Ada chapter baru minggu ini!
Lampau (Short Story) Part 1
LampauShort Story (Prolog) 2022: Jalanan Aku masih memandangi jalan dengan hiruk pikuk metropolitan yang ramainya semakin menjadi. Lalu Lalang kendaraan dengan klakson yang saling bersahutan, riuh gerobak dangdut jalanan serta teriakan-teriakan kernet angkot, semua tercampur aduk dalam telingaku, setiap hari. Tiang-tiang lampu kota yang membisu itu, mungkin juga merasakan hal yang sama denganku. Mereka menjadi saksi arus perubahan zaman di jalanan, sejak jalanan dihiasi kayuhan becak dan sepeda hingga deru mesin kendaraan yang mengepulkan asap-asap yang menyesakkan. Jalanan ini telah banyak berubah Almira. Dulu jalanan ini masih terkesan lengang. Apalagi ketika malam mulai menyapa, sepertinya tidak salah jika kita berdua memutuskan untuk memilih pinggiran jalan ini untuk menghabiskan waktu berdua. Sekedar berbincang santai, melihat gemerlap lampu jalan yang mulai menyala. Jalanan ini memang punya kesan tersendiri bagiku, bagimu dan bagi kita. Kesan yang indah hingga berujung pada sebuah rasa sakit yang tidak akan pernah bisa hilang. Musim ini musim penghujan. Setidaknya rintik air hujan yang menetes bisa menyamarkan linangan air mataku. Entah apa yang ada di benak orang-orang yang melintas, melihat pria tionghoa paruh baya sepertiku ini hanya berdiri melamun dibawah gerimis sambil sesekali melihat arloji tua. Persetan dengan pikiran orang-orang itu, orang-orang yang sampai saat ini masih sama dalam pandanganku. Yah, walaupun zaman dan keaadan telah berganti, namun luka yang telah tertanam dalam-dalam ini tidak akan pernah berubah, dan tidak akan pernah mengering. Lihat Almira, gerimis semakin menderas. Orang-orang mulai berteduh, beberapa memakai jas hujannya lalu melanjutkan perjalanan. Payung-payung mulai mereka kembangkan, menghalau taburan rintik hujan. Payung bermotif bunga yang lusuh meneduhkanku, setidaknya aku bisa berdiri lebih lama disini. Kau ingat kenangan kita bersama hujan? Di jalanan ini sore itu tiba-tiba saja hujan turun tanpa aba-aba. Berteduh di emperan toko kelontong “Sedjahtera”, berpayung jaket lusuhku untuk menahan tampias air hujan. Senyum kecil di bibirmu merekah, lalu menghasilkan tawa, saling menertawakan tubuh kita yang kuyup. Hari ini, setidaknya memori itu yang membuatku tersenyum kecil. Kini toko “Sedjahtera” hanya menjadi prasasti kenangan. Sejak tragedi itu, pemiliknya pindah entah kemana. Jam di arloji tuaku sudah menunjukkan pukul 9 malam. Hujan telah kembali menjadi gerimis bersama angin yang menjadi dingin. Sebelum aku beranjak, beberapa buah hio ku nyalakan, berharap doa dan harapan yang kupanjatkan untukmu membumbung tinggi bersama asap tipis dan aroma hio. Aku selalu mendoakanmu dengan caraku, aku tahu dan yakin bahwa Tuhan tidak akan pernah melihat perbedaan diantara kita. Setidaknya, harapan tentangmu masih akan terus hidup selama akupun masih hidup. 24 tahun berlalu dan setiap hari aku akan terus menunggumu dibawah temaram lampu jalan ini, Almira. 1994: Pertemuan Keramaian pasar setiap pagi sudah menjadi makananku sehari-hari. Setiap hari orang hilir mudik didalam toko warisan babah, memilih dan memilah barang-barang belanjaan mereka. Semenjak kebergian babah, aku mengelola toko kelontong warisan keluargaku sendiri. Mama meninggal diusiaku yang ke 4, babah membesarkanku, dengan jerih payahnya mengembangkan toko kelontong peninggalan Akong (kakek) ini. Toko kelontong ini memang tidak megah dan tidak juga mewah, namun selalu ramai oleh pembeli yang rata-rata akan dijual kembali di warung mereka. Hasil dari toko ini mampu menyekolahkanku hingga SMU. Aku sengaja tidak mengambil Pendidikan sarjana, semenjak lulus SMU Kesehatan babah menurun, hingga babah memintaku untuk mulai mengelola tokonya. Aku pun menyanggupi, melihat toko ini adalah satu-satunya sumber penghidupan kami. Toko kelontong yang babah beri nama “Toko Merdeka” ini menjadi satu dengan tempat tinggalku. Sejarah “Toko Merdeka” bisa dibilang penting bagi perjuangan kemerdekaan negeri ini. Menurut cerita babah, dulu Akong pada masa perang kemerdekaan turut serta memberikan pasokan logistik seperti beras dan makanan lain pada para veteran di wilayah ini. Memang dahulu saat perang kemerdekaan, para etnis tionghoa yang mayoritas adalah pengusaha banyak berkontribusi pada para tentara dalam hal kebutuhan logistic. Lalu setelah negeri ini ini benar-benar merdeka, Akong memberi nama toko ini “Toko Merdeka”, sebagai ungkapan syukur atas kemerdekaan yang telah berhasil diraih oleh negeri ini. Maka dari itu, Akong cukup di segani oleh penduduk di sekitar, mereka biasa memanggil Akong dengan ‘engkong’. Toko ini akhirnya terus bertahan, sejak dikelola oleh Akong, lalu diwariskan kepada babah karena memang babah anak satu-satunya, dan kini “Toko Merdeka” diwariskan padaku, anak satu-satunya babah. Sejak kecil aku memang sering membantu babah sepulang sekolah, entah itu membereskan stok dagangan di toko, atau menghitung hasil penjualan toko kami. Sampai saat ini, aku masih menghitung menggunakan sempoa yang biasa babah gunakan untuk mengkalkulasi penjualan toko. Babah mempunyai 2 karyawan yang biasa membantu mengangkat stok barang dan mengantarkan ke becak para pembeli. Darto yang saat ini berusia 35 tahun dan Sindu, yang sepantaran denganku. Sejak kecil dan selama membantu babah mengelola toko, babah mengajarkanku untuk selalu baik pada karyawannya dan sabar dalam melayani pelanggan.Dan hingga saat ini aku selalu memegang prinsip yang selalu babah ajarkan, “Berbuat baik sesuai ajaran Buddhist, supaya karma baik selalu turun pada kita dan keluarga kita”. Aku selalu berusaha meniru babah, yang tak pernah sekalipun terlihat marah pada semua orang, pun jika babah kesal, ia hanya akan duduk diam sambil mengisap rokok dalam-dalam lalu menghembuskannya. Dalam benakku, aku mengamini semua yang babah ajarkan kepadaku, sebab yang aku lihat selama ini, orang-orang selalu baik terhadap keluargaku bahkan setelah babah berpulang. Bahkan tak jarang, Darto memberikan buah-buahan untuk sesaji persembahan di tempat sembahyang keluargaku. Aku merasa kehidupan sederhanaku ini penuh berkat, meski aku seorang tionghoa, etnis minoritas di negeri ini. Sudah tradisi bagi keluarga kami untuk berbagi pada saat perayaan hari besar Tionghoa, seperti Cheng Beng atau Sincia. Kami selalu mengajak para karyawan untuk makan bersama dan berbagi angpau, tak jarang pula kami mengirim makanan pada para tetangga. Memang sepeninggal mama, babah sempat kerepotan memasak sendiri, karena memang babah tidak pandai memasak. Beruntung mama sempat meninggalkan beberapa catatan resep masakan ala Tionghoa, yang membuat babah mahir memasak. Tradisi lain yang kini aku lanjutkan adalah ikut berpartisipasi dalam perayaan hari besar umat lain, seperti Natal dan Idul Fitri. Kata babah yang masih ku ingat, “Buddha mengajarkan untuk saling berbagi kebahagiaan, kalau tetangga sedang ber-lebaran, kita juga harus ucapkan selamat, dan beri sedikit apa yang kita beri biar mereka juga tambah senang”. Sebenarnya cukup banyak etnis Tionghoa di pemukiman tempatku tinggal, namun mayoritas adalah muslim, serta kristiani. Bagiku, itu adalah sebuah berkat tersendiri, karena setiap tahunnya, ada banyak perayaan dan tentu juga kebahagiaan yang dapat kita nikmati bersama. “Koh Andrew, minta stok mie instan 1 kardus, dong.”, ucap seorang wanita paruh baya langganan toko padaku. “Ya bu, sebentar.”, balasku. “Antar saja langsung ke becak yak oh.”, ibu itu memberi instruksi padaku yang ku balas dengan mengangkat kedua jempolku sembari tersenyum. Aku meminta Sindu untuk mengambil pesanan si ibu dan mengantarkannya ke becak, sementara kusiapkan bon pembayaran. Pagi ini pengunjung toko memang lumayan ramai, Darto sendiri terlihat masih sibuk menata barang-barang di etalase dagangan, sambil sesekali membantu pembeli mengambilkan barang. Beberapa orang terlihat mengantre di depanku, menunggu giliran menyelesaikan pembayaran. Sempoa warisan babah masik berdecak sedari tadi. Jariku tak henti menghitung belanjaan para pelanggan, sesekali keluar pertanyaan dari mulut mereka, “Koh, ini kagak ada diskon nih, kan gua ngambilnye banyak?”, pertanyaan khas ibu-ibu yang mencoba menawar atau sekedar meminta potongan harga. Bagiku itu sudah biasa, karena memang sudah menjadi kebiasaan bertransaksi di pasar atau toko tradisional akan terjadi tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Toko akan mulai jarang pembeli ketika jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Biasanya para pembeli yang mayoritas ibu-ibu atau pemilik warung kecil yang akan berkulakan akan berbelanja lebih pagi, antara pukul 6 sampai pukul 9. Setelah toko beranjak siang dan toko sudah mulai sepi, ku sempatkan waktu untuk sembayang sebentar di altar doa. Rutinitas di altar doa, memang tak terlalu repot. Aku hanya membersihkan tempat hio dari sisa abu, lalu mengganti yang baru, lalu mengelap foto babah dan mama serta membersihkan altar sembahyang. Waktu siang setelah sembahyang, biasanya aku habiskan untuk menghitung dan mencatat hasil dari toko, dan membaca buku atau koran setelahnya. Sindu dan Darto biasanya kusuruh pulang saat siang hari. Rumah mereka memang dekat dengan toko, jadi jika sewaktu-waktu toko kembali ramai, aku bisa memanggil mereka kembali ke toko untuk membantuku. Siang itu, matahari begitu terik. Orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan depan toko pun mengembangkan payungnya, menghalau terik yang menyengat tubuh. Setelah kupastikan penghitungan omset toko tadi pagi, mengecek rak dan etalase dagang, memastikan stok dagangan masih tersedia dan sesekali menyeka peluh yang yang menetes dipelipisku. Di dalam toko yang terdapat kipas angin saya segerah ini, apalagi di jalan, gumamku. Jika terik siang semenyengat ini, kemungkinan besar beberapa jam lagi atau sore nanti akan turun hujan. Pemandangan yang menarik saat terik maupun hujan yang biasa kulihat dari dalam toko, orang-orang saat terik menyengat biasanya berjalan sambil membawa kipas kecil, atau menyibakkan rambutnya sambal menyeka keringat di dahi, dan ketika turun hujan, para pelintas didepan toko berlari-lari kecil mencari tempat berteduh, lalu mengibaskan rambut serta bagian baju mereka yang basah terkena air hujan. Kedua pemandangan tersebut sama-sama riuhnya, Terkadang saat hujan turun, banyak dari mereka para pelintas menumpang berteduh di teras toko, “Koh, permisi, numpang neduh ya?” sahut mereka yang berteduh dan selalu ku persilakan. Barangkali sambal berteduh mereka dapat sambal berbelanja kebutuhan mereka, pikirku. Beberapa jam berlalu, sepertinya tebakanku hari ini akan terjadi hujan tak meleset. Dari dalam toko, ku lihat suasana diluar mulai menggelap, pertanda awan mendung mulai menggulung menutupi birunya langit. Tiga orang pembeli di toko mulai mempercepat transaksinya, agar dapat pulang ke rumah tanpa kuyup terkena hujan. Dan benar saja, beberapa menit kemudian, setelah terdengar gemuruh petir, rintik-rintik air mulai berjatuhan membasahi tanah. Para pelintas mulai sibuk mencari tempat berlindung. Hujan mulai menderas, suara gemeletak air yang menghajar genting toko pun semakin nyaring terdengar. Beberapa orang-terlihat berteduh di depan toko, ku persilakan masuk lebih kedalam agar tak terkena tampias air hujan. Satu diantara orang-orang yang berteduh mencuri perhatianku. Bajunya setengah kuyup, sepertinya sebelum menemukan tokoku untuk berteduh ia lebih dulu terguyur hujan. Ia Nampak mengibas-ngibaskan lengan bajunya, lalu merapikan rambutnya. Gadis itu Nampak seusia denganku, namun akua gak asing dengan parasnya, sepertinya ia bukan warga sekitar tempatku tinggal, bukan juga pelanggan tokoku. Mungkin ia hanya sekedar lewat dan menumpang berteduh di tokoku saat hujan seperti ini, atau, mungkin ia ingin mengunjungi kerabat atau kawan yang kebetulan tinggal di sekitarku, lalu hujan keburu menyerbu? Yang jelas kali ini, dengan berteduhnya ia di tokoku, perhatianku teralihkan kepadanya. Ia terlihat memandangi isi tokoku, berjalan masuk melalui etalase dan rak-rak daganganku sambil melihat-lihat dagangan yang terpajang. Dengan segenap keberanian yang berhasil mengalahkan gugup yang mengunci mulut dan tubuhku, kuberanikan diri mendekatinya dan bertanya. “Ma, mau cari apa kak?” Tanyaku terbata. Tidak biasanya aku gugup dalam melayani pelanggan tokoku, yang rata-rata Wanita paruh baya, bapak-bapak atau engkong-engkong yang datang berbelanja kebutuhan rumah tangga. “Koh, jual kain atau sapu tangan?” Jawabnya.Aku terdiam. Binar matanya benar-benar membuatku mematung kali ini. Ia melihatku heran.“Halo? Koh?”“Oh iya iya, ma maaf kak, tidak jual, kalau mau saya kasih pinjam?” Balasku sedikit terkejut. Ia pun mengangguk mengiyakan. Aku bergegas masuk kedalam rumah. Kubuka lemari, kucari sapu tangan dan handuk kecil yang kupunya, ku sibakkan baju-baju di lemari hingga berserakan tanpa kupedulikan. Secepatnya kuhampiri Wanita itu yang masih berdiri di tempatnya sambil merapikan rambutnya yang masih sedikit basah. Setelah mengucap terimakasih, aku pun kembali ke meja kasir tanpa melepas pandanganku padanya. Hujan masih deras, beberapa yang berteduh pun memanfaatkan waktunya sembari berbelanja di tokoku, atau sekedar melihat-lihat dan bertanya apakah tokoku menyediakan barang yang mereka cari. Sambil melayani, mataku sering kali mencuri pandang padanya. Aku yang tak terbiasa berinteraksi dengan lawan jenis seusiaku, merasa momen kali ini seperti momen-momen yang belum pernah terjadi sebelumnya padaku. Dia terlihat biasa saja, sesekali melihat isi tokoku, sesekali melongok keluar melihat hujan, memastikan intensitas hujan, menderas ataukah mereda. Aku masih sibuk melayani pembelian dari orang-orang yang menumpang berteduh. Ungkapan hujan membawa rejeki rasanya tak pernah salah, setidaknya orang yang menumpang berteduh jadi tahu tentang isi tokoku, dan mungkin menjadi referensi bagi mereka saat ingin berbelanja. Meleng sedikit saja pandanganku pada gadis itu, parasnya sudah tak lagi terlihat. Aku tampak gugup melongok-longok mencari keberadaannya, sampai-sampai pelanggan yang sedang ku layani heran. “Cari apa koh?” tanya seorang bapak yang sedang menghiung belanjaannya denganku. “Oh, enggak pak, nggak apa-apa” Jawabku singkat sambil masih mencari cari si gadis. Saat ku perhatikan jalanan, rupanya hujan sudah mulai mereda. Yah, mau bagaimana lagi, satu momen yang berharga kulewatkan saja tanpa sempat mengenal Namanya. Maklum saja, aku sama sekali belum pernah berkenalan secara spesifik dengan Wanita. Saat masih sekolah pun aku hanya berkenalan sebatas dengan teman sekelas dan teman sekolah tanpa ada tujuan lain di dalamnya, namun bukan berarti aku tak tertarik pada Wanita. Alhasil, pada momen ini aku hanya bisa berdiri diam, mematung, curi-curi pandang dan membiarkannya berlalu tanpa sepengelihatanku. Hari itu ku tutup dengan perasaan gundah gulana. Nilai sapu tangan dan handuk kecilku mungkin tak seberapa, namun nilai dari momen berharga, kertepikatanku pada seorang gadis yang baru pertama ku temui yang memberi dampak yang berbeda dibanding hari-hariku sebelumnya, yang rasanya mungkin hanya terjadi sekali tanpa pernah terulang lagi. Malam itu, mataku masih susah terpejam, rintik hujan kecil-kecil turun membuat udara begitu lembab dan sedikit dingin. Ku putuskan untuk keluar sejenak melihat jalan yang dibasahi rintik hujan. Jalanan Nampak lengang, tak sepadat ketika pagi hingga siang menjelang. Melihat hujan yang dibias lampu jalan, dibalut sepoi angin malam membuatku sedikit lebih tenang. Menjelang tengah malam ku putuskan menutup hariku dengan membawa harap, harapan agar momen yang baru saja terlewatkan hari ini akan terulang kembali, tentu saja dengan gadis yang sama.***