DDDS bab 7-8

53
0
Deskripsi

Diam-diam Dia Suamiku bab 7. DANAU KAMPUS dan Bab 8. HOODIE HITAM

Bab 7. Danau Kampus

Aku ini tidak sedang merayakan ulang tahun. Namun, kenapa banyak sekali kejutan yang bikin jantungku mau lepas? Padahal, ini baru terhitung sehari, semenjak tamu kami datang.

Kunjungan orang tua ke Depok ini, sungguh mempercepat milestone kehidupan dewasaku ke agenda yang tak pernah disangka-sangka.

Tahu milestone, kan? Proyeksi tolak ukur waktu untuk sebuah perencanaan. Ada titik-titik besar dari segaris panjang perjalanan suatu alur. Baik kehidupan atau rencana jangka panjang, yang butuh step by step untuk menggapainya.

Aku telah mencanangkan ide, akan mengajak bicara empat mata Kak Arter pada hari Minggu. Ah, enam mata jika Alana jadi menemani. Akan kuberi waktu selama seminggu untuk Kak Arter memikirkan semuanya. Selama maksimal tiga minggu selanjutnya, jika dia setuju, aku akan meminta tolong Ilham—mantan ketua Rohis angkatanku— atau entah siapapun teman alim angkatannya, untuk membimbing lebih jauh lagi. Jadi, bulan depan, Bapak Jaelani sudah bisa berjumpa calon menantunya. Enak sekali, ya, aku bicara? Hemm ...

Lalu, sekarang?

"Mbak Ratih, gimana kalau minggu depan saja lamarannya? Saya lebih tenang kalau Nak Vein dan Iyo udah halal, Mbak. Apalagi mereka udah sama-sama dekat dan kenal. Menghindari godaan setan."

Detak jantungku berhenti sesaat. Buyar semuanya.

Godaan syaiton dari mana? Aduh ...!
Kenal dan dekat?
Interaksi kami bahkan masih dapat dihitung jari.

"Wah, saya sih setuju-setuju aja. InsyaAllah, Bapaknya anak-anak semoga juga setuju ya?" jawab Ibu dengan mata berbinar-binar. Tatapan beliau langsung menoleh padaku di bangku sebelah. "Gimana Mbak? Ini demi kebaikan kalian." Tangan lembut Ibu turut merayu melalui usapan di punggung.

Tatapanku beku, penuh siratan pada Dokter Heart. Aku tidak tahu dia menangkapnya seperti apa. Yang pasti, aku sedang meminta tolong. Dia juga sama tidak berkutiknya. Kurasa, kami sama-sama syok.

Aku menunduk.

Kuurut kening sekeras mungkin. Mencoba menata kembali kacau-balau milestone-ku di kepala. Hidangan makan malam lezat restoran bergengsi area Jaksel tidak menarik lagi untuk disantap.

Mendadak, aku teringat satu ganjalan ampuh namun beresiko tinggi. Tidak ada yang mampu kupikirkan lagi selain ini. Seharusnya, aku mempertimbangkan hati dan keputusan Dokter Heart. Semestinya, ini bukan urusanku dari awal. Tak sepatutnya, aku mengutarakan. Namun ...

"Maaf, Bu. Bukannya Mas Iyo udah punya seseorang?" Semua orang tercenung. Termasuk Cava yang sejak tadi cekikikan, asyik sendiri dengan handphonenya, kini mengangkat kepala untuk mendengarkanku. "Ngapunten, kalau ini kurang sopan. Tapi Vein takutnya ada yang keberatan sama perjodohan ini. Mungkin, Mas Iyo sedang berusaha dalam masa pendekatan atau gimana, saya nggak mau—"

"Siapa?" potong Dokter Heart seketika. Kulihat wajahnya yang sejak tadi santai, berubah tegang. Rahangnya mengeras. Auranya menyeramkan, meski terdengar lirih nan berat.

Aku menunduk. Aku takut menghadapi meja bundar ini. Kini, justru dirikulah yang jadi mengacaukan semuanya, setelah rencanaku sendiri acak-acakan.

"Umm ... Mbak Adisty ... itu ..." cicitku tertahan.

Soal Adisty, sumpah, ini adalah kerandomanku karena tak menemukan apa-apa yang bisa kuulik tentang Dokter Heart. Sejak menemukan perempuan itu dirawat, aku kehilangan jejak. Dia dimasukkan sebagai pasien Kencana.

Kencana adalah bangsal VIP dan VVIP dimana koas tidak boleh masuk. Apalagi mengintip rekam medisnya. Pasien di sana, ditangani langsung oleh konsulen spesialis. Jika mentok, asistensi residen hanya berhak dibantu oleh residen angkatan akhir yang sebentar lagi lulus.

Ucapanku hanya berbekal dari slentingan anak kost tentang Dokter Heart. Kabar abu-abu yang seharusnya tidak kunaikkan ke permukaan.

"Kamu masih hubungan sama Adisty?" tanya Bu Dina dalam suara lembut namun mematikan.

Kepalaku terangkat. Pertanyaan ibunya Dokter Heart tiba-tiba menggores hatiku. Jadi, kata-kataku tadi benar? Aku sakit hati. Bagaimana bisa, Dokter Heart sesantai itu mau menikahiku, sementara dia masih punya seseorang di hati.

"Adisty sakit. Iyo cuma bantu urus perawatannya. Ada yang salah?" jawab Dokter Heart dalam duduk tegapnya. Tatapan tajam itu bukan untuk Bu Dina. Melainkan, untukku. Dia melihatku bak musuh yang wajib dimusnahkan segera. "Lagipula, gimana bisa, orang sembarangan bicara kalau nggak tahu duduk masalahnya?"

Ampun, ampun, Duh Gusti!! Bolehkah aku turun ke kolong meja untuk sembunyi? Aku mau menangis, Ya Allah! Dokter Heart marah.

--------

Sejak malam itu, aku menghindari Dokter Heart sebisa mungkin. Harusnya, aku minta maaf. Mulutku seenaknya mencerocos tanpa izin dan menyakiti harga dirinya.

Aku tidak lagi berani melewati bangsal Obgyn, sekretariat Obgyn, ruang jaga residen Obgyn, OK dan VK IGD juga IBS. Suasana mencekam hadir, setiap tubuhku dekat-dekat ruangan itu. Takut jika Dokter Heart tiba-tiba muncul, lalu memuntahkan lahar amarahnya.

Cava pulang sore nanti menaiki kereta. Minggu pagi terakhir, dia ingin lari pagi di sekitaran danau kampus Universitas Negeri Indonesia tercinta. Katanya, siapa tahu, calon mahasiswi UGM ini kelak, akan bertemu calon jodoh mahasiswa UNI. Kumaklumi. Dia masih dalam usia labil mengamati tipe-tipe calon pendamping masa depan. Tidak sepertiku. Terlanjur jengah lantaran dari lulus SMA sampai koas pun, tidak ada yang melirik. Kecuali, setelah aku menemukan Kak Arteria. Jodoh 98%-ku.

Jadilah kami di sini. Di sebuah danau tak begitu luas, dengan jalan setapak sebagai rute lari, bangku-bangku taman, juga beberapa kumpulan orang hanya duduk menikmati pagi dan kicau burung pohon.

Aku berjalan santai. Membawa tiga botol minum di tangan. Sedangkan Cava dan Kak Arter telah lari lebih dulu. Berlomba berapa banyak putaran yang bisa mereka tempuh.

Aku merubah penampilan. FYI, obrolan ini sensitif sekali. Atas segala sisa kenekatan yang masih kukantongi, aku meneruskan misi itu. Awalnya, hanya meminta saran bagaimana seharusnya perempuan baik di mata seorang Arteria Zicco.

"Perempuan baik, ya, dilihat dari hatinya. Bukan soal penampilan. Tapi kalau agama Vein memerintahkan untuk menutup rambut menjulur hingga dadawell, it will be your great achievement and i'd love to hear that," jawabnya, saat aku menanyakan pendapat tentang perintah menurut aurat.

Bagaimana aku tidak tambah klepek-klepek, didukung penuh olehnya?

Menutup seluruh rambut panjangku mengenakan hadiah dari mantan calon ibu mertuaku. Maaf, tapi aku harus bilang, beliau adalah mantan calon mertuaku. Pasti Warty Heart seketika mencoret nama Vein dari daftar calon istri.

Aku sampai bisa memandang Cava dari kejauhan ini, sebagai calon belahan hati Dokter Heart di masa depan. Mungkin Cava lebih pantas. Menunggu sekitar lima tahun lagi, rasanya tidak akan bikin dokter serba rapi itu kelihatan tua. Lagipula, pasangan selisih sebelas tahun, kupikir sah-sah saja jika mereka menikah di usia matang kelak. "Ah, Cava. Poor you ..."

"Ayo lari. Biar sehat." Kak Arter merebut botol air yang tadi kubawakan. Berlari ke bangku besi di tepi jalan setapak untuk duduk, lalu meminumnya tanpa jeda.

Cava menyusul dan melakukan hal yang sama.

"Capek, Mbak," ungkapnya ngos-ngosan. "Kenapa sih nggak lari? Kegerahan ya, pakai jilbab?" ledeknya. Dasar adik durhaka. Bukannya mendukung. 

"Enak aja! Nggak lah!" Kupiting tangannya sebisaku demi membalas. 

Cava melenturkan tubuh untuk menghindar.

"Aduhhh. Lengket! Jangan peluk-peluk!" teriaknya.

Aku mengikuti Cava duduk di bangku, yang justru membuat Kak Arter tambah berlari lagi.

"Mbak lagi mikirin sesuatu nih, Va," ungkapku sembari menatap nyalang danau tanpa arus ini.

"Mikir apa?"

"Kamu kalo disuruh milih, mending Mas Iyo atau Kak Arteria?"

"Mas Iyo dong," jawab Cava spontan, sembari mengelap keringatnya.

"Menurutmu, Mas Iyo gimana sih, Va? Kamu suka ya?"

Cava mengangguk tanpa pikir panjang. "Suka lah!! Ganteng, wangi, rapi, tinggi, baik, masa depan terjamin, dokter pula."

"Kak Arteria itu juga enam bulan lagi jadi dokter."

"Tapi nggak dikasih warisan, kan, kayak ibunya Mas Iyo ngasih ke Mbak?"

"Warisan?" Aku mengernyit. Tidak tahu-menahu apapun.

"Iya. Kalo Mbak Vein nikah sama Mas Iyo, rumah sakitnya Dokter Respati yang di Temanggung itu, diwarisin ke Mbak. Gimana sih? Lupa?" 

Aku cengo. Tak bisa berkata-kata. Maksudnya? Batinku berontak ingin kabur ke ujung bumi. Terlalu banyak surprise mengerikan minggu ini. Tidak menyehatkan. Mau desis angin pepohonan rimbun di sekitar kami terasa menyejukkan, dadaku tetap mendidih.

Ini perjodohan pernikahan terkonyol sedunia, atau acara tukar tambah penjualan anak dengan warisan, sih?

"Kalau Mbak nggak mau, aku siap. Tapi kata Bapak, aku tetap kudu kuliah dulu, heiks .. heiks .." celetuk Cava dengan sedih yang dibuat-buat berlebihan.

Mau Cava bergaya menawari sebagai pengganti, aku takkan rela. Siapapun anak Bapak Jaelani takkan ada yang menjadi menantu keluarga Respati. No and never!

Pernikahan terjadi, didasari oleh cinta kasih. Perasaan tumbuh dari keikhlasan menerima pasangan. Bagaimana hidupku sampai tua bisa berjalan bahagia, jika kami disatukan di atas alasan permainan tukar-menukar harta—menantu seperti ini?

"Mas Iyo ... !!" teriak Cava, tepat di depan telingaku. Tangan bocah SMA ini melambai-lambai ke belakang. Aku berbalik. Mengikuti arah pandangannya. 

Dari jarak sepuluh meter, Dokter Heart berlari mengenakan setelan track pants putih, kaos hitam, sepatu lari dan tak lupa topi putih menutup kepala. Pria itu balas melambaikan tangan dengan senyum selebar bintang iklan pasta gigi.

Mau apa dia ada di sini?

------------

Taburi komen ya untuk bab ini ... Makasih teman-teman.


Bab 8. Hoodie Hitam

Aku kadang heran pada kebetulan. Ini dia sengaja yang mengikuti style-ku, atau kebetulan kami mengenakan pakaian senada? Aku juga memakai baju olahraga warna sama. Kerudungku saja yang coklat susu. Ternyata, warna-warna pilihan Bu Dina kemarin cantik semua.

Aku menoleh. Tidak mau kelamaan memaku kekaguman pada Dokter Heart.

"Mbak mau nyusul Kak Arter dulu. Kamu di sini ya, Va? Nih!" Kuserahkan dua botol kami di pangkuan Cava. "Giliran jagain minum Mbak."

Aku kabur menyusul Kak Arter sebelum Dokter Heart sampai. Kulirik dari sudut danau yang lain, mereka tertawa ringan bersama di bangku besi. Sampai terbahak-bahak. Entah apa yang Cava dan lelaki itu bicarakan, sampai keduanya tampak begitu bahagia.

Aku iri? Iya. Tentu saja. Kenapa Warty Heart bisa akrab bersama Cava, sedangkan denganku tidak bisa? Apa aku ini menjemukan?

"Nah, gitu dong. Lari. Biar lemak jahatnya rontok," tawa Kak Arter ketika kujajari.

Enak saja. Aku menyangkal. "Sembarangan! Gue nggak gendut, tauk! Mana ada lemaknya?" 

Olahraga meningkatkan endorfin. Pantas saja kalau rasa kesal, sebal mendapati Heart datang, sontak lenyap saat aku mulai mengeluarkan keringat dari gerak seluruh tubuh. Apalagi, ada ... hemm ...

"Lari bukan cuma buat orang diet aja, kan?"

Kuanggukkan kepala setuju.

Aku merasa Kak Arter mulai mengurangi kecepatannya, demi mengimbangiku.

Hari ini, dia tampan tanpa memakai kacamata. Hanya topi warna navy, celana olahraga panjang, juga kaos biru langit yang cukup basah oleh keringat di bagian punggung. Aku sedikit enggan berlari di belakangnya. Bukan karena takut bau keringat. Namun, aku tidak tahan melihat cetakan kotak itu. Astagfirullahal'adzim!! Mata!!

"Mau sarapan dimana, Vein?" tanyanya usai beberapa saat kami diam dalam lari.

"Pengin nasi uduk Mbok Parni. Tahu, kan? Tapi adik gue maunya buryam aja."

"Boleh deh. Ntar mampir buryam dulu, dibungkus, dimakan di Mbok Parninya. Kayaknya enak juga, nasi uduk."

"Kakak berapa puteran lagi?"

"Lima lagi ya? Lo nggak usah ngikutin kalo nggak kuat."

"Gue tiga aja deh. Empat kalo masih sanggup. Hehe .."

Bismillah! Aku akan bicara serius pada Kak Arter setelah sarapan. Biasanya, orang kenyang lebih mudah diajak berkompromi dibandingkan sedang lapar. Ini adalah alasan utama, mengapa aku kesal melihat Dokter Heart turut serta. Semoga dia juga tidak ikut-ikutan sarapan bersama kami. Lantas, mengacaukan.

---------------

Di putaran akhir, Cava dan Dokter Heart menyusul. Aku menengok, begitu kudengar berisik cekikikan yang amat kukenal, semakin mendekat. Kak Arter juga sempat memberi salam ringan pada Dokter Heart. "Olahraga juga Dok?"

"Iya. Udah dari tadi?"

"Lumayan, Dok. Udah kenalan sama Cava juga ya?"

"Bapak kami satu rumah sakit, Kak, by the way." Cava yang menjawab. Aku diam saja.

Kak Arter ber-oh ria. Aku tahu benar tentang kerutan di dahinya. Apalagi ketika dia mengangkat kedua alis, seperti bertanya padaku. "Gue ceritain nanti," balasku yang ditangkap oleh anggukan kepala.

Tiba-tiba, Cava menambah kecepatan, menyejajari Kak Arter di depanku. Seolah mendepakku dari rute agar mundur, lari di belakangnya. Adik nyebelin!

"Kak, ayo lomba lagi! Sebelum aku pulang Magelang," tawar Cava sumringah.

"Ayolah!"

Bagai mendapat rival sepadan, keduanya mempercepat lari.

Ish! Mau tidak mau, aku ketinggalan. Daripada otot perutku kram mengikuti turnamen, aku tetap pada kecepatan kakiku saja. Dokter Heart gantian mengambil tempat di sisiku.

"Udah berhasil? Jadi, Arteria ini yang mau kamu bawa ke Dokter Jaelani?" celotehnya random.

Aku tentu saja memasang wajah bengis. Mataku menatap tajam. Tidak terima dia sok tahu rencanaku. Kak Arter telah jauh di depan. Kupastikan juga, dia tidak dapat mendengar percakapan kami lagi.

"Iya. Do'ain berhasil ya, Dok?"

"Kamu mau nikah beda agama? Setahu saya, dia ..."

"Dia sedang belajar. Makanya, mohon doanya untuk kelancaran perjuangan kami."

Dokter Heart membuang muka.

"Oke lah. Good luck for you both. Tapi semoga, dia pindah keyakinan karena Allah, bukan gara-gara kalian saling suka ya?"

"Nggak lah. Saya nggak maksain kok!" bantahku.

"Iya. Saya juga nggak nge-judge kok! Kamu kan, yang bilang saya suruh doain tadi?"

Oke. Kuterima doanya. Aku juga butuh dibimbing oleh seorang suami yang menerapkan agama dalam rumah tangga kami kelak. Bukan sekadar belajar, pintar, tapi juga menerapkan. Menetapkan keyakinan karena hidayah dan kemantapan hati.

Aku mengerti, hidayah bisa datang dari pintu mana aja. Pun, dari awal karena pasangannya berbeda agama. Aku bertambah mantap mengenakan hijab juga karena dukungan Kak Arter. Siapa tahu, keyakinannya semakin kuat juga, dicetuskan karena perasaan kami. Namun, aku tidak mau menuntut seperti itu. Takut kalau-kalau masih ada sebersit ragu di hatinya. Aku tidak mau disalahkan di kemudian hari.

"Kamu nggak mau minta maaf ... Vein? Jujur, saya tersinggung sama celetukan kamu kemarin. Nggak nyangka aja mulut kamu—"

Sontak kututup mulutku sendiri. Andai bisa kumasukkan penjara, akan kutitipkan sementara bibir ini agar tidak bertindak kriminal.

"Iya, Dok." Aku meringis kuda. Sungkan. "Maafin ya, Dok? Saya kepepet. Bingung kemarin tuh."

"Kepepet juga harusnya nggak boleh seperti itu," cecarnya pelan, namun menusuk hati.

"Iya. Nggak akan diulang lagi. Maaf, maaf."

Aku sampai menangkupkan tangan sambil berlari. Menunduk-nunduk sebisaku demi mendapat maafnya. Saking keterlaluannya, aku jadi berlari mundur di depannya, badan membungkuk dan tangan bertahan menangkup di atas. Apa-apa yang berlebihan memang tidak baik. Membawa bencana.

"Aaahhhh!!!!" Sakit.

Innalilahi! Batu syaiton!! Aku tersandung. Pusing. Badanku berguling-guling di atas rumput. Meluncur terus tanpa bisa kurem. Tanganku meremas tanah juga tidak berhasil menghentikan putaran ini.
Naas!

Byuuurrr!!

"Vein!!!" teriak seseorang.

"Eneeeng!! Ada yang jatuh! Tolong-tolong!" Juga seorang ibu bertubuh tambun panik melihatku dari atas daratan.

Aku basah. Aku tenggelam. Kucipak-cipak air memohon pertolongan. Berusaha mengangkat tubuh sendiri. Mengingat metode renang yang lama tidak kupraktekkan. Mulutku menelan air berwarna coklat kehijauan ini. Hueeek!! Rasanya ... 

"Pfft! Pfft! Pfft!" Kulepeh lumut yang menyangkut di mulut.

"Kamu nggak tenggelam, Vein!! Hei, heii?! Vein?! Buka mata!!" Aku merasakan bahuku diguncang saat masih sibuk terbatuk-batuk. Kuanggukkan kepala agar dia berhenti menyadarkan. Tangannya menepuk punggung, membantu batukku.

Ternyata, aku bisa menginjakkan kaki tanpa tenggelam. Dokter Heart telah berdiri sama basahnya di sampingku.

"Eneng nggak papa kan, Neng?" tanya si ibu yang tadi berteriak. Aku mengangguk. Ada sekitar empat orang lain ikut bubar. Cava dan Kak Arter baru sampai. Mereka berdiri di bibir pembatas danau masih ngos-ngosan.

"Mbak Vein nggak papa?! Ya Allah, mikirin apa Mbak, gimana bisa jatuh begini?!" Cava ngomel seperti ibu-ibu.

"Udah nggak papa. Makasih semuanya. Biar saya yang bantuin," jawab Dokter Heart. Aku bungkam. Lidahku masih merasa-rasakan serabut lumut, menyangkut di gigi. Rasanya getir di kerongkongan. Pasti aku juga menelannya tadi. Entah berapa banyak. Pasti besok aku diare.

"Ayo naik!" ajak Dokter Heart mencapai pembatas. "Bisa naik sendiri? Nggak terlalu tinggi," tambahnya yang kini malah duduk santai di semen pembatas. Kakinya menggantung di air.

Mendadak, aku sadar satu hal.

Aku basah kuyup. Seluruh kain penutup ini justru menempel lekat di tubuh. Di sana ada seorang adik perempuan dan dua pria ganteng menawan sedang menungguku naik. "Aargh!! Tutup mata!!" pekikku, spontan menyilangkan tangan di depan dada.

Matik! Aku malu-maluin. Orang-orang yang lari melewati kami, semua berbisik sambil melihatku.

Aku berhenti dari langkah membebaskan diri. Seolah sadar, Kak Arter bangkit. "Gue ada hoodie sama handuk di mobil. Wait a moment!" teriaknya sambil berlari pergi.

"Kalian jangan ngeliatin kenapa sih?! Balik badan!" perintahku.

Dokter Heart berbalik. Cava tidak. Dari sini bisa kulihat otot-otot itu dari balik kaos basahnya. Dasar mataku jelalatan! Tidak berbeda. Ada serat-serat hijau menempel di banyak tempat kaos. Aku menunduk untuk menetralkan debaran canggung. Memandangi air tenang setinggi dada ini, sepertinya lebih aman. Setelah meminta maaf, rasanya aku juga harus berterima kasih pada penyelamatku.

"Ayolah! Kedinginan nanti, Mbak." Cava celingukan. "Kak Arter mana sih, lama banget!"

"Kalian duluan aja! Siniin kunci motornya!" Aku menengadahkan tangan pada Cava. Cava menggeleng. Secuek-cueknya adikku ini, dia tetaplah sayang pada kakaknya.

"Arteria parkir mana sih? Jauh ya?" Dokter Heart berdiri dari duduknya. Dia ikut celingukan mencari Kak Arter.

"Iya. Jauh. Niatnya emang kita pemanasan lari dari parkiran tadi. Mbak, kamu naik dulu deh! Nanti masuk angin, aku dimarahin Ibu lagi," bujuk Cava lagi.

"Enggak! Diem-diem aja! Jangan cerita!"

"Mbak Vein nggak takut kalo ada ular air atau binatang melata di dalem? Udah mau 10 menit ini." Cava menunjuk ke sisi air di kananku. "Tuh, tuh! Opo sih iku? Goyang-goyang, Mbak! Coklat, coklat panjang, Mbaaak!! Naiiiikkk!!!" pekiknya lompat-lompat.

Gila! Cava membuatku gila!

"Aaarrgggghhh!!" Aku menjerit. Masa bodoh. Aku tidak mau mati digigit ular.

Aku berlari ke pembatas. Kurang dari lima detik telah ada di atas tanah kembali. Dokter Heart berbalik sekejap, lalu kembali memunggungiku. Cava dan Dokter Heart saling tatap, lalu lepaslah bahakan itu. Mereka tertawa terpingkal-pingkal memegangi perut. SIALAN!! Tidak ada rasa kemanusiaan sama sekali. Aku marah.

Baru akan kabur gara-gara ngambek, Kak Arter muncul sambil terengah-engah. Oh, my hero!!

"Sini, Vein! Sini! Astagaaa!! Lo udah gemeteran!"

Dia memelukkan handuk ke badanku. Aku segera meraihnya dan berlari ke belakang pohon. Membersihkan lumut-lumut menggelikan ini dari muka, lalu memakai hoodie hitam yang Kak Arter bawakan.

"Thanks hoodie-nya, Kak. Penolong banget. Nggak kayak dua manusia ini!" marahku, masih kesal. Bahkan tawa itu masih mereka tahan.

"Lo atau Cava ada yang bisa nyetir? Biar pulang naik mobil gue aja," tawar Kak Arter membersihkan sehelai panjang lumut dari punggung tanganku.

Jelas, aku menolak. "Nggak usah, Kak. Nanti basah. Airnya kotor pula."

"Kotor masih bisa dibersihin. Daripada lo sakit kena angin? Lumayan juga jaraknya sampai kost, kan?"

Aduh, lelaki mana lagi yang bisa menandingi kebaikan hati kakak kelas idamanku ini? Katakan! Katakan padaku!

"Sakit juga masih bisa diobatin," potong si Arsenio Heart, yang konon sangat menyayangi pasien-pasien hamilnya. Kukira setelah beberapa lama kami berdamai, usai menemukan kilatan khawatir di wajah pucatnya tadi, mulut pedas cabe itu tidak akan kumat. Ternyata ...

Memang nggak punya hati orang satu ini pada perempuan selevel koas. Apa faedahnya coba, dia tetap di sini, namun tidak melakukan apa-apa lagi.

"Udah. Nggak usah debat lagi, Vein. Gigi lo gemeretakan gitu. Ayo Cava!" Kak Arter segera menggiring kami menjauh dari bibir danau. Dia menunduk, memberi hormat pada residen Obgyn terhormat kami. "Mari Dok, kami duluan. Makasih udah dijagain Vein-nya barusan."

Oh, hatiku menghangat di dalam hoodie wanginya. Juga lantaran kebaikan hatinya.

Aku turut menunduk. Walaupun dia sempat menertawaiku tadi, aku tetap harus berterimakasih pada Dokter Heart. Tidak mau suatu hari dia menagih terimakasih, seperti hari ini menagih maaf dariku.

"Makasih, Dok. Tadi udah nolongin saya."

Aku tak melihat dia menerima ucapan terimakasihku. Aku masih menunggu dia bilang, "Iya. Sama-sama." Namun, tidak. Pandangan mata bulatnya justru amat dingin. Rahangnya menegas. Kedua tangannya sempat mengepal sebelum masuk ke saku celana.

Aku masih menunggu lagi. Sampai akhirnya menyerah. Tepat saat wajahnya berpaling ... menjauhi tatapan terimakasihku.
 

--------

Nah kan? 

Udah senut-senut belum hatinya? Uhuyy.

Siapin koin ya? Next parts mulai koin-an. 🤭

InsyaAllah nggak banyak. Aku nggak mau panjang-panjang. Konfliknya juga nggak aku bikin berat untuk mereka. Mak otor sedang ingin healing juga. 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya DDDS bab 9. OP APPENDICITIS
55
4
Bokap lo alergi sama rumah sakit kita ya, Sis? Kenapa ngambil Harapan Keluarga begini sih?Sebenarnya bukan Bapak, tapi Dokter Heart yang menyarankanku untuk dirawat ke rumah sakit selain Samanhudi.Kamu mau orang se-Samanhudi tahu, apalagi Arteria kesayanganmu itu, kalau kita ada hubungan? Saya nggak mungkin, nggak ngurusin semua administrasi kamu, sedangkan Dokter Jaelani udah nitipin ke saya, ngototnya di …
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan