdapat tanda ‘single’. Eh, tampak sama juga. Ada lelaki duduk sendirian, ada juga dua perempuan di meja seberangnya. Mungkin mereka menunggu muhrim masing-masing. Eh bentar, jika ini single section mestinya tidak ada perempuan kan?Ternyata pemisahan ruangan ini tidak semudah membedakan wc jongkok dan wc duduk, ya? Sekilas family section ini khusus yang berkeluarga dan single section untuk yang masih jomblo. Itu memang benar, tapi bisa salah banget.Euh, mungkin family section buat yang datang bareng keluarga dan single section buat yang datang sendiri? Ini juga benar sekali, tapi masih bisa salah!Sepertinya yang benar dan semoga tak mungkin salah adalah; family section khusus perempuan─baik yang datang sendiri, bergerombol dengan gengnya yang tentu sama-sama perempuan atau yang datang bareng suami, anak atau sanak saudaranya. Sementara single section khusus buat laki-laki. Titik. Tanda seru. Tanda tanya. Jadi kalau seorang bapak nongkrong dengan anak laki-laki, ya tetep mesti ke single section. Padahal mereka kan termasuk golongan family, ya?Duh, mau makan saja banyak mikir. Aku segera menduduki kursi kosong, khawatir bila shawarma combo-ku ini mendingin!Aku raih sendok untuk mencicipi humus. Hatiku berdebar. Rasanya seperti ciuman pertama. Uhm... rasanya tidak sekaya yang aku duga─agak hambar. Jadi ingin membubuhkan sejumput garam di atas hummus. Teksturnya juga terasa kasar di lidahku. Genangan minyak zaitun kuaduk merata, berharap bisa membuat saus lebih lembut.  Lalu aku beralih pada taboula. Rasanya segar sedikit asam─seperti yang terbayangkan. Tapi sejujurnya lidah ini berharap lebih.Aku merobek seperempat roti pita, mengisinya dengan taboula. Lalu aku cocolkan ke hummus. Aku masukkan perlahan ke dalam mulut hingga menyentuh lidahku. Ooooh, ternyata mereka lebih nikmat saat menjadi satu kesatuan! Ketiganya tampak bekerjasama memuaskan indera pengecapku.Aku jadi melupakan penganan utama shawarma dan segala letih penatku. Rasanya sangat syahdu... hingga terdengar suara yang mengganggu itu.“Vibi!”Ya ampun! Kenapa suara laknat itu mesti nongol juga di food court, sih! Ada apa lagi, Yusuf? Genteng mal ada yang bocor? Atau ada pelanggan kehilangan sarung? DAN AKU DITUDUH MALINGNYA?! Rupanya dendam masih menguasai hatiku.“Kau besok kena shift malam, masuk pukul setengah empat sore!”“Oh, bukan masalah.” Untunglah, ini sih kabar baik, berarti aku bisa tidur lebih lama! Dan aku bisa memulai misiku malam ini! Yusuf berlalu, aku kembali syahdu dengan pengananku.*** keBAB 6: PERMISI, MISI.Setelah kerja keras, alangkah nikmat berendam air hangat. Kecuali saat musim panas di Arab Saudi. Dengan udara menyengat seperti ini, nongkrong di kulkas pun aku sanggup. Sialnya aku lupa menyimpan air dalam ember. Akhirnya kunyalakan AC kamar sampai suhu terdingin, merekayasa tubuh agar rindu air panas.  Kamar hotelku cukup menyenangkan─selama ada TV, kulkas, dan AC, aku akan jarang mengeluh. Sebuah lukisan pemandangan sawah terpampang di dinding atas tempat tidur. Pemandangan ini menjadi terasa sangat mahal, mengingat kegersangan kota Alkhobar.Aku membereskan setumpuk pakaian. Ah, kaus untuk bekerja hanya diberi satu. Tentu sudah lepek dan bau. Aku sempat tanya di lobi tentang fasilitas laundry, sayangnya disambut geleng-geleng dan bahasa Arab. Entah memang tidak ada atau dia tidak mengerti bahasa Inggris. Dan aku terlalu lelah untuk menjelaskan dengan bahasa tarzan.Akhirnya aku nekat mencuci sendiri kaus kerjaku, lalu kuselipkan di kisi jendela. Saat kacanya kugeser sedikit saja, angin panas berebut masuk. Oh, bahkan angin pun ingin mendinginkan diri. Aku lalu membuat teh hijau hangat dengan termos yang dilengkapi pemanas air. Kuambil sebuah roti pita sisa makan semalam. Saat jemari menyentuh roti itu... loh? Kerasnya minta ampun! Apa ini roti yang sama aku makan tadi? Aku memastikan sekali lagi, mengendus-endus sampai membelah-belahnya hingga hancur. Baiklah, ini pelajaran berharga. Roti pita saat dingin berguna untuk menggampar orang menyebalkan, seperti Yusuf misalnya.Sudahlah, mari buka laptop saja. Aku sudah siap memulai misi utama kedatanganku ke Arab Saudi. Misi yang bahkan menurut teman-temanku sendiri terdengar berlebihan: “Elo ke Saudi, cuman buat nulis doang?Gitu rata-rata komentar awal mereka. Ya, gak sefrontal itu, sih─bukan ‘cuma buat nulis doang’. Iya, kuakui, semenjak menemukan kenikmatan dalam menulis sebagai sarana mengekspresikan jiwa sepenuh hati sekaligus melonggarkan himpitan batin, kadang terpikir hidupku ini memang ‘cuma nulis doang’. Tapi kan, menulis sambil mencari pengalaman baru juga—kali ini sebagai barista, dan tentu saja: jalan-jalan! Terus tulisan lo konsepnya mengenai apa? Bimbingan umroh dan haji?” Itu adalah ledekan teman-teman setelah mendengar keseriusan misiku datang ke Arab Saudi.  Aku meyakini, setiap negeri yang mempunyai kota suci, pasti lebih dari sekadar tempat beribadah’, kan? Itu yang ingin aku ketahui lebih lanjut, dari sudut pandang pekerja migran. Lagipula Arab Saudi bukan hanya Mekah, Madinah, atau Jeddah, toh?Lantas, aku merasa bersyukur tidak jadi ditempatkan di Jeddah, melainkan di kota Dammam, eh Alkhobar ini. Kota-kota yang tak pernah kudengar, alhasil tak akan terpikirkan untuk disinggahi. Berarti ini memang jalanku untuk mengenal lebih jauh negeri ini.Aku pun terlelap.Lah, kapan nulisnya ya?!*** “Aaaaaah!”Jangan keburu enek, karena kali ini bukan akibat semprotan air panas, tapi rasanya tetap membuat tubuh terbakar. Daerah mata kaki kananku terasa perih. Setiap terkena tekanan saat berjalan terasa ada pisau belati merobek otot. Aku sebelumnya memang pernah dipidana asam urat dengan hukuman seumur hidup. Tapi perih ini terasa berbeda. Iyalah, seingatku belum pernah berdiri sembilan jam hampir nonstop berhari-hari seperti sekarang ini. Moga-moga ini hanya masalah kebiasaan saja. Agak khawatir juga kalau belum apa-apa kaki sudah menderita seperti ini. Aku pun menenggak penghilang sakit andalanku, memakai kaus kerja yang terselip di jendela dan berjalan terseok-seok ke Al Rashid Mall. Baru jalan dua meter, buntelan keringatku sudah bisa memandikan kucing dua ekor. Rasanya sia-sia saja tadi mandi. Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di sampingku. Dengan segenap kekuatan aku berjalan cepat ke pinggir jalan karena teringat tragedi serangan pasir beberapa hari lalu. Jika ini terjadi sebelum kerja bakal jadi malapetaka dahsyat, masa harus mandi lagi? Nyuci kaus lagi? Kulirik sang  pengemudi, tampak kecewa karena aku tahu niat isengnya. Ia terdengar mengutukku lalu tetap melajukan mobilnya sambil sejenak menjalankan roda mobil di tempat demi  membuat badai pasir lokal. Aneh ya, sudah gagal iseng, malah marah-marah. Sepertinya mereka butuh hiburan sekali. Tontonan seorang pria Asia Tenggara sesak napas tergulung pasir tampaknya tayangan box office di sini. Begitu memasuki mal, aku mencari bangku untuk mengistirahatkan kakiku sejenak. Di depanku terdapat sebuah toko khusus gamis pria. Kemudian kuketahui kalau pakaian ini dinamakan thawb. Bentuknya sekilas menyerupai jubah yang dikenakan tokoh Neo dalam Matrix, hanya saja thawb ini berwarna putih.Di samping manekin ada ilustrasi kerudung khas pria Arab bernama ghutra bersama aksesori pendukungnya: taqiyah berupa peci putih sebagai 'ganjal'’ daleman kepala dan iqal; semacam tali hitam agar ghutra tidak kabur dari kepala.  Sebelumnya aku sempat mengira kalau pemakaian ghutra ini hanya untuk keperluan bergaya, ternyata salah besar. Ada fungsi lebih bermakna ketimbang sekadar penghias kepala. Pada saat panas sedang ganas-ganasnya, bagian atas depan ghutra─di atas jidat itu, bisa ditarik ke depan; berfungsi sebagai 'payung’ untuk melindung wajah terutama mata. Sementara bagian belakang ghutra dibiarkan menutupi leher belakang; mencegah sengatan matahari yang berlebihan. Bila badai pasir menyerang, ujung bawah depan ghutra diikat melintangi wajah menyerupai masker hidung dan mulut. Satu ghutra sejuta gaya!    Bila kuperhatikan, para pria ber-ghutra kala memasuki ruangan tertutup semacem mal akan mempunyai gaya masing-masing. Ada ghutra yang melilit-lilit sedemikian rupa menyerupai sorban,  ada yang sebelah ujungnya dibiarkan menjuntai ke depan dada layaknya ilustrasi gadis Bali. Ada pula yang bikin geli; mereka yang dikit-dikit mengibaskan ujung ghutra; persis teman-temanku yang berambut panjang saat asyik menggoda lewat kibasan rambutnya.    Eh, sepertinya aku terlalu lama beristirahat? Aku segera berdiri, namun kaki kembali terasa nyeri. Serba salah. Semakin lama istirahat semakin terasa ngilunya saat digerakkan kembali. Berarti pilihannya ada dua; bergerak terus, atau istirahat selamanya. Hiii, seram!***Untunglah shift malam tidak segahar shift pagi. Kerjanya terasa lebih santai; aku tak perlu menyiapkan kursi, bangku dan tak perlu sibuk mengatur merchandise. Semua tampak lancar menyenangkan.“Vibi, kau harus ganti tanggal kedaluwarsa semua produk ini, dari whip cream dan semua sirup,” Yusuf memberikanku kertas dan gunting. Oh, ternyata gak santai-santai amat. Aku memperhatikan kertas berkolom itu. Terdapat empat huruf. Sebelum aku mempertanyakan artinya, Yusuf keburu menghilang. NPETBah, ingin rasanya aku tambahkan huruf G dan E setelah N.“Hey, Brother! Ah, Antonio selalu datang di saat yang tepat! Ia melongok ke arah kertas yang kupegang. “Oh, kau sudah tahu cara mengisinya?” Akibat hanya melihat mulutku yang menganga bodoh, ia langsung mengajariku. “P adalah production date─tanggal berapa kita membuat adonan atau membuak produk, E untuk expired date─tanggal kedaluwarsa, T untuk time─jam berapa kita membuat ramuan ini. Contohnya, whip cream itu punya masa kedaluwarsa 24 jam. Jadi kita dahulukan pemakaian yang masa basinya satu atau dua hari. Lalu ada pula yang tahan dua hari seperti adonan saus cokelat, ada yang bulanan semacam botol sirup.Nah, kalo diajarin seperti ini, semua jadi tampak mudah, bukan? Berkat instruksi jelas, aku bisa bekerja lancar sampai tuntas. “Kau benar-benar pembelajar yang cepat, ya!” Puji Antonio. “Ah, ini sih gak ada apa-apanya dibanding…”,” eh, tadinya mau ngomong ‘gak ada apa-apa dibanding pekerjaanku zaman dulu, tapi nanti terdengar sombong lagi, “eh, maksudnya ini karena kamu ngajarinnya jelas dan enak, jadi saya cepat tanggap.” “Vibi, kemarilah!” Yusuf memintaku datang ke ruang belakang. Setiap terdengar suara Yusuf menyebutkan namaku, ototku secara otomatis mengencang; seperti terprogram untuk menyiapkan energi ekstra.  Dan entah kenapa Yusuf selalu memanggil di saat yang salah. Ibarat sedang asyik kencan dipelototin calon bapak mertua yang sengaja lewat.“Saya mengerti kamu pasti masih masa penyesuaian di Arab Saudi. Wah, ada apa ini, wajahnya kok serius amat? Apa ini masih ada hubungannya dengan pelanggan yang hilang ponsel lalu menuduhku itu?“Saya juga mengerti, saat ini suhu sedang panas-panasnya,” Yusuf mengangguk-angguk dengan mimik wajah sok bijak, macam adegan sinetron reliji.Hah, arah pembicaraannya mulai tak tertebak, tapi bisa dipastikan gak enak.“Tapi kamu harus sering-sering cuci badanmu. Coba pakailah deodoran berbentuk batang yang bisa kau beli di supermarket terdekat. Caranya oleskan di bawah ketiak kiri dan kanan.”HAH?! Dia mengajarkanku cara memakai deodoran? Yusuf memeragakan cara mengoleskan deodoran ke ketiak seakan aku makhluk terasing dari pulau terpencil yang baru datang ke peradaban modern. “Saya tahu cara memakai deodoran. Bau yang Anda cium ini datang dari baju yang tak kering. Silakan cium lagi baik-baik. Saya belum menemukan tempat mencuci dan menjemur yang layak. Mungkin masalah bau ini akan teratasi kalau Anda beri saya kaus satu lagi,” aku merepet dengan emosi membara. Selain menuduh maling, dia juga menuduhku bau ketiak. Entah mana yang lebih buruk. Egoku sungguh terluka.“Jatahmu hanya dua kaus,” Ia pun─seperti biasa─melengos. Eh, tapi balik lagi, ”Kamu ditunggu di single section bagian luar kanan. District Manager ingin berbicara denganmu.”Dia baru saja membunuh kepercayaan diriku, dan sekarang ingin aku menemui bos besar? Rasanya ingin segera membuka kaus saja. Yusuf mengantarku menuju keberadaan dua pria Arab kebulean bertubuh gempal yang sedang mengisap cerutu, duduk berdampingan dalam kursi yang jadi terlihat kecil. Sepertinya kehadiranku yang tidak kalah gempal ini akan membuat kursi semakin sesak.“Hai, kamu pasti Vibi. Saya Muhammad; District Manager Sky Rabbit dan ini Fadel Shaker; Regional Manager untuk Arab Saudi.” Mereka berdua memberiku kartu nama. Duh, sepertinya aku harus membuat silsilah kepemimpinan perusahaan ini, perasaan ada bos di atas bos yang gak habis-habis. Aku menjulurkan tangan perkenalan. Kuperhatikan hidung Muhammad kembang kempis.“Oh, maaf, pakaianku kurang kering, jadi bau gak sedap. Aku mandi dan pakai deodoran, kok,” ujarku setengah tertawa, disambut wajah dingin Yusuf.“Oh, baiklah. Yang jelas kamu tidak diperbolehkan memelihara jenggot dan kumis.”Aku otomatis meraba dagu dan pipiku. Perasaan yang tumbuh baru bintik-bintik benih bulunya saja. Dan ini tidak ada apa-apa dibanding Yusuf yang jelas-jelas berwajah bruntusan. Dan suasana ketidakadilan itu diperburuk oleh kedatangan si Jeremy yang memelihara jambang yang merambat lebat sampai jenggot dan bermuara di dada. Aku menunggu Muhammad menegur Jeremy, tapi yang keluar dari mulutnya hanya, “Hey, Ibrahim!Jadi karyawan gak boleh buluan kecuali bangsa Arab? Sayang, kali ini aku hanya protes dalam hati. Setelah terpidana bau ketiak, aku sudah tak punya reaksi lagi untuk diskriminasi bulu ini.“Anda adalah orang Indonesia pertama di perusahaan kami. Bisa dibilang ini adalah proyek percobaan kami. Bila kinerja Anda bagus, kami akan merekrut lebih banyak lagi pekerja dari negerimu,”” ujar Fadel yang sebelumnya lebih banyak diam.Tiba-tiba saja terasa ada beban mahadahsyat. Pencitraan negara ada di ketiak dan buluku.Oh, maafkan aku, Indonesia.Selama pembicaraan itu aku menahan kentut dengan hebatnya. Aku tidak ingin citra Indonesia jadi bau. ***Beberapa lembar kertas putih bertebaran di atas meja. Antonio menempelkan kertas-kertas kecil berpelekat di atasnya. “Sekarang kita akan belajar tentang kode minuman,” ujarnya dengan mata berbinar. Di kertas kecil stiker itu berisi beberapa kotak bertuliskan SIZE, DECAF, SHOTS, SYRUP, MILK, CUSTOM, DRINK. ”Kertas ini digunakan untuk mencatat pemesanan. Kebanyakan kode minuman adalah huruf pertama dari minuman tersebut. Ini juga berlaku untuk kode sirup. Misalnya saja, bila pelanggan ingin cappucino tall size ekstra vanila,” maka begini kodenya,” Antonio menulis huruf T pada kotak SIZE, V pada SYRUP dan C pada DRINK. ”Bila pelanggan ingin kopi tanpa cafein, contreng saja kotak DECAF. Untuk susu kita ada 3 pilihan, tanpa lemak berkode N, rendah lemak berkode 2 %.”“Kalau mereka minta full fat?” tanyaku penasaran.”Excuse me!” suara merdu seorang wanita membuyarkan percakapan kami. Tapi yang ia lakukan selanjutnya lebih mengagetkan. Perlahan, ia membuka cadarnya. Terlihatnya parasnya yang simetris, bibir tebal merekah, hidung bangir, dengan sorot mata menusuk kalbu. Ia berancang-ancang membuka kerudungnya. Loh, memangnya boleh ya? Aku jadi berdebar-debar. Tampaklah kilauan indah rambut cokelat kepirangan. Ia celingak-celinguk seperti mencari seseorang. Seperti tak puas membuat kami terpana, ia pun membuka abaya─jubah hitamnya yang ternyata menyerupai jaket sekolah sihir ala Harry Potter. Tersibaklah tubuh sintal terbalut gaun merah kemilau. Aku jadi takut salah tingkah. Rasanya seperti pertama kali melihat wujud seorang wanita tanpa jubah. Eh, tapi ini memang kali perdana aku melihat belahan dada dari seorang wanita bercadar. Aduh, maaf, aku segera mengalihkan pandangan.     “Hai, kamu baru ya?” Dia memergokiku sedang terperangah. Ooh, aku pun sontak menunduk, pura-pura sibuk, ah kacau. Aku akhirnya tertawa dan mengangguk. “Ya, saya baru, ini masih belajar,” jawabku sambil memamerkan kertas-kertas coretan. “Belajar yang baik ya, biar kamu  bisa membuatkan saya minuman ekstra nikmat,” ujarnya sambil mengedipkan mata dan mengibaskan rambut. Diakhiri dengan atraksi mencium udara. Ouuh!Di ruangan ini memang hanya ada kami bertiga, jadi dia bebas-bebas saja tanpa penutup aurat. Tapi kan bisa saja pelanggan lain datang sewaktu-waktu? Bagaimana jika sepasang suami istri datang? Atau sekuriti yang pura-pura salah jalan?  Kekhawatiranku sepertinya akan terjadi. Beberapa wanita bercadar lainnya datang, tetapi wanita yang menyapaku tampak tenang-tenang saja. Ia malah semakin membusungkan dada.“Fatima! Keyv al hal?!” sapa seorang wanita yang kemudian ikut membuka cadarnya. Mereka pun teriak-teriak berloncatan. Tampaknya sudah tidak bertemu bertahun-tahun. Kemudian mereka beramai-ramai membuka abayanya, seketika aku merasa berada di Las Vegas. Setelah mendapat pelayanan dari Antonio, mereka menuju ujung ruangan yang tertutupi sebuah sekat.    “Hey, sampai di mana tadi?”” Anton melanjutkan pengajaran kode minuman.“Susu full fat,” jawabku sambil tetap memperhatikan mereka sebelum menghilang di balik dinding.“Hahaha, kamu baru liat susu seperti itu?” Ledek Anton. “Hah? Maksudnya? Oh... belum pernah di Arab Saudi!” Aku jadi kikuk sendiri, tak menyangka diri ini akan terlibat percakapan yang kalau kudengar dari orang lain bakal otomatis mengernyit.Antonio kembali memberikan beberapa contoh kode minuman sebagai ujian kecil-kecilan. Konsentrasi agak terganggu oleh kegaduhan para wanita heboh tadi. Ternyata mereka kalau sudah bertemu sesamanya, bisa ribut ganggu juga ya. “Hay, bisa minta double shot vanilla latte extra hot tall size? Anton beraksi sebagai pelanggan, menirukan gaya si wanita pamer belahan tadi dalam ujian kode minuman ini.“Ooh, akan segera jadi milikmu seutuhnya, jawabku sok genit sambil mencorat coret kertas di tangan. ”Wah, kamu Indonesia yang pintar!”Aku paham Antonio ingin menyemangatiku dengan cara memuji-muji. Tapi kok, ucapannya agak kurang enak didengar ya? Ada bagian hati yang tertoreh saat dia bilang Indonesia YANG pintar. ”Maksudmu orang Indonesia itu bodoh-bodoh, ya?” tanyaku mencoba bernada sedatar mungkin.“Bukan itu maksudku! Tapi orang Indonesia di sini kan kebanyakan sopir dan pembantu,” jawab Anton terkekeh.“Dan menurutmu, mereka yang jadi sopir dan pembantu itu tidak pintar?” “Hahaha, bukan itu, ah lupakan!” Antonio meraih tanganku menyalami secara paksa.Mungkin ini berlebihan, tapi hatiku sedikit menggeser Antonio dari deretan kursi khusus teman baik. Ah, mungkin aku hanya rindu bermain dengan teman sebangsa saja. Aku juga ingin tertawa-tawa bebas mengobrol dalam bahasa ibu seperti gerombolan di ujung ruangan itu.Beberapa pria bergamis masuk ruangan, menuju sudut yang tertutupi partisi. Keributan terhenti sesaat. Tidak berapa lama, mereka pun pergi berpasang-pasangan dengan para gerombolan wanita ribut yang kini telah kembali adem rapi bercadar dan berabaya.“Bagaimana kita tahu kalo mereka itu adalah saling bersaudara?” Entahlah mengapa, pertanyaan itu  menggelitik benakku.“Hanya Tuhan dan muttawa yang tahu,” Antonio nyengir, ”Hey, mau coba mencatat pesanan?” Aku tentu mengangguk, ini yang kutunggu-tunggu.Aku membereskan topi, membersihkan kaus, berusaha ingin tampil prima di depan pelanggan pertamaku. Aku ingin dikenal sebagai Pekerja Migran Indonesia yang tampan atletis berkemampuan sadis. Semenit. Sepuluh menit. Hanya ada aku dan lalat ijo. Karena mati gaya, aku membersihkan condiment bar, tempat semua perlengkapan minuman  alat pengaduk sampai gula bubuk. Ketika tangan mulai meraba-raba sudut-sudut yang tak terlihat, terdengarlah suara pelanggan pertamaku!Excuse me! Sesosok tubuh besar berambut ikal dan berbaju gamis sudah menungguku di balik bar. Aku segera beranjak untuk melayani.Fi Kapsa? tanyanya.“Eh, maaf?”“Punya nasi kapsa?”Nasi? Maaf, kami gak jual nasi. Ini kedai kopi. Dan Anda berada di family section, apakah Anda bawa sanak saudara? Oh, kedai kopi? Berarti jual moka, kan? Alih-alih menjawab pertanyaan, ia malah balik bertanya dengan mata melotot. I..iya..., jawabku agak ngeri dengan tatapan terjalnya.  Tapi saya pengen moka-nya yang benar-benar cokelat! ujarnya. Maksud Anda, mau ekstra cokelat? tanyaku masih bingung. Bukan, tapi warnanya benar-benar cokelat! pintanya dengan alis mengkerut. Aku semakin merasa dongo. Maaf sekali lagi, bisa diperjelas? tanyaku tanpa ada bayangan bila pertanyaan ini akan diakhiri kisah tragis seiring dengan mata si Om yang makin melotot. Ya! Saya ingin moka berwarna cokelat... secokelat...  INI!!! Secepat kilat si Om menarik jubah bawahnya!  Seketika terpampang sebuah penis yang begitu besar di depan mata. Aku terperanjat hebat; sontak mengalihkan pandangan ke ruang belakang yang berada di samping bar, berharap ada Anton yang bisa menyelamatkanku dari situasi laknat ini.  Melihat aku kaget, si Om Cokelat langsung menurunkan gamisnya. Mimiknya tidak berubah; masih dihiasi pelototan mata. Ditambah bibir manyun sok seksi. Di antara kebingungan apakah perlu mengusir atau tetap sabar melayani si om jalang minta ditempiling ini, aku mencoba tetap sopan, Oh.. moka.. cokelat... ada... kok... mau.. ukuran a..pa...? tanyaku grogi-grogi jijik.  Ukurannya?! Si Om Cokelat tanya balik. Tangannya siap-siap menarik gamisnya lagi. Baiklah! Saya mengerti! Aku segera cepat tanggap, tak ingin ada lagi tragedi gamis tersingkap.Sial, aku jadi lupa apa yang harus aku tulis di kertas. Yang aku ingat hanya... benda lonjong keparat itu. Dan untuk informasi saja, itu HITAM ya, bukan cokelat!***Shift malam semakin terasa lebih menyenangkan dan leluasa. Pertama, karena aku dapat teman kerja yang sering berinisiatif membantu dan mengajari banyak hal. Kedua, pelanggan tidak—atau mungkin belum serusuh saat aku pertama kali masuk. Ya bisa jadi karena hari ini bukan akhir pekan.Masih terasa janggal liat mal kala Sabtu terlihat bagai kuburan. Pelanggan yang datang masih bisa dihitung jari. Hampir tidak ada piring yang harus kucuci. Tidak ada sisa makanan yang bisa kucicipi. Ups. Oh, inilah pekerjaan yang kuinginkan; damai dan santai. Waktu luang kuisi dengan kesibukan bersih-bersih favoritku; mengelap kaca jendela. Selain─tentu saja─bisa ngaca, aku bisa sedikit joget terselubung plus bersenandung. Musik boleh dilarang diputar di tempat umum, tapi lagu tetap mengalun liar dalam benak.“Halo, permisi?! Kau tidak dengar ya?”Oh, rupanya lagu dalam benakku mengalun terlalu kencang sampai aku tak mendengar sudah ada pelanggan datang ke ruangan. Wow, tidak hanya satu—mendadak banyak pelanggan; tiga belas wanita tepatnya! Entahah bila mereka ini satu geng atau satu keluarga. Belum juga kaki siap siaga di belakang bar, mereka semua berebut bicara; bagai paduan suara kehilangan nada tapi saling berlomba ingin diperhatikan.Untung saja Antonio segera menghampiriku mendengar kegaduhan itu. Saya mau es karamel moka. Esnya dua buah, susunya setengah non-fat dan setengah full fat. Hah? Gimana cara menulis kodenya, tuh? Tapi Antonio tampak tenang-tenang saja mencatat pesanan itu.“Oh ya, susu yang non-fat tolong dipanaskan 120 derajat. Yang full fat-nya 160 derajat. Tapi jangan panas ya. Loh, gimana caranya mendidihkan air tapi ‘jangan panas’?!Antonio pun mengulang semua pesanan tadi sedetail-detailnya. Anehnya, bahkan sebelum ulangan pesanan itu selesai Anton ucapkan, para pelanggan itu saling pandang dan menggeleng-geleng, “Memangnya kami memesan minuman seperti itu??!?!Paduan suara sesat kembali berkumandang. Antonio dengan sabar memohon mereka kembali berbicara satu per satu. Mereka pun kembali mengulang pesanan... dan benar-benar sama dari sebelumnya.Aku mendadak ingin mundur teratur menyemplung sumur gara-gara kesemrawutan ini. ***Akhirnya, telah tiba saat-saat bahagia: closing time! “Kamu mau membersihkan bagian mana? Single  atau family section?”” Anton melirik jam tangannya.“Terserah saja,” jawabku.” Dua-duanya tidak ada yang lebih menyenangkan.  “Biar kamu belajar, coba dua-duanya saja dulu.”” Lah, keparat! Aku berjanji tidak akan menjawab terserah lagi.Anton melanjutkan, “Lap semua meja, lalu angkat semua kursi di barisan luar single section ke atas meja. Masukkan  rak merchandise ke family section─termasuk kopi-kopinya. Lalu sapu pel seperti biasa. Beres!” Sebelum aku meninggalkan ruangan, Anton memanggilku lagi, “Oh ya, untuk permbersih lantai, gunakan cairan dari botol cokelat ini.” Ia mencampurkan seperempat tutup botol itu dengan air panas di ember dorong. Aromanya membuat hidung bagai tertusuk ratusan pinset. Bisa kubayangkan nasib para kuman yang akan mati sesaat lagi. Sambil membalikkan kursi dan menyimpannya di atas meja, beberapa pemuda bergaya hip hop bersuara ribut menyambut teman-temannya yang berdandan serupa.Walay walay, keyv al hal inta, Habibi? What's up, shanab? Itu saja yang tertangkap gendang telingaku, karena itu yang kupaham—artinya kurang lebih,Hey hey, apa kabar lo, Sayang? Apa kabar, Kumis?   Yang aku tangkap, kumis ini seperti sapaan akrab antar lelaki─meskipun mereka tak berkumis. Mereka lalu bersalaman, menempelkan pipi kiri dan kanan masing-masing empat kali sembari memanyunkan bibir. Setiap terjadi pertempelan pipi, mereka membunyikan suara sun mesra bagai tikus terjepit pintu.Sebelumnya aku pikir panggilan habib atau habibi adalah panggilan terhormat. Tapi setelah di sini─yang baru beberapa hari ini─tampaknya aku yang cuma pendatang ini pun sudah berhak dipanggil habibi. Hey, Ahmed, ambilkan roti!” ujar salah satu dari mereka kepadaku.“Oh, silakan langsung ke bar,” jawabku sambil menunjuk arah bar. “Kau saja yang mengambilkan, kami ini orang Riyadh!”Ha, kenapa orang-orang Riyadh yang datang ke cafe ini berkesan bossy begitu ya? Apa karena mereka itu tipikal penduduk ibu kota yang merasa superior ketika datang ke daerah? Entahlah.***Kesimpulan hari ini, shift pagi cape di awal, shift malam lelah di akhir. Aku sudah tak berani melihat bentuk telapak kakiku. Semoga jari-jemarinya masih lima dan tidak ada yang tertukar.Tapi malam ini, saat menuju pulang, aku melihat sesuatu yang tidak wajar; tiga orang lelaki lari-lari memakai kaus basket dan celana training. Kalau mereka  membawa TV, aku pasti akan meneriaki mereka maling. Ternyata di sini joging dilakukan tengah malam demi udara yang lebih sejuk.Perlahan kulepaskan sepatu kananku. Setiap gesekannya membuatku ngilu. Setelah kaus kaki tersingkap, tampaklah dua benjolan di bawah mata kaki dan di pinggir jempol. Yang satu benjol akibat bengkak, yang lainnya benjol cairan.Sambil rebahan di atas kasur, aku memijit-mijit kepalaku. Semoga kakiku tidak iri. Abis letaknya kejauhan, sih. Ingin mengeluh, tapi rasanya belum butuh. Mungkin ini sindrom anak bungsu. Dari kecil difitnah anak manja. Eh, tapi memang iya, kok. Hanya bedanya aku anak manja yang bisa diajak susah. Asyik!Tiba-tiba sudah pukul enam pagi saja, kenapa belum mengantuk ya? Aku kira ungkapan ‘terlalu lelah untuk tidur’ hanya sekadar bualan belaka. Kunyalakan TV dengan volume rendah. Suara sepoi-sepoi biasanya membuat tidurku nyenyak.Tiga puluh menit. Empat puluh menit. Hampir berhasil. Mataku mulai merem melek. Pikiran mulai melayang—bagai obat mabuk yang mulai bekerja. Kelopak mata tertutup rapat. Sayup-sayup aku mendengar sungai mengalir, burung berkicau... dan ponsel berdering!Kelopak mata terbuka cepat,  napas menahan kesal. Tapi mungkin saja itu telepon dari Indonesia. Dari Ibu! Kalau itu aku rela.Bah! Ternyata dari Yusuf.Nah, kalau ini mending ke neraka. Hush.“Ya, Yusuf, ada apa?” jawabku tak rela tidur diganggu.“Carlos hari ini sakit. Kau masuk pagi!”Klik!..........A P A A A H ?!!***Apakah memohon untuk setidaknya bisa tidur dulu sebentar sebelum kerja masih dikategorikan sebagai anak manja? Tapi aku tetap memaksakan diri berjalan walau agak terseok-seok menuju mal. Dalam senandung ngilu aku berjanji akan selalu segera tidur setelah kerja atau matikan ponsel begitu tiba di hotel. Pilihan kedua tampaknya lebih menjanjikan.Dan yang janji akan datang pagi belum muncul juga. Aku segera memastikan kalau hari ini bukan hari Jumat. Gak kebayang sudah kemarin shift malam PLUS tidak tidur, datang pagi dan masih harus menunggu sampai siang. Aku turunkan kursi-kursi yang baru beberapa jam lalu telah kuatur rapi di atas meja. Aku merasa si kursi-kursi ini menertawaiku seakan meledek,’Elo lagi, elo lagi!’.Kupandangi toko-toko sekeliling, belum tercium tanda-tanda kehidupan. Heuh, bahkan mungkin onta saja masih tidur lelap kelelahan berdisko di padang pasir. Oh, dugaanku salah, seorang laki-laki muda berjubah ala Neo Matrix warna putih dan ber-ghutra plus kacamata hitam, menyelonong masuk bar sambil teriak-teriak, Cappucino! Cappucino!"Maaf, kami belum buka, jawabku setengah kaget sambil berusaha menerawangi kaca mata hitamnya… yang ternyata keperak-perakan.Moya! Moya! teriaknya lagi.“Moya?”Ia memeragakan orang minum kemudian menunjuk-nunjuk deretan botol air mineral. Oh.Sorry, but  you can order at nine. Duh, kok gak ngerti juga, sih?I don't speak English! bentaknya sambil melotot. Lah, barusan ngomong apa?!Untungnya ia cepat melengos. Ah, syukurlah. Tapi asap apa ini berkelana di sekitar hidungku? Oalah, seorang bapak-bapak beruban lagi asyik merokok cerutu di sofa wilayah non-smoking. Aku langsung ambil langkah seribu babu sambil grasa-grusu,Maaf, kami belum buka dan Anda merokok di wilayah antirokok! Aku menyodorkan asbak darurat sambil menunjuk tanda larangan merokok yang jelas-jelas nongkrong di meja.Bapak beruban itu menatapku dengan senyuman santai kayak juragan kebun petai. Tak perlu khawatir. Ini negara saya, jawabnya anteng, tetap mengepulkan asap yang seakan-akan membentuk trofi kemenangan.Pagi-pagi emosiku sudah diuji pelanggan nasionalis dan pelanggan arogan. Terdengar suara kunci membuka pintu. Yusuf datang dengan rambut acak-acakan. Mungkin wax-nya habis. Ibrahim menyusul beberapa menit kemudian dengan rokok terselip di bibirnya, tangan kirinya masuk ke dalam celana—garuk-garuk. Mereka lantas sibuk dengan urusan masing-masing. Ibrahim mengambil tumpukan kotak putih yang tersusun di meja bar. Isinya croissant berbagai rasa, brownies, panini, dan beberapa kue basah berbentuk dan beraroma yang akan membuat seribu satu rencana diet gagal total. Ia menyusun kue-kue itu di piring pajangan. Loh, kok gak pakai sarung tangan? Semoga ia sempat mencuci tangannya setelah acara garuk-garuk kelamin tadi. Amin.***”Pare!”” Yusuf teriak dari dalam ruang belakang. ““PARE!” ujarnya sekali lagi. Apa tuh, artinya? Sambil membersihkan ceceran gula di condiment bar aku ingin mengambil kamus untuk mengecek arti ‘pare’. “”Vibi!!! Kamu saya panggil beberapa kali kenapa gak nyahut?” Yusuf membentakku.“Loh, saya baru denger Anda memanggil nama saya sekali.”“Aku memanggilmu beberapa kali, Pare!””Hah, apa maksud dia ‘pare’?! Apa ketiakku bau pahit?!“THAJAKI BEK{A *^&AHN?””Apa?” “THAJAKI BEK{A *^&AHN?!””Apa?” Bahasa apa lagi itu?“THAJAKI BEK{A *^&AHN?!!”“Maaf saya benar-benar tidak mengerti.” Gaya bicara Yusuf  terkadang bagai orang kumur-kumur daging semur. Beberapa kali aku menebak maksud pembicaraannya dengan menyimpulkan dari rangkaian kata-kata yang kudapat. Tapi kali ini aku gagal, tidak ada satu kata pun yang bisa kucerna. ”Apa masalahmu?! TANG-GAL BE-RA-PA SE-KA-RANG?!?” Yusuf menghardikku sampai membuatku terperanjat.”Saya tidak ingat,” jawabku mengatur napas agar nada suaraku tetap terdengar elegan dan rupawan.Yusuf memelototiku, ““Kamu ini kerjanya kurang gesit dan selalu terlihat lelah.””Aku masih kurang percaya dengan apa yang kudengar, “Mungkin Anda lupa, kemarin saya kerja shift malam. Dan sialnya saya  tidak sempat tidur, jadi wajar jika saya kekurangan energi saat ini.””Kau harus membiasakan diri secepatnya.”Aku melengos ke luar ruangan, kembali sok sibuk membersihkan ini itu, sambil sesekali menepuk-nepuk sofa hingga debunya melayang menggempur ruangan. Lebih tepatnya menonjok sofa, sih; sembari menyalurkan kekesalan. ***“Haloooo,” suara wanita merdu berkumandang bergema di family section. Sang pemilik suara lalu mendendangkan sebuah lagu arabik yang rasa-rasanya pernah aku dengar.”Alatool ya baba, ya baba, basess aalaia aalaia...,” Suaranya agak sengau penuh liukan di akhir nada.Aku segera menghentikan kegiatan mengelap kaca untuk melihat sang pemilik suara. Rupanya Yusuf dan Ibrahim terlebih dahulu telah siaga di depan bar. Aku belum pernah melihat mimik mereka sebinal itu. Binar matanya bagai anak kecil yang melihat permen lolipop sebesar raket tenis. Ngomong-ngomong, payudara si perempuan memang berukuran ekstra. Ia kemudian membuka cadarnya. Wow, menor sekali! Dandanannya tampak seperti artis yang akan syuting adegan pernikahan. Dan ia masih tetap berdendang.Yusuf dan Ibrahim tampak berlomba memamerkan mimik tertampannya. Sorot matanya tiba-tiba berubah tajam, bibirnya agak sedikit manyun. Beda sekali dengan wajah yang  biasa dipamerkan saat berbicara denganku. Baiklah. Besok saya akan pakai busa penyumpal dada dan make up menor!Mereka terlibat bincang-bincang yang penuh aroma goda. Setiap di akhir kalimat sang wanita mengibaskan rambut ke belakang, ke depan, ke belakang lagi. Setiap tertawa ia memegang area di antara kedua payudaranya yang bergetar hebat. ”Excuse me!”” Terdengar suara lantang dari sebelah.Aku lantas berlari ke single section. Seorang bapak telah menunggu di depan kasir. ”Tidak ada yang jaga di sini?”“Oh, maaf.” Aku berbalik memanggil Ibrahim. Dia pura-pura tuli, asyik dengan hipnotis sang biduanita. Memanggil Yusuf, kurasa dia akan pura-pura buta. Untung Antonio telah mengajarkanku mencatat pesan. “Ayo, Pare, tolong cepatlah.”Hey, panggilan itu lagi! Aku pun mencatat pesanannya, tapi tetap saja aku butuh Ibrahim. Sampai saat ini aku belum bisa membuat minuman. Kalo meracik cairan untuk mengepel lantai sudah jago.Aku berlari ke family section. Ibrahim dan Yusuf semakin santai saja duduk-duduk di sofa sambil bersenda gurau dengan si biduanita.“Ibrahim, tolonglah, ada pelanggan. Saya sudah nyatet pesanannya, tapi belum bisa cara membuatnya.”“Suruh tunggu saja!” wajah Ibrahim kembali kecut saat menjawab permintaanku.“Dia sedang buru-buru."“Ya sudah kau yang membuatnya!” bentaknya.“Aku belum tahu caranya!”“Kenapa tidak mau belajar!!”.........Bertambah seorang lagi daftar orang yang akan kuucapkan namanya untuk Doa Sial Tujuh Turunan. Ya sudahlah, aku akan mencoba membuatkan minumannya. Begitu balik ruangan single section, sayang, sang pelanggan sudah hengkang. Eh, antara sayang dan lega, sih. Mungkin ini yang terbaik. Kok, jadi kayak putus pacaran ya.Sesekali terdengar cekikikan dari family section. Kemudian kembali terdengar lantunan nada meliuk-liuk.. “”Pare!”” Aku dikejutkan seorang pelanggan berwajah India yang mengipas-ngipaskan lembaran kertas kuning di dekat pintu. “Hey, maaf, Pare itu apa ya?” tanyaku setelah mendekatinya.“Loh, kamu bukan Filipino?”“Indonesian.”“Oh, saya juga tidak tahu artinya, tapi kami selalu memanggil Pare ke Filipino.”Aku menggangguk, kurang lebih jadi lebih paham. Jadi 'pare' itu semacam panggilan.  “Itu apa ya?” aku menunjuk kertas kuning yang digenggamnya itu—sudah pasti dia punya keperluan yang bukan memesan kopi.”Pengiriman barang.”Aku terpaksa ‘mengganggu’ acara duduk-duduk santai itu. Kini 'wanita yang sangat beruntung' itu mendapat perjamuan spesial; berbagai kue dan minuman ber-whip cream menggunung dibanjiri sirup karamel. Saking penuhnya, sirup karamel itu sampai melumuri meja. Huh, berani bertaruh, nanti pasti aku lagi yang akan sibuk membersihkannya!  Sebelum sempat menerangkan maksud kedatangan, Yusuf keburu memerintahku mengambil troli khusus barang dan mengikuti si Lelaki India itu. Baik, bos!Aku  dan si Lelaki India menuju lift angkutan barang, keluar dari mal menuju mobil bak. Ya ampun, panasnya membuat urat-urat kepalaku langsung berdenyut. Rasanya tiap helai rambutku menjelma menjadi korek api yang terbakar. Si Lelaki India membuka pintu mobil mengeluarkan boks-boks berbagai ukuran. Satu, lima, sepuluh, .... wah puluhan kardus! Susunannya tidak keruan, miring kiri-miring kanan. Aku ikut menurunkan dan mengatur berbagai boks sedemikian rupa agar lebih rapi.Beres! Aku mulai mendorong troli yang kini terisi puluhan boks itu. Ugh, ternyata cukup berat. Apalagi sinar matahari semakin terik, membuatku basah kuyup. Beban dorongan semakin terasa berat, terlebih saat aku harus mempertahankan keseimbangan tumpukan boks ketika jalan berkelak-kelok.Di belokan terakhir menuju toko, mulai tampak Yusuf dan Ibrahim duduk-duduk bahagia di kursi luar single section sambil merokok-rokok riang. Sesekali mereka melihatku susah payah mendorong, tapi kemudian mengalihkan pandangan sambil menyesap kopi. Semakin mendekat toko, langkahku semakin cepat; ingin buru-buru sampai. Hasilnya empat boks berhamburan jatuh. Sialnya si duet tolol  itu tetap pura-pura tidak melihat dan pura-pura tuli. Tapi yang pasti mereka tidak pura-pura tak berhati nurani. Akhirnya tumpukan boks itu sampai di sebelah meja bar. Yusuf beranjak dan menandatangani kertas tanda terima, kemudian dia memanggil Ibrahim untuk menyusun boks di ruang belakang. Kami membuka kotak satu per satu, isinya merupakan perlengkapan toko; seperti gula, mug, merchandise, biji kopi, dan bahan baku.“Vibi, ada berapa kotak yang kau terima?”Aku menatap boks-boks yang berserakan itu, ”Entahlah, yang pasti puluhan. Empat puluh lima mungkin?””ENTAHLAH?!” Yusuf meninju tembok. “Dari sejak kau menerima boks ini di bawah, kau harus menghitungnya secara akurat! Tidak boleh ada selisih jumlah!”Lah? ”Seandainya Anda bilang hal ini dari awal sebelum saya ambil, saya pasti akan melakukannya!” Aku tak kalah gusar. Kerja dibiarkan sendiri, tanpa instruksi, kalau salah tanggung sendiri? Aneh sekali orang semacam ini bisa jadi manajer toko. Untuk kata dasar ‘manage’ saja ia sungguh tidak memenuhi klasifikasi.***Penglihatan mulai berkabut. Kepala semakin berdenyut. Semua fungsi panca indraku mulai menciut, kecuali indra penciuman. Hidungku dengan giat menghirup aroma sepiring besar nasi kabsa yang siap terhidang di depanku. Dan aku masih terkesima dengan ukuran satu porsi menunya bisa untuk tiga─empat orang! Aku sih, tidak berkeberatan!  Penampakan nasi kabsa mengingatkanku dengan nasi kuning. Cuma bentuk berasnya agak lebih besar dan lonjong. Kata si penjual, beras ini jenis Basmati yang tumbuh subur di India.Aku menyuapkan sendok pertama sambil mengamati sekeliling food court yang sepi.Saat butiran nasi menumbuk lidah, dalam benakku langsung terpampang bentuk lada hitam, cengkeh, kapulaga , kunyit, kayu manis... dan entah rempah-rempah apa lagi yang terkandung di dalamnya. Tiap gigitan nasi kabsa mengejutkan; gigitan pertama asin gurih, gigitan kedua pedas perih, gigitan ketiga manis-manis pedih. Tiba-tiba kismis dan kacang almond diam-diam menyembul di antara butiran nasi. Benar-benar nasi yang kaya raya rasa! Tepat di depanku ada segerombolan yang mungkin keluarga─tetapi lelaki semua─berkumpul dengan riang gembira, setiap orangnya membawa baki-baki besar. Kadang mereka menari-nari, saling pukul-pukulan, lalu tertawa terbahak-bahak.Aku tercenung. Terakhir kali aku tertawa, kapan ya?***Kalau food court punya fasilitas ranjang, bisa dipastikan aku akan tidur di sana. Aku menarik pintu kaca lobi hotel, memaksakan senyum pada resepsionis. Dia menggerak-gerakkan jari-jemarinya; memintaku untuk mendekat. ”Kau... di sini,” ujarnya ringkas, menirukan gaya orang tanda tangan sambil memberiku kertas bertuliskan bahasa Arab.Aku mengerjap-kerjapkan mata. Kertas ini menyerupai sebuah kontrak dengan namaku tertera di bawahnya. ”Saya harus tanda tangan ini?” tanyaku sambil meniru gerakan tangannya. Ia mengangguk. Aku tentu menggeleng. “Ada versi Bahasa Inggrisnya? Saya tidak bisa tanda tangan kontrak berbahasa yang tidak saya mengerti.” Ya iyalah, kalo ternyata isi kontraknya adalah aku bersedia disunat berulang-ulang, bagaimana?Sang resepsionis menggeleng-geleng perlahan, tangannya masih setia bergerak-gerak tiada henti. Kali ini gerakannya tidak tampak tanda tangan, lebih mirip mengaduk minuman.    Aku menggeleng disertai gerakan lambaian tangan supercepat. Aku menjelaskan alasanku sekali lagi namun gerakan tangannya malah semakin kencang menyerupai jarum mesin jahit kerasukan setan.Aku menghentikan racauanku. Sia-sia saja bila komunikasi basi, hubungan ini harus diakhiri!“Kau... di sini!”Aku menggeleng kesal. “Kau saja tanda tangan!”Aku melengos ke lift.  Agak menyesal juga sudah membentaknya. Ini pasti ada kesalahpahaman.Tapi kira-kira apa isi kontrak itu ya? Kenapa tadi tidak kuambil saja dulu untuk minta dibacakan ke orang lain yang paham Bahasa Arab? Tapi bagaimanapun aku harus mendapatkan kontrak dalam versi Bahasa Inggris. ***Saat berjalan menuju kamar, seorang pria Arab mencegatku, matanya melotot dengan alis menekuk. Aku mulai merasa itu adalah mimik mereka sehari-hari. Kemudian ia menguncupkan jari jemarinya bagai bunga yang belum merekah. Apa nih, ngajak makan? Ia berbahasa Arab. Oalah. ”Maaf, saya belum bisa berbahasa Arab.”Ia tetap mencerocos dengan mimik jongos.Aku menggeleng dan melambaikan tangan sambil tetap melaju menuju kamarku. Pria itu semakin berang, membentak-bentakku, “Stupid Filipini!”Darahku terbakar. ”I'’M NOT FILIPINI!”...Aduh, aku mendadak terkesiap dengar omongan sendiri. Kok, lebih sakit hati dibilang ‘filipini’ dibanding ‘stupid’ ya? Ah, peduli syaithon. Aku segera masuk kamar.Mataku panas sekali, berbalapan dengan hati pedih.Foto oleh Fahad Mj***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan