
Pertaubatan itu sudah dilaluinya beberapa tahun silam. Dia bertaubat, bersumpah pada Tuhan untuk berhenti dari pekerjaannya selama ini. Namun hatinya kini kembali kelam. Istri tercintanya terbunuh. Dibunuh. Entah terbunuh atau dibunuh, Niken Zakiyem Fauziah Purwandari menjadi korban pembunuhan brutal.
Ada tiga belas pembunuh yang melakukan pesta pembunuhan di malam itu. Mereka berlomba mencari korban sebanyak-banyaknya di Bigdildo Mall. Dari tiga belas pembunuh itu, Bajisu pamuncaknya....
Pertaubatan itu sudah dilaluinya beberapa tahun silam. Dia bertaubat, bersumpah pada Tuhan untuk berhenti dari pekerjaannya selama ini. Namun hatinya kini kembali kelam. Istri tercintanya terbunuh. Dibunuh. Entah terbunuh atau dibunuh, Niken Zakiyem Fauziah Purwandari menjadi korban pembunuhan brutal.
Ada tiga belas pembunuh yang melakukan pesta pembunuhan di malam itu. Mereka berlomba mencari korban sebanyak-banyaknya di Bigdildo Mall. Dari tiga belas pembunuh itu, Bajisu pamuncaknya. Bajisu juaranya. Bajisu terbanyak merenggut korban.
Bajisu paling banyak mengalirkan darah manusia-manusia tak tahu apa-apa di malam kelam yang memiriskan. Dari korban-korban yang bertebaran di segala sudut mall, mayat Niken tergeletak membeku. Ekspresi beku. Mengundang rasa haru, sekaligus pilu.
Dari teman-teman di masa lalunya, Orlan Hafanza Surobraholo mendapatkan nama tiga belas orang yang malam itu mengadakan pesta pembunuhan di keramaian. Selain Bajisu, ada nama Asjack, Codas, Dogan, Eju, Faky, Gateng, Haslon, Ikid, Jemir, Kadat, Lonayu, dan Vardeg.
Dari tiga belas pembunuh bayaran itu, Lonayu satu-satunya sosok perempuan yang ikut dalam gerombolan. Sebuah gerombolan manusia-manusia berhati srigala. Gerombolan manusia-manusia yang sudah kehilangan sifat-sifat kemanusiaannya. Orlan sudah menyiapkan tiga belas mawar hitam untuk mereka.
*
Asjack dan Vardeg dikenal sebagai sepasang pembunuh sopan. Mereka selalu memperlakukan korban-korban yang kehilangan nyawa sebagaimana layaknya manusia yang meninggal dunia secara baik. Usai aksi keji yang dilakukan, mereka memperlakukan jasad korban sebaik-baiknya.
Menempatkan jasad yang telah tiada di tempat terbaik, baru setelah itu mereka menelpon ambulans, pihak berwajib, dan keluarga terdekatnya. Segera setelah ketiga pihak itu dihubungi, mereka lenyap tanpa jejak dari area pembunuhan.
Namanya saja sudah sepasang,Asjack dan Varteg selalu bersama-sama dalam melakukan aksi sesuai pesanan. Malam ini keduanya ingin mendatangi calon korban yang tinggal tidak jauh dari Bigdildo Mall.
“Kita ini sangat keterlaluan, Teg,” Asjack ngudarasa. Mengoreksi diri sendiri. Sebagai pembunuh sopan, tentu saja selalu tidak enak hati kalau tindakannya secara umum dipandang tidak sopan atau di luar kewajaran. Tidak lazim. Ora lumrah.
“Maksudmu apa, As?” Varteg asal tanya sambil menenggak miras jenis ciu bergambar manuk. Ada gambar manuk emprit, jenis burung kecil yang makin langka.
Asjack mengungkapkan kegundahan hatinya.
“Dikatakan sopan atau tidak, wajar atau di luar kewajaran, tidak masalah bagi kita. Yang penting malam ini kita bisa melaksanakan tugas dengan baik. Kita lakukan tugas kita sebaik mungkin, serapi mungkin, dan sesopan mungkin. Jangan sampai boss yang menugasi kita merasa kecewa.”
“Oke, kalau begitu kita berangkat,” Asjack berdiri sambil melirik jam dinding yang menempel di Caffe Thubruq. Sudah lewat tengah malam. Mereka berencana mau membantai seluruh anggota keluarga tepat jam satu nanti.
“Masih cukup waktu untuk beraksi,” Varteg berucap ketika melihat Asjack terlihat tergesa-gesa.
Kedua laki-laki itu berjalan santai menelusuri Jalan Kertabumi. Tepat di depan rumah megah nomor 69, mereka berhenti. Dengan tenangnya, mereka membobol pintu pagar dengan beberapa tembakan pistol berperedam.
Pintu pagar terbuka, keduanya melangkah tenang melewati halaman rumah. Halaman yang indah dipenuhi berbagai tanaman hias. Asjack ingin membuka pintu, tapi tidak bisa. Kembali dia tembakkan pistol berperedam ke arah pengait pintu. Pengait patah kena terjangan peluru. Asjack membuka pintu, memasuki ruang tamu bersama Varteg.
Sepasang suami-istri keluar dari kamar tidur. Mereka bergegas ke ruang tamu setelah mendengar ada suara berisik. Mereka disambut todongan pistol mengarah kepala. Asjack siap meledakkan kepala suami, Varteg siap menghamburkan isi kepala istri.
Suami-istri itu terbelalak. Mereka memucat.
Asjack dan Varteg saling pandang.
Asjack mengangguk.
Dibalas anggukan Varteg.
Asjack dan Varteg bersiap melaksanakan misi. Misi dari seorang pengusaha untuk menyingkirkan pesaing beratnya.
Terdengar suara dua tembakan dari pistol berperedam secara beriringan. Disusul dua tembakan lagi. Peluru-peluru 450,3 berhamburan dari moncong ZeGock.
Senjata api di tangan Asjack dan Varteg lepas dari genggaman akibat terjangan peluru. Kedua tubuh pembunuh itu tersungkur ke lantai. Keduanya memegangi leher yang berdarah. Ada lobang bekas terjangan peluru di leher mereka. Di leher mereka masing-masing bersarang sebutir peluru yang dimuntahkan dari ZeGock-4503. Peluru-peluru itu dirancang khusus untuk menyakiti korban dalam tingkatan tertinggi menjelang akhir hayat sampai kematiannya.
“Niken…, orang-orang yang melakukan pesta gila itu harus mendapatkan balasan setimpal. Semua yang terlibat dalam kegilaan, yang menyebabkan kematianmu harus menderita sakit yang sangat pedih saat sekaratnya,” sumpah Orlan saat di depan mayat istrinya. “Mereka satu persatu harus merasakan kesakitan yang belum dirasakan sebelumnya sampai maut menjemput.”
Orlan berdiri dari sudut ruang yang remang. ZeGock-4503 yang berada dalam genggaman tangan kanan mengarah dua manusia sekarat yang menggelepar-gelepar. Orlan menginginkan satu persatu mereka merasakan sakit tak terkirakan di ujung kematian.
“K-kau bangsat!” muntahan kata keluar dari mulut Asjack.
“A-apa urusanmu, bajingan?” Varteg penasaran.
Orlan tersenyum sinis. “Sudahlah, jelang mati jangan mengumbar kata-kata keji! Sebentar lagi peluru 450,3 akan meledak dan mengoyak leher kalian. Bahkan bisa memisahkan leher dari badan. Nikmatilah sakitnya akibat senjata yang dalam perang pun dilarang penggunaannya.”
Dalam waktu yang hampir bersamaan, leher Asjack dan Varteg terkoyak. Leher Asjack hampir putus, leher Varteg makin lebar lukanya. Keduanya makin menggelepar. Persis ayam disembelih. Terdengar suara ngorok jelang nyawa melayang. Keduanya mati dalam keadaan mata melotot menahan kesakitan yang tak terperikan di akhir hayat.
“Kalian kembali ke kamar tidur,” kata Orlan. “Kalau ada petugas datang, berlakulah seolah-olah tidak tahu apa pun tentang kejadian ini.”
Orlan menelpon polisi sebelum meninggalkan dua korban.
Keesokan harinya, Orlan meletakkan dua mawar hitam di kuburan istrinya. Masih ada sebelas mawar serupa yang mesti dipersembahkan untuk istri tercinta.
*
Codas, Dogan, Eju, dan Faky membatalkan niat mereka untuk kembali ke kota masing-masing. Rencana semula, setelah pesta pembunuhan yang mereka lakukan di Bigdildo Mall menuai kesuksesan, mereka akan kembali ke kota masing-masing. Mereka, kelompok tiga belas pembunuh bayaran, tiap tahun mengadakan ‘pesta’ di keramaian, misalnya mall, super market, pasar, atau jalan raya.
Pesta yang mereka lakukan adalah membunuhi siapa pun yang ada di keramaian itu sebanyak yang mereka mampu. Tiap tahun pesta itu ‘digelar’, tiap tahun beda tempat, beda kota. Tahun kemarin kota yang mereka sasar adalah Kota Barang Baru, tahun ini Kota Bala Anyar, dan tahun depan berencana akan menyambangi Kota Barang Anyar.
“Rencana semula kita undur,” usul Codas.
“Kematian dua teman kita harus kita selesaikan dulu,” sambung Dogan.
Eju mengangguk-angguk sambil berkata, “Kita perpanjang tinggal di Trisam Grand Hotel ini. Kita kejar pembunuh brengsek yang cari perkara itu.”
“Jangan gegabah, boss!” Faky mengingatkan. “Kuat dugaan, orang yang membunuh dua teman kita adalah Orlan.”
“Orlan?” Codas, Dogan, dan Eju terhenyak.
Sudut ruang dekat resepsionis hening sejenak.
Keempat orang yang bicaranya bernada rendah itu saling pandang. Mereka sudah tahu sosok yang bernama Orlan itu. Orlan Hafanza Surobraholo pernah merajai kalangan pembunuh selama puluhan tahun silam. Dia mendapat julukan pembunuh siluman tanpa bayangan. Jangankan di kalangan awam, di antara sesama pembunuh saja merasa gemetar kalau harus berurusan dengan Orlan.
Selama puluhan tahun Orlan malang melintang di dunia pencabutan nyawa manusia tanpa mudah dilacak bukti-buktinya. Tahu-tahu korban tumbang, kehilangan nyawa, tak terlacak siapa pembunuhnya. Masyarakat tahu bahwa yang membunuh adalah Orlan, tapi tidak bisa membuktikannya. Orang, seseorang, atau secara bersama-sama ingin mendapatkan bukti atas pembunuhan yang dilakukan Orlan, tahu-tahu telah menjadi mayat.
Setelah sekian lama lenyap dari pembicaraan, hilang dari hiruk pikuk transaksi melenyapkan nyawa manusia, tiba-tiba Orlan muncul dengan korban sepasang pembunuh sopan. Masyarakat gempar. Media massa gempar. Semua gempar. Sebelas pembunuh yang baru saja saja menikmati ‘pesta’ ikut kalang kabut. Mereka merasa sebentar lagi didatangi Orlan. Didatangi Orlan identik dengan kehilangan nyawa.
Mati!
Seberani-beraninya manusia, senekat-nekatnya pembunuh, pasti takut mati. Kalau ada manusia mengaku dirinya berani mati, bisa saja itu ungkapan rasa putus asa. Keempat pembunuh yang masih nongkrong di lobi Trisam Grand Hotel sebenarnya merasa ngeri ketika sadar bahwa mereka kini ‘ada urusan’ dengan Orlan.
“Iya, tapi kalian jangan ketakutan seperti itu! Memalukan,” Faky memperingatkan. Secara tidak langsung Faky mengingatkan kepada teman-temannya bahwa mereka adalah kelompok pembunuh yang ditakuti, bukan ketakutan.
“Siapa yang ketakutan?” sanggah Eju.
Mereka berempat melanjutkan rencana untuk menghabisi Orlan sebelum Orlan membunuhi mereka satu persatu. Mereka asyik berencana, sehingga tidak menyadari kehadiran seorang perempuan separuh baya. Masuk ruang lobi, duduk agak jauh dari mereka.
Perempuan itu duduk dengan sikap tenang. Duduknya sopan menandakan kalau dia seorang terdidik. Pelan-pelan perempuan itu memasukkan tangan kanan ke dalam tasnya. Tas berukuran cukup besar warna hitam.
Beberapa detik kemudian terdengar ledakan berperedam.
Codas, Dogan, Eju, dan Faky tumbang. Tubuh mereka masing-masing tersarang satu peluru. Peluru meledak sesaat setelah bersarang dalam tubuh mereka. Ada yang berada dekat jantung, ada yang terbenam di kepala. Mereka berkelejotan di lantai.
Orang-orang yang berada di lobi dan sekitarnya kacau. Mereka berlarian keluar ruang lobi. Perempuan yang membawa tas hitam tadi juga ikut keluar bersama mereka.
Kebalauan menguntungkan si perempuan itu. Dia dengan tenangnya melangkah keluar. Meninggalkan hotel yang penuh dengan hiruk pikuk dan jerit ketakutan. Dia melambai taksi. Taksi mendekat, perempuan itu bergegas masuk. Kendaraan roda empat tersebut melaju meninggalkan Trisam Grand Hotel. Bersamaan dengan itu berdatangan mobil-mobil polisi memasuki areal Trisam Grand Hotel.
Taksi berhenti di depan Hotel StylesDog. Perempuan yang bahunya bergantung tas hitam keluar dari taksi. Dia berjalan lamban menuju kamar 37 yang berada di lantai 4. Sampai di dalam kamar, cepat-cepat dia buka segala pakaian dan aksesoris penyamarannya. Pakaian perempuan dimasukkan kembali ke dalam almari. Dari dalam almari dia keluarkan empat mawar hitam yang akan dia bawa ke makam.
*
Gateng, Haslon, Ikid, Jemir, Kadat, Vardeck, dan Lonayu panik. Mereka pindah hotel. Mereka pindah ke Hotel StylesDog. Mereka menyewa kamar besar untuk ditempati bersama-sama. Mereka ingin saling menjaga. Mereka ingin berjaga-jaga dua puluh empat jam supaya tidak kecolongan.
“Brengsek! Dalam situasi seperti ini, Bajisu kemana?” geretak Gateng sambil menenggak miras berkadar 43%. “Dia ngumpet di mana ya? Dasar pengecut!”
“Ah…, kamu itu dari tadi ngomong nggak karuan!” sentak Lonayu yang berbadan indah nan seksi. Keseksian tubuhnya kadangkala digunakan untuk menjerat calon korban. “Apa perlu saya kelonin biar adem di hati, hihihihi….”
Haslon, Ikid, Jemir, Kadat, dan Verdeck tertawa ngakak. Gateng cemberut. Merasa dirinya direndahkan, diremehkan. Sahutnya, “Ah…, bosen dengan payudara palsumu yang berganjal silikon! Tuh kasihkan pada Haslon!”
“Jangan sok suci, Teng! Ingat waktu kamu merengek-rengek minta jatah saat di puncak tempo hari!”
Pembicaraan mereka terhenti saat handphone Lonayu berdering nyaring.
“O, kamu, Bajisu,” kata Lonayu. “Kapan kamu nyusul kami?”
“Ini on the way. Sebentar lagi aku bersama kalian,” sahut Bajisu. “Kalian tenang saja. Aku sendiri yang akan membereskan Orlan!”
Mendengar Bajisu sedang menuju Hotel StylesDog, Lonayu dan gerombolannya merasa senang. Mereka merasa besar hati setelah sekian waktu minder dan merasa takut yang akut. Mereka berharap Bajisu bisa memberesi Orlan. Kalau Orlan dihabisi, mereka bisa tidur nyenyak kelak.
Pintu kamar diketuk dari luar. Spontan Gateng yang terdekat dengan pintu membuka pintu. Begitu pintu terbuka, mata Gateng membelalak. Sebutir peluru dari ZeGock-4503 muntah. Menembus dada, berhenti di dalamnya. Tubuhnya terhentak ke belakang.
Haslon sigap. Dia mencabut pistol dari pinggangnya. Siap ditembakkan ke arah pintu. Sebutir peluru mendahului. Menembus kulit dahi, bersarang di batok kepala. Tubuh terhempas di lantai.
Ikid dan Jemir bersamaan mencabut pistol untuk menghabisi siapa pun yang mulai menerobos pintu. Sayangnya, dua peluru muntah. Sebutir bersarang di perut Ikid, satunya di dada kiri Jemir.
Kadat dan Verdeck belum sempat mencabut senjata saat peluru-peluru melesat mengarah kepala mereka. Masing-masing kebagian sebutir peluru yang bersarang di kepala.
Lonayu bersembunyi di balik meja. Siap menembakkan pistol ke arah Orlan. Beberapa tembakan dari ZeGock-4503 mengarah meja yang digunakan untuk bersembunyi Lonayu. Dari sekian tembakan, ada sebutir peluru yang berhasil menembus meja, terus melesat, tepat bersarang di leher Lonayu.
Secara beruntun peluru-peluru 450,3 meledak di dalam tubuh para korban. Masing-masing merasakan kesakitan tiada tara sebelum ajal menjemput mereka.
Orlan menutup pintu rapat-rapat. Dia menunggu mangsa terakhir.
*
Terdengar suara ketukan pintu. Orlan menjauh dari pintu. Siaga dari segala kemungkinan. Sengaja pintu tidak dikunci agar kalau sewaktu-waktu Basuji datang, bisa langsung masuk. Pada saat Bajisu masuk, Orlan ingin langsung menghabisinya.
Beberapa kali ketukan pintu terdengar karena tidak ada sahutan dari dalam. Ketukan pintu terhenti. Hening. Saling menunggu. Antara yang di dalam dan di luar kamar, saling menunggu.
Orlan mengambil asbak. Dia lemparkan ke pintu.
Terdengar tembakan beruntun dari senjata api berperedam. Pintu berlobang-lobang.
Orlan membalas tembakan ke arah pintu. Terdengar suara tubuh terjatuh. Buru-buru Orlan berlari ke arah pintu. Dia buka pintu.
Bajisu tergeletak tak berdaya. Wajahnya rusak karena diterjang peluru. Peluru meledak di dalam tempurung kepala. Tubuh bergeletar menahan sakit saat sekarat.
“S-siapa yang membayarmu?” tanya Bajisu di ujung kematian.
“Istriku,” Orlan menjawab dengan tenang. Nadanya pelan, tenang, seolah-olah tanpa perasaan. “Kalian telah membunuh istriku tanpa perasaan. Padahal dia sedang hamil muda. Betapa sakit perasaan ini. Sakit hati ini akan terbayarkan dengan kematian kalian yang disertai rasa sakit tak tertahankan.”
Orlan meninggalkan Bajusi.
Orlan meninggalkan Hotel StylesDog. Sebelum meninggalkan Kota Bala Anyar, dia kunjungi makam istrinya. Dia letakkan bunga-bunga warna hitam. Genap sudah tiga belas mawar hitam di pusara istrinya.
Spirof Lengking, 120211521929
***Selesai***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
