1. Move On

"Kalau bukan kamu siapa lagi, Mas?"

Irawan mulai goyah, ini bukan pertama kali Hanami membujuknya untuk pulang ke Surabaya dan menduduki posisi tertinggi di perusahaan lantaran kesehatan sang ayah sedang terganggu. Dan nampaknya, kali ini ia tak bisa menolak lagi.

"Kamu tahu sendiri kalau Mas Seno sibuk ngurusin rumah sakit opa. Lalu si Arya belum selesai kuliah." Hanami kembali bersuara demi mendapat simpati sang putra kedua.

"Soalnya dia emang nggak niat kuliah, Ma, pacaran mulu!" sahut Irawan.

"Ya kan niru kamu kakak-kakaknya, gimana sih?"

"Nggaklah!"

"Sekarang aja udah insyaf, dulu kamu juga playboy cap kapak, Mas."

Skakmat..!!

Ibunya yang satu ini selalu saja bisa membuat Irawan bungkam dalam hitungan detik. Bukannya wajar-wajar saja kalau seorang pria bertingkah seperti itu. Tak berniat menjadi playboy, waktu itu Irawan hanya memilih mana yang terbaik sebagai pasangan. Tapi ternyata hasilnya nol besar, karena sebagian besar gadis yang dekat dengannya hanya mengincar harta semata. Bahkan Anne, yang Irawan anggap paling berbeda dengan gadis-gadis lainnya ternyata juga sama. Gadis itu mengambil langkah seribu, saat Irawan berkata ia tak akan pernah menjadi ahli waris Adiyatma Dwisastro.

“Aku sedang merintis perusahaan sendiri, An,” ujar Irawan beberapa tahun lalu sebelum benar-benar berpisah dari Anne, gadis yang selama dua tahun menjalin kasih dengannya

“Tapi kamu cuma punya dua pilihan, Wan, terima tawaran dari papa kamu meneruskan perusahaan atau … lepasin aku!”

Mendengar respon Anne, Irawan hanya bisa tersenyum miring. Setelah menghembuskan napas pelan, pria tegap itu menggeleng tak habis pikir. Tak menyangka, ternyata ia melakukan kesalahan yang sama selama dua tahun ini. Merasa dibodohi dengan perasaan yang sama dengan yang pernah ia alami sebelumnya.

“Ternyata kamu lebih condong ke warisan Papa dari pada ke perasaanku ya, An—”

"Heh, Mas, kamu masih di sana kan?!" lengkingan suara Hanami memecah gelembung ingatan Irawan tentang Anne.

"Iya Mamaku yang paling cantik sealam semesta."

"Pokoknya Mama tunggu kamu balik ke Surabaya ya! proyek di Batam dikontrol dari sini aja," titah perempuan blasteran Jepang itu.

"Nggih… siap, Kanjeng Ratu." Irawan menganggukkan kepala seolah ada sang ibu di hadapannya.

"Jangan nggah nggih nggah nggih aja kamu, Mama serius ini."

"Lho aku juga serius, Ma."

"Awas aja kalau besok lusa kamu belum nyampe Surabaya ya, Mama jemput paksa ke Batam."

"Iya ma iya, aku udah selesai packing kok ini. Paling lambat besok sore aku udah di Surabaya." Irawan tak bercanda, ia memang sudah menyiapkan kepulangannya sejak beberapa hari lalu. Kesehatan sang ayah tetap menjadi prioritasnya. Bagaimana sibuknya ia menjadi pengusaha muda, tak menghalangi baktinya pada kedua orang tua.

"Naaah ... gitu dong pinter. Ya siapa tahu kamu nemu jodoh di Surabaya kan? Biar nggak jadi jones lagi gitu."

"Mamaaaa!!"

Irawan berdecak malas. Mamanya yang luar biasa ini pasti tertular bahasa alay dari sang adik. Sampai tahu istilah jones yang seharusnya tak ia mengerti di usianya kini.

"Iya.. iya.. iya.. duuh baperan banget anak Mama yang satu ini. Udah deh ya, Mama mau siapin obat buat Papamu dulu. Bye ganteng, love you."

Keesokan harinya Irawan benar-benar kembali ke Surabaya sesuai titah sang Mama. Kesan kaku dan dingin pria tinggi itu seketika saja runtuh saat berhadapan dengan permintaan kedua malaikat pelindungnya.

"Sehat, Pa?" sapa Irawan ketika membuka pintu kamar kedua orang tuanya.

Adiyatma tersenyum lebar saat mengetahui putra keduanya itu sudah sampai. "Alhamdulilah, udah mendingan ini, mamamu aja yang cerewet nggak ketulungan. Masih aja paksa untuk check up ke Singapura besok," jawab Adiyatma setelah melepas pelukan hangat dari sang putra.

Sedikit menggeser sofa kecil di samping tempat tidur, Irawan duduk santai sambil mencomot potongan buah kiwi di atas nakas.

"Turutin aja, demi kesehatan Papa juga. Jangan sampai ngedrop lagi, bikin kami panik."

"Kamu panik juga?"

Irawan mengerutkan kening. "Menurut Papa?"

"Kamu kan yang paling gila kerja di antara ketiga anak Papa. Kirain nggak panik." Adiyatma terkekeh kecil.

"Gila kerja juga nurun dari Papa juga, kan?" Irawan ikut meringis lebar.

"Gila kerja boleh, asal jangan lupa sama pesan Mama kamu tuh. Kasian Mama tiap minggu repot cariin cewek buat kamu. Dulu Papa seusia kamu udah punya anak dua."

"Udah beda jaman, Pa. Susah banget cari pasangan yang bener-bener tulus sama kita."

"Heleeeh... kaget Mama kalau mantan playboy bisa ngomong gitu." Hanami yang baru masuk kamar ikut menimpali kalimat sang putra.

"Maa.."

Adiyatma tergelak melihat istri dan anaknya saling melempar lirikan tajam. "Sudah, Ma, nanti kalau jodohnya dateng juga, Irawan pasti nikah kok. Kita tunggu aja."

"Tapi nanti keburu Mas Awan tua," cibir Hanami sambil mengulurkan gelas berisi minuman herbal untuk sang suami.

"Mama, aku ngngak tua! Aku cuma dewasa dan matang sempurna," kilah Irawan terkekeh. Tapi memang benar kan, angka tiga puluh belum bisa dibilang tua kan?

"Heleeh, dewasa apanya. Diputusin Anne langsung galau kabur ke Batam."

Kaan? Terjadi lagi, sang Mama ini selalu bisa menaikturunkan emosi Irawan dengan pandainya. Lagian kenapa harus bahas Anne sih? Sudah hampir dua tahun berlalu pula.

"Aku ke Batam karena kerja, bukan karena patah hati. Kebetulan aja momennya bersamaan."

"Iya sayang iya... Makanya Mama suruh kamu pulang ke sini, ambil alih kerjaan Papa sambil cari pengganti Anne biar cepet move on." Anne menurunkan volume suaranya.

Irawan mengusap wajahnya kasar. "Astaga, Ma, aku sudah bener-bener move on."

"Udah, Ma, jangan godain terus. Bisa makin stress Irawan, udah kerjaan banyak, belum lagi mikirin tuntutan soal menantu." Akhirnya Adiyatma menengahi. "Sudah jangan dengerin Mamamu yang udah ngebet pengen mantu lagi."

Irawan tergelak pelan, merasa menang karena mendapat dukungan.

"Jadi gimana? Siap ngantor kapan?" sambung sang ayah mengalihkan pembicaraan.

"Senin depan aja, aku perlu pelajari ulang tentang Galeea."

Adiyatma mengangguk, dia tak perlu lagi meragukan kemampuan Irawan dalam memimpin perusahaan. Tegas dan perfeksionisnya sang putra sudah banyak dikenal di jajaran direksi.

"Papa juga sudah teleconference sama direksi. Mereka sudah tahu kalau Minggu depan kamu yang ambil alih kerjaan Papa."

Irawan mengangguk sekali lagi.

"Soal sekertaris … kamu mau pake sekertaris Papa atau Andi aja?"

"Andi aja, Pa, cekatan dia. Kalau Rossie kan aku nggak terlalu kenal gimana wataknya. Nggak enak kalau harus menyesuaikan lagi."

"Jadi Rossie biar bantu Andi, gitu maksudnya?"

Irawan mengangguk setuju. "Iya, gitu aja."

Adiyatma tersenyum samar lantas mengambil tablet dari meja kecil di samping ranjangnya.

"Kasihan si Rossie, antusiasnya saat mendengar kamu balik ke sepertinya akan sia-sia," lirih Adiyatma sambil menggerakkan jemari di atas layar.

Irawan mengangkat satu alis saat meminta penjelasan sang ayah.

"Sudah lama Rossie menaruh hati padamu. Cuma yaa ... Papa kan bukan biro jodoh." Adiyatma terkekeh kecil. Berbeda dengan Irawan yang justru menampilkan wajah datar-datar saja.

Irawan mengerjap sekilas saat pikirannya teringat ketika Rossie menelponnya tadi. "Kenapa baru bilang sekarang, Pa?"

"Kamu nggak pernah tanya kan, emang kenapa?"

"Pantas saja akhir-akhir ini Rossie rajin, bahkan nawarin diri mau nganterin berkas ke apartemen besok pagi." Irawan mengacak kasar rambutnya hingga berantakan.

"Biarkan dulu dia mendekat, siapa tahu kalian cocok ka—"

"No way!!" Irawan menggeleng horror.

"Why? Rossie baik, cantik, pintar, cekatan juga." Entah sejak kapan Adiyatma tertular sang istri jadi Mak comblang seperti ini.

"Aku nggak mau dapet bekasan mantan Mas Seno."

Dan tersemburlah gelak tawa Adiyatma hingga memekakkan telinga.

🌺🌺🌺

2. Please, Don’t!

Pagi hari sekali, Irawan sudah bersiap untuk berangkat ke Galeea Construction. Ini hari ketiga pria jangkung itu masuk kerja sejak diperkenalkan pada jajaran direksi sebagai pengganti Adiyatma. Sang ayah sendiri sejak satu minggu yang lalu sudah berangkat ke Singapura untuk melakukan check up di rumah sakit yang dikelola oleh Seno, putra sulungnya.

"Jam sebelas ada meeting dengan beberapa orang dari yayasan, Wan, eeh.. Pak Boss," seru Andi pada sang atasan yang sedang fokus menatap layar laptop lantas beralih ke berkas di depannya.

"Siapkan saja berkasnya, kirim juga salinannya ke email." Irawan mengangguk lantas menekan layar tabletnya agar menampilkan email terbaru.

"Siap." Andi yang duduk di depannya segera mengirim salinan yang Irawan minta.

"Ah iya, satu lagi," potong Andi kembali mengangkat wajahnya. "Bu Hana tadi telpon, katanya jam dua siang ini pak Irawan harus menjemputnya ke rumah dan mengantarkan beliau ke Rungkut. Ke salon yang baru-baru ini menjadi langganannya."

“Mama udah balik dari Singapura?”Andi memberi anggukkan mantap sebagai jawaban.

Andi mengangguk lagi, kali ini lengkap dengan senyum lebar yang melengkung di kedua sudut bibir tipisnya. “Sudah sejak kemarin lusa.”

"Salon mana lagi sih? Astaga mama ini ... lagaknya kayak nggak ada supir aja. Mana mendadak gini!" gerutu Irawan spontan.

Andi tertawa samar namun sedetik kemudian langsung menutup mulut menahan senyum. Tak sopan kan jika menertawakan atasannya sendiri.

“Sabar, namanya juga orang tua, kadang ingin manja ke anak sendiri. Turutin aja biar seneng.”

“Sok tau!” decak Irawan.

”Karena Ibu saya juga kadang seperti itu kalau lagi kangen.”

“Tapi mama ini sering banget loh, dan yang selalu jadi sasarannya ya ….” Irawan melirik ke kanan dan kiri untuk memastikan tak ada orang lain yang mendengarkan percakapan mereka. “Ya gue!” Masih ingat kan kalau Irawan dan Andi ini sahabat dekat yang sering ber’elo-gue’ ketika hanya berdua tanpa ada rekan kerja mereka yang lain.

“Turutin aja sih, Boss, toh nggak setiap hari. Arya sibuk kelarin kuliah, Pak Seno di luar negeri. Jadi wajar kalau Bu Hana ingin me time dengan anaknya yang paling workaholic ini.”

Irawan mendebas napasnya panjang. Benar juga yang dikatakan sekertarisnya ini, sang mama tercinta memang manja. Tapi masih dalam batas wajar, mungkin hanya satu kali dalam satu minggu, paling banyak dua kali.

Melanjutkan pekerjaannya hingga sinar matahari meninggi, Irawan hampir lupa dengan janjinya untuk menjemput sang mama. Getar ponsel yang ia letakkan asal di sebelah laptop yang membuat pria tampan itu mengingat titah dari Hanami.

“Iya, Ma.”

“Assalamua’laikum dulu, Mas Awan.”

“Eh iya, Assalamua’alaikum, Mamaku yang paling cantik,” sahut Irawan lantas terkekeh.

“Wa’alaikumsalam, naah gitu dong.”

Irawan menutup layar laptop di hadapannya, karena ingin fokus pada percakapannya dengan sang mama yang sedang manja.

“Ada apa, Mamaku Sayang?” Irawan melancarkan ajian mulut manisnya pada sang mama.

“Ah, kamu sok tanya segala. Buruan jemput mama ya, mama tunggu. Sekarang!”

“Eh tapi, Ma—”Irawan mencoba mengulur waktu.

“Enggak ada tapi-tapi, Mama tahu jadwalmu hari ini. Meetingmu juga udah selesai dari tadi.” Terdengar kekehan kecil dari Hanami di seberang sana.

“Ah, Mama pasti habis interogasi si Andi,” tebak Irawan sama sekali tak meleset.

“Woiya jelas dong, Mama kangen sama anak jomblo kesayangan Mama. Masa kamu nggak kangen Mama sih? padahal sejak pulang dari Singapura kita belum ketemu loh!”

“Iya … kangen, Ma, kangen. Bentar lagi aku jemput ya?” jawab Irawan pada akhirnya.

“Buruan ya, anterin mama treatment dulu di salah satu salon baru di Rungkut. Mama mau totok wajah biar lebih seger gitu.”

“Mama siap-siap aja dulu, begitu aku nyampe rumah biar langsung berangkat,” pungkas Irawan pada akhirnya.

Hanami tak pernah sekalipun menunda-nunda apa yang menjadi keingingan anaknya, jadi sekarang … Irawan tak ingin menunda-nunda juga melaksanakan titah dari perempuan yang telah melahirkannya ke dunia.

“Mama mau ngapain lagi sih ke salon, udah cantik badai gini,” ujar Irawan ketika ia sudah berada di dalam mobil bersama sang Mama.

“Hueiii anak muda, buat perempuan itu ya … ke salon itu bukan hanya untuk mempercantik diri. Tapi juga stress healing,” jawab sang ibu santai sembari sibuk mengutak-atik ponselnya.

Terkekeh pelan, Irawan menoleh sekilas pada sang Mama yang duduk di kursi penumpang sebelahnya. “Emang Mama stress kenapa? mikirin Papa?”

“Papamu nggak pernah bikin Mama stress, Mas.” Hanami memiringkan bibir ke arah putra keduanya. “Mama penat karena kamu gila kerja sampe nggak lulus-lulus jadi jomblo, awet banget dah. Padahal Mama pengen punya mantu lagi.”

Jawaban Hanami yang sontak saja membuat sang putra melongo. Oke, dirinya memang gila kerja, tapi bukannya itu bagus bagi seorang pria. Lalu soal jomlo? itu bukan keinginan Irawan juga kan?

“Astaga Mama!!” Irawan mengusap wajahnya kasar. “Dikira cari jodoh segampang belanja di supermarket apa?”

“Mama yang cariin aja gimana?”

“Jangan!! Please, don’t, Ma!”

Irawan sontak mendelik horror ke arah sang Mama. Perjodohan dengan bumbu bisnis di kalangan pengusaha kelas kakap memang bukan hal yang baru ia dengar, tapi untuk dirinya sendiri, Irawan mengharamkan hal tersebut.

🌺🌺🌺

3. Duo Ceriwis

“Yakin di sini salonnya, Ma?” tanya Irawan saat baru saja menghentikan mobilnya di salah satu kompleks ruko ternama di pusat kota.

“Iya bener, tuh sama namanya saa kayak di instagrem mama. Di-ma-ya salon and spa.” Hanami demi menunjukkan layar ponsel yang sedang menampilkan sosial media milik salon yang dimaksud. “Mama udah janjian sama tantemu juga.”

“Tante Yema? atau temen arisan Mama?” Irawan penasaran ketika melepas sabuk pengamannya.

“Ya Tante Yema, Mama udah nggak pernah ikut arisan-arisan sok sosialita itu. Hambur-hamburin duit nggak jelas aja.” Setelah memasukkan ponsel ke dalam tas, Hanami keluar mobil begitu Irawan membukakan pintu di sebelah kirinya.

“Terima kasih banyak ya, Mas,” ucapnya pada Irawan yang memperlakukannya bak seorang ratu.

“Sami-sami, Kanjeng Mama.” Tanpa sungkan Irawan merangkul pundak sang mama dan berjalan beriringan menuju salon.

“Tantemu masih di jalan nih,” seru Hanami setelah memeriksa layar ponsel.

“Ya udah aku temenin sampe Tante dateng.” Irawan memilih duduk di sofa panjang di ruang tunggu salon tersebut.

Hanami tersenyum sambil mengangkat ibu jarinya. “Ya udah mama ke resepsionis dulu ya, udah booking soalnya.”

Bertepatan dengan beranjaknya sang mama ke bagian resepsionis, Irawan terpaku ketika melihat seorang gadis yang baru muncul dari dalam ruangan sebelah yang dipisahkan oleh sekat kaca dengan ruang tunggu.

“Selamat siang, Ibu, ada yang bisa kami bantu?” suara lembut gadis itu menggoda Irawan untuk menajamkan pendengaran.

Diam-diam Irawan mencuri pandang beberapa kali pada gadis berambut panjang yang tengah tersenyum ramah menyapa ibunya. Cantik. Binar matanya, rona pipinya, kedua alisnya dan yang paling menyita perhatian adalah senyum manis di bibir kemerahan sang gadis.

“Iya, atas nama siapa?” tanya gadis itu lagi pada Hanami.

“Hanami Dwisastro sama Yema Safitri.” Hanami menjawab sembari menunjukkan layar ponsel.

“Erica, tolong cek reservasi atas nama Bu Hanami Dwisastro ya,” perintah si gadis pada salah seorang resepsionis yang menghadap layar komputer.

Sengaja mencuri dengar, Irawan bahkan tanpa sadar sudah menggeser posisi hingga duduk di ujung sofa agar lebih dekat lagi dengan tempat berdiri sang mama yang tengah berbincang dengan gadis manis tersebut.

“Terima kasih, Mbak Cantik,” ucap Hanami begitu menerima kartu pelanggan. “Perkenalkan, saya Hanami Dwisastro. Biasa dipanggil Bu Sastro.”

Masih menundukkan kepala sambil menekuri ponsel, Irawan tersenyum kecil mendengar percakapan antara sang mama dengan gadis yang entah kenapa berhasil mengganggu konsentrasinya. Padahal pria itu tadi tengah memeriksa email yang dikirimkan asistennya, tapi sekarang niatnya entah lenyap kemana sejak ia mendengar suara renyah si gadis salon ini.

“Salam kenal, Bu Sastro. Saya Fawnia Afsheen, pemilik Dimaya Salon and Spa,” jawab si gadis membuat Irawan mengangguk-angguk pelan.

Aaah … ternyata namanya Fawnia, Fawnia siapa tadi? Fawnia Asin?

Pria tegap itu tak berani mengangkat kepalanya terang-terangan untuk memperhatikan si pemilik salon yang dengan telaten dan ramah menyambut pelanggannya.

“Siang,” suara perempuan lain yang tak asing terjaring telinga Irawan. “Duuh, Mbak Hana, maaf telat ya. Macet banget!!” ternyata Yema. Adik sepupu Adiyatma yang menjadi teman dekat Hanami.

“Nggak apa-apa, kami juga baru dateng. Ini barusan sudah aku confirm ke, Mbaknya.” Hanami menunjuk Fawnia yang mengangguk ramah.

“Ya sudah yuk langsung treatment, cocok banget kita ngobrol sambil rebahan pas udara panas gini, Mbak,” ajak Yema.

“Eeh, bentar ya. Aku suruh Mas Awan balik dulu biar nggak bosen nungguin kita.” Hanami berjalan mendekati Irawan yang masih berpura-pura sibuk dengan ponsel. Padahal sedari tadi ia fokus pada pembicaraan sang mama yang ternyata menarik untuk ia simak.

“Mas, kamu pulang aja nggak apa-apa. Nanti kalau sudah selesai, mama hubungi.” Hanami menepuk pelan pundak Irawan.

“Nggak apa-apa, Ma. Aku di sini aja, sekalian hmm … sekalian ngadem,” jawab Irawan sesaat setelah menemukan alasan yang tepat.

“Yakin?” tanya Hanami sedikit sangsi, mengingat betapa giatnya putranya ini dalam bekerja. Karena jarang sekali ia melihat Irawan membuang waktu untuk duduk-duduk santai seperti itu.

“Ealah ada Mas Awan ternyata.” Yema baru menyadari keberadaan keponakannya. “Sehat kamu, Mas?”

Irawan mendekat untuk mengecup punggung tangan Yema. “Alhamdulillah sehat, Tante,” jawabnya lalu memeluk pelan sang tante.

“Tambah ganteng aja sih,” puji Yema tersenyum lebar.

“Tante bisa aja.”

“Lho serius, kamu udah punya pacar atau belum, Mas?” usik Yema penasaran.

“Belum, Tante, belum ketemu jodohnya.” Irawan melirik sekilas ke arah pemilik salon yang tengah menekuri layar tablet di sebelah Hanami.

“Duuh, sayang… kalau tante punya anak perempuan, pasti udah tak jadiin menantu kamu, Mas.” ujar Yema lantas tergelak. “Sayang, anaknya tante cuma satu, duda pula,” imbuh perempuan paruh baya dengan kerudung biru tua itu.

“Sstt … kok malah ngerumpi sih?” sela Hanami. “Ayo buruan nyalon, mumpung ditemenin sama Mbak pemilik salonnya langsung nih.”

Yema menoleh pada Hanami yang memanggilnya. “Lhaaa, ini loh kan aku baru ketemu sama Mas Awan sejak dia balik. Tambah guanteng ae anakmu ini, Mbak Han.”

“Wooh, ya jelas ganteng. Sayang aja belum laku.” Irawan hanya menggeleng pasrah dengan kelakar Hanami. “Ayo wes, kita nyalon dulu,” ajak Hanami lagi pada sang sepupu.

“Iya ayo, yang mana sih owner salonnya? Pasti seumuran kita ya?” tanya Yema.

“Lha ini, Mbaknya yang punya salon.” Hanami menunjuk si gadis cantik yang mengangguk sopan padanya.

“Lhhooo… masih muda sekali. Tak kira yang punya salon udah oma-oma kayak kita,” kekeh Yema kemudian mengulurkan tangan pada Fawnia.

“Mas Awan, kamu kalau mendadak bosen, boleh keluar dulu. Nanti Mama telpon,” pamit Hanami lagi sambil melambaikan sebelah tangan.

“Oke, Ma.”

Dari tempatnya berdiri, Irawan melihat jelas si gadis pemilik mata indah itu sempat membungkuk dan tersenyum kecil padanya. Senyum kecil namun menimbulkan efek besar untuk jantung Irawan yang mendadak berdetak di luar kewajaran.

Namun, kesabaran Irawan berdiam diri di ruang tunggu salon hanya bertahan beberapa menit. Sebagai seseorang yang gila kerja, akhirnya Irawan memutuskan untuk meninggalkan salon, agar ia bisa memeriksa bisnisnya yang lain. Bukannya kembali ke Galeea Construction, Irawan memilih untuk mengunjungi Casablanca Mall, pusat perbelanjaan yang ia bangun sebelum ‘melarikan diri’ ke Batam.

Baru dua jam berkeliling dan menemui beberapa manager yang bertanggung jawab di Casablanca, panggilan dari Hanami kembali menginterupsi kegiatannya. Kali ini bukan panggilan biasa, melainkan Hanami menghubunginya lewat panggilan video.

Irawan yang tengah berada di keramaian, segera mencari tempat duduk agar lebih tenang dan leluasa saat menerima panggilan dari Hanami.

“Iya, Ma?” sapa Irawan begitu melihat wajah sang Mama memenuhi layar.

“Salam dulu iihhh … kebiasaan!” jawab Hanami setengah geram.

Irawan terkekeh lagi. “Iya maaf, Ma. Assalmua’alaikum, Nyonya Adiyatma Dwisastro. Sudah selesai nyalonnya?”

“Wa’alaikumsalam, iya ini hampir selesai. Kamu ke sini sekarang nggak apa-apa.”

Masih dari layar ponsel, Irawan sempat melihat sekelebatan Fawnia, gadis pemilik salon yang berjalan di belakang punggung Hanami. Kedua tangan gadis itu masih memegang tablet, mungkin untuk memudahkannya memeriksa pekerjaan pegawainya dalam menjamu pelanggaan salon.

“Mas,” suara Hanami kembali menyadarkan Irawan yang kehilangan fokus sesaat.

“Eh, iya Ma. Siap, oke aku ke sana.”

“Kamu ngelamun apa sih? kayak abis lihat bidadari nyasar aja,” cibir Hanami keheranan melihat raut wajah putranya yang terdiam seolah tengah tersihir sesuatu.

Emang abis lihat bidadari nyasar, Ma. Tapi bidadarinya lagi di salon sama Mama.

“Mana ada aku ngelamun sih?” bela Irawan lantas bangkit berdiri.

“Itu barusan bengong aja kayak orang kena hipnotis.”

Iya, kena hipnotis sama gadis dari antah berantah yang bernama Fawnia, hhmm… Fawnia siapa tadi sih? Fawnia Asin bukan? Batin Irawan kembali berdebat tak penting.

“Habis ini buruan jemput Mama ya, Mas. Sebelum makin macet.”

“Siap, Ma. Ini aku langsung ke sana.”

Tak sampai tiga puluh menit, Irawan sudah sampai di Dimaya salon. Irawan langsung dipersilahkan masuk oleh pegawai di pintu utama. Di ruang tunggu, Hanami, Yema juga Fawnia ternyata sedang terlibat perbincangan ringan yang sepertinya seru sekali. Nampak dari semburat senyum menawan di wajah Fawnia yang sesekali terlihat ketika menimpali candaan Hanami yang terkenal supel dan mudah akrab dengan siapapun.

“Eh, itu Mas Awan dateng.” Hanami mengangkat satu tangannya untuk memanggil Irawan.

“Se- se- seru banget ngobrolnya, Ma.”

Mendadak Irawan tergeragap ketika sudah dekat dengan ketiga perempuan beda generasi tersebut. Apalagi ketika si Fawnia Asin ini tersenyum manis ikut menyapanya. Hanya sekilas, namun sudah mampu menjatuhkan wibawa Irawan hingga mendadak gagap di depannya.

“Seru dong, ini loh si Fawfaw Fawnia lagi cerita gimana dia akhirnya nemu passion di bidang kecantikan padahal lulusan ekonomi, duuuh pinter banget anak muda jaman sekarang.”

Irawan tersenyum sekilas, lantas mencuri pandang ke arah Fawnia yang merona dan tersipu karena pujian Hanami.

“Kamu kenapa ngeliriknya sampai segitunya sih, Mas? kayak baru kali ini aja lihat cewek cantik bening begini.” Ini suara tante Yema yang nampaknya mudah tertular bakat cerewet dari Hanami.

“Hah? apa, Tante? Ng- ng- nggak kok.” Irawan mengerjap beberapa kali.

“Nggak … nggak. Nggak apa, Mas? Fawnia nggak bening gitu?” Sekarang giliran Hanami yang ikut menimpali.

“Bening, Ma. Cantik juga, eeh... maksudnya, ehmm…” jawab Irawan secara spontan lalu sedetik kemudian menutup mulutnya.

“Alhamdulillah, mata anakku masih normal. Lihat yang cantik gini hilang fokus.”

“Nggak hanya hilang fokus, Mas Awan sampe mendadak gagap juga tadi.” Yema lebih bersemangat lagi menimpali.

“Mamaaa! Tante!!” Irawan makin salah tingkah dengan wajah merah padam.

Astagaaa, bibir Mama dan tantenya ini benar-benar ya. Irawan sampai melongo karena serangan dari Hanami dan Yema, duo mama-mama ceriwis yang seolah bisa membaca raut wajahnya yang terkesima dengan pesona Fawnia.

🌺🌺🌺

Yuhuuuuw, langsung 3 chapter ajaaa yaaa ….
Gasss kita flasback dulu ke masa-masa Mas Awan pertama kali jatuh hati sama Mbak Faw… 😍😍

Last Romance ; Season 2 (1-3)