
“Zaman berganti zaman,
musim berganti musim.
Tahun berganti tahun,
padi tumbuh menguning.
Im Ceng berganti Hong Li,
disaksikan tanah basah mengering.
Harimau bengis telah binasa,
diganti angsa berbulu emas,
disaksikan burung Ho dan terwelu
yang berlompatan dari lobang di tanah.
Kaisar turun naik tahta,
rakyat tambah makmur dan bahagia.
Sungguh tanda Thian tersenyum,
jaman keemasan telah tiba.”
Prakata.
“Zaman berganti zaman,
musim berganti musim.
Tahun berganti tahun,
padi tumbuh menguning.
Im Ceng berganti Hong Li,
disaksikan tanah basah mengering.
Harimau bengis telah binasa,
diganti angsa berbulu emas,
disaksikan burung Ho dan terwelu
yang berlompatan dari lobang di tanah.
Kaisar turun naik tahta,
rakyat tambah makmur dan bahagia.
Sungguh tanda Thian tersenyum,
jaman keemasan telah tiba.”
Demikian terdengar bunyi penggalan puisi yang keluar dari mulut satu pengamen pengembara yang berjalan bernyanyi-nyanyi sambil bunyikan kecrekan kayu melewati Ang Sin Thiong di sebuah jalan setapak di tepi hutan bambu. Entah darimana puisi tersebut berasal, tetapi penggalan puisi tadi adalah penggambaran situasi di negeri Tiong Goan saat ini, di mana Kaisar Yong Cheng, yang punyai nama kecil Pangeran Im Ceng, wafat dan telah digantikan oleh anaknya yaitu Kaisar Kian Liong, yang memiliki nama kecil pangeran Hong Li. Kaisar Yong Cheng yang memerintah dengan tangan besi, memang terkenal dengan hukum dan peraturan yang terbilang cukup keras terhadap rakyat, terutama kepada kalangan terpelajar dan kaum pedagang. Semasa hidupnya sang kaisar giat berusaha memberantas korupsi di kalangan pejabat pemerintahan dan abdi negara, serta membasmi bibit-bibit pemberontak anti dinasti Cheng. Tak tanggung-tanggung, dalam hal ini sang kaisar memerintahkan pembentukan satu pasukan istimewa yang jumlahnya seratus orang pendekar berilmu silat tinggi bersenjatakan khusus, guna melaksanakan titahnya menghukum para pemberontak yang banyak berasal dari kalangan terpelajar yang merasa ditindas oleh peraturan-peraturan ketat kaisar Yong Cheng. Dalam laporan resmi dari kotaraja dan kalangan dalam istana, Kaisar Yong Cheng wafat karena terlalu Lelah berkerja dalam memerintah, tetapi kabar burung yang santer dikalangan rakyat jelata adalah sang kaisar kena diracun oleh para agen pemberontak. Kabar lainnya adalah kaisar Yong Cheng telah mati kena bunuh oleh salah satu tokoh pemberontak dari kaum terpelajar. Tentu saja kebenaran kabar ini langsung dibantah mentah-mentah oleh pihak istana dan para pejabat setia pendukung mendiang kaisar, namun hal ini memang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Kaisar Kian Liong naik meneruskan tahta ayahnya sebagai kaisar dinasti Ceng di negeri Tiong Goan. Kaisar Kian Liong memiliki sifat yang berbeda jauh bagai langit dan bumi dari ayahnya yang diibaratkan harimau bengis di dalam puisi tadi. Kian Liong yang diibaratkan sebagai angsa berbulu emas, memiliki pembawaan lembut dan welas asih. Walaupun beliau tetap meneruskan sebagian besar rencana mendiang kaisar Yong Cheng, yaitu terus membangun negeri dan membersihkan pemerintahan dari pejabat korup dan menteri-menteri kantong nasi, tetapi Kian Liong melakukannya dengan cara yang jauh berbeda, tidak dengan cara keras tangan besi macam mendiang ayahnya. Oleh karenanya Kian Liong sangat dicintai oleh segenap rakyat tanah Tiong Goan, terutama di daerah-daerah terpencil dan pedesaan. Hal ini sebenarnya terutama karena tugas berat membasmi kebobrokan, menangkap penjahat-penjahat besar, para pejabat korup, dan pemberontak, sebagian besar telah dilakukan oleh Kaisar Yong Cheng. Kaisar Kian Liong telah berhasil memajukan perdagangan dan pertanian yang berujung pada jauh berkurangnya kemiskinan rakyat di negeri ini. Walaupun demikian, tak semua kalangan merasa terpuaskan oleh pemerintahan sang angsa berbulu emas. Masih ada saja sisa-sisa gerakan anti bangsa Manchu dan kalangan yang terlanjur sakit hati oleh cara-cara tangan besi Kaisar Yong Cheng.
1. Pertemuan Di Rumah Teh
Matahari sudah agak condong ke barat ketika Ang Sin Thiong menghentikan langkahnya hampir satu tombak dari rumah teh di pinggir hutan bambu pada musim semi di tahun ke empat kaisar Kian Liong naik tahta menjadi kaisar dinasti Ceng. Lapat-lapat si orang she (marga) Ang dapat dengar suara orang-orang berbincang ringan di meja-meja yang digelar depan pelataran rumah teh kecil tersebut.
"Hmmm...... Kelihatannya aku sampai duluan.", pikir lelaki bertubuh tegap tinggi yang mengenakan baju biru muda dan luaran baju jerami ini sambil mengusap dagu dengan telapak tangannya.
Sin Thiong berjalan mendekat dan mendongak guna membaca papan nama yang tergantung di atas pintu rumah teh yang bertuliskan “Rumah teh keluarga Liok”.
Dia melangkah masuk rumah teh sambil tengok kiri kanan. Didapatinya bagian dalam rumah teh yang terbuat dari bambu ini cukup rapi dan sederhana dengan lantai dari papan kayu dan meja kursi karu yang disusun agak jarang-jarang sehingga mudah bagi orang untuk lalu-lalang di dalam ruangan. Tinggi dari lantai papan ke penglari kira-kira hampir setinggi tiga kali orang dewasa. Di bagian dinding yang berseberangan dengan pintu masuk berselang dua meja, terdapat sebuah meja setinggi perut dengan kursi dibelakangnya yang diduduki oleh seorang perempuan usia tiga puluhan awal berparas potongan kuaci. Si nyonya taoke tampak sibuk meneriaki para bujang pelayan yang hilir-mudik membawa baki-baki nampan berisi poci arak dan teh serta pelbagai hidangan teman minum yang keliatan masih mengepul asap tipis pertanda masih hangat.
Sin Thiong menarik sebuah kursi yang menghadap pintu masuk membelakangi meja si nyonya taoke rumah teh kemudian melepas baju jerami dan menaruhnya di kursi sebelah. Sembari duduk ia letaki pedang dan gembolan kain di atas meja.
Dengan sedikit tergesa seorang pelayan lelaki yang membawa kain lap di pundaknya langsung sigap menyeka meja, serta merapikan letak dan isi tempat sumpit di meja Sin Thiong. Setelah itu dengan senyum lebar yang palsu lelaki paruh baya ini membungkuk ringan sambil bertanya kepada tuan tamu ini, "pesan sekarang tuan?"
Bujang satu lagi muncul dari sisi kiri membawa baki berisi cawan dan poci teh langsung disusun di atas meja. Semilir bau hidangan matang pun menggoda hidung Sin Thiong. Perut yang tadinya tak merasa lapar sekarang merengek pelan minta diganjal. Sin Thiong mendongak pelan. Sembari kasih senyum ia menjawab si pelayan, "Aku pesan satu poci arak dan satu porsi bapau"
Si pelayan mengangguk kemudian berlalu pergi sambil memindahkan lapnya ke pundak kiri. Dengan santai Si tamu yg berusia dua puluh dua tahun dengan perawakan tinggi tegap berbahu lebar ini menyapu ruangan dengan satu lirikan mata. Di pojok ruangan arah kiri sejajar pintu masuk, duduk tiga orang yang dari cara berpakaiannya kelihatan seperti pengawal piawkok (jasa pengantaran barang) sedang asyik berbincang sambil menikmati air kata-kata dan tiga macam hidangan teman minum. Selang satu meja ke arah tengah samping kanan meja Sin Thiong, ia dapati seorang lelaki berjanggut tipis umur tiga puluhan awal yang sedang sibuk memainkan swi-poa sambil menulis dengan mo pit di atas buku kecil dengan tiga gembolan kain diletakan disampingnya. Di sebelah si pedagang duduk satu nona manis berusia belasan akhir menemani si lelaki. Nona baju warna dadu ini duduk santai menyeruput teh hangat sambil sesekali menunjuk-nunjuk buku yg ditulisi si pedagang dan berkata-kata yang tak dapat didengar oleh Sin Thiong. Sebentar saja arak serta seporsi pau isi daging yang dipesan pun tiba dan langsung disusun di atas meja oleh si bujang muda dengan cekatan. Sambil menarik baki, si bujang persilahkan si lelaki she Ang untuk menyantap hidangan. Dengan enteng Sin Thiong basahi cawan arak sampai tiga perempat penuh sambil mengambil sebutir bakpau dengan tangan kanan. Hampir berbarengan dengan Sin Thiong kelar menuang arak dan menaruh poci kembali di meja, seorang lelaki umur 30an awal yang memakai caping jerami melangkah masuk ruang dalam rumah teh. Di pinggang kanannya tertandal sebuah golok bergagang merah. Bujang paruh baya yang tadi menyapa Sin Thiong langsung menghampiri orang yang baru masuk. Dengan membungkuk Si bujang pelayan mempersilahkan tamu ini duduk di kursi sebelah meja para pegawai piawkok. Seraya menarik kursi yang berseberangan menghadap Sin Thiong, si lelaki bercaping ini menyapu ruang sekitar dengan sekali pandang. Pada satu titik matanya beradu sesaat dengan pandangan mata Sin Thiong yang sedang meminum araknya. Sin Thiong melihat orang ini punyai satu tatapan yang tajam. Walaupun beradu selewat saja Sin Thiong dapat meraba bahwa si topi caping ini bukan orang sembarangan dan dari potongan serta gerakannya mestilah bukan orang yang tak mengerti ilmu silat.
Lie Sie Peng berhenti di depan sebuah meja di luar rumah teh. Sambil menyeka keringat dengan lengan baju ia menaruh pedangnya di atas meja. Nona berkulit lembut putih bagai giok ini menghela napas. Sambil menoleh ke kanan, si nona menarik kursi. Ia dapati tulisan "rumah teh keluarga Liok" tertulis di papan tergantung di atas pintu masuk.
"Pesan nona?" Sapa sebuah suara perempuan.
Sambil menaruh gembolan kain berwarna gading di samping pedangnya yang bergagang giok warna hijau tua Sie Peng menjawab singkat, "satu poci teh dan satu macam sayur".
Nona baju hijau ini berparas cantik dengan potongan muka bulat, mata besar yang indah dan alis tebal bersusun rapih macam ulat bulu sedang berbaris. Gadis usia hampir dua puluh tahun ini bertubuh mungil dengan kulit putih susu licin bagai pualam, tetapi dari potongan badan dan gerak-geriknya keliatan kalau nona Lie Sie Peng bukanlah macam nona-nona putri giok yang saban kali jalan minta dipayungi oleh dayang-dayang karena takut kena sinar matahari. Seraya meniup asap tipis di cawan teh yang baru diangkatnya separuh jalan Sie Peng mengeluarkan satu benda lempengan kayu bundar dari balik sabuknya.
"Hmmm....belum nampak yang lain, tapi tidak salah lagi.... inilah rumah teh yg dimaksud" ia berkata pada diri sendiri sambil memainkan lempengan kayu bertuliskan huruf "Goan Kang" pemberian dari gurunya yang datang dan beralamatkan untuk guru Lie Sie Peng disertai sepucuk surat undangan.
Tiba-tiba nona Lie terbangun dari lamunannya yang tertuju pada lempengan kayu itu ketika sebuah bunyi mengalun lembut sampai di telinganya. Kapan Sie Peng menengok ke arah belakang kanan ia dapati seorang lelaki potongan siucai (sarjana/pelajar) sederhana berbaju putih bersih sedang duduk di bawah pohon yang liu memainkan yangkim yang mengeluarkan satu lagu berirama lembut dan indah. Di pohon tempat si siucai duduk berteduh tersender satu gembolan kain warna telor asin dan sebuah pedang tipis bergagang perak. Orang yang ditengok pun tersenyum pada si nona seraya menyeruput satu cawan arak dengan tangan kirinya. Si nona hanya membalas dengan satu anggukan cepat. Sie Peng lantas masuki lempengan kayu yang ia mainkan tadi sejenak setelah gadis pelayan susun makanan dan minuman pesanan si nona
"Satu macam sayur asin dan sepoci teh" kata si gadis cilik sambil letaki mangkuk sayur, poci teh beserta cawannya di atas meja.
Ketika Lie Sie Peng hendak tuangi itu cawan tiba-tiba sebuah suara tawa lepas pecah dari arah gerbang masuk jalan ke rumah teh. Lanjut saja si nona basahi cawan teh sambil melirik ke arah datangnya tawa tersebut. Tiga orang yang memakai baju serupa dengan pegawai piawkok di dalam pun terlihat berjalan cepat diiringi tawa lepas. Tampaknya mereka sedang bersenda gurau dan hendak melepas dahaga, bersantai sore di rumah teh keluarga Liok ini setelah berhasil dalam suatu hantaran. Di pinggang mereka masing-masing tertandal sebilah pedang, dan dua dari mereka membawa gembolan sebesar buah semangka di pundaknya. Tiga orang ini langsung menarik kursi dan duduk di meja sebelah Lie Sie Peng tanpa banyak tanya. Seorang dari mereka yang berjanggut hitam lebat seperti sarang lebah berseru pada bujang pelayan yang berdiri di belakang Sie Peng, "hai kawan, matangi dua kati mie dan tiga ekor ayam merah…...Ah jangan! Bikin tiga kati mie, kalian lapar bukan?" lanjut si janggut menengok pada teman-temannya yang lantas tertawa seraya mengangguk gembira.
“Naah, boleh kau bawakan juga kuwah daging dan dua macam sayur!”, sambung seorang teman si janggut yang bermuka persegi dengan kumis tipis sambil menunjuk ke arah si bujang kurus yang terkejut tetapi lantas menangguk seraya tersenyum lebar.
“Dan jangan kau lupa tiga poci arak terbaikmu. Dahulukan araknya!", sambar seorang lagi yang berbadan kurus tinggi sambil menepuk bahu si pelayan masih tertawa dibalik kumis tebalnya.
Tak lama berselang, arak hangat pesanan mereka langsung diantar oleh dua bujang dan segera disusun di meja dengan cepat dan rapi, lengkap dengan cawan-cawannya. Baru itulah si pegawai piawkok berkumis tipis sadar ada satu nona cantik berkulit putih mulus duduk dekat meja mereka. Orang ini lalu colek si janggut dan kasih isyarat memonyongkan bibir ke arah Sie Peng ketika si janggut menengok pada yang mencolek.
"Ah, nona…mari minum selagi masih hangat", kata si janggut pada Sie Peng sambil basahi tiga cawan arak yang baru diletakkan di meja oleh bujang tadi.
Si nona mengangguk dengan senyuman seraya angkat cawan teh ke arah mereka. Tiga orang ini membalas anggukan si nona dengan mengangkat cawan arak lalu meminum arak mereka kemudian melanjutkan obrolan mereka dengan tawa riang.
"Waaah! Saudara-saudara sudah sampai rupanya? Mari…mari gabung sini di dalam", tiba-tiba satu pegawai piawkok berbadan tinggi tegap, berbahu lebar, yang di dalam berseru pada temannya di luar sambil melongok di pintu masuk rumah teh
"Hahaha, di luar sini saja Peng toako (kakak tertua). Anginnya sejuk, mari!" Sahut si janggut tebal sambil berdiri dan mengangkat cawan araknya.
Orang yang dipanggil Peng toako ini tertawa sambil mengajak kawan-kawannya yang di dalam pindah ke luar sambil membawa arak dan makanan mereka. Dalam waktu singkat tawa canda mereka telah disambung saat mereka duduk di dua meja yang digabung.
2. Persaudaraan Kang
Ang Sin Thiong lanjut mencaplok dua buah bakpau yang masih hangat. Perutnya memang sudah berbunyi minta diisi semenjak bapau dan arak tiba dibawa bujang rumah teh tadi. Sambil meminum secawan arak yang ketiga kalinya Ang Sin Thion mendengar si lelaki bertopi caping jerami memesan hidangan pada bujang pelayan sambil membuka topi caping dan menaruh goloknya di meja,
“Bawakan ayam setengah ekor, arak sepoci dan sayur! Jangan lama-lama!”, kata si lelaki ini sembari tepak lengan si bujang pelayan pelan dan melirik pada si bujang.
“Eh, iya… b..b.. baik tuan”, Jawab si empunya lengan kaget dan agak gugup karena ditepak si tamu sambil menatap yang kelihatan tak main-main.
“Hmm.…perasaanku kata bahwa orang ini tidak beres. Mengerti ilmu silat, tetapi ada yang tidak beres.”, Sin Thiong berkata dalam hati, melirik orang di seberang mejanya ini sambil tetap menyeruput arak yang tadi dituanginya.
Orang yang dilirik pun paham bahwa dirinya sedang diperhatikan dan ditakar orang. Tanpa melihat lelaki di seberangnya dan hanya menunduk seperti melihat ke arah poci teh di mejanya, orang ini menggebrak ringan meja dengan tapak tangan kanannya. Dengan satu gerakan ia telah dapat buat sepasang sumpit loncat keluar dari tempatnya yang terbuat dari tabung bambu melayang ke udara, lalu dengan santai ditangkapnya sepasang sumpit ini dan kemudian dipakainya untuk ambil sepotong sayur dari piring, yang kebetulan sekali baru ditaruh di meja oleh bujang pelayan selesai ia gebrak meja tadi. Si pelayan tentu saja tidak memperhatikan sumpit melayang hasil gebrak meja si lelaki ini karena si bujang pelayan langsung balik badan setelah membungkuk dan meletakkan pesanan sayur di meja tamunya.
“Ehm!”, ia lalu mendehem dan tersenyum lalu mencaplok sayur yang diambil pakai sumpit tadi.
Ang Sin Thiong belagak pilon tidak memperhatikan orang mempertontonkan ilmunya dan hanya mencaplok sebuah bapau, menyisakan satu buah lagi bapau terakhir dipiringnya.
Selesai mencaplok bapau sambil menunduk tiba-tiba Ang Sin Thiong mendengar suara siiiirrr! halus seperti terbang mendekati jidatnya. Kapan ia melirik untuk mencari sumber datangnya suara ternyata sumber suara adalah sebuah cawan arak datang melesat terbang mengarah tengah jidatnya. Sin Thiong langsung mengkedut mundurkan badannya setengah tindak tanpa bergerak dari kursi. Dengan tangan kanannya ia tangkap itu cawan arak dengan posisi tangan melengkung sikutnya hingga saat cawan arak tertangkap sudah persis jarak sejengkal di depan mulutnya. Dia dapati ternyata cawan memang terisi arak setengahnya. Sambil angkat bahu tanpa sadar Ang Sin Thiong kemudian melirik pada si empunya cawan arak dan mengangkat cawan tanda terimakasih telah diberi arak lantas ia meminumnya seperti tak terjadi suatu apa.
“Hmmphh!”, si empunya cawan kentut dari hidung sambil kasih hormat cepat pada Ang Sin Thiong denga agak jengkel.
Setelah menaruh cawan arak di meja Ang Sin Thiong lalu membalas “kebaikan” si tuan di seberang meja ini dengan menepak poci arak di samping kirinya hingga terdorong. Ia gunai lweekang nya hingga benda yang terdorong dapat terpental jauh menyeberang ke udara, kemudian ngacir melayang sampai meja tuan di seberangnya dengan kencang seperti hendak kenai dada orang. Kalau poci arak persis kenai dada orang tentulah jadi pecah berantakan dan orang terpental kebelakang, tetapi orang yang menjadi sasaran juga sigap akan balasan “pemberian” dari lelaki diseberang mejanya ini. Orang ini kemudian tadahi poci arak yang ngacir kencang hendak kenai dirinya dengan telapak tangan terbalik dan jempol menghadap meja. Ketika tenaga maju poci arak hampir habis, ia putar telapak tangannya, tetap menempel pada poci setengah lingkaran memutari poci lalu ia sontek si poci naik membumbung ke udara lantas ia tangkap gagangnya dengan tangan kanan. Sambil tersenyum cepat kearah Ang Sin thiong lalu ia meminum arak langsung dari pocinya yang ia tangkap tadi.
Melihat hal ini Sin Thiong balas tersenyum ringan tanpa melihat lama kemudian lanjut menyantap bapau terakhir dipiringnya dan meminum arak di dalam cawannya.
Tiba-tiba saja ada suara gaduh di luar dan mendadak seseorang masuk menerobos ke dalam rumah teh lalu lari gopoh menghampiri si lelaki “teman minum” Ang sin Thiong.
“Bo Ong Toako, Di luar banyak anggota piawkok baju kuning! Merekalah yang kemarin bunuh tiga orang saudara kita di jalan!”, orang itu kata pada orang yang dipanggil toako ini sambil kasih hormat.
Mendengar ini beberapa orang bertampang beringas pun berdiri sambil tangan mereka pegang gagang senjata di pinggang masing-masing, tunggu aba-aba dari sang toako.
Sebelum Si Toako buka mulut hendak bicara, tiba-tiba beberapa anggota piawkok baju kuning yang tadi tidak ikut dengan Peng Thian Jin keluar pun berdiri lalu cabut senjata.
“Hah! Kurangajar! Kalian lah yang merampok rombongan kami kemarin, kami hanya bela diri! Lantas apa musti diam saja hadapi kalian para rampok busuk?!”, seru seorang dari mereka gusar kelompoknya dituduh mulai duluan.
“Tuan-tuan sekalian, sabar…. sabar.... hendaknya hal ini diselesaikan dengan baik-baik…”, sambar Ang Sin Thiong sambil lompat bediri di antara si toako dan para pegawai piawkok baju kuning dan membentang tangan.
“Tidak bisa! Apa, sabar, sabar?! Orang itu adalah si raja rampok tengik Kang Bo Ong!”, seru orang di sebelah orang pertama pada Sin Thiong sambil menunjuk dengan sebilah pedang kea rah si lelaki yang tadi bertopi caping di seberang Ang Sin Thiong.
“Dan mereka perampok busuklah yang duluan merampok rombongan kami di jalan juga melukakai empat orang saudara kami!!”, sambung pegawai piawkok yang pertama buka suara tadi.
“Tuan, nanti dulu….”, potong Sin Thiong masih coba melerai.
Belum selesai omongan Si orang She Ang, Kang Bo Ong sudah memotong;
“Persaudaraan Kang tidak lari ditantang orang! Saudara-saudara, BUNUH!!”.
Kata-kata Kang Bo Ong lalu diikutin oleh saudara-saudaranya yang merangsek maju mengadu ilmu dengan para anggota piawkok. Kang Bo Ong mencabut golok dan maju membacok mati seorang anggota piawkok. Ang Sin Thiong terpaksa lompat mundur ke mejanya dan mencabut pedang lalu maju menangkis serangan Kang Bo Ong yang hemdak membacok orang piawkok yang pertama buka suara tadi.
“Aku tak punya masalah dengan kau! Tapi bila kau datang halangi aku membunuh lawanku maka kau bermasalah denganku!”, Seru Kang Bo Ong sembari berputar membabatkan goloknya ganti menyerang Ang Sin Thiong.
Ang Sin Thiong cepat tanggap dan berkelit mundur ke kiri sambil berputar lalu balas maju menyerang dengan menusuk dada Kang Bo Ong. Kang Bo Ong pun menangkis dengan jurus Golok Naga Keluar dari Rimba Pedang atau To Liong Ci Kiam Lim, lalu ia sambung dengan jurus Golok Sakti Menyabet Rembulan atau Sin To Coan Goat yaitu merupakan rangkaian gerak maju berputar mendatar menyabetkan golok ke arah kepala bertujuan hendak penggal kepala lawan.
Ang Sin Thiong yang tak gentar hadapi golok si raja rampok lantas lompat gunai ginkang atau ilmu ringan tubuh yang ia pelajari belasan tahun dari gurunya di gunung Bu Tong, setelah sempat menangkis dua-tiga babatan golok Kang Bo Ong. Ia melompat melewati kepala orang hendak menyamping lalu menyerang lurus mengarah leher Bo Ong.
Kang Bo Ong yang sadar ia menyerang tempat kosong dan lwannya berbalik hendak melubangi lehernya pun menarik golok ke samping leher sambil maju kedepan melebarkan kaki. Gerakan ini dinamai Menutup pintu, membuka jendela atau Koan-bun, Khai-thang. Tikaman pedang Ang Sin Thiong tak membuahkan hasil karena ditangkis golok Si Raja Rampok, ia lantas putar badan dan mundur setengah tindak Tarik pedang, lalu maju kasih satu tikaman berputar mengarah leher Kang Bo Ong lagi. Kang Bo Ong yang sudah duga serangan kedua tak meladeni dengan tangkisan, melainkan ia berkelit ngelepot ke kiri depan, perpendek jarak dengan musuhnya. Si Orang she Kang lantas balas menyerang menyabet dari kiri bawah ke kanan atas, kemudian lanjut desak Sin Thiong maju trrus dengan gerakan serangan menyilang-nyilang menggunakan jurus To Liong Tou-Hai atau Golok Naga Mengaduk Samudera. Didesak begitu Sin Thiong tak habis akal. Ia menanggapi dengan salah satu jurus dari ilmu pedang khas Bu Tong Pay, Thai Kek Kiam yaitu Lingkaran Tanpa Batas. Istimewanya jurus Thai Kek Kiam yang satu ini adalah dapat digunai untuk menangkis atau menyerang. Selain itu juga dapat membalik dari menangkis serangan lawan kemudian jadi menyerang lawan yang sudah terjebak dalam belitan lingkaran pedang yang mengungkung. Akan tetapi, Ang Sin Thiong bukanlah gurunya dengan pengalaman ilmu pedang puluhan tahun yang tinggi. Walaupun sempat terjebak oleh lingkaran pedang Si pendekar Bu Tong ini, Bo Ong masih dapat keluar dengan menggunai jurus Dewa Golok Melenggang Pergi. Tapi Kang Bo Ong terpaksa harus bergulung mundur berkelit ke kanan belakang karena keistimewaan jurus Lingkaran Tanpa Batas dari pedang Ang Sin Thiong pun muncul dan yang tadi sibuk menangkis serangan lawannya Sin Thiong balik menyerang.
Belasan jurus dilalui dalam adu ilmu antara Si Raja Rampok dan Ang Sin Thiong Sang Pendekar Bu Tong, tetapi belum ada hasil yang berarti. Lalu berlanjut menjadi duapuluhan jurus tanpa ada kelihatan pihak yang menang maupun kalah.
Selang beberapa jurus, tiba-tiba Kang Bo Ong Membalik pegangan goloknya jadi bilahnya menempel pada lengannya dengan bagian yang tajam menghadap luar saat lawannya menyerang. Ia Lalu merunduk maju menyilang sambil membabat kaki lawan tetap dengan pegangan terbalik. Hal ini cukup buat Ang Sin Thiong repot sibuk berjingkrakan hindari sabetan-sabetan pada kakinya. Di saat itulah tiba-tiba golok Kang Bo Ong mendadak menanjak naik menikam lurus mengarah dada kanan Ang Sin Thiong yang terbuka karena Sin Thiong alpa akibat sibuk lindungi kakinya. Telat bagi Sin Thiong menangkis dan nahas, ujung mata golok Si Raja Rampok pun sempat mencocol dada kanan Ang Sin Thiong kira-kira jarak tebal empat jari dari bawah tulang selangka Si Pendekar Bu Tong.
“Aargh!”, teriak Ang Sin Thiong yang dadanya tercocol ujung golok sambil putar badannya mundur dan babatkan pedangnya melingkar kiri kanan dengan jurus Pedang Tunggal Masuki Rimba Golok atau It Kiam Cim To Lim guna tangkis serangan lanjutan yang bertubi dari golok lawannya. Karena dipaksa menangkis serangan bertubi detak jantung Ang Sin Thiong jadi semakin kencang dan bersamaan itu ia sadari pandangan matanya menjadi Kabur dan kepalanya jadi agak berat.
“Cilakak! Aku telah kena diracun!”, seru Ang Sin Thiong dalam hati menyadari bahwa ujung mata golok lawannya mungkin sudah dicelup sejenis racun yang sekarang ini sedang menjalar di tubuhnya dan mulai membuat tangan kanannya kaku dipakai untuk mengangkat pedang.
“Hraaagh!!, Kang Bo Ong keluarkan satu teriakan dan mengangkat golok hendak membabat leher Lawannya yang sudah kena racun dan sekarang kelihatan tak akan mampu menangkal serangan goloknya.
3. Rahib Sakti Tangan Selaksa
Dengan cepat Ang Sin Thiong ambil setindak ke kiri dan mengangkat tangan kanan guna menangkis serangan golok si raja rampok. Tanpa pikir Panjang Sin Thiong pakai salah satu awalan jurus Cheng Tiok Toa-hong atau Bambu Hijau di Tengah Badai. Tapi baru golok orang ada setengah jalan tiba-tiba terdengar satu suara siulan kencang yang tajam menusuk sampai ke hati, yang membuat Ang Sin Thiong dan Kang Bo Ong jeri mendengarnya. Kang Bo Ong si raja rampok dari kanglam yang merupakan kakak tertua dari persaudaraan Kang menoleh ke kiri dari mana asal datangnya suara siulan. Belum juga ia menegok penuh, tiba-tiba tangan yang digunai memegang golok mati rasa bebarengan dengan terbitnya satu bunyi klang! yang memekakkan telinga. Bilah golok Kang Bo Ong telah kutung terpisah dua. Bagian depannya melayang dan menancap di pinggir meja persis sebelah mereka berdiri.
Sin Thiong kontan menunduk mendengar suara golok patah tadi. Sekilas ia dapat melihat sebuah biji tasbih sebesar buah long an melayang di udara diikuti suara "ngung" persis setelah suara pertama tadi. Spontan dengan cepat si orang she Ang bergulungan ke belakang dengan gerakan Lay Louw ta Kun atau keledai malas bergulingan. Sin Thiong mencoba berdiri, tapi dia mendapati dada kanannya bekas kena tercocol ujung golok menjadi ba'al dan kaku, kepala pusing dan pandangannya menjadi kabur. Bertumpu pada ujung pedangnya ia paksakan berdiri dengan terhuyung.
Sesosok bayangan orang gemuk pendek mendekati Sin Thiong dari arah depan.
"Celaka!", serunya lemah dibalik napas yang tersengal berat.
Racun telah menyebar sampai ke dada dan tangan kanannya. Tiba-tiba sosok bayangan tadi buka suara dan berkata dengan pelan, "amitaba…tuan telah kena diracun. Izinkan pinceng membantu." Sosok bayangan ini kiranya adalah Rahib Lu Beng Kiang taysu yang dijuluki Cepay Ciak Lak Pian atau Sekali Caplok Enam Butir, Sang Biksu Sakti Tangan Selaksa di kalangan kang ouw. Tak kuat menjawab, Ang Sin Thiong hanya dapat meringis sambil kasih anggukan pada si hwesio. Beng Kiang taysu jugalah yang tadi telah tolongi Sin Thiong cegah serangan golok si raja rampok. Lu Beng Kiang adalah salah satu dari empat rahib tingkatan Lu di Siauw Lim Pay. Tingkatan paling tinggi saat ini adalah tingkatan Kong yang hanya ada dua orang, kemudian tingkatan Seng berjumlah tiga orang, lalu empat orang dari tingkatan Lu.
Sin Thiong merasa tangan kanannya dibetot ke depan hingga ia terhuyung seperti hendak jatuh ngungsruk. Sebelum gaya betotannya habis Sin Thiong kaget karena punggungnya sebelah kanan kena ditepuk orang. Tepukan itu dirasa sangat keras seperti dipukul sebatang balok kayu, tetapi toh ia tidak merasakan sakit. Karuan Sin Thiong jatuh ngungsruk berlutut ke depan. Anehnya Sin Thiong merasakan mual panas tak tertahankan mendesak dari perut ke dadanya, lalu naik ke tenggorokan. Tak ayal lagi ia mengeluarkan suara "owaaaah!" kencang sembari muntahkan gumpalan darah segar berwarna kehitaman disertai lendir kekuningan. Lepas itu kepala Sin Thiong terasa enteng dan dada serta tangan kanannya yang tadi ba'al menjadi sangat gatal tapi ringan untuk digerakkan. Matanya terbelalak karena dengan seketika ia dapat bangun berdiri tegak dan merasa napasnya sangat lapang. Hal pertama yang terlintas dipikirannya adalah mengudak si Kang Bo Ong yang tak karuan di mana rimbanya.
Seperti dapat membaca pikiran orang, Beng Kiang Taysu lantas bicara sambil tersenyum lebar, "Siancai, siancai…racun sudah berhasil dipunahkan. Tenanglah tuan duduk dulu, si rampok sudah kabur tadi". Kang Bo Ong memang langsung lari sipatkuping banting golok sambil terhuyung-huyung ketakutan karena senjata andalannya telah kena dipatahkan sang rahib sakti. Sin Thiong hanya mendapati golok kuntung Kang Bo Ong di lantai rumah teh tergeletak di belakang rahib Beng Kiang.
Di pelataran rumah teh pertempuran tak kalah sengitnya. Lie Sie Peng dengan mudah hindari serangan sepasang tombak pendek Khek yang dilancarkan rampok berbadan kurus tinggi. Gerakannya bagai orang yang sedang menari-nari. Rambut hitamnya yang lebat sepunggung seolah sedang berputar-putar lembut di sela-sela mata khek si penyerang.
Sekali waktu gerakan nona Lie tampak seperti hendak dicegat oleh mata khek si rampok, tetapi seperti seekor belut yang licin lincah, Sie Peng selalu dapat lolos di saat akhir walau hanya beda jarak satu-dua jari saja. Hal ini membikin dongkol si rampok yang makin sengit menyerang Lie Sie Peng. Gerakan dan putaran badan Sie Peng yang seolah sengaja mengejek membuat si kurus naik darah dan membabat dengan semakin bengis, menggaet dan menikam dengan bertubi-tubi. Tetapi walau seberapapun dekatnya, mata khek andalan si kurus tinggi selalu mendarat di tempat kosong tanpa buahkan suatu hasil. Belasan jurus telah ditamatkan si rampok dan tak satupun serangan yang dapat mengenai bahkan sehelai rambut Lie Sie Peng.
Setelah puluhan jurus dilalui tiba-tiba terbit suara teriakan si pemegang khek,
"nah! kena kau!".
Si rampok girang melihat mata pedang nona Lie tersangkut dalam bingkai mata khek yang dipegang tangan kirinya. Tetapi tanpa kuatir, sambil tersenyum Sie Peng memutar pedang seraya membuat gerakan menarik dengan melengkungkan tubuhnya ke belakang bagai busur panah yang ditarik.
Ctang! Pedang si nona manis ini terbebas dari gaetan Khek si rampok jangkung, dan mata khek itu pecah tersontek pedang mustika bergagang giok hijau tua pemberian guru Sie Peng.
"Setan!" Seru si kurus jangkung dengan mata melotot kaget melihat mata khek di tangan kirinya sudah pecah tak berbentuk. Sambil membanting senjatanya yang jadi hilang guna dia berseru jengkel pada dua kawannya yang dari tadi memang menunggu-nunggu kesempatan untuk turut campur masuk gelanggang pertarungan mengepung si nona.
"Hai! Cepat bunuh ini perempuan setan! Jangan diam melongo saja kalian!"
Seperti menunggu aba-aba, yang dibentak pun langsung merangsek maju serempak menyerang si nona mungil. Satu orang berbadan pendek dengan janggut tebal menggantung sampai dada bersenjatakan satu ruyung perunggu, satu lagi beralis tebal dan bulu dada gompyok bersenjata sepasang golok pendek lebar yang hampir serupa dengan golok cincang peranti memotong babi di pasar.
Nona manis berkulit halus putih ini tak menjadi ciut dan pecah nyali melihat jumlah lawannya bertambah. Sebaliknya dengan menjejak tanah ia mencelat ke atas meja yang ada di belakang sambil kaki kirinya mendupak kencang sebuah kursi ke arah muka si pemegang sepasang golok.
Orang yang jadi sasaran kursi terbang lantas gelagapan membabat kiri-kanan dengan sepasang golok pendeknya sambil memaki jengkel. Siucai pemain yangkim yang dari tadi sibuk mainkan lagu cepat bersemangat sambil sesekali melirik pertarungan si nona jadi tertawa dan menggelengkan kepala melihat hal itu. Sambil menangkis serangan ruyung dan menghindari sabetan khek nona Lie melirik pada si pemain yangkim. Mau tak mau Sie Peng jadi ikut tersenyum juga.
Si pemegang khek yang merasa di atas angin akhirnya berteriak pada kedua saudaranya,
"bunuh padanya! Jangan kasih lolos ini iblis betina!" Sambil menerjang maju, menghujamkan keras tombak pendek khek ke arah si nona diikuti oleh kedua kawannya.
Sie Peng yang bercokol kokoh di atas meja didesak begitu oleh lawan-lawannya tak menjadi jeri atau kehilangan akal. Dengan keluarkan satu teriakan yang nyaring memekakkan telinga si nona melompat maju lewati kepala para pengepungnya dan dengan satu gerakan yang halus indah bagaikan burung bangau terbang membelok, nona Lie membalik badan dan memutar pergelangan tangannya mengambil satu gerakan bolak-balik seperti orang menggoreng dengan sodet di atas wajan.
Tras! Tras! tras! Taucang para penyerang dibikin putus rata oleh tebasan pedang mustika si nona. Tiga orang ini mendadak gopoh menyerang tempat kosong dan terjerembab ke depan, menabrak meja tempat Lie Sie Peng berdiri tadi yang langsung ambruk tertimpa para rampok.
Muka si pemegang khek jadi merah padam macam kepiting rebus akibat menahan rasa marah dan malu ketika ia meraba belakang kepalanya dan dapati taucang-nya (kuncir khas orang jaman dinasti Ceng tanda kehormatan seorang lelaki dewasa) telah hilang dibabat kuntung pedang si nona. Sementara dua saudaranya masih bingung sambil gelagapan ngesot mundur-mundur menyelamatkan diri tanpa peduli pada taucang mereka yang tergeletak di tanah. "Nah, lekaslah kalian menggelinding pergi, selagi nona besarmu ini masih mengampuni!", gertak Sie Peng sambil tersenyum mengangkat pedang mustika di tangan kanannya. Sambil ketakutan Si golok pendek dan Si ruyung perunggu lantas bangkit lari lintangpukang tanpa melihat ke belakang lagi.
Seraya mendeham kencang Sie Peng membanting kaki ke Tanah, melotot ke arah si kurus yang masih kalut, campur aduk perasaannya akibat dipermalukan satu wanita mungil. Si rampok yang sudah hilang muka lantas bangkit lari melempar ruyung perunggu milik kawannya ke arah Lie Sie Peng yang berdiri tegak mengangkat pedang. Hanya dengan memiringkan kepalanya ke kiri Lie Sie Peng hindari ruyung yang dilempar si kurus jangkung.
4. Tombak Besi Kontra Kipas Sakti
Hanya sebelas langkah dari tempat Sie Peng berdiri Peng Thian Jin yang sedang sibuk melayani dua orang pengepung melihat hal itu berseru kencang dan memaki tiga rampok yang melarikan diri dari Lie Sie Peng sambil memegangi kepala mereka yang sudah tak ber-taucang, “Hah! Padan dengan muka kalian! Tak tahu malu!”.
Sebelah kiri dan kanan Peng Thian Jin tampak empat orang rekan sejawatnya sibuk mengadu silat dengan masing-masing seorang anggota rampok. Jarak tak terlalu jauh ke depan, tiga orang anggota piawkok yang tadi duduk minum arak di sebelah meja Lie Sie Peng kelihatan sedang lari mengudak lawan-lawan mereka yang ikut ambil langkah seribu melihat pemimpin mereka lari kabur keluar rumah teh tadi.
“Sudah, jangan kejar! Bantu bersihkan yang di dalam”, perintah Peng Thian Jin sambil menghalau serangan pedang dari lawan-lawannya dengan satu kali sapuan tombak besi pegangannya. “Baik Peng toako!”, jawab seorang dari mereka mengangguk dan seketika itu juga meraka berhenti mengejar lalu berbalik lari hendak masuk ke dalam rumah teh dengan mencekal pedang.
Tiba-tiba sebuah benda terbang melesat cepat mengenai tepat batang leher salah seorang pegawai piawkok berkumis tipis yang sedang berlari paling depan dekati pintu masuk rumah teh. Benda ini adalah sebuah pisau lempar yang bilahnya berbentuk seperti daun bambu. Kontan orang yang menjadi sasaran rubuh ke tanah tak bernyawa. Serr…Serr! Belum habis kagetnya dua orang pegawai piawkok melihat kawan mereka tergeletak di tanah tak bernyawa dengan leher tertancap pisau berlumur darah sendiri, dua buah pisau kembali melesat terbang cari korban.
Pisau yang satu kena menancap di dada kiri tepat kenai jantung si jenggot sarang tawon membuat orang langsung roboh ke belakang hilang nyawa dan satunya lagi mendarat di pundak kanan Si kumis jangkung membuat orang terhuyung ke belakang dan jatuh berlutut menahan sakit.
Thian Jin kaget setengah mati melihat rekan-rekannya rebah di tanah tak bernyawa akibat serangan gelap pisau terbang yang tak terduga. Ia berteriak kencang sambil menikam lawan-lawannya dengan tombak membuat mereka langsung roboh. Tanpa ragu Thian Jin kemudian melompat ke arah saudaranya yang tadi tertancap pisau lempar di bahu kanannya. “Adik Cheng, jangan bangun! Kau tidak mengapa?” Tanya Thian Jin Pada kawannya yang terduduk meringis memegangi pisau yang tertancap di bahu kanannya. Orang yang ditanya hanya menggeleng kepala sambil meringis kesakitan dengan muka bercucuran peluh.
Baru saja Thian Jin hendak bangkit bangun, tiba-tiba ia dapat mendengar suara melesatnya satu benda terbang dari arah belakang. Berbeda dengan sauadara-saudaranya tadi, Peng Thian Jin sangat awas telinganya. Dengan gesit ia memutar badan sambil setengah berdiri dan rentangkan tombaknya hampir melintang di depan dada. Trang! Pisau lempar yang tadi hendak mengarah punggung Thian Jin kini kena beradu batang tombak besi dan terpental menancap di batang pohon beberapa langkah dari tempat Thian Peng berjongkok.
“Hah! Kurangajar! kau kira dapat bokong aku Peng Thian Jin? Maju kemari, hadapi aku si Pendekar Tombak Besi!” seru Peng Thian Jin marah menyibak taucang-nya hingga melilit di leher sembari menerjang maju dan memutar tombaknya ke arah sesosok orang berbadan kurus lencir pemilik pisau lempar maut yang hampir kenai Peng Thian Jin tadi.
“Hahahaha! Mari…mari, bawa galah jemuranmu dekat sini biar kupakai mengantung tungsha”, kata orang yang diserang Thian Jin tertawa mengejek seraya hindari serangan si Pendekar Tombak Besi dengan satu langkah ke kanan. Orang ini sangat ringan gerakannya. Baju berwarna biru tua mengkilap yang dipakainya berkibar saat ia berputar menghindar tikaman tombak Peng Thian Jin.
Tombak besi senjata andalan Peng Thian Jin adalah sebuah tombak bermata lebar Panjang mengkilap dengan ronce warna merah melambai-lambai. Batang tombaknya terbuat dari besi hitam berukuran sedikit lebih kecil dari cawan arak. Tombak besi pegangan Thian Jin memang bukanlah satu tombak besi pusaka macam senjata keramat andalan jendral besar Thio Hui di jaman Tiga Negara yang terkenal mumpuni peranti membunuh ribuan prajurit musuh dan sangat berat sampai perlu enam lelaki dewasa untuk mengangkatnya, tetapi tombak besi yang adalah pusaka keluarga Peng ini cukup berbahaya apalagi bila ada di tangan seorang yang lihay ilmu silat tombaknya dengan jurus-jurus mematikan. Peng Thian Jin juga memang bukanlah seorang yang memiliki ilmu tombak luarbiasa apalagi nomor satu dikalangan Kang Ouw, tetapi untuk bekas orang peperangan ia memiliki gwa-kang (tenaga luar) yang lumayan besar di atas orang kebanyakan dan gerakan tubuh yang cukup gesit lincah untuk orang yang berukuran badan terhitung besar. Dengan langkah-langkah yang mantap dan gerakan tangan memutar tombak yang cepat lagi kuat Peng Thian Jin yang sudah bukan anak muda lagi ini terus maju merangsek lawannya yang tenang layani jurus-jurus “Peng-kee Jio Hoat” atau “Ilmu Tombak Keluarga Peng” dengan menghindari serta menangkis setiap tikaman dan kibasan serangan si Pendekar Tombak Besi.
Si Pelempar senjata gelap yang telah memakan korban ini adalah saudara kedua Kang Bo Ong dan memang cukup lihai dalam ilmu lempar senjata rahasia baik itu pusut, piauw, pisau, maupun jarum lempar. Kang Tie Kung yang bertubuh kurus lencir halus memakai baju biru mengkilap dan berwajah tampan beralis tebal bagai seorang satrawan melayani jurus-jurus tombak besi lawannya dengan sebuah kipas lipat ukuran sedang yang terbuat dari kayu besi berwarna coklat gelap. Dengan lihai lincah saudara kedua persudaraan Kang ini meliuk kiri-kanan dan memutar tubuhnya bagai seekor ikan yang berkeliat dalam air menghindari serangan lawannya. Ilmu ringan tubuh atau ginkang yang dipertontonkan Kang Tie Kung dalam mengadu silat dengan si Pendekar Tombak Besi ini juga terhitung lumayan hebat untuk ukuran pesilat yang memiliki usia belum sampai tiga puluh.
Peng Thian Jin sudah genap lancarkan tiga perempat dari seluruh Jurus Tombak Marga Peng yang ia kuasai tapi si orang she Kang berwajah tampan ini tak juga gentar maupun terdesak karena serangan si Tombak Besi. Kang Tie Kung mampu menghindar, menangkis dan sesekali balas menyerang dengan totokan dan sontekan kipasnya. Dia mampu imbangi gwakang besar lawannya dengan jurus-jurusnya yang luwes dan langkah-langkah kaki yang lincah bergerak melompat dan bergeser.
Tiap jurus telah dilakoni oleh Peng Thian Jin maupun Kang Tie Kung dalam usaha memenangkan pertarungan dengan lawan, tetapi tidak keduanya pun mampu membuat gebrakan berarti untuk mematahkan maupun mendesak pihak lain untuk menyerah kalah. Disaat Peng Thian Jin menyerang musuhnya dengan rangkaian serangan jurus tombak, pada tengah atau hampir di ujung rangkaian jurus tiba-tiba Tie Kung selalu saja dapat berkelit menghindar atau menghalaunya dengan serangan balik. Demikian pula ketika Kang Tie Kung mengibas, menotok dan memukul mendesak dengan jurus kipasnya selalu ada saja jalan bagi Thian Jin untuk mengelak atau berbalik menyerang dengan tombaknya.
“Ini tidak boleh jadi!” Tie Kung berkata pada dirinya sendiri. “Kalau dilanjutkan begini, entah kapan baru dapat kujatuhkan kerbau dungkul ini?”, pikirnya lagi. Kedua orang ini terlihat hampir seimbang dalam mengadu ilmu. Thian Jin yang memiliki gwakang besar dan senjata berjarak panjang boleh dikatakan hampir imbang dengan Tie Kung yang mempunyai ginkang tinggi dan gerakan gesit bersenjata jarak pendek. “Tidak dapat menggunakan cara biasa untuk menang!”, pikir Tie Kung sambil menghindari kibasan tombak besi Peng Thian Jin dengan gerakan Ti Liong Lauw Cu atau Naga Menyelam Mencari Mustika yaitu satu gerakan dari berdiri langsung menunduk seperti menyelam, mundur ke samping belakang yang kemudian ia sambung dengan jurus Hui Swat-hong Phu Khek-san atau Angin Salju Berhembus di Balik Gunung yaitu serangan kipas yang diawali dengan gerakan maju mengibas berputar mendatar, menyilang dan kemudian dengan tiba-tiba hampir di penghujung gerakan ia melipat kipas, berubah jadi gerakan menohok lurus menerjang ke arah leher.
Hal ini sunggu tak disangka oleh pendekar she Peng. Gerakan-gerakan mengibas awal (walaupun berkelok dan cukup cepat) dapat dihindari Thian Jin dengan cukup baik, tetapi ketika ia menggeser tombak hendak menangkis gerakan selanjutnya, tiba-tiba di tengah jalan kibasan berubah menguncup dan menyerang lurus naik ke arah batang lehernya. Thian Jin yang terkejut dan hampir tidak sempat untuk menghindar atau menangkis lagi dengan gerakan spontan kedutkan pinggang kesamping guna melindungi lehernya dan menggentus ujung kipas dengan bahu kanannya. Tak ayal ujung kipas Kang Tie Kung yang terbuat dari kayu besi pun menotol bahu Thian Jin hingga sobek lengan atas bajunya sebelah kanan.
Ketika Thian Jin menyerang tadi Kang Tie Kung memang sengaja “menyelam” hampir di akhir setiap gerakan saat mata tombak sudah dekat dan mampir menyampok mukanya. Hal ini ia lakukan agar serangan balik dapat disegerakan dengan jarak yang lebih pendek hingga putaran badan menjadi lebih kencang dan dapat ia jaga iramanya untuk melakukan serangan tipu mendadak.
Walau tak kenai batang leher tapi siasat ini membuahkan hasil juga. Peng Thian Jin yang dari tadi cukup pandai menjaga diri dari perasaan marah yang kelewat akibat menyaksikan saudara-saudaranya tewas kini terbit juga amarahnya dan menjadi alpa akibat bahu kanannya tertotol ujung kipas dan lengan bajunya menjadi sobek. Ia keluarkan satu teriakan kencang memekakkan telinga bagai harimau terluka yang mengaum dan maju menyerang Kang Tie Kung membabibuta, tak lagi memperhatikan pertahanan diri. Sesungguhnya hal ini memang yang ditunggu oleh lawannya. Bahkan saat dikuasai amarah, serangan Peng Thian Jin yang kurang kendali tetap merupakan serangan yang bukan tak punya bahaya. Tie Kung berkelit, berputar dengan mengandal ginkang-nya selalu hampir di akhir gerakan mengikuti tiap serangan Pendekar Tombak Besi hingga suatu waktu, tiba-tiba setelah satu gerakan memutar Thian Jin menikamkan tombak dari atas ke bawah hendak kenai paha lawannya. “Ini dia!” Pikir Tie Kung sambil mencelat mundur ke belakang dengan cepat lalu memutar badan dan merogoh sesuatu di balik bajunya.
Lie Sie Peng yang berdiri tak jauh menonton pertarungan kedua orang ini jadi curiga melihat Kang Tie Kung merogoh balik bajunya. Si nona mencelos hatinya melihat satu benda berkilap ditarik keluar Kang Tie Kung dari balik bajunya. Tie Kung membalik badan di udara, kemudian benda tersebut yang nyatanya ada satu jarum berwarna perak ia gunai untuk menimpuk Peng Thian Jin.
“Awas! Jarum!”
Lie Sie Peng berteriak sambil menunjuk hendak peringatkan Thian Jin dari serangan gelap, tetapi apa daya sudah terlambat. Jarum itu menancap di titik jalan darah persis di bawah tulang selangka Peng Thian Jin sebelah kiri.
Tidak ada satu perkara di kolong langit ini yang paling dibenci Lie Sie Peng selain dua hal. Dua hal itu adalah kebohongan dan kecurangan. Baik yang datangnya dari seorang laki-laki atau perempuan, pengemis berbaju kotor dekil di pinggir jalan maupun saudagar kaya harta, pejabat negara atau satu orang kaisar sekalipun. Bagi Lie Sie Peng, menggunai senjata rahasia apalagi serangan gelap dalam sebuah Pie Bu (pertandingan mengadu ilmu silat secara terbuka) ataupun perselisihan antar hoo-han atau orang gagah yang diselesaikan melalui pertukaran ilmu silat adalah satu kecurangan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh satu orang yang menyebut dirinya pendekar. Berulangkali guru Lie Sie Peng ingatkan si nona agar dapat kendalikan gejolak perasaan dan mehanan diri untuk tidak mudah beli perkara orang atau campuri yang bukan urusannya, sekalipun dirasa ada satu keganjilan di dalamnya.
“Kendalikan amarahmu, atau kau akan kena dikendalikannya seumur hidupmu!”, demikian selalu sang guru berpesan pada Lie Sie Peng dari Sie Peng masih bocah ingusan.
Menyaksikan langsung Peng Thian Jin kena “dicurangi” oleh Kang Tie Kung dengan gunai satu jarum lempar untuk lancarkan serangan gelap membuat darah nona Lie mendidih. Dengan perasaan geram Lie Sie Peng menerjang maju ke arah Kang Tie Kung sambil menarik pedang mustika pegangannya ke samping wajah.
Terlambat bagi Peng Thian Jin insafi datangnya serangan gelap dari lawan. Ia telah kasep menancapkan mata tombak besi ke tanah ketika hendak tikam paha Kang Tie Kung agar berhenti “menari” berkelit sana-sini dari serangan tombaknya. Thian Jin dapat lihat datangnya jarum perak tapi dalam sekejap benda itu telah menancap sepertiganya persis di bawah tulang selangka orang. Saat datang serangan lanjutan dari kipas maut lawannya, Thian Jin putar pinggang dan gulingkan badannya kekiri belakang seraya melepas pegangan pada tombaknya yang terlanjur menancap di tanah. Lalu Ia gunai kaki kirinya dengan jurus Pek-Houw Pa Bwee atau Harimau Putih Menggoyang Ekor untuk menggaet kaki Tie Kung yang sedang maju menyerang. Tetapi dengan satu gerakan menarik kaki sampai pahanya mendatar di depan perutnya Tie Kung-pun lolos dari sapuan kaki Peng Thian Jin. Dengan tingkatan ilmu ringan tubuh yang dikuasainya perkara ini tidaklah sulit bagi seorang Kang Tie Kung yang mendapat julukan “Soan Sin Bu In“, atau “si Kipas Sakti Menari di Awan” dari saudara-saudaranya. Dengan jatuhkan badannya ke bumi kemudian Kang Tie Kung melepot ke kanan lanjut menyerang guna memotong gerak menghindar kabur lawannya yang sudah tak bersenjata. Peng Thian Jin keluarkan satu gerengan bagai harimau marah sambil menghindar mundur. Dengan satu gerakan dari jurus “Lee-Hi Ta Ting” atau “Ikan Gabus Meletik”. Ia tarik perut hingga melengkung hampir menempel kenai dadanya lalu kedua kakinya ia lempar ke belakang lewati atas kepalanya.
Peng Thian Jin Mendarat dengan kasar di tanah tertunduk sembari pegangi dada kirinya yang terasa sakit dan mulai memerah di sekitar tempat jarum lempar Tie Kung menancap. Tangan kirinya ia rasai kaku seluruhnya hampir mati rasa dan sulit untuk dia geraki. Peng Thian Jin terkesiap dan jadi pucat mukanya setelah ia kerahkan lwee-kang ke tangan kirinya dan malah sama sekali tidak bisa bergerak dan terkunci. Melihat datangnya serangan lawan ia hanya bisa melangkah mundur sambil pegangi tangan yang kini menjadi beban dan kertakan giginya dengan muka penuh keringat yang jatuh menetes sebesar-besar biji jagung.
Sambil tersenyum puas si Kipas Sakti menyerang maju lawannya yang sudah habis daya. Tie Kung berkata pada lawannya, “nah! cukup sudah kau temani aku bermai….”. Belum sempat kata terakhir keluar dari mulutnya, Tie Kung dibuat terkejut setengah mati ketika di sudut matanya ia melihat sebilah benda pipih berkilap terkena pantulan sinar matahari melesat lurus sangat cepat ke arahnya. Beruntung Tie Kung masih sempat rebahkan kepala dan badannya di saat benda itu hampir menembus bolong biji matanya.
Di saat benda panjang bekilap yang berjarak hanya satu cun itu lewat di pipinya, Kang Tie Kung rasakan satu hawa dingin tajam terpancar dari bilahnya. Ia juga dapat dengar bunyi wuunngg! Panjang lewat di telinganya.
“Terang ini bukan senjata sembarangan”, pikirnya.
Ia sambung gerakannya dengan memutar badan dan melangkah mundur habis itu lalu berdiri tegak membuka kipasnya lebar di depan dada. Hendak marah mendamprat, tetapi ketika ia lihat ada satu nona cantik bekulit putih halus bagai pualam berdiri melotot tajam sembari mencekal pedang di hadapannya kontan naluri hidungbelangnya timbul dan ia pun tersenyum sambil bertanya,
“Hai nona manis kenapa kau menyerangku?”. Ia lalu mengibas kipasnya ringan dua kali dan sambung pertanyaannya,
“apa sebabnya kuncu halangi hamba menghukum kerbau dungu ini?”.
Lie Sie Peng yang memang sedang kesal jadi tambah marah dipanggil dengan sebutan tuan putri oleh orang bermuka tampan ini. Dengan gusar Si nona angkat pedangnya sambil lantang menjawab Kang Tie Kung,
“sudah gunai cara curang! masih kau menyangkal pula!”.
Seruan itu diakhiri Si Nona dengan meloncat maju ke udara kemudian menukik sambil membabat tegak lurus hendak membelah batok kepala sastrawan berkipas yang ada di depannya.
Gerakan menyerang ini adalah jurus Pedang Langit Menyabet Siluman atau Thian Kiam Kui Coan, yaitu satu jurus membabat dan menyabet dari arah atas kebawah dan sebaliknya dengan gerakan-gerakan yang memutar hampir tanpa putus. Dengan serangan yang bertubi-tubi datang dari si nona hilang senyum lebar yang tadi bertengger di wajah si Kipas Sakti. Kang Tie Kung yang sibuk menghindar kiri-kanan kini dibuat cukup repot melayani jurus si nona yang rapat menyerang tidak memberi ruang gerak buat si orang she Kang. Sunggu si satrawan wajah tampan ini tidak dikasih napas oleh si nona.
Kang Tie Kung yang sadar kalau senjata yang dipegang si nona adalah satu pedang mustika yang tidak boleh dianggap enteng, berusaha untuk tidak menangkis langsung depan-depanan mengadu kipasnya dengan senjata si nona. Kuatir kipas pegangannya akan patah tak kuat menahan pedang si nona, Kang Tie Kung selalu mengambil gerakan-gerakan menyamping dan kalaupun terpaksa harus menangkis dengan kipasnya ia selalu ambil gerakan memutar lalu menarik kipasnya sehingga mengurangi gaya benturan dengan pedang pusaka Lie Sie Peng.
5. Siucai Sakti Pemetik Yang-kim
Paham bahwa ilmu ringan tubuh dan lwee kang nona cantik ini hanya terpaut seurat darinya, Tie Kung hadapi Si nona dengan serius dan hati-hati, tidak setengah main-main seperti tadi ketika ia hadapi Peng Thian Jin dengan tombak besinya.
“Jelas harus gunakan siasat untuk ungguli kucing betina ini!”, pikir Kang Tie Kung sambil menghindar ke samping dan memutar kipas kayu besinya demi menangkal serangan pedang Nona Lie. Habis hindari serangan Si Nona, Kang Tie Kung lantas balas menyerang dari arah samping dengan kuncupkan kipasnya dan menohok hendak mengarah iga Nona Lie yang terbuka. Serangan Tie Kung ini dengan mudah ditepis si Nona cantik dan memang disengaja oleh Kang Tie Kung untuk kemudian ia menekuk sikut, berputar dan merogoh balik bajunya mengambil jarum perak yang akan ia gunai menimpuk Nona Lie.
Lie Sie Peng yang tadinya hendak lanjut menyerang si Kipas Sakti melihat orang melipat sikut segera sadar lawannya hendak gunai tipu daya dengan melepas jarum beracun pada dirinya. Sie Peng pun batalkan serangan dan memutar pedangnya yang sudah setengah jalan sambil menekuk lutut kanannya yang berada di depan. Bersamaan dengan ini jarum perak Kang Tie Kung melesat kemudian terhenti lajunya di tengah jalan karena terbentur bilah pedang pusaka Nona Lie. Karena tidak menduga dan terkejut akan hal ini Kang Tie Kung menjadi alpa dan lupa menarik kipas di tangan kanannya. Kipas yang tadi kuncup kini jadi setengah terbuka menghadap lawannya. Melihat kesempatan ini Lie Sie Peng tidak buang waktu dan langsung menikam lurus ke arah kipas di depannya. Mata pedang pusaka Si Nona masuk tepat di tengah dan merobek kain kipas lawannya. Sie Peng menebas ke arah bawah sampai hampir mentok ke dasar rangka kipas, lalu memutar pedang hingga bilahnya jadi mendatar sambil menarik penuh pedangnya hingga gagang pedang berada di samping mukanya. Kang Tie Kung lekas tarik tangannya dan melepas pegangan pada kipas kayu besinya yang kini hancur berantakan melayang di udara.
“Setan sialan!”, seru Kang Tie Kung geram sambil memutar badan mundur dan merogoh balik baju kemudian melempar jarum peraknya ke arah ketiak lawan yang terbuka lebar karena habis menarik pedang.
Nona Lie terkejut. Ia melihat datangnya jarum yang sudah dekat tetapi tidak dapat berbuat banyak kecuali menurunkan bahu kanannya sembari coba melangkah mundur. Ini pun sebenarnya satu gerakan sia-sia karena jarum sudah dekat dan pasti tetap akan mengenai dirinya walaupun bergeser sasaran dari ketiak kanan ke samping bahu Si Nona.
Tiba-tiba Lie Sie Peng dan Kang Tie Kung dikejutkan dengan satu cawan arak yang terbang melesat kencang menabrak jarum perak sehingga mengubah arah terbangnya jarum lewati atas kepala Si nona. Ketika Sie Peng menoleh ke arah datangnya cawan arak tadi ia dapati Siucai yang dari tadi sibuk memetik yang-kim dan duduk di bawah pohon yangliu kini telah berdiri santai persis di samping Kang Tie Kung yang karena saking kagetnya sampai lompat ke belakang.
Tetapi baru saja telapak kaki Kang Tie Kung beranjak kurang sejengkal dari tanah ia dapat rasakan telapak tangan Si Siucai baju putih sudah menempel di dadanya lalu dengan kencang seperti mendorong badannya sehingga ia jadi terbang melayang mundur ke belakang tanpa dapat berbuat apa-apa. Padahal Tie Kung melihat dengan jelas bahwa Siucai ini hanya menggerakkan pergelangan tangannya hingga telapak tangannya maju kira-kira satu cun lebih. Tie Kung hendak memutar pinggangnya ke kanan supaya dapat ia mendarat ke samping kemudian bangun berputar lalu berdiri, tetapi badannya ia rasa kaku tak dapat digeraki. Si Kipas sakti hanya bisa pasrah saat badannya gegabrukan jatuh kencang ke tanah tepat mendarat dengan bokongnya. Ketika kemudian ia dapat geraki badannya langsung Kang Tie Kung lompat bangun tak hiraukan rasa sakit pada bokong dan pinggangnya lalu putar badan lantas lari ambil langkah seribu belakangi si Nona dan Siucai sial yang telah mendorongnya tadi.
“Ini belum selesai! Tunggu perhitungan dariku nanti, kucing betina!”, seru Kang Tie Kung pada Lie Sie Peng sambil terus lari kencang dengan suara masih sedikit bergetar karena agak limbung diperlakukan Siucai baju putih tadi.
Baru Si siucai mulai melangkah maju dekati Nona Lie yang masih kerenyitkan dahi terheran-heran sambil mencekal gagang pedangnya setinggi muka tiba-tiba terdengar suara melenguh lirih dari arah belakang kiri si Nona. Ketika keduanya menengok ke arah datangnya suara tadi ternyata Peng Thian Jin sudah terduduk bersila tersender lemas pada sebuah batang pohon kurus sembari pegangi dada kirinya yang kini sudah merah padam bersemi biru.
Muka Thian Jin pucat bagai kertas dan matanya hampir terpejam dengan keringat dingin mengucur deras di sekujur badan. Leher dan seluruh tangan kirinya juga berubah warna jadi merah padam bersemi biru dan kaku tak dapat digeraki. Lie Sie Peng segera lari menghampiri si Pendekar Tombak Besi sambil bertanya,
“Peng Thai Hiap, bagaimana….?”.
Belum selesai Nona Lie bertanya, satu suara berseru memotong pertanyaan Si nona di tengah jalan,
“Jangan bergerak tuan! ijinkan Pinceng bantu!”.
Suara itu adalah milik Lu Beng Kiang Taysu yang berlari keluar rumah teh Bersama Ang Sin Thiong ke arah Peng Thian Jin yang sudah lemas tak berdaya. Begitu sampai, rahib Lu langsung berjongkok dan memegang pergelangan tangan kiri Thian Jin hendak memeriksa nadi nya. Baru saja Beng Kiang Taysu menempelkan jempolnya pada urat nadi di pergelangan tangan Peng Thian Jin muka sang rahib berubah pucat dan ia berseru pelan, “cilaka!”. Tanpa buang waktu Sang Rahib Sakti Tangan Selaksa langsung jatuh duduk bersila seperti orang hendak siu lian dan buang tangan kiri orang ke kanan kemudian tarik baju Thian Jin di bagian pinggang hingga badannya terseret maju ke arah Si rahib. Secepat kilat Beng Kiang menotok dengan telunjuk dua titik jalan darah di leher kiri depan dan masing-masing dua titik jalan darah di dada serta bahu kiri Thian Jin. Badan Thian Jin bergetar lalu ia muncratkan darah kehitaman dari mulutnya hingga kenai baju rahib Lu. Tanpa hiraukan hal ini si biksu langsung menotok titik jalan darah di dada persis bawah jantung Thian Jin dan satu titik di atas perut kiri dan kanan. Melihat hal ini tak buahkan hasil langsung Beng Kiang tepuk bahu kiri Thian Jin hingga badannya berputar dan punggungnya menghadap Si rahib lantas disambut telapak tangan kanan mendarat kencang keluarkan bunyi plak dari punggung Thian Jin, disusul dengan suatu yang lebih mirip tamparan kencang empat kali bolak balik antara telapak dan punggung tangan si rahib di tempat yang berbeda pada punggung yang diobati. Plak, plok, plak, plok!
Tanpa tunggu adanya satu reaksi, Lu hwiesio langsung menepak kencang di bagian bawah tepat di atas ginjal kiri Thian Jin dan mencengkram daerah samping perut dengan tangan kirinya. Thian Jin lalu keluarkan suara lenguhan sambil mendongak kemudian hembuskan napas dengan badan lemas hendak ambruk jatuh seperti boneka marionette yang dipotong talinya. Melihat ini Beng Kiang Taysu terkesiap dan cepat tadangi dada Thian Jin dengan telapak tangan kirinya dan kemudian dia putar badan orang yang sudah lunglai seperti boneka kain sehingga berhadapan muka Dengannya. Badan Thian Jin jatuh tersender pada batang pohon tadi. Biksu Lu Beng Kiang lompat berdiri dan maju ke depan meraba nadi leher orang dengan jeriji telunjuk dan jari tengah tangan kanan.
Beng Kiang Taysu jadi lemas hatinya mencelos ketika ia tak dapati ada denyut nadi pada leher Thian Jin. Dengan berdiri tertunduk sambil taruh tapak tangan kanan hampir tegak di depan dada ia berkata pelan kepada tiga orang di belakangnya,
“Amitaba…pinceng telah terlambat turun tangan. Racun sudah menyebar luas sampai ke jantung dan paru-parunya. Tuan pendekar telah berpulang ke barat”.
Lie Sie Peng berteriak tertahan seraya tutupi mulut dengan tangan kanan. Mata Ang Sin Thiong terbelalak kaget mendengar kata-kata sang hwesio. Walau Sin Thong belum sempat kenal dengan Peng Thian Jin, mendengar sesama orang kang ouw telah mati kena diracun, ia tertunduk sedih. Apalagi kalau bukan karena tadi sang paderi yang telah tolongi, nyawanya juga dapat melayang. Hal ini membuat Sin Thiong bengong terdiam sesaat.
“Budha Maha Pengasih, ampunilah jiwa tuan pendekar dan hamba ini yang telat datang menolong…”, sang paderi kemudian berkata lagi lirih sambil menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba dengan suara tangis meraung-raung seorang anak muda lari kencang dan menubruk mayat Peng Thian Jin. Sambil menangis hebat anak muda ini berkata setengah teriak dan mengguncang-guncang mayat Thian Jin yang sudah tersender pada batang pohon kurus yang tumbuh bengkok,
“Jin Peh-peh! Jin Peh-peh jangan tinggal aku sendiri!”, si anak muda berkata sambil terus menangis sesegukan.
“Aku jangan ditinggal sendiri di dunia ini! Ji-peh sudah janji ajari aku ilmu tombak keluarga Peng!”,
sambung si anak muda sambil terus menangis peluki tubuh pamannya sudah tak bernyawa. Terpikir olehnya bahwa setelah pamannya mati kena bunuh orang kini ia tak memiliki satu orangpun keluarga di kolong langit ini dan benar-benar sebatang kara. Ayahnya telah tewas di medan perang melawan pemberontak atas dinasti Ceng sekitar lima tahun lalu dan ibunya pun telah meninggal karena sakit parah setahun setelah ayahnya berpulang. Satu-satunya keluarga tempat ia bergantung dan belajar banyak hal adalah adik satu-satunya dari ayahnya yang kinipun telah pergi tinggalkan ia sendiri.
Si Siucai baju putih mencabut tombak besi milik Peng Thian Jin yang masih tertancap di tanah kemudian membersihkan matanya dengan saputangan lalu jalan mendekati si anak muda sambil berkata padanya, “sudah jangan kau tangisi perginya peh-peh mu”.
Sambil membantu pemuda usia 16 tahun ini berdiri, ia memberikan tombak besi pada si pemuda dan bertanya pelan, “Siapa namamu anak muda?”.
“Namaku Thian Seng. Margaku Peng…”, jawab si anak muda menerima tombak besi dari Si siucai sambil berusaha menghapus air mata yang masih terus mengalir dengan lengan bajunya.
Sambil menunduk dan ambil lempengan kayu bundar berukir huruf Goan Kang yang terjatuh dari dalam baju Peng Thian Jin, Si Siucai kemudian menghela napas dan berkata kepada semuanya,
“salahku juga Saudara Peng jadi tewas terbunuh. Akulah yang telah undang kalian semua untuk berkumpul di sini”,
ia menghela napas dan berkata sambil pandangi satu persatu dari Ang Sin Thiong sampai Lie Sie Peng dan mengangkat lempeng kayu yang diambilnya tadi. Lie Sie Peng mendengar hal ini tanpa sadar meraba lempeng kayu miliknya yang disimpan di balik sabuk. Ang Sin Thiong keluarkan lempeng kayu miliknya yang serupa dengan yang dipegang Si Siucai. Paderi Lu Beng Kiang mengangguk ditemani oleh muridnya, Cheng Sian Ong yang baru kembali dari mengudak kawanan rampok yang lari kocar-kacir karena lihat dua pemimpin mereka sudah kabur medahului.
“Tetapi sebelum kulanjut bicara mengenai apa halnya ku undang kalian untuk kumpul di sini, adalah lebih baik kiranya ku urus dulu mengenai pemakamannya saudara Peng Thian Jin”, lanjutnya sambil memasukan lempeng kayu tadi ke balik bajunya.
Baru saja selesai Si Siucai berbicara, satu suara langsung menyambuti,
“Mengenai Pemakaman Peng Toako serahkanlah pada kami. Loya sekalian tak perlu kuatir mengenai hal ini”. Yang bersuara adalah seorang berseragam piawkok yang rupanya telah berkumpul sekitar lima atau enam orang karena saudara tua mereka tewas. Orang ini berkata pada Si Siucai sambil tenangkan Peng Thian Seng yang masih menangis sesegukan walau tak sehebat tadi seraya pegangi tombak besi pamannya.
Beng Kiang Taysu yang dari tadi perhatikan orang berbaju putih usia 30an awal, berbadan kurus tinggi ini dengan satu pedang tipis bergagang perak di pinggangnya dan sebuah yang-kim kayu warna coklat tua, bertatahkan emas terikat menyilang dipunggungnya dengan gerak geriknya yang santai, luwes tetapi selalu waspada dan muka halus serta mata yang tenang tetapi sangat awas kemudian beranikan diri untuk buka suara bertanya pada Si Siucai,
“Maaf…. bila pinceng tak salah mengenali, kiranya tayhiap ini adalah Toan In Kie dari Tay San yang berjuluk Bun-bu Cwan-jay dari Utara, Gin-kong Kiam Hiap Jai-Kim atau Pendekar Pedang Kilau Cahaya Perak Pemetik Yang-kim, Si Sastrawan Sakti yang Berjalan di Langit.
“Beng Kiang Taysu terlalu tinggi memberi julukan, tapi Lu Siansu tidak salah kenali orang. Aku adalah Toan In Kie si Pengamen Gembel Berpedang Burik dan memang siawtee merangkak turun dari Tay San”, jawab Toan In Kie sembari menjura pada Si paderi Siaw Lim.
“Siawtee adalah Lie Sie Peng. Maafkan siawtee memotong, tetapi jika loocianpwee memang seperti yang disebutkan Lu Siansu mengapa kiranya tadi loocianpwee tidak turun tangan untuk bantu hadapi rampok-rampok itu hingga tak perlu sampai engko Thian Jin jadi korban tewas kena bunuh penjahat licik?”, Lie Sie Peng tiba-tiba memotong jawaban Toan In Kie sambil beri hormat pada Si Siucai sakti.
Belum sempat Toan In Kie buka mulut guna menjawab pertanyaan dari Si nona cantik, Ang Sin Thiong yang tadi hanya menyimak pembicaraan orang kemudian buka suara menjawab Nona Lie,
“Kalau boleh siawtee menjawab, mungkin nona Peng kurang paham betul aturan kangouw. Toan cianpwee ini ada satu pendekar besar yang tak mudah turun tangan. Karena buat satu orang hoohan sejati; “turun tangan tak berkasihan, berkasihan tak turun tangan”. Kurang lebih begitu adanya”.
Mendengar jawaban orangToan In Kie pun kemudian berkata sambil kerutkan dahinya,
“Hal ini memang aku yang salah…...Tak kusangka akan berakhir begini kejadiannya”.
Lantas Toan In Kie balik tanya Si nona sambil melirik ke arah pedang pusaka bergagang giok warna hijau tua yang tertandal di pinggang kiri Lie Sie Peng,
“Tentunya nona adalah murid dari Lian Eng Suthay, dari Gobi Pay. Kabar beliau sehat?”.
“Guruku sehat-sehat saja. Beliau sampaikan salamnya kepada Toan Cianpwee. Subo mohon maaf tak dapat hadiri undangan Cianpwee karena satu urusan yang tak dapat dikesampingkan hingga siawtee lah yang diutus menggantikan”, jawab Lie Sie Peng mantap sembari menjura pada Sang Siucai Sakti.
6. Tapak Baja yang Memecah Batu Karang
Toan In Kie mengangguk pada nona Peng. Baru ia menoleh pada Ang Sin Thiong dan buka mulut hendak bicara, tiba-tiba Toan In Kie melirik ke arah pintu masuk rumah teh yang dari tadi terbuka lebar lalu ambil langkah satu tindak ke belakang.
Tiba-tiba semua yang di luar kecuali Toan In Kie dan Lu Beng Kiang, dikagetkan oleh suara gaduh seperti barang-barang berjatuhan dari dalam rumah teh dan satu suara seperti orang perempuan memaki disusul dengan munculnya seorang anggota rampok dan satu orang berseragam piawkok tungganglanggang lari keluar, lewat persis setengah langkah di depan Toan In Kie diikuti oleh sebuah mangkok nasi dari kayu melayang terbang kenai belakang kepala Si rampok lalu memantul dan ditangkap dengan enteng oleh Toan In Kie.
“Kurangajar! Binatang tak tahu adat! berkelahi bikin ribut, rusak dagangan orang! Ganggu orang cari makan!”,
seru Nyonya Liok, toanio si empunya rumah teh yang ternyata adalah asal suara makian tadi sambil lari keluar memegang centong peranti mengambil kuwah sop. Dengan itu ia mengayun guna pukuli kepala si rampok dan pegawai piawkok dan nyaris kena. Dua orang ini lantas lari lurus sambil pegangi belakang kepala mereka guna selamatkan diri dari amukan Nyonya rumah teh tanpa tengok kiri-kanan atau hiraukan orang ramai di luar.
Nyonya Liok berhenti karena setengah kaget melihat orang masih ramai depan rumah teh miliknya. dipandanginya sekilas muka orang satu-persatu. Lantas Si Nyonya ayunkan kiri-kanan centong sayur yang masih ia pegangi sambil tunjuk-tunjuk dan berkata lantang,
“Nah! sekarang barang dagang, kursi meja semua rusak hancur begini! Siapa ganti rugi?”, kemudian ia tolak pinggang tunggu jawaban.
Lu Beng Kiang Taysu mengangguk pelan kemudian kasih isyarat pada muridnya, Cheng Sian Ong yang mengerti isyarat gurunya dan langsung bergegas keluarkan kantong isi beras, tiga biji buah tho besar-besar yang telah masak, dua buah mangkok beserta alat makan, beberapa biji uang logam perunggu, kotak isi bumbu masak dan dua buah kitab tipis yang sepertinya adalah kitab isi doa-doa dari gembolan yang dibawanya di punggung dan semuanya ini dia taruh di atas meja depan si Nyonya dengan cepat dan tersusun rapi. Melihat ini Toan In Kie cepat keluarkan sebuah kantong dari balik bajunya, dia rogoh isinya lalu diambilnya 5 biji uang logam dan langsung kantong ia taruh di meja yang sama, disusul oleh Lie Sie Peng yang juga keluarkan kantong isi duit dan ia letakkan di meja tadi. Ang Sin Thiong lantas ikuti perbuatan Lie Sie Peng, lalu beberapa orang anggota piawkok pun mendekat dan menaruh masing-masing lima atau empat butir uang logam atau bijih perak, emas kecil-kecil milik mereka di atas meja di depan Nyonya Liok.
“Hmmph! Baiklah…”, Nyonya Liok kata sambil mendengus dan ambil langkah maju sampai di tepi meja. Dengan centong sop, Nyonya Liok geser barang-barang yang di taroh Cheng Sian Ong tadi lewati tepi meja hingga terjatuh. Dengan ini ia berkata kepada Beng Kiang Taysu, “Kau tidak usah!”.
Untunglah Sian Ong cekatan gerak cepat menadah barang-barang yang berjatuhan dengan gembolannya. Nyonya Liok taruh centong sop yang dipeganginya di meja, lalu meraup semua kantong dan uang logam yang berserakan di meja ke atas selembar kain perca yang ia keluarkan dari balik baju. Kemudian seraya melihat satu-satu muka orang, ia masukan gembolan kain perca berisi semua yang tadi dikumpulkan ke dalam balik baju lalu ambil mangkuk dari tangan Toan In Kie dan beri isyarat bujang-bujang pelayan yang tadi lari sembunyi dan sekarang mulai pada berdatangan. Melihat isyarat dari Toanio nya, para bujang pelayan langsung bergegas rapikan meja kursi yang berantakan akibat bentrok para rampok melawan anggota piawkok dan para pendekar. Sambil balik badan Nyonya Liok berjalan menuju pintu masuk rumah teh. Lalu si Nyonya lambaikan tangan kanannya dengan cepat seraya berkata kepada siapa saja yang mendengar,
“Selesaikan urusan kalian, habis itu cepat pergilah dari sini dan jangan kembali lagi untuk bikin onar ganggu orang dagang!”. Kata-kata itu diakhirinya dengan menutup kencang pintu masuk rumah teh dari dalam.
Orang piawkok yang tadi bicara kepada Tan In Kie berkata buyarkan keheningan seraya menjura pada satu-satu orang para pendekar yang masih bengong perhatikan nyonya Liok jalan masuk rumah teh dan membanting pintu tadi, “baiklah kami meminta diri. Terimakasih hoohan sekalian telah bantu kami menghadapi rampok-rampok tadi.”
Tan In Kie dan para pendekar mengangguk sambil balas menjura.
“Ayuh pergi!” perintah si orang ini yang tampaknya adalah tangan kanan atau bahawan langsung Peng Thian Jin kepada rekan-rekan sejawatnya yang masih sibuk bopong mayat Thian Jin dan beberapa mayat kawan mereka yang terbunuh kawanan rampok tadi serta pepayang anggota mereka yang terluka.
Beberapa dari anggota piawkok langsung menjawab dengan seruan, “Baik Toako!” dan mempercepat gerakan mereka sambil berlalu dari pelataran rumah teh yang mulai kelihatan rapi karena dibereskan oleh bujang-bujang pelayan dibantu juga anggota piawkok.
In Kie hendak buka suara menyambung pembicaraannya tadi mengenai halnya kenapa ia undang Ang Sin Thiong sekalian berkumpul di rumah teh keluarga Liok ketika tiba-tiba sebuah suara tertawa lepas nyaring meledak dari arah atas pohon yangliu tempat In Kie duduk mainkan yangkim tadi. Semua mata langsung menengok pada sumber datangnya suara tertawa itu. Di atas pohon itu semua dapat melihat seorang duduk nagkring bertengger santai sedang gegares satu paha unggas yang terlalu besar kalau dikatakan paha ayam. Si orang ini kemudian membuang tulang paha unggas tadi setelah selesai memakannya dan lanjut jilati jari-jari tangan kanannya sambil sesekali masih tertawa pada para pendekar yang melihatinya dengan heran.
“Hahahahaha! Inilah hebat!” kata si sosok ini sambil mengelap telapak tangan kanannya pada dahan pohon yangliu tempat dia duduk bertengger. Perawakan orang ini tidak teralu tinggi juga tidak pendek. Ia Berpakain rapi tetapi kelihatan kalau baju yang dipakai sudah tidak jelas apakah biru, hijau, atau abu-abu warnanya ini sudah berusia cukup lama dan kemungkinan memang tidak pernah atau sangat jarang diganti si pemakainya.
Muka orang usia sekitar empat puluhan awal atau tiga puluhan akhir ini kelihatan sehat kemerahan walau terlihat jenggot dan kumis tipis tumbuh di sana-sini dan terlihat kurang atau malah tidak dirawat.
Rambutnya kelihatan putih beberapa helainya dan terlihat awut-awutan menyembul rambut liar di sana-sini keluar dari ikatan taucangnya.
Ia masih tersenyum sambil melompat turun dari dahan pohon yang kira-kira dua setengah kali tinggi rata-rata orang dewasa jaraknya dari tanah. Dari gerakannya yang melihat akan mengira bahwa ia akan jatoh gegabrukan keluarkan suara kencang saat mendarat ke bumi, tetapi justru sebaliknya si orang tak dikenal ini daratkan kaki di tanah dengan sangat ringan tanpa keluarkan satu bunyi, bagai daun yang melayang tertiup angin musim semi lalu jatoh ke tanah. Ang Sin Thiong dan Lie Sie Peng tertegun melihat tingginya tingkat ginkang yang dipertontonkan orang ini.
“Pasti orang ini bukan pendekar sembarangan”, pikir Ang Sin Thiong sambil terus perhatikan gerak gerik orang yang melangkah panjang dan enteng mendekat ke arah mereka.
“Hahahaha!” ya, ya, ya…”, terbit lagi tawa orang ini saat ia selesaikan langkahnya dan sudah berdiri kira-kira jarak selangkah disamping Lie Sie Peng dan berseberangan menghadap Tan In Kie yang tersenyum lebar sambil menunjuk santai pada orang yang ia kenali ini.
“Sungguh kalian telah kena termakan gertakan si wanita galak she Liok, hahahaha!”, sambung orang ini sambil menunjuk hidung Tan In Kie.
“Satu peristiwa langka yang belum pernah kudengar seumur hidupku, walau aku telah berkeliling di bawah kolong langit ini. Hari ini aku kena menyaksikannya sendiri dengan mata kepalaku.” Katanya lagi sambil tersenyum setengah tertawa.
“Baru ini kulihat di dalam kaum kang-ouw para pendekar dikeja urunan guna membayar ganti rugi macam tadi. Hahahaha, maafkan kalau aku jadi tertawa geli melihatnya, ya, ya, ya, hehehe”, lanjut orang ini.
Lalu ia bertanya kepada Tan In Kie setelah kelar menyapu tepi bibirnya yang masih belepotan minyak selesai gegares paha unggas di atas pohon tadi,
“Hei adik Tan, kabarmu baik saja kan? Jarimu semakin lihay saja mainkan yangkim. Jadi mengantuk aku dengar nada indah yangkim emasmu itu, hehehe.”
Orang yang ditanya tertawa lebar mendengar pertanyaan tersebut.
“Cao Toako terlalu memujiku”, jawab Tan In Kie sambil menjura dan tersenyum pada orang yang ia sebut Kakak Cao tersebut.
“Dari dulu keahlianku memain yangkim ya memang seperti itu adanya, bukan satu hal yang istimewa. Senang hatiku melihat Cao toako baik saja tanpa kurang suatu apa. Lama juga ya kita tak berjumpa?”, sambung Tan In Kie setengah bertanya pada orang she Cao ini.
“ya, ya…. cukup lama. Sepuluh tahun telah berlalu semenjak peristiwa itu baru kita bertemu kembali”, Jawab orang sambil mengangguk pelan dan menghela napas.
“Ah maaf, kulupa memperkenalkan dirimu”, sela Tan In Kie.
“Beliau ini adalah Cao Ciong Cung, Si Tinju Baja yang Memecah Batu Karang. Pendekar Kecrekan Kayu yang Terbang di atas Rumput, Bhok-cek Tayhiap Jouw-sang-hui-teng”, sambung Tan In Kie Memperkenalkan Cao Ciong Cung pada yang lainnya.
“Aaah…. apalah segala julukan macam itu. Tak ada urusan!”, potong Ciong Cung ketika nama dan julukannya disebut oleh Tan In Kie sambil menepiskan tangan kanannya di depan muka dan tersenyum menggeleng.
Kaget bukan main Ang Sin Thiong dibuatnya barang ia kenali bahwa orang yang berdiri di depannya sekarang ini adalah satu pendekar besar dalam dunia persilatan dan orang yang sama ini adalah pengamen pengembara yang tadi berpapasan dengan dirinya ketika Sin Thiong berjalan di jalan setapak menuju rumah teh Keluarga Liok. Hal ini membuat Sin Thiong jadi melongo dengan mulut tebuka karena setengah tak percaya melihat potongan orang sangat sederhana, dengan pakaian seadanya dan lagak yang setengah seenaknya dan muka yang biasa saja.
Melihat muka Ang Sin Thiong berubah saat Namanya disebut Tan In Kie, Ciong Cung lantas tertawa dan berkata, “Hahahah, ya memang kita sudah bertemu di jalan saat kau hendak menuju kemari tadi.
Sadar bahwa Cao Tayhiap tertawa dan berkata pada dirinya Ang Sin Thiong jadi setengah malu dan menjawab dengan menjura kepada Si Tapak Baja,
“Ma…maaf siawte tak kenali Cianpwee tadi di jalan. Siawtee adalah Adalah Ang Sin Thiong, murid dari Tong Boan Khee Tosu asal Bu Tong Pay”.
“Ya aku mengenal gurumu. Boan Khee Tosu memang pandai memilih murid”, Ciong Cung jawab sambil mengangguk. Kemudian ia menengok pada Lie Sie Peng yang dari tadi hanya berdiri perhatikan pembicaraan In Kie dan Ciong Cung. Ciong Cung kenali pedang mustika yang tertandal di pinggang si Nona lalu bertanya padanya,
“Hmm…lama tak bertemu dengan dirinya, Liam Pek Lian…eh…maksudku Liang Eng Suthay baik-baik saja kan?”.
“Suhu ku baik-baik saja kabarnya”, jawab si Nona cantik sambil terheran angkat alis mendengar gurunya dipanggil Liam Pek Yan.
Liam Pek Lian adalah memang nama Lian Eng Suthay sebelum ia masuk menjadi paderi wanita mengikuti jalan Budha. Sungguh jarang orang yang mengetahui nama ini dan tidak temasuk Lie Sie Peng yang murid sang Suthay.
Pada suatu masa dahulu, jauh sebelum masuk jadi paderi agama Budha, Liam Pek Lian, Cao Ciong Cung, Tan In Kie dan Thio Kang Sie memang saling mengenal dan berkawan cukup rapat. Liam Pek Lian dan Thio Kang Sie kemudian menikah karena saling mencintai satu sama lain. Akan tetapi, Thio Kang Sie kemudian tewas terbunuh ketika mereka Berempat dibantu dengan Kong Seng Kian Sianshu seorang paderi sakti Siaw Lim Pay yang merupakan guru dari Lu Beng Kiang taysu dan Tong Boan Khee, guru dari Ang Sin Thiong dalam memberantas seorang penjahat nomor satu dunia kangouw. Tetapi ini adalah cerita lain yang juga akan diceritakan pula di lain kesempatan.
“Aku sudah dapat menduga bahwa kaulah yang mengundangku dan yang lainnya di sini semenjak aku menerima benda ini”,
Cao Ciong Cung berkata kepada Tan In Kie sambil keluarkan lempengan kayu bundar dengan huruf Goan Kang terukir di salah satu sisinya dari dalam bajunya.
“Yang utama adalah karena aku langsung mengenali ini adalah tulisan tanganmu”,
sambung Ciong Cung seraya menggerakkan jari telunjuknya menempel di atas lempengan kayu mengikuti ukiran huruf-huruf itu.
“Yang kedua, kalian semua sebetulnya tidak perlu heran mencari arti dari huruf Goan Kang yang terukir di sini, karena memang tidak ada artinya alias ngawur saja dibuat oleh Adik Tan ini. Ini adalah sebangsa permainan yang kami, empat sahabat dulu ciptakan semasa muda”,
sambungnya lagi, kali ini berkata kepada semua orang di sini kecuali Tan In Kie sambil mengangkat dan memutar-mutar lempeng kayu bundar yang dipengangnya.
Tan In Kie tersenyum sembari menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal dengan tangan kanannya mendengar ini.
Kata-kata Goan Kang ini memang tidak memiliki arti, karena ini sebenarnya adalah bagian dari permainan dari empat sahabat yaitu Tan In Kie, Cao Ciong Cung Liam Pek Lian dan Thio Kang Sie di masa mereka masih muda dahulu, jadi di luar dari empat sahabat ini memang tak akan mengerti apa arti huruf yang terukir di lempengan kayu yang digunakan Tan In Kie untuk mengundang para pendekar di sini. Tong Boan Kee Toosu guru dari Ang Sin Thiong, Beng Kiang Taysu dan Thio Kang Su, yaitu adik dari Thio Kang Sie yang merupakan pemilik piawkok yang kemudian mengutus orang kepercayaannya dan sekaligus ketua para pegawai, Peng Thian Jin, menerima lempengan kayu yang sama dengan Eng Lian Suthay dan Cao Ciong Cung hanya saja disertai selembar surat dari Tan In Kie sebagai keterangan undangan untuk datang ke rumah keluarga Liok di tepi hutan bambu ini.
7. Persatuan Orang Gagah
Tan In Kie membungkuk mengambil kursi yang terjatuh lalu menaruhnya di depan meja seperti posisi seharusnya. Kemudian si Siucai menepuk-nepuk kedua telapak tangannya, membersihkan dari tanah sambal kembali berdiri tegak dan siap buka suara.
“Seperti yang tadi ku katakan, akulah yang undang kalian semua untuk berkumpul di sini”, In Kie berkata kepada para pendekar yang menyimak dengan seksama.
“Sengaja kuundang semua ke sini untuk membicarakan satu hal penting menyangkut masa depan negeri Tiong Goan”, lanjut In Kie dengan muka yang serius.
“Sudah menjelang empat tahun kaisar Kian Liong naik tahta menggantikan Yong Cheng yang mati dibunuh Liu Su-nio, pendekar wanita ketua gerakan pemberontakan kaum terpelajar.”
“Eh, bukankan kaisar Yong Cheng wafat karena suatu penyakit akibat terlalu lelah?”, potong Ang Sin Thiong bertanya pada In Kie.
“Itu memang peryataan resmi dari pihak dalam istana, tetapi kejadian sesungguhnya tidak demikian”, jawab Tan In Kie cepat.
“Kenapa aku dapat mengetahui hal itu? Karena akupun ada di situ ketika terjadinya pembunuhan terhadap Yong Ceng dan aku pun adalah anggota pemberontakan tersebut”, sambung Tan In Kie.
Perkataan Tan In Kie yang menyatakan keterlibatan dirinya dalam pembunuhan kaisar Yong Cheng ini mengejutkan para pendekar yang hadir di pelataran rumah teh keluarga Liok. Saat ini para bujang pelayan sudah berlalu pergi sebagian masuk rumah the dan ada juga yang pulang. Demikian pula para pegawai piawkok sudah semua berlalu pergi dari pelataran rumah teh, jadi hanya para pendekar yang tersisa di pelataran rumah teh dan pengakuan Tan In Kie benar-benar membuat mata para pendekar terbelalak kaget.
“Hal itu mau tidak mau harus kami lakukan karena Yong Cheng sudah menjadi kaisar yang lalim yang mabuk kuasa dan mencekik rakyat dengan hukum-hukumnya yang tak berpihak pada rakyat jelata. Ia menangkapi siapapun dan tak segan menghukum mati tersangka pemberontak walaupun banyak dari yang korban yang ditangkap adalah orang yang tak punya dosa terhadap dinasti Cheng, apalagi sampai terpikir untuk berontak pada Yong Cheng”, lanjut Tan In Kie menerangkan.
“Empat tahun berlalu setelah Yong Cheng mati dan Kian Liong naik tahta negeri ini menjadi Makmur, aman sentosa. Hal ini disebabkan karena Kiang Liong sangat berbeda dengan Yong Cheng yang telengas kejam dan mabuk kuasa. Kian Liong cinta rakyat dan negeri ini.
Kami pun merasa tak ada guna lagi meneruskan gerakan pemberontakan dan Liu Sie Niang membubarkan pergerakan kami”, lanjut sang Siucai dengan mata melayang jauh seperti mengingat masa-masa perjuangan dulu dengan rekan-rekan nya yang gugur dalam menumpas kaisar lalim.
“Buat apa melanjutkan pemberontakan terhadap kaisar yang baik hati dan cinta rakyat? Toh pemberontakan itu kami lakukan karena kami cinta rakyat dan memikirkan nasib negeri. Kami memberontak pada Yong Cheng si Kaisar lalim, bukan pada dinasti Cheng”, lanjut In Kie sepeti kembali pada masa sekarang sambil memandang satu-satu wajah para pendekar yang tertegun mendengar cerita sang Siucai yang luar biasa ini.
“Walau begitu rupanya tak semua merasa harus berhenti memberontak, terutama yang sudah kelanjur sakit hati pada Yong Cheng. Walau tak terang-terangan memberontak pada Kaisar Kian Liong, tetapi setidaknya yang ku tahu sudah ada tiga kali percobaan pembunuhan yang dilakukan pada Kian Liong”, Tan In Kie menyambung ceritanya sambil memusatkan pandangannya pada Ciong Cung yang mengangguk dan mengelus dagunya.
“Hal ini yang harus ditanggapi dengan serius. Kaisar Kian Liong harus kita jaga dan biang pemberontakan yang sudah keluar jalur ini harus kita tangkap dan musnahkan, karena pasukan khusus para pendekar yang dibentuk Yong Cheng telah dibubarkan oleh Kaisar Kian Liong sebagai itikad baik kepada rakyat Tiong Goan. Oleh karena itu aku mengumpulkan kalian untuk bergabung dalam tugas penting ini”.
“Ya, aku paham”, jawab Sang Pendekar Tinju Baja yang Memecah Batu Karang sambil melipat tangan.
“Memang pemberontakan kaum pendekar harus dilawan oleh siapa lagi kalau bukan kita juga dari kalangan kang ouw, karena nasib negeri adalah tanggung jawab Bersama”, lanjut Ciong Cung yang kemudian mendapat persetujuan berupa anggukan dari Lie Sie Peng, Ang Sin Thiong, paderi Lu Beng Kiang serta muridnya, Cheng Sian Ong.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
