
"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"
Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.
Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.
Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...
Hello, KKN! | [29. Anggota Baru Xixixi]

Haiii. 🌼
Kemarin aku bikin Additional Part 28 di Karyakarsa lhooo. Udah pada bacaaa??? 😋 Yang belum baca buruan giiihhh. Kita senyum bareeeng. Salting terooosss liat Kama shirtless

Seneng nggak bisa ketemu Kama-Gege lagiii? XD
Mau spam emot apa nih untuk part-part yang manis ke depannya? 🌼🌼🌼
Jangan lupa vote ya, jangan lupa komeeen yang ramaiii karena pasti kubacaiiin Dan jangan lupa bakar lapaknyaaa. Mana apinya manaaa? 🔥🔥🔥
***
“Ini namanya Aa Yesa, Arkayesa Pilar,” ujar Cleona, menjelaskan pada Neng Marisa, anak Bu Bidan Eti yang mengantarkan setampah sayuran ke posko diantar oleh ojek motor. “Neng Marisa suka Aa Yesa?”
Neng Marisa, gadis berusia delapan belas tahun itu mengangguk. Tersenyum malu-malu saat keenam perempuan di depannya memperhatikan. “Memangnya Aa Yesa belum punya pacar?” tanyanya.
“Belum,” jawab Cleona, bersemangat sekali cocok sekali jika Gege merekrutnya untuk menjadi tim marketing dalam mengiklankan Yesa.
“Kalau Aa Kama?” tanya Neng Marisa. Sesekali dia akan bercermin, membenarkan poni yang keluar dari kerudungnya, lalu memeriksa liptint yang berkilauan di bibirnya.
“Aa Kama udah, udah punya pacar dia. Malah, dia jugasuka sama cewek satu kelompok KKN-nya di sini.” Cleona melirik Gege. “Ih, jangan mau sama Aa Kama, dia mah banyak modusnya! Mending sama Aa Yesa aja udah paling bener!” Cleona kembali menunjuk foto di ponselnya, memperbesar wajah Yesa agar tampak lebih jelas.
Neng Marisa, dengan kerudung instan hitam, rambutkeluar di kening, bedak putih dan bibir berkilau merah itu, menarikkcardigan berwarna merah muda bermotif pisangyang dikenakannya. Lututnya ditekuk, dan dia menyembunyikan wajah di sana, di balik kain celana denim yang dikenakan. “Tapi Aa Yesa mau nggak ya sama aku?” tanyanya malu-malu.
Dan hal itu membuat Gege dan yang lainnya tertawa, menyaksikan bagaimana Neng Marisa kini tampak salah tingkah.
“Takut iiihhh. Takut Aa Yesa nolak.” Masih dengan raut wajahnya yang malu-malu. “Soalnya kata Mama, Mama mintanya Aa Kama yang jadi calon Neng, Aa Kama udah setuju.”
Hah?
Keiya pura-pura bicara serius. “Sebenarnya pilihan ini kita serahkan ke Neng Marisa ya, tapi menurut kami sih, kalaunggak Aa Yesa ya Aa Javin. Pilih aja tuh mau yang mana.” Keiya menunjuk foto di ponsel Cleona.
Neng Marisa tampak berpikir selama beberapa saat, lalu, “Ya udah deh, Aa Yesa aja.” Dia menangkup bibirnya dengan malu-malu. “Tapi Teh Ona, aku boleh minta foto Aa Yesanyanggak?”
“IH! BOLEH BANGET DONG!” Cleona segera bertukar nomor ponsel dengan Neng Marisa dan mengirimkan foto-foto KKN yang Neng Marisa mau. Setelahnya, dia menoleh pada Gege. “Makasih dong sama gue, Ge! Gue bantuin dagangan lo sold out nih!”
Mendengarnya, Gege hanya tertawa. Tidak bisa dibayangkan saat nanti Tante Jena melihat calon menantu yang mengenakan liptint sashimi di bibirnya sampai meluber-luber ke gigi itu. Gege meraih tisu, memberikannya pada Neng Marisa. “Neng, itu di gigi bersihin dulu liptint-nya. Kan, mau ketemu Aa Yesa.”
“Oh, iya. Makasih Teh Gege.”
Tidak lama kemudian, para laki-laki yang begitu antusias dengan kedatangan Neng Marisa itu satu per satu datang keposko. Deru motor masing-masing yang mereka kendaraiterdengar. Pertama Yesa, disusul Javindra, lalu Jenggala.
Sakala masih berada di kota menggantikan Kama untuk mengantar Pak Kades. Zale dan Rajata tertidur di ruang tengah karena kelelahan setelah mengantar Juana dan Samira pergi. Gesang masih keliling di Welasasih. Sementara Kama dan Yash dipanggil ke balai desa untuk dimintai keteranganterkait kejadian pemukulan kemarin malam.
“Itu yang namanya Yesa!” Cleona paling antusias. Menunjuk ke arah Yesa yang baru tiba.
Sementara Neng Marisa malah membalikan badan dan bilang, “Ih, ih, malu atuh Teteh ih. Jangan ditunjuk-tunjukgitu!”
Ketiga laki-laki yang terlihat paling bersemangat atas kedatangan Marisa itu, kini turun dari motor dan menghampiri beranda. “Mana Neng Marisa?” tanya Yesa, dia yang paling depan melangkah ke beranda. “Udah balik?”
Gege menunjuk gadis berkerudung hitam dan kardigan merah muda yang duduk membelakangi halaman rumah. “Ini—Neng, Aa Yesa mau kenalan tuh.”
Neng Marisa berbalik, dan ketiga laki-laki yang tadi berjalan menghampiri beranda itu kini terkejut dan sedikit berjengit mundur. Ketiganya kini, bahkan saling merapat dan saling berpegangan tangan, wajahnya memaksakan seulas senyum yang malah menyerupai ringisan kecil.
“H-halo, Neng?” sapa Javindra. Tangannya terangkatragu-ragu, melambai kecil.
“Ih, malu ah kenalannya nanti aja!” Neng Marisa menjerit seraya buru-buru turun dari teras. Setelah menjinjing sandal, dia bergerak berlari menghampiri ojek motor yang sejak tadimenunggunya. Namun, sebelum dia menaiki motor, dia sempat berbalik dan menatap tiga wajah laki-laki yang masih tampak syok itu. “Aa Yesa! Nanti Neng main lagi ya! Kenalannya bersambung!” Suaranya melengking. Dengan nada Sunda yang khas sekali.
Yesa yang dipanggil mengangguk kecil. Ringisan di wajahnya makin terlihat jelas. Daripada terlihat seperti tengah tersenyum, dia malah terlihat seperti orang yang tengah menahan buang air besar.
Lalu, setelah Neng Marisa benar-benar pergi, dia menoleh cepat pada Cleona. “ONA!” bentaknya. “LO TUH, BANGS—“ Dia mengejar Cleona yang kini bangkit dari beranda dan berlari ke arah dapur sambil menjerit. “DIEM NGGAK LO DI SITU, CLEONA!” teriak Yesa, entah apa yang dia lakukan pada Cleona setelahnya untuk membalas dendam karena Yesa kini sudah mengejarnya ke dapur.
Tidak lama, Cleona bergerak keluar dengan Yesa yang masih mengejarnya di dapir. Orang-orang yang duduk di beranda hanya tertawa-tawa melihat aksi kejar-kejaran yang kini sudah terjadi di luar posko.
Lihat, suasana posko saat sore hari, dengan tawa dan teriakan Cleona yang sesekali terdengar karena Yesa yang berhasil menarik kaus atau lengannya. Mereka kini, hanyaduduk di beranda untuk menyambut satu per satu anggotaKKN yang telah kembali dari segala urusan masing-masing.
Gesang sudah bergerak memasuki halaman posko dengan motornya. Lalu menyimpan helm di atas dengkul dan bertahan duduk di atas motor sambil mengotak-atik ponsel. Mungkin memberi kabar pada kekasih barunya yang belum sempat dia ceritakan itu.
Sedangkan kini, perhatian Gege teralihkan pada Sabineyang mendengkus kencang, duduk di beranda dengan duatangannya ke belakang menopang berat tubuhnya. “Gue sekarang ngerti gimana pusingnya jadi Samira dan Jua yang tiap hari harus nentuin menu makan, pantesan aja tempe selaluada. Karena memang bener, di Mamang Sayur tuh bahannya itu-itu doang.”
Saat Samira dan Juana pergi pagi-pagi sekali, Sabine berlari ke arah mobil tukang sayur yang parkir di seberang jembatan. Suaranya terdengar, seperti biasa, “Neng Jua, Neng Miwaaa, sayuuur.” Namun, yang datang malah Neng Sabine karena dia kembali bilang bahwa dia sanggup menggantikan.
“Ya kaaan, itu lah jawabannya kenapa gue suka pengen nelen orang kalau ada yang protes tentang makanan di posko!” Juana angkat bicara. Dia melepaskan napas kasar. “Masak mah tinggal cemplang-cemplong doang. Yang capektuh belanja, mikirin menu, sama prepare.”
“Mana di posko anak-anak cowoknya picky eater banget gue lihat-lihat.” Sabine mencebik, menatap para laki-laki yang masih duduk-duduk di atas rumput, di halaman, kecuali Yesa, dia masih berusaha membalas dendam pada Cleona dengan mengambil satu sandalnya dan berusaha melemparkannya ke atas pohon.
“Picky eater gimana?” tanya Juana. “Setahu gue, gampang-gampang aja mereka makan. Malah kayak kuli semua deh. Bahkan gue berkali-kali suka bilangin, kalauambil lauk ingat yang lain—yang belum makan.”
Sabine melepaskan lagi napas kasar. “Apa karena gue yang masak? Mereka jadi sungkan?” gumamnya. Belum sempat pertanyaan itu dijawab, dia sudah memanggil Javindra. “Vin? Hari ini mau makan apa?”
Javindra sudah merebahkan tubuhnya di atas rumput dengan posisi terlentang dan dua lengan menjadi alas kepala. Dia menyahut. “Memangmya sekarang menunya tai apa, Sayang?”
“Ish, masih ada dibahas!” Sabine menggerutu. “Masalah ampela ayam gue kan nggak sengaja, gue nggak tahu kalau ampela tuh tempat kotoran ayam—“
Jenggala yang sedari tadi berbaring di sisi Javindra, kini bangkit, duduk. Dia mengusap kasar wajahnya. “Stop, Bine. Gue tiap kali ingat tuh kejadian, trauma banget.”
“Tainya ... lumeeer di mulut,” seru Javindra yang membuat Jenggala memukul kakinya dengan kepalan tangan sambil mengumpat.
“Gue janji deh nggak akan masak ayam lagi.” Sabine cemberut.
“Lho, nggak apa-apa, Bine. Kapan lagi kita makan ayam sekandang-kandangnya dan makan kangkung sepohon-pohonnya?” ujar Gesang. “Pengalaman baru lho.”
“Pengalaman baru, sampai pas gue kelolodan malaikat bingung sama tuh kangkung,” tambah Javindra.
Yesa bergabung dengan yang lainnya di beranda setelah Cleona menyatakan diri untuk menyerah dan Kalah. Yesa dan Cleona sudah berdamai, tapi Cleona sesekali masih tertawa. Kemudian, ada Zale dan Rajata yang baru bangun danbergabung di beranda.
“Lagian hari ini gue kan masak menu lain—tuh.” Sabine menunjuk ke belakang, ke dalam posko. “Gue masak nasi goreng walupun benyek-benyek gitu. Karena gue belum tahutakeran airnya segimana.”
“Sabine .... Nasi goreng nggak pakai air,” ujar Samira.
“Lho? Memangnya iya?” Sabine sepertinya benar-benar tidak tahu.
Samira segera bangkit dari tempat duduknya dan bergerak ke dapur, mungkin hendak memastikan.
“Kalau lo mau bikin bubur, baru pakai air ....” Gege menambahkan. “Nasih goreng tuh nggak usah pakai air, Bine.” Setelahnya, dia mendongak karena Samira baru saja kembali dengan sewadah nasi goreng buatan Sabine.
Bisa-bisanya nasi gorengnya lengket begitu saat diangkat oleh sendok. Bahkan semua sayuran di dalamnya sudah menyatu dan nyaris hancur.
“Tapi tadi Yash sama Kama makan kok .... Dan mereka nggak komen apa-apa?” Sabine keheranan sendiri.
“Mereka ngiranya itu bubur kali,” ujar Rajata sambil terkantuk-kantuk. “Karena itu memang lebih mirip bubur daripada nasi goreng.”
“Kata gue mah kasih Mina aja itu .... Mirip MPASI tinggal cemplungin wortel, kentang sama daging ayam.” Yesa memberi saran.
“Tapi kayaknya ini memang nasinya yang dari awal udahbenyek sih,” ujar Juana sambil mengaduk nasi goreng—eh, bubur itu. “Ini siapa yang masak nasi?”
“Gue.” Sabine dengan percaya diri mengakui.
“Lo kasih air segimana?” tanya Keiya sambil meringis.
“Se ... sesuka hati gue aja.” Sabine mengangkat bahu. “Gue kira-kira doang tadi.”
“Pakai teori satu banding dua, Bine.” Samira selalu menjadi yang paling sabar.
“Itu juga satu banding dua Miw,” ujar Javindra. “Nasinya satu gelas, airnya dua galon.”
“Nggak, ya!” bentak Sabine.
Zale yang masih terkantuk-kantuk menghampiri Juana, meraih mangkuk nasi goreng itu. “Nggak apa-apa, initerobosan baru, Sayang. Namanya bubur goreng.”
Sabine mencebik sambil merebut mangkuk nasi goreng itudari tangan Zale.
“Udah. Nggak apa-apa, nanti dicoba lagi. Sampai ada orang yang bisa makan makanan lo dengan hati ikhlas,” ujarJenggala sambil memegangi dadanya.
“Sabineee, Sayaaang!” Cleona berteriak dari dalam posko. “Laporan logistik udah lo kerjain?” tanyanya.
“Iya, ini mauuu.” Sabine mencebik. “Mau gue kerjain!”
“Ayo dong, kan perjanjiannya kita tukeran tugas. Gue ngerjain laporan humas, lo logistik. Jangan dadakan, nantiribet!” Cleona berteriak lagi.
“Iya ...,” sahut Sabine, lemas. “Padahal gue udah semangat banget tahu masak hari ini.” Kembali prengat-prengut khas Sabine.
“Gua tahu kok,” sahut Gege. “Makasih ya udah bantu buat masak di posko.” Gege ingat bagaimana hari ini Sabine bangun lebih pagi dan berlari ke arah Mamang Sayur yang berseru di seberang jembatan.
Sabine mendongak, dia mengalihkan tatap dari mangkuk nasi gorengnya. Lalu memandangi dua laki-laki yang kinibaru saja tiba dan bergerak ke arah posko, pada Kama dan Yash yang berjalan melewati jembatan sambil mengobroldengan serius. “Tapi gue seneng sih ... seenggaknya ada yang mau makan masakan gue tanpa prote,” ujar Sabine lagi.
Gege mengikuti arah pandang Sabine. Pada Kama danYash yang masih tampak mengobrol. Dua laki-laki itu berjalan, menghampiri beranda dan membuka alas kaki. Masih saling bicara, Kama berkata, “Sekitar dua hari gue di sana, nanti balik lagi untuk urus yang lain.” Lalu, sebelum berlalu menaiki teras beranda, tangan Kama menyentuh sisi wajah Gege. Ibu jarinya mengusap tahi lalat di pipinya sambil lalu yanpa menyadari Yesa yang menatap tajam dari kejauhan. “Lo urus di sini sementara gue nggak ada,” lanjut Kama pada Yash.
Yash mengangguk. “Oke.”
Setelahnya percakapan Kama dan Yash tidak terdengar lagi seiring langkah mereka berlalu memasuki posko. Sementara itu, Sabine menoleh pada Gege, matanya berbinar-binar. “Ge ...” Lalu, wajahnya mendekat, dia berbisik. “Kayaknya, mulai hari ini ... tipe cowok gue yang pakaikacamata deh ....”
***
“Gue lupa lo nitip face wash merek apaan,” ujar Sakala. Dia tidak mencoba membela diri saat teman-temannya melongo penuh penghakiman saat melihat satu kantung plastik penuh diisi oleh berbagai merek face wash.
Gesang yang masih syok, mencoba mencari merek face wash yang dia sebutkan sebelum Sakala berangkat tadi di dalam kantung plastik itu. “Astaga, Sak .... Nggak sekalian lo beli sama minimarketnya ini?”
“Lho, iya, gue juga berpikir begitu. Kenapa nggak gue buka minimarket di sini aja?” ujar Sakala sambil melihat kearah luar jendela. “Kan, belum ada tuh di sini. Kasihan juga warga Welasasih, cuma mau ke mini market doang harus jauh-jauh ke kota.” Ide konyol Gesang malah diseriusin.
“Kapok gua ...,” gumam Gesang.
“Salah orang lo, Ges. Lain kali nggak usah titip apa-apa ke Sakala,” ujar Javindra, melongokkan wajah ke arah tas belanjaan. “Terus gimana tuh, cara lo bayar semuanya?”
“Sakalapaylater lah anjir, ngapain gue beli segini banyak face wash? Berbagai merek juga.” Gesang mendorong kantung plastik itu menjauh.
Sementara, Sakala yang baru saja mengambil air putih dari dapur, kini mengibaskan tangan. “Nggak usah dibayar, dibagiin aja.”
Lihat kan kelakuannya?
Mari kita tinggalkan kehebohan di posko dan mengikuti langkah Kama serta Yesa yang kini bergerak ke lorong di samping posko. Rencananya, Yesa akan membantu Kama mencukur rambutnya, tapi yang terjadi, di sana mereka malahterus berdebat. Tentang banyak hal.
“Gue lihat ya waktu Lo elus-elus pipi Gege di teras tadi,” ujar Yesa penuh peringatan.
“Elus? Pegang doang.”
“Ya sama aja!” Yesa selalu tidak santai. “Jangan gitu lah cara mainnya, lo kalau mau main-main tuh yang bersih. Jangan nyuruh gue nyapuin kelakuan lo mulu.”
“Kan, biar lo kerja.” Kama tahu, Yesa benci sekali dengan ucapannya.
Ponsel Yesa kembali berdering, dan Yesa mendengkus karena nama itu berkali-kali muncul. Kama baru sajamelepaskan tawa sementara Yesa hanya berdecak serayamematikan dering ponselnya. Ponsel Yesa sejak tadi tidakberhenti berdering memang, memunculkan nama NengMarisa Nila Rosa Nirmalasari yang terus memberikan notifikasi. Entah itu menelepon atau mengirimkan pesan.
“Angkat dong,” ujar Kama. Tubuhnya bersandar ke dinding kayu posko, dua tangannya dia masukkan ke saku celana.
“Eh, monyet.” Yesa selalu tidak santai saat bicara denganKama, dia bahkan meninggalkan bangku kayunya yang semula dia duduki. “Ini tuh gara-gara lo ya, gue ngelakuin ini demi menjaga perasaan Gege. Bikin Neng Marisa beralih ke gue, itu rencana gue juga.”
Kama mengangguk, giliran dia yang duduk di bangku kayu itu sekarang. “Bangga banget kayaknya lo dipilih sama Neng Marisa.”
Yesa berdecak saat ponselnya berdering lagi. “Ini beneran Icha Marpuah di dunia nyata dengan liptint sashimi-nya, kah?” tanyanya. “Soalnya, dia juga pengen dipanggil Icha.”
“Lumayan lah, Yes. Jalanin dulu.”
Mendengar saran itu, Yesa marah. “Lo pasti seneng nih gue diribetin begini, karena kelakuan licin lo nggak bisa guepantau terus-terusan—berisik, sumpah.” Yesa menatap geram ponselnya.
“Oke, balik ke pembahasan sebelumnya. Jadi gimana? Lo udah dapat info tentang Axel dan Gege di depan posko tempo hari?” tanya Kama.
Yesa mematikan daya baterai ponselnya agar tidak terus-terusan berdering. Lalu, mendengkus. “Lo tuh ... nggak maubanget berusaha sendiri?”
“Berusaha gimana?” tanya Kama. “Lo kan ada di sini buat kerja, kerja lah yang bener .... Cari info, cari tahu, bantuin gue.”
“Lo tinggal tanya. ‘Ge, lo dicium sama Axel di depan posko?’ gitu,” ujar Yesa. “Lagian, menurut gue ya, saat lo lihat Axel berusaha cium Gege saat itu, lo coba gagalin lah, pura-pura siul kek, batuk-batuk kek. Samperin kek. Usaha. Tolol banget, nggak tahu cara bekerja di saat kondisi begitu.”
“Bekerja? Lho, itu kan bagian lo.”
“Sialan.” Yesa menggerutu.
“Jadi gimana?” tanya Kama. “Ciuman nggak?” Kenapa ini menjadi penting sekali? Dan dia ingin tahu sekali?
Jika memang benar demikian, Kama akan berusaha melakukan yang terbaik agar Gege melupakan sensasi ciuman dari laki-laki lain. Jika memang tidak, Kama cukup berbangga diri karena dia satu-satunya.
“Awalnya gue mau tahan-tahan informasi ini, biar lo kepanasan.” Yesa melipat lengan di dada. “Tapi eneg juga gue lihat lo marah-marah terus,” ujarnya.
“Jadi?”
“Nggak. Mereka nggak ciuman.”
Kama menyunggingkan senyum kecil.
“Seneng banget lo, gue lihat-lihat.” Telunjuk Yesa mengacung, penuh peringatan. “Tapi bukan berarti lo bisa gas Gege sesuka lo ya. Lo urus dulu Laika, cewek yang lo bawa ke hubungan kalian itu.”
“Habis itu, boleh gue gas?”
“NGGAK!” Yesa mengusap kasar wajahnya. “Jangan main gas-gas aja, lo pikirin gue lah dikit .... Minimal sampainanti lo nikahin dia, sampai Land Cruiser di tangan, terserahtuh lo mau tebolak-tebalikin Gege gue nggak perduliiiii.”
Lalu, “YESAAA!” Itu suara teriakan Cleona. “Pindadinsampah ke pinggir jalan Yes, mau diangkut Mang Sunar!”
“Iye!” Yesa menyahut dengan suara tidak santai. Lalu, diabergerak meninggalkan Kama begitu saja di lorong itu. Dia menaruh gunting dan sisir yang tadi dibawanya di atas pangkuan Kama. “Sebentar, sebelum gue dijambak Cleona.”
Kini hanya Kama yang duduk sendirian di sana. Waktuberanjak sore. Kali ini, tidak ada rokok lagi di sakunya. Dia kehilangan keinginannya untuk merokok. Dia hanya duduk di sana sambil mengotak-atik layar ponsel, melihat beberapajanjinya dengan pihak HKI yang telah dia buat di Jakarta. Mungkin untuk beberapa hari ke depan, dia akan membereskan urusan di Jakarta. Urusan mengenai KKN-nya, juga urusan lain yang dia anggap penting untuk diselesaikan. Dia akan meninggalkan Welasasih selama beberapa waktu.
“Ka?” Suara itu membuat Kama menoleh, melihat Gege yang muncul dari balik pintu belakang dapur, lalu bergerak mendekat ke arahnya. Gadis itu tersenyum canggung. Rambut yang biasanya dibiarkan terurai kini dia ikat asal. Dia baru selesai mandi tampaknya, mengenakan kaus dan celana kain yang berwarna senada. “Gue nyariin juga ....”
Tangan Kama terulur, meminta Gege terus mendekat. Saat berada dalam jangkauan, jemarinya mengait kelingking gadis itu. “Kenapa?” Akhir-akhir ini, Kama senang sekali menatap wajahnya saat dia bicara.
“Gue udah telepon Mia. Sesuai yang lo minta, gue bilang kalau kemarin lo jatuh dari motor,” ujar gadis itu. “Mia panik banget sih, tapi udah gue tenangin. Gue bilang lo nggak apa-apa.”
Kama mengangguk. “Thanks, ya.” Sebenarnya, Kama sudah melakukannya tadi pagi, meneleponnya dan berbohong tentang luka di wajahnya, tapi Mia akan lebih percaya jikamendengar penjelasan itu dari Gege.
“Lo nyuruh gue bohong,” ujar Gege, suaranya sedikit mengeluh.
“Sori ya.” Kama masih duduk di bangku kayu itu. “Tapi kalau nggak gini, seandainya Mia tahu kejadian sebenarnya ..., lo tahu kan bakal sereaktif apa kedua orangtua gue? Bakal ramai banget Welasasih seandainya mereka tahu anaknyadisekap dan dipukulin sampai babak belur begini.”
Gege melepaskan napas berat. “Gimana seandainya kalau mereka tetap tahu, Ka?”
Kama meraih tangan Gege, menggenggamnya. “Nggak akan tahu. Gue jamin mereka nggak akan tahu.”
Gege melepaskan napas berat, lalu bergerak lebih dekat kearah Kama yang masih duduk di bangku kayu itu. Tangansatunya terulur, memeriksa rahang dan pipinya yang lebam. “Udah baikan sih. Jangan lupa ganti kain kasanya nantimalam sebelum tidur.”
“Lo mau bantuin lagi?” Saat bertanya demikian, Kama melihat wajah Gege bersemu merah. Lucu sekali. Pasti dia membayangkan apa yang telah mereka lakukan hari ini di balik alasan mengganti kain kasa di punggungnya. “Mau nggak?” [Additional Part 28]
Gege tidak menjawab pertanyaan Kama, dia masih memperhatikan wajah Kama dengan kepala meneleng. “Gue harap Mia nggak curiga deh sama luka-luka lo ini,” ujarnya. “Berapa lama lo di Jakarta nanti?” tanya Gege.
“Mungkin dua hari.”
“Sampai urusan di HKI selesai?”
Kama menggeleng. “Nggak. Gue cuma mengajukan aja kok nanti, selama nunggu logo desa dan Teh Lilih legal, gue balik ke sini. Karena ... kayaknya bakal lumayan makan waktu. Mungkin ada orang suruhan Pia yang nanti ditugaskan ngurus semuanya di sana.”
“Oh ....” Gege mengangguk-angguk. Entah kenapa, adasuara yang terdengar belum tuntas keluar dari bibirnya. Dia seperti cemas akan sesuatu.
Jadi, Kama kembali bicara. “Gue langsung balik kok setelah semua urusan selesai.” Namun, penjelasannya tidak membuat mata Gege terlihat lega.
Apakah ini ada hubungannya dengan Laika?
Namun, ya, tentu saja, Kama akan menyelesaikan masalahnya selama di Jakarta. Termasuk bertemu denganLaika. Namun, sepertinya dia tidak harus bicara pada Gegetentang rencana ini karena ... apa pun yang berhubungandengan Laika, tidak pernah membuat keadaan di antarakeduanya baik-baik saja.
Kama mengacungkan gunting dan sisir di tangannya. “Yesa tadinya mau bantu gue potong rambut, tapi malah pergi, katanya disuruh Cleona buang sampah,” ujar Kama. “Lo bisa kan cuma papas dikit sampingnya aja? Gue males bangetharus dengar ceramah Mia kalau pulang dan tahu gue belum potong rambut.”
Gege menilik samping wajah Kama. “Bisa sih kalau cuma papas sampingnya doang.”
“Ya udah, tolong dong ....” Kama menyerahkan keduabenda di tangannyam
Dan Gege menerimanya, lalu mulai mencoba menyisir rambut Kama. “Cuma dipapas ini aja? Atau sampai ke belakang juga?”
“Bebas aja, bagusnya gimana.”
“Tapi kalau untuk keseluruhan gue nggak bisa lho ya.” Gege masih menyisir rambut Kama. “Paling papas sedikit di sini, sama di sini.”
“Iya.”
Gege mulai menggerakkan guntingnya. “Sekalian papas dikit otak lo boleh nih kayaknya,” gumam Gege. Dia sudah berhasil memapas sedikit rambut Kama. Menyisirnya. “Biaragak beneran dikit.”
Kama tertawa. “Lho, otak gue isinya lo semua akhir-akhirini.”
“Halah ....” Gege memukul pundak laki-laki itu. Lalu memapas lagi rambutnya di bagian lain. “Lo tahu nggak sih, tadi Neng Marisa datang buat ketemu lo karena Bu Bidan Eti yang nyuruh?”
“Iya, tahu. Katanya kan memang sering datang, cuma kebetulan aja gue nggak ada di posko.”
“Dia juga bilang lho ... katanya lo udah setuju sama Bu Eti buat dijodohin sama anaknya.”
Kama tertawa. “Nggak lah .... Kapan gue bilang setuju?” tanyanya. “Kalau tiap kali diajak main ke rumahnya, terus gue nyahut, ‘Boleh kapan-kapan.’ Itu gue ngaku, memang iya. Biar soapn aja, nggak mungkin langsung nolak dan bilang nggak mau.”
“Mm .... Gue pikir semua ibu-ibu di Welasasih yang ngajakin ke rumah, lo iya-in juga?”
“Mana ada ...?” gumamnya. “Lagian, yang minta gue jadi menantunya tuh nggak ada seujung jari Ibu-ibu yang tiap pagi datang ke posko buat rayu lo jadi menantunya. Lo nggak minat sama juragan ikan itu?”
“Lo mau nganterin gue ke rumahnya?” tantang Gege.
“Gue sih ayo aja. Kalau lo mau.”
Gege mencebik, menghentikan gerakan memotong rambut Kama. Hal itu membuat Kama tertawa dan menarik pinggangGege mendekat, hingga dagunya menabrak perut ramping itukarena kini Kama menengadahkan wajah.
Bertepatan dengan itu, ponsel Gege yang berada tadi diasimpan di sisi bangku Kama menyala. Nama Axel muncul di sana.
Gege hendak bergerak meraih ponselnya, tapi kelihatan canggung. Berakhir, Gege memutuskan untuk mengabaikannya. Gege mematikan suara ponsel, lalu mengubah posisi ponsel menjadi menelungkup. Tidak lama, ponselnya kembali bergetar.
“Angkat aja,” ujar Kama.
“Nanti aja,” balas Gege.
“Angkat aja, nggak apa-apa.” Kama masih menatap ke arah ponsel yang bergetar-getar itu. “Serius angkat aja.”
“Serius?” Tangan Gege berhenti bergerak di rambutnya. “Gue memang ada urusan sama Axel terkait kegiatan sosial di klinik sih. Tapi ... bisa nanti kok ....”
“Lho, itu penting ....” Kama membuat wajahnya terlihat cemas, sedikit berlebihan memang. “Angkat aja .... Lagian gue nggak kenapa-kenapa.” Wajah Kama masih mendongak, karena Gege masih berdiri di hadapannya dengan jarak yang begitu dekat.
Kama tidak merasa Axel adalah saingannya tentu saja. Karena Axel baru berhasil mengusap kepala Gege sementara dia sudah berhasil mencium gadis itu berkali-kali, kan?
Sombong sekali.
Wajah Kama masih mendongak, menatap mata Gege yang kini masih tampak bimbang. Sementara itu, dua lengan Kama sudah melingkar di pinggangnya, menarik tubuh Gege agar berdiri lebih dekat. Masuk di antara dua kaki Kama yang terbuka. Sementara itu, dua tangan Gege menahan pundaknya, seolah-olah tengah waspada pada gerakan Kama selanjutnya
“Nanti aja deh, gue angkat teleponnya,” ujar Gege. Kali ini, dia mencoba mendorong pundak Kama agar pelukan di pinggangnya terlepas. “Ini—lo mundur dulu, gue belumselesai motong samping—“
Suara Gege terhenti karena Kama sudah lebih dulu mendekatkan wajah ke perut rampingnya. Kama mendaratkan satu ciuman singkat di sana, bergerak ke samping, dia berhasil mendaratkan satu kecupan singkat di lengan gadis itu. Wajahnya kembali mendongak. Dia bawa jemari Gege ke wajahnya, dia ciumi jemari itu. Tangannya terulur, meraih satu sisi wajah Gege. Mengusap tahi lalat di pipinya. “Gue udah bilang berapa kali kalau ... gue suka ini?” tanyanya.
Lalu, sesaat sebelum Kama kembali mendaratkan ciumannya di lengan Gege, sebuah bayangan di lorongmuncul, membuat wajah Gege menoleh, gerakan Kama terhenti, arah pandangnya mengikuti ke mana Gege menatapsekarang. Gege tampak terkejut, tapi Kama lebih pandai mengendalikan diri tentu saja. “Vin?” Kama perlahanmelepaskan rengkuhannya di wajah Gege, tapi tangan yang lain masih memeluk pinggangnya. “Mau nyebat?”
***
Mengxixixi Kama
Arkayesa Pilar
Bener-bener lo Kama.
Lo ngapain Gege sih sampai bisa kebongkar depan Javin begini ha?!
Arkayesa Pilar Added Javindra Madana.
***
Lorong bukan sembarang lorong. Wkwkkwk Nambah nih anggota baru Xixixi. 😂😂😂
Kebayang nggak gimana Javin bakal bertingkah? 😭😭😭 SING SABAR WE YESAAA. WKWWK.
MAU KASIH API GAAA??? SEMOGA BISA UP CEPET GITUUU KARENA AKU MASIH AGAK HECTIC 😋TAPI KALAU DIKASIH API YANG BANYAK BISA DIPERTIMBANGKAN LAH 😋🔥🔥🔥🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
