TEBU MANTEN - SATU

12
12
Deskripsi

Bon Jovi vs Ratih Purwasih

Cerita ini di mulai dari atas selat sunda, dalam semilir angin laut yang asin dan dingin. Sebenarnya malam-malam begini paling enak minum kopi pahit buatan Adis. Tapi jangankan ngopi, mau duduk tenang saja susah. Gelombang besar membuat kapal penyebrangan jurusan Merak-Bakau yang aku tumpangi bergoyang tak karuan. Wanita yang bersender di bahuku terus menerus mengeluarkan isi perutnya dalam kantong plastik hitam. Maklum, ini pengalaman pertamanya naik kapal laut.

"Mamas, masih lama tah?"

"Iya, masih lama. Tidurlah."

"Piye arep turu, wetengku loh enek gak karuan."

"Ish! Dibilangin jangan ngomong Jawa. Mamas gak paham," protesku. Siapapun pasti tahu, mata biru dan wajah indo campur tionghoa-ku sudah bisa menjelaskannya.

"Iyo maaf, perut Adis ndak enak kepalanya pusing." Adis tersipu karena kerlingan mataku.

Keluhan wanita ini membuatku kembali mengoleskan minyak angin di lehernya. Dia membuatku serba salah karena perjalanan kami masih sangat jauh. Bagaimana jika Adis sampai sakit? Aku kembali merapatkan jaket jeans-nya.

Hembusan angin laut membuat gelungan rambutku terurai. Rupanya karet pengikatnya putus. Aku mencari pengganti dalam saku jaket dan merapihkan anak rambutku. Sebenarnya sudah lama aku ingin memotong rambutku yang panjang tapi Adis melarang. Biar tetep ganteng kilahnya.

Wanita itu tertunduk lemas membuatku terus menerus menghela nafas dan berkata. "Mamas kan sudah bilang kalo gak usah ikut dulu. Kamu maksa sih."

Adis seketika bangkit dan menatap tajam. "Ndak! Walaupun jauh dan kudu mual-mual begini Adis tetep ikut. Aku pengen sama Mamas terus," tegasnya dan kembali bersandar padaku.

"Iya-iya sudah tidur lagi, gak usah marah-marah nanti tambah mual."

Aku lupa jika wanita disebelahku ini sungguh ngeyel luar biasa. Menjadi anak tunggal membuatnya manja dan selalu bergantung padaku. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana sulitnya meminang Adis. Terutama ibu, wanita jawa itu berulang kali menanyakan kemampuanku untuk membahagiakan putri tunggalnya karena aku yatim piatu.

Untung saja aku sudah bekerja cukup mapan jadi ibu mau menerima lamaranku. Tapi memang dasar apes, kontrak perusahaan sebelumnya habis membuatku jadi pengangguran. Untung saja sejak kecil aku biasa menabung dan hidup prihatin. Jadi meskipun jadi pengacara alias pengangguran banyak acara yang melamar kerja sana sini, aku tak kehabisan uang dan tak sekalipun meminta pada mertua. Sampai akhirnya usahaku membuahkan hasil.

"Mas, sampeyan yakin mau kerja di ... Opo yo lali aku?"

"Lampung?"

"Ho'oh Lampung," tegas Adis dengan logat medoknya.

"Gimana lagi ... Ibumu sudah bolak-balik nanya kapan kerja, Mamas malu dengernya."

"Ibu kan cuma nanya Mas." Wanita itu membenahi rambutnya yang terurai karena hempasan angin laut.

"Ya Mamas tahu, tapi tetep aja gak enak hati apalagi sama bapak. Mamas gak mau di cap mantu ganteng yang gak guna."

Adis tertawa lirih. "Ish sombong buanget ngaku ganteng."

Aku sudah mau menjawab, namun Adis kembali mual-mual, goncangan kapal semakin kuat. Aku sedikit menyesal menerima pekerjaan ini apalagi jaraknya jauh. Tapi kalau ditolak aku tak yakin bisa dapat tawaran lain. Mertua perempuanku itu cerewet dan ngeyel seperti Adis atau Adis yang mirip ibunya?

Berulang kali menanyakan padaku ‘Andra piye wes enek pangilan kerjo urung? ’ (Andra bagaimana sudah ada panggilan kerja belum?) Tiap makan bersama, membuat nafsu makanku hilang. Aku yakin selama menganggur, berat badanku turun drastis.

Tangan kananku masih sibuk mengusap tengkuk Adis yang terus mual. Apa jangan-jangan dia hamil ya? Tapi sepertinya bukan, karena kemarin malam aku gak dikasih, belum bersih katanya.

Deru kapal beradu dengan suara angin yang bergemuruh. Siluet daratan pulau jawa semakin menjauh saat kami menuju tanah rantau, cahaya lampu pelabuhan semakin redup. Gelombang air laut berkilauan membiaskan bulan separuh.

Dari tempat duduk, aku bisa melihat jelas ke arah buritan kapal tempat belasan orang bersandar, tatapanku bertemu dengan seorang pria tua yang aneh. Jaman sekarang dia masih memakai blangkon dan beskap? Apa dia dalang pewayangan?

Tatapannya tajam menembus jauh dalam jiwaku, buatku merinding dan waspada. Aku belum pernah melihat wajah sedingin itu.

Aku melemparkan pandangan ke arah lain, berusaha menghindari tatapannya, namun sikapnya semakin mencurigakan, dia seperti patung yang tak bergerak. Bahkan matanya melotot tak berkedip. Aku hanya sedetik mengalihkan pandangan ke sisi lain namun detik itu juga kakek itu menghilang. Apa aku melamun? Mataku terus mencari ke seluruh buritan, tapi dia tak ada di mana pun. Ah, aku pasti salah lihat.

Mungkin karena lelah, aku tertidur bersama Adis yang mulai tenang. Cukup lama sampai suara bisik-bisik penumpang lain membangunkanku, Ih dingin.

"Dis? Tunggu di sini dulu ya? Mamas mau ke kamar mandi."

"Ih ... Adis ojo di tinggal."

"Udah kebelet. Gimana?"

"Ikut ...."

Astaga wanita ini. "Kamu mau ikut masuk ke toilet laki-laki?"

"Tapi Adis wedi loh Mamas ...."

"Gak apa-apa itu loh toiletnya dekat, dari sini juga kelihatan. Ada ibu-ibu juga di sebelah sana gak usah takut," tunjukku.

Untung saja Adis menyerah, aku bergegas ke toilet. Namun saat kembali wanita itu menghilang. Aku mencari ke seluruh buritan. Gak ada! Aku pergi ke dalam anjungan kapal. Gak ada juga.

Ke mana Adis pergi? Aku terus mengusap belakang leherku mencarinya. Panik, persis seorang bapak yang kehilangan anak. Bedanya ini seorang suami yang kehilangan istrinya yang super ngeyel.

Aku kembali ke tempat semula. Masih belum ada. Mungkin dia sudah kembali ke bus? Aku bergegas turun ke dalam lambung kapal tempat parkir mobil bus jurusan Jogja - Bandar Jaya. Kosong. Sopirnya bahkan belum kembali.

Saat aku menaiki tangga menuju buritan, di depanku pria tua itu berdiri di tengah tangga seolah menungguku. Karena dia benar-benar aneh dan asing, Aku memutuskan untuk putar arah namun belum juga aku berbalik tiba-tiba tubuhku membeku seperti terhipnotis.

Kakek itu mendekat dan aku bisa melihat dengan jelas wajahnya yang pucat dan datar. Tatapanku terkunci.

"Le' ojo mbok terusno mengko koe bakal nyesel." (Nak jangan di teruskan nanti kamu pasti menyesal).

Suaranya berbisik seperti angin namun aku bisa mendengarnya dengan jelas. Entah kenapa kali ini aku mengerti arti kalimat itu.

Dengan tenang pria asing itu berjalan melewatiku yang membeku. Aku yakin sekali saat itu bau tubuhnya aneh. Seperti campuran kembang dan menyan, baunya sungguh mistis. Aku merinding tak karuan. Suara berdenting mengumumkan jika kapal akan bersandar 30 menit lagi seketika menyadarkanku.

Detik itu juga aku segera berbalik tapi lagi-lagi kakek itu menghilang. Aneh! Masa dia langsung lenyap seperti angin. Mana aku lupa untuk melihat kakinya, kata orang kalau hantu kakinya tak menyentuh tanah. Eh! Aku 'kan di atas kapal laut seharusnya menyentuh …. Halah peduli amat!

Aku bergegas kembali mencari Adis, rupanya dia sudah kembali dan duduk di tempat semula. Wanita itu terus menoleh ke kanan dan kiri mencari seseorang. Aku tak bisa lagi menahan diri segera menghampiri dan memeluknya. Untunglah!

"Adismi, kamu pergi ke mana sih?"

"Sopo seng lungo? Mamas iku seng lungo ndak balik-balik wes reti adis ki wedian."

"Ish ... di bila-"

"Siapa yang pergi? Mamas itu yang pergi gak balik-balik sudah tahu Adis penakut." Translate-nya seketika, wajah Adis sudah merah dan hampir menangis.

"Tapi Mamas tadi ke sini kamu gak ada?"

"Aku ndak ke mana-mana," ngeyelnya kumat.

"Iya-iya ... Mamas minta maaf, sudah mau sampai dermaga, kita balik saja ke mobil," ngalah ajalah.

Sambil mengaitkan jari jemari, kami kembali ke dalam bus yang terparkir di dalam lambung kapal.

Pertanyaan besar masih menggantung dalam batinku. Siapa kakek itu dan apa maksudnya? Lalu kenapa aku tak bisa melihat Adis, padahal dia tak pergi ke mana pun?

Sebuah bus besar berwarna biru dengan tulisan Po. Handoyo di sisi kanan dan kiri jurusan Jogja - Bandar Jaya mulai penuh belasan penumpang lain. Aku duduk bersebelahan dengan Adis yang langsung bersandar di jendela.

"Mamas, masih berapa jam lagi?"

"Masih lama, mungkin sore kita baru sampai."

"Walah ... masih jauh yo."

"Iya ... Tidurlah. Apa mau dengerin musik biar gak bosen?"

Adis mengangguk 'iya'. Tak lama sebuah pemutar kaset pita aku keluarkan dari dalam ransel dan memberikan salah satu earphone pada Adis sedangkan aku memakai ujung yang lain. Kabel terhubung ke sebuah walkman dan mulai berputar. Musik mengalun tapi belum juga Jon Bon Jovi bernyanyi sampai reff, Adis kembali protes. Gak ngerti katanya. Ish gemas betul.

Aku kembali mengalah dan mengeluarkan kaset pita lain dari dalam tas ranselku. Kini alunan Bon Jovi berganti Ratih Purwasih. Adis memejamkan matanya sambil bersenandung. Sedangkan kapal sudah benar-benar bersandar. Bus mulai bergerak. Aku tertidur meninggalkan Adis bernyanyi lirih ‘Yang hujan turun lagi.’

Terserah Adis saja!


 


 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya TEBU MANTEN - DUA
10
11
LORO ESTRI LAN LORO JALER
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan