Dika, Aliya& Gunung

0
0
Deskripsi

Dika memang benci dengan semua orang, ketidaksempurnaannya menjadi bahan yang sempurna bagi cemoohan orang lain terhadapnya. Sedikit berbeda dengan Dika, Aliya justru tidak menyukai orang lain khususnya laki-laki, karena kesempurnaan parasnya selalu dijadikan bahan omongan bagi teman-teman perempuannya. Mereka akhirnya saling mengenal saat dalam satu perjalanan. 

Kalau Tuhan merestui, Sabtu akan menjadi hari yang menyenangkan. Mungkin itu adalah isi dari pikiran 4 orang gila yang bereaksi tanpa berpikir panjang. Tidak Husein, Aliya, maupun Beni dan Nisa. Mereka semua sudah terlalu gila dan menggampangkan pendakian. Bahkan sesosok Husein umat yang taat akan organisasi pun setuju dengan ide gila yang dicetuskan oleh Beni sang laki-laki tampan dan terlihat charming itu. Mungkin untuk Nisa ide gila itu bisa selaras dengan dirinya yang liar, tapi sampai Aliya sang putri kerajaan yang bahkan di siang hari saja memakai payung mau menerima ide itu, aku rasa mereka semua sedang disengat penyakit “libur sudah dekat” hingga tidak berpikir  panjang dan asal menjawab karena terpengaruh euforia sesaat saja. Aku yakin besok pagi mereka semua akan membatalkan ide tersebut dengan beragam alasan yang mewujudkan kata wacana menjadi realita.

“Ndrong! Ngomong dong masa diem aja!” satu buah pukulan menepi pundak kiriku

“ia,’awu iwut alian awa (iya aku ikut kalian aja),” ah! Masih saja aku benci untuk berbicara dengan orang lain! Sumbing ini membuat aku harus selalu mengutuk diriku sendiri karena sulit untuk bicara. Bagaimana tidak, untuk memesan air mineral di kantin saja butuh waktu yang cukup lama untukku karena mereka yang tidak mampu mengerti apa yang aku katakan.

“Ini baru sahabat gue! Okay ndrong, besok pagi kumpul di rumah gue ya jam 10 pagi! Untuk alat-alat sama kebutuhan yang diperluin sekarang gue share di grup!” Semangat sekali kapten tsubasa ini, entahlah aku rasa ia hanya ingin menyombongkan dirinya di depan dua perempuan ini. Yah aku sendiri harus mengakui dua perempuan yang dengan nurutnya ikut acara pendakian ini memiliki definisi menarik yang berbeda satu dengan lainnya. Nisa dengan kerudung serta jaket jins belelnya benar benar kontras dengan namanya yang terlihat sangat feminim. Namun perangainya yang supel, cablak, ramah dan bola matanya yang bulat layaknya bunga matahari yang sedang mekar-mekarnya. Berbeda dengan Aliya yang berpakaian sangat feminim dengan pakaian modis dipadu dengan hijab lipet sana sini yang tak lupa celana panjang yang dibalut rok selutut menghiasi tubuhnya. Kepribadiannya yang lucu, manja, dan selalu fokus mendengar lawan bicaranya sudah seperti bunga lavender dengan harumnya yang semerbak.

“Sekarang saya beli barang-barang yang dibutuhin dulu deh kalau gitu. Gimana Gondrong kamu mau ikut sama saya?” pertanyaan Husein memecah lamunanku. Aku hanya mengangguk menjawab  Husein. Kadang rasanya ingin kueluskan pipiku di dagu dan pipinya Husein yang brewok, aku ingin tau rasanya tapi itu hanya ide bodohku saja yang muncul.

“Aku ikut juga dong bang Husein!” pinta Aliya

“boleh aja, tapi boncengannya sama Gondrong aja ya?” maklum, Husein sosok yang religius. Salah satu alasan aku menyukainya bila bisa menjadi teman dengannya.

“Bang Dika aku boleh ikut ya?” Aliya kini meminta padaku, aku hanya mengangguk padanya.

“yaudah sekarang kita cari aja dulu barang barangnya, sampai ketemu besok!” Kini Nisa berseru.

Mendaki gunung memang bukan perihal gampang seperti pergi bermain ke mall besar atau sekedar ke lapangan kota. Perlu adanya persiapan yang kompleks, mulai dari peralatan memasak, bahan makanan, tenda, mengetahui cuaca dan masih banyak lagi. Aku masih tak paham dengan ide Beni kali ini, mungkin ia dan aku sudah berteman sejak dulu bahkan dulu juga sempat menjadi anggota pecinta alam semasa sekolah. Tapi harusnya ia sadar akan hal tersebut.

“Okay selamat istirahat guys! Besok kita akan bertualang dan menikmati alam semesta, jangan lupa istirahat!” sebuah pesan singkat dari Beni muncul silih berganti pada grup obrolan kami

“Siap kapten! Mohon bimbingannya!” kini Aliya membalas ucapan Beni

“Aliya kamu tau rumah aku? Kalau enggak nanti aku yang jemput aja” ah bisa saja kau kapten, namun sungguh sangat menggelikan.

“waduh jangan deh kak, nanti kirimin aja lokasinya. Aku dianter ayahku kok hehe” rasa puas menyeruak saat memikirkan perasaan kapten kita ini. Oh tunggu. Sekarang aku tahu maksud dari ide gila Beni ini.

“Beni, saya tidak punya senter apa gakpapa?” Husein memecah percakapan

“Pake punya gue aja Onta, gue ada dua kok” Nisa memang selalu bisa diandalkan.

“Nis lo anak mapala ya?” pesan kukirim agar terlihat tidak sombong atau apatis. Tapi sesungguhnya aku sendiri penasaran dengan jawabannya.

“Iya Nisa Mapala juga yah? Soalnya kamu kaya anak gunung banget tampilannya! Keren!!” Aliya menimpali

“wahaha masa sih? Dulu sempet gabung sama Mapala di kampus kita, tapi  gak lama abis itu keluar lagi,” sekarang terjawab sudah alasan sifatnya yang kontras itu.

“ayo ayo istirahat biar besok fit!” Beni memecah percakapan yang dirasa sudah ngalor ngidul.

Aku masih merebahkan tubuhku pada hammock yang menggantung di tengah kamarku. Jam sudah memasuki pukul 12 malam saat Beni menyuruh kami untuk memberhentikan percakapan. Aku melirik layar ponsel, lalu tergelitik untuk mengobrol dengan Husein. Aku penasaran dengan persiapannya dalam melakukan pendakiannya yang pertama ini. Di bawah remangnya lampu tidur aku mulai mengetik pesan untuknya. Namun aku juga terbesit untuk mengirim pesan kepada Nisa. Aku penasaran dengan sosoknya serta pengalamannya menjadi mapala. Dengan cepat setelah ku mengirim pesan untuk Husein, pesan untuk Nisa sudah siap untuk terkirim. Malam itu aku pun bercakap cakap dengan Husein dan Nisa, disela percakapanku, pesan dari Aliya masuk namun tidak melalui Whatsapp, melainkan dari Twitter. Jadilah aku bercakap cakap dengan mereka bertiga hingga menjelang pukul 4 pagi.

Pagi menyingsing dengan anggunnya, menggiring hawa hangat dari ufuk timur. Tepat pukul 9 pagi mata yang memerah akibat hebohnya percakapan semalam membuat bangunku di pagi hari sabtu ini begitu perih. Ku paksa fisik ini menerima anugerah air yang berhasil mengguyur tuntas seluruh kantuk yang tersisa.

Dalam perjalanan menuju rumah Beni, aku masih terngiang dengan fakta bahwasanya 3 orang calon teman pendakianku hari ini sama sekali belum pernah mendaki gunung. Sungguh ini adalah fakta yang cukup membuat batinku bersikukuh untuk membatalkan acara pendakian ini, namun melihat keinginan mereka mendaki cukup membuatku tersentuh juga. Bagaimana tidak, semalaman suntuk mereka bertiga terus terusan menggempur aku mengenai pertanyaan seputar pendakian.

Jam sudah menunjukan pukul 11 siang, Husein, Beni, Aku, dan Aliya menunggu di teras rumah Beni yang jauh lebih asri dari terakhir aku ke rumahnya. Suasanya cukup adem dilindungi pohon mangga yang berdiri kokoh dibalik pagar rumahnya.

“Nisa gak ngangkat terus nih, apa dia ketiduran? Padahal semalem kan udah gue bilangin buat tidur” Keluh Beni dengan tatapannya yang mengarah pada layar ponsel mlikinya. Mendengar omelan Beni aku hanya tersenyum kecut, aku ikut merasa bersalah karena salah satu penyebab tidak tidurnya Nisa adalah aku yang mengajaknya bertukar pesan. Bisa kulihat Aliya dan Husein pun sedikit salah tingkah mendengar keluhan Beni tadi.

Tak lama Nisa muncul dengan menggowes sebuah sepeda lipat, aku sempat melotot melihat itu, karena waktu sudah tidak lagi berada pada posisi pagi, dan dia nekat naik sepeda ke rumah Beni dengan teriknya matahari. Entah dia gila atau terlalu luar biasa.

“Nisa gila!! Lo ke rumah gue pake sepeda pantes aja lama banget!!” Beni teriak menahan tawa dan kagetnya.

“wahahaha Astaghfirullah Nisa! Kamu bener bener laki banget!” Husein tertawa di kursi depan teras melihat kedatangan Nisa yang bercucuran keringat, tak terkecuali Aliya.

“Sorry banget guys! Gila gue nyasar tadi pake GPS, taunya malah ke komplek sebelah!” keluh Nisa sembari berjalan menuju lantai teras. Ketika kakinya menyentuh teras, ia langsung berbaring dengan tarikan nafas yang panjang.

“Gak papa? Yakin kuat naik gak Nis?” Tanyaku seraya jongkok disebelahnya. Entahlah aku tidak merasa benci untuk bicara lagi dengan mereka, mungkin setelah percakapan panjang semalam aku jadi punya rasa keberanian untuk bisa bicara dengan mereka.

“hehe gakpapa kok ndrong! Gue kuat kok, tapi biarin gue istirahat dulu” seru Nisa.

Tak lama setelah itu kami semua berangkat dengan mengendarai mobil Beni, Aliya duduk ditengah bersama Nisa setelah menolak dengan halus ajakan Beni untuk duduk di depan membantunya dengan GPS, Husein menggantikan peran Aliya yang diinginkan Beni dan duduk di depan. Sedangkan aku tanpa perlu berkomentar langsung memilih duduk di belakang dan hanya menatap keluar jendela saat mobil akhirnya mulai berjalan.

Dalam perjalanan suasana terbilang ramai dan hangat, banyak kejadian tak terduga yang dilakukan Husein dan Nisa juga Beni. Aku tak menyangka sosok Husein yang religius sangat suka bercanda dan mampu melempar lelucon receh untuk membalas lelucon Beni dan Nisa. Aku dan Aliya hanya sebagai penonton yang terhibur melihat aksi mereka diatas panggung sandiwara itu. Selama perjalanan juga aku menyadari bahwa aku mulai dekat dengan mereka semua terkecuali Beni, karena Beni memang sebenarnya sudah dekat denganku dari dulu. Mereka semua juga adalah teman kelasku di kampus namun karena memang aku yang benci bicara dengan orang lain jadi tidak akrab dengan Husein, Aliya, dan Nisa. Perjalanan dalam mobil ini mulai melunturkan dinding yang kubuat dengan orang lain dan mulai berbicara dengan mereka.

Matahari sudah mulai sedikit tergelincir menuju barat, teriknya sudah mulai menghangat. Pantas saja, sudah memasuki pukul 3 sore, ya perjalanan darat kami terbilang sangat lama karena ternyata jalanan yang macet di hari libur ini. Tapi setidaknya mobil kami sudah sampai di depan gerbang kaki gunung Pulo Kecil. Gerbang yang merayu pendaki untuk segera menanjakinya. Aku meregangkan seluruh badanku yang kaku, kuambil botol air yang menggantung di samping tas carierku dan mulai menenggaknya. Tak kusangka aku cukup bersemangat untuk pendakian ini, mungkin ini karena aku bersama dengan orang orang yang tidak mempermasalahkan sumbingku ini pikirku.
“Guys tasnya tolong dikeluarin dulu ya kita packing sekali lagi disini supaya pas naiknya gak bikin sakit badan,” keputusan yang tepat dari Beni. Sepertinya ia melihat bahwa teman temannya ini tidak terlalu paham bagaimana packing tas yang baik karena ini pendakian pertama mereka. Beni menepuk pundaku yang masih mengusir haus yang menggerogoti. Aku menoleh padanya dan melihat ia yang mengajakku untuk memberikan bantuan, aku mengangguk dan mengikutinya dari belakang.

Total ada 3 buah carier yang mampu memuat beban dari 50-70 liter. Sudah jelas carier itu diperuntukan bagi kaum laki-laki agar menggendongnya sampai ke tempat camp, sedang yang perempuan masing masing membawa tas punggung dengan beban ringan. Awalnya ada 4 carier namun keputusan Beni memilih untuk cukup membawa 3 carier saja karena setelah dicek cukup banyak peralatan tambahan tidak penting yang dibawa, seperti pakaian yang jumlahnya sampai menyentuh angka 10 buah, lalu adanya sajadah, kitab suci, lotion dan sabun cuci muka, hingga aku pun menemukan sebuah payung. Saat aku mengeluarkannya sontak semua tertawa melihat apa yang aku temukan, aku juga ikut tertawa geli karena kita saat ini hendak melakukan pendakian bukan jalan jalan ke taman sehingga tidak masuk akal bila harus membawa payung, melihat Aliya yang wajahnya memerah aku menaruh payung itu ke dalam mobil menghentikan tawa kecilku. Semua langsung menggoda Aliya karena dengan polosnya membawa payung ke tengah gunung, ia hanya tertawa malu dan mengangguk angguk meminta maaf.

Aku sendiri sempat berdebat ringan dengan Beni karena dia mengizinkan yang lain untuk memakai sendal dan juga memilih jenis makanan yang tidak cukup memberikan kalori untuk pendakian. Beni hanya bicara santai bahwa kita tidak perlu terlalu kaku dan cemas dengan hal hal yang tidak seharusnya dipusingkan. Aku hanya menarik nafas dan mencoba mempercayai keputusannya. Namun gunung setinggi 1.500 MDPL ini juga tidak bisa begitu saja diremehkan dengan tidak membawa persiapan yang matang bukan? Bisa kulihat sosok Husein dengan kemeja kotak kotaknya dan topi rimba dan celana jinsnya cukup membuatku khawatir, apalagi dia hanya memakai sendal gunung. Memang sendal itu sudah cukup bagus tapi untuk pendakian pertamanya aku berusaha meyakinkannya bahwa lebih baik menggunakan sepatu, namun ia sendiri menolak permintaanku dengan halus. "biar adem katanya", alasan yang luar biasa. Nisa kulihat memakai kemeja kotak kotak yang sama namun berpola lebih kecil dan berwarna oranye lusuh, tak lupa kerudung hitam melilit rambutnya agar tidak terlihat kaum Adam, ia terlihat lebih siap karena memakai celana khusus mendaki dan juga sepatu mendaki yang kokoh. Jelas dia adalah mantan Mapala hingga sedikitnya sudah tau apa yang harus dipakai saat di alam liar. Berbanding terbalik dengan Aliya, dialah sosok yang benar-benar membuatku khawatir. Memakai legging hitam dibalik rok biru tuanya yang menutupi pinggang hingga lututnya, dengan baju hitam berlengan panjang dan dibalut jaket jins yang telrihat baru dengan kerudung sekali pakainya kali ini terlihat sederhana dan tidak semodis di kampus. Aku rasa dia mendapat arahan dari Nisa untuk berpakaian sederhana seperti itu agar memudahkannya mendaki. tapi alangkah seramnya ketika kulihat apa yang ia kenakan untuk alas kakinya, ia memakai sepatu kets yang memiliki alas licin, ini cukup membahayakan.

Beni mulai menjelaskan tahapan pendakian yang harus dilewati, sedang aku mulai membereskan peralatan dan memasukan ulang peralatan ke dalam carier milik Husein, karena carierku sudah ku packing dari rumah sehingga tidak perlu perubahan lagi. Husein memperhatikan dengan seksama dan sesekali bergumam tanda bahwa ia mulai memahami cara packing. Aku berhenti dan melihatnya

“mau coba packing?” tanyaku padanya

“iya tapi saya tidak mengerti” jawabnya halus

“coba aja, biar aku yang jelasin ke kamu” aku berjalan ke arah Husein dan membiarkan dia yang melakukan packing. Saat ia memasukan barang aku mulai memberikannya arahan mulai dari memilih peralatan yang ringan lebih dahulu di taruh di bawah hingga peralatan yang berat ditaruh di atas. Berbeda denganku, Beni melakukan packing untuk tas carier miliknya dan tas gendong milik para perempuan, jadi ada beberapa barang milik perempuan yang ditaruh di carier Beni agar tidak terlalu memberatkan mereka. Ini juga sebenarnya membuatku sedikit was was, karena apa yang dibawa Beni sudah cukup berat tapi ditambah lagi dengan bawaan milik perempuan otomatis akan lebih berat lagi, tapi rasanya ia sudah terlalu percaya diri jadi ku biarkan saja.

Tepat setelah Ashar berkumandang, pendakian dimulai, setelah berdoa kami berjalan beriringan layaknya power ranger, tak lama kemudian kami mulai berjalan layaknya semut dengan Beni yang memimpin didepan, diikuti oleh Nisa, Husein, lalu ada Aliya dan aku yang berada paling belakang. Beni memimpin karena ia yang tahu arah jalan pendakian, tapi kurasa ia ingin berada dibelakang di posisi ku berada karena Aliya ada disini. Aku sendiri sebenarnya samar-samar masih ingat jalan pendakian karena dulu pernah mendaki gunung ini bersama Beni. Namun karena fisikku yang lemah aku tidak bisa secepat Beni yang didepan, Beni sendiri membawa beban penting dalam cariernya yaitu tenda, yang otomatis dia harus ada di tempat camp sebelum malam tiba dan sudah mendirikan tenda. Beni sadar posisinya jadi dia menahan egonya untuk berada dibelakang.

“Istirahat dulu dong cape banget nih!” pinta Aliya sambil memijit pahanya.

“okay istirahat dulu 5 menit guys! Tapi jangan duduk yah, usahain tetep bediri” ucap Beni membalas Aliya. Beni berjalan menuju Aliya yang bersender pada pohon besar.

“kamu masih kuat? Kalau enggak sini aku aja yang bawain tasnya,” ucap Beni. Aku sendiri sepakat dengan keputusan Beni untuk memberikan tasnya agar Aliya bisa mendaki tanpa terbebani.

“gakpapa kak, aku kuat kok Cuma butuh selonjoran aja nih,”

“yaudah duduk aja Aliya gakpapa tapi jangan ditekuk kakinya,” mendengar itu Aliya langsung duduk dan menyelonjorkan kakinya.

“Gimana Ya lo kuat kan?” Kini Nisa yang bertanya setelah menghampiri Aliya

“iya kuat kok nis hehe” balas Aliya sambil menoleh kepada Nisa yang terlihat cukup khawatir

“Gimana Ben? Kira kira nyampe pos buat ngecamp berapa jam lagi?” Tanya Nisa kepada Beni

“Normalnya 2 jam juga udah nyampe kok kalau kita gak banyak berhenti” ucap Beni sambil melirik jam tangannya.

Aku berdiri dan berbicara dengan Beni untuk meneruskan perjalanan dan membiarkannya mendirikan tenda dan menyiapkan makanan terlebih dahulu sebelum malam tiba. Beni menolak karena tidak ingin teman temannya ditinggal, Aliya yang merasa tidak enak berdiri dan berbicara juga kepada Beni

“iya Kak, duluan aja. Takut Aliyanya jadi beban mending temen temen yang bisa duluan, duluan aja terus buat tenda kaya apa yang diucapin bang Dika,” aku sedikit kaget sang putri kerajaan bisa juga bicara layaknya orang dewasa dan menghipnotis Beni hingga akhirnya luluh dan setuju dengan ideku

“oke deh, kalau gitu gue sama Nisa duluan keatas. Onta carier lo tukeran sama Nisa aja, lo sama Gondrong nemenin Aliya ya?” Husein mangut mangut tanda setuju, dan Nisa pun memakai Carier.
“nanti kalau udah selesai buat tenda sama makanan aku bakal jemput kamu lagi Ya,” ucap Beni halus kepada Aliya. Aku pura pura tidak dengar hal itu dan memalingkan wajah ke arah Husein yang sedang memakai tas gendong

“iya kak, gakpapa kok kan ada bang Dika sama bang Husein” tolak Aliya halus.

Setelah percakapan romantis selesai kami melanjutkan pendakian, dengan Husein yang mengikuti ritme Aliya dan aku. Sedang Beni dan Nisa sudah jauh mendaki dengan cepatnya, rasanya Beni tidak ikhlas membiarkan Aliya sendiri disini. Husein berjalan di depan Aliya, dan aku berada di barisan paling belakang, namun karena merasa Husein tidak tahu arah maka aku menyusul Aliya sebentar dan berbicara dengan Husein.

“Husein, kamu dibelakang ya biar aku yang pimpin jalan,” pintaku kepada Husein namun anehnya Husein menolak

“ah tidak, saya tidak mau. Saya akan sulit untuk melihat jalan karena terhalang bokong Aliya, itu godaan Syetan saya tidak mau!” mendengar itu aku hanya tercengang, lalu tanpa sadar aku menoleh kepada Aliya dan Aliya menoleh juga kepadaku dengan wajah yang memerah dan mata yang sedikit melotot. Terima kasih Husein, kamu berhasil membuat suasana super canggung antara aku dan Aliya.

