
Setelah mengetahui hubungan Rafli dan Lian, langkah selanjutnya yang dilakukan Moreta benar-benar nekad.
RAMAIKAN YUK! GRATIS!
Permainan dimulai
Terlepas dari rasa sakit hatiku, tetap saja Pak Rafli tidak bisa membuatku menyerah dengan mudah. Senyumku mengembang saat mematut diri di depan cermin. Rutinitas malam memakai skin care sebelum tidur.
"Mor, ada tamu, cari kamu, tuh," kata mama berdiri di depan pintu kamar.
Tamu? Jam sembilan malam? Siapa?
Segera kuhampiri, setelah tiba di lantai bawah, kulihat papa sedang bicara dengan pak Rafli di ruang tamu. Mereka tampak berbaur bahkan bisa dilihat pak Rafli seperti nyambung bicara dengan papa yang notabennya galak jika anak gadisnya didatangi laki-laki.
"Pak Rafli," sapaku penuh keheranan, untuk dia ke rumahku. Tau alamat rumah dari mana juga, aneh.
"Mor, yang serius kalau belajar. Mau ngulang berapa kali di mata kuliah Rafli? Malu Papa. Seharusnya udah lulus kamu."
"Belum, Pa, kasih dua semester lagi," sanggahku jujur. Aku sudah memakai piyama tidur warna biru tua, atasan kancing lengan pendek dan celana pendek sepaha.
Jelas terlihat paha mulusku yang putih terawat, dipandang dosen killer bikin senewen di depanku yang masih berdiri di pinggir sofa yang papa duduki.
"Ada apa Pak Rafli ke sini?" Langsung saja kutanyai, malas basa basi. Nada bicaraku juga datar-datar saja, plus tatapanku ke arahnya. Mengingat kejadian ciuman mereka di perpustakaan, hatiku nyeri tapi kututupi dengan sikap sok jual mahal juga dingin. Padahal, aku senang sekaligus terkejut karena pria yang aku cintai ada di rumahku.
"Ada yang mau saya bahas terkait nilai dan tugas kamu. Maaf harus ke sini karena ... urgent," jawabnya yang menurutku mencari-cari alasan.
"Kita ngobrol di teras depan aja kalau gitu," ajakku namun papa larang, ia pergi ke kamarnya, bibi datang menyuguhkan teh manis hangat.
Aku dan pak Rafli duduk berhadapan, terpisah meja tamu juga sofa. Aku duduki sofa single, sedangkan pak Rafli di sofa panjang.
"Saya minta kamu tutup mulut tentang kejadian di perpustakaan tadi."
Aku bersedekap, sengaja menyombongkan diri karena masalah dia dan Lian bisa membuat heboh satu kampus.
"Tutup mulut dari siapa kalau boleh tau." Nada bicaraku sengaja ketus. Biar pak Rafli tau jika bukan hanya dia yang bisa jutek.
"Semua orang," jawabnya dengan kepala tertunduk. Jemarinya saling menggenggam, terlihat wajahnya kalut. "Saya malas begini, minta tolong kamu karena saya tau kalau kamu pasti lihat hal ini kesempatan untuk kendalikan saya, ya, kan?" Lirikan matanya tajam, tetapi itu yang aku suka salah satunya selain semua yang ada pada dirinya.
"Nggak ada yang gratis di dunia ini, Pak." Senyum sinis kulempar ke arahnya. Biar saja, rasakan.
"Permintaan kamu apa?" Ia duduk tegak, kedua siku bertumpu pada kedua paha kekarnya yang tertutup celana bahan. Masih pakaian yang sama, ia belum pulang ke rumahnya, tapi ke mana? Apa ke tempat Lian.
Aku tersenyum lebar sembari menatap iris matanya yang berwarna coklat gelap. Alisnya tebal, rahang tegas dan bibir kemerahan padahal ia perokok.
"Jangan larang saya deketin, Pak Rafli. Saya tau Pak Rafli tidak akan suka sama saya, karena cinta ke Bu Lian, tapi ... ini cara supaya saya tutup mulut. Deal?" tantangku. Mau tau mau pria di hadapanku mengangguk sebagai jawabannya.
Kami sama-sama terdiam, tak tau mau membahas apa lagi hingga pak Rafli pamit pulang setelah meneguk teh manis hingga tandas.
"Saya pamit pulang. Maaf ganggu waktu kamu istirahat, Mor."
Saat ia menyebut namaku, seketika aku mengulum senyum saking senangnya. Aku berdiri karena pak Rafli berdiri lebih dulu. "Sampaikan ke Papa Mamamu saya pulang, maaf merepotkan."
Ia berjalan keluar dari ruang tamu rumah kedua orang tuaku. Aku menyusul di belakangnya. Tiba saat di jalan bebatuan menuju pintu pagar kecil, pak Rafli berbalik badan. Aku mendongak menatapnya yang memamg tubuhnya tinggi.
Parfume yang digunakan sepeti feromon bagiku, wanginya diproses otakku sebagai tanda ketertarikan seksual kepadanya.
"Maaf kalau nanti kamu semakin sakit hati karena apapun usaha kamu pasti saya--"
Aku menarik kerah kemejanya, ia menunduk. Bibir kami bertemu, perlahan kusesap begitu lembut. Pak Rafli tak membalas hingga aku memundurkan tubuhnya.
"Saya hapus jejak Bu Lian. Apalagi sebentar lagi dia jadi istri orang lain. Pak Rafli nggak mungkin nekat berhubungan di belakang suami Bu Lian, kan? Jadi ... saya yang menang kali ini." Aku mengerlingkan sebelah mata, tersenyum bahagia yang jujur aku rasakan dari dalam hati.
"Terserah. Jangan terlalu murahan di depan saya." Pak Rafli segera memutar tubuhnya, berjalan keluar pagar kecil menuju mobil miliknya.
Mobil pergi meninggalkan rumah, aku tersenyum. Sudah gila karena harga diriku terjun bebas hanya karena dosen killer itu. Tak mengapa, aku yakin suatu hari pak Rafli akan menjadi milikku.
***
Tidak ada jadwal kelas pak Rafli, tetapi aku tidak pulang cepat karena akan menemuinya di ruang dosen sekedar mengantarkan camilan sore karena sudah pukul tiga.
Ruang dosen sepi, tak ada orang tetapi sayup kudengar suara pak Rafli memarahi seseorang. Benar saja, mahasiswa senior yang sedang bimbingan skripsi dimaki habis-habisan juga dicoret-coret lembar materi skripsi entah bab berapa.
"Kalau nggak becus jangan ajukan judul ini. Harusnya kamu pahami dulu sejauh mana pengaruhnya. Bukan asal-asalan kamu ajukan dan serahkan ke saya! Ini baru bab satu ketikan kamu ngaco!" Pak Rafli benar marah, mahasiswa pria di depanku hanya mengangguk lantas membereskan kertas materi bab satu ke dalam map.
Buru-buru ia pamit pergi dari sana, aku yakin pasti mentalnya drop karena pak Rafli.
"Jangan galak-galak, Pak. Sefrustasi ini Bu Lian mau nikah Pak Rafli lampiaskan ke mahasiswanya?" Kuletakkan bungkusan berisi es kopi latte dan roti lapis ayam. Aku beli di kedai kopi sebelah kampus.
Ia hanya menatapku garang, tak mempan jika ia mau mengusirku. "Jangan nggak dimakan, ya, Pak." Aku tersenyum lebar lantas berjalan meninggalkan pak Rafli.
Aku memang akan pulang, saat hendak membuka pintu mobil. Aku melihat pak Rafli berlari ke arahku dengan tas kerja bertali terpasang di bahu kanan, tangan kirinya menenteng bungkusan coklat yang aku berikan.
Pak Rafli berhenti melangkah tak jauh dari arahku berdiri. Ia keluarkan ponsel lalu terlihat seperti mengetik pesan.
Ponselku bergetar, pesan masuk darinya kuterima ....
[Temui saya di ujung jalan, setelah belok kiri.]
Saat aku mendongak, pak Rafli sudah berjalan kaki keluar area kampus dengan tergesa-gesa. Sama halnya denganku, segera aku masuk ke dalam mobil, menghidupkan mesin lantas tancap gas.
Aku tiba lebih dulu, berhenti di tepi jalan menunggu pak Rafli yang berjalan semakin dekat ke arah aku memarkirkan mobil.
Pintu depan sebelah kiri terbuka, pak Rafli masuk lalu menutup pintu. Aku tersenyum menyapanya. Pak Rafli meletakkan bungkusan coklat di dekat kakinya.
Ia menarik wajahku dengan telapak tangannya yang besar. Dengan cepat mencium bibirku penuh nafsu.
Aku membalas tanpa ragu, bibir kami begitu erat berpagut, saling menarik lalu melepaskan sejenak untuk menghirup oksigen. Jemari pak Rafli membelai bibir bawahku yang basah juga merah karenanya.
Kedua mataku terpejam menikmati sentuhannya. Ia membelai rahangku, semakin terbuai lalu kurasakan bibirnya mengecup rahang hingga leherku.
Aku meremas rambutnya acak, menahan desiran hebat yang menyetrum seluruh tubuhku.
"Kamu akan menyesal karena sudah menyukaiku, Mor," bisikannya membuatku seketika membuka mata. "Semakin kamu nekat. Kamu akan semakin terluka. Saya jamin itu. Pilihan ada di kamu, mau menyerah sekarang atau bertahan tapi saya hancurkan harapan kamu perlahan."
Sejujurnya aku sakit hati mendengar ucapannya, namun jangan sebut aku Moreta jika menyerah dengan mudah.
Aku tersenyum saat kami kembali saling berpandangan. "Saya nggak akan nyerah. Sekalipun harga diri saya jatuh, terinjak karena menjadi gila bahkan murahan untuk Pak Rafli, bukan masalah. Saya tulus dengan apa yang saya rasakan. Pak Rafli hanya malu saat tau saya tergila-gila dengan Bapak, saya paham, kok. Apalagi Pak Rafli ada masalah, butuh pelampiasan, bukan? Jadikan saya tempat itu, jangan yang lain. Saya nggak akan mampu menenangkan hati saya lagi."
Kening pak Rafli mengkerut. "Kamu jual diri ke saya?" Ia lalu tertawa, tergelak kencang sambil bersandar pada jok yang diduduki.
"Pak Rafli yang bikin saya begini. Sekarang saya harus ke mana? Antar Pak Rafli pulang? Alamatnya di mana? Saya cuma tau Pak Rafli punya rumah di komplek Permata Indah, sama satu apartemen di resident hills."
Dengan tegas aku memintanya membuat keputusan. "Saya yang nyetir. Pindah kamu ke sini."
"Nggak mau. Saya aja. Mobil-mobil saya, kok Pak Rafli yang ngatur," kataku sewot. Pak Rafli diam, akhirnya pilihan ke apartemennya menjadi jawaban. Segera ku arahkan ke sana.
Sepanjang jalan kami tak banyak bicara, aku tak mau membahas hal perkuliahan, sudah lelah.
Ponselku berbunyi, kakak lelakiku menghubungi. Dengan pengeras suara di mobil yang terhubung ke bluetooth ponselku, ku jawab telepon kakakku dengan tenang.
"Dek di mana?"
"Di jalan. Kenapa, Mas?"
"Ke sanggar pengantin sekarang juga! Tinggal kamu belum fitting baju! Lusa aku nikah, jangan berulah, ya!"
"T-tapi, Mas, aku--"
"Buruan! Awas kalau sejam lagi nggak sampe, Mas marah sama kamu!"
Kakakku menyudahi sambungan telepon begitu saja. Aku menggigit bibirku, bingung sendiri.
"Kita ke sana. Saya bisa bilang kalau minta diantar kamu, saya akan jujur juga kalau dosen kamu."
Aku panik. Ku garuk pelipisku. "Masalahnya bukan itu, Pak," seruku bingung.
"Apa kalau gitu?"
Ada rasa ragu, takut, akan respon darinya.
"Apa, Mor." tegas pak Rafli.
"Aduh ... tapi Pak Rafli jangan marah ya. Jadi saya ... pagi tadi waktu Mama Papa tanya alasan utama Pak Rafli semalam ke rumah itu apa. Saya jawab kalau ... Pak Rafli, pacar saya."
Sungguh jantungku berdebar tak karuan. Raut wajah pak Rafli tegang, ia diam tak bicara apapun bahkan sampai kami tiba di lokasi sanggar pengantin.
Di sana ada mama papa, kakakku dan calon istrinya. Aku menyapa ramah, juga memperkenalkan pak Rafli sebagai pacarku. Sambutan keluarga intiku senang, apalagi papa yang memang sejak awal bilang jika sosok dosen killer disampingku memantu idaman.
Pak Rafli memainkan perannya dengan baik. Ia berbaur santai, justru aku yang salah tingkah. Tiba saat aku memakai kebaya di ruang ganti, begitu cantik diriku. Bagaimana jika suatu hari aku memakai kebaya pernikahan dan pak Rafli lah suamiku.
Membayangkannya membuatku tersenyum sendiri. Tirai kamar ganti terbuka dan tertutup cepat. Pak Rafli masuk, tatapan kami bertemu.
"Kamu yang memulai, menyeret saya masuk ke dalamnya. Jangan salahkan saya kalau sampai terjadi sesuatu diluar kendali saya, Mor."
Dengan jantung berdebar hebat. Aku paham maksudnya. Kuputar tubuh perlahan supaya berdiri menghadapnya.
"Itu resiko saya, dan saya ... siap," kataku pelan tapi tegas.
bersambung,
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
