
Temans, baca yuk, cerita keren dari teman saya DLista βJodohku Pak Dokter (Terjebak Cinta Dokter Sombong)"
Akhir-akhir ini aku merasa nyeri perut bagian ulu hati.
Gejalanya mual muntah mirip morning sicknessnya ibu hamil.
Hwaa, apa jangan-jangan aku hamil.
πππ
Yang mau baca langsung full part, klik.
ππ
JODOHKU PAK DOKTER
(Terjebak Cinta Dokter Sombong)
Karya: DLista
BLURB
Boleh nggak ya nyelip di samping mobil mewah itu? Tanpa pikir panjang aku segera memarkir motor karena memang tidak ada tukang parkir yang berjarak dekat denganku. Beberapa mereka sibuk di ujung sana.
"Hai, tunggu! Jangan parkir sembarangan!"
Baru kaki ini melangkah, sudah terdengar suara bariton lantang nan tegas.
Aku takut menoleh, barangkali orangnya ganteng plus seorang dokter. Oh malunya aku ketahuan parkir sembarangan.
Gimana dengan nasibku?
Ikuti kisahnya, yuk! Semoga bermanfaat dan menghibur.
πππ
Eps 1 Loket
Pov Kinara
Pagi itu bu Romlah ibu kos memaksa mengantarku ke rumah sakit terdekat untuk periksa.
Akhir-akhir ini aku merasa nyeri perut bagian ulu hati. Apa mungkin penyakit lamaku kambuh?
Sepertinya aku ragu karena sudah lama sekali penyakit itu tidak menghampiriku.
Gejalanya mual muntah mirip morning sicknessnya ibu hamil.
Hwaa, apa jangan-jangan aku hamil. Ishh, malah pikiranku berkelana yang enggak-enggak.
Aku sungguh takut, mana nggak pernah dekat sama lawan jenis. Apalagi pegangan tangan takut nyetrum.
"Bu, nggak jadi aja ya. Aku takut bu," rengekku pada bu kos.
"Lha kenapa tho nduk? Kamu mau sakitmu jadi parah? Nanti ibu bilang apa sama orang tuamu."
"Tapi Bu, nanti kalau aku dikira hamil gimana?"
"Lha memang kamu hamil sama siapa? Sama kucing? Dah nggak usah aneh-aneh. Ayo berangkat, ini ibu sudah dapat surat rujukan dibantu Pak RT."
Wah, Pak RT lingkungan kos memang baik hati rajin bantu anak-anak kos. Apalagi kos tempat Bu Romlah. Eits, apa karena Bu Romlah seorang janda cantik dan Pak RT seorang duda. Entahlah, aku nggak nyandak mikir sampai situ.
Yogyakarta kota yang menurutku nyaman ditinggali. Sebagai mahasiswi tingkat akhir aku tinggal mengerjakan skripsi.
Untuk mengisi kekosongan waktu di luar bimbingan atau sebagai hiburan bagiku dikala stres melanda, aku mengambil kerja part time.
Alhasil aku yang terlalu asyik larut dalam kerja part time jaga cafe lupa dengan perihal mengurus diri sendiri. Paling cepat pulang jam 9 malam, kadang kalau weekend bisa sampai jam 10 malam karena ada teman cowok yang shift malam jadi aku tidak merasa takut.
Aku mengendarai motor dengan memboncengkan bu Romlah, kasihan kan usianya yang hampir setengah abad masak mboncengin aku yang masih muda. Kalau dipikir yang sakit siapa yang dibonceng siapa.
Sudahlah yang penting aku kuat sampai rumah sakit.
Sampai parkiran aku lihat penuh berjajar-jajar motor. Padahal masih pagi, apa sepagi ini orang-orang sudah pada mengantri. Banyak sekali ternyata yang sakit warga kota ini.
Aku menoleh ke kanan kiri mencari tempat yang masing cukup untuk menyusupkan satu motor astrea 96 milikku tepatnya milik bapakku. Hehe.
Boleh nggak ya nyelip di samping mobil mewah itu? Tanpa pikir panjang aku segera memarkir motor karena memang tidak ada tukang parkir yang berjarak dekat denganku. Beberapa dari mereka sibuk di ujung sana.
"Hei, tunggu. Jangan parkir sembarangan!"
Baru kaki ini melangkah, sudah terdengar suara lantang nan tegas dari seorang laki-laki.
Aku takut menoleh, barangkali orangnya ganteng plus seorang dokter. Oh malunya aku ketahuan parkir sembarangan.
Aku memutuskan berlari mencari bu Romlah yang kuturunkan di pintu gerbang bagian depan.
Aku tidak menghiraukan teriakan laki-laki tadi yang tak mampu kulihat pasti dia seperti apa orangnya. Ah paling juga petugas parkir.
Dengan nafas ngos-ngosan aku berdiri di samping bu kos yang duduk di ruang tunggu depan.
"Kenapa kamu lari kayak dikejar maling, Ki?"
"Eh itu Bu, aku takut ibu tersesat nyariin aku," elakku tanpa menunjukkan rasa bersalah karena parkir sembarangan.
Aku berharap nggak akan bertemu kembali dengan orang yang meneriaki tadi.
Aku juga nggak berharap tukang parkir mengangkat motorku dan memindahkannya. Duh aku bisa kehilangan alat transportasi vital nih.
Bu kos memintaku mencari loket pendaftaran, tapi sepertinya loketnya pindah karena ada renovasi perluasan ruangan.
Aku segera mencari loket yang baru sesuai petunjuk yang ada. Sementara Bu kos kutinggalkan di ruang tunggu biar tidak lelah mengikutiku.
Beneran kan, ini jadi kelihatan sebenarnya yang sakit siapa sih. Aku ternyata merepotkan diri sendiri. Lebih enak sehat wal'afiat nggak sakit ya teman, huhuhu.
Aku menoleh ke kanan kiri seperti orang hilang, dah mirip lost in hospital malu-maluin padahal bukan anak SD lho ya, dah hampir mau lulus S1.
Kenapa petunjuk yang dipasang juga nggak jelas sih, bingung kan jadinya.
Aku sudah menggerutu nggak jelas di sepanjang koridor RS.
"Maaf Pak, loket pendaftaran di sebelah mana ya?"
Aku mencoba bertanya pada seorang laki-laki dengan snelli pastilah dokter bukan.
Tapi tak kusangka ganteng-ganteng ga bisa ngomong apa ya. Dari tadi aku tanya diam saja, malah mengernyitkan dahi padaku.
Aku ulang saja pertanyaanku sambil menunjukkan berkas.
"Dokter tau loket untuk daftar pasien?" ucapku penuh penekanan.
Dia malah mengibaskan kedua tangannya sambil mendekatkan wajahnya padaku, waduh aku jadi grogi dibuatnya. Aku segera mundur beberapa langkah.
"How can I help you?"
Haah, ternyata aku ngomong sama dokter bule. Ampun deh, aku menepuk jidatku tak percaya.
"I want to see a doctor, can you show me the registration...?"
Dengan jurus cas cis cus aku segera menjawabnya, belum selesai aku ngomong dia langsung menyuruhku mengikutinya.
Aku sudah senang bukan main karena ada yang mengantarkanku ke loket.
Sampai berjalan jauh dan belok tikungan, apa yang terjadi.
Ternyata Dokter bule itu juga tak hafal tempat ini. Oh tidak, tambah lagi korban lost in hospital.
Sudahlah, tak seharusnya aku berharap pada manusia. Mending berusaha dan berdoa, aku tanya orang lain lagi aja.
Dokter itu meminta maaf padaku dan kubalas dengan senyuman.
Saat diri ini pasrah terduduk di bangku kayu di koridor yang berlawanan dengan ruang tunggu bu kos, berjalanlah beberapa rombongan. Paling depan ada laki-laki berjas hitam dan berkacamata, luar biasa pesonanya mengagumkan kaum hawa yang melihatnya. Di samping kirinya seorang wanita cantik bersnelli putih dengan rambut ikal yang mungkin sejenis rambutku yang tertutup hijab instan bertali macam anak SMA.
Sementara di samping kanan ada laki-laki bersnelli juga dengan stetoskop terkalung di lehernya. Wajahnya tak kalah tampan dengan laki-laki berjas hitam tapi dia memiliki tatapan dingin sedingin es di gunung Alpen, menyeramkan menurutku.
Kalau aku yang ditatapnya mungkin akan jadi membeku. Padahal sedikit saja senyum tersungging sudah dipastikan runtuhlah gunung es itu.
"Maaf Pak, mau tanya loket pendaftarannya sebelah mana ya?"
Sungguh beginikah nasib pasien dicuekin. Aku hanya melongo melihat mereka berlalu melewatiku.
Eps 2
Jangan lupa subscribe dan tap lovenya.
Semoga menghibur
Pov Kinara
"Maaf Pak, mau tanya loket pendaftarannya sebelah mana ya?"
Dengan begitu percaya dirinya aku menghadang rombongan yang berjalan menuju tangga menaiki lantai dua.
Segitu pasrahnya aku hingga tak punya malu dengan berani menanyakan langsung pada orang yang mungkin pimpinan RS.
Ah, siapa yang peduli pimpinan pastinya baik hati pada rakyat biasa bukan.
Namun harapan hanya tinggalah harapan. Mereka tak menggubrisku, oh tidak ini sungguh memalukan sekali. Tidak ada yang menganggapku, mati-matian aku mengejar waktu pendaftaran untuk kategori asuransi dari pemerintah biasanya lebih cepat ditutup sesuai kuota.
Rombongan itu berlalu melewatiku begitu saja. Saat laki-laki berjas hitam ingin berbalik mendatangiku, ternyata laki-laki dingin di sampingnya telah mencegah dan justru mendatangiku.
"Mas dokter, eh Pak dokter tolong tunjukkan loket pendaftaran di sebelah mana ya?"
Eh, bukannya menjawab pertanyaanku. Laki-laki itu berseringai dan berlalu dari hadapnku menyusul kembali rombongan yang tadi.
Mas, Mas tolong kasih tau dong. Aku meneriakinya saat langkahnya sudah mencapai anak tangga teratas. Dia hanya menatapku sekilas lalu berseru,
"Kamu nggak buta huruf kan?"
Aku segera menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku.
Lantas kutengok jam dinding dari kaca jendela ruangan yang ada di depanku.
Mataku terbelalak, sudah hampir jam 10 pastinya loket akan ditutup untuk jalur asuransi kesehatan.
Oh tidak, sia-sia nanti usaha bu Romlah membantuku.
Semua ini gara-gara dokter angkuh itu, hufh awas saja kalau sampai aku ketemu lagi akan kucincang nanti.
Aku sudah membayangkan mencincang daging sapi untuk dibuat omelet seperti biasa saat membantu bu Kos menerima pesanan catering.
Saat lamunanku melanglang buana, terdengar denting sepatu ketz dari arah tangga lantai dua semakin mendekatiku.
"Jadi nggak ke loket, ayo buruan saya sibuk ini!"
Aku segera membuka kedua tangan dan berdiri. Merasa tidak ada yang memanggil akupun berlalu mencari Bu Romlah.
"Hei, arahnya bukan kesitu."
Ternyata dokter angkuh tadi sudah menarik tas cangklongku untuk mengikutinya.
Aku segera menghempaskan tasku hingga tangannya terlepas. Aku berjalan melewatinya lurus mengikuti panjang koridor sambil tengok kanan kiri atas bawah manatau ada petunjuk menuju loket pendaftaran.
"Nggak usah jaim, memangnya kamu tau loketnya dimana. Belok kanan sini," celetuknya kelihatan sekali mengejekku.
"Saya tau kok, dah sana balik aja," kataku menolak bantuannya yang entah tulus atau terpaksa nggak ada bedanya.
Sampai aku baca tulisan loket baru, aku berbinar dan segera mendekat.
Namun binar wajahku seketika berubah muram karena tanda bertuliskan Closed dipasang oleh petugas.
Aku memasang wajah memelas sambil memegang perutku yang memang sudah terasa mual kembali efek kelelahan mencari loket ini.
"Maaf Mbak, jalur askes sudah tutup karena kuota sudah penuh. Ada jalur umum di loket sebelah atau mau periksa besok."
"Astaghfirullah Pak, saya sakitnya sekarang masak disuruh periksa besok sih?" protesku mencoba merayu petugas.
Sebenarnya salahku juga yang nggak cekatan mencari tempat ini malah meratapi kesedihan sendiri hingga lupa waktu.
Bisa saja aku priksa di jalur umum tapi mana mungkin aku merelakan uang sakuku. Besok mau makan apa aku.
Dengan tergopoh-gopoh, aku berjalan balik arah mencari bu Romlah.
Setitik air pun lolos dari pelupuk mataku yang tak tertahankan. Tangan yang masih memegang nyerinya ulu hati ini mencoba mencari sandaran. Sampai aku berpapasan kembali dengan dokter angkuh yang entah membantuku atau justru membuatku tak punya kesempatan periksa hari ini.
"Apa lihat-lihat? Dokter senang kan, saya batal jadi pasien. Saya memang nggak punya uang banyak jadi ngejar-ngejar waktu jalur askes tapi apa. Semua terlambat," lontarku penuh amarah.
Nggak tau juga kenapa rasanya ingin memarahinya. Nggak sopan kali ya, tapi tampangnya masih muda kok. Biarkan saja, semoga aku nggak diperiksa olehnya besok-besok.
Setelah puas mengeluarkan rasa sesak di dada, langkah ini justru terasa berat. Dari jauh tampak wajah Bu Romlah, eh tapi kenapa ada dua, bu kos ku kan tidak kembar?
Mata ini terasa berkunang-kunang dan semua terasa gelap.
Gubrak...
"Hei, tolong..., suster!"
Eps 3 Tukang parkir
Pov Author
"Kinara, mana yang sakit? Ibu sampai bingung nungguin kamu lama. Taunya malah pingsan di depan mata ibu. Gimana nggak deg degan, untung jantung ibu masih sehat."
Seorang dokter bernama Fabian selesai memeriksa Kinara yang tersenyum simpul mendengar ucapan panjang lebar ibu kosnya.
"Gimana, dok kondisinya? Kinara tidak hamil kan?" Kinara segera memukul lengan bu kosnya karena jelas-jelas memalukan, nikah saja belum kok sudah hamil duluan.
"Putri ibu hanya kekurangan energi saja, mungkin belum sarapan."
"Memang anak kos ya gini Pak dokter, susah dibilangin."
'Ishh Bu Romlah ini bikin saya malu di depan dokter ganteng. Eits ini kan dokter yang berjas itu,' batin Kinara.
"Pak Dokter bukankah yang berjas hitam itu ya? Kenapa waktu itu nggak bantu saya, jadinya pingsan gini kan," celetuk Kinara tanpa basa basi.
"Lha kamu ini gimana tha nduk, pak dokter sudah bantuin meriksa kamu malah disalahin."
"Gara-gara dia nih Bu, aku harus lari-lari ngejar waktu pendaftaran yang akhirnya sudah tutup. Huhuhu..." Kinara pura-pura kesal berharap bu kos ikut memarahi dokter Fabian.
"Maafkan Kinara ya Pak Dokter, dia sedikit cengeng dan manja."
"Haah, apa ibu bilang."
"Lha kamu kan nggak biasanya begini juga. Kasian dokter ganteng ini."
Kinara menggerutu ternyata harapannya berbanding terbalik dengan pikiran bu kos. Sementara dokter Fabian tersenyum penuh kemenangan.
"Maaf ya Kinara, tadi saya terburu mimpin meeting jadi nggak sempat meladenimu. Tapi saya sudah minta dokter Arsyad yang mengantarmu bukan?"
'Oh jadi dokter yang angkuh tadi dokter Arsyad namanya. Lalu kemana dia saat aku pingsan, kenapa jadi dokter Fabian yang menolongku,' guman Kinara.
Kinara dan Bu Romlah mengucapkan terima kasih pada dokter yang baik hati, ramah dan tidak sombong plus ganteng.
-----
Akhirnya keduanya pulang dengan membawa obat yang telah ditebus di apotik dan diminta periksa kembali tiga hari lagi jika keluhan tidak berkurang.
Kinara sudah hafal obat-obatan yang didapatnya karena dia sakit lambung sejak berseragam abu-abu.
Bahkan sampai kuliah pun tas canklongnya sering berisi obat itu untuk berjaga ataupun minyak kayu putih.
Jelas berbeda fungsinya jika yang memakai cewek lain akan berisi sisir, kaca dan alat make up.
Sampai di parkiran, Kinara masih tengok kanan kiri seperti maling yang takut ketahuan. Pasalnya dia merasa bersalah menaruh motor sembarangan.
Ternyata mobil mewah tadi sudah bergeser ke samping, pikirnya.
Eh bukan, yang benar motor astreanya yang sudah pindah posisi ke tempat sebenarnya.
"Non cari motornya ini ya?"
Sambil senyum malu-malu Kinara mengangguk. Mau minta maaf takut dimarahin, kalau nggak minta maaf kok ya malu-maluin.
"Maafkan saya ya Pak, tadi parkir sembarangan. Saya terburu mendaftar untuk periksa. Tadi parkirannya penuh," ucapnya tulus. Sementara Bu Romlah hanya mengamati dengan turut tersenyum.
"Nggak apa-apa Mbak, untung ada Mas Irvan yang bantu angkat motornya, berat juga soalnya mesinnya masih bagus."
Kinara merasa tak enak hati mendengar petugas parkir ini yang mengangkat motornya karena memang dikunci stang.
'Eh sama Mas Irvan, jangan-jangan yang meneriaki aku tadi. Untung sama-sama petugas parkir,' guman Kinara.
Lalu Kinara yang merasa bersalah segera menyodorkan uang sepuluh ribuan untuk diberikan. Namun tak disangka bu Romlah menukarnya dengan dua puluh ribuan.
"Biar dibagi berdua Ki, kan yang angkat dua orang."
Kinara mengangguk setuju.
"Pak ini dibagi sama Mas Irvan ya!"
"Tapi, Mbak..."
"Udah nggak apa-apa Pak, rejeki jangan ditolak."
'Saya mah nggak nolak, mbak belum tahu Mas Irvan anaknya direktur RS ini, hihi," batin petugas parkir sambil cekikikan.
Petugas parkir hanya menggeleng-nggelengkan kepalanya.
"Kenapa ketawa sendiri, Bang," seru laki-laki yang tak lain adalah dokter Irvan Arsyad.
"Ini dapat rejeki buat saya dan Mas Irvan. Yuk beli bakso!"
Orang terdekatnya memang memanggilnya Irvan, dan nama familiar di kedokteran adalah Arsyad.
"Rejeki apaan?" Arsyad mengernyitkan dahinya karena penasaran.
"Eh itu, mbak dan ibunya yang motornya kita pindahin mengira Mas Irvan petugas parkir."
Sontak petugas parkir tak kuasa menahan tawa, sedangkan Arsyad geram dan menggerutu.
"Awas saja kalau besok lagi ketemu, aku balas," janji Arsyad dengan seringainya.
"Mas hati-hati, anak orang lho!"
"Iya tahu, yang penting bukan anak harimau kan."
Arsyad berlalu menuju ruangan dengan muka ditekuk. Di sana sudah ada dua sejoli dokter Fabian dan dokter Miranti.
Arsyad menekuni bidang yang sama dengan Fabian yakni sama-sama bidang gastroenterologi dan hepatologi.
Tak heran gelarnya Sp.PD.KGEH. Namun karena Arsyad belum resmi lulus jadi gelar itu belum terpampang di name tag nya.
Dokter Miranti sendiri adalah teman SMA sampai kuliah di universitas yang sama dengan Arsyad yang mengambil jurusan kedokteran gigi. Kedua orang tua mereka bersahabat hingga berniat menjodohkan.
Tapi apa mau dikata Miranti justru jatuh hati pada sosok Fabian dokter yang lebih senior di atasnya, supel dan kelihatan dewasa. Jauh berbeda dibandingkan dengan Arsyad yang cuek.
"Hey Ranti sana pergi, berduaan mulu nggak takut yang ketiganya setan," seru Arsyad
"Bukannya yang ketiga kamu, Syad? Jadi setannya kamu dong. Hahaha."
"Ishh, kejam kamu Bi. Awas aja nanti nggak tak bantuin kamu dekat Miranti," ancamnya
"Lagian muka ditekuk gitu kenapa?"
"Aku balik dulu, Mas Bian." Senyum jelas tersungging dari bibir cantik Miranti yang berlalu dengan mengibaskan tangannya di depan wajah Arsyad. Langsung dibalas pelototan oleh sahabatnya yang lagi geram karena seorang pasien unik yakni Kinara.
"Sial, muka ganteng gini disangka petugas parkir. Sampai ngasih tip buat beli bakso."
Fabian sudah tertawa terpingkal sambil memegang perutnya.
Ket:
Sp.PD.KGEH:
Subspesialis kedokteran penyakit dalam ini bertugas menangani masalah pada sistem pencernaan, seperti lambung, pankreas, usus, hati, dan kantong empedu.
Eps 4 Rampok
Pov Arsyad
Hari ini aku dan Fabian nggak ada shift malam, kami memutuskan bersantai di sebuah cafe tak jauh dari RS. Cafe yang di desain untuk kawula muda menggerakkan hati ini untuk mencobanya.
Setiap aku lewat, cafe itu tak pernah sepi pengunjung. Sebenarnya aga malas juga kalau bersantai di keramaian. Tapi nggak ada salahnya menurutku mencoba cari suasana yang baru.
Sampai di parkiran, aku sudah menempatkan motor sportku di tempat yang semestinya. Tak berselang lama Fabian datang dengan mobil dinasnya.
"Kenapa sih rela kena angin malam dan panasnya siang, padahal ada mobil mewah nganggur, Syad?"
"Strategi Bro, biar kalau ada cewek yang naksir bukan karena harta," ucapku lantang.
"Ya ampun, sama aja motor sport yang kamu pakai emang nggak nunjukin kamu berduit?" Fabian mencebik mendengar jawaban Arsyad.
"Hahaha, setidaknya aku bisa tau perempuan yang bisa diajak susah menantang matahari maupun angin."
"Yeay emang mau nyari pendekar Eng, nyari cewek itu yang akhlaknya baik."
"Kayak, Miranti ya?" godaku disambut tawa oleh Fabian.
Aku memang bersahabat dengan Miranti, dekat malah sedekat orang tua kami yang sudah seperti keluarga. Sampai mereka ingin menjodohkan kami. Aku sih mau aja sama Miranti, perempuan cantik mempesona, cerdas, seorang dokter cumlaude hampir nggak ada kurangnya. Tapi dia yang rugi kalau dapat suami sepertiku yang belum mau diajak serius. Aku suka mengajaknya berdebat, yaah kurasa memang kami tidak ada kecocokan.
Pada akhirnya Miranti justru jatuh ke pesona Fabian yang lebih dewasa, sabar, pengertian cocok deh pokoknya.
Dan disinilah aku yang menjomblo karena kelakuanku sendiri. Aku sudah berusaha merelakan Miranti tapi tidak dengan kedua orang tua kami yang masih percaya perjodohan ini akan berjalan lancar. Miranti saja takut untuk mengatakan pada orang tuanya kalau yang disukai adalah dokter Fabian manager RS milik ayahku.
Dia memang terlahir dari keluarga biasa yang menjadikan Miranti harus punya alasan kuat menolak perjodohan ini.
Harusnya aku juga gencar mencari pasangan biar Miranti segera terlepas tapi nantilah, biarkan semua mengalir saja. Yang penting aku membuat mereka semakin dekat.
"Mau pesan apa kamu, Bi?"
"Samain aja deh kayak biasanya."
"Nggak jodoh, nggak makanan samain aja, Bro. Awas aku bilang Miranti kamu suka ikut-ikutin aku," ucapku memberi peringatan langsung dipelototi Fabian.
"Mbak, saya pe..."
Aku yakin tidak salah lihat, itu perempuan yang pingsan di RS dan berani-beraninya meneriaki aku yang notabene seorang dokter.
Eh tapi kenapa dia justru lari ke belakang, sungguh tidak sopan.
"Hei, hei...Mbak," aku setengah berteriak sampai mengundang perhatian para pengunjung.
"Syad, malu-maluin lho berteriak gitu."
"Nggak sopan tau Bi, masak kita belum dilayani dia sudah pergi."
"Maaf ada yang bisa kami bantu, Mas."
"Panggilkan pelayan yang tadi lari ke dalam. Dia kan yang bertugas melayani kami. Kalau dia nggak mau, bisa saya laporkan manager cafe ini."
"Shut, jangan mengancam anak orang. Memangnya kamu kenal pelayan itu?"
"Lihat saja kalau dia keluar."
---
Pov Author
Selang beberapa menit Kinara yang sembunyi di dapur segera keluar karena ancaman akan dilaporkan manager.
Chika sahabatnya menyarankan Kinara memperlakukan pelanggan seperti raja.
Hufh, Inhale-exhale sejenak itulah yang dilakukan Kinara di dalam. Setelah siap dia keluar sambil membawa buku menu.
"Maaf, silakan ini daftar menu yang terbaru. Saya akan bantu catat pesanan Mas," ucap Kinara dengan suara lemah lembut dan tentunya terpaksa.
Dia takut dipermalukan di tempat kerja karena ulahnya saat di RS. Jelas Kinara masih ingat siapa dua laki-laki di depannya ini.
"Eh, bukannya kamu pasien yang pingsan kemarin?" tanya Fabian dengan wajah menerawang ingatannya.
"Hmm, Pak dokter salah lihat mungkin. Banyak yang mirip saya Pak."
"Muka pasaran," celetuk Arsyad membuat Kinara jengah.
"Oh iya ya, pasien saya kemarin cantik sih. Kamu juga nggak kalah cantik."
"Ah, trimakasih pujiannya,"
"Nggak usah kepedean, dia udah punya calon."
"Haha, nggak usah buka kartu lah. Teman saya ini yang masih single mbak."
Arsyad sudah menginjak kaki Bian hingga berteriak kesakitan. Kinara berlalu meninggalkan mereka untuk menyiapkan pesanan dua coffe latte dan cemilan.
Setelah membawakan pesanan dengan nampan, Kinara mempersilakan keduanya menikmati sambil mendengarkan musik diputar dari operator.
Pantas saja cafe ini ramai, karena pelayanan tidak hanya pada menu tetapi juga akses free wifi dan musik yang khas anak muda. Bahkan pelayannya ramah dan murah senyum kecuali sikap Kinara saat berhadapan dengan dokter angkuh itu.
Dia sengaja memberikan kopi yang pahit untuk Arsyad karena kesal telah mengerjainya di RS.
Kinara hanya mengintip dari balik dapur, dia melihat perempuan cantik yang tak lain adalah dokter juga seperti yang dia lihat di RS.
Kinara menahan tawanya saat melihat Arsyad minum pesanannya dan menyemburkan ke arah lengan dokter cantik itu.
"Astaga, Arsyad gimana sih hampir aja bajuku basah karena ulahmu."
Fabian hanya tersenyum melihat tingkah keduanya.
"Bi, minumanmu enak nggak?"
"Lezzat, Bro. Ni udah hampir habis."
"Biar aku yang habiskan. Hmm, iya ini coffee latte terenak yang pernah aku cicipi,"
"Kalian bersekongkol pasti. Punyaku kok pahit ya? Padahal pesanan kita sama."
"Ya deritamu, itu gambaran hatimu kali Syad. Udah yuk kita cabut, jalan-jalan dulu keburu malam."
"Yeay, kalian jalan berdua sana bisa-bisa aku jadi obat nyamuk," tukas Arsyad menahan kesal, ini pasti ulah pelayan itu, pikirnya.
Arsyad sengaja masih berdiam di cafe menunggu sepi dan menanyakan nama pelayan tadi. Setelah hampir tutup Arsyad mengendarai motornya dan berhenti sejenak di sebelah bangunan cafe untuk menghadang Kinara.
'Awas, kali ini akan kubalas Kinara Saraswati,' gumannya seraya mengepalkan kedua tangannya.
"Chika, Reno aku duluan ya. Jangan lupa kunci gerbangnya."
"Siap Ki, hati-hati di jalan ya."
Kinara melambaikan tangannya. Dia mengenakan sweaternya beserta tas cangklong. Saat berjalan di trotoar dan ingin memesan ojek online, sebuah tangan dengan senjata tajam mengalung di lehernya.
"Astaghfirullah, mau apa kamu?"
Kinara jantungan setengah mati, baru kali ini ada penjahat di sekitar kafenya.
Eps 5 Kamu lagi
Pov Author
"Astaghfirullah, mau apa kamu?"
Kinara ketakutan setengah mati, baru kali ini ada penjahat di sekitar cafenya.
"Tolong jangan sakiti saya, kalau Bapak rampok saya rugi banget. Saya nggak punya apa-apa. Saya hanya orang miskin dari kampung, cari makan buat ayah ibu dan adik saya. Saya masih muda belum menikah juga. Saya sakit-sakitan. Pokoknya rugi deh Pak, cari orang lain aja," celoteh Kinara menahan ketakutannya sambil memohon ampunan. Sementara sang pelaku tak lain adalah Arsyad hanya tertawa terpingkal melihat tingkah Kinara yang dikerjainya.
"Astaga, kamu ternyata. Bug,bug, rasakan ini. Kamu sudah membuatku jantungan tau nggak," teriak Kinara pada Arsyad yang menahan pukulan perempuan itu pada lengannya.
Kinara segera berlalu dari hadapan laki-laki yang mengerjainya namun tas cangklongnya dipegang kuat Arsyad.
Tak ingin tas satu-satunya putus, Kinara pun berhenti tarik menarik dan menghentakkan sepatunya kesal.
"Jangan ganggu aku, pergi sana!"
"Siapa yang membuat kopiku pahit?"
"Haah, memangnya siapa? Kopi di cafe lezat kok buktinya banyak pelanggan datang dan tidak pernah ada komplain."
"Kalu kamu nggak mau mengaku, aku laporkan Pak Ucok managermu biar kamu dipecat," ancam Arsyad di telinga kiri Kinara yang membuat bulu kuduknya berdiri.
'Ya ampun, kenapa orang ini menakutkan sampai kenal manager cafe. Gimana kalau aku dipecat.'
Kinara segera memutar otak untuk meluluhkan hati dokter angkuh ini.
Beruntung ada ide cemerlang melintas dibenaknya. Tapi mentraktir minum dimana yang terjangkau uangnya. Besok dia harus periksa ke RS lagi. Jam malam begini yang paling murah ya di angkringan dekat kos.
Masak sekelas dokter diajak minum wedang jahe.
'Ah masa bodoh, yang penting minta maaf,' guman Kinara penuh semangat.
"Hmm, kalau gitu saya traktir Pak dokter sebagai gantinya ya. Jangan laporkan saya, please," ucap Kinara dengan kerjapan matanya yang membuat Arsyad jengah.
Akhirnya disinilah mereka menikmati malam duduk di sebuah angkringan dengan kepulan asap teko berisi jahe yang dibakar di atas bara api tepat di tengah meja khas angkringan yogya.
Arsyad sesekali menutup hidungnya karena menghirup kepulan jahe yang menusuk hidungnya.
"Nggak bisa ya milih tempat yang lebih baik?"
"Ya ampun Pak, ini sudah termewah untuk saya, ramah dengan kantong. Tahu sendiri kan gaji pelayan."
Arsyad hanya mencebik kesal.
"Eh, Mbak Kinara tumben bawa teman ganteng nih. Sibuk kul..."
Kinara meletakkan telunjuknya di depan mulut tanda supaya Pak Tri penjual angkringan tidak membongkar rahasianya sebagai mahasiswa. Kinara lebih suka dikenal sebagai pelayan biar kelihatan dia sedang bersusah payah mengais rejeki.
"Pak Tri jangan bilang-bilang kalau saya mahasiswa, dia dokter lho biar sering jajan kesini." Penjual angkringan pun mengangguk setuju setelah mendapat bisikan Kinara.
"Mas, dokter ya? Mbak Kinara memang pelayan yang cerdas punya teman aja dokter. Mbak Kinara memang pantas lulus cumlaude."
Pak Tri pun keceplosan ngomong membuat Kinara menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
"Mana ada pelayan cumlaude Pak, kecuali dia mahasiswa."
"Eh, maksud saya seandainya Mbak Kinara jadi mahasiswa dan lulus kuliah pasti cumlaude." Pak Tri segera meralat ucapannya membuat Kinara bernafas lega.
-----
Pagi hari, Kinara bersiap berangkat ke RS lebih awal supaya kejadian terlambat tidak terulang lagi. Dia mengikuti saran dokter untuk periksa lagi setelah tiga hari masih merasakan gejala yang sama.
Setelah menimbang-nimbang, hari ini dia akan pergi sendiri karena serelah periksa harus ke kampus bimbingan Bab Pembahasan dengan dosen pembimbing (dosbing) Pak Yoga yang baik hati.
Kinara sudah mengirim pesan WA ke dosbingnya dan dibalas jam konsultasi sekitar bakda dhuhur.
Inilah yang membuat Kinara bingung, bakda dhuhur maknanya setelah dhuhur bukan, bisa jam berapa saja asal setelah sholat dhuhur.
Kinara meyakinkan diri pasti jam 13 Pak Yoga memintanya konsultasi.
Langkahnya menyusuri koridor tak lepas dari sepasang matanya menatap kanan kiri, berharap dia tidak bertemu dokter sombong yang semalam pura-pura merampoknya.
Kinara sudah duduk di ruang tunggu poli penyakit dalam sesuai aurat rujukan dari dokter langganannya periksa di puskesmas.
Dia menjadi pasien sejati untuk masalah lambung.
Dua jam berlalu, Kinara melihat tanda-tanda antrian maaih panjang. Padahal satu jam lagi hampir jam sholat dan makan siang. Setelahnya dia harus ketemu Pak Yoga kalau ingin segera bisa sidang akhir semester ini.
Kinara mencoba bertanya pada pasien di sebelahnya, beliau seorang ibu lansia masih nomer antrian awal tapi belum dipanggil. Artinya dirinya juga masih lama alias pasien di akhir-akhir.
Rata-rata pasien penyakit dalam kok lansia, Kinara ternyata segelintir yang berusia muda.
Tapi aneh kenapa beberapa pasien ada juga yang baru datang langsung dipanggil.
"Nggak usah heran, dokter Fabian memang banyak fansnya. Jadi, antriannya panjang," ucap seorang ibu paruh baya di sampingku. Benar saja, mayoritas yang masih duduk lama dan belum pindah posisi adalah pasien dokter fabian termasuk aku.
'Hufh, kenapa aku jadi terjebak diantara fans dokter ganteng itu, aku ketemu Pak Yoga dulu aja,' guman Kinara.
Akhirnya Kinara meninggalkan antriannya untuk ke kampus. Setelah selesai urusan konsultasi dengan Pak Yoga dosbingnya yang baik hati dan banyak fans mahasiswi Kinara balik ke poli dalam.
Di depan poli dalam Kinara hanya celingukan. Pasalnya tinggal lima orang saja dan dia belum dipanggil-panggil.
Kinara sedikit takut untuk bertanya karena dia memang sengaja meninggalkan antrian.
Pada saat yang sama, Kinara mendekati petugas yang menata rekam medis, sosok laki-laki yang dihindarinya berdiri menjulang di samping kirinya.
"Aww, kamu?" Kinara shock ketemu lagi dengan dokter Arsyad di poli dalam.
'Kenapa dokter ini juga di poli dalam?
Astaga ternyata nama lengkapnya adalah dr. Irvan Arsyad, Sp.PD.'
Kinara segera menutupi wajahnya dengan tangan dan segera membalik badan menghindari laki-laki di sampingnya.
"Kinara Saraswati..."
Deg.
Lanjut ke Next bab yuk.
https://karyakarsa.com/DLista/jodohku-pak-dokter-part-6-10
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
