
Judul : Senja Ketika Kita Pulang (Telah Terbit)
Penulis : Nurmelyaa
Blurb:
Kisah ini bercerita tentang Adhara Carina Kasih atau biasa dipanggil dengan Dhara, dia adalah seorang gadis yang tinggal di sebuah panti asuhan dan memiliki dua sahabat kecil laki-laki yang juga berada di panti itu. Aizen adalah lelaki yang selalu ia tunggu selama bertahun-tahun karena sebuah janji yang mengikat mereka. Sedangkan Aaron adalah lelaki yang memilih bersamanya di panti asuhan dan punya rahasia yang tak pernah ia...
Prolog
Pernahkah kau bertanya mengapa senja begitu singkat?
DIA begitu indah dengan warna orange, namun waktunya hanya sementara. Senja hanya meninggalkan perasaan dan moment berarti ketika kita berjalan melewati lautan yang juga mulai surut itu.
Senja begitu lihai untuk pergi, membiarkan malam datang lalu membiarkanku jatuh dalam kegelapan karena merindukannya.
Tapi, sekalipun hanya sejenak. Senja akan selalu menjadi favoritku.
Karena hanya dia yang selalu memberikan kita cerita, ketika kita pulang dengan mengayun sepeda buntut andalan kita.
Aku ingin mengulang cerita itu lagi.
“Kumohon... Tolong beri aku kesempatan untuk bertemu dengannya lagi...”
Bagian 1
Seperti, Tidak Mengenalmu
SEMUA orang di dunia ini tentu tidak bisa memilih dengan siapa ia lahir, bagaimana keluarganya, dan bagaimana ekonominya.
Cuma sedikit anak yang kurang beruntung tidak punya orang tua yang lengkap dan bisa mendapat kasih sayang itu sendiri. Termasuk aku. Terkadang aku iri dengan gadis-gadis lain, mereka bisa berhias, makan di restoran dan berbelanja apa yang mereka inginkan.
Rengekan manja pada ayahnya dan pelukan hangat dengan ibunya. Aku belum pernah merasakannya dan mungkin tidak akan pernah.
Meski begitu, tidak ada gunanya menangis karena hidup akan terus berjalan. Hidup dalam keterpurukan hanyalah kesiasiaan.
Aku Adhara Carina Kasih. Gadis yang selama ini sudah tinggal di panti asuhan sejak bertahun-tahun lamanya. Mendedikasikan hidup untuk anak panti adalah pilihanku.
Aku tidak pernah menyesal memilih jalan ini. Selain bekerja untuk anak-anak, aku juga mempunyai usaha yaitu berjualan bunga di pasar sentral.
“Selamat datang.” Aku tersenyum hangat pada anak kecil yang mendekat padaku. Ia menunjuk setangkai bunga mawar merah yang tersusun dengan rapi di sana, aku mengambilnya satu lalu dengan gagahnya dia membayar dengan uang pecahan dua ribuan.
“Kak, aku bisa membelinya dengan ini, bukan?” tanyanya polos.
Aku tersenyum. “Tentu, ini untuk siapa?” tanyaku sekali-kali melihat orang berlalu lalang di pasar sentral tersebut, mencari tahu anak ini datang bersama siapa.
“Hei, bocah. Ini untuk siapa, kau masih bau bedak bayi sudah mau pacaran!”
Aku berbalik. “Aaron.” Aku mencubit perut lelaki dengan mulut ceplas-ceplos itu.
“Bukan! Ini untuk ibuku, ini hari ibu tahu!” Anak laki-laki itu hampir saja menangis, matanya memerah melihat Aaron.
“Ah... hari ibu, maaf aku tidak tahu karena tak punya ibu hehe.”
Ucapan itu terdengar menyakitkan ditelinga.
“Maaf dek. Sebagai permintaan maaf, ambil saja bunga ini lalu berikan pada ibumu,” ucapku sembari mengelus punggungnya.
“Aku datang ke sini tidak bersama ibuku, tapi bersama...” Anak kecil yang sekiranya berusia delapan tahun itu menunjuk seorang lelaki yang berdiri tak jauh dari tempatku.
Kulihat mata Aaron terus melihat ke sana. Entah, ada apa dengan sorotan matanya.
Kurasakan waktu seperti berhenti sejenak, diantara banyaknya orang-orang di pasar itu tapi entah mengapa, mereka terlihat begitu gelap. Karena hanya dia yang bersinar.
Dia Aizen. Anak laki-laki kecil yang dulu begitu ambisius menceritakan keinginannya. Yang pernah mengatakan bahwa dia akan menikahiku jika sudah besar nanti.
Perasaan yang tak biasa ini mulai menggerogotiku, seakan radiusdidekatnya akan membuatku meledak seketika.
Ðia makin mendekat. Matanya beberapa kali melirik bawah sampai atas kami seakan menilai kami. Ya, aku akui bahwa kita berbeda sekarang. Setelan jas hitam yang bersih, dasi merah dan sepatu mengkilat begitu menunjukkan bahwa kita beda kasta.
Dia tersenyum miring dengan kedua tangan yang ia sisipkan disaku celananya. “Apa benar itu kalian? Aaron dan Adhara.”
Aaron menunduk. Aku tahu perasaannya, dia malu dengan keadaan kami yang sungguh berantakan ini.
Mata Aizen menatapku dalam. Aku tersenyum padanya. “Lama tak berjumpa, Aizen.” sembari mengulurkan tangan aku mencoba mencairkan suasana canggung ini.
“Ya. Apa ini yang kalian kerjakan sekarang?” Aizen bahkan tidak berniat menyambut tanganku, ia malah melirik toko bunga kecil tersebut.
“Iya, begitulah.” Aku menunduk lalu menurunkan tanganku.
“Aku pikir hidup kalian sudah enak sepertiku, mana orang tua angkat kalian, aku ingin melihatnya, seperti apa mereka?”
“Tak ada. Kami masih tinggal di panti asuhan.”
“Hah?” Aizen tertawa.
Ia menertawai kami. “Jadi, maksud kalian tidak ada orang tua yang menginginkan kalian?”
“Tentu ada,” Aaron menyambar ucapan Aizen.
“Tapi kami memang yang memilih jalan ini, selagi ibu panti tidak keberatan dan senang dengan kehadiran kami, kami akan tetap di panti,” lanjutnya.
Aizen mengangguk. “Menyedihkan,” ucapnya lirih.
“Hei, Aizen. Kau berubah setelah aspirasimu telah kau dapatkan.”
Aku masih terdiam, aku tatap mereka bergantian seperti ada aliran listrik di mata mereka, yang menyatu dan akhirnya bertabrakan.
“Aspirasi? Ya. Aku mendapatkannya, aku kaya dan punya usaha besar di mana-mana. Seperti yang kubilang pada kalian hari itu, aku akan menginjak orang-orang yang pernah menyakitiku, contohnya keluarga.”
“Jadi, kau sudah bertemu keluargamu?” tanyaku.
Aku begitu penasaran. Apakah sungguh ia akhirnya bertemu dengan keluarganya yang dulu membuangnya ke panti asuhan. Aku ingat betapa ambisinya ia dengan cerita keluarganya, saat ia menangis dan memohon untuk kembali ke rumahnya.
“Tentu. Mereka menyesal telah membuangku hari itu dan kini mereka malah mengemis padaku. Sialan.”
Aku bingung, apakah aku harus legaatau justru sebaliknya.
“Oh ya. Adhara, Aaron sekali-kali datanglah ke rumahku, agar kalian juga bisa merasakan dan melihat barang mewah. Tidak tinggal di tempat kumuh seperti sekarang ini.” Matanya kembali melirik toko bunga dibelakang kami.
Aizen mengambil dompetnya lalu mengeluarkan uang yang mungkin sebesar satu juta rupiah itu. “Aku bayar dengan ini,” katanya sembari memberikanku uang itu.
“Tidak. Kau tidak usah memberikan sebanyak ini,” tolakku.
“Terimalah. Jangan membohongiku, aku yakin sekali kalian membutuhkan ini.” Ia memberikan Aaron uang tersebut lalu menarik anak kecil tadi pergi dari sana.
“Aizen.”
Entah mengapa mulutku meneriaki namanya. Seolah aku tidak ingin membiarkannya pergi lagi.
“Dhara.”
Suara Aaron terdengar memanggilku, namun langkah kakiku tidak mau berhenti. Aku masih ingin melihat Aizen. Cinta pertamaku.
“Aizen. Tunggu.”
Akhirnya usahakan tak sia-sia. Dia berhenti, berbalik lalu menatapku.
“Ada apa lagi?”
“Sering-seringlah datang ke panti asuhan. Ibu panti merindukanmu, ia pasti senang melihatmu sudah seperti ini.”
“Entahlah. Aku tidak mau menginjak panti itu lagi.”
Senyumku memudar.” Kenapa?” tanyaku dengan suara pelan.
“Aku tidak mau menggores luka masa lalu lagi,” jawabnya membuang muka.
Aku memegang tangannya, menatapnya dalam, rasanya seseorang yang aku tunggu akhirnya datang kembali, aku sungguh tak ingin membiarkannya pergi lagi.
“Tapi, kau tak akan hilang lagi, ‘kan, Aizen?”
Mungkin Aizen juga melihat sorotan harapan di mataku.
“Aku tak tahu, aku hanya ingin meninggalkan semua masa laluku.”
“Termasuk aku dan Aaron?”
“Ya. Termasuk Aaron..” Aizen terdiam sebentar lalu kembali menatapku, “dan kau, Dhara.”
Aku tak sadar mencengkram rok selututku. Ucapan Aizen menusuk hingga jantungku, seakan ia menancapkan beribu pedang di sana. Aku tak bisa berkata apapun, seperti suaraku hanya berhenti ditenggorokan.
Anak kecil tersebut menggoyang-goyangkan kain celana hitam Aizen, menyuruh mereka untuk pergi dari sana.
“Maaf, Dhara. Aku sibuk.”
Aizen akhirnya pergi meninggalkanku lagi.
Rintik hujan seolah mengiringi kepergiannya, ia akhirnya hilang dibalik kerumunan orang-orang yang berlari mencari perlindungan.
“Dhara!”
Aaron memanggilku.
“Ayo masuk. Kau tidak mau sakit lagi, ‘kan?”
“Dhara!”
Aku mulai merasakan air yang masuk ke dalam bajuku, itu artinya hujan mulai deras dan aku masih enggan untuk melangkah.
Hingga akhirnya mataku membulat setelah melihat sosok Aizen yang muncul dibalik orang-orang tadi.
Dia kembali.
Tapi aku merasakan ada tangan yang menarik tanganku meninggalkan tempat itu.
“Dhara!”
Itulah pertemuan pertama kali setelah bertahun-tahun lamanya berpisah.
Aku tak pernah menyangka jika dia akan kembali dengan sifat yang sangat berbeda dari masa kecilnya yang ceria itu.
Hatinya yang lembut seolah hilang, entah ke mana.
Aku ternyata masih berharap tentang janjinya,ibarat hari di manaombak rindu yang datang bersamaan.
Aku rindu Aizen. Tapi bukan Aizen yang seperti ini.
🍀🍀🍀
Bagian 2
Kamu Yang Berbeda
KUCOBA mengatur napasku yang tak beraturan setelah mengejar anak laki-laki dengan kaos hitam polos dan celana bola itu. Rambutnya berantakan, sama seperti wajahnya yang lusuh. ia berhenti di tepi pantai dan memanggilku.
“Dhara. Ayo kemarilah.”
Kulangkahkan kakiku mendekatinya. “Kau tak takut ibu panti tahu kalau kita pergi malam ini?” tanyaku agak memperbesar suaraku karena deburan ombak yang cukup besar.
“Tidak. Paling, dia hanya memarahi kita terus menyuruhku lari sepuluh kali di lapangan,” ujarnya diiringi tawa kecil.
Tiba-tiba ia menarik tanganku lalu membawaku makin dekat ke tepi pantai. “Aizen. Tunggu,” kagetku.
Ia menjatuhkan dirinya di pasir itu. Ia menghela napas panjang. “Ah... aku selalu menyukai suara ombak dengan langit gelap penuh bintang, makanya aku bela-belaan ke sini untuk melihatnya, kau juga menyukainya, ‘kan?”
Aku ikut duduk disampingnya. “Ya. Tapi aku lebih suka senja,” kataku.
Kini tak ada yang mulai berbicara lagi, kami memilih diam mendengar alunan ombak dengan pikiran kami masing-masing.
“Dhara,” panggilnya pelan hampir tak terdengar.
Aku cuma berbalik meliriknya yang masih menatap bintang. “Itu! Bintang jatuh, ayo berdoa!” serunya langsung menyatukan kedua tangannya dan menutup mata dengan serius.
Aku menatap langit mencari bintang yang dimaksud Aizen. Kusebarkan pandanganku, mengabsen seluruh bintang yang bersinar itu, dan akhirnya aku melihatnya.
Aku ikut melakukan hal yang sama seperti Aizen. Berdoa dan berharap Tuhan mengabulkan impianku.
“Aku bermimpi suatu saat nanti bisa menjadi orang kaya dan berpendidikan tinggi.”
“Mimpi?”
“Ya. Karena aku tahu, dunia kejam untuk orang seperti kita, anak yatim, miskin dan tak berpendidikan. Kita akan direndahkan lalu diinjak oleh orang yang berkaya.”
Aku terdiam. Untuk anak sekecil kami mana mungkin mengerti tapi Aizen, dia sungguh paham dan berpikir tentang masa depannya.
“Jika mimpiku terwujud, aku akan menikahimu. Dhara.”
Mataku membulat, aku tak tahu harus membalas apa. Perasaan aneh ini tiba-tiba saja datang padaku, tapi aku tak tahu perasaan apa itu.
“Kalian di sini rupanya.” Kami berdua sontak berbalik. Aaron ada dibelakang kami, berkacak pinggang sembari menggeleng. “Kenapa kalian tak mengajakku,” ketusnya jengkel.
🍀🍀🍀
Itu adalah masa terindahku, masa kecil yang tak akan pernah aku lupakan. Sampai aku paling takut dengan amnesia, karena saking tak inginnya melupakan masa indah itu.
“Melamun lagi?”
Aaron datang bergabung denganku, punggungnya ia sandarkan ditembok lalu duduk dengan tenang di sana. “Kau habis ke mana?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Ibu panti menyuruhku mengangkat lemari,” jawabnya masih terdengar napasnya yang berat karena kelelahan.
“Dhara. Aizen berubah, ya?” Kenapa ia kembali membahas Aizen, aku sedang tak ingin membahasnya, aku hanya ingin menyimpannya dan memikirkannya sendirian tapi tak bisa aku pungkiri karena Aaron termasuk bagian dari kami. Kita sahabat.
“Iya,” jawabku dengan nada rendah.
Aku berdiri, masuk ke dalam dapur lalu beberapa menit kemudian aku membawa dua cangkir teh hangat yang kuletakkan di meja depan kami.
“Minumlah.”
“Terima kasih.”
Aaron langsung menyeruput teh hangat itu lalu ia tersenyum. “Teh buatanmu memang selalu enak, aku sangat menyukainya,” pujinya.
Entah sudah berapa kali aku mendengar pujian itu, Aaron selalu menghargai semua yang kulakukan, katanya meski suatu hari nanti kita berdua punya keluarga, dia akan menemuiku hanya untuk merasakan teh buatanku. Konyol memang, tapi dia memang suka sekali dengan teh itu.
Aku pernah bertanya mengapa ia tak mau di adopsi oleh orang tua baik yang menginginkannya, lalu dia mengatakan kalau... “aku tidak bisa hidup tanpa teh buatanmu.”
Terkadang tingkah Aaron memang aneh tapi aku sangat menyayanginya, karena mungkin selama ini cuma dia yang selalu berada disisiku. Setelah Aizen benar-benar pergi, kami hanya bermain berdua, meski terkadang suasanasudah tak sama lagi tapi aku bersyukur karena aku masih memiliki Aaron.
Tak terasa langit mulai gelap, sepertinya kita sudah terlalu lama duduk di sini. Mungkin karena angin sore yang masuk ke dalam jendela, menabrak kulit membuat kami merasa nyaman dan ingin terus duduk di sana.
Memang akhir-akhir ini cuaca sangat panas.
“Dhara. Setelah aku melihat kesuksesan Aizen, aku sedikit iri. Tapi aku tak pernah menyesal memilih jalan ini, karena...”
“Pekerjaan kita mulia. Anak-anak sangat bahagia dengan kehadiran kita. Benar, ‘kan?” sambungku.
“Ya. Kau benar sekali. Melihat Aizen berubah dan merendahkan kita kemarin, aku jadi makin belajar kalau bagaimanapun orangnya, jika dihadapkan dengan harta maka dia akan tetap tenggelam juga, bukan begitu?”
Aku tersenyum pahit. “Mungkin jika aku diposisinya, aku akan sama sepertinya,” sambung Aaron lagi.
Aku menatap wajahnya. Mataku melihat beberapa tahi lalat dipipi kanannya yang sudah menjadi ciri khas dari seorang Aaron Ravindra. “Kesederhanaan akan mengajarkan kita untuk bersyukur,” ucapku.
Ia juga membalas tatapanku, tapi tatapannya berbeda dari yang biasanya. Ada kilauan di matanya, mungkin karena terkena cahaya lampu jalan yang mengarah ke jendela.
Ada apa?” tanyaku ragu.
Kini tatapannya tajam, ia melihat keluar jendela. Aku mengikuti arah matanya dan aku ikut terkejut.
Didalam mobil hitam yang bisa kutebak sangat mahal itu, terdapat seseorang yang begitu kami kenal. Dia sedang duduk santai sembari melihat ke arah kami.
Aaron berdiri berniat keluar menghampiri mobil itu. Tapi aku memegang tangannya untuk mencegahnya. “Jangan,” kataku tegas.
“Tapi...” Mobil itu mulai melaju meninggalkan kami.
“Dia tak ingin menemui kita,” kataku ikut berdiri dan melihat kepergian Aizen untuk kesekian kalinya.
Aaron melepaskan tanganku, tanpa sepatah katapun ia pergi dan masuk ke kamarnya meninggalkan aku sendirian.
Kini aku berdiri sendirian, anak-anak mungkin sudah tidur itu artinya aku juga harus bergegas menjernihkan pikiranku.
Banyak pertanyaan yang muncul diotakku, tentang mengapa Aizen mengingkari ucapannya tempo hari.
Katanya dia tak akan pernah menginjakkan kakinya di panti lagi, tapi malam ini dia kembali meski cuma sekedar melihat dari kejauhan.
Aku masuk ke dalam kamar, menguncinya lalu menutup diriku dengan selimut berwarna putih yang mulai pudar warnanya. Kamar yang cuma berukuran kecil tersebut menjadi tempatku untuk menjernihkan pikiran seperti sekarang ini.
Apakah dia sungguh akan kembali, seperti doa-doaku yang kupanjatkan setiap saat. Aku rindu Aizen.
Mataku mulai berat, aku berharap pria itu datang ke mimpiku malam ini.
Aku sungguh naif ya. Aku membiarkannya pergi tapi aku menyuruhnya mendatangiku lewat mimpi.
Aku kembali membuka mata setelah mendengar bunyi mobil, aku terduduk dan melihat ke arah kaca jendela. Mungkin cuma perasaanku saja, pikirku.
Tidak. Aizen masih di sana. Aku bisa melihatnya!
Aku berdiri dan membuka pintu dengan tergesa-gesa. Aku berharap dia tak akan pergi setelah melihatku keluar panti asuhan itu.
“Aizen.”
“Dhara.”
Ia terpaku melihatku dengan piyama merah muda yang kini kupakai. Tanpa pikir panjang, aku berlari dan memeluknya erat.
Entah apa yang kupikirkan, mungkin aku sangat menggebu-gebu karena Tuhan mengabulkan doaku. Membawa Aizen kehadapanku.
Aku tak melihat wajahnya karena kini wajahku tenggelam didadanya. Ternyata dia tumbuh tinggi seperti laki-laki dewasa yang sering kulihat, bahkan dia lebih tinggi dari Aaron.
Kurasakan tangannya mengelus rambutku dengan lembut membuatku begitu nyaman.
“Dhara. Kau mau ‘kan ikut bersamaku?”
🍀🍀🍀
Bagian 3
Buta Karenanya
“DHARA, kau mau ‘kan ikut denganku?”
Aku tersentak. Kulepaskan pelukanku dan menatapnya. Ia ikut membalas tatapan itu penuh perasaan, secepat dan segampang itu Aizen mengatakannya. Kami bahkan baru bertemu dua kali, apakah aku yang terlalu besar kepala, mungkin maksud Aizen beda dengan apa yang kupikirkan sekarang.
Angin malam itu mulai terasa dingin dan begitu hening, Aizen sepertinya masih menunggu jawabanku. “Aku...”
Oh tidak. Pikiranku kalah dengan hatiku, ini akan menjadi buruk. Aku tidak boleh menggunakan perasaan di sini. Tidak boleh.
“Dhara, aku tidak punya waktu banyak.”
“Mengapa kau datang ke sini? Kau bilang tak mau menginjak tempat ini lagi?” kataku menghujam dia dengan pertanyaan.
“Aku meralat ucapanku. Ya, aku memang tidak mau menginjak panti ini lagi tapi ada yang harus kubawa, aku salah karena telah meninggalkan seseorang yang penting di sini yaitu kau,” jelas Aizen dengan penuh penekanan dan keyakinan.
Sekali lagi hatiku kembali bertengkar dengan pikiranku sendiri, aku sungguh kacau. Bayangkan orang yang selama ini aku tunggu akhirnya datang kembali dan mengajakku untuk pergi. Aku bahagia tapi aku juga tidak bisa meninggalkan tempat ini.
“Aku tidak bisa, Aizen.”
Wajah penuh harapan itu berubah menjadi kecewa. “Kenapa?” tanyanya. Tangan Aizen langsung menggenggam kedua tanganku.
“Aku punya banyak tanggung jawab di sini, tolong beri aku waktu.” Aku menunduk menatap dedaunan kering yang tidak sempat di sapu tadi, rupanya angin kembali menerbangkan dedaunan itu.
“Baiklah. Aku tidak menyuruhmu sekarang, tapi aku akan menagih jawabanmu ini, mengerti,” katanya lembut, bisa kulihat bibirnya yang tersenyum tipis.
Aku mengangguk paham. Malam itu akhirnya dia benar-benar pulang, kulambaikan tanganku padanya lalu melihat mobil itu melaju hingga menghilang ditelan oleh kabut malam.
🍀🍀🍀
Bayang-bayang Aizen terus saja muncul dipikiranku, layaknya sebuah video yang terputar cepat lalu berhenti disenyuman tipis pria itu. Dia tumbuh dengan tampan, mungkin karena ia berkecukupan tidak seperti aku dan Aaron yang lusuh ini.
Aku mengaduk-aduk sup yang kubuat untuk sarapan pagi anak-anak. Sejam lagi aku dan Aaron harus pergi ke pasar untuk jualan lagi, kutengok Aaron masih memangkas bunga teh-tehan yang mulai rimbun di depan panti, terkadang ia bercanda dengan para anak laki-laki yang membantunya memungut dedaunan.
“Dhara, bekerjalah dengan benar, nak. Jangan memperhatikan Aaron terus.” Entah sejak kapan ibu panti sudah ada disampingku, ia segera mematikan kompor dan kembali menegurku, “daripada menikah dengan pria diluar, lebih baik kau menikah dengan Aaron, lagian kalian sudah sangat dekat jadi kedepannya bisa tetap menjaga panti ini berdua.”
Aku melongo. “Ibu salah paham, kami tidak punya perasaan khusus seperti itu, Bu. Aku dan Aaron cuma sahabatan,” kataku dengan kikuk.
“Tapi, Aaron mungkin berbeda,” kata ibu lagi.
“Tidak bu, dia...” Aku melirik Aaron yang ternyata melihatku dari kejauhan, mungkin ia menyadari kalau dia sedang dibicarakan. “Dia dan aku tak ada apa-apa selain bersahabat,” ucapku kembali sembari menunduk.
Ibu panti menuangkan satu persatu sup hangat dimangkuk, lalu aku membantunya menyimpan mangkuk yang sudah terisi itu di meja karena kita harus mengatur sebanyak tiga puluh mangkuk untuk anak-anak.
“Kalau begitu carilah sendiri, karena kau anak perempuan, tidak baik kalau kau lama sendiri,” ucap ibu kembali.
Aku meliriknya lalu menghitung berapa mangkuk yang sudah ada di meja. “Iya bu. Akan kucoba,” ujarku.
🍀🍀🍀
“Ini masih desember, itu berarti masih dua bulan untuk hari valentine,” gumam Aaron tiba-tiba.
Aku berbalik lalu memukul bahunya dengan heboh. “Kenapa kau menantikan hari valentine, apakah kau akan mengungkapkan perasaanmu pada seorang perempuan, beritahu padaku siapa perempuan beruntung itu!”
“Tidak ada. Aku menantikan hari itu karena biasanya kita akan dapat pelanggan banyak. Bodoh,” ketusnya sembari memukul kepalaku dengan pulpen yang sedari tadi ada ditangannya.
Aku menghela napas, semangatku langsung hilang. “Astaga... kenapa aku malah bereaksi berlebihan pada orang yang cuma melihat dan menonton kisah cinta orang lain,” ujarku melihatnya sinis.
Aaron berdecak dan memalingkan wajahnya padaku. Ia kemudian berjalan keluar toko dan menyemprot bunga-bunga agar tetap terlihat segar. Aku menatapnya dalam, aku mulai berpikir jika aku pergi bersama Aizen, bagaimana dengan Aaron?
Pria itu adalah pelindungku, orang yang selalu ada untukku dan selalu menomorsatukan diriku daripada dirinya sendiri. Aku berharap secepatnya Aaron mempunyai wanita yang bisa menjadi sandarannya kelak, agar ia tak memikirkanku lagi.
Aku membulatkan mataku setelah mata kita bertemu, segera aku memalingkan wajah dan berpura-pura mencari sesuatu didepan meja kasir ini hingga akhirnya kudengar suaranya yang sepertinya berbicara dengan pelanggan wanita yang datang.
Aku menunduk, menyimpan kedua tanganku di atas meja lalu menyembunyikan wajah ini. Aku berpikir tentang bagaimana memberitahu Aaron soal Aizen yang ingin membawaku untuk ikut dengannya.
Pasti dia akan sangat kecewa.
“Hei. Jangan tidur, kita punya pelanggan,” tegurnya.
Aku mengadahkan kepalaku. “Ah... iya, maaf.” Aku berdiri dan mulai melayani pelanggan seperti biasa.
🍀🍀🍀
Kami pulang dengan sepeda kotor karena jalan yang agak berbecek. Hari itu, mulai senja. Suara ombak ditepian pantai tidak terlalu besar, mungkin karena angin tidak menyapa laut dengan benar atau posisi bulan yang tak mau mendatangi laut. Entahlah, tapi ini sungguh tenang, membuat aku dan Aaron cuma bisa terdiam dengan pikiran kami masing-masing.
“Kenapa kau mencegahku kemarin?”
Tiba-tiba saja, Aaron memecahkan keheningan.
“Itu karena... aku tahu, Aizen tidak ingin menemui kita.”
“Tapi kenapa dia datang?”
“Jangan tanya padaku karena aku tak tahu.”
“Kau jelas tahu, kau bertemu dengannya semalam ‘kan? Apa yang sedari tadi mengganggu pikiranmu, apa yang ingin kau katakan padaku tentang orang itu, katakanlah.”
“Dia bukan orang itu, dia Aizen!”
Aku berhenti melangkah dan berbalik pada Aaron yang sedari tadi jalan dibelakangku. Bisa kulihat tangan Aaron yang menggenggam erat setir sepeda itu dengan kuat.
Aku ketahuan ternyata.
“Maaf,” ucapnya menunduk, “kupikir dia keterlaluan, dia datang terus seenaknya, sebenarnya apa maunya?” sambungnya. Ia melihatku dengan tatapan tajam.
Aku ternyata salah, mungkin bulan menjauh dari laut tapi angin akhirnya datang menemui laut. Ya. Aku mendengar suara ombak dan rambut panjangku menari-nari terbawa oleh angin.
Begitu mengganggu. Aku menyelipkan rambut itu ditelingaku lalu menatap pria dengan kaos hitam panjang itu. “Dia bertanya, apakah aku mau ikut dengannya.”
“Hah! Apa dia sudah mulai gila.”
“Aaron. Kita harus percaya padanya seperti dulu, dia seperti pemimpin kita dan kita selalu percaya padanya, bukan begitu?”
“Percaya padanya dengan membawamu masuk ke dunianya?”
Aku tersentak dengan pertanyaan itu, karena aku tak tahu orang seperti apa Aizen sekarang, bagaimana hidupnya dan apakah dia masih sama seperti dulu. Dia yang punya optimisme yang kuat terhadap teman-temannya, terhadap orang-orang sekitarnya yang juga saat itu merasakan penderitaan yang sama dengannya.
“Jelaskan padaku, Dhara. Apakah sekarang kau melihat Aizen yang sama seperti dulu?”
Rupanya Aaron masih menghujamku. “Dia... tidak akan berubah terhadap kita, Aaron.”
“Lalu kemarin apa? Kau lupa, dia merendahkan kita, mengatakan pada kita jika kita ini sungguh menyedihkan lalu melihat kita dari atas ke bawa hanya untuk memperlihatkan wajah jijiknya?”
Ya. Aku salah Aaron, aku memang menutup mata dan pikiranku setelah aku bertemu dengan cinta pertama yang selalu kutunggu selama ini. Banyak yang bilang, cinta itu buta dan aku akui mungkin aku buta karena mengelak dengan kenyataan yang kini terjadi.
“Aku... tidak ingin kau pergi bersamanya."
Bersambung di bagian selanjutnya…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
