Karya pertama saya di KaryaKarsa. Sebagai debut, akses ke cerpen ini saya berikan secara gratis!
Cerpen dan tulisan saya lainnya juga bisa ditemukan di ramdziana.wordpress.com. Terima kasih kalau mau beri tip jar, biar saya makin semangat! <3
[Foto oleh Karolina Grabowska di Pixabay]
Aku terbangun. Mendadak. Pagi itu, kasur serasa berdenyut memijat, mengajakku untuk merebahkan punggung di atasnya sedikit lebih lama. Seperti biasa, pada hari Minggu, aku dapat memanjakan diri setelah melek semalam mengikuti kegiatan rutin siskamling yang melelahkan.
Sayangnya, semesta tak mendukung.
Ponsel yang tergeletak jauh di sekitar lutut, yang sempat bunyi cukup keras segera kuambil. Muncul ikon pesan email baru terpampang di bagian atas. Sambil menyingkirkan belek, kusipitkan mata lalu kulihat kolom pengirim pelan-pelan.
Semoga diterima kerja! Aamiin.
Mmm ... Maati? He? Gema. Gemati.
Tidak ada subjek.
Apa sih?
Ooh, ada ternyata. Masihkah aku memiliki perasaan?
---
Aku makin tua, Zi. Begitu pun denganmu. Maaf, aku lancang. Langsung menyerobot masuk surelmu tanpa permisi. Panggil saja aku Gema. Aku mendapatkan alamat surelmu dari daftar kehadiran seminar di Surabaya dulu. Saat kutengok, ternyata alamatnya mirip dengan media sosialmu. Seperti acak, tapi aku rasa aku mengirim surat ini kepada orang yang tepat.
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Teman-temanku semakin banyak yang meninggalkan dunia kesendirian. Mereka membersamai dunia berduaan.
Kalau tidak berpacaran ya menikah. Melanjutkan kehidupan, membagi perasaan.
Teman-teman lain yang masih senasib denganku kebanyakan mulai iri. Kapan mereka bisa menyusul. Kapan mereka bisa ikut bergandengan, melekatkan jemari yang menua di bawah gavalium sambil menatap fajar dan sore memerah.
Jika sudah begini, aku merasa terasing. Lebih sering kuberkata, "apaan, sih?!", daripada mengungkap persetujuan atas rasa mereka. Yaaa ... walaupun kadang aku menyahutnya dengan hehe~ nan tawar.
Semenganggurkah hati dan pikiran mereka hingga membiarkannya dibagi. Diserahkan kepada orang lain yang belum tentu komit dengan hal serupa.
Masihkah aku memiliki perasaan?
Berpasangan bukankah berarti mengikat? Mengikat kebebasan berpikir dan bertindak. Dua hal yang seharusnya dimiliki manusia sejak lahir. Kenapa repot-repot menyerahkan kemerdekaan? Aku pernah mendengar cerita bahwa cinta membebaskan.
Aaah, itu pasti utopis.
Zaman Yunani kuno mungkin takkan melahirkan filsuf besar jika mereka membagi rasa dan pikiran pada hal remeh bernama "berdua".
Aku tak meremehkan rasa cinta karena ia dapat dihaturkan kemana saja. "Berdua" adalah istilahku untuk menggambarkan sikap mengekang dan seringnya memble. Aku tidak menafikan begitu banyak pasangan yang berkarakter kuat. Membuka dunia dengan aktivitas fungsionalnya.
Tapi ada berapa banyak orang ingin berpasangan sekaligus ingin memperbaiki dunia sama-sama?
Palingan ingin berpasangan cuma untuk menggugurkan keinginan.
Berpasangan tak membuat orang lebih peduli pada manusia dan sekitar. Secara bias, mereka yaa cuma peduli pada pasangannya.
Salahkah aku berpikir demikian? Aku sebenarnya benci untuk membenarkan atau menyalahkan. Aku cabut saja pertanyaan itu.
Rasa yang merdeka dapat disalurkan kepada yang membutuhkan dan tepat. Terserah kemana ia akan disampaikan dan diletakkan. Tak perlu terburu-buru.
Zi, bolehkah nanti aku kirim surel lagi?
Salam kenal,
P Gemati
----
Fiuh.
Sepertinya Gemati mengirim email ke orang yang salah. Tapi, oke ...
Cinta adalah anugerah. Orang-orang bilang begitu. Ia datang tak dinyana. Kapan. Di mana. Tidak ada yang tahu. Cinta bisa dalam bentuk apa saja. Cinta terhadap barang, pekerjaan, kegiatan atau aktivitas, dan tentunya, manusia. Surat ini lebih fokus ke yang terakhir ya?
Kuakui, aku berpikir tidak jauh berbeda dengan Gemati. Dan kuyakin, kita masih memiliki perasaan. Senormal-normalnya perasaan. Bedanya, perasaan yang difokuskan pada suatu titik lain.
Contoh praktis dari perkataanmu apa sih?
Seorang perempuan dan laki-laki, terpisah tempat atau waktu, lahir sebagai manusia merdeka. Lalu tumbuh sebagai orang dengan aktivitas penuh. Menggairahkan diri dan menggairahkan sekitar. Membantu diri dan membantu orang lain. Ketika mereka bertemu di lain waktu, mereka saling mengekang satu sama lain. Dalam bentuk aktivitas dan pikiran, dengan alasan untuk menjaga perasaan. Begitu maksudmu?
Bukankah itu adalah konsekuensi karena kamu bertemu orang lain? Dan sebuah kompromi karena kamu mengikat kepala dan hatimu di tempat yang kaurasa nyaman untuk ditempati?
Pagi-pagi kok malah pusing. Tauk ah!
Mataku menutup. Tidur lagi.
Pulas.