Kami berjalan lagi dan jam sudah memasuki pukul lima sore. Matahari mulai turun dan suasana rasanya mulai gelap.

“bang Dika,” panggil Aliya

“Iya?”

“bang Dika gak ngeliatin aku kan?” tanya Aliya disela sela istirahat dengan pelan agar tidak terdengar Husein yang sedang merogoh botol minum.

“enggak kok, jangan dengerin Husein. lagian pas jalan aku cuma fokus ngeliat bumi,kalau aku ngeliat kamu terus bisa jatoh nanti,” jawabku berusaha tenang

“oh iya juga hehe” kulihat ada perasaan lega dari Aliya. Kurang ajar kamu Husein sungguh membuat suasana tidak nyaman saja.

“ayo kita lanjut lagi,” teriak Husein , lalu Aliya berdiri dengan tarikan nafas yang panjang ia mantapkan langkah kakinya.

2 menit berselang sudah mulai terdengar gemericik air terjun.
“bang Dika, itu suara apa?” tanya Aliya dengan nafas yang tersengal sengal

“itu air terjun, kita bentar lagi sampe di pos 1” kataku

“air terjun? Wah disini ada air terjun? Keren banget dong,” ucap Aliya terkagum kagum, walaupun intonasinya berantakan.

"saya bisa shalat disana gak kira kira Ndrong?" tanya Husein sambil berhenti dan mengambil nafas
"bisa kok" jawabku singkat

"ah tapi sajadah ku tadi kan ditinggal," keluh Husein

"nanti pakai matras aja,"

"Bang Dika sering naik gunung ya?" kini Aliya yang bertanya disela perjalanan yang makin curam
"enggak juga, cuma dulu pernah naik gunung," jawabku asal karena nafasku juga sudah mulai habis. tak dirasa sambil berbincang-bincang diperjalanan kami sudah sampai di pos 1 dan beristirahat sejenak sambil menunggu waktu maghrib. Husein dan Aliya pergi melihat air terjun berbekal botol minum kosong dan sepasang senter, sedang aku menunggu di salah satu gubug yang berdiri di pos satu dan mulai mengeluarkan alat masak untuk mengisi perut dengan beberapa bahan makanan yang kupikir bagus untuk menambah kalori mereka berdua.
 

Saat mereka kembali matahari sudah tenggelam sempurna, menyisakan penerangan pada lampu senter dan percikan api yang muncul dari kompor kecil yang tengah kunyalakan. Kulihat Husein sudah memimpin Aliya dalam perjalanan menemui Tuhan. Aku tersenyum melihatnya, aku jadi teringat betapa menyenangkannya pendakian bila kita mampu menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Sang Pemilik Hujan. Saat selesai beribadah, aku mengirim isyarat untuk bergantian kepada mereka. Kini mereka yang memasak.

"Ndrong kapan kita naik lagi?" tanya Husein setelah selesai menghabiskan makanannya

"jam 7 kita naik lagi," jawabku

"masih lama gak sih buat nyampe ke tempat camp?" tanya Aliya

"lumayan,"

"Sekarang masih jam setengah tujuh nih Ndrong, kenapa gak sekarang aja?" Tanya Husein

"gak usah buru-buru, yang penting kita bisa nyampe ke tempat camp dengan selamat. Lagian kita juga sekalian nunggu waktu Isya," itu adalah jawaban terpanjang selama perjalanan ini yang aku utarakan.

"iya bang Husein, aku juga masih kenyang abis makan ini," jawab Aliya menyetujui ideku

"oke deh, kalau gitu aku mau ngaji dulu aja ya," Husein izin pamit dan masuk ke dalam gubug dan mulai membuka ponsel pintarnya.

"Bang Husein taat banget ya bang Dika," seru Aliya

"Iya, aku kira juga gak akan setaat itu," jawabku sambil mengikat rambut yang dari tadi berusaha menusuk mataku. Aliya memperhatikanku dan terlihat penasaran

"ada apa Ya?" tanyaku

"bang Dika kok rambutnya di gondrongin sih?" Aliya bertanya dengan penasaran.

"gakpapa cuma pengen aja,"

"bohong pasti ada alesannya kan?" matanya menusuk mataku, kualihkan mataku melihat langit yang semakin gelap tanpa bintang

"sengaja sih biar gak ada yang manggil aku sumbing," bodoh luar biasa kamu Dika Raffathul Ghoir, untuk apa aku memberi tahunya. saat aku melirik wajah Aliya terlihat dirinya yang terheran heran.
"emang kenapa kalau sumbing?" pertanyaannya membuat jantungku lemas, biasanya akan kukutuk mereka yang seenaknya bicara seperti itu, tapi ada yang berbeda dengan Aliya. Entah cara biacaranya, atau nada biacaranya, atau apa pun itu malah membuatku terharu aku merasakan sebuah ketulusan dari seseorang yang berada di pihakku tanpa adanya embel embel kasihan. sebuah perasaan tulus yang tidak bisa kujabarkan.

"mereka akan mengejekku, dan itu menyebalkan jadi ku gondrongkan rambutku biar tidak ada yang melihatnya," aku berusaha menjelaskan dengan tatapan kosong kepada langit malam
"jangan takut bang Dika kan ada aku hehe," apa apaan ini!? jantungku serasa diremas mendengar ucapannya. ada rasa hangat yang menyelimutiku, seperti aku berani jatuh dari tebing karena yakin ada orang yang akan menangkapku. Kini aku paham kemampuan hipnotis dari Aliya yang memang sangat luar biasa membuat siapa pun menjadi merasa lebih baik.

"kamu juga jangan takut," jawabku

"kok aku jangan takut?" tanya Aliya heran, aku mengambil sebatang rokok yang terselip di saku kemejaku, lalu membakarnya. Aliya masih terpaku dengan heran, lalu aku bergerak mendekat kepadanya lalu perlahan kujulurkan lengannya

"jangan takut Aliya, bentar aja kok," Aliya masih tidak paham. namun saat aku mulai mengarahkan rokok yang sudah kubakar ke arah lengannya yang terdapat pacet Aliya teriak dan mengagetkan Husein yang sedang fokus mengaji

"Ada apa!" Husein berlari keluar dari Gubug, lalu pacet yang tadi menempel jatuh ketanah meninggalkan Aliya yang berdiri ketakutan dan duduk di pinggir gubug.

"Hiiii bang Dika tadi itu apaa!?" Aliya mengelus elus tangannya dan memeluk tubuhnya yang menggigil ketakutan.

"pacet" kataku singkat

"pacet?" Husein bertanya tanya

"semacem lintah gitu, disini emang lumayan banyak," jawabku

"iih kok cuma aku yang digigit!" Aliya masih bergetar karena geli dan takut, Husein pun langsung melihat tubuhnya sendiri untuk meyakinkan bahwa ia tidak digigit pacet. aku berjalan mendekati Aliya sembari merogoh tas kecil yang menggelantung pada leherku

"Jangan takut Aliya, kan ada aku," jawabku mencoba menenangkan Aliya dengan meniru ucapannya. Lalu aku oleskan lotion anti nyamuk ke lengannya, lotion ini sengaja kubawa untuk jaga jaga bila adanya pacet, tapi ini juga menurut ingatan pengalaman mendakiku yang sudah lama sekali jadi sebenarnya aku juga tidak terlalu yakin dengan lotion ini bisa mencegah adanya pacet yang akan menyerang lagi.

"astaghfirullah Dika! bukan muhrom!" Husein berteriak, sontak aku kaget dan melepaskan tanganku saat mengoleskan lotion ke lengan Aliya. melihat hal tersebut Aliya dan Husein tertawa sedang aku hanya tersenyum kecut.

masuk pukul setengah delapan kami melanjutkan perjalanan setelah aku memberikan dua bungkus cokelat untuk Aliya dan Husein. Melihat aku yang memberi mereka cokelat, Aliya bertanya penasaran

"kok dikasih cokelat bang Dika? ini buat apa?"

"bagus buat kalori, jadi kuat naiknya," jawabku

perjalanan kembali dimulai, namun sungguh setelah pos 1 terlewati jalur pendakian semakin curam dan rumit, belum lagi sepatu Aliya yang licin membuatnya sulit untuk menapak dan beberapa kali gerimis sempat turun membuat Aliya hampir terjatuh.

"kita berhenti dulu," ucapku dari belakang. Husein langsung menopang dirinya dengan memegang lututnya yang sesekali gemetar, lalu Aliya duduk menyelonjorkan kakinya. Melihat kondisi sepatu Aliya yang sudah berantakan, aku memintanya untuk menukar sepatunya.

"Aliya ukuran kakinya berapa?" tanyaku

"39 bang, kenapa?"

"kalau gitu pas, ini pakai sepatuku aja. ukurannya 40, beda tipis," ucapku

"eh jangan bang, nanti bang Dika pake apa?"

"aku ada sendal cadangan, bahaya kalau kamu pake sepatu itu," tanpa menunggu persetujuannya aku sudah berlutut di depannya dan melepaskan sepatunya kulihat kaus kaki yang melilit kakinya pun sudah basah, jelas ini akan membuatnya semakin tidak nyaman dalam mendaki. Aliya terlihat pasrah karena aku sudah terlanjur melepas kedua sepatunya. Aku bongkar carierku dan mengambil sepasang kaus kaki kering, lalu memasangkannya kepada Aliya, lengkap dengan sepatuku.

"makasih bang Dika," ujar Aliya

"nyaman?" tanyaku

"iya jadi lebih nyaman bang,"

"ayo lanjut," aku membantu Aliya berdiri dan melanjutkan perjalanan bersama Husein.

Tak perlu menunggu lama alam mulai berkecamuk, hujan mulai mengguyur cukup deras Husein yang awalnya berada di depan terpukul mundur berada di belakangku. kini Aliya yang berada di depan memimpin kami, kulihat Husein dan Aliya sudah menggigil kedinginan dan gerak Aliya melambat karena sulit untuk melihat kedepan. aku berinisiatif untuk menyusul Aliya dan memimpin jalan, setidaknya dengan aku berdiri di depan, herpaan angin dan air yang turun dari puncak gunung tidak langsung menusuk Aliya pikirku. Sekitar sepuluh menit berjalan dalam hujan tak kusangka semakin deras, belum lagi angin yang terus berderu kencang membuat suasana menjadi ramai, ku tengok rekanku yang dibelakang sorot mata mereka meredup tidak seperti saat di kaki gunung.

"Bang Dika masih jauh?" suara Aliya bergetar karena menahan dingin, kulihat tangannya berpegangan pada pelindung hujan tas carierku, aku pun menoleh

"bentar lagi. kita berhenti disini dulu aja, aku bawa flysheet kita bisa neduh dulu nunggu hujan reda,"

Aliya dan Husein mengikuti dalam diam, jam sudah menunjukan pukul setengah sembilan. kalau perkiraanku tepat, seharusnya Beni dan Nisa sudah mendirikan tenda dan menyiapkan makan untuk kami yang tertinggal. Dan aku yakin Beni pun tak akan berani turun gunung sendirian demi menjemput Aliya dalam badai seperti ini karena hanya akan membawa resiko yang lebih besar. Akhirnya aku pun menemukan tanah yang cukup landai untuk dijadikan tempat peristirahatan sementara kami hingga badai mereda.

Husein menaruh tas punggung yang ia bawa lalu mulai membantuku mendirikan bivak, melihat gerakan Husein yang membantuku tanpa perlu aku minta sungguh sudah cukup membuat hatiku hangat dan bersemangat untuk menjaga mereka. Tunggu siapa disini yang dari awal bersikukuh untuk membatalkan pendakian ini? Tapi sudahlah, kita sudah terlanjur mendaki tak ada gunanya bertengkar dengan isi pikiranku sendiri, kini dua orang rekanku sedang diambang putus semangat, aku harus ada untuk mereka, setidaknya itu pikirku.

dengan mengikat Flysheet di beberapa ranting yang menggantung dari pohon besar, bivak sederhana pun sudah rampung, Aliya yang menggigil mencoba membantu dengan menggelar matras setelah diarahkan oleh Husein. kamu keren Husein. Tapi cukup lucu juga karena Aliya yang tidak tahu bagian alas matras, ternyata Aliya terbalik memasang matrasnya, tapi sudahlah tak apa setidaknya kita bisa duduk di alas yang kering.

"gila ndrong dingin banget!" Husein menggigil, aku mencoba merogoh carierku berharap aku membawa handuk kecil yang bisa membilas air yang menempel di tubuhnya, aku menyadari bahwa bivak yang dibuat ini cukup bagus karena air hujan tidak banyak menerobos masuk karena dilindungi pohon besar yang hampir menutupi bivak, hanya sisi kanan dan kirinya saja yang bolong sehingga masih ada beberapa cipratan yang masuk, namun masih bisa dihalang dengan tas.

"Ini pake aja buat ngelap bersih kok," aku melempar handuk kecil kearah Husein

"wah terima kasih Ndrong!" ia mulai mengelap wajah dan badannya yang basah kuyup akibat hujan.

"saya gak nyangka naik gunung bisa sampe kaya begini, bener katamu semalem ndrong perlu ada persiapan yang mateng buat naik gunung, nyesel aku juga gak bawa sepatu jadi gak enak banget kakinya," ucap Husein, aku hanya mengangguk setuju, namun kulihat Aliya menggigil cukup keras

"Aliya pakai ini, selimutin ke badan kamu" aku memberikannya sleeping bag, aku harap ini bisa menghilangkan rasa dinginnya, ia hanya mengangguk. lalu kuminta kedua tangannya, aku berusaha menghangatkannya dengan menggosokkan kedua telapak tanganku ke tangannya.

"Liya, kalau kepalanya dingin di lepas dulu aja kerudungnya usap pakai handuk kecil," aku mencoba mengajak bicara Aliya yang perlahan membuatku khawatir, Aliya menggeleng dan berbicara

"Enggak mau, ini penting," aku rasa ia masih memegang teguh niatnya untuk tidak memperlihatkan sehelai rambutpun kepada laki-laki lain selain ayahnya.

"Bener Ya, kamu lepas dulu aja kerudungnya nanti kita berdua negliat ke arah pohon aja, kamu bawa anduk kecil kan?" mendengar ide Husein, Aliya pun menurut dan meminta kami berdua untuk menutup mata. aku menarik tanganku dan merubah posisiku melihat pohon besar. untuk memecah keheningan aku mulai berbicara

"gimana Ya? udah lebih anget?" tanyaku seakan mengajak bicara pohon besar

"iya lumayan," Jawab Aliya sambil menggigil

"hahaha" Husein tertawa mendengar jawaban Aliya yang berusaha menahan gigilannya, aku dan Aliya pun juga tertawa mendengar Husein yang tertawa sambil menggigil.

"aku gak mau lagi naik gunung," ucap Aliya, saat itu ingin aku menoleh tapi tidak jadi.

"cape yah?"

"iya, dingin banget lagi. Gimana kalau hujannya gak berhenti? kita tidur disini? aku takut ada pacet lagi," keluh Aliya cukup menyayat hatiku, karena terdengar sangat sedih dengan intonasi yang semakin kecil. Husein yang mendengarnya pun kurasa sepakat dalam diamnya.

"hmm," Husein bergumam

"aku juga cuma jadi beban aja buat kalian, pasti kalian pengen cepet cepet nyampe tenda terus bisa makan, tau gini aku gak mau ikut! aku kira naik gunung gak akan seserem ini," Aliya merintih menahan tangisnya yang keluar. Aku rasa ia mulai meledakan emosinya yang disimpan sejak sore.

"Enggak Liya, jangan ngomong begitu, istighfar Liya," Husein mencoba menenangkan Aliya, aku hanya diam mendengarnya bicara dengan menatap pohon.

"Gakpapa kok kalau aku ditinggal disini, kalian duluan aja aku cuma ngerepotin kalian aja. aku gak ngerti naik gunung sampe kesini aja bawa payung, aku juga diem aja dari tadi abis aku malu gak bisa apa apa gak ngerti apa apa sampe ngerepotin bang Dika sama bang Husein sekarang hujan-hujanan di tengah gunung gini," Aliya terus berbicara dengan sesekali sesunggukan. rasanya dia sudah diambang batas pengendalian emosinya, Husein berusaha menenangkan Aliya namun Aliya terus membantahnya dengan logika negatifnya yang entah kenapa luar biasa masuk akal. aku kembali merogoh tas carierku dan mengambil baju kering, kulempar baju itu ke arah suara Aliya. ia terdiam, begitu pula Husein yang melihat apa yang kulakukan. sepertinya tepat menutupi kepala Aliya yang menunduk dalam pangkuan lengannya. Aku elus kepalanya

"Jangan takut, gunung enggak seseram itu kok," mendengar itu sontak Aliya menangis sejadi-jadinya, aku terus mengelus kepalanya dengan badan tetap condong melihat pohon. Kulirik Husein dan meminta tangannya juga mengelus Aliya, namun apa yang dilakukannya malah memegang tanganku yang sedang mengelus Aliya.

"naik gunung emang cape, dan ribet, tapi semuanya kebayar kok sama cerita selama perjalanan yang kita tempuh," bisa kulihat Husein perlahan melempar senyum ke arah pohon, sedang Aliya masih sesunggukan mencoba menenangkan diri.

"tenang, Beni sama Nisa pasti bakal nyiapin mi ramen buat kita makan bertiga," ucapku asal, Aliya mencubit pingganggku sontak aku mengerang.

"jangan ngawur, mereka gak punya mi ramen!" bisa kurasakan Aliya tertawa dalam tangisnya, Husein pun tertawa, kami bertiga hanyut dalam rasa suka dibawah aliran hujan yang terus mengguyur.
 

Kulirik jam sudah memasuki pukul setengah sepuluh malam, Hujan sudah menitikan salam terakhirnya.

"udah reda nih Ndrong, kita lanjut aja?" tanya Husein sambil melihat keluar bivak. Aku berpikir untuk melanjutkan perjalanan namun kulihat Aliya sudah terlelap dengan kerudung barunya. ya pakaianku. aku mencoba membangunkannya selembut mungkin agar badannya tidak kaget.

"Aliya, bangun. Kamu mau lanjut atau enggak?" tanyaku. rasanya perjalanan ini akan tergantung keputusan Aliya, karena akan berbahaya bila memaksakan naik bila kondisi Aliya sendiri tidak sanggup untuk terus naik.

"hmm?" Aliya berusaha bangun dan duduk dari tidurnya.

"sorry," gumamku pelan, entah Aliya mendengarnya atau tidak.

"udah reda ya? bang Husein hujannya udah reda?" sambil mengucek bola matanya Aliya bicara

"Sudah Liya, sudah reda," ujar Husein

"gimana bang Dika, mau lanjut?" kini Aliya yang membalikan pertanyaanku.

"gausah deh, kita disini aja ngecamp sampe pagi. nanti pagi kita lanjut lagi," melihat Aliya yang terlihat sangat lelah aku merubah pikiranku untuk tidak melanjutkan pendakian. tapi kulihat ada sedikit tatapan protes dari mata Aliya

"kok gitu? kan udah reda bang Dika, kenapa kita gak lanjut lagi?," Husein melirik ke dalam bivak melihat suara Aliya yang cukup meninggi.

"kamu cape Ya, jadi kita ngecamp disini aja, nanti aku sama Husein coba buat api unggun supaya sedikit anget disini," terangku

"gak mau! Aku masih kuat kok,kenapa sih masih dianggap lemah juga!? apa karena aku cewe gitu jadinya keliatan cape dikit langsung dianggep gak kuat?" perkataan yang cemerlang dari sosok Aliya, membuatku terpojok. Aku berusaha minta tolong Husein dengan meliriknya, namun dia hanya mengangkat bahunya pertanda "aku tak tahu apa apa jangan libatkan aku!". Melihat Aliya yang melotot aku mengangkat tangan, tak kusangka dia bisa mendadak segalak ini setelah sebelumnya menangis tersedu sedu. dengan paksaan Aliya, pendakian berlanjut.

 Kini aku yang memimpin di depan, disusul Aliya dan Husein yang berada dibelakang. Perjalanan terasa sangat sulit karena medan yang baru saja diguyur hujan jadi sangat licin dan berlumpur. Belum lagi tekstur medan yang memaksa kami harus berjalan dengan keempat kaki. ya, kami memaksa kedua lengan kami menjadi penopang kami karena jalurnya yang curam. untungnya kami bertiga membawa senter masing masing jadi tidak terlalu repot dalam mengambil jalur.

Sekitar setengah jam berlalu dari tempat kami bertiga membuat bivak, bau belerang sudah mulai tercium pertanda tempat camp yang bersebelahan dengan kawah sudah dekat, semangat kami langsung menggebu-gebu disela waktu istirahat. bisa kulihat perubahan drastis Aliya, yang tadi banyak diam dan sesekali bertanya kini ia lebih semangat dan ceria terlihat dirinya yang seringkali bersenandung walau nafasnya tersengal-sengal. Sedang Husein fokus dalam mengatur nafasnya yang tidak beraturan, sesekali ku ingatkan mereka untuk bernafas melalui hidung agar staminanya terjaga. Tak terasa tepat pukul setengah sebelas kami sampai ke areal perkemahan di kawah, Husein dan Aliya langsung berteriak puas

"Kami sampai!!" layaknya mereka baru saja memenangi lomba lari 10 KM namun dengan segera aku mengisyaratkan mereka untuk tidak berisik, karena takut mengganggu pendaki lain dan hewan hewan malam yang ada di sekitar. 

Tak butuh waktu lama untuk mencari tenda kami, karena hanya ada 2 regu pendakian yang mendaki hari ini. mungkin olahraga mendaki gunung sudah tidak terlalu diminati lagi oleh banyak orang.

Dengan buru-buru Aliya membuka tenda yang muat untuk kami berlima tidur bersama, saat terbuka bisa kulihat Beni tertidur dengan berselimutkan sleeping bag, sedang Nisa sedang mengotak atik kameranya.

"Nisa!!" Aliya meloncat masuk kedalam dan memeluk Nisa.

"Aliya!! lo kemana aja! lo gak kenapa napa kan!?" tanya Nisa khawatir. Aku dan Husein yang masih diluar segera menaruh tas di teras tenda yang dari tadi memberikan beban pada pundak kami. Aku mengajak Husein untuk mengganti pakaian yang kering dan menjemur pakaian yang basah di salah satu gubug yang tak terpakai.

"Saya gak nyangka ternyata naik gunung bisa seseru ini Dik!" Husein berbicara dengan semangat sambil menanggalkan pakaiannya

"Seru kok asal tetep hati hati" ucapku

"Makasih loh, coba gak ada kamu tadi dijalan, pasti saya udah nyerah tadi," Husein menepuk pundakku yang telanjang bulat

"aw sakit Onta!" kataku, dan kami tenggelam dalam tawa. Kami kembali menuju tenda, kulihat Beni sudah bangun dan sudah berbincang dengan Aliya dan Nisa. Yah melihat mereka bertiga bisa berbicara satu sama lain membuatku cukup hangat di dalam. Husein masuk dan ikut bergabung untuk ngobrol, sedang aku menyalakan kompor dan mulai memasak air untuk membuat kopi instan.

Sambil menunggu air matang, aku merebahkan matras disamping kompor dan mulai melakukan kegiatan yang membuatku rela setengah mati untuk naik gunung dulu. Melihat langit malam dengan beralaskan matras. Ini adalah candu yang luar biasa. Rasanya aku bisa tidak tidur semalam suntuk untuk melihat langit malam yang luar biasa indah ini.

Saat aku terlelap dalam lamunanku, kulihat Nisa dan Aliya keluar dengan membawa sekantung plastik. Aliya tersenyum padaku, aku balas dengan melempar senyum juga, Nisa melihatku heran, aku juga melihatnya heran. mereka berjalan menjauh dariku yang masih terbaring. saat mereka kembali, aku terduduk dan mulai menyeduh kopi.

"Sejak kapan rambut lo dikuncir Ndrong?" oh pantas saja Nisa melihatku heran

"ah kamu naik duluan sih!, dari tadi rambutnya dikuncir terus loh jadi mirip Legolas gitu kan!?" ucap Aliya yang berdiri dibelakangnya, aku hanya nyengir mendengarnya

"Wahaha jauhh!! udah yuk masuk, lo gak dingin diluar Ndrong?"

"enggak kok, enakan disini," jawabku tanpa mengalihkan mataku dari kopi yang sedang ku aduk. mereka masuk ke dalam tenda dan menikmati kehangatan dari rasa persahabatan. Aku juga ingin masuk ke dalam lingkaran obrolan sahabat itu, tapi langit ini terlalu cantik untuk dilewatkan. biarlah aku tenggelam dalam sunyi bersama langit malam ini.

"aku mau kopi juga dong bang Dika," pueh, kulepehkan kopi yang sedang kuseruput dengan nikmat itu. bukan karena tidak enak, karena kaget ada Aliya gabung duduk dihadapanku.

"eh bang Dika pelan pelan dong," aku terbatuk dan memberi simbol aku tak apa apa dengan menunjukan telapak tanganku ke arahnya.

"boleh boleh, sebentar ya," ucapku. sungguh, rasanya saat ini aku tak ingin diganggu. tak bisakah anda melihat betapa inginnya diriku ini sendiri wahai putri?

"bang Dika kok sendiri mulu?" tanya Aliya sambil merubah posisinya yang tadi jongkok jadi duduk bersila, tak tega melihatnya kotor, aku menyuruhnya duduk di matras di sebelahku.

"Kamu tau gak apa yang ngebuat gunung gak serem?" tanyaku saat Aliya sudah duduk di matras yang sama denganku

"apaan bang?" tanyanya

"liat deh keatas," kataku singkat. aku menyeruput kopiku sekali lagi dan meresapi nikmatnya kopi instan yang mungkin tidak sebanding dengan kopi aceh yang sering kuminum di kafe dekat kampus. saat aku menoleh kearah Aliya dia terkagum kagum dengan apa yang disajikan semesta pada malam ini

"Karena sesungguhnya dibalik kesulitan ada kemudahan, dan sesungguhnya dibalik kesulitan ada kemudahan. setelah kesulitan dilewati, maka nikmat mana lagi yang perlu kita dustakan?" aku mulai mengucap kata kata sulit dalam lamunanku melihat langit malam. sepi, Aliya tidak menanggapi ucapanku, kurasa ia masih menelaah keindahaan malam yang terlampau sulit ia temui kala di kota. Tapi memang insting manusia itu hebat, saat dirinya merasa ada yang memperhatikan akan langsung bergerak melihat siapa yang memperhatikan, ternyata Aliya tidak sedang menelaah indahnya malam tapi sedang memperhatikanku dengan tatapan yang tak bisa kujelaskan. tatapan kami bertemu, kupalingkan wajahku ke kompor yang masih memasak air, begitu pula Aliya yang dengan segera memalingkan wajahnya. Aku berusaha tenang. Kuseduhkan kopi yang dpinta Aliya dan menyerahkannya

"makasih," ucapnya, aku hanya mengangguk. selanjutnya kami terhanyut dalam hening.
aku sendiri sebenarnya tidak terlalu bermasalah dengan suasana hening ini, tapi aku jadi merasa tidak enak sendiri karena tidak mengajaknya ngobrol. kutepis perasaan aneh yang menjulur sedari tadi.

"Gimana sekarang menurut kamu?" tanyaku tanggung

"gimana apanya?" tanyanya tanpa menoleh padaku

"naik gunung, gimana rasanya?" tanyaku juga tanpa menoleh padanya

"seru, campur aduk gitu apalagi pas kita udah nyampe sini terus ketemu Nisa sama Ka Beni perasannya jadi puas banget. Terus pemandangannya juga ternyata keren banget disini," okay, Aliya mulai mencairkan keadaan

"betul, ini yang dulu ngebuat aku suka naik gunung,"

"ngeliat langit?" tanya Aliya

"iya, kadang orang naik gunung nyari kepuasan liat matahari terbit atau matahari terbenam, atau sekedar foto di puncak gunung. tapi buat aku, yang paling menarik itu tiduran di luar tenda terus ngeliat langit,"

"hmm iya ya, kayanya aku ngerti deh maksudnya,"

"haha" aku tertawa ringan

"terus kenapa bang Dika gak naik gunung lagi?"

"Dulu ada temen yang meninggal dunia pas naik gunung karena hipotermia, terus aku juga jadi sumbing karena naik gunung. jadi gak mau naik lagi," percakapan ini adalah percakapan yang sangat ingin kuhindari, tapi ada rasa hangat yang lagi lagi muncul ketika aku membicarakan hal ini dengan Aliya. dia sudah seperti penyihir pikirku

"pantes bang Dika hati hati banget, beda sama kak Beni yang keliatannya santai aja," ucap Aliya dengan nada yang sedikit tercekik. mungkin ada perasaan bersalah karena menanyakan hal tersebut. aku hanya diam tak menanggapi.

"kamu gak masuk ke dalem?" tanyaku mulai penasaran,

"nanti aja, lagian aku mau nyobain kopi bang Dika," aku tertawa walau entah itu lucu atau tidak.

"udah gak dingin lagi kan?" tanyaku, kali ini aku menatap wajahnya karena aku sedikit merasa khawatir.

"udah enggak kok, tadi udah ganti baju jadi enggak dingin lagi hehe," sepertinya ia merasa malu mengingat kejadian saat hujan sebelumnya

"yang tadi maaf ya bang, aku malah nangis, malu maluin banget," dia menundukan kepalanya lagi dalam pangkuan lengannya yang bersimpuh pada kedua lututnya. kulihat dirinya sudah tidak seberantakan saat hujan, pakaiannya jadi lebih rapih dengan kerudungnya yang juga kering.

"gakpapa, karna kalau digunung sifat asli kita emang pasti keluar. dan perasaannya akan jadi plong kalau sifat asli kita keluar, jangan malu," tukasku mencoba menenangkan Aliya.

"Oh iya Liya,"

"iya bang?" Aliya menarik kepalanya dari tundukan malu

"baju aku dimana ya? kan tadi kamu pake jadi kerudung?" tanyaku, ada hening yang cukup lama setelah aku bertanya.

"Oh iya aku lupa!! tunggu bang Dika!" lalu Aliya berlari menuju gubug yang tadi ia gunakan untuk berganti baju, aku terkekeh melihat tingkahnya lalu kubaringkan kepalaku di matras. jadi beginilah sifat asli dari putri kerajaan Aliya, lucu sekali dan sangat manis. Uhuk! tunggu kenapa aku memujinya!? Beni, Husein, dan Nisa keluar dari tenda setelah Aliya berteriak cukup keras tadi.

"Loh Aliya mana Dik?" tanya Beni padaku yang masih berbaring, aku menunjuk gubug tempat ia berganti baju dengan sesekali batuk karena tersedak pikiranku sendiri. tak lama Aliya datang membawa pakaianku dan aku hanya tersenyum. malam itu kami terus berbincang sampai tak terasa sudah pukul setengah satu pagi, pantas saja mataku mulai sayup sayup karena merasa lelah. Tidak hanya aku, semuanya pun begitu. Beni mengajak semuanya beristirahat karena rencananya akan melanjutkan pendakian pada pukul 4 pagi ke puncak untuk melihat matahari terbit. Semua masuk ke dalam tenda, kecuali aku yang masih terbaring di matras dan menatap langit Kulihat Beni pun masih berdiri di luar tenda.

"mau tidur di hammock lagi Dik?" Tanya Beni memang untuk beberapa kasus Beni tidak akan memanggilku Gondrong, melainkan namaku sendiri. entahlah.

"iya Ben, kamu duluan aja abis ini aku mau masang hammock," pintaku, karena bisa kurasakan ada rasa letih di suaranya yang terlontar. Beni berjalan kearahku

"Sory gue gak bisa turun tadi," lirih Beni

"gakpapa, aku yakin kamu sepikiran sama aku kok," jawabku karena yakin Beni sadar hanya akan memperkeruh keadaan bila dia memaksakan diri untuk turun dan menjemput Aliya.

"Lo gak nyesel kan?" suara Beni masih terdengar lirih seakan menekan luka

"soal apa?" tanyaku ringan

"milih buat naik lagi?" dirinya yang berdiri disampingku yang masih berbaring menatap lurus mataku

"enggak kok, malah makasih," ku sunggingkan senyum karena memang aku malah berterima kasih karena kenekatannya aku bisa sedikitnya lebih dekat dengan beberapa orang. Setidaknya dinding yang kubuat bisa hancur untuk sementara waktu ini

"Okay, gue masuk dulu kalau gitu Dik, lo juga tidur kita butuh lo pas muncak nanti," pinta Beni sambil berjalan ke arah tenda

"sip," jawabku. Beni sudah masuk ke dalam tenda dan mematikan lampu senter yang menggantung di dalam tenda. tanpa basa basi aku menarik badan dan segera menyiapkan hammock untuk tidur.
 

Sunyi menampar malam ini, tidurku cukup pulas dan nyenyak karena suasana yang asri dan bau rerumputan dan tanah basah setelah hujan sebelumnya. tapi baru sekejap mata ini terlelap satu suara membangunkanku.

"Dika, bang Dika," mataku perlahan terbuka dan mencari sumber suara, namun karena terganggu aku hanya mengerang

"hmm?" usahaku untuk mengusir siapapun itu yang mengganggu tidurku yang nyaman ini

"bang Dika bangun please!" Aliya? ah ayolah putri, kamu kali ini sudah benar-benar mengganggu waktuku, aku berusaha untuk tidak membalasnya namun karena merasa tak enak aku paksakan turun dari hammock ku yang nyaman dan beranjak ke arah Aliya

"ada apa Ya? emang sekarang udah waktunya naik yah?" tanyaku menduga-duga

"enggak bang, ini masih jam setengah dua," alisku mengangkat naik mendengarnya, lantas untuk apa kamu membangunkan tidurku ini hei!? ucapku dalam hati

"anterin aku buang air dong bang, aku takut sendirian," pinta Aliya sambil memegang kemeja hitamku.

"kenapa gak sama Nisa aja?" tanyaku agar aku bisa melanjutkan tidur

"Nisanya gak mau dibangunin bang," aku masih mengucek-ngucek mataku yang masih terasa perih.

"mau minta tolong ke bang Husein juga pasti gak mau," ah Husein, ada benarnya juga.

"mau ke kak Beni. . . ." nada Aliya menggantung, ada apa ini? tapi dengan mata yang masih kabur sulit untuk menebak ekspresi Aliya.

"kenapa kalau ke Beni?" tanyaku memastikan

"takut bang," tangannya mencengkram kemejaku kuat, aku menghembuskan nafas panjang, refleks tanganku memegang kepalanya

"masih aja manja kamu Ya," aku menguap lalu mengajaknya berjalan ke tempat yang bisa dijadikan untuk membuang air.

"disini aja, aku tunggu di belakang pohon itu yah, ini pakai senternya," aku memberi sebuah headlamp yang aku tenteng jadi senter, lalu aku berjalan menuju pohon yang ada di atas kawah. bisa kulihat pemandangan kawah pada malam ini jadi lebih indah dengan kepulan asap yang keluar terus menerus dari kawah dan cantiknya langit malam.

Tak lama Aliya menoel pundakku, aku yang masih tenggelam dalam lamunanku tentang malam ini sontak kaget,

"Astaga kirain siapa," bisa kulihat Aliya tertawa, aku mengomel karena kaget

"terus udah?" tanyaku mengehentikan omelanku

"udah bang, makasih ya hehe," Aliya cengengesan sambil mengatupkan kedua tangannya seakan meminta maaf

"ayo balik lagi ke tenda," ajakku, kami berdua jalan beriringan.

"Bang Dika gak tidur di tenda?" tanya Aliya, saat kami baru berjalan selangkah

"nanti sempit, kalian gak bisa tidur dengan lega," jawabku sederhana. tapi memang aku sendiri merasa tidur adalah bagian yang spesial dari pendakian. kita boleh menderita luka saat berjalan, kita boleh kebasahan karena hujan dan keringat, tapi untuk tidur kita tidak boleh juga menderita. ini adalah bagian dimana kita harus nyaman dan punya energi yang cukup untuk kegiatan selanjutnya.

"wow, bang Dika diem diem bisa perhatian juga ya. Oh iya bang Dika belum jawab pertanyaan aku pas tadi. kenapa bang Dika sendirian aja?" kalimat yang cukup panjang untuk seorang Aliya yang sering kulihat di kampus hanya berbicara sepatah dua patah kata saja.

"kan udah dijawab, biar bisa liat langit" kataku, tapi rasanya dia belum puas

"bukan itu, maksudnya kenapa bang Dika sering sendirian terus. bukannya bang Dika juga temennya kak Beni sama bang Husein?" tanya Aliya, pertanyaannya cukup membuat jantungku berlomba

"aku lebih suka sendiri, biar gak diejek," jawabku cengeng. Gila dengan mudahnya aku menceritakan ini dengan sosok putri kerajaan satu ini

"hmm, yaudah nanti aku temenin deh bang Dika kalau di kampus haha," Aliya mencoba memberiku semangat dalam candanya

"makasih," kataku singkat. selanjutnya kami terus mengobrol mengenai beragam topik. banyak hal yang ternyata baru kuketahui tentang Aliya setelah dia menceritakan dirinya sendiri. dia adalah anak satu satunya setelah kakak laki-lakinya meninggal, itu sebabnya dia sering memanggil laki-laki lain dengan sebutan kak, atau bang karena dia merasa itu untuk menghormati mendiang kakaknya. Namun karena sikapnya itu banyak yang merasa bahwa Aliya seperti sosok adik perempuan lucu yang harus dilindungi, dan membuat banyak laki-laki merasa gemas dan terpikat dengan pesonanya itu.

Aku sendiri melihatnya sebagai sosok perempuan manja karena selalu membutuhkan pertolongan orang lain. mendengar itu Aliya memukul ku berkali-kali dan setelah itu aku jelaskan bahwa memang itu yang terlihat di luar. Aliya yang terlihat ramah dengan semua orang ternyata sangatlah kosong di dalamnya, telrihat dari dia yang lebih banyak diam saat mendaki, aku rasa dia benar-benar kehilangan sosok yang penting baginya lalu sosok tersebut coba digantikan oleh orang tuanya dengan memberikannya banyak hal dan kemudahan hingga membentuk Aliya yang terlihat manja. mendengar pandanganku Aliya hanya diam dan mengangguk menatap kosong hutan yang ada tepat di depan tenda. kami berdua diam, lalu kuajak Aliya untuk duduk di matras yang tadi kugunakan untuk merebahkan diri. Aku lihat Aliya menundukan kepalanya lagi, sepertinya apa yang aku ucapkan sudah sedikit kelewatan.

"bang Dika bener," ucap Aliya lirih, matanya menonjol diantara kedua lengannya

"dulu aku sebenernya gak kaya gini, malah tomboy kaya Nisa," Aliya terus bicara mengenai masa lalunya yang luar biasa liar. bagaimana tidak, aku baru tahu bahwa Aliya pernah meremas buah zakar teman kecilnya karena mengejeknya sebagai laki-laki. mendengarnya membuatku ngilu dan langsung bergeser menjauh dari posisi duduknya, Aliya tertawa dan berkata tidak akan melakukannya lagi karena jijik.

Obrolan terus bergeser kepada masa laluku dan kembali lagi ke masa lalu Aliya, lalu seputar pendakian dan masih banyak lagi. hingga akhirnya kantuk mulai menyerang kami berdua, Aliya sempat terpejam-pejam saat aku berbicara dan begitu pula sebaliknya.

"Ya udah mau pagi kita tidur aja," ujarku sambil memaksakan diri untuk berdiri. Aliya membelalakan matanya dan melihatku berdiri

"Aku gak mau di dalem ah bang tidurnya, disini aja," aku melihatnya heran karena tak kukira dia mau tidur diluar. Aku pun mengajaknya untuk tidur di Hammock karena takut-takut akan ada hujan.

"Tidur di hammock aja kalau gitu," mendengar ideku, Aliya setuju dan terlihat tertarik, jelas karena pasti ini adalah pengalaman pertamanya tidur di atas hammock.

"tidurnya diagonal ya biar nyaman," Aliya mengangguk dan mulai merebahkan diri dalam hammcok, aku memperhatikannya lalu berjalan menuju tempat kami duduk sebelumnya untuk mengambil matras dan tidur di samping bawah hammock tempat tidur Aliya.

"Tidur disini bang?" tanya Aliya sambil memejamkan matanya, aku tidak melihatnya tapi aku bisa membayangkannya bicara sambil menutup mata kecilnya.

"iya biar gak keujanan, soalnya ada flysheet," ya agar saat tidur di hammock tidak kehujanan aku sudah memasang flysheet sebagai atas hammock. Kami pun terlelap

"Ndrong!! ayo berangkat!!" sebuah teriakan yang cukup memekikan telingaku membuat mata ini langsung terbuka. Aku mencari asal suara itu, dan kulihat Nisa sedang bersiap siap di depan tenda. Aku melirik jam yang berada di lengan kiriku. ternyata sudah pukul 4 pagi, aku merasa masih sangat kurang untuk beristirahat, lalu aku memejamkan mataku lagi, berharap ini hanya mimpi.

"Ndrong bangun ndrong, kita berangkat sekarang," kali ini suara yang serak dan berat tepat bergema di belakang kepalaku yang terlungkup. aku memutar badan dan kulihat Husein membangunkanku.

"Aliya ada disitu gak Onta?" kali ini Beni teriak dari depan tenda, Husein melihat isi hammock
"iya ada disini, saya coba bangunin dulu!" Husein kembali teriak. ah sudahlah tak usah kalian saling berteriak di tengah pagi buta ini. Aku pun terduduk dan menarik nafas agar rasa kantuk hilang dan energi di badanku sempurna.

"Aliya, bangun kita berangkat sekarang" ujar Husein sambil menggoyang-goyangkan hammock.
"Ahh!! berisik Aliya mau tidur!" Husein kaget saat tangan Aliya memukul tangan Husein yang ada di pinggir hammock, aku tertawa geli melihat itu, lalu ku ayun hammock dengan keras agar Aliya pusing.

"Aduuh!! pusing jangan di goyangin!" Aliya berteriak tak kusangka dia bisa sangat seram saat ingin dibangunkan, tapi aku dan Husein malah tertawa melihatnya. Aliya pun duduk di hammock yang masih bergoyang, lalu ia terjatuh tepat disampingku karena kehilangan keseimbangan untunglah tidak keras.

"aduh sakit," Aliya mengelus lututnya yang jadi tumpuan saat ia terjatuh.

"Ayo Aliya sekarang saatnya kita naik," Suara Beni kini sudah ada dibelakangku, Aliya mengangguk dan mulai berjalan menuju tenda bersama Beni. Husein masih disampingku, seperti menungguku.

"mau bawa tas?" tanyaku singkat kepada Husein yang sedang menggendong tas Carier

"Iya, bukannya kita emang harus bawa tas ya?" Husein kembali bertanya, aku menggeleng pelan

"gak usah kok, nanti kita kesini lagi, kasian ototmu nanti cape," jawabku, Husein mengangguk lalu melepas tasnya

"ooh gitu, untung kamu kasih tau. yaudah saya taro dulu tasnya di tenda."

Selang sepuluh menit, pendakian menuju puncak dimulai. Kini aku memimpin di depan, disusul Nisa, Husein, Aliya, dan Beni. kenapa Beni dibelakang? urusan romantis yang tak perlu kusinggung. Niat Beni mendaki memang sudah kuendus dari semenjak awal pendakian, niat Beni sempat membuatku ragu karena buatku sendiri mendaki bukan persoalan ingin terlihat lebih dimata perempuan, tapi soal menjadi jujur dan berusaha jadi lebih baik. Lalu bonusnya adalah langit malam yang indah, serta matahari terbit yang tak ada duanya, seperti pagi ini yang akhirnya kaki kami menginjak puncak gunung Pulo Kecil tepat pukul setengah enam pagi. Matahari terlihat masih malu-malu untuk keluar dari ufuk timur. warna kuning keemasan yang terlihat lalu menghamburnya udara malam dengan pagi yang sejuk membuat aroma bumi sangat nikmat untuk dihirup, lebih nikmat dari aroma buku yang baru dibuka.

bentuk matahari yang perlahan keluar membuatku membandingan mana yang lebih indah antara langit malam yang selalu kekejar atau matahari yang baru terbangun dari tidurnya yang lelap. satu menit ku berpikir, dua menit ku berpikir dalam diam. Aku menemukan konklusinya, mereka tak bisa dibandingkan, masing-masing memiliki nilai kecantikannya yang berbeda arah. fajar yang terbit seperti lantunan pop rock yang keras, dan langit malam bertabur bintang seperti lantunan jazz yang merdu.

"Lamunin apaan lu Ndrong?" tanya Nisa menepis lamunanku, aku menoleh padanya sesaat

"enggak," jawabku singkat

"tapi ini keren banget sih, gak nyangka gue bisa ngeliat pagi secantik ini," ujar Nisa menatap lurus matahari yang masih merangkak naik. Aku mengangguk mantap tanda setuju. Tanpa sadar kami mulai mengobrol panjang lebar, Husein yang berada sedikit jauh dari kami ikut bergabung dalam obrolan dengan nafas yang masih tersengal-sengal. Melihat Husein yang baru datang aku menanyakan keadaan Beni dan Aliya yang tertinggal di belakang

"mereka tadi masih dibelakang, Jalannya ekstrem sih jadi pasti Beni lebih sering istirahat sama Aliya, tapi kayanya bentar lagi nyampe kok," ucap Husein. biarlah mereka berdua, aku rasa ini bisa membuat Beni bahagia. tapi bagaimana dengan Aliya apa dia bahagia ditinggal berdua begitu saja? pikiranku sedikit terganggu memikirkan perasaan Aliya.

"Coba gue kesana deh biar bantu Aliya," ucap Nisa, namun belum sampai 3 langkah Nisa berjalan, Beni sudah sampai bersama Aliya dibelakangnya berpegangan tangan. Aku rasa aku terlalu memikirkan perasaan Aliya dengan berlebihan.

"Bang Dika!! aku nyampe bang!!" Aliya berteriak dengan senyumnya yang sumringah dan tangannya yang dilebarkan layaknya orang yang memenangkan pertandingan marathon, aku hanya terpaku heran ketika dia meneriakan namaku, tidak seperti dia meneriakan nama Nisa saat sampai di tenda. Husein hanya diam sambil mengelus elus tangannya yang kedinginan, dan Beni yang tengah tersenyum dan ingin berteriak tertahan mendengar suara Aliya.

"Lu gak mau teriakin nama gue Ya!!?" Nisa berteriak membalas Aliya, Husein terbahak mendengar balasan Nisa, Beni yang kulihat sedikit tegang mulai melunak dan mampu melihat indahnya fajar dengan senyum yang terasa lesu. Aku hanya melihat Aliya yang berlari dengan hati hati menuju Nisa dan memeluknya. Kulihat Husein yang berjongkok dibelakangku masih sibuk menghangatkan tangannya.

Beni berjalan ke arahku lalu menyapaku, aku hanya mengangguk tak mengerti mengapa dia menyapaku.

"Gimana?" tanya Beni kepadaku

"apanya?" aku hanya bingung mendengar pertanyaan tanggung dari Beni

"soal naik gunung sekarang gimana? gak nyesel kan?" lengannya menoel lenganku, aku menatapnya dan kulihat ada tatapan sedih bercampur ikhlas yang rasanya aneh untuk kulihat. Aku menoleh pada matahari yang sudah mulai terlihat bulatnya.

"yah, lumayan," jawabku singkat. tapi kurasa Beni mengerti walau hanya dengan dua kata  yang kusampaikan, ada pembicaraan dalam yang tersirat dari percakapan kami yang setelahnya dijeda dengan hemburan angin dingin bercampur hangat.

"Seenggaknya lo jadi bisa naik lagi sama dapet temen baru, jangan sendirian mulu nanti pas lo lulus malah sepi," ujar Beni, kupukul lengannya dan tertawa ringan. lalu Beni meninggalkanku dan mendekati Nisa dan Aliya. Aku mulai berpikir apa pendakian ini bukan untuk menambah nilai kejantanannya? tapi untuk aku? geli rasanya kalau itu benar.

Puncak selalu menjadi tujuan bagi mereka yang mendaki, tarikan nafas yang kuat di puncak gunung saat matahari terbit adalah kegiatan yang sangat luar biasa menyenangkan. Mengabadikan momen saat di puncak gunung juga selalu menjadi idola bagi mereka yang mendaki, seperti mendapatkan medali emas di ajang Asean Games bila pendaki bisa berfoto ria di puncak gunung.

Pukul setengah delapan Beni memutuskan untuk turun agar dalam perjalanan menuju tenda tidak terlalu panas, Nisa Husein dan Aliya dengan berat hati harus sepakat dengan keputusan tersebut. jelas karena mereka masih ingin menikmati keindahan yang diasjikan oleh puncak gunung Pulo Kecil.

Kami turun dalam diam, mungkin karena lelah dengan segala jalan menanjak serta waktu istirahat yang sedikit. Kini Beni yang memimpin jalan, disusul Nisa, Husein, Aliya, dan aku yang berad di urutan belakang. mengetahui aku yang kini ada dibelakang membuat Aliya tidak begitu berat hati berjalanan menuruni puncak. Saat aku dan Aliya mulai tertinggal dari rombongan Beni, Nisa dan Husein yang cepat Aliya banyak sekali bicara. kalau Aliya adalah sosok yang kulihat dari sudut pandangku yang lama pasti sudah kusempal mulutnya dengan daun karena berisik, tapi kini dengan sudut pandang yang baru, aku menikmati setiap isi pembicaraannya. disela-nafas kami yang pendek, kami terus saling berbicara.

Aku tahu tidak terlalu bagus untuk berjalan sambil terus berbicara karena nafas akan lebih cepat habis namun sudahlah, aku sudah lama tidak bicara banyak dengan orang lain. momen ini bagiku cukup berarti karena mampu menghidupkan aku yang dulu telah mati rasanya, hingga saat Aliya sosok perempuan yang siapa pun bisa terpesona hanya dengan melihat sebelah matanya melakukan hal manusiawi yang cukup memalukan, mampu membuatku tertawa terbahak-bahak sampai aku terduduk karena tawaku berhasil membuat perutku keram.

"Dika!!!" Teriak Aliya malu sambil memukul mukul lenganku keras. saat ku bilang keras, ini benar-benar keras layaknya petinju yang berlatih dengan samsak.

"ahahaha jadi kalau Aliya buang angin itu suaranya begitu ya? hahaha" aku terus tertawa dan Aliya terus memukul dan berteriak malu. saat aku terduduk karena keram Aliya berjalan meninggalkanku,

"Rasain!! awas aja kalau cerita ke orang lain!" Aku bisa sekali lagi melihat sisi lain dari Aliya yang brutal dan manusiawi.

"Tunggu Ya, aduh perutku keram haha," Aku berusaha berdiri sambil memegang perutku yang sakit dan mengikuti Aliya dari belakang. Bisa kurasakan Aliya menahan malu namun tetap dia juga tertawa karena kebodohan dirinya sendiri.

Tak lama kami pun sampai di tempat kami membuat tenda. Aku dan Aliya telat sekitar 15 menit, Beni sudah mulai memasak dibantu Nisa yang telrihat sangat cekatan. Sedang Husein aku tidak melihatnya. Setelah kami sampai aku menyapa Beni dan Nisa yang tengah asik memasak, lalu aku izin untuk istirahat sebentar di hammock karena masih sangat lelah. Benar saja, aku merasa baru tidur sekitar 30 menit, dan kurasakan efek kurang istirahat ini membuat tubuhku menjadi kaku dan sulit untuk berkonsentrasi. Beni mengiyakan dengan catatan harus mau makan saat bangun, aku mengalah. Beni sudah tau kebiasaanku yang sulit untuk makan saat bangun tidur. Aliya yang tadi berjalan dariku memisahkan diri untuk mencuci kaki, di genangan air yang mengalir di samping kawah.

Aku membongkar Flysheetku karena merasa yakin tidak akan ada hujan karena langit yang cerah, lalu juga karena setelah makan aku yakin kami akan turun gunung.

Pukul sembilan pagi, Husein membangunkan tidurku yang terasa sangat nyenyak dan tentram. Aku rasa Husein bisa menjadi ibuku karena cara membangunkannya sungguh halus dan tidak membuatku harus mengerang kesal. Tapi sayang, Husein seorang laki-laki.

Aku bangun, dan menapakan kakiku pada bumi, dengan gontai aku berjalan bersama Husein menuju samping tenda. Lambaian tangan mengajak kami untuk segera bergabung, itu dari Aliya. dia jadi lebih aktif kurasa. Tidak hanya itu kurasa semuanya bisa merasakan perbedaan dari setiap orang yang ada di kelompok pendakian ini.

Aku mulai menyantap hidangan pagi menuju siang ini dengan tenang, sedang Husein dan Nisa makan dengan sangat cepat dan heboh, membuat kami saling tertawa melihat tingkah mereka yang saling berebutan sesuap nasi. Sesekali Aliya menawarkan suapan untukku, tapi kutolak. Itu membuatku geli dan malu. Sedang mata yang melihat kejadian itu jelas menatapku dan Aliya dengan mata yang lebih menggelikan. selesai makan, aku baru sadar tim pendaki lain yang juga berkemah di dekat tenda kami sudah tidak ada. Bahkan semalam dan saat pendakian pagi aku tidak melihatnya sama sekali. Kini tendanya juga sudah hilang. Aliya menyenggolku saat aku mencoba menelaah apa yang terjadi.

"Kenapa diem aja bang Dika?" Tanya Aliya sambil memegang segelas air jeruk hangat.

"Tenda yang kemarin ada disini kemana ya?" tanyaku bingung, Aku sempat punya pengalaman buruk soal pendaki penipu yang berhasil merogoh seluruh isi tenda saat aku mendaki puncak, jadi melihat ada tenda yang tiba-tiba hilang membuatku sedikit was-was

"Ooh tadi udah pulang pas bang Dika tidur, nih tadi aku juga di kasih jeruk sasetan sama mereka," aku mengangguk dan berjalan ke samping tenda untuk membuat kopi, Aliya membuntutiku.

Beni memutuskan untuk turun gunung pada pukul 10 pagi, kami pun setuju dan mulai beres beres. Aku mulai memakai tas carrierku, perjalanan turun akan menjadi menyenangkan karena lebih cepat, namun jauh lebih melelahkan untuk lutut dan engkel kakiku. sebelum turun, kami berdoa dan berjalan. Husein memimpin sementara didepan, sedangkan aku mencoba memberi bantuan kepada Aliya untuk merapihkan ulang isi tasnya karena berantakan dan membuatnya tidak nyaman. saat aku sedang merapihkan, Beni datang kepadaku.

"Ndrong, jaga Aliya ya," lalu dia menepuk pundakku, lantas mengajak Aliya untuk mulai berjalan juga seperti Nisa dan Husein yang sudah ada di depan. Aliya menolak karena menunggu tas yang masih kurapihkan. Aliya duduk tak jauh dariku dan terus menatapku

"Kenapa Ya?" tanyaku heran

"gakpapa penasaran aja cara packingnya gimana," memang dia memperhatikan secara serius apa yang kulakukan.

"Nih udah," aku memberikan tasnya, lalu kami berdua mulai berjalan turun.

"Bang Dika, kok pas naik ke puncak di depan?" Tanya Aliya sambil menuruni jalan

"ya gantian aja," jawabku tidak mau pusing

"oh gitu," seperti ada nada kecewa yang tertera disitu

"Kenapa emangnya Ya?"

"gakpapa cuma gak enak aja kalau jalannya sama kak Beni"

"gak enak kenapa?" tanyaku heran, benar juga Aliya terus mencoba menghindari Beni,

"soalnya menurutku Nisa suka sama Kak Beni, jadi akunya gak enak," aku termangut-mangut mendengarnya. cukup salut bagiku karena Aliya tidak terlena dengan kegagahan yang terpancar dari Beni dan berusaha menghargai perasaan Nisa.

"ooh gitu, tapi aku liat Beni sukanya kamu," kataku datar

"iya, makanya aku ngerasa gak enak tadi pas naik ke puncak. mending sama Dika,"

"Eh bang Dika maksudnya," Aliya mengkoreksi ucapannya sambil tetap berhati hati dengan jalan yang sedikit curam.

"Dika aja Ya, aku juga seumuran kok sama kamu," kataku berusaha memberikan opsi kepada Aliya

"aku udah kebiasaan soalnya," jelasnya

"jadi tetep mau manggil bang?" tanyaku

"gak tau," keluh Aliya

"enaknya kamu aja Ya," jawabku tanpa protes

"yaudah Dika aja deh," badanku seketika gemetar mendengarnya, untung Aliya ada di depan dan tidak memperhatikanku. Perjalanan kami jadi lebih banyak diam, hingga akhirnya kami sampai di pos pertama dengan keringat yang peralahan bercucuran. Husein dan Nisa sudah berendam dibawah air terjun, dan Beni sedang mengumpulkan air yang turun untuk diminum.

"ayo," tanganku meraih tangan Aliya dan mengajaknya menuju air terjun, tanpa pikir panjang kami langsung berendam dan menikmati dinginnya air terjun itu.

"Dika, abis ini mau kemana lagi? kalau ada kamu aku ikut ya!" Pinta Aliya yang duduk di pinggir bebatuan, sedang aku yang sedang merebahkan diri di kolam yang terbentuk dari air terjun masih menatap langit yang dihiasi pepohonan hijau yang semalam menampakan warna hitam.

"Pulang ke rumah, itu tujuan akhirnya," kataku singkat Aliya diam mencoba memahami perkataanku, dan sepertinya dia paham dan langsung tenggelam dalam lamunannya.

Pukul dua siang kami sampai di kaki gunung dengan warna kulit yang hitam, khususnya untukku dan Husein. Kulit kami yang terpapar matahari dan peluh keringat serta lumpur dan tanah sisa semalam membuat kami berdua terlihat sangat kotor, tapi tidak untuk Beni Aliya dan Nisa yang terlihat seperti baru pulang sekolah saja. Masih terlihat segar, walau sedikit menampakan kelelahan.

Kami beristirahat sejenak melepas lelah, Aliya tertidur di teras depan warung kaki gunung. Aku mendekatinya dan berharap tidak ada bagian dari dirinya yang bisa dijadikan tontonan oleh orang-orang. Bukan karena aku ingin ikut menonton, tapi aku usahakan untuk menutupinya. kenapa aku melakukan itu juga aku tidak paham, aku hanya ingin.

Tak lama setelahnya kami berangkat menuju arah pulang. Husein, secara sukarelawan menawarkan dirinya untuk menyetir mobil. Beni menerimanya karena memang dirinya terlihat sangat kelelahan. Sedang aku? seperti biasa duduk di kursi belakang dan menikmati pemandangan kota dari balik kaca mobil.

"Dika, aku ikut duduk dibelakang ya?" pinta Aliya saat aku hendak masuk mobil

"yaudah," aku hanya mengiyakan karena pasti repot kalau kutolak dengan posisiku yang sudah setengah masuk mobil.

"Lo duduk di belakang Ya? gak di tengah aja?" tanya Nisa heran, aku pun heran.

"Enggak, aku mau disini biar gak mabuk," menurutku itu alasan yang sangat aneh. karena sungguh ketika ada di belakang mobil, kesempatan mabuknya jauh lebih besar. tapi entah, mungkin juga tidak, karena itu hanya untuk kasusku saja.

"ooh, ini gue ada obat anti mabok, nanti diminum aja Ya," Nisa memberikan satu saset obat anti mabuk. aku mengulurkan tangan tanda bahwa aku juga butuh

"yaah cuma ada satu doang Ndrong, satu lagi barusan udah gue minum," tukas Nisa


"Udah sama aku aja Dika," kata Aliya,

"Iiiih, sejak kapan lo manggil si gondrong pake Dika? biasanya pake bang?" Nisa heboh, Aliya juga tidak mau kalah, aku hanya diam terpaku menatap kaca mobil bagian depan dengan mata sayu berharap keributan ini selesai.

"Oke semuanya udah siap? Ayo Onta berangkat!!" Beni memecah keributan dan meminta Husein untuk menjalankan kendaraannya, dengan begini Aliya dan Nisa pun mulai mampu mengendalikan dirinya. selang sepuluh menit, hampir semua orang yang ada di mobil tertidur karena merasa sangat lelah.

Beni tertidur dengan bersenderkan dashboard mobil, Nisa tidur dengan mrebahkan tubuhnya di dua jok yang ada di tengah, lalu Aliya dia tertidur dengan menjadikan pahaku sebagai bantal kepalanya, sial.

Tapi saat itu aku sadar bahwa Aliya sengaja duduk dibelakang agar Nisa punya tempat yang cukup leluasa untuk tidur, seperti apa yang terjadi saat digunung, dia memilih tidur diluar agar Nisa memiliki lahan tidur yang lebih luas. Jantungku langsung berdegup mengingat itu, bagiku itu sangat tulus. Melihat wajah Aliya yang kini ada dipangkuanku membuat kepalaku memanas, hingga kantuk yang tadi menetap dengan segera menghilang begitu saja. Matanya, yang setengah terpejam sangat ingin ku kucek dengan tangan ini, deru nafasnya yang halus membuat dadaku bergerak cepat. ku atur posisi tanganku agar tidak menyentuh punggung atau lengannya, dan mencoba bersandar pada jok di tengah mobil. Untuk mengalihkan konsentrasiku, aku mengajak Husein untuk mengobrol, tapi sayang, tidak lama mengobrol aku tertidur dengan bersender pada jok mobil.

Tak terasa perjalanan berangkat menuju gunung yang membutuhkan waktu berjam-jam bisa sesingkat ini, kini kami telah sampai tepat di rumah Beni, Husein membangunkan kami semua dengan halus. Aliya terbangun dari tidurnya dan mulai duduk dengan benar, bisa kurasakan kaki kiriku mulai hidup setelah mati rasa ditiduri oleh Aliya, aku bergetar geli merasakan aliran darahku mulai mengisi kaki kiriku.

Secara bersama-sama kami merebahkan diri di depan teras Beni yang cukup luas, bisa kurasakan kepuasan yang teramat sangat dengan pendakian kali ini, cerita yang kubawa pulang kali ini seperti air hujan di sumur yang kering, memenuhi sumur itu hingga tumpah ruah. Namun perasaan puas itu  berhenti saat Aliya dijemput sang ayahanda.

Beni dengan sigap memberi salam kepada ayah Aliya, dan satu persatu kami diperkenalkan dengan ayahnya. Aliya secara perlahan menghilang dibalik sudut rumah. mendadak, hati ini sangat sepi. Aku menyadari sebuah hal yang tidak kusadari selama pendakian ini, betapa sosok Aliya menjadi begitu amat penting dan begitu dia tidak ada, seperti ada yang hilang.

Saat aku kembali tiduran di teras Beni, sebuah telepon masuk dari Aliya, aku terperanjat dan bergerak lari keluar pagar rumah Beni.

"Dika, aku lagi jalan ke tujuan akhir," suara Aliya tertahan sambil menguap

"Kemana?" kataku heran mendengar pernyataan Aliya

"Pulang ke rumah," katanya sambil tersenyum, aku tersenyum balik mendengarnya

"iya hati hati," kataku

"kan bukan aku yang nyetir tapi ayah," katanya dengan suara yang parau

"sampaikan kalau gitu,"

"sendiri dong, kan laki-laki," bisa kudengar suara ayahnya yang berbicara tapi tidak bisa kutebak apa yang diucapkannya

"takut," jawabku singkat

"jangan takut kan ada aku hehe," aku terbatuk mendengarnya, jantungku mendadak berhenti berdetak

"yasudah, salam untuk ayah ibu kamu Ya, aku juga mau pulang," kataku menyudahi, karena bisa kubayangkan wajahnya Aliya yang menelpon sambil terpejam matanya.

"iya hati-hati, tapi nanti boleh ketemu lagi?" suaranya makin kecil

"boleh," kataku lalu telepon kami terputus.

Dalam perjalanan pulang, aku merasa menjadi Dika Raffathul Ghoir yang baru. Udara segar di gunung mampu meruntuhkan seluruh dinding yang pernah kubuat dengan orang-orang. Aku merasa berterima kasih kepada Beni yang mau memaksaku untuk ikut pendakian ini, walau sedikit merasa sedih juga karena niat romantisnya berujung kandas.  Selama perjalanan pula, aku bisa merasakan nilai kejujuranku bertambah dan menjadi sosok yang labih baik lagi. Bagaimana aku tahu bahwa aku lebih jujur? ketika aku sadar kalau aku menyukai Aliya dengan segala keelokan dan kerumitannya.
 

Berakhir.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan