— 266

2
0
Deskripsi

Narasi the dark side part 266

— 266

Han merasa ada yang aneh dengan kondisi tubuhnya beberapa saat terakhir ini. Dimulai dari kedua kakinya yang mendadak terasa lemas ketika melihat punggung kecil Keira, dan sekarang rasanya seperti ingin jatuh pingsan.

Tapi, tenang, Han masih ada cukup sedikit tenaga untuk berjalan beberapa langkah ke belakang sebelum akhirnya dia tumbang dengan duduk selonjoran di dekat pintu keluar.

Saat matanya terpejam, bisa dia dengar ritme jantungnya yang melambat tidak seperti biasanya.  Dia coba untuk menarik napasnya dalam-dalam, tetapi muncul rasa nyeri di dada sebelah kirinya yang kian lama kian menohok sampai membuatnya duduk dengan posisi sedikit membungkuk.

Wah, kenapa nih gue? Han membatin penasaran.

Matanya terbuka setelah merasa lebih baik, dan pelan-pelan membenarkan posisi duduknya yang aneh. Davka masih tetap berdiri di posisi yang sama ketika Han melihatnya, dia pasti belum menyadari sedang menonton sendirian di sana.

“Udah kali jangan diliatin sebegitunya.” Davka mengerling ketika Han meledeknya seperti itu, namun tak mendapati siapa pun berada di sisi kanan-kirinya.

“Gue di belakang lo*, by the way…*” Dan menemukan Han tepat di belakangnya sedang duduk bersandar sambil nyengir lebar.

“Kaki gue lemes banget nggak tahu kenapa jadi gue milih buat duduk.” Han menjelaskan alasannya tanpa perlu diminta. Tetapi melihat reaksi Davka yang cuma mengangkat sebelah alisnya, Han menambahkan, “Siapa tahu penasaran kenapa gue nggak berdiri di samping lo sekarang.”

Davka mengangkat bahu dan kembali memusatkan perhatiannya ke depan, pada punggung dua orang yang sedang duduk di tepian gedung, yang entah kenapa malah menarik perhatiannya. Hanya saja sekarang rasanya ganjil, Davka memicingkan kedua matanya curiga, memperjelas pandangan dan bertanya-tanya kenapa mereka sama sekali nggak bergerak sedikitpun.

“Mau sampai kapan mereka begitu terus?” gumamnya pada diri sendiri.

Berbeda dengan Han, dia malah sibuk dengan urusannya sendiri dan tak terlalu mengambil pusing pada apa yang terjadi di ujung sana. Sebab, Han sangat mempercayai kalau Regan pasti dapat menuntaskan masalah yang terjadi padanya dan juga Keira. Dia sekarang terlalu sibuk mengedarkan pandangan ke sekeliling, melihat-lihat apa yang bisa dia lihat untuk saat ini.

Tidak banyak. Cuman langit gelap tanpa bintang. Impresif.

Lalu, karena terlalu bosan, Han melontarkan cukup banyak pertanyaan pada Davka yang cuma masuk-kuping-kanan-keluar-kuping-kiri.

“Dav,”

“Hm?”

“Berapa lama lagi, ya? Gue pengen cepet-cepet balik.”

“…”

“Gue harap gue bisa balik sebelum ganti tanggalan ke 14.”

“…”

“Tadi pas kita naik tangga, lo merasa ada yang aneh nggak?” Meski celotehannya tidak digubris sama sekali, Han terus mencerocos sampai tenggorokannya kering. “Apa mungkin perasaan gue aja kali, ya? Tapi tadi tuh gue merasa bakal terjadi sesuatu, entah itu lo atau gue atau mungkin Bang Regan.”

“Davka, gue ngerasa lemes banget, nggak boong.”

Untuk yang satu itu, Davka langsung menoleh dan terlonjak kaget melihat Han berbaring tak berdaya dengan sisi tumbuhnya yang menyamping. Namun, anak itu masih bisa-bisanya cengar-cengir.

Davka bergegas mendekat, berjongkok rendah di dekatnya. “Kenapa? Apa yang lo rasain?”

"Gue kayaknya kelamaan ada di sini deh.” Jawaban yang membuat Davka mengerutkan kedua alisnya kebingungan.

“Kelamaan maksudnya?”

“Main gue kejauhan, gue harus balik secepatnya. Tapi Bang Regan masih belum selesai sama urusannya.”

Davka mengerjap, sedikit tidak mengerti dengan maksud Han. Tapi kemudian, dia teringat dengan ucapan Regan sebelumnya.

"Lo masih kuat bangun nggak?" Davka bertanya panik. Han nyengir sebelum akhirnya dia mengangguk lemah.

"Kalo jalan?"

"Bisa kalo digandeng."

"Yaudah, ayo pergi."

"Ke mana? Bang Regan gimana? Urusannya belum kelar."

"Urus dulu diri lo baru yang laen."

"Tapi Bang Regan juga harus ikut balik bareng gue."

"Diem, jangan banyak omong."

“Bentar, Bang Regan belum kelarin urusannya.”

Davka membekap mulut Han saking geregetnya. Dia membantu Han untuk bangkit dan pergi meninggalkan rooftop.

Meski katanya kondisinya sudah sangat lemah, Han masih ada sedikit tenaga untuk berbicara. Sepanjang perjalanan,dia terus koar-koar tidak akan kembali seorang diri.

"Jalan sambil mingkem apa susahnya coba? Diem lo! Kuping gue budeg lama-lama!"

Han lantas merapatkan mulutnya. Tapi kalau begini, dia merasa sangat, sangat, sangat tidak berdaya sama sekali. Nyeri di dadanya semakin terasa.

Setelah perjalanan yang cukup panjang mencari pintu dengan cahaya putih —dengan Han yang terus merasa kesakitan dan langkah mereka yang sesekali tersendat akibat Han yang tidak kuat berjalan, Davka bahkan hampir berniat untuk menggendongnya tapi Han terlalu antusias sampai Davka mengurungkan niatnya itu— mereka akhirnya berhasil menemukan sebuah pintu dengan cahaya putih di ujung lorong, jaraknya lumayan jauh dan membingungkan kalau dari rooftop.

Begitu tiba di sana, Han cepat-cepat berdiri menghalangi pintu. Katanya, “Gue harus nunggu Bang Regan biar bisa balik bareng dan mastiin lo pergi dengan tenang sama K.”

“Nggak bisa, nggak bisa. Lo bakal mati kalau kelamaan di sini. Seperti kata lo, lo mainnya kejauhan, ini bukan tempat yang cocok untuk lo tempatin buat sekarang. Gue bakal pastiin Bang Regan balik ke tubuhnya dan gue bakal pergi dengan tenang bareng K.”

“Gue punya firasat kalau apa yang lo omongin barusan nggak bakal kejadian.” Han mendorong tubuh Davka dan bersandar dengan sisa tenaga di pintu tersebut. “Gue bakal di sini buat pastiin apa yang lo ucapin itu jadi kenyataan.”

Davka berdecak sebal. Dan di kepalanya sibuk memikirkan banyak cara untuk membujuk anak itu supaya cepat pergi dari sini.

"Percaya sama gue, lo—"

Lorong berguncang hebat bersamaan dengan suara gemuruh yang membuat Davka dan Han saling menatap satu sama lain.

"Itu apa?"

Davka menggeleng. Dan dengan cepat, dia menggeser tubuh Han agar dirinya bisa memegang gagang pintu dan membukanya. Han mendelik dan menarik tangan Davka namun terlambat, pintu sudah lebih dulu terbuka.

“Percaya sama gue, apa pun yang terjadi setelah ini gue bakal pastiin kalau apa yang gue bilang bakal jadi kenyataan. Han, kondisi lo lebih penting dari apa pun. Orangtua lo nunggu lo buat sadar. Ada temen-temen yang mungkin nungguin lo juga. Grup yang lo bahas tadi —apa namanya? Grup sirkel kalem? Mereka pasti nunggu lo buat bangun. Jadi jangan tunda lebih lama lagi karena lo harus niup lilin setelah bangun.”

Han menarik ingus, matanya sudah sangat berkaca-kaca sekarang, mungkin sebentar lagi cowok itu akan menangis. Dasar cengeng, Davka berkomentar dalam hatinya, menundukkan kepala untuk menyembunyikan seulas senyuman yang terbit di wajahnya itu.

Saat Davka mendongak, dan benar saja. Kedua pipi Han sudah banjir dengan air mata.

“Jangan cengeng, lo cowok.” Davka memperingatkan.

“Tapi kalo firasat gue bener, gimana?”

Sejenak, mereka lupa dengan kondisi sekolah yang saat itu terjadi gempa dadakan. Davka menarik napasnya dalam, lalu menatap Han lekat-lekat, mulutnya sudah setengah terbuka tapi tertutup kembali ketika rungunya mendengar suara gemuruh yang kian mendekat di belakang mereka.

Han meringis jijik tanpa disangka-sangka. “Anjing tangan! Gue geli banget.”

Han memekik sembari mengambil ancang-ancang untuk pergi. Davka menoleh ke belakang, tangan-tangan panjang yang sama seperti saat Regan tenggelam waktu itu datang menghampiri mereka berdua. Davka kembali memalingkan wajahnya pada Han.

Anak itu sudah melewati pintu dan sepertinya sudah bersiap untuk menutupnya kencang-kencang tanpa diminta. “Davka, apa pun yang terjadi gue bakal percaya sama ucapan lo. Dan tolong, jaga Bang Regan, pastiin dia balik lagi ke tubuhnya. Dia.. dia ..” Han mendecak melihat tangan-tangan panjang itu semakin mendekati mereka berdua.

Davka sepertinya sudah sangat malas menunggu sampai akhirnya dia menutup pintu dan berlari dari sana.

"Gue harap lo tepatin janji gue ke Mocca. Jangan sampai lupa!"

Dan kemudian, senyap.

Selama beberapa saat, Han merasa dirinya jadi seperti Haji Bolot, meski tidak yakin juga apakah beliau benar-benar budeg atau hanya settingan. Tetapi untuk kondisinya saat ini dia benar-benar budeg.

Han melempar pandangan pada pintu untuk terakhir kalinya sebelum dia memutuskan untuk pergi dari sana. Langkahnya mantap meninggalkan pintu itu. Terus berjalan, terus berjalan, terus berjalan tanpa arah sampai kondisinya kembali memburuk.

Dirinya terjatuh karena rasa nyeri di dada sebelah kirinya. Han meringkuk, memegangi dadanya. Lambat laun kedua matanya memberat, pandangannya memburam, kedua telinganya pelan-pelan kembali menerima suara.

Dia mendengar nyanyian ulang tahun, yang awalnya pelan dan samar-samar tapi perlahan mulai terdengar jelas dan keras. Setelah didengar lebih jeli lagi, ada suara tepuk tangan.

Han menarik ujung bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman sebelum pada akhirnya dia benar-benar tidak bisa menjaga kesadaran.

Kegelapan total menemaninya saat ini.

"Kita udah nyanyi puluhan kali, dan kayaknya itu udah cukup untuk bikin Han seneng.”

"Sekali lagi."

"Jangan siksa diri kamu kayak begini, Sayang. Kalau sudah waktunya bangun dia bakal bangun."

"Sekali lagi, please...."

Kelopak mata Han masih sulit untuk digerakkan, tapi dia yakin kalau rohnya sudah kembali ke tubuhnya saat ini. Sebab, dia merasa berat dan kaku.  Dan dua suara yang dia dengar dari tadi ternyata adalah suara Ayah dan Mamanya.

Setelah beberapa menit menunggu, Han dapat menggerakkan kedua kelopak matanya, mengangkatnya perlahan. Langit-langit berwarna putih pucat dan cahaya menyilaukan berwarna senada jadi hal pertama yang dia lihat. Dahinya berkerut. Bergerak sedikit ke sebelah kanan, ada Mamanya yang menunduk dan sepertinya sedang menangis tanpa suara, dan di belakangnya, sosok Ayah berdiri sambil mengusap kedua pundak Mama, pandangannya ke arah lain.

"Mah..."

Lantas keduanya menoleh, dan berdiri bersamaan.

"Ya Tuhan —Ayah, cepat panggil dokter!”

"...."

"Ayah!"

“Iya, iya sebentar.”

Misi Regan, sukses.


Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Hanniel's Diary #2
3
0
Bagian dari The Dark Side universe yang menceritakan tentang kehidupan ngenes Han sewaktu kecil. Hanniel pergi ke rumah kakek untuk menghadiri acara temui bapakmu ini yang kesepian. Dan berjumpa dengan gadis kecil yang entah dari mana asalnya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan