
Ini lanjutan dari bab 1 yaaa, happy reading
Bab 2: Bencana
Suasana pesta yang diadakan di salah satu hotel ternama terlihat sangat ramai.
Di sisi lain, Samuel dan Adam akhirnya berhasil lolos dari jeratan penjaga pintu masuk yang hanya dapat diakses menggunakan kartu undangan saja. Ternyata Marlo tidak berbohong bahwa pemuda-pemuda berbadan besar itu adalah temannya.
Penampilan Samuel dan Adam sama seperti yang lain, yaitu memakai stelan formal, sehingga hal itu membuat keduanya tidak terlalu mencolok meski pun ada beberapa orang yang senantiasa menatap kedua remaja penyusup itu dengan kernyitan di dahi, mungkin mereka sadar jika Samuel dan Adam bukan berasal dari angkatannya.
“Itu yang namanya Siska,” bisik Marlo kepada Samuel yang tengah duduk bersama teman-temannya di salah satu meja yang berada di pojokan. Untung saja Samuel memiliki hubungan yang sangat baik dengan teman-teman Marlo sehingga mereka bersikap cukup santai ketika melihat kedatangan Samuel.
Samuel yang tengah berbincang dengan salah satu teman Marlo lantas menoleh.
“Yang mana?” tanya Samuel dengan mata bergerak liar mencari sosok yang dimaksud oleh Marlo.
“Itu yang berdiri pake dress maroon, dia sekarang lagi ketawa bareng temennya, tiga orang deket stand minuman,“ jelas Marlo.
Samuel kembali mencoba mencari karena banyak sekali orang di pesta ini yang memakai dress berwarna maroon dan ... ketemu!
Mata tajam Samuel seketika langsung menatap Siska yang masih asik mengobrol sambil sesekali tertawa. Ia sangat yakin bahwa itu orangnya.
Perempuan berperawakan cukup tinggi berkulit putih dengan dress panjang tanpa lengan terlihat sangat pas dilekukan tubuhnya, apalagi ditambah dengan tatanan rambut yang dibiarkan terurai. Terlihat anggun tapi nakal. Wajahnya cukup manis dihiasi make up natural, tidak terlalu mencolok.
Merasa ada yang memperhatikan membuat Siska menoleh. Perempuan itu terdiam sesaat sebelum pada akhirnya melemparkan senyum tipis ke arah Samuel yang kebetulan jarak keduanya tidak terlalu jauh. Sedangkan Samuel masih setia dengan tatapannya tanpa ada niatan untuk membalas senyuman manis itu.
“Siska senyumin gue anjir,” ujar salah satu teman Marlo yang kebetulan duduk di sebelah Samuel.
“Kagak mungkin. Gua yakin selera dia bukan orang kayak lu,” sahut temannya yang lain.
Bukannya sirik, hanya saja mencoba untuk sadar diri.
“Ah setan, gue serius tadi dia senyum jir.” Teman Marlo yang diketahui bernama Fajar terlihat sangat kukuh.
Samuel yang duduk di sebelahnya tampak terusik. Maka langsung saja ia menoleh.
“Kalau lo jantan mending langsung samperin aja, Bang,” sahut Samuel terdengar seperti meremehkan sehingga membuat ego Fajar tersentil.
“Oke, siapa takut.”
Laki-laki itu pada akhirnya berdiri kemudian berjalan ke arah Siska dengan sangat percaya diri.
“Batu banget si Fajar,” ujar Marlo tidak habis pikir seraya menggelengkan kepalanya.
Samuel hanya terkekeh kecil. Ternyata gampang sekali membodohi teman-teman Marlo.
Seiring berjalannya waktu ia terus memperhatikan interaksi keduanya, dimana Siska masih meladeni ucapan Fajar namun dengan raut wajah yang terlihat ogah-ogahan.
Kening Samuel terlihat mengkerut kemudian ia menggelengkan kepala. Siska ternyata sama dengan wanita-wanita yang pernah ia jumpai sebelumnya, tidak ada yang spesial dari diri wanita itu yang membuatnya tertarik.
“Bukan selera gue, Bang,” bisiknya kepada Marlo.
Lantas hal itu membuat Marlo mendecih.
“Ribet lu. Dikasih barang bagus gak mau.”
Samuel mengedikkan bahunya. Mau bagaimana lagi. Teman-teman wanita Marlo terlihat sama semua, tidak ada yang membuatnya penasaran. Setelah itu Samuel kembali mengedarkan pandangan dengan tatapan bosan. Ia ingin segera keluar dari pesta ini.
Namun ternyata pandangan Samuel kembali berubah menjadi bersemangat ketika ia tanpa sengaja melihat salah satu gadis yang tampak cantik dengan gaun hitam tanpa lengannya. Gadis dengan rambut terurai itu tengah asik mengobrol bersama beberapa pria dan wanita di dekat panggung. Tubuhnya tidak kalah bagus dari Siska dengan kulit putih mulus, wajahnya bahkan lebih menjual, sangat anggun dan bersinar.
“Gue mau yang itu.” Tanpa sadar Samuel bergumam namun masih dapat didengar oleh Marlo.
“Hah apa? Yang mana?” tanya Marlo seraya mendekatkan telinganya.
“Yang paling cantik, dia pakai dress warna hitam selutut, di deket panggung,” jawab Samuel dengan mata yang seolah dibuat tidak bisa berpaling memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Kemana saja dirinya, kenapa baru melihat.
Marlo mencoba mencari gadis cantik di dekat panggung yang Samuel maksud. Setelah sadar kemudian ia terpekik.
“Anjir!” umpatnya lalu menatap Samuel dengan raut wajah serius. “Jangan bilang kalau Kak Jea orangnya.”
Samuel mengangkat sebelah alisnya sambil menatap Marlo.
“Jea?”
“Iya, Jeara Nadir. Cewek deket panggung pakai dress item selutut, nah lu liat sekarang dia lagi jalan ke stand makanan bareng cewek pake dress warna biru,” sahut Marlo seraya memperhatikan seniornya bernama Jeara Nadir.
Jika benar sosok yang dimaksud oleh Samuel adalah Jeara. Memang tidak sulit menemukan keberadaan gadis itu. Jeara layaknya bintang yang bersinar diantara gelapnya malam.
Jeara Nadir adalah salah satu senior Marlo yang sangat terkenal akan kecantikannya namun sulit untuk diraih. Ia juga mantan Prom Queen tiga tahun lalu. Mungkin kehadirannya malam ini sebagai tamu undangan spesial.
Samuel mengalihkan kembali pandangannya ke arah panggung dan gadis yang ia maksud sudah tidak berada di sana.
Samuel mendengus kesal karena sempat kehilangan jejaknya. Lantas ia kembali mengedarkan pandangan. Ketemu lagi! Jeara saat ini sudah duduk di pojok dekat dengan stand makanan.
“Namanya Jeara Nadir?” tanya Samuel kepada Marlo guna meyakinkan dirinya bahwa gadis yang ia maksud benar bernama Jeara. Tatapannya kali ini tidak akan ia lepaskan dari gadis yang terlihat asik mengobrol itu.
Marlo mengangguk. “Kak Jea angkatan tiga tahun yang lalu. Setau gue dia cewek baik-baik.”
“Kok bisa ada di sini?” tanya Samuel heran.
Marlo mengedikkan bahunya. “Paling jadi salah satu guest star. Kan dulu banyak yang idolain dia. Dia juga mantan Prom Queen.”
Samuel menganggukkan kepalanya paham. Pantas saja Jeara dinobatkan sebagai Prom Queen secara dari visualnya saja sudah kelihatan kalau ia memang cocok untuk mendapatkan gelar itu.
“Jangan macem-macem, Sam, gue denger saudaranya galak-galak,” tukas Marlo memperingati sesuai dengan gosip yang beredar kalau Jeara memiliki kakak sepupu dan adik laki-laki yang sangat tegas. Bahkan katanya Jeara tidak akan pernah lagi membawa pacarnya ke rumah karena seperti yang sudah-sudah, pacarnya yang dulu saja langsung memutuskannya setelah diintrogasi oleh Dikta—kakak sepupu—yang ia dengar seorang anggota polisi.
“Santai,” ujar Samuel dengan tenang karena di otaknya sudah tersusun sebuah ide licik.
Samuel yakin kalau gadis itu sudah tidak tersegel karena menurut pengalamannya biasanya gadis yang terlihat baik belum tentu aslinya baik.
Marlo memicingkan mata dengan tidak percaya akan apa yang baru saja diucapkan oleh Samuel. Ayolah, ia sudah mengenal Samuel dengan cukup lama. Ia tahu sifat asli pemuda itu, salah satunya apa pun yang Samuel mau harus terpenuhi.
***
Semakin malam acara semakin meriah dimulai dari sambutan, game, penghargaan hingga penobatan Prom Queen dan King. Setelah semua rangkaian wajib itu terlaksana kini saatnya menuju ke acara yang ditunggu-tunggu yaitu menikmati sajian musik dari salah satu DJ ternama di ibu kota.
Ketika semua orang sibuk berjoget dan bercengkerama hal itu dimanfaatkan Samuel untuk mendekati Jeara yang terlihat tengah duduk sendirian di pojokan. Gadis itu seperti tengah mengasingkan diri dari keramaian pesta.
Bermodal nekat, Samuel menghampiri Jeara.
“Hai,” sapanya dengan ramah. Dua gelas minuman telah berada di tangannya.
Jeara yang tengah memainkan ponsel lantas mendongak, matanya menatap Samuel dengan bertanya-tanya.
“Boleh duduk?” tanya Samuel basa-basi, dari tatapannya yang tajam ia tahu kalau Jeara tipikal orang yang cuek dan hal itu semakin membuatnya penasaran.
Tanpa menjawab Jeara mengedikkan dagunya ke arah kursi. Samuel yang paham langsung duduk setelah itu menaruh kedua gelas minuman yang ia bawa di atas meja.
“Gue Sam.” Samuel mengulurkan tangan bermaksud untuk berkenalan.
Jeara terdiam sesaat memperhatikan uluran tangan Samuel, terlihat malas memang, karena Jeara tahu kalau semua ini hanyalah modus belaka namun sebagai sopan santun pada akhirnya ia jabat juga.
“Jeara Nadir,” sahutnya singkat setelah itu ia melepaskan kembali jabatan tangannnya.
“Kenapa gak gabung sama yang lain?”
“Lo sendiri?” Jeara malah balik bertanya. Ia kembali sibuk dengan ponselnya terkesan mengabaikan keberadaan Samuel. Minuman yang terhidang di atas meja pun belum ia sentuh sama sekali.
Ego Samuel sedikit tersentil melihat perlakuan Jeara yang sangat ketus kepadanya. Maka semakin yakinlah ia untuk mengerjai gadis ini.
“Gue liat lo sendirian, ya udah gue samperin daripada kenapa- kenapa.”
Samuel meraih gelasnya, kemudian menyesap sedikit minuman tanpa alkohol itu sambil terus menatap Jeara dengan sangat lekat.
Jeara tidak menyahut. Ia sama sekali tidak tersanjung dengan rasa peduli Samuel.
“Gue tau, pasti lo gak terbiasa kan datang ke acara kayak gini? Gue juga, kalau gak dipaksa mana mau,” tukas Samuel dengan penuh dusta, biarlah ia dicap sebagai laki-laki banyak omong yang penting dirinya harus mendapatkan respons dari lawan bicaranya ini.
Jeara terlihat menyunggingkan bibirnya. “So tau banget,” ujarnya lalu tanpa sengaja ia melihat ke arah gelas yang berada di hadapannya.
“Buat gue?”
Samuel tersenyum simpul sambil mengangguk. “Iya, tenang aja, tanpa alkohol kok.”
Jeara mengedikkan bahu tampak tidak peduli, kemudian ia meraih minuman itu. Kebetulan sekali diirinya sedang dilanda haus namun sangat malas untuk mengambil minum karena di depan stand banyak sekali laki-laki yang berkerumun.
“Gue bukan so tau, tapi emang tau. Keliatan dari muka lo yang kayak gak nyaman gitu makanya di sini gue mau bikin lo nyaman.”
“Dukun lo?” tanya Jeara dengan nada sedikit sinis seraya menaruh kembali gelas itu setelah meminumnya beberapa tegukan.
Samuel menyunggingkan bibir. “Kalau jawaban gue bikin lo seneng, gue iyain aja deh.”
Jeara terdengar mencebik. “Kalau lo dukun, berarti lo tau dong apa yang gue mau sekarang?”
Samuel terlihat berpikir sebelum menjawab. “Lo mau gue,” guyonnya disertai kekehan.
Jeara mendengus, dugaannya ternyata benar kalau cowok itu hanya modus.
“Gue mau lo pergi,” ujar Jeara tanpa pikir panjang karena dirinya sudah muak dengan laki-laki seperti Samuel yang gampang sekali menebar rayuan.
Setelah mendengar itu sontak membuat Samuel kaget. Ternyata gadis itu cukup berani.
Setelah berdeham, Samuel kembali mencoba untuk terlihat tenang, tidak terusik dengan ucapan Jeara yang seperti sebilah pisau.
“Lo cukup tegas juga ya. Tapi gue mau tetep di sini, gimana dong?” Samuel melipatkan tangannya di depan dada dengan senyum manis yang menghiasai wajahnya.
Namun di mata Jeara, itu bukanlah senyum biasa melainkan sebuah ledekan.
“Ya udah, kalau gitu gue yang pergi.”
Jeara bersiap berdiri tidak lupa membawa clutch dan ponselnya yang berada di atas meja namun dengan sigap Samuel meraih tangan itu supaya Jeara duduk kembali.
“Lo duduk lagi di sini, biar gue yang pergi,” ujar Samuel pada akhirnya, ia masih mencekal pergelangan tangan Jeara.
Jeara terlihat mendengus seraya berusaha melepaskan cekalan Samuel, namun laki-laki itu kembali menyuruhnya untuk duduk.
“Gue janji bakal pergi, tapi kasih izin gue buat duduk sebentar di sini. Gue mau nunggu temen dulu, males juga kalau harus nunggu sambil berdiri,” ujar Samuel mencoba meyakinkan sambil menuntun Jeara untuk duduk kembali, mau tidak mau Jeara duduk di tempatnya tadi.
Gadis itu juga merasa iba apalagi ketika melihat raut wajah Samuel yang terlihat bersungguh-sungguh.
Samuel ikut duduk sambil sesekali mengecek ponsel guna melihat waktu. Harusnya obat yang terdapat di dalam minuman Jeara sudah bekerja, tapi sampai detik ini belum ada tanda-tanda.
Menurut pengalaman temannya, obat itu akan bekerja minimal 15 menit sesudah diminum tapi sampai dua puluh menit berlalu belum ada sedikit pun tanda bahwa obat perangsang itu bereaksi.
Sepertinya ia harus menunggu sedikit lebih lama.
“Bentar, temen gue lagi jalan ke sini,” ujar Samuel ketika melihat raut wajah Jeara yang mulai memperlihatkan dengan jelas ketidak nyamanannya, entah itu karena pengaruh obat perangsang atau karena Samuel yang tidak kunjung pergi. Maka dari itu Samuel mencoba mengulur waktu guna meyakinkan dugaannya.
Tidak sampai tiga menit setelah ia berbicara, obat tersebut sudah mulai terlihat bereaksi. Keringat mulai keluar dari kening Jeara, wajahnya sedikit memerah dengan tangan yang tidak henti mengusap bagian leher.
Samuel memperhatikan semua itu dengan sebuah senyuman tipis yang tersungging di bibirnya. Obatnya berhasil.
“Kenapa lo? Gerah?” Samuel dengan tenang bertanya.
Jeara yang tengah memainkan ponsel lantas mendongak kemudian mengusap keningnya.
“Gak,” ketusnya.
“Jujur aja kali, gue tau kok tempat yang enak buat ngadem.” Dengan berani Samuel memegang sebelah tangan Jeara yang berada di atas meja. Gadis itu tidak lagi fokus memegang ponselnya.
Jeara yang terkejut langsung menarik tangannya. “Jangan kurang ajar ya!” ujarnya dengan tajam.
Samuel tersenyum sinis. “Udah, ikut aja yuk,” bujuknya.
Lantas Samuel langsung beranjak, ia berdiri di samping Jeara yang lagi-lagi menjauhkan tubuhnya supaya tidak disentuh.
“Gue bilang jangan kurang ajar!” tekan Jeara kemudian ia berdiri hendak meninggalkan Samuel yang mulai berani menyentuh pinggangnya.
Samuel tidak tinggal diam, ia merapatkan tubuhnya dengan Jeara yang ternyata tingginya hanya sebatas hidung.
“Sstt, diem, nanti orang-orang nyangka gue apa-apain lo,” bisik Samuel yang berhasil membuat Jeara mematung ketika merasakan hembusan nafas hangat yang menerpa telinganya.
Dan hal itu Samuel manfaatkan untuk menuntun Jeara sedikit demi sedikit menjauhi tempat acara, sambil sesekali ia mengusap rambut dan punggungnya dengan lembut supaya Jeara semakin terlena meski pun gadis itu berusaha terlihat tidak terpengaruh.
“Kenapa lo bawa gue ke sini?” tanya Jeara yang sudah tidak karuan ketika keduanya sudah berada di dalam lift menuju kamar yang telah Samuel pesan sebelumnya.
Samuel tersenyum kecil, ia menyingkirkan anak rambut Jeara yang setengah lepek di area keningnya. Sedangkan sebelah tangannya lagi masih setia merangkul pinggang gadis cantik itu.
“Gue capek pengin istirahat. Lo juga sama kan?” sahut Samuel setengah berbisik.
Jeara tidak menjawab, keringatnya semakin bercucuran. Dan tubuhnya seperti tersengat listrik tatkala Samuel melakukan skinship. Sampai tibalah keduanya di depan kamar di lantai 12.
“Ada yang gak beres,” gumam Jeara dengan suara yang tercekat kepada Samuel untuk terakhir kalinya sebelum pintu kamar itu tertutup rapat dan terjadi suatu hal yang akan berdampak terhadap masa depan keduanya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
