
JODOH DI TANGAN MAMA
BAB 1: Kata Mama, Ada yang Namanya Takdir
“Kamu nggak pernah berusaha dekat sama orang lain, Bang. Cobalah sekali-kali buka sedikit pintu benteng yang kamu bangun. Kasih kesempatan untuk orang lain masuk ke hidup dan hati kamu.”
“Mama aja udah cukup buat aku.”
“Tapi Mama bukan pasangan kamu.”
“Aku nggak butuh pasangan, aku cuma butuh keluarga kita.”
“Hhh…. Kamu tuh ya, susah banget dibilangin. Sepertinya keras kepala udah jadi ciri khas Tanaka,” desah mamanya dengan pelan. “Bang,...
BAB 1
Kata Mama, Ada yang Namanya Takdir
“Gimana Athalia? Kamu udah tiga hari ini pulang larut malam terus, pasti sengaja nggak mau ketemu Mama.”
Asa terkekeh mendengar omelan menjurus rajukan tersebut dari mamanya. “She is pretty, Ma.”
“Terus?” desak Padma Hardjaja, ibu Asa, dari seberang telepon.
Asa sengaja tak langsung menjawab—pasti setelah ini mamanya akan kembali merajuk kalau ia sengaja menghindar. Ia memilih terus melangkah menuju eskalator. Asa harus segera kembali ke kantor kalau tidak mau terlambat setelah jam makan siang berakhir.
Bisa-bisa ia diceramahi ayahnya—Badai Tanaka—selama dua jam penuh soal kedisiplinan.
“Angkasa, do you hear me?” tanya Padma dengan nada kesal yang kentara.
Namanya Asa, nama panjangnya adalah Angkasa Nirada Tanaka. Kalau ibunya sudah memanggilnya dengan ‘Angkasa’, berarti ibunya sudah kesal.
Kalau seorang Padma sudah memanggil Asa atau semua penghuni rumah dengan ‘Tanaka’ (dan hal ini menyebabkan tidak hanya satu orang yang menoleh, tapi empat orang sekaligus), berarti ibunya benar-benar marah.
“Denger kok, Bu Bos,” canda Asa yang mengikuti panggilan ayahnya kalau sedang bercanda dengan mamanya. “Aku nggak ada chemistry sama dia. Dia juga… aneh.”
Asa mencoba menuruti permintaan Athalia tiga hari yang lalu di mana ia harus mengatakan kalau perempuan itu ‘aneh’, supaya mereka tidak bertemu lagi.
“Aneh gimana?”
“Aneh, nggak suka sama Abanglah pokoknya. Kayaknya Abang emang nggak laku di pasaran deh.”
“Abang, listen to me. Papamu dulu tuh ibarat kuota di aplikasi P2P lending, selalu diburu orang dan nggak banyak yang kebagian—tapi kalau papamu sih banyak yang pernah bareng dia.”
Asa tertawa mendengar perumpamaan ibunya. “Kayaknya ada yang kesel.”
“Nggak,” kilah mamanya. “Maksud Mama adalah kamu nggak mungkin nggak laku. Gantengan kamu daripada Papa pas muda. Kamu hanya nggak mau dekat dengan siapa-siapa.”
“Tuh Mama tahu.”
“Tapi Mama nggak mau kamu selamanya sendirian.” Kali ini mamanya mendesah pelan. “Kamu nggak pernah berusaha dekat sama orang lain, Bang. Cobalah sekali-kali buka sedikit pintu benteng yang kamu bangun. Kasih kesempatan untuk orang lain masuk ke hidup dan hati kamu.”
“Mama aja udah cukup buat aku.”
“Tapi Mama bukan pasangan kamu.”
“Aku nggak butuh pasangan, aku cuma butuh keluarga kita.”
“Hhh…. Kamu tuh ya, susah banget dibilangin. Sepertinya keras kepala udah jadi ciri khas Tanaka,” desah mamanya dengan pelan. “Bang, di dunia ini ada yang namanya takdir. Kalau kamu nanti ketemu seseorang yang merupakan takdir kamu, sejauh apa pun kamu melangkah, kamu akan selalu ketemu dia.”
Untuk beberapa detik, hati Asa menghangat mendengar ucapan mamanya. “Kayak Mama dan Papa?”
“Semacam itu,” sahut sang mama lagi. “Kamu pulang on time hari ini ya, Bang, kita bicara lagi di rumah. Sekarang udah mau selesai jam makan siang, kamu pasti harus balik kerja.”
“Oke, Ma.”
“Mama akan tungguin kamu sampai jam berapa pun.”
Asa tersenyum mendengar tekad ibunya. “Oke, sampai ketemu nanti malam, Ma. I love you.”
“I love you too hanya kalau kamu pulang on time hari ini.”
Asa kembali tertawa dan mamanya memutus sambungan telepon. Lelaki yang hari itu berpakaian formal dengan setelan kemeja biru langit dan celana bahan hitam tersebut melangkah turun dari eskalator.
Sejak pagi tadi ia ikut meeting dengan klien mereka bersama atasannya dan saat makan siang, atasannya memilih untuk makan siang dengan istrinya. Jadilah Asa makan siang sendiri dan kini harus kembali ke kantornya sesegera mungkin.
“Dasar pelacur! Nggak usah deketin anak saya lagi! Ngerti kamu?!”
Teriakan melengking itu menarik perhatian Asa dan orang-orang di sekitar lobi mall tersebut.
Tadinya Asa mau terus melangkah menyeberang ke kantornya, tapi ketika ia tak sengaja melirik ke arah kerumunan yang merupakan sumber teriakan tersebut, langkah Asa langsung terhenti.
Perempuan paruh baya dengan rambut disasak agak tinggi tersebut mulai menjambak rambut perempuan yang hanya bisa merintih tersebut.
“Tinggalin anak saya! Putusin dia sekarang juga! Anak saya bilang dia mau putus, tapi selalu kamu yang nahan-nahan dia.”
“Nggak, Tante….”
Tanpa pikir panjang, Asa menghampiri kerumunan tersebut dengan langkah yang lebar-lebar. Bertepatan dengan tibanya Asa di sana, perempuan muda yang tangannya tengah berusaha melepas cengkeraman tangan ibu-ibu itu mendongak.
Asa bertemu tatap dengan Athalia.
“Asa,” gumam Athalia dengan tak percaya.
Perempuan bersasak tinggi itu langsung menatap Asa dengan marah. “Minggir kamu! Nggak usah jadi sok pahlawan. Ini urusan saya sama pelacur kecil ini.”
“Tapi saya nggak bisa liat Ibu sembarangan mempermalukan orang lain dan bahkan menyiksa dia seperti ini.” Asa semakin mendekat dan berusaha melepas cengkeramannya di rambut Athalia. “Bisa kan kita bersikap selayaknya manusia sewajarnya?”
“Kamu—”
“Asa,” sergah Athalia. “K-kamu pergi aja deh—”
Asa menggeleng. Suara Athalia yang terdengar tak yakin malah semakin membuatnya tak ingin beranjak.
Asa pun bertanya dengan dingin pada perempuan paruh baya itu. “Apa kita perlu bicara di pos satpam? Atau kantor polisi?”
Gertakan itu berhasil. Begitu cengkeraman perempuan tersebut lepas dari rambut Athalia, Asa segera menarik Athalia hingga berdiri di sisinya, jauh dari perempuan tak dikenal itu.
“Oh, sekarang saya ngerti,” katanya sambil tersenyum sinis. “Ini laki-laki lain yang kamu layani kan?”
“Nggak, Tante!”
Tanpa mau mendengar bantahan Athalia lebih lanjut, erempuan itu langsung mengibaskan tangannya, kemudian beralih pada Asa. Ia menatap Asa dari ujung kepala hingga ujung kaki dan langsung tahu, kalau Asa bukan orang sembarangan.
“Kamu jaga perempuan ini, jangan sampai dia deketin anak saya lagi! Kerjanya meras harta orang aja! Lebih baik dia beneran jual diri dibanding berkedok pacaran tapi ngambil uang orang lain.”
Athalia hanya menunduk dan mengusap wajahnya dengan lelah. Asa ingin mengembalikan kata-kata yang tak enak didengar itu, tapi perempuan paruh baya tersebut sudah pergi begitu saja.
“Nggak ada yang perlu dilihat, Mas, Mbak. Silakan urus urusan masing-masing,” kata Asa pada orang-orang yang berkerumun.
Dengan cepat, Asa menggiring Athalia keluar dari mall tersebut. Mereka menyeberang ke Sadira Group yang berseberangan dengan mall tempat Asa makan siang tadi.
Sesampainya di lobi, Asa mengajak Athalia masuk ke gerai Starbucks yang ada di sana dan memesankan minuman untuk mereka berdua. Kali ini ia sudah tak peduli kalau terlambat kembali ke ruangannya.
“Tha,” panggil Asa pelan kepada Athalia yang duduk sambil menunduk. Helai rambutnya menutupi wajahnya, membuat Asa tahu kalau kini Athalia pasti tengah merasa malu.
“Ngapain kamu bawa aku ke sini?”
“Aku nggak bisa ninggalin kamu sendirian di sana,” ungkap Asa dengan jujur. Athalia yang ada di hadapannya saat ini sangat berbeda dengan Athalia yang tiga hari lalu ia temui.
“Makasih untuk bantuannya. Aku nggak tahu jadi apa aku kalau nggak ada kamu.” Athalia menghela napasnya dan memberanikan diri untuk mendongak.
Saat tatapan mereka bertemu, pikiran kalau Asa akan menatapnya dengan jijik atau kasihan langsung sirna di benak Athalia.
Lelaki itu tengah menatapnya dengan lembut dan tidak menuntut. Kalau ada orang lain yang sudi menyelamatkan Athalia dari kejadian tadi, setidaknya pasti mereka akan menatapnya dengan penasaran dan penuh tuntutan, ingin tahu kenapa ia bisa diperlakukan seperti tadi.
“Sama-sama, Tha.”
Athalia masih sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga ia terkejut saat tiba-tiba Asa mencondongkan tubuhnya mendekat pada Athalia.
“Sorry, aku cuma mau benerin rambut kamu,” gumam Asa ketika tangannya berhasil menyentuh puncak kepala Athalia.
Dengan telaten, Asa berusaha merapikan rambut Athalia sebisanya. “Sakit nggak kepala kamu?”
“Nggak kok,” dusta Athalia.
Asa berdecak kecil. “Rasanya agak jarang orang di dunia ini yang bilang kalau mereka sakit saat mereka kesakitan. Iyakan, Tha?”
Athalia meringis malu. Ia tak pernah membayangkan Asa-lah yang akan menemuinya dalam kondisi seperti tadi.
Rasanya ini seperti… takdir.
BAB 2
Hanya Dia yang Berbalik Untukku
“Kamu nggak kerja?”
“Kamu sendiri?” Asa memilih bertanya balik pada Athalia.
“Hari ini aku lagi cuti,” jawab Athalia. Perempuan itu melirik jam tangannya yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. “Udah lewat dari jam istirahat, lebih baik kamu kembali ke kantor. Ini gedung kantor kamu kan?”
“Kok kamu tahu?”
Athalia terkekeh pelan. “Aku kenal ibumu, jadi aku tahu pasti kamu itu siapa.”
Asa tersenyum malu mendengar ucapan Athalia yang lugas tersebut. Ia sempat lupa dengan fakta kalau Athalia kenal langsung dengan ibunya. Minimal Athalia pasti tahu di mana ia sekarang—di kantor Sadira Group.
“Beneran nggak apa-apa aku tinggal sendiri?” tanya Asa pada akhirnya. “Kamu nggak perlu ditemenin?”
“Aku baik-baik aja kok.”
Asa menaikkan satu alisnya, sangsi dengan kebenaran kata-kata Athalia. Tidak ada orang yang langsung bisa baik-baik saja setelah kejadian seperti tadi.
“Beneran, Sa,” tegas Athalia sekali lagi. “Kamu balik kerja aja gih. Aku nggak enak sama kamu kalau kamu telat lebih lama lagi.”
Melihat bagaimana Athalia benar-benar berusaha meyakinkannya, Asa pun menghela napas. Ia mengangguk dan bangkit meninggalkan Athalia sendirian di meja yang berada di sudut tersebut.
Athalia terpana untuk beberapa saat. Perempuan itu sendiri tak menyangka kalau Asa akan pergi begitu saja. Namun, dugaannya meleset karena lima menit setelahnya lelaki itu kembali dengan sepiring red velvet roll cake di tangannya.
Asa meletakkan piring itu di meja dan mengatakan, “Dimakan ya, Tha. Kalau adekku lagi sedih, makan manis bisa agak sedikit membantu dia.”
“Kamu baik banget sih, Sa,” gumam Athalia tanpa sadar.
Asa tersenyum teduh. “Bukan baik banget, Tha. Aku cuma melakukan sesuatu yang harusnya kulakukan. Nggak mungkin aku melengos begitu aja di saat aku kenal kamu.”
Setelah itu, Asa benar-benar pamit dari hadapan Athalia. Athalia menatap punggung Asa yang makin lama makin jauh dari pandangannya.
Kemudian perempuan itu menunduk dan menatap gelas plastik berukuran venti berisi dark mocca frappuccinodan red velvet roll cake tersebut dengan hati yang gamang. Dari semua orang yang melintas di hidupnya, hanya Asa yang berbalik untuk menolongnya.
Orangtuanya, kakak-kakaknya, teman-temannya—mereka semua berbalik memunggunginya, menjauhinya seolah-olah ia adalah virus.
Mungkin karena Asa juga tak tahu siapa dirinya, maka dari itu ia bersedia menolong Athalia.
Andai dia tahu siapa Athalia sebenarnya….
Getar ponselnya yang ada di saku membuyarkan lamunan Athalia. Perempuan itu langsung buru-buru mengambil ponselnya dengan tangan gemetar supaya tak terlambat untuk membalas pesan itu.
Marcell: Babe, barusan Mama bilang dia abis ketemu kamu. Kamu ngapain nurutin ajakan Mama sih?
Marcell: Kan aku bilang, cuekin aja.
Marcell: Kamu ngobrol apa aja sama Mama?
Athalia: Aku mana mungkin nolak ajakan mama kamu, Sayang.
Athalia: Nggak banyak hal penting yang kami obrolin kok.
Marcell: Bohong.
Rasanya jantung Athalia terasa berhenti berdetak saat itu juga ketika Marcell membalas hanya dengan satu kata itu.
“Tha.”
Athalia tak sengaja melempar ponselnya ke meja karena terkejut. Beruntung seseorang dengan cepat menangkap ponsel tersebut dan mengembalikannya pada Athalia.
“Asa,” gumam Athalia dengan tak percaya. “Kamu ngapain di sini?”
“Kayaknya aku nggak bisa ninggalin kamu sendirian di sini, Tha.”
“Hah?” Athalia tak bisa menahan diri untuk tidak melongo. Kini Asa berdiri di hadapannya sambil membawa tas laptop. “Terus? Kamu mau bolos?”
“Nggak juga, Tha.”
“Tapi kamu bawa tas,” tunjuk Athalia. “Asa, beneran, aku nggak apa-apa. Kita kan baru kenal juga, aku nggak mau ketika kita belum kenal begini tapi aku udah ngerepotin kamu.”
“Nggak ngerepotin kok. Anggap aja aku lagi bosen kerja di ruanganku.”
Athalia menggeleng tak setuju. “Tapi kamu bisa dimarahin atasan kamu.”
“Sesekali jadi karyawan bandel nggak apa-apa kok.”
Dengan cepat, Asa mengambil piring berisi kue yang belum disentuh dan membawanya ke kasir. Ia meminta pegawai Starbucks tersebut membungkus kue itu dan setelah selesai, ia kembali ke meja Athalia.
“Yuk.”
“Ke mana?”
“Aku tahu tempat yang bisa bikin kamu lupa sejenak sama apa pun yang jadi beban pikiranmu saat ini.”
Ragu-ragu, Athalia bangkit dari kursinya dan mengikuti Asa. Ia menukar KTP-nya untuk access card sementara yang diperuntukkan untuk tamu di gedung tersebut.
Setelahnya, Asa mengajak Athalia ke lift yang ada di sudut dan hampir tak terlihat jika dari tempat biasa orang menunggu lift yang berjejer.
“Kenapa kita naik lift yang ini?” Athalia tak terlalu bodoh untuk tidak mengenali lift di hadapannya ini adalah lift yang biasa dipakai petinggi perusahaan.
“Karena yang ini nunggunya nggak lama.” Asa memberikan cengirannya. “Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu kok, kalau itu yang kamu khawatirin.”
“Aku percaya sama kamu kok,” tukas Athalia sambil menatap refleksi mereka di pintu lift. “Kamu anaknya Tante Padma, pasti sebaik beliau.”
Asa tersenyum kecil. “Kamu terlalu cepat percaya sama orang, Tha.”
“Kamu sendiri juga gitu. Kita baru kenal tiga hari yang lalu dan nggak komunikasi lagi setelah pertemuan waktu itu, but here I am.”
Kini ganti Asa yang melirik Athalia. “Aku tahu mamaku nggak sembarangan mengenalkan perempuan ke aku.”
Kali ini Athalia terkekeh dan hal itu ditangkap Asa dengan baik. Kalau sedang begini, rasanya baru ia menemui Athalia yang tiga hari lalu ia temui.
Athalia dan wajah murung bukan kombinasi yang bagus, pikirnya.
“Kamu jangan bilang mamamu kalau kita ketemu lagi,” canda Athalia saat lift terbuka dan mereka bergegas masuk. “Nanti mamamu berekspektasi kalau kita akan kencan lagi.”
Asa terbatuk begitu mendengarnya. “Oke, kalau itu maumu.”
Reaksi Asa terlihat lucu di mata Athalia. Perempuan itu pun berkata, “Kasihan kamu kalau harus deket-deket sama aku. Jadi cukup tiga hari yang lalu dan hari ini aja kita bisa ketemu dan ngobrol begini.”
Rasanya baru kali ini Asa gatal ingin bertanya kenapa mereka hanya boleh bertemu sampai hari ini saja, tapi ia menahan diri untuk tidak melakukannya karena Asa takut, pertanyaannya akan kembali membawa kesedihan di mata Athalia.
Hal yang berbulan-bulan setelah hari itu baru disadari Asa, kalau hal tersebut bukanlah hal yang ia sukai.
Asa takkan suka melihat Athalia sedih seperti hari ini, di pertemuan kedua mereka.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
