TEBU MANTEN - LIMA

12
13
Deskripsi

Bukannya kami sudah pernah berbincang seperti ini kemarin. Aku segera menatap lawan bicara di depanku. Takut menghilang lagi tapi detik itu juga aku berharap sebaliknya.

Saat ini Mbak Ayu membeku seperti patung. Sunggingan di sudut bibirnya penuh makna, matanya dingin dan tajam membuat kudukku meremang. Seperti predator yang bertemu dengan mangsanya.

Mbak Ayu berubah, tak ada lagi wajah centilnya. Suasana jadi hening, sungguh hening.

Rutinitas pagiku di awali dengan celoteh Adis tentang pindahnya si loro istri dari dalam kardus. Wanita itu terus menerus menanyakan kapan aku melakukannya. Sepertinya dia tahu jika aku berbohong firasat perempuan memang tajam. Kengeyelan Adis bahkan membuat nasi goreng yang ada di piringku terasa hambar.

"Sampeyan beneran kan yang pindahin?"

"Iya Adis, Mamas yang pindahin. Sudah gak usah ngeyel lagi, Mas Bambang sudah di depan."

"Tapi Adis takut. Kalo dia balik lagi piye?"

"Ya tinggal di masukin kardus lagi."

"Ish ... Sampeyan iki ... Ngerti ndak sih sama omongan Adis?"

Aku hanya menarik nafas berat, ya tentu saja aku paham. Tapi kalau aku jujur, yakin pasti wanita ini semakin takut dan gak mau di tinggal sendirian.

Gak mungkin kalau aku harus mengajak Adis ke kantor. Apa kata pak Robert dan pak Wiro. 'Andra baru kerja tapi sudah tak profesional'

Jujur saja aku sudah kepincut kerja di sini. Walaupun harus jauh dari peradaban. Ya gimana? gaji dan tunjangannya lumayan, tinggal adaptasi sedikit. Membiasakan diri dengan rutinitas monoton dan suasana yang sepi. Meskipun kejadian semalam memang di luar logika, aku mengabaikannya. Apalagi alasanku menerima pekerjaan ini bukan hanya karena aku menganggur, tapi juga karena mertua perempuanku. Mengingatnya saja membuat hatiku sakit. Aku tak bisa marah atau membencinya, bagaimanapun ia adalah wanita yang telah melahirkan istriku.

Adis akhirnya mengantarkanku berangkat kerja dengan wajah manyunnya. Dari dalam mobil, di salah satu teras rumah aku berpapasan dengan Pak Wiro bersama seorang wanita, usianya jauh lebih muda dan juga seorang anak laki-laki berseragam merah putih yang naik ke dalam mobil mewah miliknya.

"Itu Istri pak Wiro sama anaknya, Pak" ucap Mas Bambang menjelaskan seolah tahu isi kepalaku.

"Istrinya masih muda ya?"

"Enjeh Pak. Istri Pak Wiro niku rondo. Mungkin karena kepincut, Pak Wiro yang perjaka tua nekat ngelamar."

"Oh, Pantes anaknya masih kecil. Di sini juga ada sekolah juga ya Mas?"

"Enjeh Pak Andra. Dari TK sampai SMP"

"Di sebelah mana ya Mas?"

"Itu di ujung perumahan yang sebelah sana Pak, dekat dengan pasar pagi, kalau bu Adis mau belanja bisa saya anter ke sana."

"Sekolahnya gratis ya Mas?"

"Enjeh Pak. Cuma beli seragam sama buku pelajaran aja. Fasilitas juga Pak"

"Kok Mas Bambang paham?"

"Anak saya juga sekolah di sana Pak"

"Memang anaknya Mas Bambang ada berapa?"

"Satu. Semoga Bapak juga cepet dapet momongan ya?"

"Iya Mas. Terima kasih sudah didoakan"

"Kudu rajin buat Pak," seloroh Mas Bambang membuatku ketawa terbahak sejadi-jadinya, tahu saja dia.

Karena asik ngobrol tak terasa kami sudah masuk ke dalam gerbang pabrik. Security gemuk yang menegurku kemarin memberikan hormat pada setiap mobil atasan yang melintas. Mas Bambang menghentikan mobil di depan pabrik. Sambil berlalu aku menyapa beberapa orang yang sudah kenal dan lagi-lagi mereka nunduk-nunduk. Aku sudah seperti ndoro keraton saja.

Kalau kata orang, laki-laki itu tahu perempuan penggoda dan perempuan yang polos. Sepertinya sekarang aku mengerti maksudnya.

Asistenku -Mbak Ayu- gimana ya ngomongnya? dari awal bertemu perasaanku sedikit risih. Meskipun dia cantik dan menor tapi dia bukan seleraku.

Cara bicaranya mendayu-dayu buat merinding. Tapi kalau mau jauh-jauh gak bisa juga. Kemana aku pergi dia mengekor seperti anak kucing. Kalau Adis sampai lihat seorang wanita menempel padaku seperti ini, bisa-bisa dia cemburu berat, aku pasti dibantai sampai runyam.

"Pak Andra sudah paham belum MRIS yang ini?"

Mbak Ayu menyodorkanku tumpukan dokumen bukti barang keluar - mereka menyebutnya MRIS, Material Issuing - yang harus aku tanda tangani.

"Sudah, laporan stock perhari ini mana ya Mbak? Saya cek dulu"

"Ini Pak, sekalian sama MRR-nya juga ya?"

Setumpuk dokumen lain - bukti penerimaan spare part MRR , Material Receiving Report - yang tak kalah banyak di serahkan juga padaku. Sudah setumpuk lembaran kertas yang harus aku periksa dan selesai pagi ini juga.

"Ya Mbak terima kasih." Aku mulai sibuk menghitung dan mengecek pakai kalkulator, kadang sambil melirik buku SOP. Memastikan jika barang dan kodenya sesuai.

Tiba-tiba Mbak Ayu nyeletuk, "Pak Andra ganteng ya?"

"Hah?!" Terang saja aku gelagapan.

"Iya, mirip penyanyi rock," ucapnya lagi.

Aku tersenyum geli lebih ke arah bingung dan ya ampun! Perempuan ini blak-blakkan sekali.

"Masa Mbak?" Tanyaku lagi sambil sibuk membolak-balik kertas yang bertumpang tindih tak karuan.

"Iya, mungkin karena Pak Andra gondrong juga tatoan, keren gitu!."

"Keren dari mananya Mbak?" Aku cuek saja sambil terus tanda tangan.

"Soalnya baru kali ini saya ketemu laki-laki seperti Pak Andra."

Perempuan ini sedang merayu ya? Baru kali ini ada yang bilang aku keren. Tampang seperti preman begini.

"Pak Andra biasanya minum apa? Biar disiapkan." Mbak Ayu bertanya lagi.

"Kopi pahit Mbak, tapi kalau pagi saya pasti ngopi di rumah." Aku masih sibuk membaca.

"Pak Andra buat sendiri?"

"Tidak. Istri saya yang bikin."

"Loh? Sudah menikah ya Pak?"

"Iya."

"Sudah lama?"

"Sudah setahun lebih."

"Cantik Pak?"

"Cantik dong. Eh? Tunggu!"

Bukannya kami sudah pernah berbincang seperti ini kemarin. Aku segera menatap lawan bicara di depanku. Takut menghilang lagi tapi detik itu juga aku berharap sebaliknya.

Saat ini Mbak Ayu membeku seperti patung. Sunggingan di sudut bibirnya penuh makna, matanya dingin dan tajam membuat kudukku meremang. Seperti predator yang bertemu dengan mangsanya. Mbak Ayu berubah, tak ada lagi wajah centilnya. Suasana jadi hening, sungguh hening.

Waktu berhenti, tak ada sedikit pun suara yang terdengar, hanya ada deru napasku dan Mbak Ayu yang menatap nanar, seringainya tambah menyeramkan. Tatap matanya bukan milik manusia. Aku tahu karena perlahan bola matanya menghitam seperti malam.

Saat suara radio satu arah berteriak memanggil namaku kebekuan terpecah, mataku hanya berkedip sepersekian mili detik dan Mbak Ayu ... lagi-lagi menghilang. Aku gelagapan dan merinding tak karuan.

Apa ini jika kemarin hanya suara sekarang bahkan mereka menyerupai orang-orang disekitarku.

"Pak Andra - Pak Andra? ...." Suara radio yang berisik memanggil berulang kali.

"Iy-iya! Andra di sini!"

"Pak barangnya sudah di depan." Suara Mbak Ayu di seberang, mengingatkan jika pesanan user sudah tiba dan harus segera diperiksa.

Kalau Mbak Ayu ada di luar, jadi dari tadi aku bicara sama siapa? Bahkan bilang kalau aku ganteng. Meski dipuji begitu aku sama sekali tak menyukainya. Bahkan kudukku merinding luar biasa.

"Pak Andra?"

"I-iya Mbak, siapa receiving-nya?"

"Pak Mamat."

"Oke Mbak."

Badanku rasanya panas dingin waktu keluar ruangan. Di depan kantor beberapa orang sibuk mondar-mandir melayani beberapa user dari pabrik. Masih ramai bergemuruh seperti lebah, tapi bisa-bisanya aku bicara sendiri. Bahkan hari masih terang. Apa aku berhalusinasi lagi?

Di depan pintu gudang sebuah mobil truk fuso hijau sudah menungguku bersama seorang pria yang berusia sekitar 40-an. Tatapan matanya penuh kebencian. Ya! Benar dia Pak Mamat. Logat palembangnya meluncur, terdengar semakin menyebalkan. Aku masih gamang, tapi sudah bertemu Pak Mamat yang menguras emosi.

"Oi dah, lamo nian kau Ndra." Bahkan dia tak memanggil namaku dengan benar. Sabar-sabar.

"Iya Pak, masih ngecek mris."

"Ai ... Ngecek itu bae lamo. Cak mano lah! Katanyo kau bos?" Ejeknya.

(Ah ... Ngecek itu saja lama. Gimana lah! Katanya kamu bos?)

Rasanya aku ingin menonjok wajahnya. Tapi Adis sudah berpesan, alon-alon asal kelakon. Sabar-sabar. "Ya sudah Pak, mana yang mau di cek?"

"Ikak ni nah! Ado elbow samo gasket. Kalau gasket pacaklah aku nurunin dewek. Aman elbow ikak berat, nah Pak Andra bae lah yang nurunin!"

(Ini kan ada elbow dan gasket. Kalau gasket saya bisa turunin sendiri, tapi kalau elbow ini berat, nah Pak Andra saja yang nurunin!)

Hah? Gak salah dengar? Aku memang lebih paham bahasa Palembang dari pada bahasa Jawa, karena aku lulusan Universitas Negeri di sana. Dan pria ini menyuruhku? Akhirnya demi terciptanya kedamaian dan keadilan sosial bagi seluruh karyawan di sini, aku mengalah. Gak lucu kalau hari kedua sudah bertengkar, dengan bawahan lagi!.

Gasket memang ringan hanya berbentuk lembaran seperti tripleks dengan ukiran-ukiran mesin piston, meski lebar dan besar, barang ini ringan. Berbeda dengan elbow, bentuknya seperti makaroni raksasa yang terbuat dari besi dengan diameter hampir 30 cm. Tapi baru saja aku hendak mengangkatnya Mbak Ayu datang dan menegur Pak Mamat.

Jelas sekali aku lihat, wajah pria itu berubah menjadi lebih waspada dan segan sekaligus. Mbak Ayu segera mencari beberapa tenaga harian lepas dan menyuruh mereka untuk melakukannya. Namun kepalang tanggung, tanganku sudah kotor. Ya sekalian saja kami memindahkannya bersama-sama. Aku juga tak keberatan kok.

"Pak Mamat, tolong perhatikan ya! Pak Andra ini walaupun baru, dia atasan sampeyan. Ngerti!"

Pria Palembang itu hanya terdiam sambil melirikku seram. Takut? Menurutku Masih lebih seram lirikan Adis. Aku menenangkan Mbak Ayu yang mencak-mencak. Kataku, "Sudahlah."

Akhirnya keributan itu selesai dengan ucapan maaf dan saat Pak Mamat mendekat, aku yakin dia berbisik, "Pak Andra, kau hati-hatilah dengan Ayu. Dio dak sebaik yang kau lihat," dan berlalu begitu saja.

Meninggalkanku yang tergagap kebingungan. Pak Mamat sesekali masih menoleh padaku. Dia memang aneh sih, tapi sampai bilang hati-hati? Apa maksudnya?

Aku pulang telat bahkan harus sholat maghrib di kantor. Bumi sudah berselimut malam saat aku keluar gudang, beberapa pekerja masih sibuk mengelas dan menyelesaikan maintanance beberapa bagian mesin di dalam pabrik. Cahaya berkilat-kilat dari alat las berpendar seperti bintang, bunyi palu menghantam besi bergema bersahutan. Padahal sudah malam, mereka masih sibuk bekerja, memeras peluh dan tenaga menjadi budak koorporat demi sebingkai mimpi, sepertiku.

Aku bersenandung ringan menuju parkiran di dekat cane yard. Mas Bambang tak menjemputku di depan gudang, mungkin saja dia ketiduran di mobil. Aku maklum sih, mungkin dia bosan menunggu.

Di tikungan terakhir aku sudah hampir sampai saat menyadari Mbak Ayu berdiri di sisi lain dan hendak memanggilnya, namun perempuan itu seperti bicara dengan orang lain. Saat aku mendekat, rupanya dia bersama Mas Bambang.

Pantas saja ia tak menjemputku. Semakin mendekat aku menyadari jika Mas Bambang sungkan dan menunduk sambil bicara 'sampun-sampun.'

Kedua orang itu menyadari kehadiranku. Mbak Ayu langsung salah tingkah dan segera berlalu masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan Mas Bambang segera menyambutku.

"Sampurane Pak Andra, saya lupa jemput sampeyan."

"Gak apa-apa Mas, Ayo cepet kasian Adis sendirian."

"Engih Pak."

Aku baru saja turun dari mobil, Adis sudah berlari menyambutku dan menangis. Terang saja aku kaget setengah mati, siapa yang berani menyakitinya?

"Adis kenapa?"

Wanita itu hanya sesenggukan dan menggeleng berulang kali. Aku menatap Mas Bambang bingung, mungkin karena sungkan, pria itu ijin meninggalkanku.

Aku menuntun Adis masuk ke rumah. Tangisannya membuat bajuku basah, apa karena aku pulang terlambat?

"Adis kenapa? Marah ya karena Mamas pulang telat?"

Adis hanya membisu, aku sampai tak bisa buka sepatu karena dia terus menempel. "Maaf ya Mamas pulang telat, sudah jangan sedih lagi."

Wanita itu mengangkat wajahnya, matanya sudah bengkak, artinya dia sudah menangis sedari tadi sebelum aku sampai.

"Mamas, Adis nangis bukan karena Mamas balik telat, tapi kui loh."

Tangannya menunjuk arah kamar, jangan-jangan?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya TEBU MANTEN - ENAM
15
6
Siluet seseorang duduk di atas lemari dengan kaki yang menjuntai
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan