
[Baca duluan]
“Siapa bilang gue ke sini karena belum move on? Justru gue mau undang lo ke acara pernikahan gue. Gue mau berbagi kebahagiaan nih, sama mantan terindah,” ucap Erich sambil tersenyum menyebalkan, serta tangan yang menyerahkan sebuah amplop besar berwarna merah dan emas.
PART 4
“Kak Amel, ada yang nyari, tuh.”
Annchi, rekan kerjanya, yang baru saja dari luar menghampiri Caramel sebelum duduk di meja kerjanya. Sebelum ke dalam ruangan, resepsionis yang tahu Annchi mengenal Caramel memintanya menyampaikan hal itu padanya.
Memei yang datang bersama Annchi ikut menimbrung. “Iya, Mbak. Cowok. Ganteng banget. Pacarnya, ya?” tanyanya dengan mata berbinar. “Mbak Amel punya kenalan lagi nggak? Kenalin aku dong, sama cowok kekar kayak gitu,” ucapnya terkekeh.
Annchi menyambar, “Apanya yang keren kayak gitu? Kayak tukang pukul.” Dia bergidik.
“Ngomong kayak gitu kayak pacar lo badannya nggak gede aja,” balas Memei mencibir.
Annchi terkikik, “Pacar gue mah, ganteng.”
Memei memilih menyerah karena Annchi tidak salah, “Lo sih, nggak mau kenalin gue sama temen lo. Waktu itu gue minta kenalin sama yang kayak cowok lo, kata lo nggak ada.”
“Mereka semua udah ada cewek,” balas Annchi, “Mm... ada sih, yang masih jomblo.”
Memei langsung bersemangat, “Iya??”
“Tapi, nggak tau dia di mana.”
“Maksudnya?”
“Kerjaannya keluar negeri terus.” Annchi mengangkat bahunya, “Gue aja nggak tau sekarang dia di mana.”
“Nggak. Nggak. Nggak bakal tahan gue sama yang begitu.” Memei mengibaskan tangannya, langsung menolak, “Sama aja kayak gue nggak punya pacar.”
Annchi tertawa, lalu beralih lagi kepada Caramel, “Cepet samperin, Kak. Udah nungguin, tuh.”
Caramel menelengkan kepala. Sambil beranjak, otaknya berpikir keras. Siapa, ya, yang datang menemuinya? Nggak banyak yang tahu di mana kantornya.
Danesh? Cowok itu lagi kerja juga, jadi ada perlu apa? Kalau memang ada perlu, dia pasti menghubungi dulu.
Kalau boleh berharap sih, Mas Ganteng yang datang. Tapi, itu jelas lebih nggak mungkin lagi.
Tadi, Memei bilang cowok kekar, ya. Kalau itu sih, tidak lain dan tidak bukan yang Caramel tahu cuma...
“Hai, Mantan.”
Yap, mantannya. Si buaya buntung. Erich. Berdiri dengan satu tangan masuk ke kantung celana, seraya melemparkan senyum miring ke arah Caramel. Cih, sok ganteng!
“Mau apa lagi lo?” ucap Caramel jengah. “Pasti lo mau bilang kalau lo masih belum lupain gue, kan? Sadar, woi, lo udah mau nikah. Gue juga udah move on tuh, dari lo. Sorry, yee,” cibirnya.
Herannya, Erich malah tertawa. “Amel, Amel. Tingkat kepedean lo emang nggak ada yang bisa nandingin.” Erich tak bisa menahan tawa geli, “Siapa bilang gue ke sini karena belum move on? Justru gue mau undang lo ke acara pernikahan gue. Gue mau berbagi kebahagiaan nih, sama mantan terindah,” ucapnya sambil tersenyum menyebalkan, serta tangan yang menyerahkan sebuah amplop besar berwarna merah dan emas.
Caramel tercekat. Muka masamnya semakin terlihat sesaat melirik benda yang diulurkan Erich itu, “Nggak puas lo udah lihat gue, mantan tunangan, di acara pertunangan lo?” Dia membiarkan tangan Erich melayang di udara, “Nggak malu lo, cewek yang dijodohin sama lo itu sepupu mantan lo sendiri? Apa bener dijodohin? Bukannya kalian selingkuh?” Dan lebih memilih mendamprat Erich, sinis, meski suaranya bergetar.
“Oh, ya, sekalian gue mau buat perhitungan. Sebenarnya udah berapa lama lo sama Meva selingkuh di belakang gue?” cecar Caramel.
Tangan yang terulur Erich tarik kembali. Ia membuang muka sambil tersenyum miring, “Gue nggak selingkuh,” balasnya, sangat tenang. Tidak seperti orang yang sedang membela diri.
Caramel berdecih, “Klise banget jawabannya. Basi.”
“Lo yang bikin gue memilih Meva. Kalau aja lo bisa bikin Ibu gue luluh, gue pasti akan memilih lo. Meva bisa lakuin itu, jadi kenapa nggak.”
Caramel terperangah. Semudah itu Erich melepasnya? Nada bicaranya bahkan sangat enteng, “Kurang ajar ya lo! Gue beruntung nggak dipilih sama lo. Atau gue akan terjebak seumur hidup di antara lo dan keluarga lo yang sakit itu.”
Erich hanya tertawa hampa. Tidak merasa tersinggung sama sekali. “Pokoknya lo harus datang.” Dia mengambil tangan Caramel dan menaruh amplop undangan itu secara paksa, “Gue aja bisa buktiin kalau gue udah move on dari lo. Lo juga harus, dong. Datang ke nikahan gue, dan buktiin ke gue kalau lo udah move on dari gue dengan bawa pasangan.”
“Gue nggak perlu lakuin itu. Gue nggak butuh pengakuan dari lo.” Caramel kan sudah bertekad ingin menjauhi Erich. Terutama Meva dan Tante Silvi.
“Oh, ya, terserah.” Erich mengedik, “Kalau lo nggak datang, gue anggap lo cinta mati sama gue sampai susah move on dan susah dapat pengganti gue.” Belum apa-apa dia sudah tertawa pongah, “Caramel, Sayang. Menyedihkan banget sih lo.”
Emosi Caramel jadi tersulut, “Siapa bilang gue nggak bisa move on dari lo?! Gue bisa!”
Sembarangan sekali dia. Mana mungkin Caramel masih cinta mati sama laki-laki yang sudah mengkhianatinya dan membuangnya dengan semena-mena. Caramel tidak akan diinjak untuk yang kedua kalinya.
“Ya udah, buktiin aja. Lagian tinggal datang aja apa susahnya, sih. Nggak punya pasangan, ya? Bingung ya, mau ajak siapa buat jadi pasangan lo?” ledek Erich dengan tawa yang begitu menyebalkan di telinga Caramel, “Oh, iya, Jangan bawa Danesh. Dia nggak termasuk pasangan, ya. Gue udah tau dia siapa. Kalau lo ajak dia, gue anggap lo beneran nggak bisa dapetin pengganti gue dan nggak laku! Haha. Menyedihkan.”
Geram, Caramel menatapnya sengit. Dadanya kembang kempis dengan napas yang memburu.
“Oke, Caramel manis. Gue tunggu kedatangan lo di hari bahagia gue.”
Erich pun berbalik pergi sambil bersiul-siul.
Tingkah tengilnya semakin membuat Caramel geram.
Kurang ajar! Sialan! Mati sana!
***
Seberapa kali dia mencoba tak mengacuhkan permintaan Erich, tetap saja Caramel kepikiran. Dia nggak mau datang. Nggak sudi!
Tapi, Erich mengancam kalau dia tidak datang artinya dia belum move on dari pria itu? Caramel nggak bisa dapat pasangan yang lebih baik dari Erich?
Dan Erich bilang apa? Caramel tidak laku? Enak saja!
Caramel tidak akan membiarkan Erich terus menertawakan dan mencemoohnya.
Tapi, bagaimana caranya? Kenyataannya dia memang belum punya pasangan baru.
Udah gitu, Erich mewanti-wanti tidak boleh mengajak Danesh. Itu karena Erich tahu Danesh hanya sahabatnya. Jelas Danesh bukan pasangan Caramel. Dan kalau dia mengajak sahabatnya itu akan semakin membuktikan kalau Caramel nggak laku, nggak bisa cari pengganti Erich yang lebih baik.
ARGH!
Menyesal dia pacaran sama Erich. Sampai sembilan tahun pula dia terjerat sama pria sombong itu. Caramel bodoh.
Pening dengan masalahnya yang tidak juga ada jalan keluar, Caramel kembali lagi ke kebiasaannya. Menenggak alkohol. Dia butuh sesuatu yang dapat membuatnya merasa ringan. Setidaknya walau sementara.
Dan bar menjadi pilihannya singgah sepulang kerja.
Caramel merasa tidak dicintai oleh siapapun. Orang yang dia anggap tulus mencintainya ternyata busuk. Tidak lebih baik dari sampah.
Sayangnya, meski dia sudah berkali-kali mengutuk Erich, setiap mengingat pria itu pasti dia akan meneteskan air mata. Seperti yang terjadi sekarang.
Caramel bukan menangisi kepergian Erich. Dia hanya kesal dan tidak percaya. Erich sangat tahu masalah hidupnya. Sembilan tahun bukan waktu yang sebentar untuk berbagi kisah karena kepercayaan yang mereka genggam. Tapi, kenapa Erich masih tega menyakitinya setelah segala problema Caramel yang dia tahu benar?
“Hi, are you alone?”
Caramel mengangkat kepala saat seseorang mengajaknya bicara. Pria itu tersenyum padanya.
Sudah biasa seperti ini, dihampiri orang asing saat dia menyendiri di bar. Caraamel hanya perlu mengabaikannya.
“Sepertinya kamu lagi banyak masalah. Yah, kehidupan memang tidak bisa kita kendalikan.”
Caramel tak begitu peduli saat pria itu terus menyerocos.
“Menyebalkan sekali, kan. Rasanya ingin menghilang. Tapi, juga terlalu takut untuk mengakhiri hidup.”
Sampai napasnya tercekat saat ucapan pria itu begitu menusuk karena terlalu sama dengan yang dia rasakan.
Napas Caramel terembus jengah, “Nyebelin,” gumamnya.
“Am I right?” tanya pria itu yang mungkin mendengar gumaman Caramel, “Yang bisa kita lakuin cuma having fun.”
“Yeah. That’s why I’m here,” balas Caramel sebelum menenggak minuman sekali.
“Kalau kamu mau, aku bisa ajak kamu ke sesuatu yang jauh lebih fun.”
Caramel menoleh dan memandangi pria itu dengan mata sayunya. Dia tahu seharusnya dia kabur. Atau menampar pria itu dengan tangan lemahnya. Tapi, pikirannya sudah tidak pada tempatnya. Dan mau-mau saja saat pria itu menariknya entah ke mana.
Caramel hanya mengikutinya, tahu-tahu mereka sudah berada di lorong yang sepi dengan lampu remang. Dengan pria itu yang memojokkannya di dinding.
Dengan tenaga seadanya, dia dorong pria itu agar menjauh. Meski itu sama sekali tidak mempan.
Alkohol sialan! Tenaga Caramel jadi lemah.
Yah, ini memang salahnya sendiri. Datang ke bar sendirian, mabuk pula.
“Pergi atau gue teriak!”
“Tadi kan kamu udah setuju.”
Caramel menghindar sebisanya. Namun, sial, pria itu menggenggam pergelangan tangannya begitu erat. Karena tubuhnya yang lemah, Caramel jadi tidak bisa apa-apa.
Ya sudah. Mungkin memang ini kesialannya yang lain. Hidupnya sudah tidak berharga.
“HOI!”
Sebuah suara menggelegar memenuhi lorong, yang mampu membuat pria yang mengukungnya berhenti.
Caramel tidak lagi tahu apa yang terjadi ketika kesadarannya semakin hilang perlahan-lahan.
Hanya satu kalimat yang dia dengar sebelum kesadarannya benar-benar menghilang.
“Singkirin tangan lo dari cewek gue!”
***
Tadinya Adelio mau diam-diam saja selama di Jakarta, karena kemungkinan besar dia akan melakukan perjalanan lagi. Dia kan di Jakarta hanya untuk alasan menghadiri pernikahan Erich, kemudian dia akan kembali berkelana lagi. Makanya, dia tidak merasa perlu memberitahu kepulangannya pada Suheri.
Tapi, dia ceroboh. Dia yang aktif di media sosial, tempo hari sempat membagikan tautan cerita di instargramnya saat dia sedang keluar dari ruangan pesta karena jenuh. Meski yang dia bagikan hanya sebuah foto pemandangan langit kota, cukup membuat Setta menghubunginya.
Aneh, kenapa Setta bisa tahu dia ada di mana hanya dari sebuah foto pemandangan gedung-gedung bertingkat?
Dia pun harus menunjukkan diri. Yah, lagi pula lama dia tidak bertemu sahabat-sahabatnya itu. Rindu juga pada tingkah random mereka.
Tapi, sepertinya Adelio harus menyesali kehadirannya.
Dia sempat senang begitu melihat Annchi lagi, bertemu sapa lagi dengan gadis itu setelah sekian lama membuat mood-nya meningkat. Wajah dinginnya ngangenin juga. Bahkan, Adelio merasa kadar dopamin yang dia terima dari senyuman Annchi lebih banyak daripada yang dia rasakan saat berjalan-jalan keliling Eropa.
Rupanya, dia masih belum benar-benar bisa melupakan gadis itu.
“Lio!”
Apalagi ketika Annchi sama senangnya saat melihatnya. Mereka mengobrol banyak, meski terus diawasi Mada.
Haha. Pria itu masih sama kekanakannya.
Adelio senang bisa membuat Mada cemburu begitu. Keberadaannya di sekitar Annchi masih mengguncang pria itu rupanya.
Padahal, perasaan ini tidak boleh lagi dia rasakan, kan. Annchi sudah menjadi milik orang lain.
Mirisnya, Annchi benar-benar akan menjadi milik Mada sepenuhnya.
Adelio dipaksa menyerah dan lebih serius lagi membuang jauh-jauh perasaannya saat dua orang itu mengumumkan sesuatu yang mengejutkan.
“Guys, gue sama Annchi mau nikah!” beritahu Mada dengan penuh sukacita.
Jangan dikira hanya cukup di situ berita mengejutkannya.
“Daan... gue sama Annchi mau jadi orang tua!”
Semua orang terkejut, terutama dirinya. Setelah terkesiap, Suheri masing-masing mengumpat, sebelum pada akhirnya memberi mereka selamat.
Berbeda dengan dirinya yang hanya bisa mematung.
Tidak cukup mereka akan menikah, bahkan Annchi sedang mengandung buah cintanya dengan Mada. Kenyataan telak yang membuat Adelio hancur dan lantas memilih membelokkan mobilnya ke bar, bukannya ke rumah.
Adelio cukup tahu rumah yang sepi malah akan semakin membuatnya terkubur dalam kubang nelangsa. Mengasihani dirinya yang menyedihkan. Dan ujung-ujungnya akan menyesali lagi tindakannya yang menyia-nyiakan Annchi saat dia punya banyak kesempatan dulu.
Lebih baik dia ke tempat yang ramai. Melarikan diri pada alkohol seperti yang dia lakukan saat di luar negeri.
Menggelikan sekali. Saat kembali ke kota ini, seharusnya dia lebih baik. Membuang kebiasaannya di luar yang memang melegalkan minuman seperti ini, bukannya malah kembali lagi ke minuman haram ini.
Memang seharusnya dia tidak ke kota ini lagi yang hanya akan memunculkan luka.
Hah. Pada akhirnya mereka saling cinta dan tidak bisa terpisahkan meskipun sudah terpisah jarak ribuan kilometer. Annchi sudah berpindah hati dan terlanjur mencintai Mada. Sampai sudi mengandung darah dagingnya meski mereka belum terikat ikatan pernikahan.
Kenapa Mada terburu-buru, sih? Secinta itu ya dia sama Annchi?
Dia tidak memaksa Annchi, kan?
Tidak terlihat seperti itu juga, sih. Karena saat Mada mengumumkan tadi, Annchi terlihat bahagia juga.
Adelio salah. Kecemburuan Mada padanya bukan karena sikap kekanakan pria itu. Melainkan karena rasa cintanya yang menggebu.
Sementara, di sini Adelio hanya bisa meratapi nasib dan menyesali lima tahunnya yang terbuang sia-sia karena tidak juga menyatakan cintanya pada Annchi.
Mungkin memang perasaannya pada Annchi tidak bisa dibandingkan dengan perasaan Mada pada gadis itu. Mada jelas lebih mencintainya sampai rela melakukan apapun demi agar Annchi menjadi miliknya.
Bukan seperti dia yang hanya bisa diam seperti orang pengecut.
Minuman yang sudah dia pesan yang masih tersisa setengah, dia tinggalkan begitu saja. Dia pikir dia akan nyaman di sini. Namun, kencangnya suara musik yang memekakkan telinga malah semakin membuatnya kepalanya nyeri.
Tapi, dia masih belum ingin pulang. Kesepian membuatnya takut. Dia masih butuh suara di sekitarnya.
Untuk itu, Adelio hanya pergi ke selasar bar yang tidak terlalu bising.
Batang rokok yang ingin dia isap dia urungkan saat mendengar teriakan di lorong yang dia lintasi. Di depan sana ada pria dan wanita yang berdekatan. Sebenarnya tidak aneh mengingat ini tempat apa. Tapi, kenapa si wanita terlihat tidak terima dan terus memberontak?
Adelio bukan orang yang suka ikut campur. Dia lebih suka menghindari konflik. Pertikaiannya bersama sang ayah saja dia lebih memilih pergi.
Bisa saja dia tidak peduli dan berbalik mencari tempat lain. Tapi, sikap kurang ajar si pria dan si wanita yang terus melawan membuat Adelio ingin ikut campur.
Dia mendekat. Untuk sesaat dia tercenung saat menyadari wanita itu adalah wanita yang memeluknya dengan lancang di acara Erich.
“HOI!”
Syukurlah suaranya mampu menghentikan aksi pria itu.
“Singkirin tangan lo dari cewek gue!” kecamnya.
“She is your girl?” Pria itu malah bertanya, “Apa buktinya?” Dia tersenyum sinis seakan tak percaya.
Yah, Adelio sendiri juga tidak tahu kenapa dia malah mengaku sebagai pacar wanita ini.
“Gue nggak harus membeberkan kehidupan pribadi gue dengan orang asing, kan?” tanya Adelio balik.
Menyadari suara Adelio yang begitu dingin, pria yang mengganggu wanita itu pun langsung pergi.
Adelio sendiri kembali terfokus pada wanita yang kini terduduk lemah di atas lantai. Matanya terpejam. Bau alkohol tercium kuat dari tubuhnya begitu Adelio mendekat.
Kenapa dia harus mabuk begini? Kalau begini kan, Adelio jadi bingung harus diapakan. Tidak mungkin dia meninggalkannya di tempat seperti ini. Bisa-bisa dihampiri pria hidung belang lainnya.
Dengan terpaksa, Adelio mengantarnya sendiri. Untunglah dia tahu rumah kontrakan wanita ini saat ia mengambil jasnya, dan masih mengingatnya.
Beruntung tubuhnya yang ringan tidak sampai menyulitkan Adelio memindahkan wanita itu ke punggungnya.
“Kenapa kamu selalu merepotkan, sih?” gerutunya, “Dan kenapa kamu jadi menyedihkan begini?”
***
“Erich berengsek!”
Di sepanjang jalan, dalam gendongan punggung Adelio, Caramel terus meracau berteriak hal yang sama. Hingga membuat Adelio berjengit.
“Lo pikir, gue belum move on? Lo pikir, gue nggak bisa move on?” oceh Caramel, “Lo pikir, gue nggak bisa cari pengganti lo? Lo pikir, nggak ada cowok yang lebih baik dari lo? Lo pikir.... Argh, berengsek! Hiks.” Suaranya melemah dan bergetar.
Adelio hanya mendengarkan dengan tenang tanpa bertanya apapun. Isak tangis Caramel di bahunya membuatnya bungkam. Di keheningan malam, dalam perjalanan menuju mobilnya yang terparkir, hanya isak tangis Caramel yang dia dengar. Begitu dekat di telinganya.
“Nggak cuma lo doang yang patah hati,” gumam Adelio mulai bersuara. “Cinta itu nyebelin, ya. Tapi, gue juga sih, yang bodoh.” Dia tertawa miris. Entah bagaimana Adelio malah ikut curhat soal Annchi. Mungkin merasa bahwa bukan hanya dia yang tengah patah hati di sini. Lagi pula, wanita ini kan sedang mabuk. Besok dia pasti nggak akan ingat sama curhatannya.
“Sekarang, gue cuma bisa nyesel saat gue udah nggak ada kesempatan lagi mencintai wanita yang gue cinta untuk waktu yang lama.” Adelio menerawang, “Gue dipaksa harus mengubur perasaan gue saat tau dia akan jadi milik orang lain sepenuhnya. Dia bahagia banget, sial. Harusnya gue juga ikut bahagia, kan? Katanya, melihat orang yang kita cinta bahagia adalah tahta tertinggi dalam mencintai. Meski bukan kita yang menjadi alasannya bahagia.” Decihnya terdengar, “Tapi, sayangnya gue bukan orang yang punya hati sebesar itu. Begitu seseorang menetap di hati gue, dia akan menetap untuk waktu yang lama.”
“Gue nggak bisa munafik. Gue sakit. Tapi, gue sadar, marah gue nggak ngaruh. Karena gue juga yang salah. Gue pengecut.”
Saat Caramel akhirnya tertidur di dalam mobilnya, Adelio tidak lantas melajukan mobilnya. Dia justru menyandarkan kepala di roda kemudi, dengan mata yang terus memandangi wanita itu dalam diam. Matanya mengerjap pelan saat Caramel bergerak kecil.
Perlahan, tangan Adelio terulur menyeka poni rambut Caramel yang menjuntai, sebelum suara lirihnya mendayu di antara sepi.
“Kamu masih menyedihkan, seperti dulu.”
BONUS SCENE – POV ADELIO
Satu minggu yang lalu
Akhirnya, Adelio bisa masuk ke dalam mobilnya yang lama sekali diambil petugas valet sampai dia kesal. Napasnya terembus hingga suaranya memenuhi bagian dalam mobil. Lega karena akhirnya terlepas dari peristiwa panjang yang dia lalui seharian ini.
Roda kemudinya dia putar, mengarahkan sang kuda besi ke jalanan berbaur dengan pengendara lainnya. Tak lama karena mobilnya harus kembali terhenti akibat kemacetan. Hal yang sudah lama tidak dia rasakan.
Tidak bisa apa-apa, dan selama itu pikirannya malah melayang ke kejadian beberapa menit lalu. Tak dia duga dia akan bertemu seorang wanita aneh yang tiba-tiba saja memeluknya tanpa permisi, membuat Adelio berjengit. Menangis pula dia di pelukannya.
Adelio sempat berpikir dia ODGJ, tapi penampilannya tidak mencerminkan hal itu.
Adelio ingin menghempaskannya karena sudah cemas akan tatapan security yang berjaga yang pasti mengira dia macam-macam pada wanita itu, tapi wanita itu memeluknya begitu kuat. Dia menangis sampai air matanya mengotori jas yang Adelio pakai.
Lalu, jasnya dibawa bersamanya saat wanita itu tersadar bahwa dia sudah salah orang.
Adelio tertawa kecil mengingat wajah panik wanita itu. Menggelikan.
Tapi, siapa ya wanita tadi? Dia seperti pernah melihatnya.
Bukan karena wanita itu adalah wanita yang dia tabrak saat di dalam ruangan pesta. Tapi, memang wajahnya tidak asing.
Dia lalu teringat wanita itu sempat menyebut nama Erich dalam tangisnya. Adelio mendengarnya dengan cukup jelas walau dia menyebutkannya dengan suara bergetar karena tangis.
Erich yang dia maksud apakah sama dengan Erich yang dia kenal?
Adelio menekan pedal gas saat kendaraan di depannya bergerak maju, sebelum beralih menekan rem dengan cepat.
Tunggu. Dia ingat siapa wanita itu.
Dia adalah pacar Erich yang dulu pernah dia temui di rumah. Erich pernah mengajaknya ke rumah mereka bertemu Ayah dan Ibu. Ciri-ciri yang dia ingat; kulit seputih susu, mata sayu, serta rambut panjang hitam legam yang masih sama seperti dulu.
Tidak salah lagi. Itu benar dia.
Caramel.
Nama yang cukup unik untuk dia ingat.
Dia menangis meraung-raung begitu karena Erich akan menikah dengan wanita lain?
Erich mengundang mantan kekasihnya ke acara pertunangannya? Gila!
Belum cukup Adelio merasa aneh karena yang dinikahi Erich adalah wanita yang berbeda dari yang dia tahu, laki-laki itu malah mengundang mantan ke acara pertunangan? Luar biasa ya, Erich.
Memang kakaknya itu senang sekali bertingkah. Ke depannya pasti akan ada hal lainnya.
Dan Adelio berharap semoga dia tidak terlibat pada urusan apapun yang menyangkut Erich.
***
Dua hari yang lalu
Adelio berlari kecil menelusuri sepanjang area jogging track. Menikmati taman di kompleks perumahannya yang sudah lama tidak dia singgahi. Dulu dia senang sekali jogging di sini. Tidak banyak yang berubah. Masih tetap sama meski sudah satu tahun dia tidak kemari.
Adelio sekaligus mengajak kucingnya berjalan-jalan. Sebelah tangannya memegang tali yang terhubung pada leher si kucing. Noe, kucing yang sudah dia miliki satu tahun belakangan, dan terpaksa harus dia titipkan ketika dia bepergian ke luar negeri.
Tiga puluh menit dia berlari, Adelio sudah merasa lelah. Sebuah bangku taman menjadi tempatnya beristirahat. Sebelum menenggak air mineral yang dia bawa, Adelio lebih dulu mengikatkan tali yang melilit leher Noe pada besi pegangan kursi.
Adelio mengesah. Matanya dia pejamkan. Untuk sesaat, dia menikmati embusan angin pagi, sambil berpikir kota mana lagi yang akan dia datangi untuk perjalanan selanjutnya, dan rencana yang akan ia lakukan setelah rangkaian acara pernikahan Erich yang membosankan itu selesai.
Daripada mengunjungi kota-kota besar yang sudah familiar, Adelio lebih suka mengunjungi kota yang jarang diketahui orang. Untuk itu, biasanya sebelum melakukan trip, dia cari dulu banyak informasi tentang kota tersebut di kolom pencarian internet.
Tanpa dia sadari, selagi dia berpikir, ikatan tali Noe merenggang. Noe yang dasarnya bukan kucing pendiam dan suka bergerak ke sana ke mari pun berlari menjauh.
Adelio ingin mengambil ponselnya, dan saat itu baru dia sadari Noe sudah tidak ada di tempat.
Panik, sontak dia beranjak dari duduknya. Pandangannya mengelilingi sekitar. Tidak menemukan Noe di sekitar tempat mereka beristirahat, Adelio lantas memutuskan berkeliling taman untuk mencarinya. Semoga dia belum jauh.
Apa mungkin karena dia meninggalkan Noe untuk waktu yang lama, ya, makanya Noe jadi ngambek begini?
Beberapa menit mencari, Adelio pun menemukan Noe di sebuah bangku taman, sekitar 200 meter dari tempat yang mereka singgahi tadi. Beruntung ada seseorang yang menjaganya. Adelio jadi bernapas lega.
Tapi, orang itu sepertinya ingin mencium Noe. Oh, tidak! Dia tidak akan membiarkan ada yang mencium Noe selain dirinya.
Dengan cepat, Adelio menghentikannya dan merebut Noe saat bibir wanita itu sudah maju mendekati Noe.
“Kamu gila, ya! Kucing saya jadi nggak steril karena kamu!”
Adelio kelepasan. Tidak seharusnya dia terlalu keras pada orang asing sampai dia jadi terkejut begitu. Apalagi wanita itu sudah menjaga kucingnya, kan.
“Eh, beneran berubah? Jangan-jangan kamu siluman kucing?”
Wanita itu malah mengatakan hal yang aneh.
“Tapi, ini kucingnya masih ada,” gumamnya bingung.
Adelio mengernyit. “Ngomong apa, sih. Siluman kucing apanya.” Membuang-buang waktunya saja. Lebih baik dia pergi.
Tapi, Adelio berhenti saat baru tersadar, “Kamu lagi?!”
Dia Caramel, mantan kekasih Erich. Sedang apa dia di sini?
Ya tentu saja olahraga juga. Tapi, maksud Adelio tuh, kenapa bisa di area tempat tinggalnya?
Napasnya terhela panjang, “Kenapa harus terlibat sama kamu terus, sih?” gumamnya, bertanya-tanya kenapa dia harus selalu bertemu mantan kekasih Erich. Apa dia juga harus ikut direpotkan akibat ulah Erich yang menyakiti mantan kekasihnya itu?
Siapa yang berbuat, siapa yang kena getahnya.
Kehadiran Erich dalam hidupnya selalu membawa kesialan.
Tiba-tiba Caramel berdiri dengan semangat, “Mas Ganteng masih ingat aku, ya?” ucapnya dengan mata berbinar. Kikikannya terdengar, yang lantas membuat Adelio mengernyit tak suka.
“Kok Mas Ganteng bisa di sini?”
Mas Ganteng dia bilang? Maksudnya dirinya?
Panggilan macam apa, tuh?
Dia tahu selama ini banyak yang memuji wajahnya. Tapi, tidak pernah ada yang seterang-terangan ini juga di depan mukanya. Dengan penuh percaya diri dan tidak tahu malu pula. Bahkan, Ibunya sendiri saja jarang.
Adelio hampir saja menyemburkan tawa geli.
“Rumah saya di sekitar sini,” jawab Adelio setelah berhasil mengendalikan diri. Mengembalikan raut mukanya kembali datar.
“Sama, dong!”
Entah kenapa Caramel semangat sekali.
“Aku juga, Tapi, di belakangnya. Tempat kontrakan berjejer.” Lalu, Caramel menyengir, menertawakan dirinya sendiri.
Oh. Adelio tidak tahu kalau rupanya tempat tinggalnya dan mantan pacar Erich berdekatan.
Yah, tidak penting juga, sih.
Dan dia baru ingat jasnya masih dipegang wanita itu. Mumpung bertemu sekalian saja dia tagih. Dari kemarin Ibu menerornya terus, meminta jas yang dia pakai itu dikembalikan segera, karena itu barang sewaan. Membuat sebal saja karena rupanya dia dikasih barang sewaan.
Yah, memang kapan Ibu pernah royal pada dirinya? Sejak dulu seringnya dia dikasih barang lusuh milik Erich yang sudah tak terpakai. Alasannya sayang kalau harus dibuang padahal masih bisa digunakan.
Tanpa memikirkan perasaannya bahwa dia juga ingin sesuatu yang baru, yang khusus hanya untuk dirinya.
“Oh, iya. Mana jas saya? Kembalikan,” ucap Adelio. “Kenapa kamu?” tanyanya yang heran. Bukannya menjawab, Caramel malah senyum-senyum sendiri. “Saya tanya jas saya mana?” ujarnya tak sabar.
“Masih aku simpan, kok. Belum aku cuci, soalnya pasti mahal, ya. Aku belum gajian.” Caramel menggaruk tengkuknya, sambil menyengir malu.
“Ya karena mahal makanya harus kamu kembalikan.”
Caramel menipiskan bibir, “Kalau gitu, nih.” Tiba-tiba dia malah menyerahkan ponselnya.
Adelio jelas kebingungan, “Apa? Saya nggak butuh HP kamu. HP saya lebih bagus.”
“Maksudnya, minta nomor kamu.”
“Saya nggak membagi nomor saya ke sembarang orang.”
Caramel mencibir, “Ih, katanya mau dibalikin jasnya.”
Adelio menghela napas, “Antar saya ke rumah kamu,” ucapnya, “Saya ambil aja. Nggak usah dicuci,” lanjutnya menjelaskan karena Caramel langsung melongo.
“Eh, enak aja!” Lalu, dengan dagu terangkat, Caramel menyilangkan lengan di depan dada, “Aku bukan cewek gampangan ya, yang nerima cowok masuk ke rumah tanpa hubungan apa-apa.”
Ganti Adelio yang melongo, kemudian memutar bola mata, jengah. Apa sih, yang ada di pikiran wanita ini? Dikira dia sedang merayu?
Adelio sampai memejam menahan sabar, “Saya ikut ke rumahmu. Kamu ambil jas saya, sementara saya tunggu di luar,” jelasnya dengan penuh kesabaran.
Adelio pun benar-benar mengekori Caramel sampai rumah kontrakannya. Dia jadi tercenung. Ini tidak berlebihan, kan?
Mendadak jadi kepikiran juga sama ucapan Caramel sebelumnya. Apa wajar seorang pria mengunjungi rumah seorang wanita tanpa hubungan apa-apa?
Adelio mengedik kemudian. Dia kan cuma mau ambil jas. Nggak ada niat lain.
Semoga mereka tidak akan terlibat apapun lagi deh, setelah ini.
Tidak ada alasan khusus kenapa. Adelio tidak ingin saja. Untuk apa juga?
***
Beberapa menit yang lalu dan saat ini
Harapannya jelas tidak terkabul saat dua hari setelahnya Adelio malah bertemu lagi dengan Caramel tanpa sengaja.
Kenapa belakangan mereka selalu bertemu, ya? Dalam satu minggu sudah tiga kali. Dan semuanya tidak bisa dibilang kejadian yang biasa saja.
Memeluknya tiba-tiba yang disangka sahabat wanita itu, saat Adelio mencari kucingnya yang kabur dan tahu-tahu bersama Caramel, lalu sekarang saat Caramel sedang diganggu pria nakal.
Menyadari Caramel diganggu pria asing, Adelio semakin tak ragu untuk menolongnya. Karena dia tahu benar pria itu bukan pacar Caramel. Wanita itu kan frustrasi sekali habis ditinggal Erich.
Tapi, Adelio sendiri bingung kenapa dia harus sampai mengaku sebagai pacarnya, padahal dia selalu terlihat sebal setiap mereka bertemu.
Jalan pintas sajalah, agar pria itu cepat pergi. Dan, caranya berhasil.
Hingga mengantarkan Caramel pulang sampai ke rumah kontrakannya, padahal Adelio bisa aja meninggalkan Caramel, atau mengantarnya sampai dia naik taksi.
Dia selalu risi tiap bertemu Caramel yang banyak bicara, tapi rela melakukan itu semua.
Sukarela curhat kehidupan pribadinya bukan hanya karena Caramel tengah mabuk.
Itu semua karena dia tahu siapa Caramel.
“Kamu masih menyedihkan, seperti dulu.”
Caramel yang dulu dia tahu selalu terlihat ceria, tetap bisa menyapanya dengan hangat meski dicemooh Ibu. Meski di mata Adelio hal itu justru membuatnya terlihat menyedihkan.
Lama berselang sejak terakhir mereka bertemu, Caramel yang ada di depannya kini terlihat jauh lebih kacau.
*****
Udah tau kan dari sisi Adelio yang ternyata pernah ketemu Caramel waktu masih pacaran sama Erich. Pacaran 9 tahun gitu, masa iya nggak dikenalin ke keluarga. xixi
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
