
Pernah aku ingin mengakhiri hidup, kemudian ia selamatkan dengan caranya yang tidak biasa. Pernah aku terlalu muak dengan diri, namun ia perkenalkan aku cara menghargai kurang, tanpa peduli pada kelebihan. Pernah aku terlalu lelah untuk membuka mata, dan ia temani aku lewat suara akan keberadaannya. Pernah aku terjatuh begitu dalam di antara gelap dunia, lalu ia ulurkan tangannya tidak hanya untuk menarik, namun juga merangkul dan mengiringi jalanku yang tertatih.
Aku mencintainya, itu benar dan...
1,070 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
I'd Never Think I Wasn't Better Alone
5
2
Writer’s POV“Kerjaanku tuh kenapa yang banyak banget banyak banyak banyak banyak banyak, ya?”Rasi tertawa seraya mengambil duduk di samping Utara yang sudah mengubah posisi duduknya untuk berhadapan dengan sang puan. “Serius deh, kamu tuh kenapa nggak pernah ngeluhin kerjaan? Nggak pernah capek? Yaa kamu kalau beneran capek mah udah langsung dirawat, tapi kamu beneran kenapa nggak pernah ngeluh?”“Soalnya, kalau aku ngeluh pun, aku tetep harus ngerjain kerjaanku dan nggak berkurang itu kerjaannya. But it’s okay, bagus bisa ngeluh, kamu jadi tau kalau kamu tuh lagi ngerjain sesuatu.”“Tapi kamu nggak pernah, Sayang.”“Soalnya nggak terbiasa aja, Aditya Wira Utara yang besok mau ulang tahun.”Utara berdecak lalu menyandarkan kepalanya di sofa, “Ulang tahun, tapi kerja tuh rasanya…”“Ya udah bolos aja, kita ke Dufan, yuk! On me, sekalian ngerayain ulang tahun kamu,” ucapan spontan Rasi langsung dihadiahi tatapan tak percaya dari Utara. “Kok ajakannya menggoda?”Rasi tertawa, lalu mengambil sepotong martabak manis yang ada di meja. “Makanya ayo cuti aja, cuti.”“Mana bisa, Sayang, jatah cutiku masih ada sih, cuma kerjaanku banyak.”Rasi mengedikkan kepalanya dengan kedua tangan yang juga ia angkat, “Kerjaanmu banyak, tapi sekali-sekali ditinggal kayaknya gapapa deh. Harusnya gapapa nggak sih?” tanya Rasi seraya melirik Utara yang masih bersandar di sofa.“Ajaranmu agak sesat, ya, tapi aku mau, tapi bentar… aku mikir dulu.”“Kamu mikir, aku sambil beli tiketnya.”Utara lekas menangkup kedua pipi Rasi dengan telapak tangannya, menggelengkan kepala dengan tatapan yang mengunci sang puan. “Nggak gitu dong, Cantik, kalau aku nggak bisa izin gimana?”“Aku pergi sama yang lain.”“Heh!” Satu sentilan pelan Utara berikan pada kening kekasihnya, “Lebih ngaco lagi kamu, ya udah oke aku cuti.”“Dua hari kalau bisa,” pinta Rasi dengan senyum yang kian lebar.“Buset, sehari aja belum tentu di-okein, malah minta dua hari.”“Ya kalau nggak boleh ya gapapa sih, Dit. Aku kan cuma ngomong doang, paling nan—"“Nggak ada!” jawab Utara buru-buru sebelum Rasi menyelesaikan ucapannya. “Bisa ini mah fix di-acc,” jawabnya yakin seraya lekas mengambil ponsel.“Yakin banget dih, emang bakal dibolehin?”“Harus dibolehin, soalnya ngeri kamu malah jalan sama yang lain.”“Idih berasa kantor punyamu sendiri aja!”“Lah kamu juga, mau alesan apa tuh nggak masuk kantor?”“Oh hahaha,” kali ini Rasi tertawa. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Utara, melainkan lebih dulu berdiri dari duduknya untuk mengambil air mineral, guna mengisi gelas keduanya yang sudah kosong.“Aku sih udah ngajuin cuti buat besok dan besoknya lagi sih, Dit. Eh tapi kalau besoknya lagi aku emang WFH sih, jadi nggak termasuk cuti.”Utara menoleh, menatap Rasi yang kini tengah menuangkan air, juga mengambil dua botol yoghurt dari lemari pendingin. “Hah? Dalam rangka apa?”“Ulang tahun kamu,” jawabnya santai.“Terus kamu alasannya apa?”“Nggak boleh ikut-ikutan, jadi rahasia!” Rasi meletakkan satu botol yoghurt ke tangan Utara yang sudah lebih dulu menengadah, lalu kembali duduk di sampingnya. “Ya pokoknya, intinya nih cutiku udah di-acc. Jadi yaaaa, walaupun kamu nggak bisa aku bakal tet—”Utara tidak membiarkan Rasi menyelesaikan kalimatnya. Ia lebih dulu merangkum percakapan di antara mereka dengan sebuah kesimpulan yang dihadiahkan di antara kecupan mereka. “Cutinya sama aku, nggak ada sama yang lain.”*** Utara’s POV“Aku nggak nyangka kamu beli Premium sih, Sayang.”Gue masih memandangi wristband yang melingkar di tangan kanan, sambil mengacak rambutnya yang masih tergerai rapi. Ia mencebikkan bibir, lalu menepis tangan gue. “Masih aja diomongin, it’s your birthday, Dit. Ayo seneng-seneng aja! Tiap kamu beliin sesuatu, aku juga nggak pernah protes lagi tuh, gini aja kamu protes mulu.”Kalau dipikir-pikir sih benar juga. Belakangan ini Rasi udah nggak pernah protes kalau gue beliin dia sesuatu. Paling mentok dia cuma menghela napas, lalu ya udah, nggak ada komentar panjang atau perdebatan yang biasa kami lakukan. “Iya iya, tapi—”Rasi menghentikan gue dengan satu jemarinya yang sudah dia letakkan di atas bibir gue. “Nggak ada tapi-tapian, aku mau ikutan kayak kamu kemarin waktu motong omongan aku, tapi nggak deh, aku bukan penganut PDA.”“Hahahaha!” Kali ini gue beneran ketawa lepas. Bisa-bisanya dia sempat memikirkan hal yang serupa seperti yang kemarin gue lakukan. “Aku padahal ikhlas-ikhlas aja.”“Bodo!” Gue baru akan mengaitkan jari jemarinya, tapi ia lebih dulu memutar badan menghadap gue. “Eh bentar, kamu tunggu sini, aku mau beli minum dulu, bentar aja oke?!”“Biar ak—” Ini beneran deh, hari ini tuh Rasi energinya luar biasa penuh. Gue bahkan belum sempat berbicara apa pun, dia sudah lebih dulu lari meninggalkan gue. “Gausah lari, Sayang!”Teriakan gue hanya dijawab dengan acungan jempol yang mengudara, tanpa menoleh sedikit pun. Kadang, kalau gue melihat sisi Rasi yang ini, gue jadi ingat masa-masa awal kami dekat dulu. Saat semua masih terasa baik-baik aja, saat gue belum pernah kehilangan dia, saat gue bahkan nggak pernah takut kalau dia akan pergi.Sekarang pun semuanya baik-baik aja, tapi kalau gue ingat dengan apa yang pernah terjadi di antara gue dengan dia, jujur gue takut kalau harus kehilangan semuanya lagi. Gue takut kalau kedekatan yang ada berubah jadi asing. Gue nggak bisa bayangin kehidupan ini akan kayak gimana, karena gue nggak suka kalau Rasi nggak jadi bagian di hari-hari gue.Ada banyak hal yang bikin seseorang berharap hidupnya nggak dihabiskan sendirian, dan gue salah satunya. Gue udah pernah kehilangan bunda, gue udah pernah kehilangan adik, dan gue juga pernah kehilangan Rasi. Maka nggak, gue nggak siap, nggak sanggup, dan nggak mau buat kehilangan dia untuk kedua kalinya.Kalau dunia mau jahat sama gue, terserah, gue udah terlalu biasa menghadapinya. But for this, buat Rasi, gue akan jadi jahat dan egois juga untuk mempertahankan dia. Gimana pun caranya, apa pun bahkan siapa pun yang harus gue hadapi, gue nggak takut. Soalnya gue lebih takut gue gabisa bahagia, kalau nggak sama dia. Gue lebih takut gue nggak kenal lagi sama artinya bahagia, karena nggak mengusahakan semua hal yang gue bisa, supaya bisa terus sama Rasi.*** Writer’s POV Lamunan Utara belum juga usai, ketika seorang anak-anak berumur kurang lebih 11 tahun mencolek lengannya, “Kak, Kakak yang namanya Utara, 'kan?”Senyuman jahil seketika merekah di wajah Utara, “Iya, tau dari mane lu, Cil?” “Ini aku disuruh kasih ini buat Kakak.”Utara menatap satu permen lollipop yang tengah disodorkan anak tersebut, lalu menatapnya penuh tanya, “Permen? Lollipop? Mau nyulik lu, ya?”“Hah?”“Hah heh hah heh kayak keong. Ini permen apaan? Dari siapa?” “Hm, aku nggak boleh bilang sih, tapi pokoknya tadi di sana ada Kakak Baik yang minta aku sama temen-temenku buat ngasih ini doang.”“Temen-temen?”Si anak tersebut hanya mengangguk sembari menyeruput minuman di genggamannya, “Ini, Kak, permennya diambil dulu.”“Terus temen-temen lu mana?” jawab Utara sembari mengambil permen yang sejak tadi disodorkan padanya.“Ganti-gantian disuruh ke Kakaknya.”Utara ingin meledakkan tawanya, tapi ia berusaha menahannya seraya terus menjalin obrolan dengan anak tersebut. “Idih kok mau sih? Emang nggak takut kalau kakak-kakak yang nyuruh itu jahat?” Bocah lelaki tersebut menggeleng, “Nggak. Soalnya dia udah minta izin sama ibu guru aku. Terus aku sama temen-temenku juga dijajanin minuman ini sama Kakaknya.”“Buset, modal juga pacar gue,” Utara tak lagi bisa tidak tersenyum membayangkan apa yang tengah Rasi lakukan saat ini. “Kenapa, Kak?”Utara dengan cepat menggelengkan kepalanya, lalu mengusap kepala bocah lelaki itu. “Ya udah makasih, ya. Kalau nanti ketemu kakak baik itu lagi, bilang suruh buruan ke sini gitu.”“Oke deh, dadah Kakak.” Belum jauh ia beranjak, bocah tersebut kembali menoleh ke belakang dengan satu tepukan di keningnya, “Ehhh lupa!”“Lupa apaan? Masih kecil udah pikun aja lu!”Anak lelaki itu hanya tertawa, memamerkan gigi depannya yang tanggal satu, “Selamat ulang tahun, Kak, panjang umur dan apa ya hmmm, semoga sehat selalu.”Kali ini Utara tertawa kecil menanggapinya. Ia kemudian berjongkok di hadapan anak lelaki itu, sembari memegang pundaknya, “Aamiin! Makasih ya makasih, doanya udahan, mending sana buruan balik, nanti dicariin sama ibu guru lu, yang ada mereka panik bocilnya ilang satu.”“Oke deh, bye, Kak! Oh ya, nama aku itu Bobby, bukan bocil.”Gelak tawa Utara akhirnya pecah. Ia benar-benar tidak bisa berhenti tersenyum sejak pagi tadi. Belum usai tawanya reda, beberapa anak-anak lain kembali menghampirinya. Silih berganti, menjalin obrolan singkat, membagikan tawa lewat tutur juga binar di mata kecil mereka, pun tidak lupa melangitkan banyak doa baik untuk hari lahirnya. Lalu ditutup dengan permen-permen yang memenuhi jarinya dalam hitungan menit yang bergulir.*** Utara’s POV“Beli minumnya lama, ya? Aku sampai bisa koleksi 15 lollipop loh. Apa-apaan nih?”Tangan gue beneran penuh dengan permen lollipop, belum lagi kantong celana gue juga diisi dengan beberapa bungkus jelly. Kini kedua alis Rasi bertaut, diam di tempatnya, lalu berbicara sesuatu yang terdengar sangat dibuat-buat di telinga gue. Soalnya Rasi tuh emang nggak bisa banget akting bohong, “Kok bisa?”“Kik bisi?” Gue mengacak rambutnya, lalu lekas menyeruput minuman yang dia beli. “Padahal jelas-jelas ini ulah kamu. Kamu tuh yang kok bisa kepikiran kayak gini? Tumben banget! Yaaa, lumayanlah romantis dikit.”Rasi mencebikkan bibirnya, “Iya deh yang paling romantis tuh cuma kamu.”“Aku nggak ngomong gitu,”“Tapi kamu bilang aku tumben, padahal aku masakin kamu, aku dengerin kamu ngorok, aku—”Lekas gue membekap mulut Rasi, “Stop there or I will kiss you.”“Ih nggak ada, ya, Dit.” Rasi melotot menatap gue, lalu melangkah menjauh, “Tempat umum ini tuh! Jangan ngaco!”“Oh kalau bukan tempat umum boleh ngaco?”Lagi-lagi pipi Rasi bersemu merah. Gue tuh udah pernah bilang nggak sih kalau gue suka banget tiap kali Rasi blushing? Lucu aja pipinya merah kayak tomat. Nggak perlu bilang sih kayaknya, ya, soalnya semua orang pasti udah tahu dan paham betul kalau gue cinta mentok sama Rasi. Sampai semua hal yang ada di dia, semua sifat dan sikap dia juga buat gue tuh lucu. Jangankan marah, mau ngambek sama dia aja gue nggak bisa. Rasi buat gue tuh beneran lucu, bikin gemas, dan nggak akan pernah bosan untuk terus gue lihat sampai tua nanti.“Nggak gitu juga konsepnya, Pak!”“Jadi gimana, Dek?”Kali ini ekspresinya berganti. Tangan kanannya menunjuk lengan kirinya, “Aditya, aneh banget dengernya. Aku merinding lho beneran, lihat nih.”Tawa gue meledak, seraya melangkah sejajar dengannya. Gue nggak tahu ini tawa ke- berapa yang gue punya sepanjang hari ini, tapi semoga nggak pernah ada tangis sedih. Soalnya yang udah-udah abis ketawa 'kan nangis, ya? Emang dasar otaknya Taurus suka kejauhan kalau mikir. Topi yang gue kenakan diketuk halus oleh Rasi, membuat gue menghentikan tawa dan menatapnya, “Kamu yang mulai, lagian aku emang lebih tua dari kamu, Sayang.”“Ya tapi nggak gitu juga, ih. Kamu beneran deh lihat, aku tuh merinding beneran, bulu kudukku sampai berdiri, Dit,” Rasi membawa lengan kirinya ke depan gue.“Hahahaha,” gue memegang tangannya, menatap lengannya dengan sedikit serius, lalu bergegas mengaitkan jemarinya dengan jari-jari gue. Setelah sebelumnya gue lebih dulu mencium jemari kirinya itu, “Makasih, ya.”“Untuk?”“Buat hari ini, buat lollipopnya, buat permen jelly, dan buat kamuuuu yang udah effort mau ngerayain ulang tahun aku.”Rasi tersenyum, kali ini senyumnya luar biasa merekah. Gue rasa sih beneran sampai ke kuping tuh senyumannya. Selebar itu, atau ya mungkin dia lagi pamer gigi bagusnya sih kayaknya. Gue baru mau melangkah, saat Rasi berbisik, “Sama-sama, Sayang.”“Waduh, nggak usah main deh, yuk. Mending di apart aja masak.”“No!” Rasi menggeleng kencang, berusaha melepaskan genggaman gue, yang udah jelas gue tolak, seraya sedikit berseru kesal. “Aku udah beli tiketnya mahal-mahal. Ayo main dulu sampai suaranya hilang, Dit!”Gabisa nih, gabisa banget gue kalau Rasi udah kasih lihat puppy eyes-nya ke gue. Pasti paham deh sama emotikon yang ada di ponsel, yang kalau dipakai tuh bawaannya, kalau gue sih elah gue peluk juga nih. Eh nggak maksudnya tuh kayak… apa ya, manusia yang pakai emotikon itu tuh emang lagi ingin dimengerti kalau dia sedih, tapi dia nggak sedih. Gimana, ya? Gue bingung jelasinnya, tapi gue yakin semua orang paham. Ya udah, intinya gue hanya ketawa melihat Rasi menatap gue seperti itu. Mana bisa juga gue nolak apa yang Rasi minta. Dia minta bulan pun, bisa gue usahain, walau gatau gimana caranya. Lah apalagi cuma urusan main di Dufan seharian, itu sih udah pasti gue iyain. “Hahaha oke oke, legooowww.”*** Utara’s POVBaru kali ini gue merasa satu hari tuh beneran lama dan penuh banget. Gue nggak mau hari ini cepat habis, tapi berhubung gue baru aja selesai makan malam, ya itu berarti bentar lagi waktu udah berganti. Gue dulu sering banget mikir kalau hari yang menyenangkan selalu berakhir cepat, tapi ternyata nggak juga. Semuanya tergantung dari gimana gue merasakan dan menghargai setiap momen di hari itu. Ya kayak hari ini.Buat gue hari ini nggak cepet-cepet amat berlalu, meski gue menikmatinya. Dan nggak bisa juga dibilang lama banget berjalannya. Gue lebih merasa hari ini padat, tapi cukup. Beneran gue bisa merasakan warna langit yang berubah dengan sepenuhnya sadar.Rasi baru saja beranjak dari duduknya, membuat gue buru-buru menahannya, “Aku aja yang nyuci piringnya, Sayang.” “Aku aja, sekalian mau beres-beres, Dit.”Gue menarik Rasi mendekat, “Kamu emang nggak capek? Seharian main di Dufan, balik ke apart malah masak, terus sekarang nyuci piring.” Anak rambutnya yang menutupi mata, gue singkirkan ke balik telinga, masih sambil mengamati lekuk wajahnya. “Gantian aja, ya?”Seperti biasa, Rasi menolak untuk semua urusan yang berkaitan dengan dapur. Padahal, ya gapapa juga, gue suka-suka aja buat bersih-bersih. Apalagi kalau emang gue udah punya niat, dan gue ngelakuinnya buat orang yang gue sayang, ya kenapa nggak. Rasi menggeleng, “Nggak ah, nanggung, biar aku aja sekalian. Inget, ini harinya kamu, jadi gapapa kalau nggak gantian. Aku seneng kalau kamu seneng, Dit!”Gue membiarkan Rasi membawa piring-piring di atas meja, lalu mengawasi pergerakannya, dan memutuskan untuk berpindah dari duduk gue untuk berdiri di dekatnya. “Emang ulang tahun tuh nggak perlu kejutan-kejutan sih menurutku.”“Kenapa?”“Daripada harus kejutan kayak dibikin kesel seharian, mending ya bener kayak gini, seharian aku bisa seneng-seneng sama kamu.”Rasi tersenyum. Suara air keran yang terus-terusan mengalir untuk membilas piring makan, membuat gue semakin sadar bahwa semua hal di hari ini berlalu dengan teramat baik. Biasanya, gue selalu merasa orang-orang yang bisa memberi kejutan ke manusia spesial di hidupnya tuh keren.Soalnya, menurut teori di kepala gue sih, buat kasih kejutan ke orang yang deket banget sama kita tuh susah. Mereka tuh beneran udah bisa baca perubahan sikap kita, ya paling mentok kejutannya gagal. Jadi, gue akan selalu merasa mereka yang bisa bikin kejutan tuh keren, apalagi kalau ada drama bikin nangis dan marah. Cumaaaaa, hari ini semua rasa keren itu hilang. Gue jadi merasa lebih keren lagi apa yang Rasi lakuin buat gue di hari ini.Gue jadi lebih bisa menikmati momen yang ada. Gue jadi lebih bisa melalui hari tanpa ada drama, bahkan nggak perlu overthinking, apalagi sampai pusing atau bertanya-tanya apakah orang yang gue sayang ingat hari lahir gue atau nggak. Soalnya dia udah bilang untuk merayakannya bersama. Terlepas dengan apa pun cara merayakannya, ternyata itu jauh lebih bikin tenang dan nyaman.“Itu sih namanya kamu udah tua aja, Dit. Tuh, anak-anak muda masih banyak yang suka bikin surprise ala-ala gitu.”Gue mengangguk sepakat, “Aku udah nggak muda sih emang, makanya nyadar kalau kayak gini jauh lebih bikin nyaman. Lebih nggak bikin mikir, lebih less drama juga.”Rasi mematikan air keran, lalu menyeka tangannya, dan berjalan membuka kulkas. “Iya iya, ya udah sana di balkon aja nunggu akunya, kita masih ada agenda liatin langit malem hari ini.”“Ada banget kerjaannya liatin langit, ngapain coba?”“Protes mulu ih! Aku kapan selesai beberesnya coba?”Kali ini gue mengaku kalah, sebab adanya gue hanya membuat Rasi lebih fokus menanggapi ocehan gue. Tangan gue kini sudah tidak lagi memegang gelas berisi air mineral, tapi berganti menjadi sebotol jus buah yang Rasi buat. “Oke oke oke, nggak ada ribut kecil karena hari ini harus happy!”“Good boy!”Langkah gue yang baru akan menuju balkon seketika berhenti, ketika gue ingat akan sesuatu. “Nyalain kembang api nggak sih, Sayang?”Rasi melipat kedua tangannya, “Gausah aneh-aneh, mending duduk diem aja, atau kamu ambil selimut biar nggak kedinginan, lumayan tuh habis hujan.”“Oke siap, bos!” Kali ini gue berteriak, lalu kembali berdiri di hadapannya, “Eh bentar, sekali dulu,”“Apaan?” Rasi memicingkan matanya pada gue yang membuat keningnya berkerut. Gue meletakkan botol jus dan juga gelas kosong di atas meja. Mengusap lembut keningnya, lalu mencuri satu kecupan di bibirnya. “Ini hehehe, I love you.”Rasi belum sempat membalas apa pun, karena gue lebih dulu berlari ke luar dengan tawa gue yang memenuhi seluruh ruang apartemen. Ternyata jatuh cinta memang semudah ini, ya, bila pada seseorang yang tepat. Benar nggak?*** Rasi’s POV“Happy birthday to you. Happy birthday, Adit. Happy birthday happy birthday, happy birthday, Sayang. Happy birthday Aditya Wira Utara. Semoga segala doa baik di-aamiin-kan. Semoga segala hal baik di umur yang berkurang ini bisa semakin banyak. Doamu, aamiinku.”Kali ini aku menyapa Utara dengan sebuah kue ulang tahun, saat ia tengah asyik menatap langit malam. Ada kilat keterkejutan di matanya yang sudah kupastikan sejak tadi tak bisa ia tebak. Sebab sejujurnya, kue ulang tahun ini memang aku sembunyikan di lemari pendingin yang berada di kamar. Dan tentu saja, membuat Utara tidak tahu menahu soal kue ini.“Hahaha, aduh bentar. Kok ada kue segala?”“Ditiup dulu lilinnya, jangan lupa baca doa!”Utara menutup kedua matanya, merapal doa dalam hening dan juga diam yang tetap ada nyaring suara kendaraan. Dua pasang lilin yang tidak bertuliskan angka pergantian usai itu akhirnya padam. Ada sebulir air mata yang jatuh ketika Utara mengalihkan pandangannya padaku. “Kuenya aku taruh dulu, ya? Aku mau peluk kamu dulu,” ucapnya.Aku menyambut Utara dengan membentangkan kedua tangan selebar mungkin. Usai meletakkan kue yang susah payah kubuat itu, Utara kembali menggelengkan kepalanya dengan senyum dan mata berkaca-kaca. Tak perlu waktu lama hingga akhirnya ia memelukku erat. “Selamat ulang tahun sekali lagi, Sayang,” aku berbisik tepat ketika ia mulai meletakkan kepalanya di leherku. Ada tarikan napas yang cukup dalam, sebelum akhirnya Utara melonggarkan pelukannya, lalu menatapku dengan matanya yang memerah.“Dang! Terima kasih, Sayang. Beneran makasih banget udah mau ngajak main ke Dufan hari ini, udah mau nungguin aku main bola sama anak-anak kecil, udah mau masakin aku, udah nyiapin kue ulang tahun juga, udah bagi-bagi makanan buat aku, dan yang paling penting, terima kasih udah ada di sini ngerayain ulang tahun bareng aku. Semoga seterusnya bisa sama kamu, ya!”Bohong jika aku tidak berkaca-kaca setelah mendengar ucapan terima kasih yang amat panjang dari Utara barusan. Bohong jika aku enggan untuk kembali memeluknya, jauh lebih erat daripada sebelumnya, sembari mengaamiinkan segala doa baik yang juga dia semogakan. “Aamiin.”Ada jeda yang cukup lama untuk mengunci aku dan Utara dalam sebuah ruang bernama pelukan. Ada waktu yang masing-masing kami tengah lewatkan dengan pemikiran yang sudah pasti berbeda. Entah dia dengan apa pun yang ada di kepalanya, juga aku dengan pertanyaan serupa yang kulontarkan kemarin malam ketika tengah membuat kue ulang tahun untuknya. Apakah aku berhak untuk semua kasih dan sayangnya? Apakah aku benar-benar melihat masa depan di antara kami? Apakah aku pantas untuk bersanding dengan Utara dan seluruh kebaikan yang dia punya? Apakah Utara akan menerima aku apa adanya, bahkan dengan seluruh kurang dan hal-hal tak baik yang aku punya?Aku menghela napas, sebelum Utara kembali melonggarkan pelukan, lalu sekali lagi tersenyum menatapku. “Udah ‘kan, ya?”“Apanya?”“Hari ini udah ‘kan, ya?” Utara memeriksa jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. “Jangan banyak-banyak nih manisnya kamu, aku beneran nggak sanggup senyum sama nangis terharu mulu.”Pipi kirinya mau tak mau jadi korban untuk aku cubit, lalu menunjuk kue yang sudah semestinya dipotong itu. “Tergantung, kamu maunya udah atau belum?”“Jujur sama aku, kamu belajar dari mana bikin aku senyum-senyum seharian gini?”Kami duduk berhadapan. Tangan kanannya sudah memegang pisau untuk memotong kue, tetapi ia masih saja mengajakku terus berbicara. Membuat aku mau tak mau menarik selimut yang tergeletak rapi di belakangku untuk kemudian aku sampirkan di pundak. “Hmm, i just want to make you happy. You know? You deserve it, Dit. Kebaikan-kebaikan kamu juga harus berbalik ke kamu, tapi kayaknya nggak deh, belum habis nih acara ulang tahunnya.”Utara kembali meletakkan pisau yang tadi dia pegang. Kali ini menyilangkan kedua tangannya dengan satu alis yang terangkat, “Apalagi hm? Apalagi? Sekalian aja sekarang yuk, kamu nggak lihat mataku udah merah gini?” “Tapi kali ini permintaan sih.”“Apa?”“Besok ke makamnya Utari, ya, sama aku. Dia juga ulang tahun ih!”Aku tidak tahu kapan harus memulai pembahasan ini. Namun, sejak tadi aku memang menanti untuk membicarakannya. Sebab aku juga tahu, ada sebagian kecil perasaan rindu Utara pada mendiang kembarannya, yang nggak mungkin juga aku abaikan, sebab aku masih terlalu peduli padanya. Utara diam, cukup lama, tapi tidak memandangku. Ada hela napas berat yang kemudian membuatku sadar jika airmata di pipi kirinya sudah mengalir sejak tadi. “Dit, aduh kok makin nangis. Maaf. Aku salah, ya? Harusnya aku nggak ngo—”“Boleh peluk lagi nggak?”Aku mengangguk dan beranjak untuk mendekat ke tempat duduknya. Memeluknya dari depan, seraya bergantian mengusap punggung dan juga rambutnya. “Breathe, Sayang. Tarik napas, embusin lagi, biar nggak sesenggukan.”“Makasih, ya.” Di antara tangis dan sesaknya, Utara mencoba untuk menyampaikan kalimat yang jujur saja membuatku berdebar. Sebab rasanya, ini bukan topik yang mudah untuk dibicarakan. Tidak di saat seperti ini, tidak dengan cara seperti ini. “Makasih kamu selalu inget sama Adek. Makasih selalu–”“Gapapa, nangisnya selesaiin dulu aja,” aku kembali menepuk pundaknya untuk menenangkan. “Kamu lagian kenapa nangisnya sedih banget deh? Aku jadi mau nangis juga,” kali ini aku benar-benar berusaha untuk mengembalikan keadaan supaya tidak terlalu menyesakkan untuk dilalui.“Jangan dong, nanti yang ada nggak selesai-selesai nangisnya.”“Ya makanya. Duduk yang bener dulu deh, terus minum, baru habis itu potong kuenya. Aku udah susah-susah buatnya tuh.”Utara membelalakkan kedua matanya, “Kamu? Buat ini? Kapan?”“Kemarin, makanya aku suruh kamu pulang, nggak usah nginep,” jawabku dengan tawa kecil yang dihadiahi olehnya sebuah cubitan kecil di hidung.“Pantesan astaga, terus kamu nggak tidur?”Aku menepuk pelan lengannya, berdiri dari posisiku, lalu mengambil pisau kue untuk kemudian kembali meletakkannya di tangan Utara. “Ya tidurlah, kalau aku nggak tidur, yang ada berkantong nih mataku.”Tanganku kembali digenggam Utara, manik matanya menatapku begitu dalam. Belaian ibu jarinya tepat berada di atas ibu jariku, membuatku mau tak mau merasakan banyak ragam hal aneh di perut. “Tapi serius, makasih, ya. Beneran makasih banget udah bikin ulang tahun aku berarti, nggak cuma buat aku, tapi buat banyak orang, karena kamu beneran ngelakuin banyak hal banget hari ini.” Tangan kiriku kini membelai rambutnya, juga merangkum wajahnya dengan lembut, menantikan lanjutan kalimat darinya yang aku tahu belum usai. “Kamu tuh sekali lagi ngajarin ke aku, kalau hidup emang bukan buat diri sendiri. Hari ini beneran penuh banget rasanya, kayak sepenuh itu, Sayang.”“Kembali kasih, Aditya, tapi aku nggak ada kembalian nih,” candaku dengan cubitan yang kembali kuberikan di pipi kirinya.“Oke itu jokes-nya jayus garing krenyes banget beneran, tapi gapapa, aku tetep sayang.”“Kamu juga gombal mulu seharian ini!”Utara tidak meresponku sama sekali. Ia hanya tersenyum, memandangku cukup lama, tanpa sepatah kata pun yang terucap. “Kenapa? Kok diem aja ngeliatin aku, Dit?”“Gapapa, cuma lagi berdoa aja,” jawabnya dengan senyuman ikhlas yang selalu dia berikan pada siapa pun itu. “Tapi beneran, aku nggak expect hari ini sepenuh ini. Penuh yang beneran penuh sampai bikin aku mau meledak seneng banget.”Aku menggeleng menanggapi ucapannya, lalu kembali menuju tempatku duduk. “Ini kalau kuenya nggak enak, beneran zonk nggak sih, Dit? Kamu udah happy gitu seharian, terus—”Utara lebih dulu memotong ucapanku dengan jari kanannya yang sudah ia letakkan di mulutnya. “Enak! Sumpah kamu cobain aja sendiri deh, sembarangan banget ngomong kue bikinan pacar gue nggak enak hih. Sini buka dulu mulutnya, aku suapin.”“Terus buat apa aku siapin pisau kalau kamu colek kuenya kayak gitu, Dit? Ditusuk pula pakai garpu, haduh.”Lagi-lagi tawanya menular, membuatku mau tak mau juga ikut tertawa dengan tingkahnya yang selalu penuh kejutan, untuk aku yang senantiasa mengikuti aturan. Sejujurnya, hari ini aku betu-betul memikirkannya dengan penuh persiapan. Ulang tahun Utara di waktu-waktu lalu tidak pernah kurayakan sebaik ia merayakan hari lahirku. Itu sebabnya aku menyiapkan semua ini dengan maksimal untuk merayakannya.Utara kini sudah menyodorkan garpunya ke arahku, hingga membuat lamunanku terhenti. “Gapapa, lebih gampang. Mending kamu buka mulutmu beneran buat nyicipin deh, sini majuan kamu duduknya biar tanganku nyampe buat nyuapin.”*** Utara’s POVKalau kebahagiaan bisa didefinisikan dengan baik, kayaknya kata bahagia nggak akan pernah masuk kamus deh. Soalnya arti bahagia jadi banyak. Banyak yang beneran banyak, karena tiap kepala punya definisinya masing-masing. Dan alasan untuk bahagianya pun nggak selalu untuk hal-hal besar. Kayak gue sekarang, menutup hari peringatan lahir gue, setelah seharian capek main dengan duduk bengong, sekalian duduk bego melihat langit malam di Jakarta sehabis hujan.“Dit…”“Sayang,” iya itu jawaban gue tiap kali Rasi memanggil nama gue. Emang susah sih buat membiasakan lidah Rasi memanggil gue dengan cara seperti itu, cuma ya gapapa, gue nungguin dia aja bertahun-tahun, maka buat hal sesepele ini gue bisa untuk lebih sabar.Tawanya terdengar renyah banget di telinga gue, “Iya iya. Sayang.”“Nah gitu ‘kan enak didengernya. Dalem, Sayangku,” bukannya dicium—iya kalau ini sih mau gue aja—gue malah dicubit olehnya. “Aduh apa sih kok aku malah dicubit?”“Jangan jawab kayak gitu kecuali di-chat.”“Lah kenapa?”“Gapapa, di-chat aja.”Kalau kali ini, gue beneran nggak bisa nahan ketawa, soalnya dua pipi Rasi beneran udah berubah jadi tomat. Padahal cahaya lampu juga nggak terang-terang amat, tapi sumpah pipinya merah banget. “Halah bilang aja salting ‘kan lu! Tuh pipinya merah banget.”Rasi memegang kedua pipinya dengan punggung tangan, lalu mencebikkan bibir melihat ke arah gue. “Itu udah tau malah dibahas.”“Hahaha, ya udah ya udah. Terus kenapa, Sayang? Tadi manggil tuh kenapa? Padahal lagi enak nih ngelamun.”“Hmmm, masih inget nggak, apa rasi bintang kesukaannya Utari?” …..lanjutannya aku locked, ya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan