[SEASON TWO] Part 41: Merindu di Kebun Binatang

1
0
Deskripsi

"Jika tanpa dirimu, aku hilang,…”

Noel menemukan cinta dalam menemukan sederatan kejadian ganjil. Sukar ia ceritakan ke siapapun. Kini ia dilanda kebingungan, apakah sosok Marsha itu nyata. Atau, itu hanya… 

…selama ini, dirinya tengah berfantasi, kah? 

“Marsha, jika Tuhan memberikan aku umur panjang, akan aku luangkan waktu seumur hidup aku hanya demi kamu. Kamu di mana, Marsha? Haruskah aku ke ujung dunia hanya demi menemukan kamu?”

*****

Bawang Goreng Resep Mintuo

0852-1308-0580

post-image-660bd7edadc2f.jpg

Apa itu berdebar?

Dulu pernah ada seseorang yang memberitahukan Marsha, berdebar adalah saat jantung kita berdetak-detak lebih kencang, lalu panca indra kita menjadi lebih sensitif dari sebelumnya. Sekujur tubuh kita menjadi lebih hidup.

Air mata Marsha mulai menetes. Bukan karena iri dengan pasangan yang sedang menonton aksi orangutan di kandang. Seharusnya Marsha iri, karena ia pergi ke kebun binatang sendiri saja. Namun, bukan karena itu ia menangis. Ia menangis karena sesuatu hal.

"Kenapa, Kak?" tanya Stanley yang menyerahkan sebotol minuman soda ke arah dirinya. "Nih, minuman yang lu pesan."

Marsha menerimanya dan terburu-buru mengambil tisu dari dalam tas tangan. Ia hapus terlebih dahulu air matanya. Sembari menggeleng, ia berkata, "Nggak apa-apa."

"Lah, Kak Marsha juga udah punya pacar. Namanya Noel, kan?" terka Stanley seolah-olah tahu kakaknya itu sedang cemburu dengan pasangan yang berada di hadapan mereka berdua.

Ayahnya Marsha menimpali, "Loh, Marsha, anak sulungnya Papa, sudah punya pacar, toh?"

Jawab Stanley, "Udah punya, Pa. Beberapa hari lalu, pacarnya Kak Marsha ngapel ke rumah kita. Iya, kan, Ma?"

Ibunya Marsha mengangguk. "Yang itu, loh, Pa. Mama kan sudah pernah cerita waktu itu."

"Oh, itu pacarnya Marsha?" tanya ayahnya Marsha mengernyitkan dahi. "Kata Mama, cuma teman."

"Teman bukan teman, kali, Pa. Teman istimewa yang lain dari yang lainnya. Yang diistimewakan dari teman-teman Kak Marsha yang lainnya." ucap Stanley terkekeh-kekeh.

Kali ini Marsha tidak menjawab. Ia hanya meminum minuman soda dan maju perlahan untuk melihat orangutan dari jarak yang lebih dekat (walau terdapat kaca antara kandang orangutan dan posisi Marsha berdiri). Kedua mata Marsha memang memperhatikan induk orangutan yang sedang memeluk anak orangutan. Namun pikiran Marsha berkelana hingga tempat Noel. Berkali-kali wajah Noel muncul di otak Marsha. Walau tidak terlalu mengenal Noel secara akrab, Marsha merasa sangat dekat. Dekat tapi jauh.

"Kalau jodoh, nggak akan ke mana-mana, Marsha." ucap ibunya Marsha yang ternyata mengikuti Marsha. "Nggak usah terlalu dipikirkan sampai segitunya."

Ayahnya ikut menyusul dan menimpali, "Seperti Papa dan Mama dulu. Alon-alon asal kelakon. Yang namanya jodoh, mau kita ke ujung dunia sekalipun, pasti dia akan tetap mengikuti kita."

"Cie, yang lagi mikirin si Noel." ledek Stanley.

Marsha cemberut dan mengha nafas. Kali ini ia lebih memilih untuk berdiam saja. Sulit untuk bercerita lebih panjang lebar kepada orangtuanya tentang hubungan dirinya dengan laki-laki misterius bernama Noel. Apa kedua orangtuanya mau mempercayai ceritanya?

Sebab kisah Marsha dan Noel terlalu absurd. Seperti kisah Cinderella saja, yang penuh dengan keajaiban. Ini melibatkan alam mimpi juga. Ia pun bingung harus bercerita mulai dari mana. Terkadang ia membayangkan bisa memiliki kisah cinta seperti apa yang terjadi di drama-drama Korea. Yang begitu kedua mata saling beradu, langsung turun hati. Lalu, sang sutradara segera mengatur agar kedua tokoh bisa bersanding di pelaminan. Bukannya kisah cinta yang absurd seperti ini. Apalagi dengan pasangan laki-lakinya yang menurut Marsha aneh dan jarang mengerti isi hatinya. Alih-alih mendapatkan pasangan yang mencumbunya dengan kata-kata romantis, ia malah mendapatkan pasangan yang cara bicaranya kaku dan cenderung memaksakan kehendak.

"Mama sama Papa tidak akan memaksakan kamu supaya bawa ke rumah cepat-cepat, Marsha. Yang penting, kamu nyaman dulu sama dia. Soal nikah, diomongin nanti saja." ucap ibunya Marsha sembari merangkul Marsha.

"Eh," Wajah Marsha memerah.

"Kita lanjutkan lagi perjalanan kita. Di depan kita, ada kandang gajah. Kata petugasnya, ada gajah baru melahirkan." ajak ayahnya Marsha dengan bersemangat sekali.

"Yang benar, Pa?" tanya Stanley berbinar-binar. "Aku penasaran, deh, Pa, bayi gajah itu kayak gimana."

Marsha sontak tertawa. Menurut Marsha, hanya melihat di internet, bukankah bisa?

Lima belas menit kemudian,

"Loh, kok bentuknya gini amat bayi gajah?" tanya Stanley mengernyitkan dahi.

"Emangnya mau bentuknya kayak gimana, Ten?" sindir Marsha terkekeh-kekeh. "Semua makhluk pasti begitu. Awalnya kecil, lama-lama jadi gede. Di sekolah dulu, belajar apaan, Ten?"

"Eee," Stanley menelan air liur. Wajahnya merah dan mulai berkeringat dingin. Ia tampaknya malu karena kesalahan berpikirnya. Ia sebetulnya tahu tentang apa yang disampaikan kakaknya tadi. Hanya saja ukuran bayi gajah di hadapannya sungguh di luar ekspektasi.

"Ten, Ten, ada-ada aja lu, yah?!" kata Marsha terkekeh-kekeh. Lalu mendadak ia kembali terbuai dalam lamunan. Melihat gajah-gajah di hadapan matanya, ia teringat dengan Noel yang berpipi tembam. Meskipun agak gendut, bagi Marsha, Noel tetap tampan.

Stanley ikut terkekeh-kekeh. "Lah, malah ngelamun dia sekarang. Paling lamunin si Noel itu lagi. Hahaha."

Marsha langsung cemberut. Ia lalu berjalan menuju salah satu gajah dewasa yang sedang dipawangi. Sepertinya ia bergerak berdasarkan tuntunan instingnya. Makin lama makin mendekati gajah dan pawangnya. Hingga akhirnya ia mengelus-elus belalai si gajah yang berukuran lebih besar dari dirinya.

"Mau coba naik gajah ini, Mbak?" tanya pawang si gajah yang tidak terlalu tua, tapi tak terlalu muda pula.

"Boleh emangnya?" tanya balik Marsha yang spontan saja memeluk belalai si gajah.

Di saat seperti itu, keluarganya sudah menghampiri Marsha. Ia terlihat kikuk yang entah mengapa dirinya begitu kikuk hanya karena ingin naik ke atas punggung gajah. Ia bertambah malu lagi, setelah mengetahui Stanley terkekeh-kekeh. Sembari mengernyitkan dahi, bisa-bisanya ia memiliki pikiran adiknya itu akan membawa topik pembicaraan ke arah Noel.

"Kamu mau naik gajah, Marsha?" tanya ayahnya yang bersiap untuk memberikan uang kepada si pawang. "Di sini, kita diperbolehkan naik gajah, onta, atau kuda. Tapi, itu di luar tarif masuk ke dalam kebun binatang. Naik saja. Biar Papa yang bayar."

"Nggak usah, Pa." Marsha menggeleng. "Aku aja yang bayar. Uang di dompet atau rekening juga masih ada."

"Sesekali Papa yang bayar. Biar Papa yang bayar. Papa justru lagi kangen-kangennya waktu kalian berdua masih SD. Masih ingat waktu kamu rengek-rengek Papa biar bisa naik sepeda? Wah, padahal mahal sekali tarifnya waktu itu. Apalagi buat dua orang." tutur ayahnya Marsha yang sudah memberikan uang kepada pawang.

"Nanti pasti aku ganti, Pa." balas Marsha yang lalu membiarkan dirinya dituntun oleh si pawang agar naik secara hati-hati ke atas punggung si gajah.

Kini Marsha sudah berada di atas punggung gajah. Dari atas punggung gajah, pandangan matanya mendadak menjadi lebih luas dari sebelumnya. Bahkan ia bisa melihat pasangan sebelumnya (yang saat masih di kandang orangutan) ternyata sedang asyik memberikan rusa-rusa makanan berupa daun bambu. Selanjutnya, dengan keberadaan dirinya masih di atas punggung gajah, spontan ia teringat Noel.

Pikir Marsha, cowok itu apa pernah coba naik gajah juga? Mungkin kuda atau onta, kali, yah.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya #6th Sixth Touch
1
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan